Evaluasi Penerapan Kode Etik Jurnalistik

KOMUNIKASI MASSA

EVALUASI PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK
DALAM JURNALISME DI INDONESIA
Tugas ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
Dosen Pengampu : Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si

Disusun oleh :
FEBY GRACE ADRIANY
147045003

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

PENDAHULUAN

Indonesia saat ini sudah berada pada era dimana kebebasan pers sangat terjamin dan
dihargai. Kondisi pers Indonesia jauh lebih maju bila dibandingnya dengan negara-negara

tetangga seperti misalnya Malaysia, dimana masih ada kontrol yang sangat ketat dari
pemerintah tentang pemberitaan yang dimuat atau disiarkan oleh media massa. Pada
prinsipnya pers yang maju idealnya sudah menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme dengan
baik dan profesional, karena pers Indonesia dianggap sebagai pilar keempat demokrasi
setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal,
keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik
sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Bahkan bisa dikatakan bahwa pers bahkan mempunyai
peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power .
Namun dalam praktek jurnalisme pers di Indonesia, masih ditemukan kekurangan di
sana-sini termasuk pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers.
Banyaknya media massa penyedia informasi jurnalistik membuat tingkat persaingan menjadi
semakin tinggi, sehingga kecepatan dan kemasan berita menjadi daya tarik utama, mengingat
isi sebagian besar media massa lebih kurang serupa. Namun persaingan yang tinggi akhirnya
membuat kerja wartawan meninggalkan aspek-aspek profesionalitas dan etika. Pelanggaran
yang dilakukan bisa berupa kesalahan data, narasumber yang tidak kredibel, gambar yang
tidak sesuai hingga pemberitaan yang tidak berimbang akibat tekanan politik.
Kebebasan pers bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Ini berarti bahwa kewajiban
moril pers dalam memberitakan segala sesuatu yang faktual bukanlah kewajiban moril tanpa
batas. Untuk itu pers nasional diharapkan tetap kritis, edukatif, profesional, handal,
berwibawa dan bebas dari intervensi negara maupun rongrongan pemilik modal. Pekerja pers

di Indonesia pun perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Selain itu
pengawasan dari Dewas Pers dan organisasi wartawan juga menjadi kunci bagi pelaksanaan
Kode Etik Jurnalistik di Indonesia. Bila pers Indonesia bekerja profesional dengan kaidahkaidah yang berlaku, maka otomatis pelaksanaan demokrasi di negara ini pun bisa berjalan
baik.

PEMBAHASAN

1. Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik adalah kumpulan atau himpunan norma atau etika di bidang
jurnalistik yang dibuat oleh, dari dan untuk wartawan. Aturan-aturan ini dibuat sebagai
kaidah penuntun moral dan etika para wartawan dalam menjalankan profesinya, agar
para wartawan tidak bekerja sembarangan dan tetap menghargai serta menghormati hak
orang lain.
Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
sejarah perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan,
pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima
periode :
1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal
17 Agustus 1945. Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan

pers baru yang masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan atau
memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan. Pada masa ini belum
muncul pemikiran untuk menyusun Kode Etik Jurnalistik, akibatnya pada periode ini
pers berjalan tanpa kode etik.
2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, ketika
organisasi ini lahir juga belum memiliki kode etik. Saat itu hanya ada semacam
konvensi yang dituangkan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI
mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode
Etik PWI yang pertama.
3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.
Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik
PWI hanya berlaku bagi anggota PWI sendiri, padahal organisasi wartawan lain juga
memerlukan Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers
membuat dan mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers lalu membentuk
sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang untuk membahas hal ini, yaitu Mochtar
Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H. G. Rorimpandey, Soendoro, Wonohito, L.E
Manuhua, dan A. Aziz. Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani


oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril,
disahkan pada 30 September 1968. Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme
Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang
menjadi anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk
non PWI.
4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan. Menurut pasal 4
Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai Wartawan,
ditegaskan bahwa wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi
wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun, waktu itu belum ada
organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Baru pada tanggal 20 Mei
1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan
Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara
otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah
milik PWI.
5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi,
paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir UndangUndang No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini
membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini,
munculah berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya, dengan berlakunya

ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6
Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.
Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik
Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.

Dalam Kode Etik Jurnalistik terkandung sejumlah asas seperti (1) asas demokratis
dimana berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, (2) asas profesionalitas
yang berarti wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis
maupun filosofinya, (3) asas moralitas, antara lain wartawan tidak menerima suap,
wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak diskriminasi SARA dan gender, tidak
menyebut identitas korban kesusilaan, dan lainnya, dan (4) asas supremasi hukum,

dimana wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum sehingga wartawan dituntut
untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.
Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini ditandatangani oleh 29 organisasi pers di
Jakarta pada 14 Maret 2006. Dewan Pers menetapkannya melalui Surat Keputusan
Nomor 03/SK-DP/III/2006 yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers
Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008. Ada 11 pasal dalam Kode Etik Jurnalistik dengan isi
lengkap :

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh
informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan
Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial,
keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol
oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika
profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,
dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani

tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai

karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi
itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing
pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal
yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi
pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain
yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh
disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama,
jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit,
cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,
kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain
yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau
pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak
ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Karena Kode Etik Jurnalistik dibuat dan disusun oleh komunitas wartawan, maka
sanksi yang diberikan berupa sanksi moral atau organisatorial, dengan sanksi terberat
adalah pemecatan dari organisasi media tempatnya bekerja. Memang sanksi ini terkesan
lebih ringan daripada sanksi yang diperoleh bila melakukan pelanggaran hukum, namun
idealnya di negara yang industri medianya lebih maju dan profesional, insan media lebih
takut kepada sanksi organisasi. Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap kode etik
profesi akan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai wartawan.
Diharapkan nantinya semua wartawan di Indonesia merupakan wartawan yang
berpredikat (1) profesional, artinya memiliki kompetensi dalam bidang jurnalistik,
independen dan bekerja sepenuhnya untuk publik, (2) beretika, artinya mengenal,
memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik, dan (3) berwawasan, artinya memiliki
pengetahuan umum dan pengetahuan khusus yang luas. Orang yang berwawasan tidak
mudah terbeli dan tergiur oleh iming-iming untuk kepentingan sesaat dan sesat baik dari
dalam maupun dari luar dirinya.

2. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Walaupun sudah memiliki sebuah kode etik bagi profesi wartawan, namun pada
prakteknya tak jarang wartawan atau institusi media yang tidak mengindahkan aturan
dan norma dalam kode etik jurnalistik. Pelanggaran dilakukan dalam berita-berita yang
ditayangkan di televisi, dimuat di media cetak, media online ataupun radio, contohnya :


Menerima amplop di kalangan wartawan masih menjadi kebiasaan, biasanya
pemberi dan penerima berdalih amplop yang diberikan tidak ditujukan untuk
mempengaruhi isi pemberitaan, namun hanya untuk menjaga hubungan baik.
Padahal logikanya, bila hubungan baik tercipta, bukan tidak mungkin sang wartawan
akan sungkan menulis pemberitaan yang mengkritisi narasumbernya tersebut.
Contoh :
Pemberian amplop kepada wartawan masih marak ditemukan di wilayah Jawa
Tengah. Bupati Pekalongan Amat Antono menyatakan bahwa amplop diberikan atas
nama pertemanan dan bukan sebagai suap. Amplop biasanya diberikan kepada
wartawan yang diundang meliput pada acara-acara Pemerintah Kabupaten
Pekalongan dan wartawan diminta mengisi daftar hadir. Dana yang digunakan oleh
pemerintah daerah ini berasal dari anggaran daerah bagian Humas dan Protokol. Hal
yang

sama

juga

terjadi

di

Kota

Tegal

dan

Kabupaten

Brebes.

(http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/03/078534312/ganjar-hapus-amplopwartawan-bupati-malah-cuek)
Praktek pemberian amplop bagi wartawan melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 6
yang berbunyi : “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap”. Pemberian fasilitas baik berupa uang atau barang dikhawatirkan



akan mempengaruhi indepedensi dan netralitas wartawan dalam menulis berita.
Masih banyak media yang memuat nama jelas dan foto atau gambar pelaku atau
korban kejahatan di bawah umur tanpa memburamkannya. Padahal sesuai dengan
asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus
dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku
maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.
Contoh :
Dalam kasus kecelakaan maut yang melibatkan putra musisi Ahmad Dhani, banyak
media yang menyebut nama lengkapnya yaitu Abdul Qodir Jaelani. Hanya sedikit
media yang konsisten menyebut inisial AQJ. Bahkan beberapa media menampilkan

wajah pelaku dengan jelas tanpa memburamkannya (http://www.kompasiana.com/
ombrill/perlindungan-anak-dalam-paket-berita-tv_55291a2c6ea8345a4d8b459f).
Tindakan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi
”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku

kejahatan”. Dalam tafsirannya, tidak hanya nama ataupun gambar, namun juga
identitas lain yang memungkinkan orang lain untuk melacaknya. Selanjutnya
menurut Kode Etik Junalistik, anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16
tahun dan belum menikah.

Aturan ini juga diperkuat dalam Standar Program Siaran (SPS), pasal 15 butir
3 yang menyebutkan, “Program siaran yang menampilkan anak dan/ atau remaja
dalam peristiwa/ penegakkan hukum wajib disamarkan wajah dan identitasnya ”.

Secara jelas Pasal 15 butir (3) menyebutkan, anak di bawah umur wajib disamarkan


identitasnya.
Masih banyak wartawan yang tidak paham mengenai „off the record’. Menurut Kode
Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the record.
Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau
dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Tradisi
jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini. Dengan kata lain, off the
record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta.

Contoh :
Seorang wartawan satu harian di Yogyakarta melakukan wawancara dengan
narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat, diungkapkan bahwa ada pungutan
tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp 5 juta - Rp25
juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record.
Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan.
Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan narasumber tersebut
kepada wartawan, yang akhirnya memilih jalur hukum untuk menuntut sang
wartawan.
Tindakan wartawan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 7 yang berbunyi
“Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan

embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan”. Bila wartawan sudah bertemu dengan narasumber yang menyatakan

keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan
off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab

wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari
segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya keterangan off the record harus
dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan
sesuatu yang off the record sepenuhnya menjadi tangung jawab pers yang


menyiarkannya.
Untuk mendapatkan berita yang bagus dan terdepan, tak jarang media juga memuat
narasumber atau data yang tidak benar. Padahal dalam pasal 4 Kode Etik Jurnalistik
disebutkan “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan
cabul”.
Contoh :
TV One dilaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers oleh
Mabes Polri karena melakukan rekayasa wawancara makelar kasus (markus) yang
diduga palsu. Dalam wawancara tersebut TV One menyiarkan wawancara dengan
orang yang wajahnya ditutupi topeng yang mengaku sebagai markus selama 12
tahun di lingkungan Mabes Polri. Polisi berhasil menyelidiki oknum markus tersebut
yang bernama Andris Ronaldi alias Andis, yang mengaku bersedia tampil sebagai
narasumber berdasarkan permintaan dari pihak pembawa acara dalam tayangan itu,
Indy Rahmawati, dengan imbalan Rp1,5 juta. Andis sebenarnya berprofesi sebagai
tenaga

lepas

pada

bidang

media

hiburan

(http://www.republika.co.id/

berita/breaking-news/hukum/10/05/05/114238-markus-palsu-tiga-karyawan-tv-onediperiksa).
Selain melanggar Kode Etik Jurnalistik, siaran itu melanggar Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 Ayat 5 huruf a, yang
menyebutkan isi siaran dilarang memfitnah, menghasut, dan atau bohong.
Pelanggaran terhadap aturan itu dapat dikenakan ancaman penjara paling lama lima


tahun atau denda Rp10 miliar.
Media-media di Indonesia saat ini tidak lagi mengedepankan azas independen dalam
pemberitaannya, hal ini tentu terkait dengan kepemilikan media. Yang paling
mencolok adalah adanya muatan politik untuk mendukung satu pihak dan
menjatuhkan pihak lainnya yang berlawanan politik dengan pemilik media. Hal ini
menyebabkan audiens tidak lagi bisa menentukan mana informasi yang ebnar-benar
bisa dipercaya. Cara-cara ini melanggar Kode Etik Junalistik pasal 1 yang berbunyi :

“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk” dimana independen berarti memberitakan

peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan,
dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers, sedangkan
berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Contoh :
Dalam Pemilu 2014 nampak jelas bahwa media massa menjadi alat propaganda
dalam mendukung atau menjatuhkan pihak lain yang berbeda kepentingan politik.
Secara jelas MetroTV memberikan dukungan pada pasangan calon Joko Widodo –
Jusuf Kalla dan TV One mendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Durasi dan arah pemberitaan sangat jelas menyatakan dukungan dan
keberpihakan. Padahal keduanya menggunakan frekuensi publik. Frekuensi publik
merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan
dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat


(http://nasional.tempo.co/read/news/2014/03/26/078565564/dewan-pers-

minta-bos-media-hormati-kode-etik).
Dalam pemberitaan, media juga seringkali tidak mengindahkan asas praduga tak
bersalah dalam memuat kasus-kasus hukum. Berita dan judul yang bombastis justru
menggiring pembaca atau audiens untuk menghakimi obyek pemberitaan menjadi
bersalah, padahal proses hukum belum dilakukan. Idealnya asas praduga tak
bersalah harus dijaga sampai ada kepastian hukum tetap.
Contoh :
Dalam kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang, jauh sebelum ditetapkan sebagai
tersangka, Angelina Sondakh sudah terlebih dahulu divonis oleh media sebagai
pihak yang bersalah. Bahkan ketika penyidik KPK belum menjadwalkan
pemanggilan untuk pemeriksaan kepada Angelina Sondakh, media sudah menulis
bahwa

Angelina

Sondakh

akan

segera

ditetapkan

menjadi

tersangka

(http://www.lensaindonesia.com/2011/10/15/angelina-sondakh-terancam-jaditersangka.html).
Hal ini melanggar pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi : Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga

tak bersalah”.

Pada dasarnya masih sangat banyak pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan
oleh media massa dalam kegiatan jurnalismenya. Bila disimpulkan pelanggaran yang
paling banyak berupa penggunaan sumber imajiner, memuat identitas foto pelaku dan
korban anak-anak (biasanya kasus asusila), kurang paham makna „off the record‟, tidak
emperhatikan kredibilitas narasumber, melanggar hak properti pribadi, memuat ilustrasi
sembarangan, wawancara fiktif, tidak memakai akal sehat (common sense), sumber
berita tidak jelas, tidak melayani hak jawab secara benar, membocorkan identitas
narasumber.

3. Peran Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perjalanan jurnalisme di Indonesia masih
sangat rentan dengan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, antara lain :
a. Faktor ketidaksengajaan

 Tingkat profesionalisme masih belum memadai :









Tingkat upaya menghindari ketidaktelitian belum memadai
Tidak melakukan pengecekan ulang.
Tidak memakai akal sehat.
Kemampuan meramu berita kurang memadai.
Kemalasan mencari bahan tulisan atau perbandingan.
Pemakaian data lama (out of date) yang tidak diperbarui.
Pemilihan atau pemakaian kata yang kurang tepat.

 Tekanan deadline sehingga tanpa sadar terjadi kelalaian.

 Pengetahuan dan pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik memang
masih terbatas.
b. Faktor kesengajaan

 Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi
sejak awal sudah ada niat yang tidak baik.

 Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode
Etik Jurnalistik dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik.

 Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau
pesaing sesama pers secara tidak wajar dan tidak sepatutnya sehingga
sengaja membuat berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.

 Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan
kriminalitas sehingga sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya
jurnalistik.

Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor ketidaksengajaan,
maka termasuk dalam pelanggaran kategori 2, artinya masih dimungkinkan adanya ruang
yang bersifat toleransi. Sehebat-hebatnya satu media pers, bukan tidak mungkin suatu
saat secara tidak sengaja atau tidak sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus
seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan kekeliruan atau kesalahannya, pers yang
bersangkutan segera memperbaiki diri dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik dengan
benar, bahkan kalau perlu dengan meminta maaf.
Sebaliknya, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam
pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian pelanggarnya
bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya setelah diberitahu atau
diperingatkan tentang kekeliruannya. Berbagai macam argumentasi yang tidak relevan
sering mereka kemukakan. Hanya setelah mendapat ancaman sanksi yang lebih keras
lagi, sang pelanggar dengan tepaksa mau mengikuti aturan yang berlaku.
Pengawasan terhadap pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh Dewan
pers. Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers memiliki fungsi :












Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain
Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Memberikan

pertimbangan

dan

mengupayakan

penyelesaian

pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan
Mendata perusahaan pers

Dewan Pers hanya sebatas memberikan peringatan dalam penegakkan Kode Etik
Jurnalistik. Dewan Pers tidak bisa memberikan sanksi kepada wartawan atau media
massa yang melakukan pelanggaran. Bila terkait dengan media massa penyiaran seperti
radio dan televisi maka yang berhak memberikan sanksi adalah Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) berupa teguran dan sanksi administratif. Dalam pelaksanaannya pun

Kode Etik Jurnalistik tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers.
Meskipun demikian terkadang teguran yang disampaikan oleh Dewan Pers atau
Komisi Penyiaran Indonesia tidak dihiraukan oleh media massa. Walau sudah mendapat
teguran, namun media massa tetap melakukan pelanggaran yang sama. Seperti halnya
dalam kasus keberpihakan media massa secara politik terhadap calon-calon tertentu
dalam Pemilu 2014 silam. KPI Pusat memberikan teguran kepada 10 stasiun TV swasta
karena melanggar Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Surat
Edaran KPI No. 101/K/KPI/01/14 tentang ketentuan butir surat kesepakatan bersama
tentang Kepatuhan pada Ketentuan Pelaksanaan Kampanye Pemilu Melalui Media
Penyiaran yang ditandatangani oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu,
KPI, dan Komisi Informasi Pusat. Langkah KPI Pusat menegur dan menjatuhkan sanksi
terhadap lembaga penyiaran swasta yang melakukan pelanggaran jelas merupakan
langkah yang positif dan konstruktif, namun sepanjang pelaksanaan Pemilu teguran ini
tetap dipandang sebelah mata.
Salah satu faktor yang mungkin membuat sulitnya kontrol atas media massa ini
adalah kepemilikan korporasi media, dimana satu pemilik bisa mempunyai beberapa
jenis media dari berbagai platform, misalnya Harry Tanoesoedibyo sebagai pemilik
MNC Group dibawah bendera PT Global Mediacom menguasai 40 persen media di tanah
air antara lain media televisi RCTI, Global TV, SindoTV (sekarang Inews), televisi
kabel, media radio Sindo Trijaya dan media online Okezone.com. Penguasaan besar atas
media ini seringkali membuat pengusaha atau politikus percaya diri dan tidak takut
terhadap teguran dari Dewan Pers atau KPI, apalagi keduanya hanya bisa memberikan
peringatan.

4. Upaya yang Bisa Dilakukan
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia hingga saat ini menjalankan tugasnya
untuk menjaga kualitas produk-produk jurnalisme dan penyiaran. Hal ini dilakukan
semata-mata untuk menjaga masyarakat Indonesia bisa mendapatkan informasi yang
benar, akurat dan beretika dan bertanggungjawab. Namun sayangnya memang dalam
pelaksanaannya seringkali teguran yang diberikan oleh Dewan Pers dan KPI tidak
diindahkan oleh media karena dianggap tidak akan memberikan sanksi yang berat.
Lemahnya posisi Dewan Pers dan KPI memunculkan ide bahwa kedua institusi ini
harus diperkuat dan diberdayakan dengan penambahan wewenang yang signifikan.

Dengan adanya tambahan wewenang maka Dewan Pers dan KPI tidak hanya
memberikan teguran, mengungkapkan keprihatinan, atau memberi rekomendasi pada
Kementerian Kominfo untuk pencabutan hak siar namun bisa memberikan sanksi berat
yang diharapkan bisa memberikan efek jera. Oleh karena itu, keberadaan Dewan Pers
dan KPI harus ditingkatkan tidak hanya sebagai “watchdog” melainkan sebagai
implementation agency yang memiliki kewenangan menghukum atau menjatuhkan

sanksi jika teguran atau aturannya tidak diimplementasikan atau tidak diindahkan.
Penambahan wewenang ini hendaknya segera dilakukan dan dimuat dalam aturan-aturan
yang sah di negara ini. Diharapkan dengan penambahan wewenang maka dua institusi ini
lebih punya taring dan posisinya lebih dihormati oleh media massa dan wartawan.
Selain penambahan wewenang, pembekalan pada wartawan-wartawan harus terus
dilakukan, mengenai apa kewajiban dan hak wartawan dalam melakukan tugas
jurnalismenya. Hal ini menjadi tanggungjawab organisasi wartawan dan media massa.
Melalui pemberkalan yang rutin dan terus menerus diharapkan wartawan paham
bagaimana menjadi insan pers yang berintegritas dan bertanggungjawab. Dengan
demikian kegiatan jurnalisme di tanah air bila dijalankan dengan lebih hati-hati sehingga
meminimalisir pelanggaran-pelanggaran Kode Etik Junalistik dan Undang-Undang Pers
ataupun Undang-Undang Penyiaran.

PENUTUP

Kode Etik Jurnalistik merupakan kode etik profesi wartawan yang menjadi panduan
wartawan secara etik dalam menjalankan pekerjaan jurnalismenya. Karena dibuat oleh
komunitas wartawan, maka sanksi yang diberikan kepada wartawan bila melanggar Kode
Etik Junalistik hanyalah sebatas sanksi organisatorial dengan hukuman terberat berupa
pemecatan dari medianya bekerja.
Dalam pelaksanaan di Indonesia ternyata masih marak ditemukan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dan media massa terhadap Kode Etik Jurnalistik,
seperti penggunaan sumber imajiner, memuat identitas foto pelaku dan korban anak-anak
(biasanya kasus asusila), kurang paham makna „off the record‟, tidak emperhatikan
kredibilitas narasumber, melanggar hak properti pribadi, memuat ilustrasi sembarangan,
wawancara fiktif, tidak memakai akal sehat (common sense), sumber berita tidak jelas, tidak
melayani hak jawab secara benar, membocorkan identitas narasumber. Pelanggaran ini
bahkan tidak hanya dilakukan wartawan secara individu, namun kerap ditemukan
pelanggaran secara institusi media.
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia menjadi dua institusi yang berperan
mengawasi jalannya Kode Etik Jurnalistik. Namun akibat lemahnya posisi dua lembaga ini,
maka yang diberikan kepada media massa atau wartawan yang melanggar Kode Etik
Jurnalistik hanyalah berupa teguran atau rekomendasi pada Kementerian Kominfo terkait hak
siar. Minimnya wewenang Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia membuat teguran
seringkali tidak diindahkan oleh media massa.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah perubahan substasial pada kewenangan Dewan Pers
dan KPI agar lebih memiliki taring dalam mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Kewenangan Dewan Pers dan KPI bisa ditambah sehingga tak hanya memberikan teguran
namun juga sanksi berat agar menimbulkan efek jera. Selain itu pembekalan wartawan
mengenai hak dan kewajibannya dalam menjalankan tugas jurnalismenya juga harus terus
dilakukan oleh media massa tempatnya bekerja dan organisasi wartawan. Bila kedua hal ini
bisa dilakukan, maka pers Indonesia benar-benar bisa menjalankan perannya sebagai pilar
keempat demokrasi dan memajukan Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Kode Etik Jurnalistik
Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
http://frekuensimilikpublik.org/content.php?id=1&title=Apa.Hak.Saya.atas.Penggunaan.Frek
uensi.oleh.Industri.TV akses 1 Juni 2015 pukul 14.35
http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86:pelanggaranpelanggaran-kode-etik-jurnalistik&catid=1:etika-media&Itemid=6 akses akses 1 Juni
2015 pukul 14.40
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/03/078534312/ganjar-hapus-amplop-wartawanbupati-malah-cuek akses 1 Juni 2015 pukul 13.45
http://www.kompasiana.com/ ombrill/perlindungan-anak-dalam-paket-beritatv_55291a2c6ea8345a4d8b459f akses 1 Juni 2015 pukul 13.25
http://www.republika.co.id/ berita/breaking-news/hukum/10/05/05/114238-markus-palsutiga-karyawan-tv-one-diperiksa akses 1 Juni 2015 pukul 14.02
http://www.lensaindonesia.com/2011/10/15/angelina-sondakh-terancam-jadi-tersangka.html
akses 1 Juni 2015 pukul 13.22
http://theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=14978&type=120#.VZYb9
0bZZul akses 1 Juni 2015 pukul 14.50