peran jejaring sosial dalam revolusi melati di tunisia

ISLAM DI TUNISIA
Oleh:

RIDWAN ROSDIAWAN

A. Gambaran Umum
Gerakan ekspansi Islam telah menjamah wilayah Tunisia sejak masa khalifah Umar
Ibn Khattab dan bertahan empat belas abad kemudian hingga kini. Fakta inilah yang
melatarbelakangi kuatnya pengaruh Islam dan Arab dalam struktur social dan cultural
masyarakat Tunisia. Beberapa referensi menyebutkan bahwa warga Muslim membentuk 9798% komposisi penduduk. Departemen Luar Negeri AS (US Department of State) bahkan
melaporkan jumlah warga Muslim mencapai lebih dari 99% dengan mayoritas Sunni, dan
1% sisanya terdiri dari Syi’ah, Baha’I, Yahudi dan Kristen.1
Demografi religious non-Muslim di Tunisia juga cukup beragam. Komunitas
Kristen, umumnya warga asing dan warga keturunan Eropa atau Arab, berpopulasi sekitar
25.000 dan tersebar di seluruh negeri. 22.000 diantaranya adalah pemeluk Roman catholics,
dimana sekitar 500 anggotanya berpartisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan. Kelompok
ini mempunyai 12 gereja, sembilan sekolah, beberapa perpustakaan, dan dua klinik. Sekitar
2.000 orang memeluk Kristen Protestan, termasuk beberapa ratus warga pribumi yang telah
berkonversi. Gereja Ortodoks Rusia memiliki jemaat sekitar 100 anggota dan memiliki
beberapa gereja di Tunisia dan Bizerte. Gereja Reformasi Perancis mempunyai sebuah
1


US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”, November 17, 2010, at http://
www.state.gov/g/drl/rls/irf/2010/148847.htm

gereja di Tunis, dengan jemaat diperkirakan 140 anggota yang umumnya warga asing.
Gereja Anglikan memiliki gereja di Tunis dengan beberapa ratus anggota yang juga
didominasi warga asing. Ada sekitar 50 jemaat Advent Hari Ketujuh. Gereja Ortodoks
Yunani memiliki 30 anggota yang diperkirakan tersebar di tiga gereja (di Tunisia, Sousse,
dan Djerba). Ada juga sekitar 50 jemaat Jehovah’s Witnesses, dimana separuh pemeluknya
adalah pribumi. Yahudi adalah agama ketiga terbesar dengan sekitar 1.600 anggota.
Sepertiga dari pemelk agama ini tinggal di sekitar ibukota. Dua pertiga lainnya tinggal di
pulau Djerba dan kota tetangganya, Zarzis, dimana komunitas Yahudi telah eksis selama
hampir 2.500 tahun.2 Agama Non-Muslim yang masih kentara keberadaannya hingga saat
ini adalah agama yang memang telah hadir dan dikembangkan oleh komunitas pemeluknya
sejak sebelum kemerdekaan Tunisia. Kehadiran agama baru serta pengembangannya relative
terhambat karena kebijakan pemerintah yang melarang aktifitas dakwah keagamaan
(proselytizing).
Meski homogenitas Arab Muslim mendominasi sosio-kultural, masyarakat Tunisia
sangatlah toleran dan inklusif khususnya terhadap komunitas minoritas. Konflik komunal
yang dilatarbelakangi motif religious maupun etnisitas jarang sekali terjadi. Memang pernah

ada beberapa kerusuhan sectarian yang mencuri perhatian internasional seperti pemboman
sinagog di Djerba pada tahun 2002 yang secara drastic mempengaruhi sector pariwisata
Tunisia.3 Tetapi intensitasnya tidak sebesar di negara-negara lain dan cepat mereda serta
berujung dengan menyatunya visi masyarakat Tunisia dalam membentuk sikap antiekstremisme. Fenomena inklusivitas ini tentunya sangat dilatarbelakangi oleh kultur wilayah

2

US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

3

Lihat misalnya, Abigail Hole (et.al), Tunisia: Country Guide, hal. 278

yang sepanjang sejarah telah menjadi kota metropolis dan melting-pot bagi budaya-budaya
dominan dunia, disamping tentunya peran pemerintah yang dengan sangat ketat mengontrol
stabilitas domestic.
Jatuh bangun dan pergantian dinasti-dinasti yang pernah menguasai wilayah Tunisia
juga sangat mempengaruhi pola aliran keberagamaan masyarakatnya. Madzhab Maliki
merupakan


aliran

yang

paling

banyak

dianut.

Peran

dinasti

Hafsidiyah

yang

mempromosikan madzhab ini sebagai aliran resmi negara menancapkan akarnya dalam
kultur religious masyarakat Tunisia. Selain itu, para fuqaha Malikiyah dengan dengan

pendekatan sufisme/asketisme pada abad-abad berikutnya juga mendapatkan antusiasme
sambutan masyarakat dan dukungan pemerintah.4 Meski tak sedominan Malikiyah, madzhab
Hanafiyah juga banyak dianut oleh masyarakat Tunisia. Peran Dinasti Abbasiyah dan
Dinasti Usmaniyah melalui para bey Husainiyah sangat besar dalam penyebaran madzhab
ini. Namun, pamor madzhab Hanafiyah merosot seiring dengan pudarnya charisma
kekuasaan bey Husainiyah dan Tunisia beralih menjadi negara republic. Di awal
kemerdekaan, afiliasi madzhab ini sangat menentukan proses kualifikasi seseorang dalam
menduduki jabatan public. Individual dengan latar belakang madzhab Malikiyah umumnya
lebih diutamakan. Terlepas dari rivalitasnya di ranah public, kedua madzhab di atas sangat
mempengaruhi visi para pionir negara Tunisia dalam membentuk pandangan keagamaan
mereka yang khususnya tampak dalam kebijakan-kebijakan seputar hak-hak perempuan.5
Selain kedua madzhab di atas, wilayah Tunisia juga pernah dikenal sebagai ‘basis’
aliran Khawarij. Aliran ini pernah mewarnai sejarah dinamika revolusi masyarakat Muslim
4

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition,
volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000), hal. 655
5

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, hal. 655.


Tunisia khususnya pada abad 8 – 10 M. Pulau Djerba pernah menjadi populasi khawarij
terbesar dengan pemeluk 60% dari keseluruhan penduduknya dan menempati 2/3 wilayah
tersebut. Tetapi kini kondisi tersebut cenderung menurun dan hanya tersisi sekitar
sepertiganya saja (35.000 pemeluk dari keseluruhan 110.000 penduduk). Bentuk alirannya
pun cenderung semakin moderat dan tampak membaur dengan aliran mainstream Sunni.
Mereka umumnya mengidentifikasikan diri sebagai al-Khawamis, sebagai upaya untuk
membedakan diri dari aliran Khawarij ekstrem seperti al-Azariqah atau al-Nukkariyah.
Aliran Syi’ah juga pernah berkembang khususnya pada masa Dinasti Fatimiyah, meski pada
perkembangan berikutnya terus merosot dan kini hanya menjadi minoritas di Tunisia.6
Pandangan para pendiri negara yang bersifat liberal dan secular memang menjadi
pukulan tersendiri bagi masyarakat Muslim di Tunisia khususnya dalam mengekspresikan
keberagamaan mereka di ruang publik. Tetapi, kultur religiusitas di akar rumput senantiasa
terjaga. Praktik-praktik keagamaan komunal masih tampak di kalangan masyarakat seperti
tertuang dalam bentuk-bentuk pengajian sufi atau acara-acara semisal syukuran.7 Kondisi ini
jelas menunjukkan sesuatu yang kontradiktif, dan selanjutnya mungkin bisa sedikit difahami
dalam bahasan hubungan antara Islam dan Negara berikut.

B. Islam dan Negara
Kultur Islam yang telah begitu lama menghiasi sejarah Tunisia dan mengakar dalam

cara pandang masyarakat tampaknya telah begitu matang dipertimbangkan oleh para pionir
pendiri republic untuk dijadikan sebagai salah satu dasar ideologi negara. Pembukaan
6
7

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, hal. 655

Untuk informasi seputar pernak-pernik kegiatan religio-kultural masyarakat Muslim Tunisia, lihat Nicholas S.
Hopkins, “Tunisia”, hal. 2256-2257.

Konstitusi secara eksplisit menyatakan bahwa negara meneruskan tradisi “berpegang teguh
pada ajaran Islam”, dan pasal pertama menyebutkan bahwa Islam adalah agama resmi
negara. Konstitusi juga menyaratkan presiden harus seorang Muslim. Teks-teks tersebut
mengisyaratkan afiliasi Islam dalam politik yang begitu kental. Dimensi praktis dari afiliasi
ini selanjutnya diatur oleh Konstitusi dengan bahasa bahwa “Negara melindungi kebabasan
beribadah sepanjang kegiatan itu tidak mengganggu ketertiban umum”.8 Di sinilah kemudian
realisasi pelaksanaan bentuk afiliasi Islam dan Negara tak jarang menghasilkan kebijakan
yang kontradiktif.
Konsekuensi dari integrasi Islam sebagai bagian negara menuntut Pemerintah
Tunisia untuk membuat garis-garis besar kebijakan ortodoksi Islam yang mengikat seluruh

pemeluknya yang notabene tidak seragam. Aksi pemerintah ini tampak misalnya dalam
penghapusan system peradilan Islam (Majalis al-Syar’i) pra kemerdekaan yang menerapkan
dualism Hanafiyah di bawah Syaikh al-Islam dan Malikiyah di bawah Basy Mufti9 kemudian
menyatukannya dalam lembaga Grand Mufti of the Republic.10 Patronase negara terhadap
Islam juga tampak dalam pembentukan Kementrian Agama yang meregulasi praktik ibadah
komunal di ruang public. Melalui kementrian ini, pemerintah mengontrol dan mensubsidi
mesjid serta memberi gaji tetap kepada para imam dan pengurusnya. Bentuk mekanisme
control ini tampak dalam pembatasan jam aktifitas mesjid yang hanya boleh buka sesaat
sebelum dan sesudah aktifitas ibadah wajib. Hanya para imam dan pengurus resmi yang
ditunjuk pemerintah lah yang diperbolehkan menjalankan organisasi aktifitas mesjid.
Materi-materi ceramah yang disampaikan dalam peribadatan juga dikontrol dengan ketat
8

Article 5 Tunisia Constitution.

9

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, hal. 655

10


US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

melalui proses penyeleksian yang dilakukan oleh cabang kementrian di pemerintah local
setempat.11 Dalam pelaksanaan ibadah haji, pemerintah pun menjadi sponsor sekaligus
menjadi supervisor. Pemerintah memberikan subsidi biaya berangkat haji bagi Muslim yang
melaksanakannya untuk pertamakali.12 Bentuk afiliasi islam dalam negara juga tampak
dalam hari-hari besar islam yang diadopsi negara seperti Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru
Hijriyah dan mauled Nabi Muhammad SAW.
Pandangan pemimpin negara yang liberal secular seringkali mempengaruhi
kebijakan pemerintah dalam regulasi yang menyangkut agama. Penghapusan poligami,
penghilangan hak unilateral suami dan pemberian kekuasaan pada istri dalam proses
perceraian, serta pemberian hak bagi wanita terhadap keseluruhan harta waris dalam kasus
tidak ada hak waris lain adalah diantara revolusi hukum Islam yang digagas pemerintahan
Bourguiba beberapa saat setelah kemerdekaan. Pemerintah juga menghapus sistem wakaf
dan mengembalikan kepemilikan tanah wakaf tersebut ke pemilik terdahulu atau menjadi
tanah negara bila tidak ada klaim dari pemiliknya. Dalam bidang pendidikan pun pemerintah
melakukan beberapa reformasi. Pendidikan agama memang menjadi kurikulum wajib di
tingkat pendidikan dasar, tetapi menjadi pilihan pada tingkatan selanjutnya. Independensi
aktifitas akademis Universitas Zaituna yang merupakan mercu suar pendidikan tinggi Islam

sedikit direduksi dengan mengafiliasikannya ke dalam system pendidikan nasional. Satu dari
empat fakultas di Universitas Zaituna, Fakultas ilmu keagamaan yang merupakan andalan
dalam mencetak para imam dan penceramah, dihapus. Mesjid Besar Universitas Zaituna

11

US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

12

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, hal. 655

yang dulunya menjadi pusat pengajaran madzhab Maliki dan Hanafi kini praktis hanya
berfungsi sebagai tempat ibadah saja.13
Kebijakan controversial pemerintah lainnya adalah seruan untuk tidak berpuasa pada
bulan Ramadan jika ibadah itu menghambat aktifitas dan kreatifitas warga dalam bekerja.
Kampanye ini disponsori oleh Bourguiba pada awal 60-an. Ia berdalih bahwa Tunisia sangat
membutuhkan etos kerja ekstra warga dalam membangun negara dan menjaga etos tersebut
adalah bagian dari Jihad.14 Ide ini jelas mendapat penolakan dari mayoritas warga, tetapi
tetap berbuah positif dalam bentuk toleransi dimana warga tidak saling menghakimi

terhadap kesalehan individu orang lain. Kebijakan kontroversial yang ditetapkan pada masa
Bourguiba dan kemudian berlanjut pada masa Ben Ali adalah larangan untuk
“berpenampilan sectarian” di kantor-kantor institusi resmi negara dan lembaga pendidikan
yang meliputi larangan memakai gamis, Hijab (jilbab) dan memelihara janggut. Pemerintah
beralasan bahwa disamping tidak ada kewajiban Syar’I dalam penggunaannya, penampilan
tersebut adalah tanda-tanda kaum ekstremisme yang menggunakan dalih agama bagi tujuan
politis.

Penghapusan

penampilan

sectarian

di

institusi-institusi

pemerintah


juga

dimaksudkan sebagai cerminan netralitas pegawai negeri. Pemerintah juga melakukan
pelarangan terhadap munculnya partai-partai yang berlandaskan agama. Dua alasan yang
dikemukakan pemerintah adalah: Pertama, Partai berbasis agama merupakan wadah
pembibitan ekstremisme. Kedua, mencegah timbulnya intoleransi, kebencian dan terrorisme
dari gerakan partai tersebut.15

13

R. Brunschvig, “Tunisia: Religious Life”, hal. 656

14

Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 223.

15

US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

Dilemma yang dihadapi pemerintah antara kewajiban mengemban amanat konstitusi
untuk berpegang teguh pada ajaran Islam dan untuk menjaganya tetap dalam koridor
ketertiban umum banyak berujung pada kebijakan yang tampak otoriter dan menekan
kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Banyak laporan-laporan pengaduan tercatat di
lembaga independent seputar keluhan masyarakat Muslim dalam mempraktekan
keyakinannya. Pemerintah dilaporkan pernah memberikan hukuman disiplin kepada imam
mesjid di beberapa daerah karena tidak mentaati kebijakan keagamaan yang digariskan.
Beberapa imam bahkan sampai dipecat karena memberikan materi khutbah Jum’at diluar
daftar materi yang ditetapkan pemerintah. Polisi juga sering memaksa wanita untuk
menanggalkan hijab yang dipakainya di tempat-tempat umum. Siswi berhijab juga sering
dilaporkan mendapatkan sanksi. Disamping dipaksa untuk menangggalkan hijabnya,
beberapa siswi ditolak untuk mengikuti ujian bahkan dalam beberapa kasus sampai ditahan
dan diinterogasi meski akhirnya dilepaskan. Muslim yang sering beribadah di mesjid pun tak
luput dari kecurigaan pemerintah. Sepanjang 2007-2010 polisi sering kali mengepung
mesjid dan menangkapi orang dengan janggut, berpakaian ‘Islami’, dan secara rutin
berjamaah di mesjid.16
Kontrol ketat pemerintah terhadap ekspresi keberagamaan rakyatnya khususnya yang
Muslim berkonsekuensi pada timbulnya perlawanan. Gerakan oposisi keagamaan yang
digagas kaum Muslim Tunisia terhadap kebijakan pemerintah, menurut John P. Entelis,
tertuangkan ke dalam tiga bentuk. Pertama, Non-politis dan tanpa kekerasan. Gerakan ini
menggagas ide-ide reformasi pemerintahan yang bersifat bottom-up melalui pendidikan,
kebudayaan dan aktivitas social. Kedua, Gerakan politik damai yang mengupayakan transisi
16

US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

pemerintahan melalui jalur politik- mendirikan parpol, mobilisasi dan partisipasi- dengan
agenda reformasi negara dan masyarakat. Ketiga,gerakan radikal yang memakai cara-cara
kekerasan untuk tujuan reformasi.17
Motor gerakan tipe pertama adalah kelompok Sufi. Banyak tarikat berkembang di
kalangan masyarakat dan mengadakan kegiatan komunal rutin seperti berzikir dan bentukbentuk pengajian lainnya. Topik-topik politis juga terkadang menghiasi pembicaraan mereka
di samping tentunya mengadakan kegiatan-kegiatan lain dalam bentuk bhakti social. Tokoh
di balik gerakan kedua adalah Partai An-Nahdhah pimpinan Syeik Rashid al-Ghannouchi.
Partai ini muncul di akhir tahun 70-an dan dinyatakan terlarang oleh pemerintahan
Bourguiba. Di awal pemerintahan Ben Ali, partai An-Nahdhah pernah diakui tetapi
kemudian kembali diberangus atas tuduhan kudeta pada tahun 1991. Pemerintahan Ben Ali
bahkan bertindak lebih ekstrem terhadap aktivis-aktivis partai ini dengan melakukan
penangkapan dan penahanan dan membuat Rashid al-Ghannouchi mencari suaka politik di
Inggris.18 Gerakan yang ketiga dipandang sebagai fenomena yang muncul kemudian.
Banyak pengamat menganalisa lahirnya gerakan ini sebagai akibat dari politik domestic
yang liberal dan repressif terhadap gerakan keagamaan dan sebagai efek wacana
internasional yang menimpa dunia Islam.19
Walaupun pemerintah menunjukkan aksi repressifnya, semangat keagamaan di
kalangan rakyat Tunisia tidaklah memudar. Jumlah orang yang berusaha menunjukkan
identitas ke-Muslim-annya melalui pemakaian gamis, hijab dan menumbuhkan janggut
17

John P. Entelis, “Political Islam in The Maghreb: Non-Violent Dimension”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam,
Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997), hal. 43-74
18

Lihat misalnya Thomas Fuller, “Next Question for Tunisia: The Role of Islam in Politics”, New York Times,
Februari 20, 2011
19

Jeffrey Fleisman, “Islam is on the Rise in Repressed Tunisia”, Los Angeles Times, November 30, 2007. Lihat
juga John P. Entelis, “Political Islam in The Maghreb: Non-Violent Dimension”.

semakin bertambah. Ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah setengah hati dalam
menerapkan kebijakannya.20 Dan ketika revolusi berhasil menumbangkan pemerintahan Ben
Ali, semangat keIslaman di ruang public pun semakin bergairah. Salah satu fenomena yang
mencolok adalah kembali ramainya mesjid oleh kegiatan-kegiatan keagamaan dan terbuka
tanpa batasan waktu setelah sebelumnya hanya diijinkan ‘beroperasi’ sesaat sebelum dan
sesudah ibadah wajib. Partai keIslaman juga diberi ruang bebas untuk berpartisipasi secara
luas dipanggung politik.21

20
21

US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”

Era Muslim, “Kebangkitan Gerakan Islam di Tunisia Pasca Ben Ali”, 26 Januari 2011 at
http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/kebangkitan-islam-di-tunisia-pasca-ben-ali.htm