Sukarno Sejarah Singkat Dari Awal Hingga (1)

Sukarno: Sejarah Singkat Dari Awal Hingga Jatuhnya Sang
Pemimpin Besar Revolusi
Oleh: Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia 1

Pembukaan
Sukarno, sosok paling fenomenal dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Seorang
proklamator; Sang pemimpin besar revolusi yang telah memperjuangkan bangsa ini menuju
kepada suatu kemerdekaan yang hakiki. Banyak orang telah menulis tentang Sukarno baik
dalam buku maupun bentuk tulisan lainnya. Sebagian menilainya positif dan sebagian lain
menilainya negatif. Semua penilaian ini tidak lepas dari pemikiran politik dan kenyataan
praktiknya.
Sejak dahulu orang yang terpandai pun tidak pernah bebas dari kehilangan serbuk
permata intan yang terlindas oleh kikirannya, begitu juga seorang jenius tak bisa
mengelakkan berbuat kekeliruan dari sekian tahun yang ditempuh dalam perjalanan
hidupnya. Demikian juga Sukarno, dalam perjuangannya sebagai manusia banyak berbuat
kesalahan, tapi sebagai pemimpin yang bercita-cita, dia telah banyak mencapai sukses.2
Sikap dan penilaian masyarakat terhadap Sukarno bermacam-macam. Namun
pendapat umum sepakat mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang tokoh pemersatu bangsa
ini. Sebagai salah seorang pemersatu, Sukarno telah menyumbangkan pemikiran dan tenaga
dalam pembentukan bangsa Indonesia sejak usia muda. Perannya yang sangat dominan itulah
yang kemudian membuatnya diangkat sebagai presiden pertama Republik Indonesia sehari

setelah di proklamasikannya kemerdekan. Sejak saat itu, Sukarno selalu menjadi sosok
sentral dalam percaturan politik di Indonesia hingga tahun 1966, saat dimana perkembangan
politik memaksanya untuk turun dari panggung kekuasaan sebagai presiden.

Tindakan Sukarno Sebelum Kemerdekaan
Sukarno, dilahirkan tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya seorang bangsawan
Jawa bernama Sukemi Sastrodihardjo dan Ibunya seorang bangsawan Bali bernama Idayu
Njoman Rai. Perpaduan darah dari kedua bangsawan ini nampaknya menumbuhkan pribadi
yang disegani, berwibawa, jiwa yang berkarakter dan watak cerdas pada diri Sukarno.
Pada masa pergerakan nasional kita telah mengenal beberapa kelompok organisasi
sosial maupun politik seperti: Boedi Utomo, Sarikat Islam, dsb, yang masing-masing
berjuang untuk tujuan yang sama yaitu melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Meskipun
cara yang ditempuh berbeda antara yang satu dengan yang lain. Namun hakikat gerakan tetap
1

Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dengan NIM: 13/349852/SP/25853.
Giovani Sitohang, ”Gaya Kepemimpinan Sukarno – Suharto”, (Jakarta: Pustaka Aksara Jakarta, 1979),
halaman 23.
2


1

merupakan suatu cerminan dari rasa cinta terhadap tanah air. Salah satu dari gerakan tersebut
adalah nasionalisme radikal (PNI) yang didirikan oleh Sukarno, dialah yang memberikan
warna pada gerakan tersebut dan dia pula yang menempatkan nasionalisme pada tempat yang
paling tinggi. Kecintaan pada bangsa dan tanah air merupakan fokus utama.
Bagi Sukarno, bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dia memandang semuanya sebagai “Ibu Indonesia”
yang memberikan seluruh isi alamnya untuk hidup kita semua. Itu sebabnya dia mengajak
kita untuk memperhambakan diri kepadanya.3 Penderitaan bangsa Indonesia dibawah
kolonialisme Belanda juga memberikan pengaruh terhadap warna nasionalisme yang
diyakininya. Nasionalisme yang diyakininya adalah berdasarkan menselijkheid.
“Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”,4 begitulah dia mengambil kalimat dari Mahatma
Gandhi, pemimpin pergerakan politik India.
Begitu pentingnya nasionalisme dalam perjalanan politik Sukarno membuat dia
menempatkan nasionalisme ketempat teratas dalam prinsip ideologi yang dikenal Pancasila,
yang dikemukakan pada saat perumusan dasar negara disidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Dengan kemampuannya meyakinkan orang lain membuat Pancasila ini diterima oleh seluruh
kalangan, mengalahkan paham-paham lain yang diajukan oleh rekan-rekannya seperti:
Moch.Yamin, Ki Bagus Hadi Kusumo, Mr. Soepomo, dan Lim. Dan dengan hal ini pula,

Sukarno dikenal sebagai pencipta dari Pancasila yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia;
Internasionalisme atau perikemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial dan
Ketuhanan Yang Berkebudayaan; yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.

Tindakan Sukarno Setelah Kemerdekaan
Sehari setelah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, PPKI segera menunjuk
Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Ini semua tidak lepas atas
kontribusi yang diberikannya kepada bangsa ini, sehingga bangsa ini telah sampai kepada
pintu gerbang kemerdekaannya. Selanjutnya, Sukarno yang telah mendapat legitimasi dan
wewenang bergerak untuk memimpin jalannya roda pemerintahan Indonesia.
Menurut analisa penulis, wewenang yang ada pada diri Sukarno merupakan
wewenang kharismastik,5 hal ini didasarkan pada kepercayaan anggota masyarakat pada
kesaktian (kewibawaan) dan kekuatan mistik sekalipun Sukarno juga memiliki unsur
wewenang rasional-legal6 yang didasarkan atas kepercayaan pada tatanan hukum rasional
(UUD 1945) yang melandasi kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Ternyata, Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya belumlah
sepenuhnya merdeka. Indonesia masih mendapatkan ancaman dari serdadu Belanda yang
3

Deliar Noer, “Pengantar ke Pemikiran Politik”, (Medan: Dwipa, 1963), halaman 104.

A.K. Pringgodigdo, S.H., “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), halaman 5657.
5
Budiarjo, Miriam, “Dasar-dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), halaman 64.
6
Ibid.
4

2

datang melakukan agresi militer sekaligus gencatan senjata. Walaupun didalam jiwa bangsa
Indonesia masih bergelora semangat juang “Sekali Merdeka tetap merdeka” dan “Merdeka
atau Mati”, namun akhirnya para pemimpin bangsa bersedia melakukan perundingan dengan
Belanda untuk menghindari jatuhnya korban. Terhitung terdapat tiga perjanjian antara
Indonesia dan Belanda. Setelah melalui pertumpahan darah dan perjuangan diplomatis, pada
tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui Kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat
Indonesia haruslah berbentuk serikat. NKRI yang diproklamasikan Sukarno pada tanggal 17
Agustus 1945 hanya dianggap sebagai negara bagian dari RIS. Akhirmya, pada tanggal 16
Desember 1949 diselenggarakan pemilihan presiden RIS di Yogyakarta. Sukarno terpilih
dalam pemilu tersebut dan dilantik keesokan harinya, sehingga untuk mengganti kekosongan
dalam jabatan Presiden Negara Republik Indonesia, diangkatlah Mr. Assat.

Bentuk negara serikat (RIS) nyatanya tidak hidup terlalu lama di bumi Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menganut bentuk negara kesatuan
walaupun konstitusinya masih menggunakan konstitusi RIS (UUDS 1950) dan sistem
pemerintahan masih berbentuk parlementer dimana para menteri (kabinet) bertanggung jawab
kepada parlemen. Jabatan presiden pun diambil alih lagi oleh Sukarno tetapi jabatan ini hanya
sebagai kepala negara saja. Untuk urusan kepala pemerintahan masih dipegang oleh perdana
menteri.
Walau sudah kembali kedalam bentuk negara kesatuan, terdapat ketidakpuasan
terhadap pemerintah pusat yang terjadi di beberapa daerah sehingga menimbulkan gerakan
separatis. Kemudian sering terjadinya pergantian kabinet yang jumlahnya mencapai tujuh
kali. Keadaan tersebut semakin dirancukan oleh berbagai keaadan seperti, rancunya
hubungan antara legislatif dan eksekutif dimana menurut pihak eksekutif, konstituante
sebagai pihak legislatif pada masa itu tidak mampu menyelesaikan tugasnya dalam
menghasilkan Undang-undang yang baru.
Presiden Sukarno yang saat itu hanya menjabat sebagai presiden konstitusional
dimana kedudukannya hanya sebagai simbol pemersatu bangsa tidak puas dengan
kedudukannya itu dan ingin ikut campur dalam pemerintahan. Menurut pengataman Sukarno,
demokrasi liberal yang dipegang Indonesia saat itu tidak mendorong Indonesia mendekati
tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya
pembangunan ekonomi sulit dimajukan. Sukarno ingin melihat bangsa Indonesia kembali

seperti pada awal-awal kemerdekaan dulu. Dengan dalih itu, akhirnya pada tanggal 5 Juli
1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit yang isinya membubarkan konstituante dan menyatakan
kembali ke UUD 1945. Dengan ini pula menandai awal berdirinya masa Demokrasi
Terpimpin di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang tidak didasarkan atas paham
liberalisme, sosialisme-nasional, fasisme, dan komunisme, tetapi suatu paham demokrasi
yang didasarkan atas keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang dicantumkan dalam
pembukaan UUD 1945, menuju pada satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan
makmur dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi.

3

Segala bentuk ataupun tindakan Sukarno dalam memimpin Indonesia pada saat
Demokrasi Terpimpin akan sangat terasa apabila kita melihatnya melalui pendekatan perilaku
(behavioral approach). Dalam pendekatan ini, Sukarno yang diangkat oleh MPRS sebagai
Pemimpin Besar Revolusi merupakan pusat dari seluruh aspek sistem sosial politik Indonesia.
Walaupun dalam perjalanannya, terdapat dua kekuatan besar lainnya yang berada dibelakang
Sukarno dalam sistem sosial politik Indonesia pada masa itu, yaitu: PKI dan Angkatan Darat.
Namun sangat disayangkan, pada masa ini terjadi banyak penyimpangan. Praktik dari
cita-cita Demokrasi Terpimpin yang luhur tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.

Sukarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP MPRS No.III Tahun 1963.
Hal ini telah menyalahi UUD 1945 mengenai pembatasan waktu jabatan presiden selama
lima tahun. Sukarno pun membubarkan konstituante (DPR) hasil dari pemilu pertama dan
digantikan oleh DPR-GR. DPR-GR ditonjolkan peranannya dalam membantu pemerintah
tetapi fungsi kontrolnya ditiadakan. Selanjutnya pimpinan DPR-GR diangkat sebagai
menteri. Dengan demikian, DPR-GR ditekankan fungsinya sebagai pembantu presiden
disamping fungsi utamanya sebagai wakil rakyat. Kemudian konsep trias politica seolah
hilang. Misal, presiden diberikan wewenang untuk ikut campur dalam bidang yudikatif
berdasarkan UU No. 19 Tahun 1964 dan dibidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata
Tertib Peraturan Presiden No. 14 Tahun 1960 ketika DPR-GR tidak mencapai kata mufakat.
Hal ini menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara eksekutif dan legislatif, keduanya
dirangkap oleh Presiden.

Jatuhnya Sang Pemimpin Besar Revolusi
Setiap orang berhak membenci dan memusuhi Sukarno. Sepertinya setiap orang
berhak mencintai dan menyanjungnya. Sebab timbulnya rasa benci adalah karena rasa cinta
yang dicurahkan itu berlebihan, tatkala sampai kepada titik kulminasinya dia menurun dan
menjelma menjadi kebencian. Mungkin perkataan ini merupakan suatu gambaran yang paling
benar, karena menurut catatan sejarah, Mahatma Gandhi yang dipuja seperti dewa di India
itupun dibunuh oleh pengikutnya yang fanatik7.

Pada masa ini, terdapat beberapa persitiwa besar seperti: Pembebasan Irian Barat,
dimana pemerintah Indonesia melalui konfrontasi militer berhasil merebut Irian Barat dari
Belanda. Ini adalah salah satu prestasi yang akhirnya melengkapi keutuhan wilayah NKRI.
Namun harus diakui bahwa pada masa ini, Sukarno terlalu mementingkan kepentingan politik
sehingga dia melupakan kepentingan lainnya seperti ekonomi. Akibatnya terjadi inflasi
secara besar-besaran dan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Kemudian peristiwa yang mengerikan hadir dari Pemberontakan G 30S/PKI. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kedekatan antara Sukarno dan PKI. Selanjutnya PKI
mempropagandakan sebagai partai revolusioner dan pahlawan anti imperialisme. Akan tetapi
PKI tidak segan untuk menghambat kemajuan Negara demi kepentingan partainya sendiri.
7

Giovani Sitohang, ”Gaya Kepemimpinan Sukarno – Suharto”, (Jakarta: Pustaka Aksara Jakarta, 1979),
halaman 32-33.

4

Tujuannya adalah mengkudeta Presiden dan menghancurkan pemerintahan Republik
Indonesia dengan menjadikannya sebagai Negara Komunis. Bagaikan malaikat menyambar
dari langit, Sukarno dikagetkan oleh Peristiwa G 30S/PKI. Panglima Angkatan Darat dan

Perwira Tinggi Angkatan Darat dibunuh secara kejam oleh G 30S/PKI. Ketidaktegasan
Sukarno dalam memberikan solusi politik yang ada menimbulkan aksi-aksi yang akhirnya
memojokkan kedudukannya sebagai Presiden. Dengan dipelopori pemuda dan rakyat, pada
tanggal 12 Januari 1966 disampaikanlah tuntutan-tuntutan kepada presiden yang dikenal
dengan TRITURA (Tri Tuntututan Rakyat) yang isinya: (1) Bubarkan PKI; (2) Bubarkan
Kabinet Dwikora dan bentuk Kabinet Ampera; (3) Turunkan Harga.
Tuntutan dan aksi-aksi dari rakyat tidak dapat lagi dibendung oleh kekuatan Sukarno.
Oleh karena itu, dia mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret atau supersemar yang isinya
adalah memberikan mandat kepada Suharto untuk bertindak menyelesaikan yang terjadi di
Indonesia saat itu atas nama presiden. Berbagai cara telah dilakukan seperti: pembubaran
PKI; Beberapa orang dari Kabinet Dwikora (anggota PKI) diamankan; Kemudian
penyempurnaan Kabinet Dwikora dengan menetapkan Suharto menjadi WAPERDAM
bidang HANKAM, dan A.H. Nasution hanya ditempatkan sebagai Wakil Panglima Nesat
KOGAM (Komando Ganyang Malaysia). Namun hal ini tetap tidak menentramkan aksi
rakyat. Malah rakyat meningkatkan tuntutannya melalui TRITURA yang baru, yaitu: (1)
Menurunkan tokoh orde lama Sukarno dengan pengikutnya; (2) Mewujudkan Stabilitas
Politik; (3) Mewujudkan Stabilitas Ekonomi.
Serangan terbukan kepada Sukarno dilakukan secara lebih berani. Pawai-pawai,
nyanyian dan berbagai media menyudutkan posisi Sukarno sebagai presiden. Seranganserangan dilancarkan secara bertubi-tubi mulai dari hal yang negatif dari kepemimpinannya
yang telah berlangsung selama 22 tahun menjadi Kepala Negara, sampai kepada masalahmasalah yang menyangkut kepada pribadinya sebagai laki-laki yakni dengan menyiarkan

keaktifan sex-nya terutama dengan isteri-isteri mudanya yang diberinya nafkah material
mewah.8 Sukarno dianggap telah menelantarkan kepentingan rakyat. Sukarno tidak dapat
mempertahankan diri dari berbagai macam serangan lawan-lawannya yang berusaha menutup
kuping rakyat untuk tidak mendengarkan ucapan pribadinya. Dengan adanya TAP MPRS No.
XXXIII/MPRS Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967, ditetapkan bahwa Sukarno dibebaskan
dari segala bentuk kekuasaan Kepala Negara yang disebut dalam UUD 1945. Hal ini
menandai jatuhnya Sang Pemimpin Besar Revolusi.

8

Ibid. halaman 43.

5

Penutup
“Siapa yang tidak mau mendengarkan suara akal sehat, akan dihukum
oleh akal sehat itu”. – John Newton. 9
Nampaknya kalimat tersebut layak ditujukan kepada Sukarno. Sukarno yang begitu
dipuja oleh negara sosialis dan disodorkan untuk terus menentang Amerika Serikat dan
Inggris. Politik luar negeri Indonesia yang non-blok terpaksa harus berpihak pada blok

sosialis. Pemimpin PKI melihat posisi Indonesia dibawah Sukarno semakin terdesak oleh
tekanan Amerika Serikat dan Inggris dengan dibentuknya Malaysia disepanjang perairan
sebelah Barat Indonesia. PKI mulai menyodorkan konsepsi dengan ancaman berupa “setuju
konsepsi PKI atau bantuan negara sosialis di stop”. Sukarno tidak dapat berbuat apa-apa
kecuali menuruti sekalipun bertentangan dengan hati nuraninya.
PKI yang menjadi salah satu kekuatan politik Sukarno berbelok arah menjadi sebuah
petaka politik bagi dirinya. Istilah “senjata makan tuan” sangat tepat untuk menggambarkan
keadaan saat itu. Karena peristiwa G 30S/PKI, rakyat membuat tuntutan yang dikenal
TRITURA yang kemudian menyudutkan posisinya sebagai presiden. Segala kehebatan,
kebanggan dan kejayaan yang melekat pada dirinya dan telah dibangun selama berpuluhpuluh tahun dalam dunia perpolitikan Indonesia seolah tiada berharga dimata rakyat pada saat
itu. Boleh jadi pidatonya yang diucapkan terakhir kali pada tanggal 17 Agustus 1966 yang
mengutip ucapan pujangga dan filsuf bernama Thomas Carlyle, “jangan sekali-kali engkau
meninggalkan sejarah perjuanganmu yang lampau agar kelak kau tidak tergelincir pada
perjuanganmu yang akan datang” menjadi pidato yang paling berkenang bagi dirinya. Bukan
karena kenangan yang indah, tetapi sebaliknya, sebagai alat pemukul bagi dirinya.

Daftar Pustaka
A.K. Pringgodigdo. 1967. “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”. Jakarta: Dian Rakyat.
Budiarjo, Miriam. 2008. “Dasar-dasar Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Deliar Noer. 1963. “Pengantar ke Pemikiran Politik”. Medan: Dwipa.
Sitohang, Giovani. 1979. “Gaya Kepemimpinan Sukarno-Suharto”. Jakarta: Pustaka Aksara
Jakarta.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1988. “Sukarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktik”. Jakarta: Rajawali.

9

Ibid. Halaman 38.

6