PENGELOLAAN PENYAKIT AKIBAT KERJA OCCUPA
PENGELOLAAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
OCCUPATIONAL NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA
OPERATOR CALL CENTER
Disusun oleh : Nusrat Numeiri (1506768791)
Pembimbing : DR. Dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp. Ok
Magister Kedokteran Kerja
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Universitas Indonesia
2015
Daftar isi
Bab I : Pendahuluan ……...…………………………………………………………….
Bab II : Tinjauan Kasus ………………………………………………………………….
Bab III : Tinjauan Pustaka .................................………………………………….……..
Bab IV : Pembahasan….......................…………………………………………………..
Bab V : Kesimpulan dan Saran …....…………………………………………….………
Daftar Pustaka …......................………………………………………………………….
[Type text]
Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Setiap aktifitas manusia disadari atau tidak, dapat menjadi sumber bising. Seiring
perkembangan zaman manusia pun membutuhkan industri untuk memenuhi kenutuhan
hidupnya. Namun kebanyakan aktivitas dalam suatu industri terutama proses produksi, dapat
menimbulkan kebisingan yang dapat mengganggu pekerja maupun masyarakat sekitar.
Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4
negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya
yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6%
tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat
di Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang
dilaksanakan di 8 Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan
tenggorokan (THT). Angka prevalensi tersebut sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%,
gangguan pendengaran 16,8% dan ketulian 0,4%.
The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memperkirakan lebih dari
7,9 juta pekerja di amerika terpapar di tempat kerja oleh kebisingan. Industri yang terutama
membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan, pembuatan terowongan,
penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat (pencetakan besi, proses penempaan,
dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang kuat (pesawat terbang,
truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesin-mesin jet,
pekerja call center, pekerjaan yang behubungan dengan audio di televisi maupun radio. Pada
umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun
pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan
lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak
diketahui.
Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua
suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau
alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran)
maupun kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas,
frekuensi, dan pola waktu.
Bahaya bising ini sering ditemukan di tempat kerja dan dapat dicegah maka dokter
perusahaan memiliki peran yang cukup penting untuk mendiagnosa penyakit akibat terpapar
kebisingan ini. Diagnosa dini dapat mencegah progresifitas penyakit dan melindungi pekerja
dari kecacatan.
I.2. Perumusan Masalah
Apakah keluhan pada pekerja yang bekerja sebagai salah satu operator call center
dapat dimasukkan kedalam kategori penyakit akibat kerja, diperberat oleh pekerjaan, atau
bukan penyakit akibat kerja?
I.3. Tujuan
1. Mengetaui dan memahami tatacara untuk menegakkan Diagnosis Okupasi
2. Diketahui dan dipahami factor resiko yang dapat mengakibatkan penyakit akibat
kerja, dan atau diperberat akibat pekerjaan pada operator call center
3. Melakukan tindakan pencegahan terhadap masalah kesehatan operator call center
4. Diketahui
dan
dipahami
definisi,
klasifikasi,
etiologi,
patogenesis,
penatalaksanaan Noise Induced Hearing Loss pada operator call center
[Type text]
Page 3
dan
BAB II
TINJAUAN KASUS
II. I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama
: Tn. R
Umur
: 26 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jakarta
Agama
: Katolik
Pekerjaan
: Operator KP
Pendidikan
: D3
Status Perkawinan
: Belum menikah
Tanggal Kunjungan
: 1 Juni 2015
II. 2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Penurunan pendengaran sejak 1 tahun terakhir
Keluhan Tambahan
: Terkadang telinga berdenging
Riwayat Penyakit
:
Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun sejak 1 tahun terakhir ini,
terutama saat berkomunikasi dengan teman-temannya. Kesulitan dialami ketika
mendengar suara percakapan yang pelan. Keluhan disertai rasa tidak nyaman di telinga
dan berdenging yang hilang timbul, selama 5-10 menit.
Pasien bekerja di salah satu kantor pemerintah sebagai operator call center selama 2
tahun 1 bulan. Ini adalah pekerjaan pertamanya. Diluar pekerjaannya sebagai operator,
pasien tidak menggunakan headset untuk mendengarkan musik, telepon, dugem atau
terkena paparan bising lainnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
:
Tidak pernah mengalami penyakit pada kedua telinga
Tidak pernah mengalami cedera kepala
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :
Tidak ada riwayat dari anggota keluarga yang mengalami penyakit atau gangguan
pendengaran
II.3. ANAMNESIS OKUPASI
Riwayat Pekerjaan Pasien
Bahan/material yg
digunakan
Jenis Pekerjaan
Operator Call Center
-Telepon yang
disambungkan dengan
headset dan microphone
-komupter
Tempat Kerja
Meja Kubikel
Masa Kerja
2 tahun 1 bulan
Uraian tugas / pekerjaan
-
Pasien tinggal dilingkungan perumahan yang jauh dari kebisingan. Pasien berangkat
kerja dari tempat tinggal nya ke kantor menggunakan motor pribadi, menempuh
-
perjalanan selama 1 jam
Pasien bekerja selama 4 jam sebagai operator call center. Jadwal operasional call
center berlangsung dari jam 8 pagi sampai dengan jam4 sore, dengan 1 jam istirahat.
-
jadawal operator di atur dengan sistem shift.
Diluar jam kerja sebagai operator, pasien mengerjakan pekerjaan kantor di komputer.
Saat menjadi operator pasien menggunakna fasilitas telepon yang disambungkan
dengan headset dan microphone, dan komputer.
[Type text]
Page 5
Meja kubikel sebagai
operator call center
Menerima setiap
telpon yang masuk
selama 4 jam
Istirahat selama 1
jam
Mengerjakan
pekerjaan kantor di
depan komupter
Bahaya Potensial
Gangguan
Bahaya Potensial
Urutan
Kegiatan
Perjalanan
Fisika
Kimi
a
Biologi
Ergonomi
Psikososi
al
kesehatan
yang
Resiko
Kecelaka
an Kerja
Posisi
mungkin
ISPA
Kecelakaa
matahari,
duduk saat
Dehidrasi
n lalu
Vibrasi
berkendara
Neuropati
lintas
Panas
Debu
saat
perifer
perjalanan
Meja
Debu
Kubikel
Posisi
LBP
duduk
Rhinitis
alergi
Istirahat
Panas
Bakteri
Keracunan
(jika
makanan
diluar)
Sebagai
Radiasi
operator
komputer,
Monoton
Gangguan
SNHL
pendengaran
suara dari
telepon
(bising)
Hubungan Pekerjaan dengan keluhan yang dialami (Gejala?penyakit)
Gejala penurunan pendengaran di duga merupakan akibat dari kerja yang disebabkan oleh
pajanan saat menerima telpon terus menerus selama 4 jam.
Body discomfort Map
[Type text]
Page 7
Kesimpulan : tidak ada kesemutan, baal, pegal-pegal, dan nyeri
PEMERIKSAAN BRIEF SURVEY
Kriteria
Total
Kiri
Kanan
Tangan & Pergelangan
2
2
Tungkai
2
2
II.4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
: Baik
2. Tanda vital
Tekanan Darah
: 120/70 mmHg
Frekuensi Napas
:19 x/menit
Frekuensi Nadi
: 71 x/menit
Suhu
: 36,4 oC
3. Keadaan gizi
Berat Badan : 64 kg
Kesan
: cukup (ideal)
Tinggi Badan : 161 cm
BMI
: 24.69 kg/m2
Kelenjar Limfe
Leher
: dbn
Axilla
: dbn
Groin
: dbn
Inguinal
: dbn
4. Mata
Kanan
Kiri
Pupil
Φ 3 mm
Φ 3 mm
Refleks cahaya
+
+
Sklera
Tidak ikterik
Tidak ikterik
Conjunctiva
Tidak pucat
Tidak pucat
Bola mata
Baik
Baik
Visus
6 / 7,5
6 / 7,5
Persepsi warna
Baik
Baik
Binocular vision
Baik
Baik
5. Telinga
Kanan
Kiri
Daun telinga
Baik
Baik
Liang telinga
Baik
Baik
Membran timpani
Baik
Baik
Mastoid
Baik
Baik
Test berbisik
Tidak baik
Tidak baik
6. A. Hidung
B. Gigi / Gusi
Septum nasi : Baik
87 6 5 4 3 2 1
1 2 3 4 567 8
Mukosa
: Baik
87 D 5 4 3 2 1
1 2 3 4 F 678
Penciuman
: Baik
7. A. Tenggorokan
B. Leher
Pharing
: Baik
Kelenjar tiroid : Tidak
membesar
Nasopharing : Baik
JVP
:
Laring
: Baik
Lain-lain
:Tonsil
: T1 / T1
8. Thorax
Inspeksi
: Simetris
Palpasi
: Stem Fremitus Kiri = Kanan
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
Paru
: vesikuler, rh -/-, wh -/Jantung
: BJ I & II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
9. Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
: Hepar lien tak teraba, massa (-)
Perkusi
: Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Hernia
: Tidak ada
10. Genitourinary
: Tidak diperiksa
11. Anorectal
: Tidak diperiksa
[Type text]
Page 9
12. Ekstremitas & muscular system
Kanan
Tangan:
Otot
Baik
Kekuatan
5555
Tulang
Baik
Sensoris
Baik
Kaki
:
Otot
Kekuatan
Tulang
Sensoris
Baik
5555
Baik
Baik
Kiri
Baik
5555
Baik
Baik
Baik
5555
Baik
Baik
13. Reflex Fisiologi
:+/+
Reflex Patologis
:-/14. Kulit
: edema -/-, tidak pucat, turgor baik
15. Status lokalis
Regio Auricle Dextra dan Sinistra
16. Resume kelainan yang didapat
Hearing loss auricle dextra dan sinistra
II.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri 2015
PRINT AUDIOMETRI 2014 & 2015 u/ banding!!!!
2. Audiometri 2014 (sebagai perbandingan)
[Type text]
Page 11
3. Tympanomteri
FOTO COPY TIMPANOMETRI & TEMPEL !!!
II.6. PEMERIKSAAN BODY MAP
II.7. PEMERIKSAAN BRIEF SURVEY
Total
Kriteria
Kiri
Kanan
Tangan & Pergelangan
2
2
Tungkai
2
2
II.8. DIAGNOSIS KERJA
Sensorineural hearing loss ringan bilateral
II.9. DIAGNOSIS OKUPASI
Noise induced hearing loss ringan akibat pajanan bising telepon
II.10. KATEGORI KESEHATAN
Kemampuan fisik terbatas untuk pekerjaan tertentu
II.11. PROGNOSA
1. ad. Vitam
ad. Sanasionam
ad. Fungsionam
[Type text]
: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad malam
Page 13
2. Okupasi
: dubia ad malam
II.12. PERMASALAHAN PASIEN DAN RENCANA PENATALAKSAAN
No
Jenis
Permasalahan
1.
Occupational
noise induced
hearing loss
Rencana Tindakan (Materi
& Cara)
R. Terapi : Konsul Sp.THT
R. Edukasi :
- Menjelasan mengenai
NIHL
- Menjelasan mengenai
faktor penyebab dari
pekerjaan yang dapat
menimbulkan NIHL
- Menjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan
berkala
- Menjelasan untuk tidak
memakai headset diluar
jam operasional sebagai
operator
- Mengusulkan pengaturan
shift dan jam kerja yang
lebih baik
Target Waktu
& Evaluasi
Keterangan
1 tahun sekali
Pemeriksaan
audiometric 1 tahun
sekali untuk melihat
perkembangan
pendengaran
Koordinasi dengan
managemen
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1.Definisi
Noise induced hearing loss atau Tuli Akibat Bising (TAB) adalah tuli sensorineural
yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Gangguan pendengaran ini pada awalnya tidak disadari, karena belum
mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea
dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat
parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja,
kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut
dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima akan sebanding dengan
kerusakan yang didapat.
III.2.Klasifikasi
III.2.1 Gangguan pendengaran berdasarkan range ambang dengar terbagi atas :
1. Gangguan Pendengaran Derajat Ringan
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 26 dB HL s/d 40 dB HL. Orang dengan
gangguan pendengaran derajat ringan biasanya mengalami kesulitan mendengar dan
memahami bunyi dan suara percakapan yang pelan.
[Type text]
Page 15
Penggunaan alat bantu dengar sangat dianjurkan ketika gangguan pendengaran derajat
ringan tidak bisa ditangani secara medis. Saat ini telah tersedia berbagai pilihan model
alat bantu dengar mulai dari model dibelakang telinga sampai model didalam telinga
(hampir tidak terlihat ketika dipakai). Bahkan saat ini hadir model alat bantu dengar
baru dengan system “open ear” yang cocok untuk digunakan pada kasus gangguan
pendengaran ringan dan sedang pada frekuensi –frekuensi tinggi ( > frekuensi 1000
Hz)
2. Gangguan Pendengaran Derajat Sedang
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 41 dB HL s/d 70 dB HL. Orang yang
mengalami kasus gangguan pendengaran derajat sedang biasanya sulit mengikuti
percakapan khususnya pada lingkungan suara yang bising.
Orang dengan gangguan pendengaran sedang seringkali menganggap lawan bicaranya
berbicara tidak jelas atau seperti bergumam, hal itu disebabkan karena kondisi
gangguan pendengaran mereka membuat mereka tidak dapat mendengar suara
percakapan normal dengan jelas.
Bahkan pada lingkungan suara yang cukup tenang sekalipun, orang yang mengalami
gangguan pendengaran derajat sedang, merasa kesulitan untuk mendengarkan :
-
Suara percakapan pada saat mendengarkan pembicaraan dalam kelompok (lebih
dari 1 orang lawan bicara)
-
Suara dari belakang
-
Suara yang pelan
Dan biasanya mereka sering membaca gerak bibir ataupun ekspresi wajah lawan
bicaranya untuk dapat menebak maksud suara percakapan yang tidak dapat mereka
dengar, walaupun begitu mereka tetap merasa tidak memiliki masalah pendengaran.
Penggunaan alat bantu dengar juga sangat direkomendasikan jika gangguan
pendengaran derajat sedang juga tidak dapat ditangani secara medis. Tersedia
berbagai pilihan model alat bantu dengar yang cocok untuk kasus ini
3. Gangguan Pendengaran Derajat Berat
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 71 dB HL s/d 90 dB HL. Orang dengan
gangguan pendengaran derajat berat tidak dapat mendengarkan suara yang pelan
maupun sedang, suara kicau burung ataupun suara percakapan normal. Mereka
meminta lawan bicara untuk berbicara dengan suara yang sangat keras agar mereka
dapat mendengar percakapan dan hal yang cukup dilematis, pada saat volume suara
dikeraskan suara/kata-kata menjadi terdengar tidak jelas (distorsi)
4. Gangguan Pendengaran Derajat Sangat Berat
Ambang dengar hantaran udara > 90 dB HL. Orang dengan gangguan pendengaran
derajat sangat berat juga sering disebut dengan “tuli”. Biasanya mereka hanya dapat
mendengar bunyi yang sangat keras seperti (suara petir, bantingan pintu, mesin
pesawat,dsb)
Pada hampir disemua kasus gangguan pendengaran derajat berat dan sangat berat,
pengguanaan alat bantu dengar ataupun cochlear implant sangat dianjurkan untuk
membantu mereka agar dapat mendengar lebih baik.
III.2.2 Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori
yaitu:
1. NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami
berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “ notch “ yang
curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal
terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga
NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat
kembali normal.
2. NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )
[Type text]
Page 17
Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat
suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau kehilangan
pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising industri. (15)
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja
dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada : (15)
1. Tingkat suara bising
2. Kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat
dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,
tetapi
apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz )
keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk
mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke
frekwensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara
yang sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah
beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi.
Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat
III.3. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan,
frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan individu, jenis kelamin,
usia dan kelainan di telinga tengah. Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti
arsen dan quinine) dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea.
III.4. PATOGENESIS
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut.
Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya
degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-
sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan
hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi
intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan
semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga
dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.
Gambar Anatomi Telinga Dalam
III.5. GAMBARAN KLINIS
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,
seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian
biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya
dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss)
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss).
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan
[Type text]
Page 19
ambang dengar menetap (permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons
kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan
ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan
ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar
akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang
dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap
akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti,
sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan, tidak
dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-mula
terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi
pada frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000,
4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.
III.6. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik
untuk menyingkirkan penyebab lain seperti cerumen plaque, infeksi telinga ataupun rupture
membrane timpani, otoskopi dan audiometric nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi antara 3000-6000 Hz, dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik.
III.7. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet).
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena
pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar
dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah
mengalami tuli
total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea
(cochlear implant).
Nilai Ambang Batas Kebisingan :
Waktu Pemaparan per hari
8
4
2
1
Jam
30
15
7.5
3.75
1.88
0.94
Menit
Intensitas kebisingan
dalam dBA
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
28.12
Detik
115
14.06
118
7.03
121
3.52
124
1.76
127
0.88
130
0.44
133
0.22
136
0.11
139
catatan : Tidak boleh terpajan kebisingan > 140 dB walau sesaat.
Table. Batas paparan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menaker 1999
[Type text]
Page 21
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Dasar Diagnosis Klinis
Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun sejak 1 tahun terakhir ini,
terutama saat berkomunikasi dengan teman-temannya. Kesulitan dialami ketika
mendengar suara percakapan yang pelan. Keluhan disertai rasa tidak nyaman di telinga
dan berdenging yang hilang timbul, selama 5-10 menit.
Pasien bekerja di salah satu kantor pemerintah sebagai operator call center selama
2 tahun 1 bulan. Ini adalah pekerjaan pertamanya. Diluar pekerjaannya sebagai
operator, pasien tidak menggunakan headset untuk mendengarkan musik, telepon,
dugem atau terkena paparan bising lainnya.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Dari
Audiometri ditemukan hasil Gangguan pendengaran 33.75 dB pada kedua telinga.
Berdasarkan
seluruh
data-data
ini,
pasien
dinyatakan
bahwa
diagnosis klinis pasien adalah Sensorineural hearing loss ringan bilateral.
IV.2. Dasar Diagnosis Okupasi
Diagnosis okupasi ditegakkan melalui tujuh langkah diagnosis,
yaitu ;
1. Menegakkan diagnosis klinis
Diagnosis klinis pada pasien ini telah ditegakkan yaitu
Sensorineural Hearing Loss, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
Tympanometri.
2. Menentukan pajanan
penunjang
berupa
Audiometri
dan
Pajanan yang dialami pasien adalah pajanan fisika, sebagai
berikut :
1. Bising (suara dari telepon)
3. Menentukan hubungan penyakit dengan pajanan yang
dialami
Menurut
Buchari,
2008
dalam
bidang
kesehatan
kerja,
kebisingan diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan
pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum
pendengaran), maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan
pola waktu.
4. Menentukan signifikansi jumlah pajanan atas penyakit
yang dideritanya
Pasien tersebut terpajan bising dari dering telepon terus
menerus selama 4 jam, dan suara dari penelpon melalui headset.
Hal ini dilakukan setiap hari secara intens, dengan pola waktu
selama 4 jam perhari.
5. Menilai peran faktor individu
Tidak ditemukan faktor individu yang menyebabkan terjadinya
penurunan pendengaran, dan di dalam keluarga pasien tidak ada
riwayat adanya penurunan pendengaran.
6. Menilai peran factor lain selain pekerjaan
Saat tidak bekerja, pasien tidak melakukan aktifitas yang
terpapar kebisingan.
[Type text]
Page 23
7. Memutuskan
apakah
penyakit
yang
diderita
pasien
Penyakit Akibat Kerja (PAK) atau bukan
Dari keenam langkah penegakan diagnosis PAK sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Penyakit Akibat Kerja
Noise Induced Hearing Loss. Hal ini didukung oleh anamnesa=is,
pemeriksaan fisik, Audiometri, serta Tympanometri. Dan adanya
audiometri tahun sebelumnya yang menunjukkan hasil normal
IV.3.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit dalam hubungan dengan kerja meliputi
No
Jenis
.
Permasalahan
1
Ocupational noise
induced hearing loss
Rencana tindakan
Target waktu
(materi&cara)
&Evaluasi
R. Terapi : konsul Spesialis THT
R. Edukasi :
- Menjelasan mengenai NIHL
- Menjelasan mengenai faktor
penyebab dari pekerjaan yang
dapat menimbulkan NIHL
- Menjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan berkala
- Menjelasan untuk tidak memakai
headset diluar jam operasional
sebagai operator
- Mengusulkan pengaturan shift dan
jam kerja yang lebih baik
1 tahun sekali
Keterangan
Pemeriksaan
audiometric 1
tahun sekali
untuk melihat
perkembangan
pendengaran
Koordinasi
dengan
managemen
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
:
1. Diagnosis okupasi ditegakkan melalui tujuh langkah diagnosis.
2. Gangguan Pendengaran yang dialami akibat kerja
3. Penyakit yang disebabkan oleh pemaparan bising berkaitan dengan faktor
intensitas, frekuensi, dan pola waktu
4. Penatalaksanaan diagnosis okupasi adalah dengan penatalaksanaan diagnosis klinis
dan penatalaksaan okupasi
5. Penatalaksanaan okupasi dengan melakukan intervensi pada lingkungan kerja
V.2.Saran
:
1. Pekerja harus mengerti dan memahami resiko berbahaya pada organ pendengaran
2. Pekerja memahami pentingnya pemeriksaa berkala untuk mencegah keparahan lebih
lanjut
[Type text]
Page 25
Daftar Pustaka
1. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor Soepardi, E,
et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
2. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di
Asia
Tenggara
Dengan
Prevalensi
Ketulian
4,6%.
Available
from:
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
3. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
4.
Hong OS, Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among male
airport workers in Korea. Available from: ht
5. tp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?
ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed
_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfro
m=pubmed.
6. Holmes G, Singh BR. Theodore L, Handbook of Environmental Management and Technology.
John Wiley & Sons inc. New York, 1993:415-426
7. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
[Type text]
Page 27
OCCUPATIONAL NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA
OPERATOR CALL CENTER
Disusun oleh : Nusrat Numeiri (1506768791)
Pembimbing : DR. Dr. Dewi S. Soemarko, MS, Sp. Ok
Magister Kedokteran Kerja
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Universitas Indonesia
2015
Daftar isi
Bab I : Pendahuluan ……...…………………………………………………………….
Bab II : Tinjauan Kasus ………………………………………………………………….
Bab III : Tinjauan Pustaka .................................………………………………….……..
Bab IV : Pembahasan….......................…………………………………………………..
Bab V : Kesimpulan dan Saran …....…………………………………………….………
Daftar Pustaka …......................………………………………………………………….
[Type text]
Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Setiap aktifitas manusia disadari atau tidak, dapat menjadi sumber bising. Seiring
perkembangan zaman manusia pun membutuhkan industri untuk memenuhi kenutuhan
hidupnya. Namun kebanyakan aktivitas dalam suatu industri terutama proses produksi, dapat
menimbulkan kebisingan yang dapat mengganggu pekerja maupun masyarakat sekitar.
Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4
negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya
yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6%
tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat
di Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang
dilaksanakan di 8 Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan
tenggorokan (THT). Angka prevalensi tersebut sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%,
gangguan pendengaran 16,8% dan ketulian 0,4%.
The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memperkirakan lebih dari
7,9 juta pekerja di amerika terpapar di tempat kerja oleh kebisingan. Industri yang terutama
membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan, pembuatan terowongan,
penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat (pencetakan besi, proses penempaan,
dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang kuat (pesawat terbang,
truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesin-mesin jet,
pekerja call center, pekerjaan yang behubungan dengan audio di televisi maupun radio. Pada
umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun
pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan
lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak
diketahui.
Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua
suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau
alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Sementara dalam bidang kesehatan kerja, kebisingan diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran)
maupun kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas,
frekuensi, dan pola waktu.
Bahaya bising ini sering ditemukan di tempat kerja dan dapat dicegah maka dokter
perusahaan memiliki peran yang cukup penting untuk mendiagnosa penyakit akibat terpapar
kebisingan ini. Diagnosa dini dapat mencegah progresifitas penyakit dan melindungi pekerja
dari kecacatan.
I.2. Perumusan Masalah
Apakah keluhan pada pekerja yang bekerja sebagai salah satu operator call center
dapat dimasukkan kedalam kategori penyakit akibat kerja, diperberat oleh pekerjaan, atau
bukan penyakit akibat kerja?
I.3. Tujuan
1. Mengetaui dan memahami tatacara untuk menegakkan Diagnosis Okupasi
2. Diketahui dan dipahami factor resiko yang dapat mengakibatkan penyakit akibat
kerja, dan atau diperberat akibat pekerjaan pada operator call center
3. Melakukan tindakan pencegahan terhadap masalah kesehatan operator call center
4. Diketahui
dan
dipahami
definisi,
klasifikasi,
etiologi,
patogenesis,
penatalaksanaan Noise Induced Hearing Loss pada operator call center
[Type text]
Page 3
dan
BAB II
TINJAUAN KASUS
II. I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama
: Tn. R
Umur
: 26 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jakarta
Agama
: Katolik
Pekerjaan
: Operator KP
Pendidikan
: D3
Status Perkawinan
: Belum menikah
Tanggal Kunjungan
: 1 Juni 2015
II. 2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Penurunan pendengaran sejak 1 tahun terakhir
Keluhan Tambahan
: Terkadang telinga berdenging
Riwayat Penyakit
:
Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun sejak 1 tahun terakhir ini,
terutama saat berkomunikasi dengan teman-temannya. Kesulitan dialami ketika
mendengar suara percakapan yang pelan. Keluhan disertai rasa tidak nyaman di telinga
dan berdenging yang hilang timbul, selama 5-10 menit.
Pasien bekerja di salah satu kantor pemerintah sebagai operator call center selama 2
tahun 1 bulan. Ini adalah pekerjaan pertamanya. Diluar pekerjaannya sebagai operator,
pasien tidak menggunakan headset untuk mendengarkan musik, telepon, dugem atau
terkena paparan bising lainnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
:
Tidak pernah mengalami penyakit pada kedua telinga
Tidak pernah mengalami cedera kepala
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :
Tidak ada riwayat dari anggota keluarga yang mengalami penyakit atau gangguan
pendengaran
II.3. ANAMNESIS OKUPASI
Riwayat Pekerjaan Pasien
Bahan/material yg
digunakan
Jenis Pekerjaan
Operator Call Center
-Telepon yang
disambungkan dengan
headset dan microphone
-komupter
Tempat Kerja
Meja Kubikel
Masa Kerja
2 tahun 1 bulan
Uraian tugas / pekerjaan
-
Pasien tinggal dilingkungan perumahan yang jauh dari kebisingan. Pasien berangkat
kerja dari tempat tinggal nya ke kantor menggunakan motor pribadi, menempuh
-
perjalanan selama 1 jam
Pasien bekerja selama 4 jam sebagai operator call center. Jadwal operasional call
center berlangsung dari jam 8 pagi sampai dengan jam4 sore, dengan 1 jam istirahat.
-
jadawal operator di atur dengan sistem shift.
Diluar jam kerja sebagai operator, pasien mengerjakan pekerjaan kantor di komputer.
Saat menjadi operator pasien menggunakna fasilitas telepon yang disambungkan
dengan headset dan microphone, dan komputer.
[Type text]
Page 5
Meja kubikel sebagai
operator call center
Menerima setiap
telpon yang masuk
selama 4 jam
Istirahat selama 1
jam
Mengerjakan
pekerjaan kantor di
depan komupter
Bahaya Potensial
Gangguan
Bahaya Potensial
Urutan
Kegiatan
Perjalanan
Fisika
Kimi
a
Biologi
Ergonomi
Psikososi
al
kesehatan
yang
Resiko
Kecelaka
an Kerja
Posisi
mungkin
ISPA
Kecelakaa
matahari,
duduk saat
Dehidrasi
n lalu
Vibrasi
berkendara
Neuropati
lintas
Panas
Debu
saat
perifer
perjalanan
Meja
Debu
Kubikel
Posisi
LBP
duduk
Rhinitis
alergi
Istirahat
Panas
Bakteri
Keracunan
(jika
makanan
diluar)
Sebagai
Radiasi
operator
komputer,
Monoton
Gangguan
SNHL
pendengaran
suara dari
telepon
(bising)
Hubungan Pekerjaan dengan keluhan yang dialami (Gejala?penyakit)
Gejala penurunan pendengaran di duga merupakan akibat dari kerja yang disebabkan oleh
pajanan saat menerima telpon terus menerus selama 4 jam.
Body discomfort Map
[Type text]
Page 7
Kesimpulan : tidak ada kesemutan, baal, pegal-pegal, dan nyeri
PEMERIKSAAN BRIEF SURVEY
Kriteria
Total
Kiri
Kanan
Tangan & Pergelangan
2
2
Tungkai
2
2
II.4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
: Baik
2. Tanda vital
Tekanan Darah
: 120/70 mmHg
Frekuensi Napas
:19 x/menit
Frekuensi Nadi
: 71 x/menit
Suhu
: 36,4 oC
3. Keadaan gizi
Berat Badan : 64 kg
Kesan
: cukup (ideal)
Tinggi Badan : 161 cm
BMI
: 24.69 kg/m2
Kelenjar Limfe
Leher
: dbn
Axilla
: dbn
Groin
: dbn
Inguinal
: dbn
4. Mata
Kanan
Kiri
Pupil
Φ 3 mm
Φ 3 mm
Refleks cahaya
+
+
Sklera
Tidak ikterik
Tidak ikterik
Conjunctiva
Tidak pucat
Tidak pucat
Bola mata
Baik
Baik
Visus
6 / 7,5
6 / 7,5
Persepsi warna
Baik
Baik
Binocular vision
Baik
Baik
5. Telinga
Kanan
Kiri
Daun telinga
Baik
Baik
Liang telinga
Baik
Baik
Membran timpani
Baik
Baik
Mastoid
Baik
Baik
Test berbisik
Tidak baik
Tidak baik
6. A. Hidung
B. Gigi / Gusi
Septum nasi : Baik
87 6 5 4 3 2 1
1 2 3 4 567 8
Mukosa
: Baik
87 D 5 4 3 2 1
1 2 3 4 F 678
Penciuman
: Baik
7. A. Tenggorokan
B. Leher
Pharing
: Baik
Kelenjar tiroid : Tidak
membesar
Nasopharing : Baik
JVP
:
Laring
: Baik
Lain-lain
:Tonsil
: T1 / T1
8. Thorax
Inspeksi
: Simetris
Palpasi
: Stem Fremitus Kiri = Kanan
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
Paru
: vesikuler, rh -/-, wh -/Jantung
: BJ I & II (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
9. Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
: Hepar lien tak teraba, massa (-)
Perkusi
: Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Hernia
: Tidak ada
10. Genitourinary
: Tidak diperiksa
11. Anorectal
: Tidak diperiksa
[Type text]
Page 9
12. Ekstremitas & muscular system
Kanan
Tangan:
Otot
Baik
Kekuatan
5555
Tulang
Baik
Sensoris
Baik
Kaki
:
Otot
Kekuatan
Tulang
Sensoris
Baik
5555
Baik
Baik
Kiri
Baik
5555
Baik
Baik
Baik
5555
Baik
Baik
13. Reflex Fisiologi
:+/+
Reflex Patologis
:-/14. Kulit
: edema -/-, tidak pucat, turgor baik
15. Status lokalis
Regio Auricle Dextra dan Sinistra
16. Resume kelainan yang didapat
Hearing loss auricle dextra dan sinistra
II.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri 2015
PRINT AUDIOMETRI 2014 & 2015 u/ banding!!!!
2. Audiometri 2014 (sebagai perbandingan)
[Type text]
Page 11
3. Tympanomteri
FOTO COPY TIMPANOMETRI & TEMPEL !!!
II.6. PEMERIKSAAN BODY MAP
II.7. PEMERIKSAAN BRIEF SURVEY
Total
Kriteria
Kiri
Kanan
Tangan & Pergelangan
2
2
Tungkai
2
2
II.8. DIAGNOSIS KERJA
Sensorineural hearing loss ringan bilateral
II.9. DIAGNOSIS OKUPASI
Noise induced hearing loss ringan akibat pajanan bising telepon
II.10. KATEGORI KESEHATAN
Kemampuan fisik terbatas untuk pekerjaan tertentu
II.11. PROGNOSA
1. ad. Vitam
ad. Sanasionam
ad. Fungsionam
[Type text]
: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad malam
Page 13
2. Okupasi
: dubia ad malam
II.12. PERMASALAHAN PASIEN DAN RENCANA PENATALAKSAAN
No
Jenis
Permasalahan
1.
Occupational
noise induced
hearing loss
Rencana Tindakan (Materi
& Cara)
R. Terapi : Konsul Sp.THT
R. Edukasi :
- Menjelasan mengenai
NIHL
- Menjelasan mengenai
faktor penyebab dari
pekerjaan yang dapat
menimbulkan NIHL
- Menjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan
berkala
- Menjelasan untuk tidak
memakai headset diluar
jam operasional sebagai
operator
- Mengusulkan pengaturan
shift dan jam kerja yang
lebih baik
Target Waktu
& Evaluasi
Keterangan
1 tahun sekali
Pemeriksaan
audiometric 1 tahun
sekali untuk melihat
perkembangan
pendengaran
Koordinasi dengan
managemen
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1.Definisi
Noise induced hearing loss atau Tuli Akibat Bising (TAB) adalah tuli sensorineural
yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Gangguan pendengaran ini pada awalnya tidak disadari, karena belum
mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea
dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat
parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja,
kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut
dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima akan sebanding dengan
kerusakan yang didapat.
III.2.Klasifikasi
III.2.1 Gangguan pendengaran berdasarkan range ambang dengar terbagi atas :
1. Gangguan Pendengaran Derajat Ringan
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 26 dB HL s/d 40 dB HL. Orang dengan
gangguan pendengaran derajat ringan biasanya mengalami kesulitan mendengar dan
memahami bunyi dan suara percakapan yang pelan.
[Type text]
Page 15
Penggunaan alat bantu dengar sangat dianjurkan ketika gangguan pendengaran derajat
ringan tidak bisa ditangani secara medis. Saat ini telah tersedia berbagai pilihan model
alat bantu dengar mulai dari model dibelakang telinga sampai model didalam telinga
(hampir tidak terlihat ketika dipakai). Bahkan saat ini hadir model alat bantu dengar
baru dengan system “open ear” yang cocok untuk digunakan pada kasus gangguan
pendengaran ringan dan sedang pada frekuensi –frekuensi tinggi ( > frekuensi 1000
Hz)
2. Gangguan Pendengaran Derajat Sedang
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 41 dB HL s/d 70 dB HL. Orang yang
mengalami kasus gangguan pendengaran derajat sedang biasanya sulit mengikuti
percakapan khususnya pada lingkungan suara yang bising.
Orang dengan gangguan pendengaran sedang seringkali menganggap lawan bicaranya
berbicara tidak jelas atau seperti bergumam, hal itu disebabkan karena kondisi
gangguan pendengaran mereka membuat mereka tidak dapat mendengar suara
percakapan normal dengan jelas.
Bahkan pada lingkungan suara yang cukup tenang sekalipun, orang yang mengalami
gangguan pendengaran derajat sedang, merasa kesulitan untuk mendengarkan :
-
Suara percakapan pada saat mendengarkan pembicaraan dalam kelompok (lebih
dari 1 orang lawan bicara)
-
Suara dari belakang
-
Suara yang pelan
Dan biasanya mereka sering membaca gerak bibir ataupun ekspresi wajah lawan
bicaranya untuk dapat menebak maksud suara percakapan yang tidak dapat mereka
dengar, walaupun begitu mereka tetap merasa tidak memiliki masalah pendengaran.
Penggunaan alat bantu dengar juga sangat direkomendasikan jika gangguan
pendengaran derajat sedang juga tidak dapat ditangani secara medis. Tersedia
berbagai pilihan model alat bantu dengar yang cocok untuk kasus ini
3. Gangguan Pendengaran Derajat Berat
Range ambang dengar hantaran udara berkisar 71 dB HL s/d 90 dB HL. Orang dengan
gangguan pendengaran derajat berat tidak dapat mendengarkan suara yang pelan
maupun sedang, suara kicau burung ataupun suara percakapan normal. Mereka
meminta lawan bicara untuk berbicara dengan suara yang sangat keras agar mereka
dapat mendengar percakapan dan hal yang cukup dilematis, pada saat volume suara
dikeraskan suara/kata-kata menjadi terdengar tidak jelas (distorsi)
4. Gangguan Pendengaran Derajat Sangat Berat
Ambang dengar hantaran udara > 90 dB HL. Orang dengan gangguan pendengaran
derajat sangat berat juga sering disebut dengan “tuli”. Biasanya mereka hanya dapat
mendengar bunyi yang sangat keras seperti (suara petir, bantingan pintu, mesin
pesawat,dsb)
Pada hampir disemua kasus gangguan pendengaran derajat berat dan sangat berat,
pengguanaan alat bantu dengar ataupun cochlear implant sangat dianjurkan untuk
membantu mereka agar dapat mendengar lebih baik.
III.2.2 Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori
yaitu:
1. NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami
berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “ notch “ yang
curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal
terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga
NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat
kembali normal.
2. NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )
[Type text]
Page 17
Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat
suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau kehilangan
pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising industri. (15)
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja
dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada : (15)
1. Tingkat suara bising
2. Kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat
dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,
tetapi
apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz )
keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk
mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke
frekwensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara
yang sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah
beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi.
Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat
III.3. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan,
frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan individu, jenis kelamin,
usia dan kelainan di telinga tengah. Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti
arsen dan quinine) dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea.
III.4. PATOGENESIS
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut.
Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya
degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-
sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan
hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi
intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan
semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga
dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.
Gambar Anatomi Telinga Dalam
III.5. GAMBARAN KLINIS
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,
seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian
biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya
dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss)
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss).
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan
[Type text]
Page 19
ambang dengar menetap (permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons
kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan
ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan
ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar
akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang
dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap
akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti,
sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan, tidak
dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-mula
terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi
pada frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000,
4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.
III.6. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik
untuk menyingkirkan penyebab lain seperti cerumen plaque, infeksi telinga ataupun rupture
membrane timpani, otoskopi dan audiometric nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi antara 3000-6000 Hz, dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik.
III.7. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet).
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena
pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar
dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah
mengalami tuli
total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea
(cochlear implant).
Nilai Ambang Batas Kebisingan :
Waktu Pemaparan per hari
8
4
2
1
Jam
30
15
7.5
3.75
1.88
0.94
Menit
Intensitas kebisingan
dalam dBA
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
28.12
Detik
115
14.06
118
7.03
121
3.52
124
1.76
127
0.88
130
0.44
133
0.22
136
0.11
139
catatan : Tidak boleh terpajan kebisingan > 140 dB walau sesaat.
Table. Batas paparan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menaker 1999
[Type text]
Page 21
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Dasar Diagnosis Klinis
Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun sejak 1 tahun terakhir ini,
terutama saat berkomunikasi dengan teman-temannya. Kesulitan dialami ketika
mendengar suara percakapan yang pelan. Keluhan disertai rasa tidak nyaman di telinga
dan berdenging yang hilang timbul, selama 5-10 menit.
Pasien bekerja di salah satu kantor pemerintah sebagai operator call center selama
2 tahun 1 bulan. Ini adalah pekerjaan pertamanya. Diluar pekerjaannya sebagai
operator, pasien tidak menggunakan headset untuk mendengarkan musik, telepon,
dugem atau terkena paparan bising lainnya.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Dari
Audiometri ditemukan hasil Gangguan pendengaran 33.75 dB pada kedua telinga.
Berdasarkan
seluruh
data-data
ini,
pasien
dinyatakan
bahwa
diagnosis klinis pasien adalah Sensorineural hearing loss ringan bilateral.
IV.2. Dasar Diagnosis Okupasi
Diagnosis okupasi ditegakkan melalui tujuh langkah diagnosis,
yaitu ;
1. Menegakkan diagnosis klinis
Diagnosis klinis pada pasien ini telah ditegakkan yaitu
Sensorineural Hearing Loss, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
Tympanometri.
2. Menentukan pajanan
penunjang
berupa
Audiometri
dan
Pajanan yang dialami pasien adalah pajanan fisika, sebagai
berikut :
1. Bising (suara dari telepon)
3. Menentukan hubungan penyakit dengan pajanan yang
dialami
Menurut
Buchari,
2008
dalam
bidang
kesehatan
kerja,
kebisingan diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan
pendengaran, baik secara kualitatif (penyempitan spektrum
pendengaran), maupun secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, dan
pola waktu.
4. Menentukan signifikansi jumlah pajanan atas penyakit
yang dideritanya
Pasien tersebut terpajan bising dari dering telepon terus
menerus selama 4 jam, dan suara dari penelpon melalui headset.
Hal ini dilakukan setiap hari secara intens, dengan pola waktu
selama 4 jam perhari.
5. Menilai peran faktor individu
Tidak ditemukan faktor individu yang menyebabkan terjadinya
penurunan pendengaran, dan di dalam keluarga pasien tidak ada
riwayat adanya penurunan pendengaran.
6. Menilai peran factor lain selain pekerjaan
Saat tidak bekerja, pasien tidak melakukan aktifitas yang
terpapar kebisingan.
[Type text]
Page 23
7. Memutuskan
apakah
penyakit
yang
diderita
pasien
Penyakit Akibat Kerja (PAK) atau bukan
Dari keenam langkah penegakan diagnosis PAK sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Penyakit Akibat Kerja
Noise Induced Hearing Loss. Hal ini didukung oleh anamnesa=is,
pemeriksaan fisik, Audiometri, serta Tympanometri. Dan adanya
audiometri tahun sebelumnya yang menunjukkan hasil normal
IV.3.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit dalam hubungan dengan kerja meliputi
No
Jenis
.
Permasalahan
1
Ocupational noise
induced hearing loss
Rencana tindakan
Target waktu
(materi&cara)
&Evaluasi
R. Terapi : konsul Spesialis THT
R. Edukasi :
- Menjelasan mengenai NIHL
- Menjelasan mengenai faktor
penyebab dari pekerjaan yang
dapat menimbulkan NIHL
- Menjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan berkala
- Menjelasan untuk tidak memakai
headset diluar jam operasional
sebagai operator
- Mengusulkan pengaturan shift dan
jam kerja yang lebih baik
1 tahun sekali
Keterangan
Pemeriksaan
audiometric 1
tahun sekali
untuk melihat
perkembangan
pendengaran
Koordinasi
dengan
managemen
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
:
1. Diagnosis okupasi ditegakkan melalui tujuh langkah diagnosis.
2. Gangguan Pendengaran yang dialami akibat kerja
3. Penyakit yang disebabkan oleh pemaparan bising berkaitan dengan faktor
intensitas, frekuensi, dan pola waktu
4. Penatalaksanaan diagnosis okupasi adalah dengan penatalaksanaan diagnosis klinis
dan penatalaksaan okupasi
5. Penatalaksanaan okupasi dengan melakukan intervensi pada lingkungan kerja
V.2.Saran
:
1. Pekerja harus mengerti dan memahami resiko berbahaya pada organ pendengaran
2. Pekerja memahami pentingnya pemeriksaa berkala untuk mencegah keparahan lebih
lanjut
[Type text]
Page 25
Daftar Pustaka
1. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor Soepardi, E,
et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
2. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di
Asia
Tenggara
Dengan
Prevalensi
Ketulian
4,6%.
Available
from:
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
3. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
4.
Hong OS, Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among male
airport workers in Korea. Available from: ht
5. tp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?
ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed
_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfro
m=pubmed.
6. Holmes G, Singh BR. Theodore L, Handbook of Environmental Management and Technology.
John Wiley & Sons inc. New York, 1993:415-426
7. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
[Type text]
Page 27