Studi Kelayakan Embung dan Irigasi Tetes

SEMINAR NASIONAL
TANAH UNTUK KEDAULATAN PANGAN, AIR, ENERGI,
DAN LINGKUNGAN 2015
Studi Kelayakan Embung dan Irigasi Tetes sebagai Alternatif
Upaya Peningkatan Produksi Jagung di Lahan Kering Pulau
Alor
Moh. Zulfajrin dan Syah Deva Ammurabi
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan; Fakultas Pertanian; Institut Pertanian
Bogor, Jl. Meranti No.1; Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
Efisiensi penggunaan air sebagai elemen konservasi sumber daya berhadapan dengan
masalah kesesuaian teknologi, kelayakan ekonomi dan penerimaan sosial. Hal tersebut
adalah prioritas utama bagi pertanian di kawasan lahan kering. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memberikan alternatif pengelolaan lahan kering untuk budidaya jagung
berdasarkan prinsip konservasi air melalui analisis volume embung, kebutuhan air tanaman,
dan neraca air lahan pada empat kelompok hidrologi tanah. Rata-rata curah hujan tahunan
Pulau Alor antara tahun 2005 sampai 2011 sebesar 1.202,2 mm per tahun yang sebagian
besar turun pada bulan-bulan basah dan lembab. Kemudian. air hujan ditampung dalam
embung permanen. Pemanenan air melalui embung bergantung dari keadaan tanah dan
kondisi hidrologi setempat. Pada makalah ini, luas permukaan embung diasumsikan seluas
25 m2 dengan daerah tangkapan sebesar 1 hektar. Volume tampungan embung terbesar
dicapai pada bulan Januari oleh tanah kelompok hidrologi D (594.09 – 889.66 m3) dan

terendah dicapai oleh embung kelompok hidrologi A (45.94 – 379.13 m3). Selain itu,
diterapkan pula sistem irigasi tetes yang mengalirkan air dari embung menuju lahan
pertanaman jagung. Pergerakan air didasarkan pada pemanfaatan gradien potensial air dan
matriks tanah melalui penggunaan spons pada ujung pipa emitter . Aplikasi embung
menyebabkan neraca air lahan mengalami surplus secara tahunan, kecuali pada periode
tanam Juni-Oktober dan Juli-November pada kelompok hidrologi A, B, dan C. Berdasarkan
analisis neraca air, penanaman jagung dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Namun,
pemanenan pada musim hujan sangat berisiko terjadinya serangan hama dan patogen. Hal
ini menyebabkan penanaman pada periode September-Januari dan Oktober-Februari kurang
direkomendasikan. Penanaman jagung pada musim hujan dapat pula disubstitusi oleh
tanaman lain yang membutuhkan lebih banyak air.
Kata kunci: Embung; Irigasi Tetes; Jagung; Lahan Kering; Pulau Alor
Latar Belakang
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan terhadap pangan semakin
meningkat. Di sisi lain, lahan yang tersedia di Indonesia terbatas. Optimalisasi lahan kering
marginal merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan lahan, terutama
dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan perkebunan nasional. Menurut
Murtilaksono dan Anwar (2014), Indonesia memiliki lahan kering seluas 70.409.742 ha yang
berpotensi untuk pertanian. Namun, ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama
dalam pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan air sangat penting

dilakukan di kawasan ini.

Salah satu kawasan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian lahan kering
adalah Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Alor memiliki sekitar tiga bulan
basah setiap tahunnya dengan total presipitasi rata-rata sebanyak 1202.2 mm (klasifikasi
iklim Oldeman) per tahun selama 2005-2011 berdasarkan data Stasiun Meteorologi BMKG
Mali Kalabahi. Sebaran hujan di daerah ini menunjukkan bahwa intensitas hujan pada bulan
basah cukup tinggi dan sangat rendah pada bulan kering.
Secara geografis kondisi daerah Alor merupakan daerah dengan pegunungan yang
tinggi, dibatasi oleh lembah dan jurang yang cukup dalam. Sekitar 60 persen wilayahnya
mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen. Dataran tinggi Alor merupakan daerah
yang cocok untuk pengembangan pertanian karena mempunyai tingkat kesuburan yang
tinggi, sedangkan daerah lereng lebih cocok untuk pengembangan sistem terasering.
Keadaan geografis yang berbukit dan terjal merupakan rintangan untuk percetakan atau
perluasan lahan tanaman pangan (BAPPENAS 2005).
Kehilangan air yang berlebihan tanpa adanya upaya konservasi menimbukan risiko
kekeringan dan defisit neraca air. Sementara itu, efisiensi penggunaan air sebagai elemen
konservasi sumber daya berhadapan dengan kesesuaian teknologi, kelayakan ekonomi dan
penerimaan sosial dari isu-isu pembangunan. Hal tersebut adalah prioritas utama bagi
pengelolaan pertanian di daerah langka air (Khajuria et al. 2014). Untuk itu, diperlukan

upaya konservasi tanah dan air untuk dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika
tidak, pengaruh intensitas hujan yang tinggi justru akan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas dan kuantitas sumberdaya air serta peningkatan degradasi tanah dan lahan kritis..
(Arsyad 2012; Dariah et al. 2004; Pranoto dan Hidayat 2009). Daya dukung lingkungan
yang rendah terhadap produktivitas pertanian berpengaruh terhadap angka kemiskinan
penduduk Alor. Sebanyak 39.600 orang (20,22 %) dari 196.613 jiwa berada di bawah garis
kemiskinan (BPS 2014). ,
Peningkatan produktivitas lahan kering di Pulau Alor sangat diperlukan dalam
optimalisasi penggunaan lahan. Salah satu upaya alternatif adalah melalui penggunaan
embung dan irigasi tetes untuk memenuhi kebutuhan air pada lahan pertanian. Selain itu,
rekomendasi masa tanam sangat penting untuk dirumuskan. Hal ini berguna untuk membatu
petani dalam meningkatkan produksi secara maksimal dan berkelanjutan.
Metodologi
Penulisan makalah ini disampaikan melalui metode deskriptif kuantitatif. Data
dikumpulkan melalui studi pustaka dan instansi-instansi terkait, Kemudian, data-data
tersebut dibandingkan dan dianalisis untuk menentukan volume air embung dan neraca air.
Hasil analisis data dijadikan sebagai rekomendasi pengelolaan lahan dan masa tanam oleh
petani.
Hasil dan Pembahasan
Salah satu faktor penghambat pendayagunaan potensi lahan kering adalah kurangnya

ketersediaan air pada musim kemarau. Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan upaya konservasi air. Upaya tersebut dilakukan melalui
penampungan kelebihan limpasan air pemukaan saat hujan dengan menggunakan embung
(small farm resevoir). Penggunaan embung merupakan salah satu alternatif pilihan untuk
mendukung suplai air pada daerah dengan kondisi curah hujan tahunan yang rendah.
Penerapan embung untuk memanen air pada lahan kering mempunyai peluang besar untuk
menjadi sumber peningkatan produksi pertanian, khususnya pada tanaman pangan dan
perkebunan (Garsia et al. 2014; Tarigan 2008).

Penggunaan embung sangat aplikatif untuk usahatani lahan kering. Kurnia (2004)
melaporkan bahwa petani lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Yogyakarta
memanfaatkan embung pada musim kemarau untuk mengairi tembakau, bawang merah,
cabai, dan jagung. Industri tekstil Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah juga mencukupi
kebutuhan airnya dari suplai embung (Himawan et al. 2014)
Embung mendapatkan sumber air dari hujan maupun aliran permukaan. Kapasitas
embung dalam menyimpan air ditentukan oleh beberapa faktor seperti lokasi, desain
pembuatan embung, curah hujan, iklim, infiltrasi tanah, dan tutupan lahan. Beberapa jenis
embung yang dikenal diantaranya adalah embung semi permanen dan embung permanen.
Embung semi permanen mempunyai dinding dan alas yang terbuat dari tanah yang
dipadatkan, sedangkan embung permanen mempunyai dinding dan alas dari bata yang

disemen. Selain itu, kebanyakan embung juga menggunakan tutup berbahan kedap air seperti
terpal untuk mengurangi penguapan. (Hilmi et al. 2012; Tarigan 2008).
Gambar 1. Desain embung permanen

Sumber: Tarigan (2008) (dengan modifikasi)
Penelitian Tarigan (2008) pada enam bulan kering (rata-rata curah hujan bulanan
bulanan 96,95 mm) di daerah Cikakak, Sukabumi, menunjukan bahwa embung permanen
mempunyai kemampuan menampung aliran permukaan lebih besar 34% dari embung semi
permanen. Sedangkan, Kurnia (2004) menyebutkan bahwa penggunaan embung pada lahan
kering dengan pola tanam kacang tanah dan ubi kayu memproduksi (setara gabah) 4,30 –
6,30 ton/ha/musim dibanding penanaman tanpa embung yang hanya menghasilkan 3,50
ton/ha/musim. Selain itu hasil panen tanaman padi yang ditanam dengan tembakau dan
jagung pada tegalan dengan embung mencapai 11,70 ton gabah/ha/musim. Hasil tersebut
jauh lebih tinggi dibanding dengan produksi padi bera pada tegalan tanpa embung yang
hanya mencapai 4,20 ton gabah/ha/musim.
Wilayah Nusa Tenggara mempunyai beragam jenis tanah (Widiatmaka et al. 2014)
yang tentunya mempunyai sifat fisik dan kondisi hidrologi yang berbeda-beda. Soil
Conservation Sevice Amerika Serikat dalam Arsyad (2012) mengembangkan sistem
klasifikasi tanah yang mengelompokkan tanah kedalam empat kelompok hidrologi.
Kelompok-kelompok tersebut ditandai dengan huruf A (pasir dalam, loess dalam, debu yang

beragregat), B (loess dangkal, lempung berpasir), C (lempung berliat, lempung berpasir
dangkal, tanah berkadar bahan organic rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi) dan D

(tanah yang memiliki sifat vertik, liat berat, plastis dan tanah-tanah salin tertentu). Tanah
yang berada di daerah berlahan kering daerah Nusa Tenggara umumnya bertekstur pasir
(Pranoto dan Hidayat 2009). Sedangkan kondisi kering memungkinkan terbentuknya
mineral klei montmorilonit yang merupakan mineral utama penyusun tanah dengan kondisi
hidrologi D.
Analisis volume air yang ditampung embung berdasarkan rumus empiris (Tarigan
2008) :
V = (C.P.Al)+(P.Ae)-(Eto.Ae)-(I.Ae)
V = volume air yang ditampung embung (m3)
C = koefisien aliran permukaan
P = rata-rata curah hujan (mm)
Al = luas daerah tangkapan embung (m2)
Ae = luas permukaan embung (m2)
Eto = evapotranspirasi (mm)
I = infiltrasi (mm)
Koefisien Aliran Permukaan (C) dan Infiltrasi (I)
Arsyad (2012) menyatakan bahwa koefisien aliran permukaan (C) didefinisikan

sebagai nisbah antara laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Parameter C
pada rumus empiris merupakan parameter yang paling sensitif dalam prediksi jumlah air
tampungan embung. Perubahan dari nilai tersebut akan mempengaruhi hasil secara
signifikan (Tarigan 2008).
Nilai C dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain permeabilitas tanah dan laju hujan.
Sriwongsitanon dan Taesombat (2011) melaporkan bahwa penutupan dan penggunaan lahan
memberikan pengaruh kuat kepada besar nilai C tanah. Hal ini dapat dipahami bahwa
kehadiran vegetasi dapat memberikan pengaruh berarti kepada permeabilitas dan kecepatan
penstabilan infiltrasi tanah (Arsyad 2012; Tarigan 2008) tentunya melalui suplai bahan
organik. Selain itu, Fang et al. (2012) menyatakan bahwa nilai C juga bergantung dari laju
hujan.. Kondisi sebagian daerah Pulau Alor yang kering menyebabkan tutupan lahan berupa
sabana (Trainor 2005).
Tabel 1 Koefisien C dengan Tanaman Penutup Tanah Padang
Rumput Penggembalan Tetap, Baik
Koefisien C untuk laju hujan
Kondisi Hidrologi
25 mm/jam
100 mm/jam
Daerah Hidrologi A
0,016

0,140
Daerah Hidrologi B
0,020
0,170
Daerah Hidrologi C
0,020
0,190
Daerah Hidrologi D
0,330
0,220
Sumber: Arsyad (2012)
Penggunaan beton pada embung permanen membuat air hujan tidak dapat
mengalami infiltrasi karena beton tidak dapat meresapkan air. Hal ini sangat menguntungkan
karena air embung dapat bertahan lebih lama dan suplai air tanaman dapat terpenuhi saat
hujan tidak turun.
Curah Hujan (P) dan Evapotranspirasi (Eto)
Faktor curah hujan merupakan variabel yang cukup berpengaruh dalam perhitungan
volume embung. Arsyad (2012) menyatakan bahwa semakin besar intensitas suatu hujan

yang turun, maka frekuensi kejadiannya akan semakin kecil. Data tabel menunjukkan bahwa

curah hujan turun pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Bulan
Mei sampai November merupakan bulan terkering karena memiliki curah hujan dibawah
100 mm.
Ketersediaan data curah hujan kabupaten merupakan salah satu permasalahan utama
dalam pembuatan makalah ini. Data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Mali Kalabahi,
Kabupaten Alor tahun 2005 sampai tahun 2011 digunakan untuk menghitung rata-rata curah
hujan bulanan. Sementara itu, data-data terbaru tahun 2012 – 2015 belum ditampilkan.
Besaran evapotranspirasi digunakan untuk menghitung kehilangan air dari
permukaan embung tanpa tutup. Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan persamaan
evapotranspirasi potensial Thornthwaite (Suyono (1978) dalam Nugroho 1989):
T

a
Epx = 16
I
Epx = Etp = evapotranspirasi potensial
T = temperatur rata-rata bulanan dalam periode yang bersangkutan (oC)
T 1,514
I = ∑�= Im, indeks panas tahunan, dimana Im=
5

a = 675 x 10-9 I3 – 771 . 10-7 I2 + 0,01792 I + 0,44239

Tabel 2 Evapotranspirasi Potensial rata-rata Bulanan dan Perbandingannya
dengan Curah Hujan Rata-rata antara Tahun 2005 – 2011
No
Bulan
Evapotranspirasi
Curah Hujan
Potensial rata-rata (mm)
Rata-rata (mm)
1
Januari
150,8
268,7
2
Februari
143,1
238,8
3
Maret

143,9
168,5
4
April
146,5
102,4
5
Mei
141,7
40,3
6
Juni
122,1
43,2
7
Juli
113,0
15,3
8
Agustus
117,5
14,8
9
September
114,3
11,1
10
Oktober
177,5
14,8
11
November
197,4
62,4
12
Desember
174,5
222,6
Tingkat evapotranspirasi pada daerah Alor dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini
berkaitan dengan tingginya temperatur rata-rata harian dan rata-rata bulanannya. Pada bulanbulan basah, presispitasi masih dapat mengimbangi kuatnya evapotranspirasi yang terjadi.
Sedangkan pada bulan kering terjadi defisit neraca air karena besarnya evaporanspirasi
potensial jauh diatas tingkat presipitasi air hujan. Penurunan tingkat evapotranspirasi pada
air embung dapat dilakukan dengan menggunakan terpal.
Volume Embung Total (V)
Perhitungan volume embung tiap daerah hidrologi menggunakan contoh luasan
permukaan embung sebesar 25 m2 dan daerah tangkapan embung seluas satu hektar.
Penggunaan rumus empiris dimodifikasi dengan mengurangi koefisien infiltrasi karena
penggunaan beton sebagai penahan.

Tabel 3 Volume Embung Total Bulanan untuk Tiap Daerah Hidrologi
Volume (m3)
Daerah Hidrologi dengan Laju Hujan 25 mm/jam dan 100 mm/jam
A
B
C
D
Bulan
25
100
25
100
25
100
25
100
mm/
mm/
mm/
mm/
mm/
mm/
mm/
mm/
Jam
jam
jam
jam
jam
jam
jam
jam
Januari
45,94 379,13 56,69 459,74 56,69 513,48 889,66 594,09
Februari
40,60 336,71 50,15 408,35 50,15 456,11 790,43 527,75
Maret
27,58 236,52 34,32 287,07 34,32 320,77 556,67 371,32
April
12,72 142,26 19,38 172,98 19,38 193,46 336,82 224,18
Mei
3,91
53,89
5,53
65,98
5,53
74,04 130,46
86,13
Juni
4,94
58,51
6,67
71,47
6,67
80,11 140,59
93,07
Juli
0,01
18,98
0,62
23,57
0,62
26,63
48,05
31,22
Agustus
-0,20
18,15
0,39
22,59
0,39
25,55
46,27
29,99
September
-0,80
12,96 -0,36
16,29 -0,36
18,51
34,05
21,84
Oktober
-1,70
16,65 -1,11
21,09 -1,11
24,05
44,77
28,49
November
6,61
83,99
9,11 102,71
9,11 115,19 202,55 133,91
Desember
36,82 312,84 45,72 379,62 45,72 424,14 735,78 490.92
Volume embung terbesar dicapai pada bulan Januari untuk semua kondisi hidrologi.
Embung yang dibangun pada tanah dengan kondisi hidrologi A merupakan embung yang
memiliki periode pengisian air paling kecil, sedangkan pada tanah kelompok hidrologi D
embung terisi air sepanjang tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa embung yang dibangun
pada tanah-tanah dengan tekstur klei (kelompok hidrologi D) dapat menyimpan air dengan
volume yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah bertekstur pasir (kelompok
hidrologi A, B, dan C). Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukuran dan distribusi pori tanah
yang berpengaruh pada permeabilitas serta infiltrasi dari masing-masing kondisi hidrologi
(Zhang et al. 2014).
Sistem Irigasi Tetes
Irigasi tetes merupakan metode irigasi yang paling hemat air (Kurniadi et. al. 2000).
Keuntungan penerapan sistem ini adalah tingginya efisiensi pemanfaatan air, sedikitnya
upaya penataan lahan, dimungkinkannya aplikasi fertigasi, dan keseragaman produksi
tanaman. Debit air yang keluar dari emitter sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman.
Namun, kenaikan debit emitter relatif berbanding terbalik dengan kenaikan biomassa, berat
biji kering, berat tongkol, dan berat kulit pada tanaman jagung. (Subagyono et.al. 2004).
Keadaaan ini disiasati dengan memanfaatkan gradien potensial gravitasi dan matriks tanah
melalui penggunaan spons, sehingga volume air yang keluar dari pipa sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan kapasitas lapang air tanah. Sistem ini mengalirkan air dari embung
menuju lahan pertanaman jagung.
Budidaya Jagung
Makalah ini menggunakan tanaman jagung sebagai komoditas yang ditanam pada
lahan kering. Jagung memiliki ketahanan tinggi pada iklim kering dengan tingkat
penggunaan air yang berkisar antara 400 sampai 500 mm per musim (FAO 2001 dalam Aqil
et al. 2007). Selain itu, tingkat fotosintesis tanaman jagung sebagai tanaman C4 akan
semakin efektif seiring dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada batas tertentu.
(Kiswanto et al. 2012).

Tabel 4 Evapotranspirasi Tanaman Jagung selama setahun
Kc
ETA (mm)
Bulan
ETP
I*
II ** III ***
I*
II **
III *** Rata-rata
Januari
150,79 0,30 1,30
0,50
45,24 196,03
75,40
105,56
Februari
143,14 0,30 1,30
0,50
42,94 186,08
71,57
100,20
Maret
143,93 0,30 1,30
0,50
43,18 187,11
71,97
100,75
April
146,56 0,30 1,30
0,50
43,97 190,52
73,28
102,59
Mei
141,72 0,30 1,30
0,50
42,51 184,23
70,86
99,20
Juni
122,09 0,30 1,30
0,50
36,63 158,72
61,05
85,46
Juli
113,00 0,30 1,30
0,50
33,90 146,90
56,50
79,10
Agustus
117,54 0,30 1,30
0,50
35,26 152,80
58,77
82,28
September
144,27 0,30 1,30
0,50
43,28 187,55
72,13
100,99
Oktober
177,44 0,30 1,30
0,50
53,23 230,68
88,72
124,21
November
197,40 0,30 1,30
0,50
59,22 256,62
98,70
138,18
Desember
174,65 0,30 1,30
0,50
52,39 227,04
87,32
122,25
Keterangan (FAO 2001) dalam (Aqil et. al. 2007) :
*Periode I merupakan 65 hari pertama musim tanam (Vegetatif)
*Periode II merupakan 40 hari pertengahan musim tanam (Pembungaan dan formasi biji)
* Periode III merupakan 35 hari terakhir musim tanam (Formasi dan pematangan biji)
Evapotranspirasi Aktual
Evapotranspirasi aktual (ETA) merupakan tingkat kebutuhan air untuk mengganti
sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat.
Evapotranspirasi aktual sangat bergantung terhadap koefisien tanaman (Kc) yang diamati.
Nilai Kc menggambarkan laju kehilangan air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan
tanaman, dan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman. Adapun persamaan evapotranspirasi akutal ebagai berikut (FAO 2001 dalam Aqil
et.al. 2007) :
ETA = ETp x Kc
ETA = Evapotranspirasi tanaman
Kc = Koefisien tanaman
ETp = Epx = Evapotranspirasi potensial
Tabel 5 Neraca Air pada Lahan Jagung
Musim Tanam*
Januari – Mei
Februari- Juni
Maret – Juli
April – Agustus
Mei – September
Juni – Oktober
Juli – November
Agustus – Desember
September – Januari

A
1938,50
1755,73
1103,43
863,20
354,40
198,00
145,39
1119,57
2804,19

Irigasi (mm) **
B
C
2410,31
2183,87
1387.20
1288,00
512,80
291,60
224,63
1426,28
3509,87

2410,31
2183,87
1387.20
1288,00
512,80
291,60
224,63
1426,28
3509,87

D
38953,11
35366,27
23382.80
26236,80
12764,00
7545,60
6365,03
25191,08
58196,27

Oktober – Februari
November – Maret
Desember – April
Musim
Tanam*

ETA
(mm)

4465,38
5910,54
6376,80
P
(mm)

Runoff
(mm)

5560,86
7352,48
7992,00

5560,86
7352,48
7992,00

90458,06
119102,48
127883,47

Surplus (mm)

A
B
C
Januari 425,05 803,65 446,63 1870,47
2342,28
2342,28
Mei
Februari417,4 578,04 275,59 1640,78
2068,92
2068,92
Juni
Maret - Juli 389,27 363,33 130,07
947,42
1231,19
1231,19
April 360,37 209,82 43,58
669,07
1093,87
1093,87
Agustus
Mei 350,54 119,9
8,31
115,45
273,85
273,85
September
Juni 381,83
93
5,84
-96,67
-3,07
-3,07
Oktober
Juli 446,47 91,45
8,77
-218,40
-139,16
-139,16
November
Agustus 504,16 232,44 91,05
756,80
1063,51
1063,51
Desember
September 521,02 466,97 248,09 2502,05
3207,73
3207,73
Januari
Oktober 486,4 713,03 409,67 4282,34
5377,82
5377,82
Februari
November 459,36 900,41 523,09 5828,50
7270,44
7270,44
Maret
Desember –
442,47 962,65 564,74 6332,24
7947,44
7947,44
April
Keterangan :
*Masa tanam jagung diasumsikan sepanjang 140 hari (Aqil et.al. 2007)
** Laju hujan diasumsikan sebesar 25 mm/jam.

D
38885,08
35251,32
23226,79
26042,67
12525,05
7250,93
6001,24
24828,31
57894,13
90275,02
119020,44
127838,91

Neraca Air
Kebutuhan air tanaman jagung dapat ditutupi oleh air irigasi yang berasal dari
embung, sehingga terjadi surplus pada area pertanaman jagung. Meskipun terjadi defisit
neraca air pada musim kemarau, namun masih tersedia cadangan air tanah yang
menyebabkan terjadinya surplus neraca air secara tahunan.
Terjadinya surplus air tersebut memungkinkan penanaman jagung dua kali dalam
setahun. Namun, panen jagung saat musim hujan menimbulkan risiko penurunan produksi
akibat serangan hama dan penyakit. Hal tersebut disebabkan kondisi lembab saat hujan
memicu pertumbuhan patogen dan hama yang dapat menyerang tanaman jagung. Air bebas
dan suhu hangat memicu kehadiran bakteri patogen (Cordero et al. 1998; Wakman dan
Burhanuddin 2007). Sehingga tidak disarankan untuk melakukan kegiatan budidaya jagung
pada periode tanam September-Januari dan Oktober-Februari. Pengendalian hama dan
penyakit sangat penting untuk mengatasi hambatan tersebut. Alternatif lainnya, lahan

pertanaman dapat ditanami oleh tanaman yang mengonsumsi air lebih banyak. Analisis
lanjutan diperlukan untuk menentukan jenis tanaman tersebut, sehingga surplus neraca air
tetap berjalan.
Kesimpulan
Studi kelayakan menunjukkan bahwa sistem embung permanen dan irigasi tetes
sesuai diterapkan di Pulau Alor, NTT. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi surplus pada
neraca air lahan. Namun, neraca air mengalami defisit pada musim tanam Juni-Oktober dan
Juli-November pada kelompok hidrologi A, B, dan C. Kelompok hidrologi D memiliki
kemampuan menyimpan air lebih baik daripada kelompok hidrologi A, B, dan C. Tidak
disarankan untuk menetapkan musim panen pada bulan Januari dan Februari. Tingginya
curah hujan pada bulan-bulan tersebut dapat memicu serangan patogen dan hama.
Daftar Pustaka
Aqil et al. 2007. Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan
Pengembangan. Maros (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Departemen Pertanian.
Arsyad S. 2012. Konservasi Tanah dan Air . Bogor (ID): IPB Press
BAPPENAS. 2005. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kabupaten Alor Provinsi NTT
Pasca Gempa . Jakarta (ID):Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPS. 2014. NTT dalam Angka . Bogor (ID): Badan Pusat Statistik
Cordero, et al. 1998. Population Dynamics and Life-Cycle of Corn Borers in South Atlantic
European Coast.[Journal Article].Maydica.43(1998):5-12
Dariah A, et al. 2004. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia. Prosiding Teknologi
Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat
Fang NF, et al. 2012. The Effects of Rainfall Regimes and Land Use Changes on Runoff
and Soil Loss in a Small Mountainous Watershed. [Journal Article]. Catena .
99(2012):1-8
Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID):PT. RajaGrafindo Persada
Hilmi M, et al. 2012. Optimasi Pola Operasi Waduk Pelaparado di Kabupaten Bima Provinsi
NTB. Jurnal Teknik Pengairan. 3(2):132-142
Himawan E, et al. 2014. Perencanaan Embung Cabean di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal
Karya Teknik Sipil. 3(4):963 – 973
Khajuria A, et al. 2014. Adaptation Technology: Benefits of Hydrological ServicesWatershed Management in Semi-Arid Region of India. Journal of Water Resource and
Protection.2014(6):565-570
Kiswanto, et al. 2012. Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mays L.), Kacang Tanah (Arachis
hypogaea L.), dan Jahe (Zingiber officinale var. officinale) pada Sistem Agroforestri
Jati di Zona Ledok Wonosari, Gunung Kidul. Vegetalika. 1(3):131-138
Kurnia U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang
Pertanian. 25(4):130-138
Kurniadi N, et al. 2000. Karakteristik Bahan untuk Pipa Lateral Berpori pada Irigasi Tetes
Metode Via – Flow. Buletin Keteknikan Pertanian. 14(2):80-89
Murtilaksono K, Anwar S. 2014. Potensi, Kendala, dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering
dan Kering Masam untuk Pertanian (Padi, Jagung, Kedele), Peternakan, dan
Perkebunan dengan Menggunakan Teknologi Tepat Guna dan Spesifik Lokasi.

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang (ID):Universitas
Sriwijaya.
Nugroho A. 1989. Beberapa Teori dan Aplikasi Rumus Thornthwaite untuk Menghitung
Jumlah Cadangan Sumberdaya Air.Majalah Geografi Indonesia.2(3):27-38
Sriwongsitanon N, Taesombat W. 2011. Effects of Land Cover on Runoff Coefficient.
Journal of Hydrology. 110(3-4):226-238
Subagyono et al. 2004. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Kering. Teknologi
Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng .[Editor: Kurnia U, Rachman A,
Dariah A]. Bogor (ID):Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Departemen Pertanian
Tarigan SD. 2008. Efektifitas Embung untuk Irigasi Tanaman Hortikultura di Cikakak
Sukabumi. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 10(1):1-6
Wakman W, Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen jagung. Jagung :Teknik
Produksi dan Pengembangan. Maros (ID) : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.
Widiatmaka, et al. 2014. Land Use Planning Of Paddy Field Using Geographic Information
System And Land Evaluation in West Lombok, Indonesia. Indonesian Journal of
Geography.45(1):89 - 98
Zhang et al. 2014. Analysis of Rainfall Infiltration Law in Unsaturated Soil Slope. [Journal
Article].The Scientific World Journal. 2014(567250):1-7

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52