Rehabilitasi di bidang Kesehatan di kota

1

REHABILITASI KESEHATAN
Ahyani Radhiani Fitri

Profil Indonesia yang cukup rawan bagi terjadinya bencana alam berupa
gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan semakin banyaknya bencana sosial
berupa kerusuhan dan terorisme yang mengakibatkan korban jiwa maupun
disabilitas raga menjadi salah satu trigger bagi tumbuh kembangnya peminatan
kebutuhan jasa profesional psikologi di bidang rehabilitasi terutama bagi survivor.
Fenomena ini menunjukkan semakin pentingnya keberadaan jasa layanan dari
Psikolog rehabilitasi dalam penanganan psikologis maupun fisik bagi penyandang
disabilitas fisik, psikis, dan sosial secara individual maupun komunitas.
Prinsip rehabilitasi yang dilakukan ahli psikologi kesehatan maupun Psikolog
dapat mengacu pada rencana aksi WHO dibidang rehabilitasi untuk tahun 2006 –
2011 yaitu semua penyandang disabilitas dapat hidup dalam kesamaan hak dan
kesempatan. Oleh karena itu orientasi kerja yang dilakukan adalah meningkatkan
kesadaran tentang konsekuensi dari disabilitas; memfasilitasi pengumpulan dan
analisa data terkait dengan disabilitas dan informasinya; mendukung,
mempromosikan dan memperkuat layanan kesehatan dan rehabilitasi pada
individu dengan disabilitas dan keluarganya; mendukung pengembangan dan

penggunaan pemanfaatan teknologi pada penyandang disabilitas; mendukung
pengembangan , penerapan, dan pemantauan kebijakan terkait dengan hak dan
kesempatan penyandang disabilitas; serta membangun kapasitas kesehatan dan
rehabilitiasi para pembuat kebijakan dan penyedia layanan (Disability And
Rehabilitation Team, tanpa tahun).

2

A. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan kegiatan multidisipliner yang memfungsikan
kembali aspek fisik, emosi, kognisi, dan sosial sepanjang kehidupan individu
sehingga mampu melakukan mobilitas, komunikasi, aktivitas harian, pekerjaan,
hubungan sosial, dan kegiatan di waktu luang
Rehabilitasi

didefinisikan

sebagai

suatu


(Renwick & Friefeld, 1996).

proses

refungsionalisasi

dan

pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat (Peraturan
Pemerintah No.36/1980, tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita
Cacat). Berbagai konsep pengertian rehabilitasi dikembangkan menurut ruang
lingkupnya seperti pada bidang pendidikan, narkoba, maupun kesehatan.
Rehabilitasi terkait pendidikan merupakan upaya bantuan medik, sosial, dan
keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti
pendidikan. Usaha rehabilitasi merupakan proses rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh petugas rehabilitasi secara bertahap, berkelanjutan, dan terus
menerus sesuai dengan kebutuhan (Peraturan Pemerintah No.72/1991 tentang
Pendidikan Luar Biasa).

Rehabilitasi terkait narkoba merupakan rehabilitasi yang bersifat medis dan
sosial. Rehabilitasi secara medis sebagai suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika, dan
rehabilitasi secara sosial yang merupakan suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (UU RI
No 35 tahun 2009 tentang Narkoba).
Rehabilitasi menurut Waddell dan Burton (dalam Waddell, Burton, Kendall,
tanpa tahun) merupakan identifikasi dan pengatasan masalah terkait dengan
kesehatan, hambatan personal psikologis, dan pekerjaan atau sosial. Rehabilitasi
bertujuan agar rehabilitan dapat kembali bekerja, beraktualisasi dengan cara
rawatan kesehatan yang tercukupi baik waktu dan fungsi tritmennya berkaitan

3

dengan masalah kesehatan umum, bantuan rawatan, dan peran individu dalam
bentuk partisipasi, motivasi, dan dukungan rawatan maupun dari tempat kerja.
B. Tujuan Rehabilitasi
Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa rehabilitasi
diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik,

mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman.
Rehabilitasi yang dilakukan oleh Psikolog memiliki tugas sebagai berikut
(Martaniah, 2006):
1.

Asesmen. Asesmen dilakukan sebagai evaluasi intelektual dan kepribadian
melalui penekanan pada aktivitas sehari – hari, potensi vokasional, dan faktor
lingkungan serta situasi yang mempengaruhi perencanaan, proses, penilaian,
dan pengukuran program rehabilitasi.

2. Intervensi. Intervensi mencakup tritmen berupa konseling dan psikoterapi
individual atau kelompok, dukungan psikologis, pengurangan stres dan
kecemasan, keterampilan sosial maupun asertivitas sehingga penderita
disabilitas merasa nyaman. Konseling rehabilitasi mencakup penilaian
penyesuaian kerja klien sekarang, bagaimana situasi lingkungan yang
sekarang dan membawa pelayanan rehabilitasi yang mengintegrasikan
kepribadian kerja, perbaikan atau penggantian kompetensi yang hilang atau
gagal berkembang, reformulasi tujuan kerja dan restrukturisasi lingkungan
kerja. Psikoterapi merupakan layanan terapi psikologis terkait tumbuh

kembangnya potensi positif dan berkurangnya hambatan diri dan lingkungan
dari rehabilitan.
3. Konsultasi dan Penelitian. Konsultasi dilakukan untuk mendiskusikan
permasalahan dan pemecahan masalah terkait dengan motivasi, pengaruh
kebudayaan, peran dukungan sosial dan teknologi. Penelitian dilakukan untuk

4

melihat kesinambungan perencanaan dan aplikasi rehabilitasi baik kegiatan
asesmen, intervensi dan konsultasi berupa konseling maupun psikoterapi.
C. Ruang Lingkup Rehabilitasi
Ruang lingkup rehabilitasi yang dilakukan WHO pada tahun 2006 – 2011
(WHO – DAR, 2006) diuraikan pada visi semua individu dengan disabilitas
hidup dalam kesamaan harkat, hak dan kesempatan hidup. Hal ini dilakukan
dengan berfokus pada peningkatan kualitas hidup individu dengan disabilitas
melalui:
- Meningkatkan kesadaran tentang ukuran, tipe, dan konsekuensi
-

disabilitas.

Memfasilitasi keterhubungan data dan analisa informasi disabilitas.
Mendukung, mempromosikan, dan memperkuat kesehatan dan

-

layanan rehabilitasi untuk individu dengan disabilitas dan keluarganya.
Mempromosikan komunitas yang ramah terhadap keberlangsungan

-

proses rehabilitasi.
Mempromosikan peningkatan, penerapan, pertumbuhan, pengukuran
dan monitoring kebijakan yang memberikan kesempatan dan hak

-

pada individu dengan disabilitas.
Mengembangkan kapasitas kesehatan dan rehabilitasi berupa

kebijakan dan operasional pelayanan.

- Memperbesar bidang kerjasama
Ruang lingkup rehabilitasi berdasarkan karakteristik rehabilitan yakni:
1. Rehabilitasi pada Individu dengan HIV/AIDS.
Individu dengan HIV/ AIDS diklasifikasikan sebagai orang dengan
disabilitas yang memiliki stigma berlebih dari masyarakat sehingga proses
rehabilitasinya ditujukan untuk membantu penderita menghadapi tugas
psikososial, mempertahankan kualitas hidup, menghadapi kehilangan fungsi
dan isu eksistensial maupun spiritual serta menghadapi tritmen dan kematian
(Martaniah, 2006). Proses rehabilitasi pada individu dengan HIV/ AIDS
diharapkan mampu dilakukan secara holistik mencakup aspek biolgis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Hal yang dapat dilakukan menurut Hawari
(1999) adalah:

5

-

Terapi biopsikosiospiritual yang memandang individu dengan HIV/ AIDS
sebagai orang yang tidak berdaya (merasa jijik terinfeksi virus AIDS,
ketakutan terinfeksi dan kematian, serta rasa putus asa akibat proses

kesembuhan yang jauh dari harapan). Individu membutuhkan tindakan
medis

dengan

terapi

perawatan

medis

yang

manusiawi

dan

membutuhkan pendekatan agama karena komitmen agama melindungi
dan mencegah diri seseorang dari penyakit, mempertinggi kemampuan
diri untuk menahan derita di kala sakit dan mempercepat penyembuhan

-

disamping obatan dan tindakan medis lainnya.
Penanggulangan kemiskinan materi atau harta dengan menihilkan
mucikari atau germo, merehabilitasi wanita tuna susila dalam pusat
penampungan

atau

panti

rehabilitasi

keterampilan

dan

menyalurkan

dengan


memperoleh

melatih

berbagai

pekerjaan

yang

menghasilkan dan membatasi atau tidak memberikan ruang gerak
-

pelakunya.
Penanggulangan kemiskinan iman dengan pembinaan dan pemberian suri

-

tauladan yang diikuti dengan kebijakan politik.

Penanggulangan kemiskinan informasi dengan psikoedukasi bahaya sejak
dini HIV/ AIDS yang telah menjadi krisis bencana dan membutuhkan
penanganan segera.

2. Rehabilitasi pada Penyandang Disabilitas Fisik
Perlunya respon terhadap kebutuhan rehabilitasi pada penyandang cacat
fisik terlebih akibat akibat gempa bumi (Raissi (2007 diunduh dari:
http://www.wadem.org/nursing%20insight/nursing%20insight3_1.pdf).
Pelayanan jasa rehabilitasi bagi pasien dan keluarga khususnya dengan disabilitas
fisik dan dampaknya, penggunaan kursi roda penunjang kegiatan pasien,
komunikasi terapeutik, informasi desain rumah yang memudahkan saat
melakukan aktivitas harian, dan informasi kemungkinan pengobatan dan stigma
yang berkembang di masyarakat akibat kecacatan yang diderita. Terapi yang

6

dapat dilakukan oleh Psikolog rehabilitatif dapat disesuaikan dengan tahapan
terapi menurut Dauphinee et al (2002) yaitu:
1.

Fase inisiasi meliputi terapi yang bersifat akut dan
mobilisasi awal.

2.

Proses berlangsungnya mobilisasi dan rehabilitasi
melalui pelatihan keberfungsian anggota tubuh yang baru, pelatihan
reinnervation, pertolongan untuk mampu menolong diri sendiri, dan dukungan
dengan peralatan mekanis (seperti kursi roda, tongkat penyangga, dan sepeda
maupun motor beroda tiga).

3.

Fase pengukuran pencegahan terjadinya komplikasi
setelah pasien kembali kerumah.
Prinsip terapi tersebut telah banyak digunakan pada penyandang

disabilitas fisik akibat gempa bumi Bantul tahun 2006 yang telah dilakukan oleh
lembaga yakum yang menjadi salah satu relawan dalam penanganan penyintas
Spinal Cord Injury (www.rehabilitasi-yakkum.or.id diunduh tanggal 27 November
2008) melalui terapi medis dan psikososial. Rehabilitasi fisik klinis terapi medis
yang terdiri dari: rawat-inap, operasi, dan perawatan pasca operasi untuk
keadaan medis SCI. Rehabilitasi tersebut mencakup layanan fisioterapi untuk
membantu melatih kelayan pasca-operasi maupun yang tidak dioperasi berupa
perawatan, konsultasi, pengepasan alat bantu dan kunjungan pada kelayan luar
sentra; terapi okupasi untuk menolong individu yang mempunyai kelainan atau
kecacatan fisik dan atau mental baik yang bersifat sementara atau menetap
dengan menggunakan aktifitas yang disesuaikan, untuk membantu pemulihan
fungsi fisik, mental ataupun sosial secara optimal di bidang perawatan diri,
produktifitas dan yang bersifat rekreasi atau menyenangkan sehingga menjadi
mandiri dalam beraktifitas baik dengan alat bantu ataupun tanpa alat bantu
terutama untuk aktivitas kesehariannya (makan, minum, mandi, berpakaian, dan
lainnya); terapi psikososial berupa pendampingan individu dan terapi bersama
untuk orangtua dan keluarga; serta pemberian alat bantu untuk penyandang

7

disabilitas fisik berupa: brace, sepatu ortopedik, kursi roda, prothese, korset,
maupun splint.
3. Rehabilitasi pada Pengguna Narkoba
Rehabilitasi wajib dilakukan oleh pecandu narkoba berupa rehabilitasi
medis dan sosial yang pelaporannya dilakukan oleh pecandu narkotika yang
sudah cukup umur atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum
cukup umur ke pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial (UU RI No
35 tahun 2009 tentang Narkoba).
Layanan dilakukan pada rehabilitasi pecandu narkoba dengan
menggabungkan konsep medis fisik dan psikologis sosial baik secara rehabilitatif
(pada penyalahguna napza) dan secara preventif (pada non penyalahguna napza),
berupa penanganan aspek fisik dilakukan oleh Dokter secara kuratif dan
rehabilitatif dengan metode berkala sesuai dengan jadwal yang disarankan.
Penanganan aspek psikologis dilakukan oleh Psikolog secara preventif dan
rehabilitatif dengan metode konseling dan psikoterapi. Konsep kerja Psikolog
dengan mengembangkan Psikologi Klinis, Kesehatan Makro dan Mikro pada
tingkatan individual, keluarga, dan kelompok komunitas.
Hawari (1999) mengungkapkan bahwa rehabilitasi penyalahgunaan
narkoba mencakup aspek medik psikiatrik, psikososial, dan psikoreligius. Bidang
medik psikiatrik penyalahgunaan narkoba menangani akibat munculnya
gangguan mental organik atau perilaku. Komplikasi yang dapat muncul antara lain
pada organ otak, lever, pankreas, pencernaan, otot, seks dan janin, endokrin,
gangguan nutrisi, metabolisme dan risiko kanker. Rehabilitasi yang dilakukan
mempertimbangkan

tingkat

ketergantungan

individu.

Individu

dengan

ketergantungan primer akan memunculkan gejala kecemasan dan depresi,
ketergantungan simtomatis meliputi gejala dari tipe kepribadian yang

8

mendasarinya pada kepribadian psikopatik, kriminal, dan kesenangan semata,
serta ketergantungan reaktif terdiri dari dorongan ingin tahu, dan tekanan
kelompok teman sebaya.
Rehabilitasi pada penyalahgunaan narkoba ini perlu memperhatikan
adanya faktor yang berperan pada penyalahgunaan narkoba dan kekambuhan
penyalahgunaan lagi seperti faktor internal berupa kepribadian (antisosial atau
psikopatik), kondisi kejiwaan berupa kecemasan dan depresi, maupun faktor
eksternal terdiri dari penguat atau pendukung faktor internal yang berasal dari
keluarga, teman sebaya, lingkungan dari mantan pengguna narkoba, dan kondisi
keluarga meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orangtua maupun hubungan
orangtua serta anak (Hawari, 1999).
4. Rehabilitasi pada Individu dengan Gangguan Mental.
Individu dengan gangguan mental terlebih yang menyandang disabilitas
memerlukan rehabilitasi berupa rawatan khusus yang tidak hanya dilakukan di
rumah sakit jiwa melainkan sekembalinya dari rumah sakit jiwa. Saat ini
masyarakat belum terbiasa dengan deinstitusionalisasi program pasca rawatan
rumah sakit jiwa, sehingga terjadi perlakuan berbeda pada penyandang
disabilitas terlebih pasca rawatan gangguan jiwa (Martaniah, 2006; Duffy &
Wong, 2003). Rehabilitasi mental ini juga dapat dilakukan dengan bantuan
penempatan perawat jiwa kesehatan publik di masing – masing rumah individu
dengan gangguan mental. 2001). Perawat kesehatan publik dapat melakukan
intervensi bagi individu dan kelompok masyarakat dalam tataran sistem dan
keluarga (Grumbach, 2004).
Rehabilitasi individu dengan gangguan mental ini diarahkan pada
pencapaian persiapan pasien supaya dapat menyesuaikan diri dengan keluarga
dan komunitasnya, mengusahakan supaya keluarga dan komunitas mempunyai
sikap dan usaha untuk membantu upaya pasien melakukan rehabilitasi,
mengikutsertakan keluarga dan komunitas dalam perencanaan program

9

rehabilitasi, dan secara kontinyu membangun keberlangsungan hubungan
rehabilitasn dengan keluarga dan komunitasnya (Martaniah, 2006). Masyarakat
belum terbiasa dengan program deinstitusionalisasi pasca rawatan rumah sakit
jiwa sehingga rehabilitan masih mengalami perlakuan yang berbeda (Martaniah,
2006;Duffy & Wong, 2003).