Mengembangkan Kemampuan Self Regulation siswa

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation
Opini

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

untuk Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa

Handy Susanto*)

Abstrak
Keberhasilan seseorang dalam menjalankan proses pendidikannya tidak hanya ditentukan oleh tingkat
intelegensi (IQ) yang dimilikinya, tetapi dibutuhkan juga kemampuan meregulasi dirinya selama
mengikuti proses pendidikan. Kemampuan ini lebih dikenal dengan istilah self regulation meliputi
kemampuan untuk mulai mencoba menentukan nilai yang ingin diperolehnya, merencanakan membuat
jadwal pelajaran, membagi waktu antara belajar dan bermain, dan mempersiapkan diri dalam
menghadapi ulangan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasinya di sekolah.
Kata kunci: Intelligence Quotient (IQ), Self Regulation, kemampuan akademik
Intelligence Quotient (IQ) is not the only one factor in determining some one to be successful in his/
her study. Besides, a person needs the skill to regulate him/herself during learning process. This
skill, known as self regulation, includes the ability to determine the goals that he/she wants to reach,
to plan learning schedule, to organize time to study and to play, and to prepare him/herself for the

examination so that he/she can finally show his/her better performance at school.

Pendahuluan
atu pertanyaan yang sering kita
hadapi ataupun kita renungkan
adalah apa yang kita harapkan baik
saat ini peran kita sebagai guru
ataupun sebagai orang tua terhadap anakanak kita? Tentunya sebagian besar dari kita
bahkan setiap guru ataupun orang tua akan
mengharapkan anak-anak kita dapat berhasil
dan sukses dalam mengikuti pendidikannya.
Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa
kita mengharapkan dapat melihat setiap anak
kita (tanpa kita harus berteriak-teriak)
dengan sendirinya membuka buku pelajaran,
mengerjakan seluruh tugas-tugas sekolah
yang diterimanya? Ataukah ternyata yang
saat ini kita hadapi kenyataannya sangat

S


bertentangan dengan apa yang kita
bayangkan, bahkan mungkin ada yang
berkata dalam hatinya bahwa melihat anakanak mampu belajar sendiri, mengerjakan
tugasnya tanpa harus disuruh-suruh, tanpa
harus keluar teriakan dari mulutnya, tanpa
harus berargumentasi merupakan hal yang
mustahil yang dapat mereka lihat pada diri
anak mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman
yang begitu cepat, kesibukan orang tua yang
sangat padat dengan dalih untuk mencari
penghasilan demi memenuhi kebutuhan
hidup, membuat komunikasi antara orang
tua dan anak sangat sulit untuk terjalin.
Padatnya jadwal bekerja orang tua membuat
setiap anak tidak memiliki lagi waktu untuk
bersama-sama dengan orang tuanya.
Padahal waktu kebersamaan antara orang


*) Mantan Guru Bimbingan dan Konseling SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya

64

Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

tua dan anak sangatlah penting untuk selalu ternyata mereka merupakan siswa yang cerdas
(superior atau bahkan gifted).
dikembangkan dan dijaga kualitasnya.
Menurut Boekaerts, ada beberapa faktor
Jika kita mengharapkan anak-anak kita
yang
mempengaruhi keberhasilan seorang siswa
mampu untuk belajar tanpa harus disuruh,
untuk
mencapai prestasi yang optimal. Di
tentunya pada awalnya membutuhkan
antaranya

adalah intelegensi, kepribadian,
dorongan dan bimbingan orang tua. Suatu hal
lingkungan
sekolah, dan lingkungan rumah.
yang mustahil dapat dicapai oleh orang tua jika
Namun
selain
faktor-faktor tersebut ternyata self
mereka mengharapkan anak-anaknya dapat
regulation
turut
mempengaruhi keberhasilan
belajar dengan sendirinya tanpa dimulai dengan
siswa
dalam
mencapai
prestasi yang optimal.
adanya dukungan orang tua. Di sinilah peran
Meskipun
seorang

siswa
memiliki tingkat
orang tua untuk dapat mengembangkan
intelegensi
yang
baik,
kepribadian,
lingkungan
kemampuan anak untuk mulai mencoba
rumah,
dan
lingkungan
sekolah
yang
menentukan nilai yang ingin diperolehnya,
mendukungnya,
namun
tanpa
ditunjang
oleh

merencanakan untuk membuat jadwal pelajaran,
kemampuan
self
regulation
maka
siswa
tersebut
mampu membagi waktu antara belajar dan
bermain, mampu mempersiapkan diri dalam tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang
menghadapi ulangan sehingga pada akhirnya optimal, (dalam Boekaerts, 2005).
dapat meningkatkan prestasinya di sekolah. Pentingnya kemampuan self regulation dalam
Kemampuan-kemampuan tersebut tercakup menunjang keberhasilan seseorang dalam
dalam kemampuan meregulasi diri dalam bidang mencapai prestasi yang optimal ditunjang oleh
akademik.
hasil survey yang
(www.pikirandilakukan
rakyat.com).
Yayasan KeseMeskipun seorang siswa memiliki
jahteraan Anak
Perkembangan

tingkat
intelegensi
yang
baik,
Indonesia terhaself regulation
dap 306 orang
kepribadian, lingkungan rumah, dan
sebenarnya susiswa kelas IV
dah mulai berlingkungan sekolah yang
sampai
VI
langsung pada
mendukungnya,
namun
tanpa
Sekolah
Dasar
saat anak mulai
menunjukkan
ditunjang dengan kemampuan Self

memasuki lingbahwa
pada
kungan sekolah.
Regulation maka siswa tersebut tetap
tahun
1997
rataDi sekolah, anaktidak
akan
mampu
mencapai
prestasi
rata
anak
anak dituntut
yang optimal.
menonton televisi
untuk
dapat
sekitar 26 jam/
mengikuti proses

m i n g g u ,
belajar mengajar,
kemudian pada
misalnya belajar untuk memusatkan perhatian
tahun
2001
meningkat
menjadi
sekitar 35 jam/
pada saat pelajaran sedang berlangsung,
minggu
atau
sama
dengan
5
s/d
6 jam per hari.
mencatat setiap pelajaran yang diperolehnya
Sebanyak
50%

responden
menyadari
bahwa
selama di kelas, mengerjakan tugas-tugas yang
mereka
terlalu
banyak
menghabiskan
waktu
di
diberikan oleh guru. Oleh karena itu dituntut
depan
televisi
sehingga
mereka
cenderung
lupa
perhatian dari orang tua masing-masing untuk
mulai menerapkan disiplin sejak dini. untuk belajar (Kompas, 24 Juli 2001). Hal yang
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gunarsa senada juga diungkapkan oleh salah seorang

(1991), bahwa kebiasaan disiplin diri dan guru Sekolah Dasar Negeri yang menyatakan
disiplin waktu akan mendukung kelancaran bahwa proses belajar seringkali terabaikan
perkembangan kognitif sehingga anak mampu hanya karena anak terlalu sering bermain
playstation. (www.kompas.com). Di sini jelas
mencapai keberhasilan prestasi yang optimal.
Dari yang selama ini diamati oleh penulis, terlihat bahwa ketidakmampuan anak dalam
tampaknya cukup banyak siswa yang tergolong mengatur jadwal belajar dengan bermain
underachiever. Siswa yang menunjukkan prestasi (merupakan salah satu kemampuan dalam self
yang kurang optimal, padahal pada saat regulatian academik) membuat proses belajar
dilakukan pemeriksaan psikologis (psikotest) menjadi terabaikan.
untuk mengetahui potensi kecerdasannya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

65

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

Memang kita tidak dapat menyangkal
bahwa perkembangan zaman begitu cepat,
perkembangan teknologi sangat cepat, dan
tuntutan zaman semakin tinggi memberikan
pengaruh sedikit banyak pada pencapaian
prestasi anak. Salah satu contohnya, dengan
maraknya bermunculan permainan di komputer
(games online). Mungkin sulit bagi kita untuk
mencegah anak untuk tidak bermain games di
komputer, menonton televisi terus menerus,
ataupun dengan semakin menjamurnya pusatpusat perbelanjaan yang membuat mereka selalu
ingin bermain di tempat-tempat tersebut.
Sungguh tidak bijak bagi kita untuk menolak
kemajuan zaman. Yang menjadi persoalan bagi
kita semua, bahkan mungkin inilah yang
menjadi pekerjaan rumah kita untuk ke depan
adalah bagaimana kita membantu anak-anak
kita, siswa-siswi kita dalam mengembangkan
kemampuan self regulation agar dapat menunjang
keberhasilannya dalam mencapai prestasi yang
optimal.

Tinjauan Pustaka
Keberhasilan
seorang
anak
dalam
pendidikannya tidak dapat dicapai begitu saja.
Anak yang dapat meraih keberhasilan dalam
pendidikannya tentunya melalui proses yang
cukup panjang dan ditentukan oleh berbagai
macam faktor. Lingkungan keluarga merupakan
lingkungan pertama di mana seorang anak mulai
belajar beradaptasi agar mereka dapat berhasil
saat masuk ke dalam lingkungan di luar
keluarga. Dengan perkataan lain bahwa
pendidikan untuk seorang anak bukanlah
dimulai di lingkungan sekolah, tapi keluarga
merupakan lingkungan pendidikan anak yang
pertama. Di dalam lingkungan keluarga anak
dapat memperoleh pendidikan salah satunya
adalah disiplin yang nantinya pada saat anak
terbiasa untuk menerapkan disiplin bagi dirinya,
maka akan turut mempengaruhi perkembangan
self regulation.

Pendidikan Anak di dalam
Lingkungan Keluarga
Menurut Gunarsa (1991), anak membutuhkan
rasa aman dan terlindungi yang tentunya
pertama kali didapatkan di dalam lingkungan
keluarga. Rasa aman yang diberikan oleh
keluarga merupakan salah satu syarat bagi

66

Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

kelancaran proses perkembangan anak. Sebagai
langkah awal, orang tua perlu sampai pada
kesepakatan mengenai pendidikan anak.
Keluarga merupakan tempat bagi anak
untuk memperoleh dasar dalam membentuk
kemampuannya agar kelak menjadi orang yang
berhasil di masyarakat. Di dalam lingkungan
keluarga yang menerapkan disiplin, anak akan
memperoleh
dasar
untuk
mulai
mengembangkan sikap sosial dan kebiasaan
berperilaku. Kebiasaan disiplin diri dan disiplin
waktu akan mendukung kelancaran
perkembangan kognitif sehingga anak mampu
mencapai keberhasilan prestasi yang optimal.
Selama masa pertengahan dan akhir anakanak, beberapa kendali dialihkan dari orang tua
kepada anak itu sendiri, walaupun prosesnya
terjadi secara bertahap (Maccoby, 1994 dalam
Santrock, 2002). Masa ini dikenal dengan masa
koregulasi. Proses koregulasi adalah suatu
periode transisi antara kuatnya kendali orang
tua pada masa awal anak-anak dengan
meningkatnya pengurangan pengawasan pada
masa remaja.
Selama masa koregulasi ini, orang tua harus:
1. Memonitor, menuntun, dan mendukung
anak dari jauh.
2. Menggunakan waktu secara efektif ketika
mengadakan kontak langsung dengan anak
dalam arti bahwa setiap orang tua harus
membangun suatu hubungan yang
berkualitas dengan anak.
3. Memperkuat kemampuan anak untuk
memantau
perilakunya
sendiri,
mengadopsi standar-standar perilaku yang
sesuai, menghindari resiko yang
membahayakan, dan merelakan kapan
dukungan dan kontak orang tua yang
dengan tepat.

Self Regulation
Self-regulation dapat dipahami sebagai
penggunaan suatu proses yang mengaktivasi
pemikiran, perilaku, dan affects (perasaan) yang
terus menerus dalam upaya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
(Schunk & Zimmerman, 1997 dalam http: //
education.calumet.purdue.edu/indeks23,php).
Self regulation digambarkan sebagai sebuah
siklus karena feedback dari tingkah laku
sebelumnya digunakan untuk membuat
penyesuaian dalam usahanya saat ini.
Penyesuaian seperti itu diperlukan karena

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

faktor-faktor personal, tingkah laku, dan
lingkungan secara konstan berubah selama
proses belajar dan berperilaku. Faktor-faktor
tersebut juga harus diobservasi dengan feedback
yang mengarah pada dirinya.

Struktur Sistem Self Regulation
Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi
fungsi dirinya dengan berbagai cara untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Winne,
1997 dalam Boekaerts, 2000). Oleh karena itu
yang membedakan hanyalah efektivitas dari self
regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang
mampu mengembangkan kemampuan self
regulation secara optimal, maka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai
secara optimal. Sebaliknya pada saat seseorang
kurang mampu mengembangkan kemampuan

menentukan tahap-tahap untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkannya. Fase performance or
volitional control meliputi proses-proses yang
terjadi selama seseorang bertindak dalam upaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada fase
sebelumnya. Fase self reflection meliputi proses
yang terjadi setelah seseorang melakukan upaya
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
dan pengaruh dari respon (feedback) terhadap
pengalamannya yang kemudian akan
memberikan pengaruh pada fase forethought
dalam menetapkan tujuan dan langkah-langkah
yang harus dilaksanakannya. Ketiga fase
tersebut terus menerus berulang dan membentuk
suatu siklus.
Secara ringkas proses yang terjadi dalam
ketiga fase tersebut dalam dilihat dari tabel di
bawah ini:

Tabel struktur fase dan sub proses pada self regulation (Boekaerts, 2000)
Forethought

Performanc e/ V olitional
Control

Self Reflec tion

Task A nalysis
- G oal setting
- Strategic planning

Self c ontrol
- Self intruc tion
- Imagery
- A ttention: foc using
- Task strategies

Self judgement
- Self evaluation
- Causal attribution

Self motivation
- Self efic ac y
- Outc omes expec tations
- Intrinsic interest/ value
- G oal orientation

Self observation
- Self rec ording
- Self experimentation

Self reac tion
- Self satisfac tion/ affec t
- A daptive
– Devensive

self regulation dalam dirinya, maka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat
dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam
kemampuan self regulation ini bisa disebabkan
oleh kurang berkembangnya salah satu fase
dalam proses self regulation terutama pada fase
forethought dan performance control yang tidak
efektif (Bandura, 1991; Zimmerman, 1998 dalam
Boekaerts, 2000).
Berdasarkan perspektif social cognitive,
proses self regulation digambarkan dalam tiga
fase perputaran : Fase forethought (perencanaan),
performance or volitional control (pelaksanaan), self
reflection (proses evaluasi). Fase forethought
berkaitan dengan proses-proses yang
berpengaruh yang mendahului usaha untuk
bertindak dan juga meliputi proses dalam

1.

Fase Forethought
Terdapat dua kategori yang saling berkaitan
erat dalam fase Forethought:
a. Task Analysis
Yang menjadi inti task analysis meliputi
penentuan tujuan (goal setting) dan
strategic planning. Goal Setting dapat
diartikan sebagai penetapan /
penentuan hasil belajar yang ingin
dicapai oleh seorang siswa, misalnya
memecahkan persoalan matematika
selama proses belajar berlangsung
(Locke & Lathan, 1990 dalam Boekaerts,
2000). Goal system dari seseorang yang
mampu melakukan self regulation
tersusun secara bertahap. Proses
Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

67

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

b.

2.

68

tersebut dilakukan sebagai regulator
untuk mencapai tujuan yang sama
dengan hasil yang pernah dicapai.
Bentuk kedua dari task analysis adalah
strategic planning. Strategi ini merupakan
suatu proses dan tindakan seseorang
yang bertujuan dan diarahkan untuk
memperoleh dan menunjukkan suatu
keterampilan yang dapat digunakannya
untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkannya. (Zimmerman, 1989
dalam Boekaerts, 2000). Strategi yang
dipilih secara tepat dapat meningkatkan
performance dengan mengembangkan
kognitif, mengontrol affect, dan
mengarahkan kegiatan motorik
(Pressley & Wolloshyn, 1995 dalam
Boekaerts, 2000). Perencanaan dan
pemilihan strategi membutuhkan
penyesuaian yang terus menerus karena
adanya perubahan-perubahan baik
dalam diri siswa itu sendiri ataupun
dari kondisi lingkungan.
Self Motivation Beliefs
Yang menjadi dasar task analysis dan
strategic planning adalah self motivation
beliefs yang meliputi self eficacy, outcome
expectation, intrinsic interest or valuing,
dan goal orientation. Self eficacy merujuk
pada keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya untuk memiliki
performance yang optimal untuk
mencapai tujuannya, sementara
outcomes expectation merujuk pada
harapan seseorang tentang pencapaian
suatu hasil dari upaya yang telah
dilakukannya (Bandura, 1997 dalam
Boekaerts, 2000). Sebagai contoh, self
eficacy yang mempengaruhi goal setting
adalah sebagai berikut: semakin mampu
seseorang meyakini kemampuan
mereka sendiri, maka akan semakin
tinggi tujuan yang mereka tetapkan dan
semakin mantap ia akan bertahan untuk
mencapai tujuan yang telah
ditetapkannya (Bandura, 1991; Locke &
Latham, 1990 dalam Boekaerts, 2000).

Fase Performance / Volitional control
a. Self Control
Proses self control seperti self instruction,
imagery, attention focusing, dan task
strategies,
membantu
siswa
menfokuskan pada tugas yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

b.

3.

dihadapinya dan mengoptimalkan
usaha untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkannya. Salah satu perilaku
yang dapat diamati pada saat seseorang
sedang berada di fase ini adalah saat
anak mencoba untuk memecahkan
persoalan
matematika,
anak
memperlihatkan verbalisasi dalam
mengingat rumus-rumus matematika
(self instruction), mencoba untuk
membentuk suatu gambaran mental
secara utuh misalnya dengan cara
melakukan proses encoding (imagery)
ataupun mencoba berbagai teknik untuk
melatih konsentrasi agar dapat dengan
mudah menghapalkan rumus-rumus
matematika tersebut (attention focusing).
Self Observation
Proses Self observing, mengacu pada
penelusuran seseorang terhadap aspekaspek yang spesifik dari performance
yang mereka tampilkan, kondisi
sekelilingnya, dan akibat yang
dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen,
1995 dalam Boekaerts, 2000). Penetapan
tujuan yang dilakukan pada fase
forethought mempermudah self
observation, karena tujuannya terfokus
pada proses yang spesifik dan terhadap
kejadian di sekelilingnya.

Fase Self Reflection
a. Self Judgement
Self judgement meliputi self evaluation
terhadap
performance
yang
ditampilkannya dalam upaya mencapai
tujuan dan menjelaskan penyebab yang
signifikan terhadap hasil yang
dicapainya. Self evaluation mengarah
pada upaya untuk membanding
informasi yang diperolehnya melalui
self monitoring dengan standar atau
tujuan yang telah ditetapkan pada fase
forethought.
b. Self Reaction
Proses yang kedua yang terjadi pada fase
ini adalah self reaction yang terus
menerus akan memperngaruhi fase
forethought dan seringkali berdampak
pada performance yang ditampilkannya
di masa mendatang terhadap tujuan
yang ditetapkannya.

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

Disfungsi Self Regulation
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
seseorang
kurang
mampu
untuk
mengembangkan self regulation.
1. Kurangnya pengalaman belajar dari
lingkungan sosial adalah faktor yang
pertama yang menyebabkan kegagalan
seseorang dalam mengembangkan self
regulation. Seringkali mereka mengalami
kesulitan untuk mengembangkan self
regulation disebabkan mereka tumbuh di
rumah atau lingkungan yang tidak
mengajarkan mereka untuk melakukan self
regulation, tidak diberikan contoh, atau pun
tidak diberikan reward (Brody, Stoneman,
Flor, 1996 dalam Boekaerts, 2000).
2. Batasan kedua yang menghambat seseorang
dalam mengembangkan kemampuan self
regulation bersumber dari dalam dirinya
yaitu adanya sikap apatis (disinterest). Hal
ini disebabkan dalam menggunakan teknikteknik self regulation yang efektif dibutuhkan
atisipasi, konsentrasi, usaha, self reflection
yang cermat. Sebagai contohnya,
kebanyakan guru akan melaporkan bahwa
murid-murid yang tidak aktif di kelas akan
menunjukkan prestasi yang kurang dan
jarang mengumpulkan tugas-tugas yang
diterimanya (Steinberg, Brown, Dornbusch,
1996 dalam Boekaerts, 2000).
3. Gangguan suasana hati, seperti mania atau
depresi adalah batasan ketiga yang dapat
menyebabkan disfungsi self regulation.
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami
depresi cenderung menunjukkan perilaku
menyalahkan diri sendiri, salah dalam
mempersepsikan hasil perilaku mereka,
bersikap negatif (Bandura, 1991 dalam
Boekaerts, 2000).
4. Batasan yang keempat yang sering
dihubungkan dengan disfungsi self
regulation adalah adanya learning disabilities,
seperti masalah kurang mampu
konsentrasi, mengingat, membaca dan
menulis (Borkowski & Thorpe, 1994 dalam
Boekaerts, 2000). Sebagai contoh, seorang
anak dengan learning disabilities menetapkan
goal academic
yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak-anak normal,
memiliki masalah dalam mengontrol
dorongannya, dan kurang akurat dalam
menilai kemampuan yang mereka miliki.

Saran dan Aplikasi
Penulis
mengakui
bahwa
dalam
mengembangkan self regulation pada diri anakanak sangatlah sulit. Akan ada begitu banyak
tantangan yang kita hadapi saat mencoba untuk
mengembangkan kemampuan self regulation,
seperti pengaruh dari lingkungan pergaulan
anak, perkembangan teknologi yang cenderung
membawa anak-anak pada hal-hal yang negatif.
Namun, satu hal yang harus kita pahami juga
bahwa self regulation merupakan suatu
kemampuan. Pada prinsipnya jika kemampuan
tersebut dicoba untuk terus menerus digunakan
/ dilatih, maka pada suatu saat pasti
kemampuan tersebut akan melekat pada diri
anak-anak kita. Intinya pengulangan
merupakan suatu hal yang mutlak harus
dilakukan agar kemampuan tersebut dapat
melekat pada diri anak-anak kita.
Di dalam usaha untuk melatih kemampuan
ini pada anak-anak kita, peran orang tua (di
rumah) dan guru (di sekolah) sangatlah penting.
Orang tua dan guru (terutama yang mungkin
akan lebih berperan adalah Guru Bimbingan dan
Konseling) harus bersinergi untuk melatih
kemampuan self regulation agar melekat pada diri
anak-anaknya.
Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh orang tua bersama dengan guru:
1. Langkah pertama yang dapat kita latih
adalah kita harus mencoba mengarahkan
anak-anak kita untuk mulai menetapkan
target pada saat mereka mengikuti proses
belajar. Cobalah untuk memahami dan
menghargai apapun target yang ditetapkan
oleh anak-anak kita. Tujuannya adalah agar
anak-anak kita mampu menetapkan goal
setting selama mereka mengikuti proses
belajar. Ajaklah anak-anak kita untuk
berdiskusi dan bersikaplah terbuka
terhadap anak kita. Dalam forum diskusi
ini pula kita dapat mengatakan apa yang
sebenarnya kita harapkan dalam diri anakanak kita.
2. Setelah mereka menetapkan target yang
akan mereka capai, maka kita perlu
mendiskusikan dengan anak kita, apa yang
akan mereka lakukan (strategi) untuk
mencapai target yang telah mereka
tetapkan. Diskusikan setiap langkahlangkah yang akan mereka lakukan dan
berikanlah pandangan kita terhadap
Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

69

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

langkah-langkah yang akan mereka
laksanakan, tetapi bukan untuk mengkritik
langkah yang akan mereka tempuh.
3. Jika mereka telah menetapkan target yang
akan dicapai dan langkah-langkah yang
akan dijalani untuk mecapai target tersebut,
kita mulai membimbing mereka selama
proses pencapaian target tersebut. Selama
proses belajar
tersebut, pastilah
dibutuhkan kemampuan untuk konsentrasi
terhadap tugas yang dihadapinya. Kita
dapat menawarkan beberapa cara agar
mereka dapat memusatkan perhatiannya
selama mengikuti proses belajar, seperti
teknik yang digunakan dalam quantum
learning, misalnya dengan mengajarkan
kepada anak-anak bagaimana cara
meningkatkan gelombang alpha di dalam
otak kita sehingga kita mampu
memusatkan perhatian (konsentrasi).
Latihan ini terutama ditujukan untuk
melatih kemampuan attention focusing.
4. Pada saat anak-anak mendapatkan tugas
di sekolah yang harus mereka kerjakan,
mulailah dengan melatih mereka untuk
membagi tugas-tugas tersebut menjadi
bagian-bagian kecil dan memilah bagianbagian yang penting. Misalnya, jika mereka
menghadapi ulangan maka kita dapat
mengajarkan untuk membagi bahan
ulangan tersebut menjadi beberapa bagian
dengan menetapkan skala prioritas (derajat
kepentingannya),
dan
memulai
mempelajari bahan ulangan dari bagian
yang paling penting.
5. Langkah selanjutnya yang dapat kita latih
adalah mencoba untuk mengevaluasi
kembali target yang telah ditetapkan
dengan hasil yang telah diperoleh selama
ini. Ajaklah anak-anak kita untuk
berdiskusi mengenai hal tersebut. Buatlah
suasana diskusi yang terbuka agar anakanak kita pun mampu untuk terbuka
menyampaikan pendapatnya. Berikanlah
pandangan-pandangan kita mengenai
hasil yang telah didapatnya. Kemudian
ajaklah kembali anak-anak kita untuk
mulai menetapkan target yang baru, yang
mengacu pada hasil evaluasi.
Perlu usaha yang sangat besar dalam
menjalankan langkah-langkah tersebut dan
sungguh mustahil dapat dijalankan apabila
70

Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

hubungan kita dengan anak cukup jauh. Oleh
karena itulah sangatlah penting bagi kita untuk
mulai membenahi kembali hubungan kita
dengan anak. Seperti yang diungkapkan pada
awal tulisan ini, bahwa untuk memulai
mengembangkan self regulation ini adalah
dorongan dari orang tua. Jadi tidak mungkin kita
dapat melatih kemampuan self regulation jika
hubungan kita dengan anak atau siswa kita
kurang baik. Untuk menjalankan beberapa saran
yang telah diuraikan di atas mensyaratkan satu
hal yaitu keterbukaan antara orang tua dan
anak, guru dan murid. Keterbukaan tersebut baru
dapat tercipta jika hubungan antara keduanya
pun baik. Namun, perlu disadari juga bahwa
perkembangan self regulation tidak bisa terjadi
secara instan. Semuanya mengalami suatu
proses, dan yang pasti akan membutuhkan
waktu yang cukup panjang agar self regulation
dapat berkembang seutuhnya. Di sini penulis
menekankan kepada setiap guru (terutama Guru
Bimbingan dan Konseling) dan orang tua
hendaklah tidak jemu-jemunya untuk
membimbing terus setiap anaknya dalam rangka
mengembangkan self regulation ini, karena ini
merupakan suatu bentuk keterampilan yang
harus terus menerus diulang.
Manfaatkanlah awal tahun pelajaran
ataupun awal semester untuk mulai membentuk
kemampuan ini, lalu dilakukan proses evaluasi
sepanjang semester atau sepanjang tahun
pelajaran tersebut dengan cara membagi menjadi
beberapa waktu evaluasi, misalnya melakukan
evaluasi 1 bulan atau 2 bulan sekali. Semakin
sering melakukan evaluasi akan semakin baik
karena hasil dari evaluasi tersebut dapat
digunakan sebagai patokan untuk menetapkan
atau merumuskan kembali tujuan yang
sebelumnya telah ditetapkan.

Kesimpulan
Keberhasilan seorang anak dalam menjalani
proses pendidikannya bukanlah ditentukan
oleh IQ (Intelligence Quotient) semata. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan
seseorang
dalam
menjalani
proses
pendidikannya, salah satunya adalah
kemampuan self regulation. Kemampuan self
regulation meliputi kemampuan siswa dalam
mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di

Mengembangkan Kemampuan Self Regulation

sekolah, membagi waktu antara belajar dan
bermain, kemampuan mempersiapkan diri
dalam menghadapi ulangan.
Kemampuan ini tidak dapat berkembang
dengan sendirinya. Dibutuhkan suatu
lingkungan yang kondusif agar anak dapat
mengembangkan kemampuan self regulation.
Lingkungan yang kondusif seperti hubungan
yang baik antara orang tua dan anak atau guru
dan anak akan mendukung perkembangan self
regulation karena dalam hubungan yang
kondusif, maka akan tercipta suatu keterbukaan
yang diperlukan untuk melaksanakan proses
diskusi dan evaluasi.

Daftar Pustaka
Boekaerts, Monique; Pintrich, Paul; Zeidner,
Mosche. (2000). Handbook of self regulation.
California, USA: Academic Press
Gunarsa, Singgih D. (1991). Psikologi
perkembangan anak dan remaja. Jakarta:
Gunung Mulia
Santrock, John W. (1983). Developmental psychology; A Life-span approach, 5th ed. New Delhi:
McGraw-Hill, Inc; Ltd Publishing Company
Santrock, John W. (2002). Life span developmental,
5th ed. Jakarta: Erlangga
http://www.kompas.com, 24 Juli 2001, Televisi
menyita perhatian anak
http://www.pikiran-rakyat.com, 22 April 2001.
http: //education.calumet.purdue.edu/
indeks23.php, 18

Jurnal Pendidikan Penabur - No.07/Th.V/Desember 2006

71