BAB I PENDAHULUAN - Kemajemukan Hukum Perkeretaapian Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Skripsi ini menjelaskan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi pada masyarakat. Kemajemukan hukum di masyarakat terjadi di masing-masing bidang lapangan kehidupan. Seperti halnya juga yang terjadi di lingkungan kehidupan perkeretaapian Sumatera Utara. Kemajemukan hukum itu sendiri diartikan oleh Masinambow adalah bahwa dalam dunia pragmatis sedikit-dikitnya ada dua sistem norma atau dua sistem aturan yang terwujud di dalam interaksi sosial (Masinambow, 2000:5).

  Begitu juga dengan yang terjadi pada lingkungan sosial perkeretaapian Sumatera Utara, yang mana di lingkungan perkeretaapian ini muncul situasi kemajemukan hukum. Oleh sebab itulah, dalam skripsi ini saya berusaha memaparkan kondisi yang sebenarnya terjadi berdasarkan fakta yang diperoleh dari lapangan selama penelitian dilakukan.

  Penelitian ini penting untuk dilakukan karena pada dasarnya ketika berbicara mengenai kereta api maka secara langsung akan berbicara mengenai aturan-aturan yang berlaku dan hidup di lingkungan perkeretaapian Sumatera Utara. Oleh karena itu, tidak cukup hanya membahas tentang transportasinya saja, banyak komponen lain yang terkait dengannya, baik itu stasiun, rel, peron, lokomotif, gerbong, palang pintu, pegawai kereta api, penumpang, pedagang dan masing-masing komponen yang ada di lingkungan kereta api tersebut memiliki aturan-aturan yang berbeda satu sama lain.

  Masalah kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara perlu dilihat dan dipahami. Hal ini dikarenakan bahwa kondisi hukum yang ada di perkeretaapiaan Sumatera Utara terkait dengan kebijakan, relasi-realsi sosial yang terbentuk, kontak antara individu-individu yang ada di lingkungan kereta api dan yang semuanya juga mungkin terkait dengan proses globalisasi.

  Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hukum tidak dapat dipandang semata-mata berwujud peraturan perudang-undangan serta tidak dapat dipandang sebagai institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan

  1

  masyarakat . Selain itu juga hukum dalam wujudnya dapat berbentuk peraturan- peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/

  

folk law ), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekanisme pengaturan dalam

  masyarakat (self regulation), yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dan menjadi alat untuk menjaga keteraturan sosial (social

  2 order ) .

  Sejalan dengan penjelasan di atas maka secara lebih fokus lagi tulisan ini bercerita tentang bagaimana hukum itu ternyata diberlakuakan di lapagan. Selain itu juga menjelaskan bahwa hukum itu bukan hanya berbentuk aturan tertulis saja 1                                                             

  

I Nyoman Nurjaya (2009), artikel “ pengembangan Tema Kajian Metodologi dan Model

Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia. Terdapat pada

2 http://editorsiojo85.wordpress.com/2009/03/31/antropologi-hukum/ diakses pada 12 oktober 2013.

  

Pospisil (1971) dalam artikel Boy Yendra Tamin”Sistem Hukum Adat di Tengah Kuatnya Sistem Hukum Gelobal” terdapat pada http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/sistem-hukum-adat- ditengah-kuatnya.html di akses 12 oktober 2013 melainkan banyak hukum yang tidak tertulis yang nyatanya hidup di satu lingkungan sosial yang sama. Sebagian besar dari hukum-hukum baru yang muncul diakibatkan oleh adanya kepentingan dari masing-masing agen pembuat hukum tersebut.

  Tidak hanya sebatas itu saja, proses saat hukum itu terbentuk juga merupakan bagian dari pada hukum. Legitimasi yang muncul dikarenakan pelegalan hukum dengan mengatas namakan hubungan kerabat juga termasuk dalam pembahasan hukum. Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Dimana ada tumpang tindih hukum yang terjadi di sini. Di satu sisi hukum Negara harus menjadi panglima di lingkungan perkeretaapian namun kenyataannya adalah sebaliknya. Hukum Negara pada dasarnya tidak di tolak dan tetap di berlakukan di lingkungan kereta api akan tetapi hukum Negara tersebut hanya sebagian yang diserap dan diberlakukan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para agen yang terlibat di lingkungan kereta api tersebut. Selain itu juga guna memenuhi kepentingan dari tiap agen yang terlibat maka diciptakanlah sebuah hukum yang baru (Unnamed law). Hukum-hukum tersebut tercipta dalam bentuk yang beragam dan keberagaman hukum inilah yang mengakibatkan kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Utara.

  Dalam tulisan ini kesemuanya itu dipaparkan dengan cukup jelas, dimana kemajemukan hukum itu terjadi di tiap-tiap bagian dari kereta api. Untuk saya membagi pokok pembahasan menjadi 4 bab. Ke-4 bab tersebut masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda dan memiliki kait-kemait dari masing-masing bab. Pada bab 2 dijelaskan mengenai gambaran umum perkereta apian Sumatera Utara. Dimana dalam bab tersebut dijelaskan mengenai awal mula kehadiran kereta api pada tahun 1886 di Sumatera Utara hingga saat ini. Bab ini juga menjelaskan komponen-komponen lain yang terkait dengan kereta api, struktur organisasi serta undang-undang yang menjadi aturan formal bagi kereta api.

  Pada bab selanjutnya bab 3, 4 dan 5 saya mulai berbicara mengenai hukum-hukum yang terdapat di kereta api. Saya memutuskan membagi pembahasan kedalam tiga bab dikarenakan agar pembahasan dalam tiap babnya tidak terlalu melebar dan fokus. Saya juga mengklasifikasikan pembahasan yang saling terkait kedalam satu bab yang sama. Seperti pada bab 3 yang membahas mengenai hukum mengenai aset kereta api berupa tanah dan bangunan serta cara penyewaan aset tersebut. Dalam bab ini diceritakan mengenai berbagai fakta lapangan yang sama sekali beseberangan dengan aturan formal yang mengatur perkeretaapian Sumatera Utara terutama dalam hal permasalahan aset.

  Pada bab 4 skripsi ini dijelaskan mengenai hukum tiket dan gerbong kereta. Saya memilih untuk menyatukan pembahasan mengenai tiket dan gerbong ini karena antara keduanya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Pembahasan mengenai tiket tidak berlaku tanpa pembahasan mengenai gerbong kereta sebab pada dasarnya penumpang yang memiliki tiket yang dapat masuk ke dalam gerbong kereta. Untuk itulah penulis memilih menggabungkan kedua pembahasan ini kedalam satu bab.

  Dalam bab ini saya berusaha menceritakan bagaimana kondisi yang terjadi pada pertiketan kereta api dan prosedur-prosedur yang harus ditaati. Selain itu juga saya akan berbicara mengenai percaloan tiket yang marak terjadi dan melihat aturan-aturan yang bermain di dalamnya. Ketika berbicara mengenai hukum yang ada di gerbong kereta api saya berusaha memaparkan situasi dan kondisi yang terjadi di dalam gerbong kereta, aturan yang diberlakukan dan menggambarkan kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan hukum-hukum yang berlaku di gerbong kereta.

  Pada bab 5 saya berusaha menceritakan tentang hukum pegawai kereta api,

  bab ini menceritakan bagaimana para pegawai kereta api menciptakan hukumnya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan dan memenuhi kepentingan dari masing-masing pegawai tersebut. Untuk itu dalam bab ini saya mengklasifikasikan lagi pembahasan sesuai dengan jenis tugas dari pada pegawai kereta api yakni, pegawai loket, pegawai pengelolahan aset, OTC, masinis, kondektur dan juga pegawai penjaga pintu perlintasan.

  Melalui tiga bab pembahasan yang ada, kesemuanya menceritakan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di ranah perkeretaapian Sumatera Utara.

  Selain itu saya ingin memperlihatkan bahwa situasi kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Utara memang benar ada. Pihak kereta api harus menyadari bahwa ada lebih dari satu hukum yang mengatur dalam lingkungan kereta api. Selain itu juga pihak kereta api harus mengetahui bahwa terjadi tumpang tindih hukum antara hukum formal dengan pengaturan sendiri yang telah dibuat dan disepakati bersama.

  Dapat diketahui bahwa undang-undang perkeretaapian yang seharusnya dipatuhi seakan-akan tidak berlaku dilapangan karena adanya hubungan relasi kuasa antara individu-individu yang berada di lingkungan kereta api dan melakukan kesepakatan sehingga melegalkan tindakan yang pada dasarnya menyalahi aturan sebenarnya.

  Hal menarik yang ingin saya perlihatkan adalah bagaimana hukum-hukum yang ada saling bekerja dan diberlakuakan sama di lapangan. Serta memperlihatkan bahwa kepentingan dari masing-masing individu dapat memicu terciptanya hukum. Oleh karena itu ada keterkaitan antara kepentingan dengan hukum. Selain itu juga saya ingin memperlihatkan bagaimana hubungan kekerabatan juga dapat mendorong terciptanya suatu aturan baru, yang tanpa sadar mengenyampingkan aturan formal.

1.2 Tinjauan Pustaka

  Hukum merupakan komponen dasar dalam sebuah tertib sosial yang mengatur berbagai jenis interaksi dalam masyarakat. Kelsen mengatakan bahwa hukum itu adalah “ilmu normatif” yang lahir bukan karena proses alami,

  3

  melainkan karena kemauan dan akal manusia itu sendiri . Paham sentralisme hukum (legal centralism) mengatakan bahwa hukum sudah seharusnya bersumber dari hukum negara, hal ini berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain serta dijalankan oleh seperangkat lembaga- lembaga negara.

  Namun dalam kehidupan sehari-hari dimana hukum itu bekerja dalam arena sosial terjadi interaksi yang tidak bisa dihindari antara hukum negara 3                                                             

Joe Hasan Artikel “Teori Hukum” nterdapat di http://www.slideshare.net/joehasan/teori-hukum

  diakses pasa 29 oktober 2013 dengan berbagai hukum yang ada seperti hukum adat, agama dan hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya situasi kemajemukan hukum.

  Berbicara mengenai hukum adat Posposil menyebutkan adanya batasan antara adat dan hukum adat yang disebutkannya sebagai berikut:

  1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri hukum, atau attribute of law.

  2. Attribute yang dimaksud yang terutama disebut attribute of authority.

  Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melaui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: (i) serangan- serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.

  3. Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal

  application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari

  pihak yang berkuasa itu harus dimaksud sebgai keputusan-keoutusan yang mempunyai jangka waktu panjang yang harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang.

  4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga sebaliknya. Dalam hal ini kedua pihak tersebut harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Apabila keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban ataupun hak tadi, maka keputusan tidak akan ada akibatnya dan bukan keputusan hukum. apabila pihak kedua merupakan nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.

  5. Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa- bangsa Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa taku, malu, rasa dibenci, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1981: 200-201).

  Mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan hukum adat sudah terlihat sangat jelas dari penjelasan kelima poin diatas, telah dijelaskan bahwa untuk melihat perbedaan antara keduanya terlebih dahulu melihat attribute of law yang dimiliki pada suatu masyarakat agar dapat dilihat dengan jelas bagaimana sebenarnya hukum adat itu bekerja, aktivitas apa saja yang dapat dikatakan sebagai hukum dan bukan hukum melainkan adat.

  Paul J. Bohannan mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakatdi mana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan kekuatannya.

  Dari hukum itu, walaupun beragam wajah dan penampilannya diberbagai masyarakat yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara suatu masyarakat menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat bagaimana caranya lembaga-lembaga yang berhadapan dengan penyelewengan- penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat dikendalikan atau dibendung. Sehingga dapat dilihat bahwa lembaga itu menggeserkan kembali perilaku manusia kepada saluran-saluran yang diakui dan diterima sehingga kehidupan sosial dapat bertahan, karena hukum merupakan sarana untuk menyembuhkan masyarakat dan untuk melanjutkan hidup bermasyarakat (dalam Ihromi, 2000: 52-53).

  Seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan pandangan antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat hukum. Pada masyarakat terbuka cenderung memiliki sikap kritis terhadap kehidupan sosial mereka, yang mana mereka melihat bahwa norma/aturan yang mengatur kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa norma/aturan dan institusi yang mengaturnya dianggap pemberian dari alam. (dalam Birx, 2011:

  4 488) .

  Meminjam pernyataan yang di tuliskan oleh Klosen maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat terbuka membenarkan bahwa hukum itu di buat oleh manusia dan juga sekaligus mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup cenderung bersikap statis dalam memandang hukum tersebut.

  Friedman juga memiliki pendapat tersendiri dalam melihat hukum, yang mana ia menggolongkan hukum dalam tiga komponen yakni: (1) legal substance yang berarti sebagai norma dan aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; (2) legal structure yang berarti sebagai lembaga – lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara ) ; (3) legal culture yang berarti “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berfikir Lawrance M. Friedman (dalam Sulistyowati, 2000: 71).

  Dari ketiga poin tersebut tidak menutup kemungkinan adanya situasi kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dapat dilihat ketika seorang Individu menjadi subjek lebih dari satu hukum. Sehingga dapat dilihat bagaimana individu tersebut menanggapi sistem-sistem hukum yang ada 4                                                             

Joachim Klose merupakan Commissioner of the Konrad Adeneur Foundation for the Free State

  

of Saxony menuliskan hal tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Open And Close Socienties”

terdapat pada 21st Century Anthropology A Refrence Handbook dengan Editor: H. James Birx. tahun 2011 hal, 488. dihadapannya, hal ini terkait dengan budaya hukum. Budaya hukum inilah yang akan menentukan pilihan hukum individu tersebut, yang dengan kata lain aturan- aturan hukum yang mana dan dengan cara bagaimana ia mengadakan pilihan yang

  5 ada .

  Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. dalam pandangan prosesual masalah kemajemukan hukum diartikan bahwa setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan- kepentingan atau lebih tepatnya lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda.

  Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan suatu pranata hukum yang ada. Maka seseorang tersebut akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat

  6

  akses yang lebih terhadap pemenuhan kepentingan . Di mana ia akan memilih satu jalur hukum tertentu dan mungkin saja ia akan melakukan kombinasi terhadap hukum tersebut atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya.

  Inilah yang dikatakan oleh Keebet Von Benda Beckmann sebagai istilah

  

forum shopping . Tidak terlepas dari pada itu Keebet juga menerangkan sebuah

  istilah shopping forums yang mana tidak hanya orang-orang yang bersengketa saja yamg memilih-milih lembaga penanganan suatu sengketa. Namun lembaga yang terlibat itu juga memilih dan memanfaatkan suatu sengketa untuk kepentingannya 5                                                              6 Ibid hal, 72 Ibid hal, 79   sendiri terutama untuk tujuan politik lokal. Kemudian lembaga ini juga bisa menolak suatu permasalahan sengketa yang mereka khawatirkan akan menngancam kepentingan mereka ( K.Von Benda-Beckmann, 2000:65).

  Dalam penjelasan mengenai forum shopping dan shopping forums tersebut dapat dilihat bahwa ada proses pemilihan hukum yang dilakukan baik oleh pihak yang bersengketa maupun lembaga hukum yang terlibat di dalammya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata tunggal namun terdapat hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya suatu pilihan terhadap hukum itu sendiri atau dengan kata lain hukum mana yang akan digunakan.

  Hukum juga harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan

  7

  sebagai keseluruhan dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom . Maka dari itu antropologi tidak pernah memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena fakta yang terjadi saat ini bahwa hukum yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat bisa saja berbeda dengan masyarakat lainnya karena dalam

  8

  masyarakat tersebut terdapat hukum yang hidup (living law) . Sehingga ketika kondisi ini terjadi yang muncul adalah kemajemukan hukum.

  Dewasa ini bahasan mengenai kemajemukan hukum bukan merupakan hal baru untuk diperbincangkan. Kemajemukan hukum muncul karena adanya kemajemukan budaya. Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara teoritis merupakan konfigurasi budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Simbol Bhineka tunggal ika adalah bukti nyata kemajemukan budaya bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam etnik, ras, suku, agama dan sebagainya. 7                                                              8 Loc,Cit Masinambow hal, 1

Op,Cit Sulistyowati hal 67.Teori living law berasal dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan–aturan

  hukum yang hidup dari tatanan normatif yang dikontraskan dengan hukum negara.

  Keragaman ini lah yang kemudian membentuk satu himpunan berupa bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dalam keberagaman selalu ada perbedaan–perbedaan yang menyimpan potensi konflik, jika tidak dikelola dengan baik maka potensi ini akan berwujud pertikaian yang pada akhirnya mengancam disintegrasi bangsa. Merujuk pada konflik maka hukum harus menjadi panglima dalam mengatasi masalah yang

  9

  ada dimasyarakat . Oleh karenanya perlu dipertanyakan apakah praktek penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki keragaman budaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian yang cukup serius. Namun tidak pada kesempatan ini.

  Pada kesempatan ini akan diperdalam penjelasan mengenai kemajemukan hukum itu. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia memperlihatkan bagaimana kemajemukan hukum tersebut bekerja dalam ranah hukum yang kompleks. Mulai dari peradilan lembaga adat sampai pengadilan tinggi. Bukti nyata yang terjadi dapat dilihat dalam karangan Sulistyowati Irianto (2003)

  10 mengenai perempuan diantara berbagai pilihan hukum .

  Di sini dijelaskan bahwa perempuan batak Toba tidak memndapatkan harta warisan peninggalan orang tua mereka, karena menurut adat yang mendapatkan harta warisan adalah anak laki-laki saja. Akses terhadap hukum adat jelas tidak memberi jalan bagi wanita untuk mendapatkan hak waris, sehingga menyebabkan kelompok perempuan tertentu menciptakan budaya hukumnya 9                                                             

Achmad Syauqi Esai mengenai eksistensi hukum negara ditengah kemajemukan budaya. Terdapat

10 pada www.achmadsyauqie.files.wordpress.com diakses 18 juni 2013

Ini merupakan studi mengenai strategi perempuan batak toba untuk mendapatkan akses kepada

  harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, yang dijilid berupa sebuah buku yang tersiri dari 334 hal.

    sendiri yang tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris. Para pihak yang terlibat menggunakan hukum adat dan hukum negara secara bergantian, sehingga muncul kesepakatan antara pihak yang terlibat.

  Penelitian yang di tulis oleh Engel Tambunan juga membahas mengenai kemajemukan hukum yang berjudul kemajemukan hukum dalam pengoprasian angkutan kota (studi deskriptif tentang pengoprasian angkot di Medan) yang mengatakan dalam hasil penelitiannya bahwa kemajemukan hukum yang terjadi di sini terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara dalam pengoprasian angkot yang pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam

  11

  hubungan sosial yang semi otonom antara aktor/ pihak – pihak tertentu (Engel, 2011: 9-10).

  Kemajemukan hukum juga terjadi pada penegakan hukum pidana dalam masyarakat, salah satunya terjadi pada masyarakat Lampung. Hal ini berkaitan dengan pengaruh nilai–nilai adat Masyarakat Lampung. Sebagian besar masyarakat Lampung kurang mengetahui isi peraturan perundang–undangan pidana dan penegakan hukumnya tetapi masyarakat memahami substansi hukum pidana, yaitu dalam hal pencegahan dan penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan adanya konsep tata nilai budaya masyarakat lampung yang disebut piil pesenggiri yang di dukung oleh kelima unsurnya (juluk-adek, nemui-nyimah, nengah- 11                                                             

Dalam penelitiannya, Engel berfokus terhadap angkot KPUM, dikatakan bahwa angkot KPUM

  dikemudikan oleh sebagian besar supir – supir yang tergabung menjadi anggota organisasi KPUM. Organisasi ini memiliki beberapa aturan yang diberlakukan kepada pemilik angkot, mandor, dan

supir angkot dalam mengoprasikan angkutannya. Selain aturan KPUM, pengoprasian angkot

KPUM juga diatur oleh hukum negara dan aturan lapangan yang disebut sebagai unnamed law . Berdasarkan kondisi yang ada, maka terciptalah aturan main yang diberlakukan oleh pihak – pihak tertentu. ( Rieview skripsi Engel Tambunan 2011)

  

nyappur, sakai-sambayan dan tittei gumantei) yang pada dasarnya merupakan

  kebutuhan hidup bagi masyarakat Lampung. Inilah yang menciptakan suasana yang tentram dan damai dalam hidup bermasyarakat. Pelaksanaan penegakan hukum pidana memerlukan adanya peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Disinilah letak kemajemukan hukum tersebut karena kesadaran hukum masyaraka bersumber dari nilai-nilai

  12 hidup masyarakat Lampung (Eddy Rifai, 2000: 160-162).

  Sebuah kasus yang terjadi antara masyarakat Maluku juga mencerminkan sebuah kemajemukan hukum. C.Cooley dan D.Bartles mengadakan penelitian tentang masyarakat Maluku tersebut dengan hukum pela. Pela merupakan suatu ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk semua pihak yang terkait di dalamnya. kewajiban yang penting tersebut mengenai eksogami desa. Pela dibuat untuk tujuan saling membantu atau bekerja sama. Pela merupakan kunci kebudayaan Maluku. Orang Maluku pada kala itu banyak yang hijrah ke Belanda karena latar belakang politik yang berbeda. Diawali dari sinilah kasus kemajemukan hukum itu muncul. 12                                                             

Eddy Rifai dalam tulisannya yang berjudul Pluralisme Hukum dan Penegakan Hukum Pidana di

  Dalam Masyarakat (Tinjauan Tentang Penyelesaian Koflik Pada Masyarakat di Daerah Lampung). Masyarakat   Lampung  memiliki  Strata  (tingkatan)  berdasarkan  genealogis  ataupun  status  sosial  adat

 dan apabila seseorang bersalah maka ia akan diberi hukuman berdasarkan statusnya dalam

masyarakat. Juluk-adek adalah gelar adat, Nemui-nyimah adalah sikap pemurah, Nengah-nyappur adalah bertoleransi dan bersahabat, Sakai-sambayan adalah tolong menolong atau gotong royong,

Budi bahaso dan tittie gemettei adalah bahasa sopan dan norma/ kebiasaan masyarakat adat.

  

Artikel ini merupakan sumbangan karangan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70

Prof.Dr.T.O.Ihromi dimuat dalam E.K.M. Masinambow (editor) Hukum dan Kemajemukan

Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000), hal 149-162.

    Orang Maluku yang hijrah tersebut tersebar diseluruh negeri Belanda. Mereka membentuk lingkungan tempat tinggal khusus dengan jumlah antara 200- 2000 penduduk. Mereka juga membentuk sebuah organisasi sosial orang Maluku di negeri Belanda dan Menerapkan hukum pela di sana. Kenyataan yang terjadi bahwa hukum adat pela yang mereka bawa dari kampung halamannya tumbuh dan berlaku lebih kuat di antara orang- orang Maluku yang ada di negeri Belanda dari pada di Indonesia sendiri. Akibat adanya hukum tersebut maka terdapat dua hukum di negeri Belanda yakni antara hukum resmi dan hukum yang tidak resmi. Kemajemukan hukumpun terjadi si sana, yang mana golongan pendatang yakni orang Maluku lebih menerapkan hukum pela dalam kelompok masyarakat mereka sendiri dari pada hukum resmi yang ada di negeri Belanda. (Strijbosch, 1989:

  13

  84) Ketika berbicara kemajemukan hukum maka muncul sebuah konsep dimana kemajemukan hukum itu sendiri mengacu pada keberagaman dalam berhukum karena pada konteksnya masyarakat bersifat plural baik dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas dan jenis kelamin. Kemajemukan hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur hubungan sosialnya.

  Kemajemukan hukum memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat. 13                                                             

Tulisan F.Strijbosch mengenai “Legal Pluralism in The Netherlands, The Case of Moluccan

  Pela Law” . terdapat pada jurnal antropologi no 47. tahun 1989 hal: 84. dan Pela adalah salah satu hukum adat di Indonesia, tepatnya hukum adat yang ada di kepulauan Maluku dan berlaku bagi orang-orang Maluku.

  Kemajemukan hukum tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang baru untuk diperbincangkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara terpisah tanpa memperhatikan hukum – hukum lain yang ada di sekitar masyarakat tersebut.

  Dilain sisi Sulistyowati (dalam Ihromi, 1993: 243) yang menyatakan bahwa hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara satu hukum negara dengan hukum-huk lainnya yang terjadi dalam arena sosial. Arena sosial inilah yang merupakan tempat terjadinya segala bentuk interaksi baik berupa interaksi ekonomi, kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan serta hubungan-hubungan lainnya.

  Kemudian melalui interaksi tersebut terjadilah interaksi hukum, karena menurut Sulityowati bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan demikian yang dinamakan hukum itu bukanlah hanya sebuah peraturan saja, melainkan proses interaksi yang terjadi dalam lingkup peraturan itu sendiri juga merupakan sebuah hukum. Dalam hukum itu sendiri juga terjadi pelanggaran- pelanggaran hukum.

  Sulistyowati juga mengatakan bahwa pendekatan kemajemukan hukum/ pluralisme hukum dapat dilihat melalui perspektif global yang mana masyarakat harus dilihat dalam arena yang multi-sited, karena terhubung dalam relasi bisnis, politik, sosial, dan dihubungkan oleh penemuan teknologi komunikasi. Dengan kata lain pengertian kemajemukan hukum semakin luas, tidak hanya sebatas pada hukum adat, agama ataupun negara tetapi terlebih lagi melihat bagaimana sistem hukum yang berbeda – beda itu saling bersentuhan. Pendekatan hukum dalam perspektif global juga menunjukkan pada kita pentingnya untuk melihat para aktor yang menyebabkan hukum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum tersebut. Kemajemukan hukum memiliki makna yang luas bukan sebaliknya karena seiring dengan proses globalisasi yang terjadi menyebabkan terjadinya konsepsi – konsepsi normatif dan kognitif yang berasal dari berbagai sumber sehingga menjadikan suatu lapangan sosial sebagai arena untuk memberlakukan konsepsi tersebut. (Sulistyowati, 2012: 168).

  Berbicara mengenai kemajemukan hukum itu sendiri menurut Griffiths (1986:1) adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu arena sosial “By

  

‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal

  14

order” . Maka dengan kata lain kemajemukan hukum merupakan adanya lebih

  dari satu norma atau aturan yang secara nyata dianut dan dipatuhi oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Griffitsh (dalam Ihromi 1993:243) juga mengatakan bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan yang dalam tulisannya:

  

“Legal Pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an idel,

a claim, an illusion”. “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi”(1993:234).

  Di sini Griffits berusaha menjelaskan bahwa hukum yang ada sebenarnya bersifat majemuk dan pandangan sentralisme hukum merupakan sebuah ilusi yang terjadi. dalam hal kemajemukan hukum Sally Engle Marry memiliki pendapat yang hampir sama dengan Griffiths yakni : “......is generarlly defined as a 14                                                             

Jhon Griffiths dalam jurnal “what is legal Pluralism?” 24 tahun 1986 hal 1 terdapat pada

  http://www.keur.eldoc.ub.rug.nl/file.../1886.pdf diakses pada 25/04/2013.

  

situation in which two or more legal system coexist in the same social

  15

field” (Marry, 1988:870) yang berarti bahwa kemajemukan hukum itu mengacu

  pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Aturan atau norma yang berlaku disini tidak bersifat homogen melainkan heterogen yang berarti terdiri dari banyak aturan dan norma yang dengan kata lain bersifat plural yang bersumber dari berbagai sumber hukum.

  Oleh sebab itu hukum negara merupakan salah satu dari sekian banyak hukum yang ada, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat hukum lain yang hidup dan berlaku bagi komunitas tertentu.

  Sedangkan Sally F. Moore dalam tulisannya yang berjudul “Hukum dan Perubahan sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang

16 Tepat , menjelaskan bahwa dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan

  baik yang bersumber dari bidang sosial itu sendiri atau aturan yang ada di luar bidang sosial tersebut seperti aturan negara. Aturan-aturan tersebut kemudian bekerja dan menciptakan pengaturan sendiri (self-regulating) dalam bidang sosial itu. Moore mengatakan :

  

“….“aturan permainan” yang beroprasi, mencakup sejumlah

aturan hukum dan beberapa norma serta kebiasaan lain yang cukup efektif. Pembuatan perundangan yang secara sosial penting, sering sekali merupakan usaha untuk mengubah kedudukan tawar-menawar seseorang didalam urusannya dengan orang lain di dalam lingkungan-lingkungan sosial tersebut. Urusan yang diatur oleh lingkungan sosial dan apa lagi susunan dan sifat lingkungan sosial itu 15                                                             

Sally Engle Merry, Legal pluralism dalam Law and Socienty Rieview (journal of the law and

socienty Association) 1988 http://www.jft-newspaper.aub.edu.lb/file/merry_1988.pdf diakses 21

16 mei 2013

Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan Sally Falk Moore “Law and Social Change: the

Semi-autonomus Social Field aAs an Antropologi Subject of study”(1978), dimuat dalam

T.O.Ihromi (penyunting). Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia 2001) hal: 148-193.

    

  serta transaksi-transaksi yang terjadi di dalamnya, sering kali tetap tidak tersentuh oleh undang-undang itu. Maka itu, pengaturan melalui undang-undang sering hanya berkaitan dengan satu bagian saja dari pokok yang diaturnya dan hanya menyentuh basgian tertentu dari hubungan-hubungan yang ada.” (dalam Ihromi, 2001: 148)

  Di sini dijelaskan bahwa diskusi mengenai pluralisme hukum saat ini tidak lagi berpusat pada koeksistensi antara hukum negara, adat dan agama kerena semakin banyaknya kepentingan-kepentinan yang ada maka perspektif mengenai pluralisme harus diperluas lagi dengan melihat bagian dari dimensi pluralisme transnasional. Berbicara mengenai transnasional berarti berbicara mengenai globalisasi, karena globalisasi telah membuka hubungan lintas batas dalam berbagai aspek dan membawa pada ekspansi rezim hukum ke wilayah negara. Globalisasi juga diasosiasikan dengan liberalisasi ekonomi dunia, perkembangan teknologi komunikasi dan munculnya berbagai ruang kegiatan transnasional.(Dian dalam Sulistyowati, 2009: 57)

  Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa hukum itu bergerak hal ini berkaitan dengan globalisasi hukum, yang mana dalam globalisasi hukum dapat dijumpai adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi media bagi lalu lintas bergeraknya hukum. contohnya adalah migran (buruh, pedagang, NGO, serta orang-orang yang sering berhubungan dengan luar negeri) yang membawa hukumnya sendiri ke negara tujuan atau dengan fasilitas telekomunikasi (internet) para aktor ini bisa menyebabkan hukum tersebut bergerak. Hukum yang dibawa oleh para aktor diaplikasikan dengan hukum yang berlaku di negara tersebut sehingga selain hukum yang bergerak juga terjadi pluralisme hukum disana. Secara konseptual slistyowati menggolongkan empat pokok bahasan penting dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”.

  Yang Pertama, hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Dapat dipelajari bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan antar bangsa.

  Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan benar. Untuk itu hukum dianggap memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh di kehidupan kita. Kedua, ada aktor-aktor yang menyebabkan hukum bergerak. Mereka adalah para individu maupun organisasi yang sangat “mobile”. Para aktor ini penting

  17

  18

  dalam proses globalisasi dan glokalisasi , dan menjadi agen bagi terjadinya perubahan hukum. Ketiga, pemahaman globalisasi dalam konteks sejarah sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan terjadinya penjajahan, penyiaran agama, dan perdagangan pada masa silam. 17                                                             

Globalisasi menurut A.G. Mc Grew adalah mengacu pada keberagaman hubungan dan saling

  

keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi

adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. Hal ini terdapat pada situs pustyaka belajar www.zakapedia.com/2013/04/pengertian-globalisasi- 18 menurut-ahli.html?=1 diakses pada 25 juli 2013

Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal atau dengan kata lain

berfikir global bertindak lokal. www.scribd.com/mobile/doc/65461597 diakses pada 25 juli 2013

  Sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum “bergerak”. Namun pada saat ini globalisasi memiliki karakter yang berbeda. Keempat, perkembangan dari pemikiran diatas, tidak hanya menyebabkan perlunya redefenisi terhadap pemikiran mengenai pluralisme hukum, tetapi juga memiliki signifikansi terhadap munculnya metodologi antropologi “baru”. Etnografi konvensional tidak lagi dapat menjawab berbagai permasalahan dari bergeraknaya hukum melalui para aktor dan isu-isu globalisasi dan glokalisasi hukum. oleh karena itu, penting untuk melakuakan kajian antropologi secara multispatial dan multisited ethnography yang dengan kata lain harus dilakukan penelitian secara menyeluruh dengan melihat aspek-aspek yang terkait di dalamnya. (Sulistyowati, 2009: 35-40) .Proses yang terjadi antara hukum-hukum yang saling bersentuhan mengakibatkan hukum tersebut melahirkan hukum baru yang ada.

  Franz & Keebet Von Benda-Beckmann menjelaskan bahwa saat ini diskusi mengenai kemajemukan hukum tidak lagi berpusat pada koeksistensi hukum nasional resmi dan hukum tradisional, hukum agama, dan hukum lain yang ada di tingkat nasional saja tetapi dengan semakin meningkatnya kepentingan hukum dan politik dari konvensi-konvensi dan hukum-hukum internasional, terutama isu-isu hak asasi manusia dan hak-hak orang asli, membuat para sarjana harus lebih memperluas perspektif mereka pada” pluralisme hukum dimensi transnasional”(dalam Masinambow, 2000: 17). Selain itu juga F. Benda Beckmann mengatakan bahwa konsepsi hukum yang banyak disepakati di kalangan antropolog hukum, yaitu hukum adalah proposisi yang mengandung konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Konsepsi inilah yang mendasari sebuah tindakan yang melahirkan sebuah hukum “baru” di masyarakat (Sulistyowati, 2009: 38).

  Meminjam dari apa yang dikatakan oleh Benda-Beckmann bahwa hukum mengandung konsepsi normatif dan kognitif maka saya akan dapat dengan mudah memahami hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian Sumatera Utara.

  1.3 Perumusan Masalah

  Untuk menjelaskan situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara, maka akan saya tuangkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini: 1.

  Bagaimana latar belakang sejarah perkeretaapian Sumatera Utara? 2. Bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian Sumatera Utara?

  1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Tujuan dari skripsi ini adalah mendeskripsikan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Tidak hanya itu saja skripsi ini juga menjelaskan berbagai bentuk hukum dan melihat hukum-hukum ideal yang ada. Melihat bagaimana persepsi setiap orang dalam memandang hukum dan cara orang tersebut memandang hukum yang hidup. Melalui skripsi ini akan diungkapkan kenyataan yang terjadi sebenarnya terkait permasalahan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Sehingga skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam permasalahan hukum.

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya pola pikir yang lebih luas dalam memandang permasalah hukum, tidak lagi memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena terdapat hukum-hukum lain yang cukup berpengaruh di dalam kehidupan sosial. Menimbulkan respon masyarakat, peneliti maupun ilmuan sosial dan budaya untuk lebih sensitif terhadap permasalahan kemajemukan hukum sehingga menimbulkan konsep- konsep serta teori-teori baru mengenai kemajemukan hukum tersebut. Melalui tulisan ini penulis berharap bahwa muncul kepekaan setiap mahasiswa antropologi terhadap situasi yang ada disekeliling kita dalam menenggapi segala permasalahan yang ada sehingga kajian dalam dunia antropologi dapat lebih berkembang dan dikenal oleh kalangan masyarakat luas.

1.5 Lokasi Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara. Dengan cakupan pembahasan mengenai kemajemukah hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara.

  Untuk itu cakupan dalam lokasi penelitian meliputi seluruh daerah oprasional kereta api yang berada di Sumatera Utara. Perkeretaapian Sumatera Utara memiliki 4 klasifikasi kelas kereta penumpang, yakni eksekutif, bisnis, ekonomi dan K.A khusus bandara. Namun untuk jenis kereta juga dapat dibedakan lagi yakni Sri Lelawangsa, Sribilah, Sirex, Putri deli dan KA bandara. Perkeretaapian

  Sumatera Utara juga memiliki satu jenis kereta pengangkut barang, satu jenis kereta pengangkut minyak dan pengangkut batu kerikil.

  Pusat kantor kereta api Sumatera Utara terdapat di Medan. Maka dari itu stasiun kereta api Medan memiliki peranan sangat penting bagi stasiun lainnya yang ada di Sumatera Utara. Pasalnya stasiun kereta api Medan merupakan stasiun yang titik point pertama bagi semua keberangkatan kereta api dengan tujuan mana saja. Aturan yang diberlakuakan pada stasiun ini juga sedikit berbeda dengan stasiun-stasiun lain yang berada pada Divisi regional yang sama.