Kemajemukan Hukum Perkeretaapian Sumatera Utara

(1)

KEMAJEMUKAN HUKUM PERKERETAAPIAN

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S-1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SRI FUSANTI

090905007

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

 

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Sri Fusanti

Nim : 090905007

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,

Dr. Fikarwin Zuska Dr. Fikarwin Zuska

NIP. 196212201989031005 NIP.196212201989031005

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

KEMAJEMUKAN HUKUM DI PERKERETAAPIAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau pernah diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Februari 2014


(4)

ABSTRAK

Sri Fusanti, 2014. Judul skripsi: Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 127 halaman, 9 tabel dan 49 Gambar, 2 bagan, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.

Tulisan ini mengkaji tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Kajian ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku di masyarakat. Melalui kajian ini maka dapat dilihat bagaimana hukum itu ternyata tidak tunggal dan berdiri sendiri akan tetapi banyak hukum-hukum lain yang hidup dan diberlakukan sama. Selanjutnya tulisan ini juga menelusuri bagaimana kepentingan dari tiap individu-individu dapat membentuk sebuah hukum baru yang legal di perkeretaapian Sumatera Utara.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam tentang kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik wawancara dan observasi partisipasi dengan individu-individu yang terlibat langsung dengan ruang lingkup perkeretaapian Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah perkeretaapian Sumatera Utara dan bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata terdiri dari beragam bentuk. Tidak hanya sebatas hukum formal, tetapi banyak hukum-hukum lain yang berlaku dan sulit untuk mengkategorisasikan penamaan hukum tersebut apakah itu hukum adat, hukum agama tau sebagainya sehingga dalam hal ini para pengamat antropologi hukum sering menyebutnya unnamedlLaw atau hybrid law.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah bahwa melalui penelitian tentang kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Ini dapat dilihat bahwa hukum tersebut ternyata benar adanya tidak bersifat tunggal. Akibat adanya kemajemukan hukum ini juga dinilai membawa pengaruh negative terhadap pelaksanaan hukum yang ada. Kerena akibat adanya kemajemukan hukum maka sulit bagi masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam kehidupan. Kepentingan-kepentingan dari tiap individu memicu munculnya hukum baru yang legal untuk diberlakukan. Selain itu juga penyerapan aturan formal yang bersifat setengah-setengah mengakibatkan hukum itu tidak berlaku sempurna. Penyerapan aturan ini dilakukan juga sesuai dengan kepentingan dari pada individu-individu yang ada di ruang lingkup perkeretaapian. Pengawasan yang kurang serta legitimasi yang mengatasnamakan hubungan keluarga juga menjadi salah satu factor pendorong munculnya hukum-hukum baru di kalangan pegawai perkeretaapian. Hingga akhirnya bila ingin menumbuhkan keberlakuan hukum yang baik di lingkungan perkeretaapian maka perbaiki dulu pengawasan dan jiwa masing-masing individu yang ada di perkeretaapian Sumatera Utara. Kata-kata kunci: Kemajemukan Hukum, Perkeretaapian.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kemudahan, kelancaran dan kemurahan rezeki sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan menyelesaikan skripsi mengenai

Kemajemukan Hukumdi Perkeretaapian Sumatera Utara. Dalam hal ini saya juga menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya saran, bimbingan dan dukungan dari semua pihak.

Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada orang tua saya Bapak Zaharuddin Sirait , Papa Ahmad Doni dan Ibu Nila Sari yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih atas kasih sayang, ketulusan, dukungan moral dan materi yang diberikan selama saya menyelesaikan pendidikan. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan kemurahan rezeki kepada Bapak, Papa dan Ibu. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada adik-adik saya Ambran dan Azima yang selalu menyemangati saya untuk mengerjakan skripsi ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Dosen Pembimbing skripsi dan ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU. Terima kasih atas bimbingan dan arahannya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan kritik dan saran-sarannya guna kesempurnaan skripsi ini.


(6)

Selanjutnya, ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada: Bapak Prof. Dr. Badaruddin, selaku Dekan FISIP USU; Drs. Agustrisno MSP., selaku Sekretaris Departemen Antroplogi Soial FISIP U; Bapak Drs. Lister Berutu MA selaku ketua Laboratorium Antropologi Sosial FISIP USU dan Drs. Ermansyah M.Hum selaku Dosen Penasihat Akademik selama menjalani perkuliahan di Antropologi Sosial FISIP USU; Para Dosen Departemen Antopologi Sosial, Staf Administrasi Departemen Antropologi, Staf Pegawai FISIP, Pegawai Perpustakaan FISIP dan Pegawai Perpustakaan USU.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada pegawai kereta api bidang pengelolahan aset yakni Abang Joko Samudro, Akhyar selaku masinis yang mau berbagi cerita kepada saya mengenai kereta api, pedagang-pedagang di gerbong kereta, pegawai OTC, bapak Rajagukguk selaku Kepala SDM kereta api Divisi 1 Sumatera Utara, pegawai loket kereta api, para calo tiket dan penumpang kereta api yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya saat penelitian dilakukan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Kakek dan Nenek serta Paman dan Bibi yang telah mendoakan dan memberi dukungan kepada saya selama menyelesaikan pendidikan. Saya mengucapkan terima kasih dan semoga kakek diberikan kesehatan dari Allah SWT.

Kepada kerabat Antropologi 2009, Yohana Berlianan, Creysant Lasty, Elisa Novarita Kahar, Nelvi Gusliana, Marlina Irene Hutagalung, Sentani Br Purba, Rona Maria Girsang, Intan Inayati Taro, Naya Adluna, Sri Widari Zulfa, Indah Fikria Aristi, Irfan Maulana, Imanda Hutapea, Samuel Juniko Sagala,


(7)

Gultom, Teresha Meilani Hutagaol, Lita Saragih, Razakiko Harkani Lubis, Halimatussakhdiah, Yayuk Yusdiawati, Endang PS Tel, Anggun Nova Sastika, Yustina Pane, dan lainnya, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

Kepada teman-teman satu kontrakan yakni kak Cindy dan Ayu terima kasih telah menemani dalam suka dan duka selama saya mengerjakan skripsi. Terima kasih juga kepada Mita Novianty, Dewi Lestari yang telah bersedia menemani saya selama melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada nenek dan kakek pemilik kontrakan yang ramah dan selalu menyayangi saya layaknya cucunya sendiri. Saya juga menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu masukan-masukan dari berbagai pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lainnya serta pihak-pihak yang memerlukan.

Medan, Februari 2014

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Sri Fusanti, lahir pada tanggal 14 juni 1991 di Kisaran. Anak pertama dari 2 (dua) bersaudara dari pasangan Bapak Zaharuddin Sirait dan Ibu Nila Sari, beragama Islam. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 2 Kisaran, pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Kisaran, pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kisaran pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi dengan jalur PMP di Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2009. Program Studi yang diambil adalah Ilmu Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Alamat email: srifusanti@yahoo.co.id

Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi antara lain:

 Anggota OSIS SMA Negeri 1 Kisaran bidang Pramuka periode 2007-2008

 Mengikuti Raimuna Ranting Kisaran Timur pada tahun 2006

 Mengikuti Perkemahan Pelantikan Dewan Kerja Ranting pada tahun 2006  Mengikiti kegiatan Pengembaraan Pramuka Penegak dan Pandega

(BARAKAPEPA) sejajaran Kwarcab Asahan yang dilaksanakan pada tahun 2007 dengan rute Desa Tangga – PTPN III – Bandar Selamat.  Juara II perlombaan Jaka dan Dara di SMA Negeri 1 Kisaran


(9)

 Penerima Beasiswa pendidikan dari Sampoerna Foundation di SMA Negeri 1 Kisaran tahun 2006-2009.

 Mengikuti seminar Remaja “ Wujudkan Generasi Sehat Bebas HIV/AIDS tahun 2009

 Mengikuti seminar “Menjadi Apa dan Siapa di Masa Depan” tahun 2010  Mengikuti seminar “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik

Crossing Boundaries” pada tahun 2010 di FISIP USU.

 Mengikuti Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

 Mengikuti seminar “ Ini Medan Demokrasi Bung” tahun 2011

 Mengikuti seminar Nasional “ Inventarisasi Kain Tenun, Hiou Simalungun tahun 2011

 Mengikuti seminar hasil penelitian “Kajian Untuk Perlindungan Ekspresi Keragaman Budaya” tahun 2012

 Mengikuti seminar “Draft Buku Sejarah Berdirinya Kabupaten Pakpak Barat” tahun 2013

 Menjadi Interviewer Indonesia Research Center dalam survey pemilu tahun 2013

 Anggota INSAN Antropologi Sosial FISIP USU sejak tahun 2009 hingga sekarang.


(10)

KATA PENGANTAR

Skripsi merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Dalam rangka memenuhi persyararatan tersebut penulis telah menyusun sebuah skripsi dengan judul Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara.

Ketertarikan untuk menulis permasalahn tentang kemajemukan hukum diawali dengan kenyataan bahwa hukum itu ternyata tidak terdiri dari satu jenis yakni hukum formal. Akan tetapi ada hukum-hukum lain yang hidup di luar dari pada hukum formal dan biasa disebut dengan hukum tak bernama (unnamed law). Tidak terlepas dari pada itu, hukum juga terkadang tercipta guna pemenuhan sebuah kepentingan dari masing-masin kelompok atau individu pembuat hukum tersebut. Selain itu juga, pengaruh munculnya kemajemukan hukum ini menimbulkan sebuah kondisi ketidak pastian hukum.

Dalam skripi ini saya menulis apa yang terjadi pada hukum dalam kenyataan yang sebenarnya. Dimana melihat hukum itu melalui perspektif antropologi hukum. hal yang ingin saya sampaikan adalah ketika berbicara hukum maka tidak cukup dengan pengertian yang sederhana yakni aturan yang mengatur dan bersifat formal, seperti halnya aturan tertulis dari Negara. Akan tetapi lebih dari pada itu, harus diakui bahwa hukum itu memiliki banyak wujud. Ada yang dikatakan sebagai hukum adat, agama, dan hukum-hukum lainnya yang muncul akibat sebuah kondisi yang memungkinkan guna munculnya sebuah hukum baru.


(11)

Hal ini dikarenakan hukum-hukum tersebut saling mengadopsi dan bersentuhan dengan yang lainnya sehingga menimbulkan hukum baru atau hybrid law . Sebuah legitimasi yang mengatas namakan hubungan kekerabatan juga dapat menjadi sebuah pelegalan tindakan. Sehingga hal yang demikian juga dapat dikatakan sebagai hukum.

Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat member informasi dan pengetahuan tentang hukum yang ditinjau secara antropologi hukum dan menambah wawasan terhadap permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia. Sehingga akhirnya saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2014

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ISTILAH……….. xii

DAFTARTABEL ... xv

DAFTAR BAGAN………. xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Tinjauan Pustaka ... 6

1.3Perumusan Masalah ... 23

1.4Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 23

Lokasi Penelitian……… 24

1.5Metode penelitian ... 25

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data ... 26

1.5.2 Tekhnik Analisa Data……….. 28

1.5.3 Rangkaian Pengalaman di Lapangan ... 29

BAB II GAMBARAN UMUM PERKERETAAPIAN SUMUT ………….… 36

2.1 Kondisi Umum Perkeretaapian Sumatera Utara ... 36

2.2Sejarah Berdirinya Kereta Api Sumatera Utara ... 37

2.2.1 Peralihan Sumatera Timur Menjadi Sumatera Utara ... 39

2.2.2 Pengaruh Kondisi Geografis Terhadap Perkebunan di Sumatera Utara ... 41

2.2.3 Sekilas Tentang Kehadiran Deli Maatschappij ... 42

2.2.4 Kaitan Perkembangan Kereta Api Sumatera Utara Dengan Kereta Api Indonesia ... 47

2.3Kereta Api Sumatera Utara Masa Kini ... 49

2.3.1 Stasiun Kereta Api ... 51

2.3.2 Struktur Organisasi Pengelolah Stasiun ... 53

2.3.3 Pengaruh Stasiun Besar Medan ... 55

2.4 Cakupan Pembahasan Mengenai Kereta Api ... 60

BAB III HUKUM MENGENAI ASET TANAH DAN BANGUNAN ... 62

3.1 Ruang Lingkup Penyewaan Aset Tanah dan Bangunan ... 62

3.1.1 Prosedur Penyewaan Aset ... 63

3.1.2 Hukum Sewa Menyewa ... 65


(13)

3.2.1 Hak Dan Kewajiban Pihak Yang Terlibat Dalam

Kontrak Penyewaan Tanah ... 68

3.2.2 Bangunan Liar di Pinggiran Bantalan Rel ... 71

3.2.3 Legitimasi di Aset Pertanahan ... 76

3.3 Hukum di Aset Bangunan ... 77

3.3.1 Hukum di Stasiun ... 78

3.3.2 Hukum di Gudang Milik Kereta api ... 81

3.3.3 Hukum di Rumah Persewaan ... 82

3.4 Kondisi Kemajemukan Hukum di Aset Kereta Api ... 83

BAB IV HUKUM MENGENAI TIKET DAN GERBONG KERETA ... 85

4.1Hukum Mengenai Tiket ... 85

4.1.1Loket Tiket ... 90

4.1.2Calo Tiket ... 92

4.1.3Ketentuan Pembatalan Tiket ... 95

4.2Hukum di Gerbong Kereta……….. 97

4.2.1 Pedagang di Gerbong Kereta……….. 99

4.2.2 Kondisi di Dalam Gerbong Kereta……….. 102

4.2.3 Nomor Tempat Duduk Ganda………..…. 105

4.3Kondisi Kemajemukan Hukum di Tiket dan Gerbong Kereta……… 107

BAB V HUKUM PEGAWAI KERETA API……….………. 108

5.1 Kondisi Kemajemukan Hukum Pegawa KA ……..………….……….... 108

5.1.1 Pegawai Loket………...……. 109

5.1.2 Pegawai Pengelolahan Aset Tanah………... 113

5.1.3 Kondektur……… 116

5.1.4 Petugas OTC………... 118

5.1.5 Masinis……….…. 120

5.1.6 Penjaga Palang Pintu Perlintasan……….……. 122

BAB VI PENUTUP………..…… 125

6.1 Kesimpulan………..……. 145

6.2 Saran………..……. 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130

LAMPIRAN

1. Perlintasan Kereta Api

2. Tambahan foto selama penelitian 3. Daftar Informan

4. Dokumen ( contoh Surat pendataan dan persewaan aset) 5. Surat Penelitian


(14)

DAFTAR ISTILAH

Aset Harta atau sumber daya yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang berfungsi dalam operasi perusahaan dan diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi.

Bangunan Liar Bangunan (rumah/ gedung) yang berdiri di pinggiran bantalan rel.

Bantalan Rel Landasan tempat rel bertumpu dan diikat dengan penambat rel, bantalan dipasang melintang rel pada jarak antara bantalan yang satu dengan lainnya sepanjang 0,6 meter.

BPKD Badan Pemeriksa Keuangan Daerah

Calo Orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah.

Deli Spoorweg Matschappij Perusahaan yang membangun jaringan transportasi kereta api di tanah Deli.

Emplasment Ruangan/lapangan/halaman tempat lintas keluar-masuknya kereta api untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Gerbong kereta Alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.

Gudang Sebuah ruangan yang digunakan untuk

menyimpan berbagai macam barang.

Karcis Merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang maka penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis dan orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.

Kereta Api Sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun


(15)

dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel.

Kemajemukan Hukum Situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Kondektur Orang yg memeriksa karcis pada saat melakukan

perjalanan dengan kereta api.

Legitimasi Pelegalan suatu tundakan dengan mengatas namakan hubungan kerabat.

Loket Tempat pelayanan tiket, revarasi, pemesanan dan pembatalan tiket.

Lokomotif Bagian dari rangkaian kereta api di mana terdapat mesin untuk menggerakkan kereta api. Biasanya lokomotif terletak paling depan dari rangkaian kereta api.

Mail Main ilmu yang merupakan istilah dari pada hukum yang diciptakan oleh pegawai kereta api.

Palang Pintu Perlintasan Rambu-rambu pengamanan yang terdapat di perpotongan jalan antara perlintasan kereta api dengan lalulintas umum.

Peron Tempat naik-turun para penumpang di stasiun dan juga dapat dijadika tempat tunggu sebelum kereta sampai, jadi dapat disimpulakan peron adalah lantai pelataran tempat para penumpang naik-turun sekaligus tempat tunggu,serta tempat jalur rel melintas di stasiun.

OTC On Training Cleaning adalah petugas yang menjaga kebersihan gerbong kereta api.

Polsuska Polisi khusus kereta api yang bertugas menjaga keamanan di stasiun dan gerbong kereta.

Rel Lintasan kereta api yang terdiri dari 2 buah bagian besi.

Sisip Istilah bagi pegawai masinis yang menggantikan tugas masinis lain yang sedang berhalangan hadir.


(16)

Spur Garis tengah rel.

Stasiun Tempat pemberhentian kereta api sekaligus menaikkan dan menurunkan penumpang.

Suplisi Laporan mengenai pemungutan bayaran begi penumpang yang tidak memiliki tiket.

Tarif reduksi Besarnya biaya tiket yang dikenakan bagi penumpang kereta api.


(17)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel 2.1 Lintasan Dan Panjang Rel Kereta Api Deli Tahun 1883-1940 ... 39

Tabel 2.2 Daftar Stasiun Kereta Api ... 52

Tabel 2.3 Jadwal Operasional KA SRIBILAH ... 56

Tabel 2.4 Jadwal Operasional KA PUTRI DELI ... 56

Tabel 2.5 Jadwal Operasional KA SIREX ... 56

Tabel 2.6 Jadwal Operasional KA SRILELAWANGSA ... ..56

Tabel 2.7 Jadwal Keberangkatan Dari Medan Menuju KNIA ... .57

Tabel 2.8 Jadwal Keberangkatan Dari KNIA Menuju Medan ... .57


(18)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Struktur Organisasi Pengelolah Stasiun……….…………. 53 Bagan 4.1 Ilustrasi Gerbong Kereta api……… 106


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: 1890-1905 Kereta api Dengan Jarak Rel Sempit Untuk Pengangkutan

Tembakau Deli Serdang, Sumatera Utara ... 37

Gambar 2: Kebun tembakau Deli ... 43

Gambar 3: Jacobus Nienhuys ... 44

Gambar 4: Pembukaan Hutan Untuk Kebun Tembakau ... 44

Gambar 5: Stasiun Medan Pada tahun 1884 ... 45

Gambar 6: Lapangan Merdeka sebelum 1890 ... 46

Gambar 7: (A) Kereta Sri Lelawangsa dan (B) Putri Deli ... 50

Gambar 8: (C) Kereta Kuala Namu dan (B) Sribilah ... 50

Gambar 9: Sky-Bridge Stasiun Bandara di Medan ... 58

Gambar 10: (A) Café-Resto Yang Terdapat di Stasiun Medan dan (B) City Check In Yang Berada di stasiun bandara ... 59

Gambar 11: (A dan B) Pemukiman Yang Berada di Pinggiran Bantalan Rel Jalan Gaharu ... 72

Gambar 12: Pelarangan Memasuki Peron Stasiun ... 89

Gambar 13: Loket Stasiun Besar Medan ... 90

Gambar 14: Loket Stasiun Bandar Khalifah ... 91

Gambar 15: (A dan B) Himbauan Untuk Menghindari Calo Tiket ... 94

Gambar 16: Gerai Pemesanan Tiket PT. Anugrah Fajar ... 95

Gambar 17: Pedagang Kripik Yang Berjualan di Gerbong Kereta ... 99

Gambar 18: Kotak P3K Yang Terlihat Kosong ... 103

Gambar 19: Stiker yang Menempel Pada Dinding Tempat Duduk ... 104

Gambar 20: Larangan Merokok di Dalam Gerbong Kereta ... 104

Gambar 21: Pegawai Loket Yang Sedang Mengisi Laporan ... 111

Gambar 22: Laporan Penjualan Tiket di Layar Komputer Pegawai Loket ... 112

Gambar 23: Loket Stasiun Lubuk Pakam Yang Terlihat Kosong ... 112


(20)

Gambar 25: Kondektur Yang Melakukan Pemeriksaan Tiket ... 117

Gambar 26: Sampah Yang Berserakan ... 119

Gambar 27: Petugas OTC ... 120

Gambar 28: (A dan B) Beberapa Capture isi BBM dengan Masinis ... 122

Gambar 29: (A) Palang Pintu Perlintasan dan (B) Penjaga Palang Pintu Perlintasan ... 123


(21)

ABSTRAK

Sri Fusanti, 2014. Judul skripsi: Kemajemukan Hukum di Perkeretaapian Sumatera Utara. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 127 halaman, 9 tabel dan 49 Gambar, 2 bagan, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.

Tulisan ini mengkaji tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Kajian ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku di masyarakat. Melalui kajian ini maka dapat dilihat bagaimana hukum itu ternyata tidak tunggal dan berdiri sendiri akan tetapi banyak hukum-hukum lain yang hidup dan diberlakukan sama. Selanjutnya tulisan ini juga menelusuri bagaimana kepentingan dari tiap individu-individu dapat membentuk sebuah hukum baru yang legal di perkeretaapian Sumatera Utara.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan secara mendalam tentang kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik wawancara dan observasi partisipasi dengan individu-individu yang terlibat langsung dengan ruang lingkup perkeretaapian Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah perkeretaapian Sumatera Utara dan bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata terdiri dari beragam bentuk. Tidak hanya sebatas hukum formal, tetapi banyak hukum-hukum lain yang berlaku dan sulit untuk mengkategorisasikan penamaan hukum tersebut apakah itu hukum adat, hukum agama tau sebagainya sehingga dalam hal ini para pengamat antropologi hukum sering menyebutnya unnamedlLaw atau hybrid law.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah bahwa melalui penelitian tentang kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Ini dapat dilihat bahwa hukum tersebut ternyata benar adanya tidak bersifat tunggal. Akibat adanya kemajemukan hukum ini juga dinilai membawa pengaruh negative terhadap pelaksanaan hukum yang ada. Kerena akibat adanya kemajemukan hukum maka sulit bagi masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam kehidupan. Kepentingan-kepentingan dari tiap individu memicu munculnya hukum baru yang legal untuk diberlakukan. Selain itu juga penyerapan aturan formal yang bersifat setengah-setengah mengakibatkan hukum itu tidak berlaku sempurna. Penyerapan aturan ini dilakukan juga sesuai dengan kepentingan dari pada individu-individu yang ada di ruang lingkup perkeretaapian. Pengawasan yang kurang serta legitimasi yang mengatasnamakan hubungan keluarga juga menjadi salah satu factor pendorong munculnya hukum-hukum baru di kalangan pegawai perkeretaapian. Hingga akhirnya bila ingin menumbuhkan keberlakuan hukum yang baik di lingkungan perkeretaapian maka perbaiki dulu pengawasan dan jiwa masing-masing individu yang ada di perkeretaapian Sumatera Utara. Kata-kata kunci: Kemajemukan Hukum, Perkeretaapian.


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini menjelaskan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi pada masyarakat. Kemajemukan hukum di masyarakat terjadi di masing-masing bidang lapangan kehidupan. Seperti halnya juga yang terjadi di lingkungan kehidupan perkeretaapian Sumatera Utara. Kemajemukan hukum itu sendiri diartikan oleh Masinambow adalah bahwa dalam dunia pragmatis sedikit-dikitnya ada dua sistem norma atau dua sistem aturan yang terwujud di dalam interaksi sosial (Masinambow, 2000:5).

Begitu juga dengan yang terjadi pada lingkungan sosial perkeretaapian Sumatera Utara, yang mana di lingkungan perkeretaapian ini muncul situasi kemajemukan hukum. Oleh sebab itulah, dalam skripsi ini saya berusaha memaparkan kondisi yang sebenarnya terjadi berdasarkan fakta yang diperoleh dari lapangan selama penelitian dilakukan.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena pada dasarnya ketika berbicara mengenai kereta api maka secara langsung akan berbicara mengenai aturan-aturan yang berlaku dan hidup di lingkungan perkeretaapian Sumatera Utara. Oleh karena itu, tidak cukup hanya membahas tentang transportasinya saja, banyak komponen lain yang terkait dengannya, baik itu stasiun, rel, peron, lokomotif, gerbong, palang pintu, pegawai kereta api, penumpang, pedagang dan


(23)

masing-masing komponen yang ada di lingkungan kereta api tersebut memiliki aturan-aturan yang berbeda satu sama lain.

Masalah kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara perlu dilihat dan dipahami. Hal ini dikarenakan bahwa kondisi hukum yang ada di perkeretaapiaan Sumatera Utara terkait dengan kebijakan, relasi-realsi sosial yang terbentuk, kontak antara individu-individu yang ada di lingkungan kereta api dan yang semuanya juga mungkin terkait dengan proses globalisasi.

Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hukum tidak dapat dipandang semata-mata berwujud peraturan perudang-undangan serta tidak dapat dipandang sebagai institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan masyarakat1. Selain itu juga hukum dalam wujudnya dapat berbentuk peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/ folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekanisme pengaturan dalam masyarakat (self regulation), yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dan menjadi alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order)2.

Sejalan dengan penjelasan di atas maka secara lebih fokus lagi tulisan ini bercerita tentang bagaimana hukum itu ternyata diberlakuakan di lapagan. Selain itu juga menjelaskan bahwa hukum itu bukan hanya berbentuk aturan tertulis saja

      

1

I Nyoman Nurjaya (2009), artikel “ pengembangan Tema Kajian Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia. Terdapat pada http://editorsiojo85.wordpress.com/2009/03/31/antropologi-hukum/ diakses pada 12 oktober 2013. 2

Pospisil (1971) dalam artikel Boy Yendra Tamin”Sistem Hukum Adat di Tengah Kuatnya Sistem Hukum Gelobal” terdapat pada http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/sistem-hukum-adat-ditengah-kuatnya.html di akses 12 oktober 2013


(24)

melainkan banyak hukum yang tidak tertulis yang nyatanya hidup di satu lingkungan sosial yang sama. Sebagian besar dari hukum-hukum baru yang muncul diakibatkan oleh adanya kepentingan dari masing-masing agen pembuat hukum tersebut.

Tidak hanya sebatas itu saja, proses saat hukum itu terbentuk juga merupakan bagian dari pada hukum. Legitimasi yang muncul dikarenakan pelegalan hukum dengan mengatas namakan hubungan kerabat juga termasuk dalam pembahasan hukum. Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Dimana ada tumpang tindih hukum yang terjadi di sini. Di satu sisi hukum Negara harus menjadi panglima di lingkungan perkeretaapian namun kenyataannya adalah sebaliknya. Hukum Negara pada dasarnya tidak di tolak dan tetap di berlakukan di lingkungan kereta api akan tetapi hukum Negara tersebut hanya sebagian yang diserap dan diberlakukan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para agen yang terlibat di lingkungan kereta api tersebut. Selain itu juga guna memenuhi kepentingan dari tiap agen yang terlibat maka diciptakanlah sebuah hukum yang baru (Unnamed law). Hukum-hukum tersebut tercipta dalam bentuk yang beragam dan keberagaman hukum inilah yang mengakibatkan kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Utara.

Dalam tulisan ini kesemuanya itu dipaparkan dengan cukup jelas, dimana kemajemukan hukum itu terjadi di tiap-tiap bagian dari kereta api. Untuk saya membagi pokok pembahasan menjadi 4 bab. Ke-4 bab tersebut masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda dan memiliki kait-kemait dari masing-masing


(25)

bab. Pada bab 2 dijelaskan mengenai gambaran umum perkereta apian Sumatera Utara. Dimana dalam bab tersebut dijelaskan mengenai awal mula kehadiran kereta api pada tahun 1886 di Sumatera Utara hingga saat ini. Bab ini juga menjelaskan komponen-komponen lain yang terkait dengan kereta api, struktur organisasi serta undang-undang yang menjadi aturan formal bagi kereta api.

Pada bab selanjutnya bab 3, 4 dan 5 saya mulai berbicara mengenai hukum-hukum yang terdapat di kereta api. Saya memutuskan membagi pembahasan kedalam tiga bab dikarenakan agar pembahasan dalam tiap babnya tidak terlalu melebar dan fokus. Saya juga mengklasifikasikan pembahasan yang saling terkait kedalam satu bab yang sama. Seperti pada bab 3 yang membahas mengenai hukum mengenai aset kereta api berupa tanah dan bangunan serta cara penyewaan aset tersebut. Dalam bab ini diceritakan mengenai berbagai fakta lapangan yang sama sekali beseberangan dengan aturan formal yang mengatur perkeretaapian Sumatera Utara terutama dalam hal permasalahan aset.

Pada bab 4 skripsi ini dijelaskan mengenai hukum tiket dan gerbong kereta. Saya memilih untuk menyatukan pembahasan mengenai tiket dan gerbong ini karena antara keduanya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Pembahasan mengenai tiket tidak berlaku tanpa pembahasan mengenai gerbong kereta sebab pada dasarnya penumpang yang memiliki tiket yang dapat masuk ke dalam gerbong kereta. Untuk itulah penulis memilih menggabungkan kedua pembahasan ini kedalam satu bab.

Dalam bab ini saya berusaha menceritakan bagaimana kondisi yang terjadi pada pertiketan kereta api dan prosedur-prosedur yang harus ditaati. Selain itu


(26)

juga saya akan berbicara mengenai percaloan tiket yang marak terjadi dan melihat aturan-aturan yang bermain di dalamnya. Ketika berbicara mengenai hukum yang ada di gerbong kereta api saya berusaha memaparkan situasi dan kondisi yang terjadi di dalam gerbong kereta, aturan yang diberlakukan dan menggambarkan kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan hukum-hukum yang berlaku di gerbong kereta.

Pada bab 5 saya berusaha menceritakan tentang hukum pegawai kereta api, bab ini menceritakan bagaimana para pegawai kereta api menciptakan hukumnya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan dan memenuhi kepentingan dari masing-masing pegawai tersebut. Untuk itu dalam bab ini saya mengklasifikasikan lagi pembahasan sesuai dengan jenis tugas dari pada pegawai kereta api yakni, pegawai loket, pegawai pengelolahan aset, OTC, masinis, kondektur dan juga pegawai penjaga pintu perlintasan.

Melalui tiga bab pembahasan yang ada, kesemuanya menceritakan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di ranah perkeretaapian Sumatera Utara. Selain itu saya ingin memperlihatkan bahwa situasi kemajemukan hukum di perkeretaapian Sumatera Utara memang benar ada. Pihak kereta api harus menyadari bahwa ada lebih dari satu hukum yang mengatur dalam lingkungan kereta api. Selain itu juga pihak kereta api harus mengetahui bahwa terjadi tumpang tindih hukum antara hukum formal dengan pengaturan sendiri yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Dapat diketahui bahwa undang-undang perkeretaapian yang seharusnya dipatuhi seakan-akan tidak berlaku dilapangan karena adanya hubungan relasi


(27)

kuasa antara individu-individu yang berada di lingkungan kereta api dan melakukan kesepakatan sehingga melegalkan tindakan yang pada dasarnya menyalahi aturan sebenarnya.

Hal menarik yang ingin saya perlihatkan adalah bagaimana hukum-hukum yang ada saling bekerja dan diberlakuakan sama di lapangan. Serta memperlihatkan bahwa kepentingan dari masing-masing individu dapat memicu terciptanya hukum. Oleh karena itu ada keterkaitan antara kepentingan dengan hukum. Selain itu juga saya ingin memperlihatkan bagaimana hubungan kekerabatan juga dapat mendorong terciptanya suatu aturan baru, yang tanpa sadar mengenyampingkan aturan formal.

1.2 Tinjauan Pustaka

Hukum merupakan komponen dasar dalam sebuah tertib sosial yang mengatur berbagai jenis interaksi dalam masyarakat. Kelsen mengatakan bahwa hukum itu adalah “ilmu normatif” yang lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia itu sendiri3. Paham sentralisme hukum (legal centralism) mengatakan bahwa hukum sudah seharusnya bersumber dari hukum negara, hal ini berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain serta dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara.

Namun dalam kehidupan sehari-hari dimana hukum itu bekerja dalam arena sosial terjadi interaksi yang tidak bisa dihindari antara hukum negara

      

3

Joe Hasan Artikel “Teori Hukum” nterdapat di http://www.slideshare.net/joehasan/teori-hukum diakses pasa 29 oktober 2013


(28)

dengan berbagai hukum yang ada seperti hukum adat, agama dan hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya situasi kemajemukan hukum.

Berbicara mengenai hukum adat Posposil menyebutkan adanya batasan antara adat dan hukum adat yang disebutkannya sebagai berikut:

1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri hukum, atau attribute of law.

2. Attribute yang dimaksud yang terutama disebut attribute of authority.

Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melaui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan-serangan-serangan terhadap hak orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.

3. Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksud sebgai keputusan-keoutusan yang mempunyai jangka waktu panjang yang harus dianggap berlaku


(29)

juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang.

4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga sebaliknya. Dalam hal ini kedua pihak tersebut harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Apabila keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban ataupun hak tadi, maka keputusan tidak akan ada akibatnya dan bukan keputusan hukum. apabila pihak kedua merupakan nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.

5. Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa taku, malu, rasa dibenci, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1981: 200-201).

Mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan hukum adat sudah terlihat sangat jelas dari penjelasan kelima poin diatas, telah


(30)

dijelaskan bahwa untuk melihat perbedaan antara keduanya terlebih dahulu melihat attribute of law yang dimiliki pada suatu masyarakat agar dapat dilihat dengan jelas bagaimana sebenarnya hukum adat itu bekerja, aktivitas apa saja yang dapat dikatakan sebagai hukum dan bukan hukum melainkan adat.

Paul J. Bohannan mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakatdi mana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan kekuatannya.

Dari hukum itu, walaupun beragam wajah dan penampilannya diberbagai masyarakat yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara suatu masyarakat menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat bagaimana caranya lembaga-lembaga yang berhadapan dengan penyelewengan-penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat dikendalikan atau dibendung. Sehingga dapat dilihat bahwa lembaga itu menggeserkan kembali perilaku manusia kepada saluran-saluran yang diakui dan diterima sehingga kehidupan sosial dapat bertahan, karena hukum merupakan sarana untuk menyembuhkan masyarakat dan untuk melanjutkan hidup bermasyarakat (dalam Ihromi, 2000: 52-53).

Seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan pandangan antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat hukum. Pada masyarakat terbuka cenderung memiliki sikap kritis terhadap


(31)

kehidupan sosial mereka, yang mana mereka melihat bahwa norma/aturan yang mengatur kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa norma/aturan dan institusi yang mengaturnya dianggap pemberian dari alam. (dalam Birx, 2011: 488)4.

Meminjam pernyataan yang di tuliskan oleh Klosen maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat terbuka membenarkan bahwa hukum itu di buat oleh manusia dan juga sekaligus mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup cenderung bersikap statis dalam memandang hukum tersebut.

Friedman juga memiliki pendapat tersendiri dalam melihat hukum, yang mana ia menggolongkan hukum dalam tiga komponen yakni: (1) legal substance

yang berarti sebagai norma dan aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; (2) legal structure yang berarti sebagai lembaga – lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara ) ; (3) legal culture

yang berarti “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berfikir Lawrance M. Friedman (dalam Sulistyowati, 2000: 71).

Dari ketiga poin tersebut tidak menutup kemungkinan adanya situasi kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dapat dilihat ketika seorang Individu menjadi subjek lebih dari satu hukum. Sehingga dapat dilihat bagaimana individu tersebut menanggapi sistem-sistem hukum yang ada

      

4

Joachim Klose merupakan Commissioner of the Konrad Adeneur Foundation for the Free State of Saxony menuliskan hal tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Open And Close Socienties”

terdapat pada 21st Century Anthropology A Refrence Handbook dengan Editor: H. James Birx. tahun 2011 hal, 488.


(32)

dihadapannya, hal ini terkait dengan budaya hukum. Budaya hukum inilah yang akan menentukan pilihan hukum individu tersebut, yang dengan kata lain aturan-aturan hukum yang mana dan dengan cara bagaimana ia mengadakan pilihan yang ada5.

Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. dalam pandangan prosesual masalah kemajemukan hukum diartikan bahwa setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan atau lebih tepatnya lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda.

Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan suatu pranata hukum yang ada. Maka seseorang tersebut akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat akses yang lebih terhadap pemenuhan kepentingan6. Di mana ia akan memilih satu jalur hukum tertentu dan mungkin saja ia akan melakukan kombinasi terhadap hukum tersebut atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya.

Inilah yang dikatakan oleh Keebet Von Benda Beckmann sebagai istilah

forum shopping. Tidak terlepas dari pada itu Keebet juga menerangkan sebuah istilah shopping forums yang mana tidak hanya orang-orang yang bersengketa saja yamg memilih-milih lembaga penanganan suatu sengketa. Namun lembaga yang terlibat itu juga memilih dan memanfaatkan suatu sengketa untuk kepentingannya

      

5


(33)

sendiri terutama untuk tujuan politik lokal. Kemudian lembaga ini juga bisa menolak suatu permasalahan sengketa yang mereka khawatirkan akan menngancam kepentingan mereka ( K.Von Benda-Beckmann, 2000:65).

Dalam penjelasan mengenai forum shopping dan shopping forums

tersebut dapat dilihat bahwa ada proses pemilihan hukum yang dilakukan baik oleh pihak yang bersengketa maupun lembaga hukum yang terlibat di dalammya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata tunggal namun terdapat hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya suatu pilihan terhadap hukum itu sendiri atau dengan kata lain hukum mana yang akan digunakan.

Hukum juga harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan sebagai keseluruhan dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom7. Maka dari itu antropologi tidak pernah memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena fakta yang terjadi saat ini bahwa hukum yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat bisa saja berbeda dengan masyarakat lainnya karena dalam masyarakat tersebut terdapat hukum yang hidup (living law)8. Sehingga ketika kondisi ini terjadi yang muncul adalah kemajemukan hukum.

Dewasa ini bahasan mengenai kemajemukan hukum bukan merupakan hal baru untuk diperbincangkan. Kemajemukan hukum muncul karena adanya kemajemukan budaya. Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara teoritis merupakan konfigurasi budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Simbol Bhineka tunggal ika adalah bukti nyata kemajemukan budaya bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam etnik, ras, suku, agama dan sebagainya.

      

7

Loc,Cit Masinambow hal, 1

8

Op,Cit Sulistyowati hal 67.Teori living law berasal dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan–aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang dikontraskan dengan hukum negara.


(34)

Keragaman ini lah yang kemudian membentuk satu himpunan berupa bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dalam keberagaman selalu ada perbedaan–perbedaan yang menyimpan potensi konflik, jika tidak dikelola dengan baik maka potensi ini akan berwujud pertikaian yang pada akhirnya mengancam disintegrasi bangsa. Merujuk pada konflik maka hukum harus menjadi panglima dalam mengatasi masalah yang ada dimasyarakat9. Oleh karenanya perlu dipertanyakan apakah praktek penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki keragaman budaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian yang cukup serius. Namun tidak pada kesempatan ini.

Pada kesempatan ini akan diperdalam penjelasan mengenai kemajemukan hukum itu. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia memperlihatkan bagaimana kemajemukan hukum tersebut bekerja dalam ranah hukum yang kompleks. Mulai dari peradilan lembaga adat sampai pengadilan tinggi. Bukti nyata yang terjadi dapat dilihat dalam karangan Sulistyowati Irianto (2003) mengenai perempuan diantara berbagai pilihan hukum10.

Di sini dijelaskan bahwa perempuan batak Toba tidak memndapatkan harta warisan peninggalan orang tua mereka, karena menurut adat yang mendapatkan harta warisan adalah anak laki-laki saja. Akses terhadap hukum adat jelas tidak memberi jalan bagi wanita untuk mendapatkan hak waris, sehingga menyebabkan kelompok perempuan tertentu menciptakan budaya hukumnya

      

9

Achmad Syauqi Esai mengenai eksistensi hukum negara ditengah kemajemukan budaya. Terdapat pada www.achmadsyauqie.files.wordpress.com diakses 18 juni 2013

10

Ini merupakan studi mengenai strategi perempuan batak toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, yang dijilid berupa sebuah buku yang tersiri dari


(35)

sendiri yang tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris. Para pihak yang terlibat menggunakan hukum adat dan hukum negara secara bergantian, sehingga muncul kesepakatan antara pihak yang terlibat.

Penelitian yang di tulis oleh Engel Tambunan juga membahas mengenai kemajemukan hukum yang berjudul kemajemukan hukum dalam pengoprasian angkutan kota (studi deskriptif tentang pengoprasian angkot di Medan) yang mengatakan dalam hasil penelitiannya bahwa kemajemukan hukum yang terjadi di sini terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara dalam pengoprasian angkot yang pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam hubungan sosial yang semi otonom antara aktor/ pihak – pihak tertentu11 (Engel, 2011: 9-10).

Kemajemukan hukum juga terjadi pada penegakan hukum pidana dalam masyarakat, salah satunya terjadi pada masyarakat Lampung. Hal ini berkaitan dengan pengaruh nilai–nilai adat Masyarakat Lampung. Sebagian besar masyarakat Lampung kurang mengetahui isi peraturan perundang–undangan pidana dan penegakan hukumnya tetapi masyarakat memahami substansi hukum pidana, yaitu dalam hal pencegahan dan penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan adanya konsep tata nilai budaya masyarakat lampung yang disebut piil pesenggiri

yang di dukung oleh kelima unsurnya (juluk-adek, nemui-nyimah, nengah-      

11

Dalam penelitiannya, Engel berfokus terhadap angkot KPUM, dikatakan bahwa angkot KPUM dikemudikan oleh sebagian besar supir – supir yang tergabung menjadi anggota organisasi KPUM. Organisasi ini memiliki beberapa aturan yang diberlakukan kepada pemilik angkot, mandor, dan supir angkot dalam mengoprasikan angkutannya. Selain aturan KPUM, pengoprasian angkot KPUM juga diatur oleh hukum negara dan aturan lapangan yang disebut sebagai unnamed law . Berdasarkan kondisi yang ada, maka terciptalah aturan main yang diberlakukan oleh pihak – pihak tertentu. ( Rieview skripsi Engel Tambunan 2011)


(36)

nyappur, sakai-sambayan dan tittei gumantei) yang pada dasarnya merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat Lampung. Inilah yang menciptakan suasana yang tentram dan damai dalam hidup bermasyarakat. Pelaksanaan penegakan hukum pidana memerlukan adanya peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Disinilah letak kemajemukan hukum tersebut karena kesadaran hukum masyaraka bersumber dari nilai-nilai hidup masyarakat Lampung12 (Eddy Rifai, 2000: 160-162).

Sebuah kasus yang terjadi antara masyarakat Maluku juga mencerminkan sebuah kemajemukan hukum. C.Cooley dan D.Bartles mengadakan penelitian tentang masyarakat Maluku tersebut dengan hukum pela. Pela merupakan suatu ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk semua pihak yang terkait di dalamnya. kewajiban yang penting tersebut mengenai eksogami desa. Pela dibuat untuk tujuan saling membantu atau bekerja sama. Pela merupakan kunci kebudayaan Maluku. Orang Maluku pada kala itu banyak yang hijrah ke Belanda karena latar belakang politik yang berbeda. Diawali dari sinilah kasus kemajemukan hukum itu muncul.

      

12

Eddy Rifai dalam tulisannya yang berjudul Pluralisme Hukum dan Penegakan Hukum Pidana di Dalam Masyarakat (Tinjauan Tentang Penyelesaian Koflik Pada Masyarakat di Daerah Lampung). Masyarakat Lampung memiliki Strata (tingkatan) berdasarkan genealogis ataupun status sosial 

adat dan apabila seseorang bersalah maka ia akan diberi hukuman berdasarkan statusnya dalam

masyarakat. Juluk-adek adalah gelar adat, Nemui-nyimah adalah sikap pemurah, Nengah-nyappur

adalah bertoleransi dan bersahabat, Sakai-sambayan adalah tolong menolong atau gotong royong,

Budi bahaso dan tittie gemettei adalah bahasa sopan dan norma/ kebiasaan masyarakat adat. Artikel ini merupakan sumbangan karangan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70 Prof.Dr.T.O.Ihromi dimuat dalam E.K.M. Masinambow (editor) Hukum dan Kemajemukan


(37)

Orang Maluku yang hijrah tersebut tersebar diseluruh negeri Belanda. Mereka membentuk lingkungan tempat tinggal khusus dengan jumlah antara 200-2000 penduduk. Mereka juga membentuk sebuah organisasi sosial orang Maluku di negeri Belanda dan Menerapkan hukum pela di sana. Kenyataan yang terjadi bahwa hukum adat pela yang mereka bawa dari kampung halamannya tumbuh dan berlaku lebih kuat di antara orang- orang Maluku yang ada di negeri Belanda dari pada di Indonesia sendiri. Akibat adanya hukum tersebut maka terdapat dua hukum di negeri Belanda yakni antara hukum resmi dan hukum yang tidak resmi. Kemajemukan hukumpun terjadi si sana, yang mana golongan pendatang yakni orang Maluku lebih menerapkan hukum pela dalam kelompok masyarakat mereka sendiri dari pada hukum resmi yang ada di negeri Belanda. (Strijbosch, 1989: 84)13

Ketika berbicara kemajemukan hukum maka muncul sebuah konsep dimana kemajemukan hukum itu sendiri mengacu pada keberagaman dalam berhukum karena pada konteksnya masyarakat bersifat plural baik dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas dan jenis kelamin. Kemajemukan hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur hubungan sosialnya. Kemajemukan hukum memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat.

      

13

Tulisan F.Strijbosch mengenai “Legal Pluralism in The Netherlands, The Case of Moluccan Pela Law”. terdapat pada jurnal antropologi no 47. tahun 1989 hal: 84. dan Pela adalah salah satu hukum adat di Indonesia, tepatnya hukum adat yang ada di kepulauan Maluku dan berlaku bagi orang-orang Maluku.


(38)

Kemajemukan hukum tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang baru untuk diperbincangkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara terpisah tanpa memperhatikan hukum – hukum lain yang ada di sekitar masyarakat tersebut.

Dilain sisi Sulistyowati (dalam Ihromi, 1993: 243) yang menyatakan bahwa hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara satu hukum negara dengan hukum-huk lainnya yang terjadi dalam arena sosial. Arena sosial inilah yang merupakan tempat terjadinya segala bentuk interaksi baik berupa interaksi ekonomi, kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan serta hubungan-hubungan lainnya.

Kemudian melalui interaksi tersebut terjadilah interaksi hukum, karena menurut Sulityowati bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan demikian yang dinamakan hukum itu bukanlah hanya sebuah peraturan saja, melainkan proses interaksi yang terjadi dalam lingkup peraturan itu sendiri juga merupakan sebuah hukum. Dalam hukum itu sendiri juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum.

Sulistyowati juga mengatakan bahwa pendekatan kemajemukan hukum/ pluralisme hukum dapat dilihat melalui perspektif global yang mana masyarakat harus dilihat dalam arena yang multi-sited, karena terhubung dalam relasi bisnis, politik, sosial, dan dihubungkan oleh penemuan teknologi komunikasi. Dengan kata lain pengertian kemajemukan hukum semakin luas, tidak hanya sebatas pada hukum adat, agama ataupun negara tetapi terlebih lagi melihat bagaimana sistem


(39)

hukum yang berbeda – beda itu saling bersentuhan. Pendekatan hukum dalam perspektif global juga menunjukkan pada kita pentingnya untuk melihat para aktor yang menyebabkan hukum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum tersebut. Kemajemukan hukum memiliki makna yang luas bukan sebaliknya karena seiring dengan proses globalisasi yang terjadi menyebabkan terjadinya konsepsi – konsepsi normatif dan kognitif yang berasal dari berbagai sumber sehingga menjadikan suatu lapangan sosial sebagai arena untuk memberlakukan konsepsi tersebut. (Sulistyowati, 2012: 168).

Berbicara mengenai kemajemukan hukum itu sendiri menurut Griffiths (1986:1) adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu arena sosial “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order”14. Maka dengan kata lain kemajemukan hukum merupakan adanya lebih dari satu norma atau aturan yang secara nyata dianut dan dipatuhi oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Griffitsh (dalam Ihromi 1993:243) juga mengatakan bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan yang dalam tulisannya:

“Legal Pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an idel, a claim, an illusion”. “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi”(1993:234).

Di sini Griffits berusaha menjelaskan bahwa hukum yang ada sebenarnya bersifat majemuk dan pandangan sentralisme hukum merupakan sebuah ilusi yang terjadi. dalam hal kemajemukan hukum Sally Engle Marry memiliki pendapat yang hampir sama dengan Griffiths yakni : “...is generarlly defined as a

      

14

Jhon Griffiths dalam jurnal “what is legal Pluralism?” 24 tahun 1986 hal 1 terdapat pada http://www.keur.eldoc.ub.rug.nl/file.../1886.pdf diakses pada 25/04/2013.


(40)

situation in which two or more legal system coexist in the same social field”(Marry, 1988:870)15 yang berarti bahwa kemajemukan hukum itu mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Aturan atau norma yang berlaku disini tidak bersifat homogen melainkan heterogen yang berarti terdiri dari banyak aturan dan norma yang dengan kata lain bersifat plural yang bersumber dari berbagai sumber hukum. Oleh sebab itu hukum negara merupakan salah satu dari sekian banyak hukum yang ada, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat hukum lain yang hidup dan berlaku bagi komunitas tertentu.

Sedangkan Sally F. Moore dalam tulisannya yang berjudul “Hukum dan Perubahan sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat16, menjelaskan bahwa dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan baik yang bersumber dari bidang sosial itu sendiri atau aturan yang ada di luar bidang sosial tersebut seperti aturan negara. Aturan-aturan tersebut kemudian bekerja dan menciptakan pengaturan sendiri (self-regulating) dalam bidang sosial itu. Moore mengatakan :

“….“aturan permainan” yang beroprasi, mencakup sejumlah aturan hukum dan beberapa norma serta kebiasaan lain yang cukup efektif. Pembuatan perundangan yang secara sosial penting, sering sekali merupakan usaha untuk mengubah kedudukan tawar-menawar seseorang didalam urusannya dengan orang lain di dalam lingkungan-lingkungan sosial tersebut. Urusan yang diatur oleh lingkungan sosial dan apa lagi susunan dan sifat lingkungan sosial itu

      

15

Sally Engle Merry, Legal pluralism dalam Law and Socienty Rieview (journal of the law and socienty Association) 1988 http://www.jft-newspaper.aub.edu.lb/file/merry_1988.pdf diakses 21 mei 2013

16

Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan Sally Falk Moore “Law and Social Change: the Semi-autonomus Social Field aAs an Antropologi Subject of study”(1978), dimuat dalam T.O.Ihromi (penyunting). Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor


(41)

serta transaksi-transaksi yang terjadi di dalamnya, sering kali tetap tidak tersentuh oleh undang-undang itu. Maka itu, pengaturan melalui undang-undang sering hanya berkaitan dengan satu bagian saja dari pokok yang diaturnya dan hanya menyentuh basgian tertentu dari hubungan-hubungan yang ada.” (dalam Ihromi, 2001: 148)

Di sini dijelaskan bahwa diskusi mengenai pluralisme hukum saat ini tidak lagi berpusat pada koeksistensi antara hukum negara, adat dan agama kerena semakin banyaknya kepentingan-kepentinan yang ada maka perspektif mengenai pluralisme harus diperluas lagi dengan melihat bagian dari dimensi pluralisme transnasional. Berbicara mengenai transnasional berarti berbicara mengenai globalisasi, karena globalisasi telah membuka hubungan lintas batas dalam berbagai aspek dan membawa pada ekspansi rezim hukum ke wilayah negara. Globalisasi juga diasosiasikan dengan liberalisasi ekonomi dunia, perkembangan teknologi komunikasi dan munculnya berbagai ruang kegiatan transnasional.(Dian dalam Sulistyowati, 2009: 57)

Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa hukum itu bergerak hal ini berkaitan dengan globalisasi hukum, yang mana dalam globalisasi hukum dapat dijumpai adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi media bagi lalu lintas bergeraknya hukum. contohnya adalah migran (buruh, pedagang, NGO, serta orang-orang yang sering berhubungan dengan luar negeri) yang membawa hukumnya sendiri ke negara tujuan atau dengan fasilitas telekomunikasi (internet) para aktor ini bisa menyebabkan hukum tersebut bergerak. Hukum yang dibawa oleh para aktor diaplikasikan dengan hukum yang berlaku di negara tersebut sehingga selain hukum yang bergerak juga terjadi pluralisme hukum disana.


(42)

Secara konseptual slistyowati menggolongkan empat pokok bahasan penting dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”.

Yang Pertama, hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Dapat dipelajari bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan antar bangsa.

Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan benar. Untuk itu hukum dianggap memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh di kehidupan kita. Kedua, ada aktor-aktor yang menyebabkan hukum bergerak. Mereka adalah para individu maupun organisasi yang sangat “mobile”. Para aktor ini penting dalam proses globalisasi17 dan glokalisasi18, dan menjadi agen bagi terjadinya perubahan hukum. Ketiga, pemahaman globalisasi dalam konteks sejarah sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan terjadinya penjajahan, penyiaran agama, dan perdagangan pada masa silam.

      

17

Globalisasi menurut A.G. Mc Grew adalah mengacu pada keberagaman hubungan dan saling keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. Hal ini terdapat pada situs pustyaka belajar www.zakapedia.com/2013/04/pengertian-globalisasi-menurut-ahli.html?=1 diakses pada 25 juli 2013

18


(43)

Sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum “bergerak”. Namun pada saat ini globalisasi memiliki karakter yang berbeda. Keempat, perkembangan dari pemikiran diatas, tidak hanya menyebabkan perlunya redefenisi terhadap pemikiran mengenai pluralisme hukum, tetapi juga memiliki signifikansi terhadap munculnya metodologi antropologi “baru”. Etnografi konvensional tidak lagi dapat menjawab berbagai permasalahan dari bergeraknaya hukum melalui para aktor dan isu-isu globalisasi dan glokalisasi hukum. oleh karena itu, penting untuk melakuakan kajian antropologi secara multispatial dan multisited ethnography yang dengan kata lain harus dilakukan penelitian secara menyeluruh dengan melihat aspek-aspek yang terkait di dalamnya. (Sulistyowati, 2009: 35-40) .Proses yang terjadi antara hukum-hukum yang saling bersentuhan mengakibatkan hukum tersebut melahirkan hukum baru yang ada.

Franz & Keebet Von Benda-Beckmann menjelaskan bahwa saat ini diskusi mengenai kemajemukan hukum tidak lagi berpusat pada koeksistensi hukum nasional resmi dan hukum tradisional, hukum agama, dan hukum lain yang ada di tingkat nasional saja tetapi dengan semakin meningkatnya kepentingan hukum dan politik dari konvensi-konvensi dan hukum-hukum internasional, terutama isu-isu hak asasi manusia dan hak-hak orang asli, membuat para sarjana harus lebih memperluas perspektif mereka pada” pluralisme hukum dimensi transnasional”(dalam Masinambow, 2000: 17). Selain itu juga F. Benda Beckmann mengatakan bahwa konsepsi hukum yang banyak disepakati di kalangan antropolog hukum, yaitu hukum adalah proposisi yang mengandung


(44)

konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Konsepsi inilah yang mendasari sebuah tindakan yang melahirkan sebuah hukum “baru” di masyarakat (Sulistyowati, 2009: 38).

Meminjam dari apa yang dikatakan oleh Benda-Beckmann bahwa hukum mengandung konsepsi normatif dan kognitif maka saya akan dapat dengan mudah memahami hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian Sumatera Utara.

1.3 Perumusan Masalah

Untuk menjelaskan situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara, maka akan saya tuangkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimana latar belakang sejarah perkeretaapian Sumatera Utara?

2. Bagaimana situasi dan kondisi hukum-hukum yang ada di perkeretaapian Sumatera Utara?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari skripsi ini adalah mendeskripsikan tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Tidak hanya itu saja skripsi ini juga menjelaskan berbagai bentuk hukum dan melihat hukum-hukum ideal yang ada. Melihat bagaimana persepsi setiap orang dalam memandang hukum dan cara orang tersebut memandang hukum yang hidup. Melalui skripsi ini akan diungkapkan kenyataan yang terjadi sebenarnya terkait


(45)

permasalahan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Sehingga skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam permasalahan hukum.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya pola pikir yang lebih luas dalam memandang permasalah hukum, tidak lagi memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena terdapat hukum-hukum lain yang cukup berpengaruh di dalam kehidupan sosial. Menimbulkan respon masyarakat, peneliti maupun ilmuan sosial dan budaya untuk lebih sensitif terhadap permasalahan kemajemukan hukum sehingga menimbulkan konsep-konsep serta teori-teori baru mengenai kemajemukan hukum tersebut. Melalui tulisan ini penulis berharap bahwa muncul kepekaan setiap mahasiswa antropologi terhadap situasi yang ada disekeliling kita dalam menenggapi segala permasalahan yang ada sehingga kajian dalam dunia antropologi dapat lebih berkembang dan dikenal oleh kalangan masyarakat luas.

1.5 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara. Dengan cakupan pembahasan mengenai kemajemukah hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara. Untuk itu cakupan dalam lokasi penelitian meliputi seluruh daerah oprasional kereta api yang berada di Sumatera Utara. Perkeretaapian Sumatera Utara memiliki 4 klasifikasi kelas kereta penumpang, yakni eksekutif, bisnis, ekonomi dan K.A khusus bandara. Namun untuk jenis kereta juga dapat dibedakan lagi yakni Sri Lelawangsa, Sribilah, Sirex, Putri deli dan KA bandara. Perkeretaapian


(46)

Sumatera Utara juga memiliki satu jenis kereta pengangkut barang, satu jenis kereta pengangkut minyak dan pengangkut batu kerikil.

Pusat kantor kereta api Sumatera Utara terdapat di Medan. Maka dari itu stasiun kereta api Medan memiliki peranan sangat penting bagi stasiun lainnya yang ada di Sumatera Utara. Pasalnya stasiun kereta api Medan merupakan stasiun yang titik point pertama bagi semua keberangkatan kereta api dengan tujuan mana saja. Aturan yang diberlakuakan pada stasiun ini juga sedikit berbeda dengan stasiun-stasiun lain yang berada pada Divisi regional yang sama.

Saya memilih perkeretaapian Sumatera Utara dikarenakan ada hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum formal yang berlaku di sini. Selain itu juga kereta api yang berstatus sebagai badan Usaha Milik Negara ini sebagian besar asetnya di sewa oleh pihak swasta. Hingga akhirnya terlihat bahwa banyak aturan yang muncul di lingkungan kereta api karena semakin banyak pelaku yang terlibat di dalam perkeretaapian itu sendiri.

1.6 Metode Penelitian

Penilitian ini adalah penelitian kualitaf serta bersifat etnografi, yang mana penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spradley, 1997:3) . Metode etnografi ini akan memberikan gambaran secara mendalam tentang situasi kemajemukan hukum yang terjadi diperkereta apian Sumatera Utara.


(47)

1.6.1 Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data akan dikumpulkan melalui observasi, wawancara serta sumber data lainnya yang mendukung terkait permasalah yang sedang diteliti. observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115). Disini saya menggunakan observasi partisipasi. Saya terjun langsung ke kantor Kereta Api dan ke stasiun-stasiun yang ada di daerah oprasional Sumatera Utara guna memperoleh data yang akurat. Saya juga terlibat langsung sebagai penumpang kereta api. Observasi dilakuakan guna melihat, mendengarkan dan mencatat kejadian-kejadian serta aktivitas yang ada di lingkup perkeretaapian Sumatera Utara. Saya mencoba mengamati merasakan dan memahami secara emic view yakni melalui kacamata orang lain yang sedang diteliti.

Observasi juga saya jadikan sebagai loncatan awal untuk memahami kondisi yang ada di lingkungan kereta api. Saya mengamati gerak setiap pelaku, mulai dari penumpang hingga pegawai kereta api. Melihat bagaimana kerja tiap-tiap pegawai kereta api, pedagang maupun penumpang. Observasi ini saya anggap penting karena dinilai sangat membantu dalam belajar beradaptasi dengan kondisi yang ada dilingkungan kereta api. Selain observasi saya juga menggunakan tekhnik wawancara (interview).

Metode wawancara digunakan guna mendapatkan informasi dari para informan. Informan-informan yang terkait dalam penelitian ini adalah pegawai kereta api, pedagang, penumpang serta informan lainnya yang terkait dengan pembentukan hukum di perkeretaapian Sumatera Utara. Metode wawancara


(48)

dianggap lebih efisien untuk memperoleh informasi yang akurat dari apa yang terjadi di lapangan terkait dengan kemajemukan hukum. Metode wawancara juga memberi keleluasaan pada saya untuk bertanya tentang apa yang belum dipahami terkait panelitian yang sedang dilakukan. Metode ini membantu untuk mendekatkan diri secara emosional dengan informan.

Wawancara yang digunakan disini adalah wawancara mendalam (depth interview), wawancara bebas dan wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan interview guide yaitu pedoman wawancara yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Wawancara sambil lalu dan wawancara bebas dapat dilakukan tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan guna mendapatkan data mengenai situasi kemajemukan hukum yang terjadi di perkereta apian Sumatera Utara. Dalam hal wawancara saya tidak membagi-bagi informan berdasarkan informan kunci, pangkal atau biasa.

Hal ini karena saya melihat semua informan dapat berlaku sebagai informan kunci berdasarkan pengetahuan serta pengalaman mereka selama bekerja di kereta api Sumatera Utara, pedagang ataupun menjadi penumpang kereta api. Informan kunci dilihat berdasarkan tingkat keakuratan informasi yang diberikan.

Selain itu juga, saya merasa penting menjalin Rapport dengan para informan. Karena menjalin hubungan baik dengan informan menjadi satu hal pokok yang sangat penting ketika melakukan penelitian. Bagaimana seorang peneliti bisa masuk dalam suatu lingkungan dan diterima agar dapat lebih mudah untuk memperoleh informasi dan data yang akurat. Pada penelitian ini, saya


(49)

memposisikan diri sebagai seseorang yang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang hukum-hukum yang terdapat di kereta api.

Sehingga ingin belajar dari kondisi lapangan dan para informan untuk mengetahui hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian tersebut. Hubungan baik diciptakan melalui pendekatan dengan para informan, bersikap ramah dan terbuka merupakan cara yang efektif dalam mendekatkan diri dengan informan, membangun rasa percaya informan bahwa peneliti benar-benar ingin belajar dari informan.

Sehingga dengan hal tersebut informan lebih terbuka untuk memberikan informasi dan menjelaskan mengenai situasi hukum yang terjadi di kereta api. Untuk mengadakan kontak dan membangun hubungan dengan pegawai-pegawai kereta api di sini saya berlaku sebagai penumpang yang berstatus sebagai mahasiswi yang sedang melakukan tugas kuliah dan bukan sedang melakukan penelitian. Rapport yang terjalin dengan baik dihasilkan melalui tahap perkenalan dan selanjutnya bertatap muka dengan intens. Sehingga informan tidak menimbulkan keraguan sama sekali dengan saya sebagai peneliti.

1.6.2 Tekhnik Analisa Data

Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut data yang berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa


(50)

dipahami dengan mudah. Tekhnik analisa data yang digunakan adalah dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara kedalam suatu pola. Mengkategorikan setiap sumber informasi dan data dengan menghubung-hubungkan data yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Melalui analisa data ini dapat ditemukannya kesimpulan yang menjelaskan penelitian yang telah disusun secara sistematis.

1.6.3 Rangkaian Pengalaman Penelitian di Lapangan

Guna mendukung data yang akurat saya akan mendeskripsikan secara dengan sederhana pengalaman yang diperoleh selama penelitian dilakukan. Hal ini merupakan bagian dari penelitian antropologis, yang mana dalam pengalaman penelitian akan membantu penyempurnaan data lapangan. Pengalaman penelitian di lapangan memberikan suatu hal yang baru bagi saya. Pengalaman tersebut membuat saya belajar memahami situasi di sekitar wilayah penelitian. Situasi tersebut dapat membuat saya tertawa, terharu bahkan sedih dan terkadang jengkel.

Pengalaman ini dimulai dari pengurusan surat ijin penelitian dan terjun langsung ke lapangan. Selama penelitian saya menghadapi orang-orang baru dan situasi baru yang sangat asing. Namun seiring dengan berjalannya penelitian saya semakin terbiasa dengan situasi tersebut. Banyak kendala yang dihadapi saat melakukan penelitian mengenai kemajemukan hukum yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara ini. Salah satunya adalah masalah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian dan akses untuk masuk ke lingkungan kereta api.


(51)

Diawali dengan pemberian surat ijin ke kantor kepala stasiun kereta api. Saat mengantarkan surat ijin tersebut saya ditemani oleh salah seorang teman. Sesampai di stasiun saya meminta ijin untuk mengantarkan surat ijin penelitian ke kantor kepala stasiun. Petugas penjaga pintu masuk stasiun hanya memperbolehkan orang yang bersangkutan dengan penelitian tersebutlah yang diijinkan untuk masuk dan menemui kepala stasiun. Akhinya saya masuk ke dalam kantor kepala stasiun namun yang bersangkutan tidak berada di tempat. Hingga akhirnya surat ijin tersebut diberikan kepada wakilnya.

Di dalam kantor tersebut telah dipenuhi oleh dua orang wartawan dari instansi yang berbeda. Mereka membicarakan tentang ijin peliputan berita dan meminta data kelajuan penumpang sepanjang tahun 2013. Akan tetapi saya tidak ditanya seputar penelitian yang akan dilakukan, wakil kepala stasiun tersebut hanya memberikan sebuah penjelasan bahwa surat ini seharusnya diserahkan ke kantor kereta api langsung dan hubungi bagian hukum yang ada di kantor tersebut. Salah satu pegawai stasiun mengatakan pada saya bahwa “orang libur kok kamu penelitian sih dek” saya hanya menjawab dengan senyuman. Kondisi saat itu mendekati libur hari raya. Kemudian saya bergegas pergi meninggalkan stasiun. Karena dalam situasi yang libur saya memilih menyerahkan surat ijin selesai libur hari raya ke kantor kereta api yang letaknya berada di belakang stasiun kereta api Medan. Sesampainya di kantor kereta api tersebut saya diantarkan oleh seorang scurity menuju kantor bagian umum yang mengurus segala jenis surat yang masuk.


(52)

Beberapa hari kemudian saya kembali lagi untuk melihat surat balasan terkait ijin penelitian. Namun belum ada respon dari pihak SDM terkait surat tersebut. Tiga hari kemudian saya kembali ke kantor tersebut namun belum membuahkan hasil. Lima hari kemudian saya kembali lagi dan masih sama belum ada surat balasan. Satu minggu kemudian saya datang kembali dan bertanya mengenai surat ijin yang diberikan. Lalu saya di minta untuk mendatangi langsung kantor SDM.

Di kantor SDM tersebut saya berjumpa dengan kepala kantor SDM yakni bapak Rajagukguk. Beliau menanyakan bahwa apa kaitannya antropologi dengan hukum dan apa kaitannya dengan stasiun kereta api Medan. Saya berusaha menjelaskan namun bapak Rajagukguk merasa apa yang saya sampaikan adalah salah dan merasa bahwa saya “mengurui” dirinya. Saya meminta maaf karena tidak bermaksud untuk menggurui beliau. Beliau menganggap bahwa tidak ada kaitannya antara antropologi dengan hukum dan beliau juga mengatakan jika saya berasal dari jurusan hukum maka tidak perlu ditanyakan mengenai permasalah hukum ini.

Selama kurang lebih dari 3 jam saya berada di dalam kantor bagian SDM tersebut dan diberi penjelasan-penjelasan oleh Pak Rajagukguk. Saya memberikan Proposal yang telah direvisi kepada beliau untuk membantu mempermudah dalam menyatukan pendapat dan menjelaskan apa yang saya maksudkan. Namun tetap saja tidak membuahkan hasil dan yang lebih parahnya beliau mengatakan bahwa proposal saya tidak nyambung sama sekali.


(53)

Beliau juga menyarankan pada saya untuk mengganti saja judul skripsi saya dengan judul-judul yang diberikannya. Namun beliau juga berkata “sayang juga kalau diganti berarti kamu harus mengulang dari awal”. Beliau menyarankan agar melakukan penelitian di Bandara Kuala Namu saja. Saya memahami keaadaan ini dan akhirnya diam. Pak Rajagukguk tidak mengerti atas apa yang saya maksudkan. Disela-sela pembicaraan yang terjadi, saya bertanya dan berusaha memperoleh informasi mengenai situasi yang terjadi di perkeretaapian Sumatera Utara dan aturan-aturan yang berlaku di sana.

Namun beliau tidak menyadari hal tersebut, ia menjawab tiap-tiap pertanyaan yang saya ajukan. Setelah cukup lama berbincang-bincang beliau mengatakan pada staffnya bahwa surat ijin saya ditunda dan saya dianjurkan untuk mendiskusikannya lagi dengan dosen pembimbing. Dengan keadaan tersebut saya bergegas untuk datang ke kampus menemui dosen pembimbing dan menceritakan semuanya.

Penelitiaanpun dilaksanakan walau tanpa surat ijin balasan dari kantor kereta api Medan. Dikarenakan saya tidak mendapatkan surat ijin balasan dari pihak kereta api. Maka saya memasuki wilayah kereta api dengan cara membeli tiket kereta api Binjai seharga Rp.5000,-. Dengan demikian saya bisa memasuki wilayah stasiun secara utuh. Saya juga memasuki stasiun kereta api Bandara yang berada dalam gedung yang sama dengan stasiun kereta api Medan. Saya berbincang-bincang dengan pegawai kereta api yang sedang duduk bersantai, serta dengan penumpang kereta api yang sedang merokok. Selain berbincang-bincang saya juga melihat sekeliling stasiun guna megetahui kondisi yang sedang terjadi.


(1)

kereta api dan legitimasi yang berbeda dari hukum Negara dipandang sebagai sebuah hukum yang juga melahirkan hukum baru. Hukum-hukum inilah yang membentuk situasi kemajemukan hukum.

Kemajemukan hukum itu sendiri bila dilihat dalam perspektif hukum Negara maka dapat dikatakan sebagai hukum yang menyimpang atau dapat disebut sebagai pelanggaran hukum. Dimana akibat adanya kemajemukan hukum ini maka tidak ada acuan yang pasti dalam permasalahan hukum. Sulit memberi batasan pasti mengenai tindakan yang salah dan tindakan yang benar. Kemajemukan hukum juga dapat dikatakan sebagai cacat hukum, dimana keberadaan hukum tidak lagi dapat dibeda-bedakan dan diberi batasan atas apa yang dapat dikatakan sebagai hukum. Karena pandangan kemajemukan hukum itu sendiri semakin memburamkan eksistensi dari pengertian hukum. Sehingga yang dapat dibedakan hanyalah hukum formal dan non-formalnya saja. Yang mana keduanya dapat dibedakan atas hukum tertulis dan tidak tertulis. Dalam sebuah pengertian hukum menurut Negara yang hanya diakui adalah hukum formal akan tetapi dalam pandangan kemajemukan hukum, hukum non-formal juga diakui sebagai suatu hukum.

Jika melihat kondisi seperti ini maka jelas akan sulit terjadi suatu hukum yang benar-benar bisa mengendalikan hidup bersama. Karena kini eksistensi dari hukum itu sendiri semakin buram. Pandangan kemajemukan hukum melegalkan adanya hukum-hukum baru. Sehingga hukum-hukum baru yang lahir dari adanya kepentingan juga dilegalkan. Bayangkan!, Berapa banyak hukum yang tercipta jika masing-masing dari tiap lapisan masyarakat membentuk pengaturan sendiri


(2)

sesuai dengan kepentingannya. Ini sama saja dengan menimbulkan kesemerawutan hukum. Tidak lagi ada batasan yang jelas mengenai hukum dan sulit untuk menempatkan sanksi bagi pelanggar hukum. Untuk itulah seharusnya jika dalam pengaturan yang dibuat dalam hal hukum seharusnya tidak ada terselip kepentingan-kepentingan dari pihak tertentu. Maka bukan tidak mungkin hukum itu akan berjalan dengan baik. Namun untuk menciptakan hal yang demikian haruslah dimulai dari diri pribadi tiap individu, karena pada dasarnya kepentingan itu mendominasi di diri pribadi tiap individu. Jika tidak demikian maka mustahil untuk menciptakan hukum yang baik bagi semua pihak karena pada kondisi nyatanya keberadaan hukum itu akan selalu berada dalam konstestasinya dengan kekuatan kepentingan yang ada.

6.2 Saran

Dalam memberikan saran kepada perkereta apian Sumatera Utara maka saya selaku penulis berharap agar kereta api Sumatera utara dapat memperbaiki sistem pelayanan yang diberikan bagi penumpang. Selain itu juga pengawasan yang kurang terhadap pegawai kereta api hendaknya lebih ditingkatkan lagi. Sehingga masing-masing dari pegawai kereta api yang ada dapat benar-benar melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Tidak hanya sebatas itu, pihak kereta api juga harus lebih peka terhadap kondisi sekeliling. Terlebih lagi dalam melihat kondisi pemukiman liar yang ada di sekitar bantalan rel. setidaknya pihak kereta api harus mengambil langkah tegas dalam mengahadapi permasalahan ini. Karena permasalahan ini dinilai cukup


(3)

penting, terlebih hal ini terkait dengan keamanan dan keselamatan masyarakat pemukim dan penumpang. Seringnya terjadi kecelakaan antara kereta api dengan pemukim sekitar bantalan rel seharusnya menimbulkan efek jera bagi keduanya. Akan tetapi yang terlihat adalah sebaliknya antara kedua belah pihak sama sekali tidak memunculkan solusi apapun.

Mengenai aturan formal yang harus dijalankan pihak kereta api haruslah konsekuen dengan menaati peraturan tersebut. Permasalahan jarak aman antara rel kereta api dengan bangunan yang ada disekitarnya juga terlihat tidak begitu diambil pusing oleh kereta api. Pasalnya pos penjagaan palang pintu juga belum memenuhi jarak aman yang telah ditentukan.

Pihak kereta api harusnya lebih peka terhadap aturan yang telah ditetapkan. Tidak mengambil langkah yang dianggap lebih mudah. Saya juga berharap hadirnya aturan-aturan baru yang tercipta tidak mendatangkan kerugian bagi pihak lainnya yang berada di luar lingkup kereta api seperti penumpang.

Jika pihak kereta api ingin segalanya berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan maka haruslah melihat bagian dalam tubuh kereta api itu sendiri. Dimana agen-agen pembuat hukum yang baru tersebut tidak lain terdapat di dalam tubuh perkereta apian. Pihak kereta api juga harus melihat bahwa hukum itu tidak tunggal dan hukum tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam mengatur segala kehidupan manusia. Akan tetapi terdapat hukum-hukum lain yang hidup dan juga mengatur kehidupan manusia. Serta memiliki keberlakuan yang sama dengan hukum formal di lapangan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Avan, Alexander

2012 Parjis Van Soematera, Medan: Penerbit Indie. Hal 39-41 Benda-Becman, F.Von.

2000 Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, Jakarta: Grasindo. Hal 65

Benda-Beckmann,F. Von & Benda-Beckmann, Keebet von.

2000 “The Law of Thing: Legalization and De-legalization in relationship Between The First and The Third World”, dalam E.K.M.Masinambow, ed. Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari

Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.Ihromi, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Hal: 17. Bohannan, J. Paul

2000 “Antropologi dan Hukum”, dalam T.O.Ihromi (penyunting),

Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hal: 52-53. Bungin, Burhan.

2007 Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta:Kencana. Hal 115.

Irianto, Sulistyowati.

2000 “Pluralisme Hukum dan Masyarakat Saat Krisis”, dalam E.K.M.Masinambow, ed, Hukum dan Kemajemukan Budaya: sumbangan karangan Untuk Menyambut Hari

ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.Ihromi, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Hal: 71, 72 & 79.

2003 Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum: Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses Kepada Harta Waris Melalui Proses

Penyelesaian Sengketa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hal: 1-306

2009 “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global” dalam Sulistyowati Irianto, ed, Hukum yang Bergerak: Tinjauan

Antropologi Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal:


(5)

2012 “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global” dalam Adrian.W.Bedner, Sulistyowati Irianto, Jan Michiel Otto, Theresia Dyah Wirastri, eds, Kajian Sosio-Legal, Bali: Penerbit Pustaka Larasan. Hal: 168

Klose, Joachim.

2011 “Open And Close Socienties” dalam H. James Birx eds, 21st

Century Anthropology A Refrence Handbook volume 1&2,

Mexico: SAGE Publication, Inc. Hal: 488 Koentjaraningrat.

1985 Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru. Hal: 200-201.

Masinambow, E.K.M.

2000 “Hukum dan Kemajemukan Budaya” dalam

E.K.M.Masinambow, ed, Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan karangan Untuk Menyambut Hari

Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.Ihromi, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Hal: 5. Moore, Sally Falk.

1993 “ Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, T.O.Ihromi (penyunting), Antropologi Hukum Sebuah

Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Hal: 148.

Rifai, Eddy.

2000 “Pluralisme Hukum dan Penegakan Hukum Pidana di Dalam Masyarakat: Tinjauan Tentang Penyelesaian Konflik Pada Masyarakat daerah Lampung” dalam E.K.M.Masinambow, ed, Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan karangan Untuk Menyambut Hari

Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. Ihromi, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Hal: 160-162. Rositawati, Dian.

2009 ”Kedaulatan Negara Dalam Pembentukan Hukum di Era Globalisasi” dalam Sulistyowati Irianto, ed, Hukum Yang

Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Hal: 43-57. Sinar, Tengku Lucman.

2007 Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Perwira Medan. Hal: 61


(6)

Sofia, Dona.

2004 Keberadaan Angkutan Kereta Api di Sumatera Timur

(1925-1935), Skripsi S1 Departemen Sejarah Fakultas

Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan. Tidak diterbitkan. Hal 18

Spradley, P. James.

1997 Metode Etnografi,Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Hal:3.

Strijbosch, F.

1989 “Legal Pluralism in Netherlands, The Case Of Molluccan Pela Law” dalam Jurnal Antropologi no. 47, Depok: Jurusan Antropologi Fisip UI. Hal: 84.

Tambunan, Engel.

2010 Kemajemukan Hukum Dalam Pengoprasian Angkutan Kota: Studi Deskriftif Tentang Pengoprasian Angkot di

Kota Medan, Departemen antropologi Sosial Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Tidak diterbitkan. Hal: 9-10.

Trisna, Dewi Ayu.

2006 Kajian Hukum Perdata Kedudukan Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api

(Persero) di Kota Medan, Magister Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan. Tidak diterbitkan. Hal: 81, 92-94. Zuska, Fikarwin.

2008 Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari:

Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota, Medan:

Fisip USU Pres. Hal: 199. Sumber Internet

Damanik, Erond L.

2010 “Deli Spoorweg Maatschappij: Kontribusi Perkebunan Deli Dalam Pengembangan Transportasi di Sumatera Utara,

http://pussisunimed.wordpress.com/2010/01/28/deli- spoorweg-maatschappij-kontribusi-perkebunan-deli-dalam-pengembangan-transportasi-di-sumatera-utara, diakses 20 november 2013.

Grew Mc. A. G

2013 Pengertian Globalisasi,

www.zakapedia.com/2013/04/pengertian-globalisasi-menurut-ahli.html?=1 diakses 25 juli 2013.