Hukum Penanaman Modal dalam Kerangka WTO

KATA PENGANTAR

  Kegiatan penanaman modal langsung (direct investment) memiliki karakteristik yang berbeda dengan perdagangan internasional (international trade). Penanaman modal langsung berkarakter non cross border yang menempatkan pengaturan penanaman modal secara langsung bersentuhan dengan pelaksanaan hak kedaulatan internal sebuah negara berdaulat. Oleh karena itu, dalam tataran internasional sangat sulit membuat sebuah kesepakatan di bidang penanaman modal yang mengikat secara hukum. Hal ini berbeda dengan kegiatan penanaman modal yang berkarakter sebagai

  

cross border issues dan secara langsung tidak bersentuhan pelaksanaan hak kedaulatan

  internal sebuah negara berdaulat, karena itulah banyak ditemukan kesepakatan- kesepakatan internasional di bidang perdagangan barang yang mengikat secara hukum (legally binding).

  Pandangan tersebut sedikit mengalami pergeseran pasca Uruguay Round GATT (1986-1994) yang kemudian melahirkan WTO. Pada putaran perundingan ini dicapai sebuah kesamaan persepsi bahwa pengaturan perdagangan internasional dan penanaman modal merupakan dua disiplin yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan erat dan saling melengkapi. Liberalisasi perdagangan internasional dikatakan akan lebih optimal jika diikuti dengan proses liberalisasi pada aliran modal internasional. Oleh karena itu, perundingan berkepentingan agar terdapat keharmonisan dalam penataan peraturan penanaman modal pada tataran hukum nasional negara-negara peserta perundingan.

  Pada tahap awal, terlihat bahwa perundingan lebih diarahkan pada penataan persyaratan penanaman modal yang dapat mendistorsi aliran perdagangan barang dan jasa internasional atau persyaratan-persyaratan penanaman modal yang dipergunakan sebagai hambatan perdagangan (trade barrier) oleh negara-negara anggota WTO. Kemudian mengarah pada penataan liberalisasi di sektor jasa yang secara langsung bersentuhan dengan aktivitas penanaman modal langsung melalui modus kehadiran komersial (commercial presence). Perundingan kemudian menghasilkan dua kesepakatan di bidang perdagangan yang berkaitan langsung dengan pengaturan penanaman modal langsung, yakni Agreement on Trade Related Investment Measures dan General Agreement on Trade in Services. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk lebih lanjut berkembang pada perundingan tentang pengaturan penanaman modal secara komprehensif, yang tidak lagi terbatas pada aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan kewajiban internasional negara-negara anggota di bidang perdagangan barang internasional. Pada tahap akhir ini, perdebatan tidak bisa terelakkan. Sangat dipahami muncul kekhawatiran negara-negara berkembang mengingat permasalahan ini akan berkaitan langsung dengan masalah kedaulatan negara dan juga dikarenakan adanya perbedaan tingkat kebutuhan pembangunan ekonomi dari negara-negara. Sementara peraturan penanaman modal di suatu negara selalu dihubungkan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Masalahnya jika ada peraturan internasional yang mengikat secara hukum, akankah ruang bagi negara berkembang untuk memanfaatkan kehadiran modal (investor) sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya akan semakin dibatasi.

  Buku yang sederhana ini ditujukan untuk menggambarkan kesepakatan- kesepakatan WTO yang terkait dengan pengaturan penanaman modal. Pada bagian akhir buku ini mencoba melihat pengaruh kesepakatan-kesepakatan tersebut terhadap hukum penanaman modal langsung di Indonesia, khususnya terhadap UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksananya. Sebahagian dari substansi buku ini merupakan hasil penelitian disertasi Penulis yang kemudian diadaptasikan dengan perkembangan saat ini.

  Buku ini berguna bagi bahan ajar, terutama bidang hukum penanaman modal, hukum perdagangan internasional, hukum ekonomi internasional atau hukum bisnis, baik pada tingkatan stara sarjana maupun magister hukum. Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang memberikan kontribusi atas penulisan buku sederhana ini dan semoga bermanfaat dan menjadi amal ibadah dihadapan Allah SWT.

  Medan, Oktober 2010 Penulis

  Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

  BAB I : EKSISTENSI PERATURAN PENANAMAN MODAL DALAM KERANGKA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Latar Belakang B. Hubungan Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Langsung C. Putaran Uruguay (1986-1994) dan Pengaturan Penanaman Modal

  1. FIRA Case sebagai Kasus Awal

  2. Dua Instrument Pokok Pengaturan Terkait Penanaman Modal Langsung Hasil Kesepakatan Putaran Uruguay

  D. Perkembangan Pasca Putaran Uruguay

  BAB II : KESEPAKATAN DI BIDANG PERDAGANGAN YANG TERKAIT DENGAN PENANAMAN MODAL (AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES) A. Latar Belakang B. Ruang Lingkup C. Bentuk Persyaratan Penanaman Modal yang Dilarang

  1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National Treatment

  2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip General Prohibition on Quantitative

  Restriction

  D. Transparansi

  BAB III : KESEPAKATAN UMUM BIDANG PERDAGANGAN JASA (AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES) A. Latar Belakang B. Most Favoured Nations Treatment (MFN) C. Protecting Through Specific Commitments D. Transparansi E. Peningkatan Partisipasi Negara Sedang Berkembang

  (Development Country)

  F. Integrasi Ekonomi

  G. Liberalisasi Bertahap

  H. Keadaan Darurat

  I. Regulasi Domestik (Domestic Regulation)

BAB IV : MENGGAGAS KESEPAKATAN KOMPREHENSIF DI BIDANG PENANAMAN MODAL A. Latar Belakang B. Ruang Lingkup Penanaman Modal C. Penerapan Prinsip Non Diskriminasi D. Penerapan Prinsip Transparansi E. Development Provisions BAB V : HARMONISASI PADA UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL INDONESIA A. Perdebatan tentang Liberalisasi Investasi dalam UUPM

  1. Antara Optimistis dan Liberalisasi Investasi yang belum tepat

  2. Kompromi antara liberalisasi investasi dan kepentingan nasional

3. UUPM memberikan fleksibilitas yang cukup bagi

  Pemerintah

  B. UUPM dan Kesepakatan Internasional terkait Penananaman Modal

  1. UUPM memberikan perhatian yang cukup terhadap kesepakatan internasional

  2. UUPM cukup mengakomodir Agreement on TRIMs dan GATS 3. Perlu perhatian terhadap ketentuan Domestic Regulation

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  1. Globalisasi dan Perubahan Hukum

  2. Peraturan Perdagangan Internasional dalam Undang-Undang- Penanaman Modal di Indonesia

  3. Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Investasi di indonesia

  4. General Agreement on Trade in Services (GATS) dan Kedaulatan Hukum di Bidang Ekonomi

BAB I EKSISTENSI PERATURAN PENANAMAN MODAL DALAM KERANGKA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Latar Belakang

  1 Kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment) memiliki

  karakteristik yang berbeda dengan kegiatan perdagangan internasional (international

  

trade) . Perdagangan internasional merupakan aktivitas ekonomi yang berkarakter lintas

  batas (cross border) sedangkan karakteristik kegiatan investasi langsung adalah bersifat

  

non cross border. Sering disebutkan bahwa kegiatan perdagangan internasional secara

  langsung tidak bersentuhan dengan isu-isu pelaksanaan kedaulatan internal sebuah negara, karena dalam aktivitas ini yang masuk ke wilayah kedaulatan suatu negara adalah barang untuk diperdagangkan. Berbeda dengan kegiatan investasi langsung, yang memasuki wilayah suatu negara tujuan investasi (host country) tidak saja barang/jasa tetapi juga diikuti dengan orang (investor atau tenaga kerja asingnya) yang akan menetap di wilayah negara tersebut. Kehadiran orang asing di wilayah host country berikut dengan kekayaannya dan aktivitas yang dilakukannya akan bersentuhan secara langsung dengan pelaksanaan kedaulatan internal dari negara host country, antara lain kedaulatan untuk menerapkan hukum nasionalnya terhadap keberadaan orang asing dan kekayaan orang asing tersebut.

  Argumentasi kedaulatan tersebut sering dijadikan sebagai dasar menempatkan keberadaan hukum penanaman modal langsung dalam lingkup pelaksanaan kedaulatan internal sebuah negara. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kedaulatan untuk mengatur kegiatan investasi langsung dipandang oleh hampir semua negara berdaulat tunduk pada lingkup kedaulatan negara masing-masing. Argumentasi ini didukung oleh Pasal 2.2 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut :

  2. Each State has the right : (a) To regulate and exercise authority over foreign investment within its national jurisdiction in accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priority. No State shall be

  2

  compelled to grant preferential treatment to foreign investment ; Article 2.2. ini memberikan hak kepada host country untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan investasi asing yang beroperasi di wilayah yurisdiksi host country sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan nasional. 1 Kegiatan penanaman modal secara langsung (direct investment) diartikan sebagai kegiatan

  

penanaman modal yang dilakukan oleh investor melalui kehadiran investor secara langsung pada daerah

tujuan investasi dengan cara mendirikan dan menjalankan badan usaha, turut secara langsung

mengendalikan kegiatan usaha dan bertanggungjawab terhadap kegiatan usaha yang bersangkutan.

Kegiatan penanaman modal secara langsung selalu dibedakan dengan kegiatan penanaman modal secara

fortopolio, dimana investor melakukan investasi dengan cara membeli saham atau efek lainnya dan tidak

turut melaksanakan pengendalian secara langsung terhadap kegiatan investasi yang bersangkutan. 2 nd

  Setiap negara memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda dalam mengatur kegiatan penanaman modal langsung di wilayahnya yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pembangunan ekonominya. Kebutuhan pembangunan ekonomi negara- negara berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan pengaturan hukum penanaman modal langsung yang berbeda pula. Salah satu contoh, bahwa adakalanya suatu negara membenarkan penanaman modal pada satu sektor usaha tertentu karena pembangunan ekonomi negara tersebut sangat membutuhkan kehadiran modal (asing) untuk mempercepat pengembangan sektor usaha tersebut, namun justru di negara lain bidang usaha tersebut tidak dibenarkan ditanami modal oleh investor asing atau dibenarkan dengan batasan-batasan tertentu. Adakalanya suatu negara hanya mencadangkan beberapa sektor usaha tertentu untuk kegiatan usaha kecil, sehingga tidak dibuka bagi kegiatan penanaman modal. Dilema antara proteksi terhadap kepentingan nasional dan liberalisasi arus modal tetap membutuhkan ruang bagi kedaulatan negara untuk menyesuaikan pengaturan penanaman modal langsungnya dengan kepentingan nasionalnya termasuk kebutuhan pembangunan ekonomi negara tersebut.

  Mengingat adanya perbedaan kepentingan nasional negara-negara dan perbedaan tingkat kebutuhan ekonominya, maka dapat dipahami terjadinya kesulitan dalam merumuskan sebuah kesepakatan internasional yang mengikat di bidang pengaturan penanaman modal langsung. Kekhawatiran hilangnya fleksibilitas negara untuk mengatur penanaman modal langsung di wilayahnya sendiri akibat keterikatan dengan peraturan internasional yang mengikat selalu melatar belakangi perdebatan- perdebatan dalam upaya merumuskan kesepakatan internasional yang mengikat secara hukum dalam bidang penanaman modal langsung.

  Namun meskipun demikian, ternyata ketiadaan rambu-rambu internasional dalam bidang hukum penanaman modal langsung dalam beberapa hal menimbulkan permasalahan bagi kegiatan penanaman modal. Kedaulatan penuh host country untuk mengatur kegiatan penanaman modal langsung tak jarang melahirkan kebijakan yang diskriminatif, mendistorsi aliran modal dan perdagangan internasional serta mengarah pada pelanggaran terhadap kewajiban internasional host country di bidang perdagangan internasional. Dalam perkembangannya ditemukan pula beberapa kasus pelanggaran kesepakatan perdagangan internasional yang lahir dari kebijakan penanaman modal langsung yang diberlakukan oleh host country. Sehingga memerlukan adanya suatu kesepakatan yang tegas agar suatu negara dengan dalil kedaulatan internal kemudian menerapkan proteksi perdagangan melalui kebijakan investasi, atau menerapkan kebijakan diskriminatif yang dapat menimbulkan kerugian bagi investor atau bahkan kontraproduktif dengan tujuan pengaturan penanaman modal langsung itu sendiri.

  Dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) sendiri, upaya mewujudkan penataan investasi asing secara multilateral telah dimulai sejak tahun 1948 pada saat dilangsungkannya United Nations Conference on Trade and Employment di Havana. Konferensi tersebut telah membahas sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk mendorong kelancaran arus modal secara internasional sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade Orgnization,

  ITO). Konferensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada negara-

  3 negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.

  Namun, Havana Charter tidak berhasil mendapatkan persetujuan untuk diratifikasi

  4

  oleh para penandatangannya. Sejak saat itu praktis pembicaraan mengenai kebijakan investasi dan perdagangan kurang mendapatkan perhatian dari negara-negara perserta.

  5

  dan hanya lebih fokus pada persoalan liberalisasi perdagangan. Keadaan ini berubah setelah dilangsungkannya Uruguay Round pada kurun waktu 1986 – 1994. Uruguay Round sendiri kemudian menghasilkan tiga kesepakatan yang berkaitan langsung dengan pengaturan penanaman modal langsung, yakni : (1). Agreement on Trade Related Investment Measures, dan (2). General Agreement on Trade in Services.

  B. Hubungan Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Langsung

  Para ahli hukum, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang, mengakui bahwa hukum perdagangan internasional akan mempengaruhi hukum penanaman modal, demikian juga sebaliknya. Hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh hambatan-hambatan perdagangan. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis perusahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk

  6 memenuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan konsumen.

  Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan multinasional dari sekedar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi langsung (direct investment). Penerapan hambatan tarif pada kegiatan impor akan menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan relokasi investasi langsung ke wilayah host country. Produksi langsung di wilayah host country akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan impor yang bebannya lebih besar karena dibebani tariff impor

  7 yang besar. 3 United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory, Evidency and Policy Implication, United Nations, New York, 1991, Hal. 79 4 Salah satu penyebabnya adalah tidak bersedianya Congres Amerika Serikat meratifikasi charter

tersebut dan tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara besar lainnya. Untuk mengisi kekosongan

hukum dalam penataan perdagangan internasional, para peserta Konerensi menggunakan salah satu

instrument dalam Havana Charter yakni Protocol of Provisional Aplication (PPA) yang penandatangannya

cukup dilakukan oleh eksekutif. PPA inilah kemudian menjadi cikal bakal GATT. (Lebih lanjut lihat John H.

  

Jackson, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations, The MIT Press,

Cambridge, Massachusetts, London, England, 1989, Hal. 32-39 5 Mari Pangestu, “Perjanjian Internasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”, Pertamina – Komite Nasional Indonesia – World Energy Council, Jakarta, 1996, hlm. 34. 6 Renato Ruggiero, “ Foreign Direct Investment and The Multilateral Trading System,” (Transnational Corporation : Vol. 5 No. 1, April, 1996), hal. 1. 7 Lebih lanjut UNCTAD, World Investment Report 1996 : Investment Trade and International Policy

Arrangement, (New York and Geneva : UN, 1996), hal. 75-80. Laporan ini mengambil contoh perkembangan

industry otomotif di Argentina. Dibawah tekanan hambatan tarif impor otomotif, perusahaan otomotif

asing mengadakan produksi otomotif langsung di wilayah Argentingan. Hasilnya, antara Desember 1958

dan Nopember 1961, badan berwenang di Negara tersebut menyetujui rencana investasi sector otomotif

mencapai US $ 97.000.000,- dengan 22 proyek pengembangan perusahaan otomotif. Perhatikan juga

  Semakin banyak terjadi relokasi usaha dan internalisasi kegiatan bisnis perusahaan-perusahaan multinasional melalui kegiatan penanaman modal secara langsung, maka akan semakin meningkatkan volume perdagangan internasional antar

  8

  negara. Dengan demikian sistim hukum perdagangan internasional akan mendorong pertumbuhan investasi internasional. Negara host country dapat memanfaatkan peluang ekonomi dari aliran modal internasional tersebut dengan mempersiapkan sistim hukum penanaman modal yang lebih baik dan iklim usaha yang lebih kondusif.

  Sebaliknya, hukum penanaman modal domestik dapat menciptakan hambatan- hambatan terhadap perdagangan internasional dengan menetapkan syarat-syarat penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional. Meskipun persyaratan-persyaratan penanaman modal tersebut bukan ditujukan secara khusus untuk menciptakan hambatan di bidang perdagangan internasional, tetapi adakalanya persyaratan tersebut menimbulkan akibat yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan internasional. Secara umum, pertimbangan yang demikian yang selalu dipergunakan panel penyelesaian sengketa GATT/WTO untuk melihat keterkaitan hubungan hukum penanaman modal dengan hukum perdagangan internasional.

  Perbedaan pandangan mengenai keterkaitan antara kedua disiplin tersebut bersumber dari metode implementasi keterkaitan tersebut dalam piranti hukum internasional. Umumnya negara-negara maju (sebagian besar adalah home country), lebih menghendaki adanya jaminan terhadap kebebasan penanaman modal yang ditetapkan melalui sebuah perjanjian internasional tentang penanaman modal. Pendekatan yang dipergunakan adalah dengan membuat kerangka pelarangan umum dan tanpa syarat terhadap persyaratan-persyaratan penanaman modal yang diskriminatif, misalnya jaminan perlakuan sama dalam hal right to establish mulai sejak tahapan entry approval atau green field investment, larangan umum terhadap semua bentuk performance requirement, dan lain-lain. Sebaliknya negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih menghendaki pendekatan liberalisasi progresif, bertahap, bersyarat, larangan yang lebih selektif terhadap performance requirement yang secara langsung berkaitan dengan perdagangan internasional dan adanya pengaturan khusus mengenai klausula development provision yang memberikan ruang yang lebih fleksibel bagi pemerintah untuk menyesuaikan peraturan penanaman modal dengan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional. Kebutuhan pembangunan ekonomi setiap negara tidak sama, hukum penanaman modal harus memberikan ruang yang lebih luas

  

kegiatan investasi asing (FDI) oleh perusahaan multinasional di Negara tersebut umumnya berlangsung

dengan mengikuti pola internalisasi yang dimulai dengan kegiatan perdagangan dan akhirnya melakukan

produksi langsung. Hukum perdagangan internasional dan kebijakan Inggris di bidang perdagangan

mendorong perusahaan multinasional menjadi tidak sekedar melakukan kegiatan perdagangan tetapi

merubahnya dengan kegiataninvestasi langsung. (United Kingdom, Department of Trade and Industry, (London : 1996), hal.3 8 Berdasarkan data UNCTAD dalam World Investment Report tahun 2000, disebutkan bahwa kira-

kira dua pertiga volume perdagangan dunia berasal dari transaksi perdagangan dunia yang dilakukan oleh

perusahaan multinasional. Sepertiga bagian dari jumlah tersebut berasal dari transaksi perusahaan

multinasional dengan foreign subsidiaries nya dan sepertiganya berasal dari transaksi antara perusahaan

multinasional dengan suppliernya. (Lebih lanjut, UNCTAD, World Investment Report 2000, (New York and bagi pemerintah untuk menyesuaikan pengaturan penanaman modal dengan

  9 kebutuhan pembangunannya.

  Terutomo Ozawa mengemukakan sebuah teori tentang foreign direct investment

  

and economic development, yang menentang pelarangan kebijakan FDI yang diterapkan

  oleh pemerintah host country dan tidak menyetujui upaya-upaya pembentukan satu ukuran aturan investasi yang mengikat semua negara. Menurut Ozawa, masalah kebijakan FDI lebih mencerminkan masalah pembangunan dari pada persoalan perdagangan. Kebijakan FDI suatu negara sangat tergantung pada tingkat pembangunan negara yang bersangkutan. Oleh karena tingkat pembangunan setiap negara adalah berbeda satu dengan yang lainnya membawa konsekuensi yang logis pada perbedaan pada kebijakan terhadap FDI. Ukuran keberhasilan FDI adalah percepatan dalam pencapaian sasaran pembangunan sebuah negara, bukan kepentingan perusahaan multinasional. Oleh karena itu, determinan keberahasilan FDI adalah fleksibilitas pemerintah host country untuk menerapkan kebijakan FDI sesuai

  10

  kebutuhan, dan bukan berdasarkan pada liberalisasi progresif Pandangan ini didukung oleh Carlos Correa dan Nagesh Kumar yang menyatakan bahwa kehadiran sebuah aturan investasi liberal yang mengikat semua negara tidak menjamin besarnya arus modal yang masuk. Penelitian empiris yang dilakukan oleh mereka membuktikan bahwa faktor yang menentukan masuknya FDI lebih ditentukan oleh faktor besarnya pasar, tingkat pendapatan, kedekatan geografis dan budaya, serta kualitas infrastruktur. Faktor kebijakan memainkan peran yang relatif lebih kecil. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang dapat diterima untuk menundukkan kebijakan FDI masing-masing negara

  11

  pada satu rejim tunggal. Namun pada umumnya adanya stabilitas politik, keuntungan

  12 ekonomi dan kepastian hukum menyebabkan modal asing datang ke suatu negara.

C. Putaran Uruguay (1986-1994) dan Pengaturan Penanaman Modal

1. FIRA Case sebagai Kasus Awal

  Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti persyaratan penggunaan kandungan lokal (local

  , kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri,

  content requirement)

  kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan keseimbangan 9 Perhatikan lebih lanjut Carlos Correa and Nagesh Kumar, Protecting Foreign Investment :

  

Implication of a WTO Regime and Policy Options, (London and New York : Zed Press, 2003). Dikatakan bahwa

rejim investasi internasional yang benar-benar terbuka tidak menjamin bahwa sebuah Negara dengan

sendirinya menjadi sangat attraktif bagi arus masuk FDI. Studi empiris menunjukkan bahwa faktor

kebijakan, sekalipun sangat liberal, memainkan peran relative lebih kecil dibandingkan dengan determinan

lain seperti ukuran pasar, tingkat pendapatan, tingkat urbanisasi, kedekatan geografis dan budaya dengan Negara sumber FDI dan kualitas infrastruktur investasi. 10 Terutomo Ozawa, Foreign Direct Investment and Economic Development, Transnational Corporation, Vol.1 No. 1, 1992, Hal. 27-54 11 Carlos Correa and Nagesh Kumar, Preotecting Foreign Investment ; Implications of A WTO Regime and Policy Option, Zed Press, London and New York, 2003. 12 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha, pemilikan saham,

  13 penggunaan tenaga kerja asing dan lain sebagainya.

  Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan internasional. Tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan tersebut. Indikator ini pertama muncul dalam perkara antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Kanada tahun 1982 mengenai Canada’s Foreign Investment Review

  Act. Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA Case dan selalu dijadikan

  referensi dalam pembahasan-pembahan mengenai persyaratan penanaman modal yang terkait dengan perdagangan.

  FIRA Case berawal dari tindakan Perlemen Kanada yang melakukan perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada pada tanggal 12 Desember 1973. Perubahan undang-undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan asing di wilayah Kanada menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada. Pemerintah Kanada akan mengijinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika menurut pertimbangan Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakuklan hal-hal berikut ; a. membeli sejumlah persentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada; c. membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan barang impor (misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari Kanada; d. membeli dari supplier di Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung

  14 dari produser asing).

  Meskipun pada Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada disebutkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan sukarela dari perusahaan asing, jadi bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, namun pada pelaksanaannya mau atau tidaknya perusahaan investasi asing memenuhi secara sukarela persyaratan tersebut dikaitkan dengan pemberian ijin investasi. Pernyataan perusahaan investasi asing untuk secara sukarela memenuhi persyaratan tersebut dilampirkan dalam aplikasi permohonan investasi, sehingga patut disangsikan bahwa kesediaan perusahaan investasi asing untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan akan sangat berpengaruh pada putusan Pemerintah Kanada untuk menerima atau menolak permohonan investasi asing untuk beroperasi di wilayah Kanada. Tambahan lagi dinyatakan bahwa pernyataan sukarela tersebut akan mengikat secara hukum setelah disetujui oleh investor asing. 13 David Conklin and Donald Lecraw,Restrictions on Foreign Ownership during 1984-1994 ; Development and Alternative Policies”, Transnational Corporations, Vol. 6 No.1, April, 1997, Hal. 4 -29. 14 Paul Civello, “The TRIM’s Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”,

  Meskipun didalilkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, akan tetapi pengalaman “Apple Computer”, salah satu perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, justru menggambar sebaliknya. Pada awalnya perusahaan multinasional ini keberatan terhadap persyaratan-persyaratan yang ditawarkan oleh Pemerintah Kanada. Setelah hampir selama satu tahun melakukan negosiasi dengan Pemerintah Kanada, perusahaan itu baru diberikan ijin untuk beroperasi di wilayah Kanada. Pemberian ijin ini pun diberikan setelah “Apple

  

Computer ” menyetujui serangkaian persyaratan, antara lain mengenai kesediaan “Apple

  ” untuk membeli barang-barang buatan Kanada dalam persentase tertentu dari

  Computer

  proses produksi dan persetujuan untuk merekomendasikan komponen-komponen

  15 buatan Kanada kepada dealer-dealer “Apple Computer” di seluruh dunia.

  Pemerintah Amerika Serikat dalam tuntutannya yang diajukan tahun 1982 mendalilkan bahwa persyaratan pembelian dan penggunaan komponen lokal buatan

  16

  17

  18 Kanada dalam proses produksi bertentangan dengan Artikel III.4 , III.5 , XI.1 dan

  19 Pasal VII.1. c GATT. sedangkan kewajiban ekspor sejumlah tertentu dari hasil

  20 produksi melanggar ketentuan Artikel XVII.1.c dan XXIII dari GATT. 15 16 Robert H. Edward Jr. and Simon N. Lester, op.cit., Hal.17 Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the

territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like

products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale,

purchase, transportation, distribution or use … 17 Article III.5 GATT : No contracting party shall establish or maintain any internal quantitative

regulation relating to the mixture, processing or use of products in specified amount of proportions which

requires, directly or indirectly, that any specified amount or proportion of any product which is the subject

of the regulation must be supplied from domestic sources… 18 Aticle XI.1 GATT : No prohibiton or restrictions other than duties, taxes or other charges,

whether made effective through quotas, import or export licenses or other measures, shall be instituted or

maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other

contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any

other contracting party… 19 Article XVII.1. [c] GATT : No cantracting party shall prevent any enterprise (whether or not an

enterprise described in sub-paragraph (a) of this paragraph) under its jurisdiction from acting in accordance

with the principle of sub-paragpraph (a) and (b) of this paragraph.

  Perhatikan sub-paragrap (a) dan (b) dari Article XVII.1 sebagai berikut :

(a) Each contracting party undertake that if it establishes or maintains a State enterprise, wherever located,

or grants to any enterprise, formally or in effect, exclusive or special privileges, such enterprise shall, in

its purchases or sales involving either imports or exports, act in a manner consistent with the generap

principles of non-discriminatory treatment prescribed in this Agreement for govermental measures affecting imports or exports by private traders. (b)

The provision of sub paragraph (a) of this paragraph shall be understood to require that such

enterprises shall, having due regard to the other provisions f this Agreement, make any such purchases

or sales solely in accordance with commercial consideration, including price, quality, availability,

marketability, transportation and other conditions of purchase or sale, and shall affordtne enterprises of

the other contracting parties adequate opportunity, in accordance with customary business practice, to

compete for participation in such purchases or sales. 20 Article XX III (1) GATT : If any contracting party should consider that any benefit accruing to it

directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attainment of any

objective of the Agreement is being impeded as the result of (a) the failure of another contracting party to

carry out its obligation under this Agreement, or (b) the application by another contracting party of any

measures, whether or not it conflicts with the provision of this Agreement, or (c) the existence of any other

situation, the contracting party may, with a view to the satisfactory adjustment of the matter, make written

  Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka.

  Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General

  

Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel

  yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut :

  “… in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada’s trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state’s right to regulate foreign investment in Canada’s territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected

  21 Canada’s trade obligations within the framework of the GATT.

  Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk

  

Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or

proposals made to it.

  Article XXIII (2) If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties conserned

within a reasonable time, or if the difficulty is of the type described in paragraph 1 [c] of this Article, the

matter may be reffered to the contracting parties. The contracting parties shall promptly investigate any

matter so reffered to them and shall make appropriate recommandations to the contracting parties which

they considered to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. The contracting parties,

woth the Economic and Social Council of the United Nations and with any appropriate inter-govermental

organization in case they consider such consultation necessary. 21 Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA th

Panel Report, Februari 7 1984, Hal. 140 –144. Perhatikan juga Catherine Curtiss and Kathryn Cameroon,

  

“The United State-Latin American Trade Laws”, Newyork Journal of International Law, 1995, Hal. 127.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan GATT yang mengatur tentang penanaman

modal asing. Masalah investment measures masuk dalam lingkup GATT hanya jika tindakan tersebut berdampak langsung terhadap kebebasan arus perdagangan barang. memberikan ijin operasi bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment.

  Persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Kanada terhadap para investor asing merupakan wujud perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Perlakuan diskriminatif ini diwujudkan dengan cara memberikan perlakuan istimewa terhadap barang-barang buatan dalam negeri Kanada. Dengan cara mewajibkan pembelian atau penggunaan barang buatan dalam negeri Kanada, maka dengan sengaja Pemerintah Kanada telah menghilangkan kesempatan bagi barang impor untuk bersaing secara adil dengan barang-barang buatan dalam negeri Kanada di pasar Kanada sendiri. Tindakan ini, meskipun keluar dalam bentuk kebijakan investasi asing tapi sebenarnya tindakan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi perdagangan barang-barang Kanada. Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan investasi yang demikian merupakan bentuk hambatan perdagangan.

  Fontheim dan Gadbaw mendukung putusan Panel atas FIRA Case tersebut dengan mengemukakan pendapat yang sedikit lebih luas sebagai berikut :

  “Although no single article of GATT is applicable to all forms of (performance requirements), all (performance requirements) arguable violate one Article or another. Some (performance requirements) clearly run afoul of specific provisions while the case againts other forms is weaker, given a strict construction of treaty obligations. Nonetheless, where obligation do not appear, on their face, to prohibit certain (performane requirements), the general intent and context of the GATT-MTN sistim should be considered. The sistim is intended to foster free trade, while (performance requirements) are protectionst measures. The presumption should, therefore, be againts considering any

  22 (performane requirements) valid under GATT."

  Meskipun tidak ada satu pasal pun dari GATT yang dapat diterapkan untuk semua bentuk persyaratan penanaman modal, dalam hal ini pembatasan tertentu, namun bukanlah berarti tindakan seperti yang diterapkan oleh Kanada adalah tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan sistim GATT. Persyaratan-persyaratan seperti yang terkandung dalam Canada’s Foreign Investment Review Act tersebut merupakan bentuk proteksi terhadap industri Kanada dan tindakan semacam ini bertentang dengan maksud dan tujuan umum dari GATT yang justru ingin menciptakan perdagangan yang lebih bebas.

  Pandangan ini lebih luas karena mempergunakan aspek tujuan umum dari GATT itu sendiri untuk menentang kebijakan pembatasan-pembatasan seperti yang diterapkan Kanada. Pandangan semacam ini cenderung tidak memperhatikan fakta- fakta khusus dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika pandangan yang demikian digunakan, maka dapat menimbulkan kekeliruan yang lebih besar, mengingat bahwa tujuan GATT itu sendiri ingin dicapai dalam serangkaian ketentuan-ketentuan yang sangat kompleks dan dilengkapi dengan sejumlah pengecualian-pengecualian yang hanya dapat dilihat dari fakta-fakta khusus yang terdapat dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika setiap perbuatan yang berlawanan dengan tujuan GATT dilarang, maka negara-negara berkembang adalah pihak yang paling dirugikan, karena dalam keadaan- 22 Claude G.B. Fontheim and Micheal R. Gadbaw, “Trade Related Performance Requirement under keadaan tertentu kelompok negara ini masih diperkenankan melakukan tindakan- tindakan yang sebenarnya justru bertentangan dengan tujuan umum GATT.

  Perkara lain yang membuat semakin tingginya minat untuk mempelajari persyaratan penanaman modal dalam kaitannya dengan hambatan perdagangan multilateral adalah perkara “screwdriver case” antara Jepang versus European

  (EC) pada tahun 1988. Dalam perkara ini Pemerintah Jepang keberatan atas

  Communities

  tindakan Pemerintah EC yang menerapkan bea anti dumping terhadap produk dari suatu pabrik screwdriver asal Jepang. Keberatan yang paling mendasar bagi Pemerintah Jepang adalah kebijakan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi perdagangan Jepang karena kewajiban bea anti dumping tersebut dapat tidak diterapkan bagi investor asing di EC asalkan investor yang bersangkutan setuju untuk membatasi

  23 penggunaan peralatan-peralatan dan komponen peralatan yang berasal dari Jepang.

  Seperti halnya pada FIRA Case, Panel dalam perkara “screwdriver case” ini juga menetapkan bahwa kebajikan EC bertentang dengan Article III.4 GATT tentang perlakuan sama (national treatment). Meskipun dalam perkara ini tindakan investor untuk membatasi penggunaan barang-barang buatan Jepang merupakan suatu tindakan sukarela (tidak diwajibkan), akan tetapi disediakannya sejumlah keuntungan besar dari pembebasan bea anti-dumping dapat mendorong para investor untuk menyetujui kebijakan yang ditetapkan EC. Dalam perkara ini, insentif yang ditawarkan EC bagi para investor asing berupa pembebasan bea anti-dumping sangat tergantung pada kesediaan investor untuk tidak menggunakan produk impor (buatan Jepang). Dengan kata lain keuntungan EC untuk menarik investor diperoleh dari kerugian Jepang berupa pembatasan impor komponen-komponen asal Jepang.

  Panel menemukan adanya pelanggaran terhadap Article III.4 GATT. Meskipun EC tidak mewajibkan harus menggunakan produk buatan mereka, tetapi dalam hal ini EC telah memberikan tindakan diskriminatif terhadap produk-produk buatan Jepang.

  Tindakan yang demikian secara meyakinkan bertentangan dengan kewajiban EC untuk menerapkan perlakuan sama (national treatment) terhadap barang-barang impor tanpa harus memandang asal negara.

  Keputusan panel dalam dua perkara perintis tersebut diatas telah membuka wacana baru dalam hubungan antara peraturan penanaman modal dengan kelancaran arus perdagangan barang. Titik taut yang menghubungkan peraturan penanaman modal langsung, dengan liberalisasi perdagangan lahir dari kemungkinan terjadinya dampak yang mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan terjadinya pembatasan akses pasar (market acsess) melalui persyaratan investasi yang diterapkan oleh pemerintah host country. Keputusan tersebut juga telah mengidentifikasi secara pasti dua bentuk persyaratan investasi yang memiliki potensi mendistorsi kebebasan aliran perdagangan barang secara internasional, yakni persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content requirement) dan pembatasan pemakaian barang impor yang dikaitkan dengan insentif investasi.

  Perdagangan bebas multilateral dibangun diatas pondasi yang bertumpu pada prinsip non-diskriminasi (non-discrimination principle) dan larangan pembatasan kuantitatif (general prohibition on quantitative restriction) untuk satu tujuan perluasan akses pasar. Perdagangan tanpa hambatan dan akses pasar yang terbuka lebar diyakini 23 EEC, Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197, dikutip dari menciptakan distribusi sumber daya secara internasional melalui pembagian kerja yang lebih efektif. Kebijakan-kebijakan penanaman modal yang menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal dan pembatasan penggunaan barang impor adalah kebijakan yang diskriminatif terhadap barang impor, dan tindakan yang demikian dengan sendirinya bersifat membatasi akses pasar

2. Dua Instrument Pokok Pengaturan Terkait Penanaman Modal Langsung Hasil Kesepakatan Putaran Uruguay

  Saat ini WTO memiliki setidaknya dua instrumen hukum yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal. Agreement on Trade Related Investment Measures mengupayakan terciptanya kelancaran perdagangan internasional melalui pengaturan sejumlah performance requirement dalam persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan peraturan perdagangan internasional. Instrumen kedua adalah

  

General Agreement on Trade in Services (GATS), yang merupakan kesepakatan umum di

  bidang perdagangan jasa. GATS terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, melalui modus perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara kehadiran komersial (commercial presence). Kedua instrumen ini pada dasarnya adalah penjabaran prinsip- prinsip umum perdagangan internasional yang telah ada dalam GATT, khususnya prinsip national treatment, most favoured nations, general prohibition on quantitative , dan transparency.

  restriction (1). Agreement on Trade Related Investment Measures (Agreement on TRIMs)