Tinjauan Hukum Atas Aturan Internasional Mengenai Liberalisasi Perdagangan Jasa Melalui Kerangka Perjanjian WTO Dan Kerangka Perjanjian Asean

(1)

T

TINJAUAN LIBER

PER

Disusun d

N HUKUM T RALISASI P RJANJIAN W dan Diajukan DEPAR UN TERHADAP PERDAGAN WTO DAN

n untuk melen Hukum p Universi SUMAN NIM RTEMEN H FAKU NIVERSITA P ATURAN NGAN JASA KERANGK SKRIPSI ngkapi Persya pada Fakultas itas Sumatera Oleh: NGGAM WA M: 09020017 HUKUM INT ULTAS HUK AS SUMATE MEDAN 2014 INTERNAS A MELALU KA PERJAN aratan Memp Hukum a Utara AHYU 74 TERNASIO KUM ERA UTARA SIONAL ME UI KERANG NJIAN ASEA peroleh Gelar ONAL A ENGENAI GKA AN r Sarjana


(2)

   

   

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ATURAN INTERNASIONAL MENGENAI LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA MELALUI KERANGKA

PERJANJIAN WTO DAN KERANGKA PERJANJIAN ASEAN SKRIPSI

DisusundanDiajukanuntukmelengkapiPersyaratanMemperolehGelarSarjanaHukumpad aFakultasHukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SUMANGGAM WAHYU NIM: 090200174

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

DisetujuiOleh:

Arif,S.H.,M,Hum. NIP: 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. MahmulSiregar, SH.,M.Hum. Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum

NIP: 19730220200212001 NIP:197308012002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, hidayat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ATAS ATURAN INTERNASIONAL MENGENAI LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA MELALUI KERANGKA PERJANJIAN WTO DAN KERANGKA PERJANJIAN ASEAN ”

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik saja, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu yang sangat penting serta mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional dan nasional berkaitan dengan liberalisasi perdagangan jasa. Perkembangan perdagangan jasa sekarang mengalami peningkatan yang sangat besar, dimana sektor jasa ini mulai menjadi salah satu komoditas utama perdagangan dunia.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan atau kekurangan, baik yang disebabkan oleh banyaknya data-data atau bahan yang harus penulis pilih dikarenakan permasalahan liberalisasi perdagangan jasa ini sangat rumit, banyak yang pro dan kontranya disatu sisi menguntungkan akan tetapi disisi lain merugikan bagi perekonomian nasional Indonesia. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis agar tercapainya kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.


(4)

   

ii   

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan ,inspirasi dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pembelajaran penulis, yakni:

1. Ayah dan Ibu tercinta, terimakasih telah memberikan dukungan, motivasi, doa dan nasihat yang luar biasa serta kasih sayang selama ini terhadap penulis;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Arif, SH.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dari Penulis yang telah meluangkan banyak waktu dan pengarahan dalam memberikan bimbingan kepada Penulis;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dari Penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan, dalam rangka penyelesaian skripsi ini;

6. Dosen-dosen Fakultas Hukum USU, terimakasih atas pengajarannya.

7. Saudara-saudara penulis Helda Febrosa, Romauly Onny, Oscar Nehemia, Martha Debora Friska, Christian Simanjorang, Nicholas Marpaung, serta keponakan Calvin Andrew Simanjorang dan Bella Gracia Eldora br. Marpaung. Terimakasih untuk nasihat dan motivasi selama ini. Skripsi ini juga dipersembahkan untuk, Alm. Angelina Risma;


(5)

8. Keluarga besar Siahaan, Ir. Alex Siahaan, dr. Dame Pangaribuan, Bonardo, Dina, Ivyana, Vyolin, dan Yolanda;

9. Untuk keluarga biru, keluarga besar GMKI Koms. Fakultas Hukum USU, abangda, kakandaa, dan dinda-dinda, terimakasih untuk kekeluargaan dan pelayanan bersama-sama;

10. Abang-abang, kakak-kakak, serta adik-adik KOMPA GKI SUMUT Medan, Terimakasih untuk pelayanan dan kekeluargaan bersama-sama;

11. Kawan-kawan WNS (We Never Sleep) Gabriel Sidabutar, Oubertus Siahaan, Haposan Sihombing, Hotman Aruan, Zeky Muharam, Jean Sagala, Sayyid Aljufri, Devara Pangaribuan, Doan Pangaribuan. Terimakasih buat kenangan pagi-malam-pagi di Kota Medan;

12. Teman-Teman Grup H stambuk 2009, Teman-teman Hukum Internasional ILSA, serta senior dan adik-adik Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, Terima Kasih.

Medan, 1 Januari 2014 Penulis

SUMANGGAM WAHYU 090200174


(6)

   

iv   

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I ... PENDAHULUAN... ... 1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...12

C. Tujuan Penelitian...13

D. Manfaat Penelitian...13

E. Keaslian Penelitian...14

F. Tinjauan Kepustakaan...14

G. Metode Penelitian...15

H. Sistematika Penulisan...16

BAB II ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP LIBERALISASI PERDAGANGAN SEKTOR JASA ... 18

A.Sejarah Liberalisasi Perdagangan...18

B. Proses Perkembangan Liberalisasi Perdagangan...24

C. Aturan Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO dan Kerangka ASEAN...36

1. Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO...36


(7)

1.2 Jadwal Komitmen Khusus dalam GATS (Schedules of Spesific

Commitments………...41

1.3 Prinsip-Prinsip Dasar GATS...45

1.4 Peraturan Mengenai Akses Pasar (Market Access)...53

1.5 Ketentuan Mengenai Integrasi Regional...56

2. Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka ASEAN...57

2.1 Latar Belakang Perdagangan Bebas Regional ASEAN...57

2.2 Prinsip-Prinsip AFAS...62

2.3 Mekanisme Pelaksanaan AFAS...65

BAB III KETENTUAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KERANGKA WTO DAN ASEAN...67

A.Penyelesaian Sengketa dalam Lingkup Internasional...67

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa...82

C. Aturan Penyelesaian Sengketa dalam Kerangka WTO dan Kerangka ASEAN ………...… 85

1. Penyelesaian Sengketa dalam Kerangka WTO ... 85

1.1 Organ Penyelesaian Sengketa dalam WTO ... 87

1.2 Prosedur Penyelesaian Sengketa ... 88

2. Penyelesaian Sengketa dalam Aturan ASEAN... 91

2.1 Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC)... 91

2.2 Ketentuan Penyelesaian Sengketa dalam Piagam ASEAN... 97

BAB IV HUBUNGAN AFAS DAN GATS SEBAGAI INSTRUMEN LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA …...102


(8)

   

vi   

A. Perbandingan Prinsip AFAS dan GATS ... 102

B. Aturan AFAS Terhadap Negara-Negara dalam Lingkup GATS ... 109

C. Posisi Aturan AFAS Terhadap Aturan yang Terdapat dalam GATS sebagai Kerangka WTO ... 117

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128  

   

                       


(9)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ATURAN INTERNASIONAL MENGENAI LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA MELALUI KERANGKA

PERJANJIAN WTO DAN KERANGKA PERJANJIAN ASEAN Sumanggam Wahyu*)

Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum.**) Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum.***)

Interaksi perdagangan bebas satu negara dengan lainnya harus mempunyai aturan hukum internasional yang jelas mengatur hubungan perdagangan antar negara, dan perlu adanya antisipasi aturan hukum yang mengikat apabila timbul sengketa dalam transaksi perdagangan tersebut.

Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah aturan hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa, ketentuan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan ASEAN, posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO.

Penilitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penerapan kaidah-kaidah hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, bahwa aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO adalah General Agreement Trade on Trade in Service yang aturan dasarnya terlampir dalam Annex 1b GATS. Sedangkan ASEAN, melalui implementasi AFAS dengan mengeliminasi pembatasan perdagangan dibidang jasa antar anggota ASEAN. Penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO melalui badan khusus yakni Dispute Settlemet Body, sedangkan dalam kerangka ASEAN melalui badan High Council yang dibentuk oleh Senior Economic

Officials Meeting yang ketentuannya sesuai dengan Treaty of Amity and

Cooperation in South-East Asia. Posisi aturan AFAS terhadap aturan yang

terdapat dalam GATS merupakan suatu implementasi regionalisme ekonomi, yang prinsipnya tertulis berdasarkan perjanjian WTO. Untuk itu saran yang sesuai dengan rumusan permasalah yaitu, diharapkan negara anggota ASEAN yang juga anggota dari kerangka perjanjian WTO dapat menyelaraskan peraturan yang ada pada aturan dasar dalam WTO dan ASEAN, mengingat posisi perjanjian ASEAN bersifat regional dan perlu mengakomodasi negara-negara yang berada diluar ASEAN, dengan semakin memperbanyak kerjasama antara ASEAN dengan negara-negara mitra diluar ASEAN (Kerjasama External) sehingga diharapkan tidak melanggar atau melewati batasan yang diatur dalam kerangka perjanjian WTO.

Kata Kunci: Liberalisasi Perdagangan Jasa, GATS, AFAS *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

   

vii   

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM TERHADAP ATURAN INTERNASIONAL MENGENAI LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA MELALUI KERANGKA

PERJANJIAN WTO DAN KERANGKA PERJANJIAN ASEAN Sumanggam Wahyu*)

Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum.**) Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum.***)

Interaksi perdagangan bebas satu negara dengan lainnya harus mempunyai aturan hukum internasional yang jelas mengatur hubungan perdagangan antar negara, dan perlu adanya antisipasi aturan hukum yang mengikat apabila timbul sengketa dalam transaksi perdagangan tersebut.

Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah aturan hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa, ketentuan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan ASEAN, posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO.

Penilitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penerapan kaidah-kaidah hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, bahwa aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO adalah General Agreement Trade on Trade in Service yang aturan dasarnya terlampir dalam Annex 1b GATS. Sedangkan ASEAN, melalui implementasi AFAS dengan mengeliminasi pembatasan perdagangan dibidang jasa antar anggota ASEAN. Penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO melalui badan khusus yakni Dispute Settlemet Body, sedangkan dalam kerangka ASEAN melalui badan High Council yang dibentuk oleh Senior Economic

Officials Meeting yang ketentuannya sesuai dengan Treaty of Amity and

Cooperation in South-East Asia. Posisi aturan AFAS terhadap aturan yang

terdapat dalam GATS merupakan suatu implementasi regionalisme ekonomi, yang prinsipnya tertulis berdasarkan perjanjian WTO. Untuk itu saran yang sesuai dengan rumusan permasalah yaitu, diharapkan negara anggota ASEAN yang juga anggota dari kerangka perjanjian WTO dapat menyelaraskan peraturan yang ada pada aturan dasar dalam WTO dan ASEAN, mengingat posisi perjanjian ASEAN bersifat regional dan perlu mengakomodasi negara-negara yang berada diluar ASEAN, dengan semakin memperbanyak kerjasama antara ASEAN dengan negara-negara mitra diluar ASEAN (Kerjasama External) sehingga diharapkan tidak melanggar atau melewati batasan yang diatur dalam kerangka perjanjian WTO.

Kata Kunci: Liberalisasi Perdagangan Jasa, GATS, AFAS *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(11)

A. Latar Belakang

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai suatu kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan antar negara-negara. Definisi tradisional ini dapat dijumpai dalam sebagian besar karya standar hukum internasional yang lebih tua usianya, tetapi mengingat perkembangan-perkembangan yang terjadi, definisi tersebut tidak dapat bertahan sebagai suatu deskripsi komprehensif mengenai semua kaidah yang saat ini diakui merupakan bagian dari hukum internasional. Perkembangan-perkembangan yang penting, salah satunya adalah pembentukan sejumlah lembaga-lembaga atau organisasi internasional, yang dipandang memiliki personalitas hukum internasional dan mampu menjalin hubungan satu sama lain dan dengan negara-negara.1

Organisasi internasional2 atau dapat didefinisikan lembaga-lembaga internasional (International Institution)3., timbulnya hubungan internasional ini pada lembaga-lembaga internasional tersebut, secara umum pada hakekatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara-negara, karena kepentingan banyak negara saja tidak dapat menampung kehendak banyak negara.

       1

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Medan: Sinar Grafika, 1989),hlm 4

2 Sumaryono Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta; PT. Tatanusa,

2007), hlm 1. Organisasi Internasional merupakan suatu persekutuan negara-negara yang dibentuk dengan persetujuan antara para anggotanya dan mempunyai suatu sistem yang tetap atau perangkat badan-badan yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan kepentingan bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara para anggotanya.

3

Organisasi Internasional dalam pengertian luas oleh J.G.Starke dan D.W. Bowett disebut lembaga-lembaga internasional.


(12)

2   

 

Dalam membentuk lembaga internasional, negara-negara melalui organisasi tersebut akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut kepentingan banyak negara.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan peraturan internasional (International Regulation) atau perjanjian internasional

(International Agreement) agar kepentingan masing-masing negara dapat

terjamin.4 Peraturan dan perjanjian internasional inilah yang nantinya digunakan sebagai sumber hukum mengikat bagi setiap negara-negara peserta.

Perjanjian internasional5, kerap digunakan oleh negara-negara sebagai instrumen politik untuk kepentingan nasional. Belum lagi perjanjian internasional kerap dimanfaatkan untuk mengintervensi kedaulatan hukum suatu negara sesudah era kolonialisme berakhir. Melalui perjanjian internasional dapat dipastikan bahwa hukum suatu negara seragam dalam derajat tertentu dengan hukum negara lain.6

Sumber hukum seperti peraturan dan perjanjian internasional ini yang digunakan organisasi internasional sebagai sekumpulan tatanan norma-norma berisikan kesepakatan dan ketentuan-ketentuan yang yang diakui negara-negara dan organisasi internasional sebagai subyeknya. Organisasi-organisasi       

4Hasnil Basri Sregar, Hukum Organisasi Internasional, (Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat FH USU, 1994), hlm 3.

5 Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang Hukum

Perjanjian tahun 1969 (The Vienna Convention on The Law of Treaties of 1969). Pengertian

perjanjian termuat dalam Pasal 2 (1).”treaty’ means an international agreement concluded

between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever its particular designation..”

6 Ketika suatu negara telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut, negara tersebut

berkewajiban untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemmudian menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut.


(13)

internasional yang terbentuk mempunyai banyak persamaan karena dipengaruhi oleh faktor politik dalam hubungan internasional yang kesemuanya ini banyak perkembangan yang sejalan dengan organisasi internasional.7

Apabila ditinjau dari segi filosofis, perbandingan tema-tema pokok perdamaian dari berbagai organisasi internasional serta tema-tema lainnya yang dianut dan falsafah yang mendasari pembentuknya organisasi internasional tersebut.8

Dalam lingkup regional, atas dasar pengalaman sejarah dan tantangan yang dihadapi, negara-negara di Asia Tenggara dalam usaha menciptakan stabilitas dan suasana hidup bertetangga baik dikawasannya, telah sepakat untuk menciptakan Asia Tenggara sebagai kawasan damai, bebas, netral dari pertentangan negara-negara besar. Negara-negara tersebut juga telah menyetujui pembentukan suatu mekanisme untuk menyelesaikan perselesihan antar negara-negara sekawasan ini secara damai.9

Negara-negara Kawasan Asia Tenggara yang didukung secara geopolitik dan geoekonomi mempunyai nilai strategis. Namun, berbagai konflik kepentingan yang menyebabkan konfrontasi sering terjadi diantara negara-negara sekawasan ini. Oleh karena hal-hal tersebut, untuk mengantisipasi konfrontasi atau konflik yang akan terjadi serta ancaman-ancaman internal maupun eksternal, negara-negara Asia Tenggara menyadari perlu dibentuknya suatu organisasi sebagai wadah kerjasama untuk menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan terjadi di masa yang akan dating, dan juga dengan tujuan sebagai       

7Ibid, hlm 4.

8Ibid, hlm 5.


(14)

4   

 

sarana untuk meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional serta pembangunan sekawasan negara-negara se-Asia Tenggara.

Sebelum ASEAN terbentuk pada tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan, seperti Association

of Southeast Asia (ASA), Malaysia, Philipina, Indonesia (MAPHILINDO),

Southeast East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO),

Southeast East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pasific

Council (ASPAC). Namun organisasi-organisasi tersebut dianggap kurang memadai untuk meningkatkan integrasi kawasan.10

Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut telah mendorong untuk membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka lima Menteri Luar Negeri yang berasal dan Indonesia, Malaysia, Singapura, Fhilipina dan Thailand mengadakan pertemuan di Bangkok pada bulan Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan (Join Declaration), yang pada intinya mengatur tentang kerjasama regional di kawasan tersebut. Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, maka pada tanggal 8 Agustus 1967 ditandatangani Deklarasi Bangkok oleh WakilPerdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Fhilipina, Singapura dan Thailand. Brunnei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada

      

10 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu Republik Indonesia, ASEAN Selayang


(15)

tanggal 28 Juli 1995, Laos PDR dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999.11

Deklarasi tersebut menandai berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Sout East Asian Nation/ ASEAN). Masa awal pendirian ASEAN lebih diwarnai oleh upaya-upaya meredakan rasa saling curiga dan membangun rasa saling percaya (confidence building), serta mendorong kerjasama pembangunan kawasan antar negara anggota guna mengembangkan kerjasama regional yang bersifat kooperatif namun belum bersifat integratif.

ASEAN sebagai organisasi regional12, bertujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta mengembangkan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai, meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negaranegara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.13

      

11Ibid, hlm 3

12 Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, (Bandung; Alumni, 1991), hlm 121.

Dalam bentuk organisasi internasional yang anggotanya merupakan sejumlah negara yang berlokasi di suatu kawasan dunia tertentu dengan maksud dan tujuan melindungi dan memajukan kepentingan bersama.


(16)

6   

 

Banyak kerjasama yang telah dilakukan oleh negara-negara ASEAN dalam kurun waktu sejak awal pembentukannya sejak tahun 196714 hingga saat ini, mulai dari kerjasama dibidang keamanan, pendidikan, sosial hingga kerjasama dibidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi, ASEAN secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan, diawali dengan kesepakatan seperti

Industrial Project Plan (1976), Preferential Trading Area/PTA (1977), ASEAN

Industrial Complement Scheme (1981), ASEAN Joint Venture Scheme (1981)

dan Enhanched Preferential Trading Arrengement (1987).15

Khusus dibidang ekonomi, kebijakan liberalisasi perdagangan di wilayah ASEAN telah banyak menyita perhatian para ahli hukum internasional di kawasan ini, karena merupakan isu krusial yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kemakmuran negara-negara Asia Tenggara itu sendiri.

Dalam lingkup yang lebih luas, perdagangan bebas diterapkan oleh negara-negara dalam kerangka perjanjian WTO. Indonesia telah menjadi bagian GATT sejak tahun 1950 hingga menjadi WTO. Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement.16 Dengan diundangkannya Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World

Trade Organization, akan membawa konsekuensi yang lebih besar terhadap

      

14 ASEAN merupakan sebuah bentuk kekuatan benua Asia karena menjadi salah satu kawasan

dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia. Hal ini tentunya menarik minat Asia Tenggar. Dengan terwujudnya bentuk kerja sama ASEAN dengan negara-negara lainnya.

15 Pendapat dari Joko Siswanto adalah Analis Ekonomi Muda Senior, Aditya Rachmanto adalah

Analis Ekonomi Muda di Direktoral Internasional Bank Indonesia

16 WTO Agreement dan lampiran-lampirannya sebagai sumber hukum utama WTO yang berisi

hanya 16 pasal dan menjelaskan secara lengkap fungsi-fungsi WTO, perangkatnya, keanggotaanya, dan prosedur pengambilan keputusan. Terlampir juga 19 perjanjian internasional


(17)

peraturan perundangan nasional dibandingkan dengan keikutsertaan Indonesia dalam GATT sejak Februari 1950, termasuk dalam cara Indonesia menyelesaikan sengketa dagangnya. Sebagai anggota WTO, praktis Indonesia terikat oleh seluruh annex perjanjian WTO (Multilateral Trade Agreement) yakni Annex 1,2 dan 3.17

Perdebatan mengenai seberapa besar manfaat dan kerugian liberalisasi perdagangan jasa hingga kini masih terus berlangsung. Para pendukung konsep ini berpendapat bahwa sebuah negara akan mendapat keuntungan dari liberalisasi perdagangan jasa melalui; peningkatan FDI (Foreign Direct Investment), Kesempatan kerja, berinvestasi di luar negeri dan juga dapat mendorong terpeliharanya perdamaian dunia.18

Selain itu, liberalisasi perdagangan jasa juga bermanfaat untuk memenuhi supply (penyedia) jasa sesuai kebutuhan masyarakat yang didukung dengan teknologi serta spesialisasi sumber daya berkualitas, dengan begitu dapat menstimulasi persaingan perdagangan jasa antar negara dan dampak yang akan terjadi peningkatan volume perdagangan. Konsep ini juga dianggap akan semakin meningkatkan saling ketergantungan satu negara dengan lainnya, sehingga dapat memperkuat serta memperluas perekonomian, meningkatkan kesejahteraan dalam negeri, dan mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambunngan.

      

17 Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, (Bandung; PT Refika

Aditama, 2006), hlm 8.

18 Basuki Antariksa, ”Pengaruh Liberalisasi perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing

Kepariwisataan Indonesia”, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementrian Kebudayaan

dan Pariwisata, Makalah, 29 Juli, 2010, hlm 1. www.budpar.go.id/userfiles/file/5654_1841-art2.pdf , diakses pada tanggal 18 November 2013.


(18)

8   

 

Liberalisasi perdagangan jasa dianggap sebagai prosedur baru bagi negara maju untuk menjajah negara sedang berkembang, dengan menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang absolut mengenai hubungan yang positif antara kebijakan liberalisasi perdagangan jasa dengan tingkat kemajuan sebuah negara. Beberapa diantara mereka, seperti Dani Rodrik, Ha-Joon Chang, dan Martin Khor, juga menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan justru semakin meningkatkan ketergantungan negara sedang berkembang kepada negara maju dan menghambat proses pembangunan.19

Ide liberalisasi perdagangan jasa dikawasan negara-negara ASEAN itu sendiri bermula dari hasil pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, Thailand 1995.Yang kemudian melahirkan Asean Framework Agreement

on Service (AFAS) sebagai landasan dasar dari proses menuju liberalisasi

perdagangan jasa di kawasan ASEAN. Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia sektor jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ke-5 ASEAN tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.20

Tekad untuk mendorong proses liberalisasi sektor jasa sejalan dengan semakin pentingnya peran sektor tersebut dalam perekonomian negara-negara ASEAN. Hal tersebut tercermin dalam sumbangan sektor jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan perdagangan luar negeri ASEAN. Pada tahun 2004, sumbangan sektor jasa terhadap perekonomian ASEAN mencapai 25-67 persen dari PDB. Bagi beberapa negara sumbangan sektor jasa bahkan lebih besar       

19 Ibid, hlm 2.

20 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Integrasi


(19)

dibandingkan sektor pertanian dan industri21. Sehingga perdagangan jasa dinilai memiliki peran strategis dalam perekonomian ASEAN. Sektor ini juga merupakan sektor yang paling cepat pertumbuhannya di kawasan negara-negara ASEAN.

Sedangkan berita perkembangan dari dalam negeri, menurut Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, sektor jasa menyumbangkan 45 persen dari total akun yang dimiliki oleh Indonesia. Sektor jasa juga menyumbangkan angka 60 sampai 80 persen dalam mengurangi kemiskinan Indonesia. Ini karena jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor jasa berjumlah 50 persen dari jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh Indonesia.22

Gambaran diatas merupakan situasi singkat mengenai perkembangan liberalisasi dari sektor jasa yang dialami oleh negara-negara ASEAN maupun Indonesia sendiri, melalui suatu instrument yang disetujui dan disepakati bersama. Bagaimana negara-negara secara global, regional, maupun Indonesia ikut berpartispasi dalam liberalisasi perdagangan khususnya dalam sektor jasa.

Dalam lingkupan yang lebih luas sebelumnya, telah ada instrumen yang mengatur prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan aturan permainan dalam perdagangan internasional dibidang jasa dibawah payung World Trade Organization (WTO). Instrumen tersebut adalah

General Agremeent Tarrif on Service (GATS). Pengaturan mengenai kerangka

perjanjian GATS ini terdapat dalam Annex 1b dari Piagam WTO. Aturan dalam Annex 1b tersebut tidak terpisahkan dari Piagam WTO itu sendiri karena       

21 Rahmat Dwi Saputra (dkk), Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Jakarta; Kompas Gramedia,

2008), berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook 2006, hlm 124.

22 Putu Ayu Bertyna Lova, Sektor Jasa Pegang Peran Penting Dalam Ekonomi Indonesia,


(20)

10   

 

merupakan salah satu dari aturan-aturan lampiran penting dalam perjanjian perundingan dalam implementasi dari Piagam WTO. Oleh karena itu, ruang lingkup keberlakuannya mencangkup negara-negara peserta di seluruh dunia.

ASEAN kemudian memandang perlu untuk mengambil sikap mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi perdagangan di bidang jasa yang semakin mendunia, khususnya setelah Perundingan Putaran Uruguay 1994 berhasil memasukkan perdagangan jasa dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS23, dengan tujuan untuk meliberalisasikan perdagangan di bidang jasa dengan memperluas dan memperdalam cangkupan liberalisasi yang telah dilakukan oleh negara-negara dalam konteks GATS/WTO.

Apabila dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN hingga kini masih mengalami kesulitan untuk menegakkan struktur hukum demi melindungi ekonomi kerakyatan sesuai dengan mandat Pasal 33 UUD 1945.24 Bahkan upaya untuk memproteksi badan-badan pengelola sumber-sumber hajat hidup orang banyak, dilepaskan kepada asing. Keberadaan banyaknya perjanjian perdagangan bebas yang diikuti, khususnya AFAS akan makin menambah beratnya janji pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan rakyat dan perlu mempersiapkan serta mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan.

      

23 GATS merupakan hasil kesepakatan perundingan Putaran Uruguay yang khusus mengatur

bidang-bidang perdagangan jasa. Putaran Uruguay sendiri merupakan salah satu agenda rutin

GATT/WTO yang menghasilkan suatu persetujuan baru yang memperluas ruang lingkup

perdagangan meliputi: perdagangan jasa (GATS), investasi (TRIMs) dan HaKI (TRIPs).

24 Ayat 3 menyatakan, " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai


(21)

Ratifikasi menimbulkan akibat hukum baik eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya.25 Akibat hukum eksternal yang timbul adalah bahwa melalui tindakan tersebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi ratifikasi dan ikut sebagai subjek bagian dari ASEAN dalam perjanjian perdagangan bebas AFAS, semua produk perundang-undangan nasional Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan sebagaimana dirumuskan dalam WTO dan kerangka perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati dan ditandatangani.

Jika ditinjau dari segi struktural antara GATS dan AFAS sama sekali tidak berhubungan. Pembentukan AFAS juga didasari dengan tekad untuk melakukan liberalisasi perdagangan jasa yang lebih dalam dibandingkan dengan komitmen yang ada di dalam GATS. Kedua instrumen ini diciptakan dengan tujuan utama memperlancar dan menghilangkan hambatan terhadap perdagangan bebas jasa, dimana AFAS kemudian menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN untuk meningkatkan akses pasar secara progresif dan menjamin perlakuan nasional yang setara bagi para penyedia jasa di kawasan ASEAN. Seluruh isi kesepakatan dalam AFAS pada dasarnya konsisten dengan       

25 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1969 ini, namun kaedah-kaedah yang

ada dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan intemasional yang berlaku di lingkungan masyarakat internasional. Dan di dalam UU.Nomor 24 Tahun 2000 sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Wina 1969 tersebut.


(22)

12   

 

kesepakatan internasional bagi perdagangan jasa yang ditetapkan dalam GATS. Karena keberadaan AFAS mendorong negara-negara ASEAN untuk membuat komitmen melebihi apa yang telah diberikan dalam GATS.

Sehingga hal yang lebih essensial dipikirkan, untuk mengetahui hubungan kedua instrumen tersebut yang sama-sama mengatur mengenai aturan perdagangan jasa, serta mekanisme penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian tersebut. Berdasarkan pemikiran hal tersebut, sehingga perlu dipahami tentang liberalisasi perdagangan sektor jasa, untuk melakukan penenlitian yuridis normatif, dengan mengkaji aturan internasional terhadap liberalisasi perdagangan jasa melalui kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang diatas, untuk menguraikan dan memberikan arahan yang terperinci dari pembahasa ini, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO dan dalam kerangka ASEAN?

2. Bagaimanakah aturan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan dalam kerangka perjanjian ASEAN?

3. Bagaimanakah posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO?

C. Tujuan Penilitian

Tujuan penilitian merupakan suatu bentuk pencapaian yang hendak diperoleh dalam suatu penilitian ilmiah. Dengan dikemukakannya tujuan yang


(23)

hendak dicapai tersebut, maka arah penelitian ini akan semakin difokuskan atau terpusat dalam suatu pembahasan yang optimal. Sehubungan dengan penulisan yang dilakukan, maka secara khusus penulisan ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui aturan hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan di bidang jasa dalam kerangka WTO dan dalam kerangka ASEAN.

2. Untuk mengetahui aturan penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan dalam kerangka perjanjian ASEAN

3. Untuk mengetahui posisi aturan AFAS terhadap aturan yang terdapat dalam GATS sebagai kerangka WTO.

D. Manfaat Penilitian

Penilitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis. Penulisan ini mempunyai manfaat teoritis untuk dapat menambah dan memperluas perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum internasional mengenai liberalisasi perdagangan jasa dalam kerangka perjanjian WTO dan ASEAN.

Selain itu juga, diharapkan penilitian ini mempunyai manfaat bagi kalangan akademisi, lembaga pemerintah sebagai tambahan informasi mengenai liberalisasi perdagngan jasa, dan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi untuk melakukan perbaikan dan optimalisasi kebijakan melalui kerangka WTO dan kerangka ASEAN sesuai dengan sesuai dengan perspektif hukum internasional.


(24)

14   

 

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “Tinjauan Hukum Terhadap Aturan Internasional Mengenai Liberalisasi Perdagangan Jasa Melalui Kerangka Perjanjan WTO dan Kerangka Perjanjian ASEAN ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan permasalahan yang sama. Penulisan ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka.

Penulisan ini merupakan hasil karya sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, buku-buku, literatur dan media elektronik yang menunjang dalam pembuatan penilitian ini, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah. F. Tinjauan Pustaka

Sebagai titik tolak dari perumusan tinjauan pustaka, dapat diuraikan beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

Aturan Internasional menurut J.G. Starke, Aturan atau hukum

internasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya di taati dalam hubungan antar negara.

Liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain.


(25)

Perdagangan bebas juga harus bebas dari politis suatu negara dengan hubungan dengan negara-negara. Perdagangan bebas juga dipahami searah dengan pasar bebas.

WTO (World Trade Organization), organisasi multilateral yang bertujuan sebagai forum guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan internasional.

ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), organisasi regional beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara, terdiri dari Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.

G. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tertulis dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada pada masyarakat.26 Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum doctrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen.27 Penelitian ini membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum28 melalui kajian asas-asas hukum internasional, konvensi-konvensi, dan kerangka perjanjian internasional.

      

26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; Universitas Indonesia Press,

2005), hlm 44.

27 Bambang Soegono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, edisi 8,

2006), hlm 42.


(26)

16   

 

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memeberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memerkuat teori lama atau member teori baru,29 dengan membatasi kerangka studi kepada suatu tinjauan perangkat hukum internasional terhadap liberalisasi perdagangan jasa.

H. Sistematika Penulisan

Secara umum, sistematika penulisan ini terdiri dari 5 bab. Bab satu merupakan pendahuluan, bab ini ,menguraikan latar belakang dari permasalahan dari penulisan ini. Melalui latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi tiga rumusan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji, diuraikan juga tujuan dan manfaat dalam penulisan. Uraian mengenai keaslian penulis, menyatakan bahwa penulisan ini belum pernah dilakukan dalam pendekatan dari perumusan permasalahan yang sama. Selanjutnya untuk memudahkan penelitian, dijelaskan metode penelitian dan sistematika penulisan sebagai gambaran dari keseluruhan isi dari penelitian.

Bab dua berjudul Aturan Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Jasa. Bab ini dipaparkan sejarah dan perkembangan dari liberalisasi perdagangan lingkup internasional, dan dikaji juga perangkat hukum internasional melalui kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN terhadap liberalisasi perdagangan jasa.

      

29 http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum, diambil dari


(27)

Bab tiga berjudul Aturan Penyelesaian Sengketa Dalam Kerangka Perjanjian WTO dan Kerangka Perjanjian ASEAN. Bab ini memaparkan prosedur mekanisme penyelesaian sengketa dalam kerangka perjanjian WTO dan kerangka perjanjian ASEAN.

Bab empat berjudul Hubungan AFAS dan GATS Sebagai Instrumen Liberalisasi Perdagangan Jasa. Bab ini diuraikan perbandingan kerangka perjanjian AFAS dan GATS, pemberlakuan aturan AFAS oleh negara-negara ASEAN terhadap negara-negara lingkup WTO, dan posisi aturan AFAS terhadap aturan GATS sebagai kerangka perjanjian WTO.

Bab lima sebagai penutup, memuat kesimpulan dari penellitian yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diungkapkan dalam bab pendahuluan dan saran sebagai rekomendasi yang dapat disumbangkan dalam upaya persiapan menghadapi liberalisasi perdagangan bebas khususnya sektor jasa.

         


(28)

18   

BAB II

ATURAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA

A. Sejarah Liberalisasi Perdagangan

Dalam bentuk idealnya, konsep perdagangan bebas30 atau liberalisasi perdagangan adalah suatu keadaan dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual barang atau jasa melampaui batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk di dalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain.

Dengan perdagangan bebas tidak ada lagi hambatan yang dibuat oleh suatu negara dalam melakukan suatu transaksi perdagangan dengan negara lainnya. Negara-negara di dunia atau yang terlibat langsung dalam perdagangan bebas mempunyai hak untuk menjual produk baik barang ataupun jasa terhadap negara lain tanpa harus dibebani oleh batasanbatasan pajak atau bea masuk.

Dengan adanya perdagangan bebas, diharapkan interaksi antarnegara dalam perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus dibatasi oleh peraturan yang membelenggu di dalam negeri negara tujuan. Adanya liberalisasi merupakan arus pemikiran umum yang muncul sebagai respon perkembangan dunia yang sangat dinamis, progresif dan berkarakter       

30

Perdagangan bebas merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized

Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dan World Customs

Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. Penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan antar individual dan perusahaan-perusahaan y a n g b e r a d a d i n e g a r a y a n g b e r b e d a http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas, diunduh pada 20 Oktober 2013


(29)

multidimensi.31 Liberalisasi bukanlah isu faktual, namun selalu menjadi editorial dunia beberapa dekade terakhir.

Dalam perspektif perdagangan, liberalisasi merupakan proses pengurangan hingga pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan nontarif, secara terstruktur, sistematis dan berskala masif antarnegara, pada pelaksanaan transaksi perdagangan, khususnya terkait arus pergerakan barang dan jasa. Pada rumusan yang lebih sederhana, setiap individu memiliki kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, ke mana saja dan kapan saja tanpa adanya suatu hambatan atau batas-batas tertentu.

Sekian lama perdagangan internasional dibidang jasa kurang mendapat perhatian dalam teori perdagangan. Jasa dianggap sebagai barang "non-traded"

dan memiliki potensi pertumbuhan yang minimal. Ekspansi sektor jasa dianggap hanya sebagai produk sampingan khususnya dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Non-tradability dari jasa timbul karena transaksi jasa mensyaratkan adanya interaksi langsung antara produsen dan konsumen (perusahaan dan rumah tangga). Biaya transaksi, entah itu diukur dalam waktu, jarak, prosedur imigrasi, bea cukai, dan lain sebagainya, dianggap terlalu besar untuk memungkinkan terjadinya sebuah transaksi jasa.

Terlebih lagi, kompleksnya hubungan atau transaksi ini disebabkan adanya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat akhir-akhir ini sangat signifikan meningkatkan tradability dan internasionalisasi dari komoditi       

31 Karakter multidimensi ini berdasarkan pada sebuah teori yang dikemukakan oleh Talcott

Parson. Proses perkembangan liberalisasi dalam fase awal akan mempengaruhi orientasi ekonomi dan struktur politik hingga menjalar pada struktur sosial. Pada fase terakhir, kondisi ini akan merombak tatanan budaya suatu komunitas tertentu.


(30)

20   

 

jasa. Sehingga dengan perkembangan dewasa ini, para pelaku dagang tidak perlu bertemu secara langsung dengan rekanan dagangannya. Kontribusi dan peran perdagangan jasa bahkan diyakini semakin besar dan strategis di masa datang.

Apabila dilihat dari sejarahnya, konsep liberalisasi perdagangan jasa bukan berasal dari kebudayaan asli bangsa Indonesia, maka fenomena seperti ini nampaknya sulit untuk dipahami dan diterima oleh masyarakat. Selain itu, nampaknya ada persoalan dalam hal konsistensi diseminasi informasi dan peningkatan keahlian dan wawasan mengenai masalah ini di berbagai bidang kehidupan, sehingga isu liberalisasi perdagangan jasa selalu dianggap sebagai sesuatu yang baru. Terlepas dari kondisi tersebut, liberalisasi perdagangan jasa merupakan fakta yang perlu dipahami oleh masyarakat karena pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan keseharian masyarakat itu sendiri.32

Paham liberalisasi perdagangan berkembang dengan pesat di Eropa sejak abad 19. Pada priode perdagangan bebas 1815-1914 diwarnai oleh kekuatan landasan filsafat perdagangan liberal berdasarkan atas teori keunggulan komparatif, bahwa suatu negara akan mengkhususkan diri pada produksi dan ekspor, sebab negara tersebut mempunyai biaya yang lebih rendah daripada negara mitra dagangnya.33

Apabila ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai       

32 Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang

No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). WTO sendiri mulai beroperasi secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995.

33 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta; PT. RajaGrafindo


(31)

liberalisme. Paham yang dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki adanya dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan pemerintah sekalipun.34

Teori yang di kemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations“ 35 membantah pendapat dari kaum merkantilistis yang mengatakan,bahwa melakukan hambatan perdagangan adalah jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Menurut Adam Smith, kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan dengan seminimal mungkin. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya yang akan digunakan secara efesien, sehingga kesejahteraan yang akan di capai akan lebih optimal.36

Liberalisasi perdagangan internasional mulai mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada abad ke-19 sehingga memberikan keuntungan dalam bidang ekonomi di Eropa. Tetapi kebebasan       

34

Adam Smith dalam Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman

Modal. (Medan; Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005) ,hlm 43.

35 Adam Smith menulis bukunya dan lebih dikenal dengan singkatan “The Wealth of Nation

bukunya yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan diEropaserta

dasar-dasar perkembanganperdagangan bebasdankapitalisme.dengan teorinya yang disebut

invisible hand” “tangan tak terlihat” (baca; TanganTuhan) dalam kegiatan perekonomian

masyarakat. Secara umum, banyak pihak menerjemahkan konsep the invisible hand-Adam Smith

sebagai mekanisme pasar, kegiatan otonom yang dilaksanakan oleh masing-masing pelaku

ekonomi untuk kepentingannya sendiri guna memenuhi penawaran dan permintaan (supply and

demand) yang otomatis mengendalikan kegiatan yang optimal bagi semua pihak yang melakukan

kegiatan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah (non-intervensi) 36Ibid, hlm 31-32.


(32)

22   

 

perdagangan tersebut belum dapat dinikmati oleh bangsa lainnya diluar Eropa, terutama di Asia dan Afrika. Hal ini disebabkan karena waktu itu Asia dan Afrika merupakan wilayah kolonial atau jajahan negara-negara Eropa, sehingga dalam sektor perdagangan, bangsa Asia dan Afrika tidak mendapatkan kesempatan dan kebebasan yang sama seperti bangsa Eropa. Dengan demikian yang memegang kekuasaan ekonomi maupun politik pada periode liberal ini adalah bangsa Eropa, sebaliknya bangsa Asia dan Afrika tidak mempunyai kekuasaan dan politik di negerinya sendiri.

Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin. sedangkan yang disebutkan oleh Hugo Grotius, diistilahkan dengan “Laissez Faire”37, yang dapat didefinisikan "bebas melakukan apa yang engkau inginkan" atau bebas dari campur tangan pemerintah untuk membantu orang miskin, pengontrolan upah buruh, bantuan atau subsidi pertanian

Teori yang dikemukakan oleh Adam Smith diatas disebut dengan “Teori Keunggulan Absolut” teori yang mendasarkan asumsi bahwa setiap negara memiliki keunggulan absolut nyata terhadap mitra dagangnya.       

37 Huala Adolf, "Hukum Perdagangan Intemasional, Prinsip-prinsip dan Konsepsi

dasar"http://pasca.uma.ac.id/adminpasca/upload/Elib/MHB/1%20HUKUM%2OPERDAGANGAN%20

INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF,diakses pada tanggal


(33)

Menurut teori ini, suatu negara yang mempunyai keunggulan absolut relatif terhadap negara mitra dagangnya dalam memproduksi barang atau komoditi tertentu, akan mengekspor komoditi tersebut ke negara mitra yang tidak memiliki keunggulan absolut (absolut disanvantage).

Demikian pula sebaliknya, sehingga dalam sistem perdagangan bebas, diantara negara-negara mitra dagang tersebut akan memiliki nilai ekspor yang sama dengan nilai impornya. Dengan sistem perdagangan bebas, sumber daya akan digunakan secara lebih efesien, sehingga kesejahteraan yang akan dicapai lebih optimal. Namun dalam kenyataannya yang justru terjadi di Eropa adalah ketidakadilan dan kesenjangan sosial antara pengusaha yang kaya raya dengan kaum buruh atau petani miskin. 38

Apabila ditinjau dari perspektif perdagangan, liberalisasi menekankan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif dalam transaksi perdagangan. Merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek, liberalisasi juga memungkinkan adanya hubungan atau interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu pembatasan tertentu dalam produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa.

Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut pun memberikan ruang proteksi optimal bagi kemerdekaan individu dengan mengutamakan prinsip kebebasan (Principle of Freedom), prinsip persamaan hak (Principle of Legal Equality) serta prinsip timbal balik (Principle of Reciprocity). Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi muatannya

      


(34)

24   

 

diterjemahkan untuk meluruskan paradigma yang mengabdi pada perhintungan laba tersebut. Bahkan, keadilan menjadi variable yang dituntut dari kemerdekaan individu.39

B. Proses Perkembangan Liberalisasi Perdagangan

Dalam perjalanannya, perkembangan liberalisasi perdagangan melalui beberapa periode yang cukup panjang. Berikut adalah periodesasi dari proses perkembangannya.

a. Periode Merkantilisme

Pola pikir yang berkembang pada abad ke-16 dan ke-17 adalah merkantilisme, dimana kegiatan ekonomi harus dipusatkan pada upaya memperoleh sumber daya atau kekayaan sebanyak mungkin guna mendukung kekuatan politis maupun militer. Dengan adanya kekuatan militer yang tangguh, pemerintah pusat dapat dengan mudah melakukan ekspansi teritorial ke negara lainnya. Ekspansi ini dimaksudkan juga untuk menguasai sumber daya alam negara yang ditaklukkan, terutama untuk mendapatkan logam mulia (emas dan perak). Jadi menurut pola merkantilisme, kekayaan didefinisikan dalam bentuk logam mulia. Untuk itu, perdagangan harus senantiasa mencapai surplus dalam bentuk emas guna membiayai kepentingan politik, militer dan ekspansi politik.40

Paham merkantilisme ini yang memotivasi negara-negara Eropa untuk melakukan ekspansi hingga Asia dan Afrika untuk memperoleh       

39 Sukarmi, Implikasi Ketentuan Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalah

dengan judul: Penyuluhan dan Penyebaran Informasi tentang Implementasi Peraturan Anti

Dumping dan Subsidi. Malang, 2005, hlm 2.


(35)

sumberdaya yang lebih besar dalam ekspor mereka. Secara efektif, paham merkantilisme berpijak pada pangkal tolak bahwa kesejahteraan perekonomian suatu negara dapat dicapai bila negara tersebut memiliki cadangan emas yang besar, yang dapat dicapai dengan mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Dengan demikian maka surplus ekspor melalui peningkatan ekspor dan pembatasan impor, merupakan tujuan utama, dan bukan peningkatan pendapatan nasional atau kesejahteraan masyarakat.41

Paham merkantilisme, telah banyak menghasilkan kemajuan ekonomi dan politik untuk negara-negara Eropa sebagai Nation-State dibawah raja. Kegiatan navigasi dan eksplorasi kontinental telah memperluas kekuasaan teritorial negara-negara tersebut. Tetapi pangkal tolak dari persepsi tersebut pada dasarnya bersifat konfliktual, sehingga walaupun terjadi peningkatan kekayaan dikalangan negara-negara utama di Eropa, sistem tersebut tidak stabil sehingga letak benih-benih kegagalan merkantilisme yang mencegah terwujudnya sistem perdagangan dunia yang koheren dan stabil.

b. Zaman Keemasan Perdagangan Bebas 1815-1914 ( Abad 19 ) Apabila ditinjau dari perspektif sejarah ekonomi, periode liberal yang mencakup masa sejak akhir perang Napoleon tahun 1815 hingga saat meletusnya perang dunia I pada tahun 1914, merupakan satu abad yang gemilang dilihat dari segi perdagangan internasional. Selama satu abad, perdagangan dunia berjalan dengan bebas dengan rintangan dan pembatas yang minim. Periode ini merupakan periode perdagangan dunia berjalan dengan menganut paham liberal

      


(36)

26   

 

dimana setiap negara dapat menyesuaikan kegiatan perdagangannya dibidang dimana terdapat keunggulan komparatif.

Namun demikian, sisi lain yang perlu dikemukakan. Pada satu pihak perdagangan bebas pada abad ke 19 yang secara faktual menimbulkan laju pertumbuhan yang pesat, lebih banyak menguntungkan pihak Eropa. Kebebasan berdagang yang dinikmati orang Eropa tidak dinikmati oleh orang lain, terutama orang Asia. Dalam menulis sejarah ekonomi, para ilmuan barat sering melupakan hal ini.42

Kebebasan perdagangan tersebut tidak dapat dinikmati oleh bangsa lainnya diluar Eropa, terutama Asia maupun Afrika. Hal ini disebabkan karena Asia maupun Afrika merupakan wilayah kolonial atau jajahan dari negara-negara Eropa, sehingga dalam bidang perdagangan bangsa Asia dan Afrika tidak mendapatkan kesempatan dan kebebasan sama seperti bangsa Eropa. Dengan demikian yang memegang kekuasaan ekonomi maupun politik pada periode liberal ini adalah bangsa Eropa, sebaliknya bangsa Asia maupun Afrika tidak mempunyai kekuasaan maupun politik di negaranya sendiri.43

Namun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa secara makro angka dan bukti empiris menunjukkan bahwa sistem perdagangan bebas mampu mengangkat laju pertumbuhan ekonomi, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat pada negara-negara yang terlibat dalam kegiatan transaksi perdagangan tersebut. Berkaitan dengan itu pula, melihat kepada perspektif masa depan secara makro, diharapkan pada tahun-tahun       

42Ibid, hlm. 20-21


(37)

mendatang adalah terjadinya hal yang sama, tetapi kali ini orang Asia telah menjadi tuan rumah di negaranya masing-masing juga akan dapat turut menikmati hasil dari keterbukaan pasar dunia.

Secara skematis paham liberalisme yang mewarnai perekonomian dunia pada abad ke-19 mencakup: 44

1. Perubahan utama yang bersifat fundamentalis dan yang merupakan landasan yang bertolak belakang dengan merkantilisme adalah peran utama yang dipegang oleh mekanisme pasar sebagai penggerak dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang rasional “dikendalikan” oleh suatu “tangan tak terlihat atau invisible hand yang tak lain adalah kegiatan otonom yang dilaksanakan oleh masing-masing pelaku ekonomi untuk kepentingannya sendiri guna memenuhi penawaran dan permintaan (supply and

demand) yang otomatis mengendalikan kegiatan yang optimal bagi semua

pihak yang melakukan kegiatan ekonomi.

2. Agar mekanisme pasar ini dapat bergerak sesuai dengan logika permintaan dan penawaran, maka hambatan terhadap kegiatan ekonomi dalam bentuk regulasi dan berbagai jenis larangan yang menimbulkan distorsi pasar harus dihapus. Mengingat betapa ekstensifnya larangan dan regulasi yang berlaku dalam periode merkantilisme. Maka keinginan untuk menghapus regulasi merupakan tuntutan yang mendesak.

3. Kegiatan perdagangan antar bangsa dapat berkembang secara saling menguntungkan, karena perbedaan sturuktur secara alamiah akan

      


(38)

28   

 

menimbulkan spesialisasi bagi masing-masing pihak yang akan memusatkan perhatian dibidang ini dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif. Dengan kata lain, bila masing-masing negara memusatkan kegiatan dibidang dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka setiap negara akan mencapai atau mendekati titik optimal.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas yang menjadi dasar dan landasan pemikiran, maka kebijaksanaan paham liberalisme ini dapat diidentifikasikan dengan beberapa ciri:45

1. Menghapus segala jenis larangan dalam melakukan kegiatan ekonomi yang di berlakukan pada periode merkantilisme.

2. Mengadakan penurunan tarif atau bea masuk terhadap impor agar terjadi penigkatan perdagangan antar negara.

3. Membuat jaringan yang meningkatkan perdagangan antar semua pihak yang berminat untuk berdagang.

4. Menerapkan sistem pembayaran untuk mempermudah transaksi dan menentukan nilai tukar yang dapat diterima oleh semua pihak, yang pada waktu itu berarti memilih standar emas.

5. Membolehkan dan bahkan menganjurkan lalulintas dan peredaran modal keluar maupun kedalam negeri sesuai dengan permintaan dan penawaran. 6. Memperbolehkan lalulintas tenaga kerja dan sumber daya manusia.

      


(39)

Periode Zaman keemasan liberalisasi perdagangan mulai berakhir sejak meletusnya perang dunia pertama pada tahun 1914. Namun dibalik perang dunia pertama tersebut, ternyata telah mempercepat muncul fragmentasi dan disintegrasi ekonomi di negara-negara Eropa yang mengganggu kegiatan ekonomi.

c. Fragmentasi dan Disintegrasi di Eropa

Sistem perdagangan internasional yang menitik beratkan pada landasan liberalisme, mulai mengalami fragmentasi selama satu abad setelah mengalami era keemasan dari tahun 1914 hingga 1945. Pasar bebas dan perdagangan bebas mulai menghadapi berbagai macam distorsi sebagai akibat diterapkannya kebijaksanaan yang menyimpang dari paham liberal. Kebijaksanaan distortif yang mengarahkan perekonomian kepada kegiatan yang mengesampingkan mekanisme pasar

Perang Dunia I pada tahun 1914 hingga berakhirnya perang dunia II tahun 1945 merupakan periode disintegrasi karena tidak terciptanya suasana yang dapat mengembalikan sepenuhnya keadaan dan sistem yang berlaku pada periode zaman keemasan perdagangan internasional ataupun sistem alternatif yang lebih baik. Dalam perkembangannya, yang timbul adalah kebijaksanaan perekonomi nasional yang sempit dan semakin meningkatnya nasionalisme yang berbentuk negatif, bukan berbentuk patriotisme yang konstruktif.

Selama perang dunia I (1914-1918), negara-negara Eropa telah melakukan langkah-langkah swasembada dalam segala bidang berkaitan dengan suasana ketegangan yang semakin meningkat. Untuk mengembangkan sektor


(40)

30   

 

pertanian, negara-negara Eropa menerapkan larangan impor, subsidi, dan peningkatan tarif. Hal ini menimbulkan distorsi perdagangan internasional disektor pertanian, sehingga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara mitra dagang, baik di Eropa maupun diluar Eropa.

Tahun 1922 hingga 1927 perekonomian dunia masih mengalami pertumbuhan, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan investasi yang cukup besar di Amerika Serikat, terutama dibidang industri otomotif, perluasan penggunaan tenaga listrik disertai pengembangan proyek tenaga listrik, dan peningkatan yang pesat di bidang konstruksi di Amerika Serikat.

Pada 1929 terjadi krisis secara menyeluruh di Amerika Serikat yang diakibatkan situasi investasi dalam bidang-bidang penting mengalami kolaps atau kebangkrutan (Great Deppression).46 Berbagai sektor kapasitas produksinya telah jauh melampaui permintaan, sehingga kelanjutan rencana investasi dibidang tersebut tidak diperlukan sebelum permintaan meningkat.

Akibat dari depresi tersebut menimbulkan reaksi kongres di Amerika Serikat, terutama dari sektor pertanian untuk menerapkan kebijaksanaan proteksi di sektor pertanian. Menurut pandangan anggota-anggota kongres dari sektor pertanian, bahwa perkembangan indusri di Amerika Serikat sebagai akibat dari adanya proteksionisme. Karena itu apabila dikehendaki       

46 Great Deppression atau yang disebut juga Kegagalan Perbankan, krisis yang melanda

Amerika Serikat di Hal ini mengakibatkan penurunan kegiatan industrial pada 1929 yang disusul dengan terjadinya kolaps dibursa saham. Kejadian ini semakin meluas melanda Amerika Serikat, dan dalam waktu yang relatif singkat, perkembangan dalam investasi, produksi industri, kesempatan kerja semakin berkurang. Hal ini memberikan pengaruh buruk terhadap pendapatan nasional Amerika Serikat. http://academia.edu/1232423/Krisis_Dalam_Sistem_Finansial_Internasional.html diakses pada 22Januari 2014.


(41)

pertumbuhan yang sama pesatnya di sektor pertanian, maka diperlukan pula tingkat bea masuk yang tinggi. Kebijakan proteksi tersebut tidak hanya disektor pertanian akan tetapi telah menjalar pula ke sektor-sektor lainnya yang mencakup sektor manufaktur. Adanya kebijaksanaan proteksionisme pada sektor penting di Amerika Serikat tentunya memberikan dampak yang kurang baik terhadap arus pergerakan barang dan jasa, terutama dalam hal hubungan dengan negara-negara mitra dagangnya, baik di Eropa maupun di Asia.47

Tahun 1930 hingga awal perang dunia II ada berbagai upaya untuk menghidupkan kembali sistem perdagangan lingkup dunia yang lebih terbuka walaupun tidak seperti yang berhasil diterapkan pada abad ke 19. Ada berbagai upaya yang sifatnya mengukur pemenuhan kebutuhan (stop-gap measure) seperti legislasi Amerika Serikat untuk mengadakan perundingan agar negara-negara mitra dagang secara resiprokal dapat menurunkan bea masuknya dengan serangkaian perundingan bilateral.

Untuk itu kongres AS menerapkan legislasi Reciprocal Trade

Agremeent Act 1934. Sekurang-kurangnya langkah tersebut telah

menanamkan benih upaya bagi penerapan sistem perdagangan yang lebih terbuka agar setelah perang dunia II berakhir, upaya tersebut dapat secara serius dimulai kembali. Namun penerapan system perdagangan yang lebih terbuka hanya dapat dilakukan setelah perang dunia ke II berakhir.48

      

47Ibid, hlm 36-37.


(42)

32   

 

d. Periode Pasca Perang Dunia II49

Pada akhir perang dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan internasional. Berbagai analisis telah dilakukan untuk mencegah terulangnya fragmentasi yang terjadi dalam sistem perekonomian dunia pada tahun 1930-an. Negara-negara sekutu menghendaki kembali penerapan elemen-elemen positif yang terdapat pada periode zaman keemasan perdagangan internasional dengan menanamkan landasan-landasan yang memungkinkan peningkatan kegiatan perdagangan internasional yang lebih terbuka. Negara-negara tersebut bermaksud untuk menciptakan organisasi-organisasi internasional yang dapat secara aktif turut menciptakan aturan main dalam perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antar negara.

Negara-negara sekutu sepakat untuk menerapkan sistem hubungan internasional yang lebih teratur dan lebih menjamin perdamaian dan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Secara minimal yang ingin di capai adalah pencegahan ekses-ekses tindakan sepihak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat dunia, seperti tindakan-tindakan negatif yang diambil dalam periode antara kedua perang dunia oleh banyak negara, yang akibatnya membawa sistem perekonomian ke arah malapetaka ekonomi, politik, sosial, politik dan sosial telah diciptakan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sengan serangkaian badan-badan dibawahnya.

      


(43)

Melalui Konfrensi Bretton Woods tahun 1944,50 penanganan masyarakat internasional dibidang keuangan dan moneter relatif cepat dengan di setujuinya pembentukan International Monetery Fund (IMF) dan dalam waktu yang bersamaan, masyarakat internasional juga berhasil mendirikan Bank Dunia atau International Bank for Reconstruction and Development

(IBRD) yang bertujuan mangadakan rekonstruksi bagi negara-negara yang mengalami kerusakan akibat perang dunia II,

Berbeda dengan bidang finansial dan keuangan, perkembangan institusional dibidang perdagangan internasional tidak terlampau lancar. Negara-negara peserta konvensi tidak berhasil mendirikan organisasi internasional. Rencana pendirian International Trade Organization (ITO)51 yang diharapkan akan menjadi wadah untuk menangani masalah perdagangan internasional pun tidak mencapai kata sepakat. Karena berbagai pertimbangan politis, utamanya karena penolakan kongres AS atas pendirian ITO mengakibatkan terjadinya kekosongan institusional di bidang perdagangan.52

Dengan kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan perjanjian internasional menjadi satu-satunya perjanjian di bidang perdagangan yang telah mendapatkan disepakati. Maka pada tahun 1947, GATT menjadi satu-satunya organisasi internasional yang mengatur masalah       

50

Pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II, negara-negara sekutu khususnya Amerika Serikat dan Inggris, memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga ekonomi internasional, sehingga diselenggarakannya Konfrensi Bretton Woods (1944) dengan tujukan untuk

persoalan-persoalan moneter dan aturan-aturan mengenai perdagangan barang-barang ( trade in goods ).

51

Lihat lebih lanjut, latar belakang dibentuknya International Trade Organization (ITO)

sebagai cikal bakal dari GATT, pada; Huala Adolf, Op.Cit, hlm 102-105.

52

Pada tahun 1947, Amerika Serikat memutuskan untuk tidak meratifikasi Piagam

International Trade Organization (ITO) karena adanya suatu orgamisasi perdagangan international dikhawatirkan akan mengurangi kedaulatan AS di bidang perdagangan.


(44)

34   

 

perdagangan internasional, sekurang-kurangnya bagi negara-negara yang menjadi anggota. Karena perdagangan antar negara anggota telah merupakan 80% dari perdagangan di seluruh dunia.

Pada periode antara tahun 1950-1973, sistem perdagangan internasional menjadi lebih terbuka dan telah banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi. Laju pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB. Dengan demikian, perkembangan setelah tahun 1973 menimbulkan kehawatiran dibandingkan periode sebelumnya.

Melemahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran di negara maju menjadi sebuah kekhawatiran secara politis, bahwa akan ada pihak-pihak dari negara maju tersebut yang akan menghendaki proteksionisme, sehingga kemajuan dalam liberalisasi pada periode sebelum 1973 akan dirusak. Timbul upaya memperkuat sistem multilateral yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua negara di dunia dimulai periode ini. Upaya tersebut terwujudkan dalam serangkaian perundingan Uruguay round yang telah berhasil merumuskan serangkain perjanjian perdagangan multilateral.

e. Periode Pasca Perang Dingin

Pada awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrument yang efesien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Selain itu, semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua masalah ekonomi.53

      

53 H.S Kartadjoemena, GATT Dan WTO (Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Dibidang


(45)

Segi bidang ekonomi, perkembangan di Asia Timur telah mengubah peta dan berangsur pusat kegiatan ekonomi yang dinamis mulai semakin lebih terpusat di Asia, atau minimal di Asia pasifik dengan perkembangan hubungan ekonomi yang semakin intensif, baik hubungan transpasifik antar Asia pada satu pihak dan Amerika Utara pada pihak lain, maupun hubungan intra Asia– Pasifik yang juga semakin meningkat.

Bagian Eropa barat proses integrasi ekonomi dan politik yang berjalan sejak akhir perang dunia II telah mewujudkan masyarakat Eropa yang semakin terintegrasi dengan perjajanjian Maastricht, yang membuat Eropa barat semakin mengarah kepada unifikasi politik maupun ekonomi. Eropa tengah, negara-negara yang pada periode perang dingin merupakan bagian dari Uni Soviet (Hungaria, Polandia, Cekoslovakia) juga semakin terintegrasi ke dalam sistem Eropa barat. Begitu pula dengan negaranegara di kawasan Baltik yang semakin masuk kedalam zona Deutsche Mark kedalam kegiatan ekonominya54

Dengan demikian maka kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan besar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan diimbangi oleh Cina. Pada periode ini, kemudian timbul rivalitas baru antara negara-negara, namun dalam bidang ekonomi.

Pada periode paska perang dingin ini ada kesempatan sistem perekonomian dunia untuk dapat menikmati kebebasan transaksi yang pernah terwujud pada waktu zaman keemasan perdagangan dunia pada abad ke-19, dimana dunia menyaksikan kebebasan gerak dibidang barang, jasa, modal,

      

54


(46)

36   

 

teknologi, dan migrasi tenaga kerja. Terjadinya kebebasan gerak bagi berbagai faktor produksi untuk mencari kesempatan melakukan kegiatan yang telah menimbulkan laju pertumbuhan perdagangan yang tinggi.55

Jejak liberalisasi di era modern56, sampai dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya tiga pilar ekonomi dunia melalui Bretton Woods. Pilar ini terdiri dari IMF (International Monetary Fund),IBRD

(International Bank for Reconstruction and Develpoment), dan GATT yang

kemudian bermetamorfosis menjadi WTO (World Trade Organization) setelah penyelenggaraan Putaran Uruguay. Beberapa kalangan mengatakan ketiga pilar yang berdiri pada tahun 1944 tersebut sebagai formalisasi atau pembadanan dari ideologi liberalisme. Pasalnya, liberalisasi ditengarai sebagai kristalisasi kehendak negara maju dalam era kolonialisme baru dengan menumpang kendaraan melalui ketiga pilar ekonomi tersebut.

C. Aturan Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Sektor Jasa dalam Kerangka WTO dan Kerangka ASEAN

1. Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO 1.1Aturan Perundingan Uruguay Round WTO

Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan (General

Agreement on Ttarrif and Trade) yang kemudian disingkat dengan GATT

merupakan suatu perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948, yang tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut GATT       

55Ibid, hlm 41

56 Kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan besar, yakni Amerika


(47)

bertujuan untuk menjaga agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif.57

GATT menyelenggarakan putaran-putaran perundingan untuk membahas isu-isu hukum perdagangan dunia. Sejak berdiri (1947), GATT telah menyelenggarakan delapan putaran. Putaran terkahir Uruguay Round berlangsung dari kota Jenewa, Swiss. Pertemuan contracting parties GATT tingkat menteri yang diikuti oleh 108 negara, yang pertama kali dilaksanakan tanggal 20 september 1986 di Punta Del Este, Uruguay untuk meluncurkan perundingan perdagangan multilateral. Perundingan tersebut dilaksanakan selama 7 tahun, beberapa kali hingga selesai 15 April 1994 di Marakesh, Maroko yang kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO) yang memberikan pengaturan lebih lengkap dan konprehensif dibidang perdagangan. Rangkaian perundingan ini kemudian biasa dikenal dengan nama Perundingan Uruguay round.58

Inisiatif meluncurkan Putaran Uruguay ini disebabkan karena tidak terlaksananya komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo (1979)59 dan GATT Ministerial Meeting tahun 1982. Setelah putaran Tokyo diselesaikan tahun 1979, terlihat bahwa apa yang telah disepakati dalam rundingan tersebut

      

57 Syahmin A.K, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), (Jakarta; PT.

RajaGrafindo Persada, 2006), hlm 41.

58 Sejarah dan perkembangan GATT hingga Putaran Uruguay dalam buku: Huala Adolf dan A.

Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam perdagangan Internasional, ( Jakarta; Rajawali

Pers, 1995 ), hal 1-43.

59 Perundingan yang menghasilkan ketentuan-ketentuan yang mencangkup anti-dumping,

subsidi dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral. Putaran Tokyo (1973-1979)


(48)

38   

 

banyak sekali yang tidak dilaksanakan. Keadaan perekonomian dunia yang sangat buruk pada waktu itu tidak memungkinkan negara-negara peserta putaran Tokyo untuk secara konsekuen melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dalam putaran Tokyo, terutama kesepakatan-kesepakatan mengenai non-tarrif barrier.60

Kemudian dalam rangka Uruguay round ini, sebagai pedoman untuk melakukan perundingan telah dirumuskan Deklarasi Punta Del Este yang merupakan suatu pegangan mengenai tujuan, substansi maupun cara-cara atau modalitas perundingan. 61 Setelah putaran ini ditetapkan, para peserta segera membentuk suatu struktur perundingan (Negotiating Structure) guna menangani setiap aspek putaran ini. struktur ini pada pokoknya terdiri dari tiga badan utama, yaitu (1) The Trade Negotiations Committee (TNC) yang bertujuan untuk mengawal seluruh jalannya putaran; (2) The Group of Negotiations on Goods

(GNG) yang bertujuan untuk mengawasi semua subjek pembahasan kecuali jasa; dan (3) The Group of Negotiation on Service (GNS), badan yang bertujuan untuk mengawasi perundingan bidang Jasa.62

Pada tanggal 15 April, 1994 di Marrakesh, Maroko, para menteri menandatangani hasil perjanjian Uruguay Round. Mengenai isi dari perjanjian tersebut, isi perjanjian putaran Uruguay terbagi dalam lima belas kelompok. Empat dari perjanjian tersebut berupa ketentuan baru dalam GATT. Teks Hukum Tersebut adalah Pengaturan Perdagangan Penanaman Modal (Trade Related Investment Measures atau TRIMs), Perdagangan Jasa (Trade in

      

60 Syahmin A.K, Op.cit, hlm 202

61 H.S Kartadjoemena, Op.cit, hlm 202

62


(49)

Service), Perdagangan Hak Milik Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights), dan Pembentukan Organisasi Perdagangan Multilateral

(Multilateral Trade Organisation). Sedangkan teks perjanjian lainnya seperti

Rules of origin, Pre-Shipment Inspection, anti dumping, subsidi, halangan-halangan teknis lainnya dalam perdagangan dan lainnya sifatnya memperkuat ketentuan GATT yang sudah ada.63

Peter van den Bossche menyebut hasil Uruguay round dalam hal sebagai pembentuk WTO dalam buku mereka sebagai WTO Agreement. Perjanjian ini hanya memiliki 16 pasal dan menjelaskan secara lengkap fungsi-fungsi WTO, perangkat-perangkatnya, keanggotaannya, dan prosedur pengambilan keputusan. Tetapi dalam perjanjian yang singkat itu juga terlampir sembilan belas perjanjian internasional yang merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement.64 Perjanjian mengenai liberalisasi perdagangan jasa kerangka WTO, melalui GATS diwujudkan dengan lampiran 1b.

Kartadjoemena dalam bukunya merangkum beberapa elemen penting yang dihasilkan oleh Uruguay Round yang telah di tandatangani di Marakesh, Maroko65. Salah satunya perjanjian umum di bidang jasa atau trade in service, telah disepakati sebagai kerangka umum, atau Framework Agremeent. Untuk menentukan aturan permainan yang berlaku untuk perdagangan jasa.66

      

63

Syahmin A.K, Op.cit, hlm 215-216.

64 Peter van Den Bossche (dkk), Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta;

Yayasan Obor Indonesia, 2010 ) hlm 3-4.

65

H.S Kartadjoemena, Op.cit, hlm 41.

66 Perlu di tekankan bahwa sektor jasa-jasa, (yang termasuk jasa perbankan, jasa

telekomunikasi, keuangan, konsultasi, parawisata, angkutan laut, udara, dan darat dan sebagainya) termasuk dalam naungan perjanjian ini.


(50)

40   

 

Perjanjian pada Lampiran 1,2 dan 3 adalah perjanjian Multilateral dan mengikat seluruh anggota WTO. Lampiran 4 berisi dua perjanjian plurilateral yang mengikat anggota WTO yang secara tegas menyetujuinya. WTO Agreement, 95 persen berisi Schedules of Concession (Jadwal Konsesi Dalam Perdagangan Barang) dan Schedule of Specific Commitments (Jadwal Komitmen Khusus Dalam Perdagangan Jasa).67

Agenda Putaran Uruguay sangat luas sehingga menjadikan putaran perundingan ini yang paling ambisius dalam sejarah GATT. Tidak hanya meliputi perdagangan barang (termasuk didalamnya perdagangan tekstil dan hasil pertanian yang sering menimbulkan sengketa) akan tetapi juga meliputi berbagai jenis jasa, trade-related aspects of intellectual property rights, trade related investment measures dan juga persoalan safeguard yang cukup pelik. Semua ini merupakan topik penting dan sebagian besar sifatnya sangat teknis dan mengandung perubahan-perubahan yang cukup mendasar.68

Dalam bidang jasa, walaupun kerangka perjanjian yang terurai secara lengkap dalam bentuk Framework Agrement dan beberapa perjanjian sektoral telah diselesaikan, perundingan masih tetap harus dilangsungkan untuk menentukan secara spesifik komitmen negara masing-masing dalam proses liberalisasi sektor jasa.69

Khusus dalam menyusun komitmen untuk mengadakan liberalisasi dibidang jasa, masing-masing negara peserta harus merinci komiten yang akan       

67Ibid, hlm 5.

68 Hata, Perdagangan Internasional dalam sistem GATT dan WTO, (Bandung; PT. Refika

Aditama, 2006) hlm 5-6.


(1)

tidak dapat dilakukan. Namun mengingat sektor jasa masih relatif muda dalam praktek perdagangan internasional, maka tentu saja sektor jasa sangat sulit mencapai kesepakatan bila tidak melonggarkan beberapa prinsip prinsip dasar tersebut.

B. Saran

Adapun saran rekomendasi yang diharapkan berdasarkan penelitian dari rumusan masalah, yakni:

1) Keikutsertaan dalam berbagai perjanjian yang berbeda menyangkut hal yang sama mengakibatkan tumpang tindih dalam perjanjian, diharapkan negara anggota ASEAN yang juga anggota dari kerangka perjanjian WTO dapat menyelaraskan peraturan yang ada pada aturan main dalam WTO dan ASEAN, mengingat posisi perjanjian ASEAN bersifat regional sehingga diharapkan tidak melanggar atau melewati batasan yang diatur dalam kerangka perjanjian WTO sebagai perjanjian multilateral.

2) Negara-negara dalam lingkup WTO maupun ASEAN untuk mengutamakan solusi damai di dalam menghadapi sengketa. Dalam WTO ada mekanisme Dispute Settlement Mechanism, diharapkan dalam penyelesaian sengketa menempuh jalur diplomatik sebelum DSU membentuk Panel, sehingga langkah damai dapat tercapai.

Untuk negara anggota ASEAN dengan berpedoman pada the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 (TAC) serta Piagam ASEAN serta mendorong pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa mekanisme regional ASEAN dengan cara menempuh jalur diplomasi. Namun pembentukan


(2)

127   

 

Arbitrase ini diharapkan nantinya akan menjadi langkah awal terbentuknya penyelesesaian sengketa secara hukum seperti terbentuknya penyelesaian sengketa melalui badan peradilan. Dalam kerangka perjanjian AFAS, diharapkan adanya isi perjanjian yang jelas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa, agar adanya aturan hukum yang jelas bagi setiap anggota ASEAN.

3) Untuk penerapan sistem dan prinsip dalam AFAS, negara setelah diberlakukannya kesepakatan dalam negosiasi AFAS, maka untuk meminimalisir dampak perbedaan tarif yang didapat oleh negara-negara non-ASEAN, maka ASEAN dengan kerangka perjanjjiannya perlu mengakomodasi negara-negara yang berada diluar konteks ASEAN, dengan semakin memperbanyak kerjasama antara ASEAN dengan negara-negara mitra diluar ASEAN, disamping itu juga dengan tujuan meningkatkan tahapan liberalisasi ke tingkat yang lebih tinggi, dapat juga menunjang perdamaian antarnegara melalui kerjasama perdagangan.

         


(3)

Adolf, Huala, Arbitrase Komersial International, Jakarta; Rajawali Pers,cet.2, 1994

--- Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta, Rajawali Pers, cet 3, 2002

---Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ke-3, 2003

---Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung; Sinar Grafika, 2004 

Adolf, Huala dan A. Chandrawulan.1995. Masalah-masalah hukum dalam perdagangan Internasional. RajaGrafindo Persada. Jakarta

Aida S Budiman (dkk), Masyarakat EKonomi ASEAN 2015, Jakarta; PT.Elex Media Komputindo, 2008 

Arifin, R. Winantyo (dkk) (ed), Integrasi keuangan dan moneter di Asia Timur: peluang dan tantangan bagi Indonesia, Jakarta; PT. Elex media komputindo, 2007 

Arifin, Sjamsul (dkk), 2004, Kerja sama perdagangan Internasional: peluang dan tantangan bagi Indonesia, Jakarta; PT.Elex media komputindo, 2004

Bambang Cipto, Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, Dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007 

Basri Siregar, Hasnil, Hukum Organisasi Internasional, Medan; Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat FH USU, 1994

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Jakarta: P.T. Alumni, 2001 

Damian, Eddy, Kapita Selekta Hukum Internasional, Bandung; Alumni, 1991 Dwi Saputra, Rahmat (dkk), Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Jakarta;


(4)

129   

 

Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung; PT Refika Aditama, 2006

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung; Refika Aditama, 2006

Jiwandono Soedjati, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Ilmu Hubungan Internasional, Bandung; Kata pengantar, 1999

Kartadjoemena, H.S. GATT WTO dan Hasil Uruguay Round. Universitas Indonesia (UI-Press): Jakarta, 1997

Priyono, Joko, Hukum Perdagangan Jasa (GATS/WTO), Semarang; Universitas Diponegoro Press,2010 

Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. Medan; Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005

Soegono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Raja Grafindo Persada, edisi 8, 2006

Soekanto, Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; Universitas Indonesia Press, 2005

Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2011

Starke , J.G, Pengantar Hukum Internasional 1, Medan; Sinar Grafika, 1989. Sugeng F Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas AtmaJaya, 1998 

Suryokusumo, Summaryono, Pengantar hukum Organisasi Internasional, Jakarta; PT.Tatanusa, 2007.

Syahmin A.K. Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis). PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006

Tulus TH.Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor, Ghalia Indonesia,2004

van Den Bossche, Peter (dkk). 2010. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta


(5)

B. Makalah, Karya Ilmiah, Artikel, dan Jurnal

ASEAN Framework Agreement on Service”,Fact Sheet ASEAN, Public Affairs Office of the ASEAN Secretariat 

Basuki Antariksa, ”Pengaruh Liberalisasi perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing Kepariwisataan Indonesia”, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Makalah, 29 Juli, 2010

Dewa Gede Sudika Mangku, Suatu Kajian Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Termasuk Dalam Tubuh ASEAN, Perspektif Volume XVII, 3 September 2012

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu Republik Indonesia, ASEAN Selayang Pandang, Edisi ke-19, 2010, hlm 2.

Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, Jakarta,2009, hlm. 7

Sukarmi, Implikasi Ketentuan Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalah dengan judul: Penyuluhan dan Penyebaran Informasi tentang Implementasi Peraturan Anti Dumping dan Subsidi. Malang, 2005

Mahmul Siregar (dkk), Cabotage Principle Pada Regulasi Jasa Angkutan dalam Perairan Indonesia dari Perspektif Sistem Perdagangan Multilateral WTO/GATS, Law Review Volume XII No.2, November 2012.

Sri Sunardi, Strategi Indonesia dalam menghadapi liberalisasi Jasa Telekomunikasi dalam kerangka Asean Framework Agreement on Service (AFAS), Jakarta; Tesis Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012

C. Konvensi dan Undang-Undang

Konvensi Wina 1969 ( The Vienna Convention on The Law of Treaties of 1969) Piagam WTO ( UN Charter)

Piagam ASEAN (ASEAN Charter) Statuta Mahkamah Internasional  UUD 1945

UU.Nomor 24 Tahun 2000 ratifikasi Konvensi Wina 1969

UU. No.7 Tahun 1994 Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)


(6)

131   

 

Keppres Nomor 37 Tahun 1997  Protocol on Dispute Settlement Mechanism (Protokol Mekanisme Penyelesaian Sengketa)

Keppres Nomor 34 tahun 1981 ratifikasi Konvensi New York 1958 Konvensi New York 1958.

UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985

D. Website

www.budpar.go.id/userfiles/file/5654_1841-art2.pdf 

http://pasca.uma.ac.id/adminpasca/upload/Elib/MHB/1%20HUKUM%2OPERDAG

ANGAN%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum, http://satuharapan.com/read-detail/read/sektor-jasa-pegang-peran-penting-dalam-ekonomi-indonesia/

http://academia.edu/1232423/Krisis_Dalam_Sistem_Finansial_Internasional.html http://www.asean.orgcommunitiesasean-economic-communityitemasean-framework-agreement-on-services.html

http://www.wto.org/english/docse/legale/26-gats01e.htm

http://portal-hi.net/index.php/teori-teori-liberalisme/189-critical-review--regionalismeekonomi.

http://www.aseansec.org/6636.html

http://www.worldtradelaw.net/uragreements/gats.pdf,