BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Efektifitas dan Keamanan Pemberian Nevirapine Dosis Tunggal dan Dosis Terbagi Sebagai Kombinasi Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

  aditif (NAPZA) suntikan di beberapa provinsi seperti Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV positif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

  Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.1 HIV/AIDS

  (HIV) atau acquired immunodeficiency

  Human immunodeficiency virus syndrome (AIDS) saat ini merupakan masalah kesehatan dunia yang mengancam

  kehidupan jutaan manusia. HIV mempunyai kemampuan untuk merusak semua organ tubuh manusia baik disebabkan secara langsung oleh virus itu sendiri maupun akibat kerentanan tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi yang bersifat oportunistik (Gazzard, 1996)

  2.1.1 genesis Infe eksi dan Sik klus hidup HIV Patog

  HIV term masuk fam mili retrov iridae , kla as retroviru us dan su ubklas

  

lentiv virus, merup pakan virus s ribonucle eic acid (R RNA) karen na menggun nakan

  RNA sebagai mo olekul pemb bawa inform masi genetik k. Ada dua jenis yaitu HIV- 1, me erupakan je enis yang d dominan d di seluruh d dunia dan HIV-2 teru utama resept tor CD4 pa ada permuk kaannya, jug ga limfosit

  B, monosi it, dan mak krofag (Gazz zard, 1996)

  Siklus hi dup HIV t terdiri dari i fase perle engketan d dan penemp pelan,

  

revers se transcrip ptase , tran nskripsi, tra anslasi, ass embly , dan n budding yaitu

  keluar rnya HIV y yang telah a aktif dari se el setelah m membajak pr roses mekan nisme norma al dari sel (g gambar 2.1) ). (WHO, 2 010) Nevirapin ne sebagai non-nucleo oside rever rse transcr riptase inh ibitor terhad dap HIV-1 akan meng ghambat rep plikasi viru us melalui i inaktivasi e enzim

  

revers se transcip tase (RT) dengan cara d a berikatan secara lan ngsung, seh hingga

  mence egah terjad dinya polim merisasi RN NA virus p pada deoxyr ribonucleic acid (DNA

  A) (gambar 2 2.1). (Harri is, et al., 200 08) Setelah te erinfeksi HI

  IV, dua sam mpai enam minggu ter rjadilah sin ndrom retrov viral akut, s selanjutnya merupakan n fase asim mtomatik rat ta-rata 8 t tahun, denga an adanya in nfeksi oport tunistik mak ka perjalana an penyakit t telah mem masuki stadiu um AIDS. Faktor ris siko yang menyebabk kan cepatny ya progres sivitas penya akit ini anta ara lain vir ral load (V

  VL), penuru unan CD4 y yang cepat , usia lanjut t dan penggu una NAPZA A suntik (G Gazzard, 199 96)

Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Patogenesis HIV dan target ART (Pomerantz and Horn, 2003)

2.1.2 Klasifikasi klinis HIV/AIDS

  Ada dua klasifikasi utama untuk HIV/AIDS, yaitu klasifikasi menurut (CDC) dan WHO. Klasifikasi

  Centeres for Disease Control and Prevention klinis dari WHO seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO (2010)

  Stadium I 1.

  Asimtomatik 2. Limfadenopati generalisata Stadium II

  1.Berat badan menurun < 10 % 2.

  Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis.

3. Herves Zoster dalam 5 tahun terakhir 4.

  Infeksi saluran nafas atas seperti sinusitis bakterialis Stadium III 1.

  Berat badan menurun > 10 %.

  2. Diare kronis yang berlangsung > 1 tahun.

  3. Demam > 1 bulan.

  4. Kandidiasis orofaringeal.

  5. Oral Hairy Leukoplakia.

  6. TB paru dalam tahun terakhir.

  7. Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis Stadium IV 1.

  HIV wasting syndrome.

  2. Pneumonia Pneumocystis Carini.

  3. Toksoplasmosis Otak.

  4. Diare kriptosporidiosis > 1 bulan.

  5. Kriptokokosis ekstrapulmonal.

  6. Retinitis virus Citomegalo.

  7. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan.

  8. Leukoensefalopati multifokal progresif.

  9. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.

  10. Kandidiosis esofagus,trakea, bronkus dan paru.

  11. Mikobakteriosis atipikal diseminata.

  12. Septikemia salmonelosis non-tifoid.

  13. Tuberkulosis di luar paru.

  14. Limfoma.

  15. Sarkoma Kaposi.

  16. Ensefalopati HIV

2.1.3 Tatalaksana Pemberian ARV

  Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi dengan tujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapat ARV atau tidak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

  Untuk pasien baru HIV/AIDS, ada 4 pilihan paduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di Indonesia (Tabel 2.2) (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Tabel 2.2. Paduan ARV sebagai lini pertama (Kementrian kesehatan

  Republik Indonesia, 2011) AZT + 3TC + NVP Zidovudine + ATAU

  Lamivudine + Nevirapine

  AZT + 3TC + EFV Zidovudine + ATAU Lamivudine + Efavirenz

  TDF + 3TC (atau FTC) + Tenofovir + Lamivudine ATAU NVP (atau Emtricitabine) +

  Nevirapine TDF + 3TC (atau FTC) + Tenofovir + Lamivudine EFV (atau Emtricitabine) +

  Efavirenz

2.1.4 Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV.

  Sebagai batasan minimal, pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu ke- 2, 4, 8, 12 dan 24 sejak memulai ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

  Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Pengukuran SGPT dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala, dan bukan pemeriksaan yang rutin. Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu ke-2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV, dilanjutkan dengan pemantauan gejala klinis. Pengukuran VL tidak dianjurkan untuk monitoring pasien yang mendapat ARV terutama pada tempat-tempat dengan fasilitas dan kemampuan pasien yang terbatas. Pemeriksaan VL umumnya digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan gagal terapi. VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan pemantauan klinis atau pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi yang diberikan diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6

2.2 Antiretroviral (ARV)

  Prinsip pemberian ARV tidak untuk menyembuhkan, tetapi menghambat proses penyakit pada penderita HIV untuk beberapa tahun. Komponen terapi ARV terdiri dari beberapa obat yang dapat memperlambat reproduksi HIV pada tubuh, agar obat-obat tersebut dapat efektif dalam waktu yang lama maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV (Ammassari, et al., 2002)

  Terdapat tiga kelompok obat ARV. Masing-masing ARV memliki cara yang berbeda dalam merusak atau menghambat HIV (Ammassari, et al., 2002; Fauci, 2003; Pomerantz and Horn, 2003; WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) yaitu:

2.2.1 Reverse Transcriptase Inhibitors

  HIV membutuhkan suatu enzim yang dikenal dengan reverse untuk menginfeksi sel induk dan mereproduksi dirinya. Seperti

  transcriptase

  namanya, obat ini memperlambat produksi enzim transkriptase sehingga HIV tidak dapat menginfeksi sel dan menduplikasi diri. Golongan obat reverse

  transcriptase ini terdiri dari:

Tabel 2.3. ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors

  Hanya ada satu jenis obat dari golongan ini, yaitu tenofovir. Obat ini bekerja dengan mencegah reverse transkriptase enzim tetapi dalam cara yang berbeda dengan obat reverse transcriptase lain.

  NRTI NNRTI NtRTI

  2.2.1.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)

  Obat ini juga dikenal sebagai nukleoside analog, adalah obat jenis pertama untuk menghambat HIV yang diperkenalkan sejak tahun 1987.

  2.2.1.2 Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)

  Golongan ini mulai dikenal pada tahun 1997 dan secara umum

  2.2.1.3 Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTI)

  • Lamivudine -
  • Delavirdine -

  Abacavir

  • Zidovudine -
  • Nevirapine Tenofovir

  Stavudine

  • Didanosin -

  Emtricitabine

  Efavirenz

2.2.2 Protease Inhibitor (PI)

  Golongan obat ini diperkenalkan pertama kali tahun 1995, cara kerjanya dengan menginhibisi protease, yaitu suatu enzim digestif untuk memecah protein yang digunakan oleh HIV dalam proses menduplikasikan dirinya.

Tabel 2.4. Obat Protease Inhibitor

  Protease Inhibitor (PI)

  • Lopinavir/ritonavir - Nelfinavir -

  Tipranavir - Saquinavir

  • Amprenavir - Ritonavir -

  Atazanavir - Indinavir

2.2.3 Fusion atau Entry Inhibitor

  Pada permukaan sel HIV dijumpai glycoprotein 41 (gp41) dan gp120, yang berguna untuk mempersiapkan HIV melekatkan diri pada permukaan sel induk, dengan mencegah kerja dari salah satu protein tersebut, akan memperlambat proses reproduksi HIV. Sebagai contoh dari golongan ini adalah fusion inhibitor T20 yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat lainnya karena harus disuntikkan, karena T20 adalah suatu protein sehingga tidak dapat diberikan secara oral. Obat T20 yang dikenal saat ini adalah fruzeon atau enfuvirtid.

2.3 Nevirapine

  Nevirapine (NVP; gambar 2.2), salah satu non-nucleoside reverse

  

transcriptase inhibitor (NNRTI) yang poten dan telah dapat ditoleransi dengan baik,

  saat ini pemberian nevirapine masih dua kali sehari. (Cheeseman, et al., 1993; Harris, et al., 2008; Parienti and Peytavin, 2011). Sediaan NVP yang beredar adalah dalam bentuk tablet 200mg (Viramune

  

  ) yang mulai dipasarkan secara luas sejak tahun 1996, dan dalam bentuk suspensi 10mg/ml. Dosis yang dianjurkan sebagai komponen kombinasi ARV adalah satu tablet 200mg sehari selama 14 hari, selanjutnya satu tablet 200mg dua kali sehari, dengan tujuan untuk menghidari kemungkinan terjadinya induksi cytochrome P 450 (CYP450) serta ruam kulit s ebagai efek k samping a akibat penin ngkatan ko nsentrasi pl lasma NVP P secara tib a-tiba s etelah pemb berian obat tersebut (Pa arienti and Peytavin, 2 011) G Gambar 2.2. Struktur kim mia nevirap pine (Cheese eman, et al. , 1993)

  Nevi irapine [11- -cyclopropy yl-5,11-dihy ydro-4-meth hyl-6H-dipy yrido(3,2-b: 2’,3’- e e)-(1,4)-diaz zepin-6-one ] merupak kan turunan n dari ben nzodiazepin ne dengan berat molekul 266 m 6,3g/mol. S erbuk NVP P berwarna putih, sang gat lipofilik, , dan merup pakan basa lemah b dengan pK K a 2,8. NV

  VP dapat la arut dalam air dengan n sempurna pada p pH<3, tetapi i pada pH n normal NVP P hampir ti idak dapat l larut sama s sekali, dan r relatif ti idak terlaru ut pada pela arut non-pol lar . (Cheese eman, et al. , 1993; Har rris, et al., 2 2008; P Parienti dan Peytavin, 2 2011).

  2 2.3.1 makodinami ik Farm

  NVP ada alah inhibito or non-kom mpetitif yan ng selektif terhadap e enzim

  revers se transcip tase (RT) H HIV-1 deng gan pengar ruh yang m minimal terh hadap

  HIV-2

  2 RT, simia an RT dan D DNA polym merase manu usia (Merlu uzzi, et al., 1990; Parien nti and Pey ytavin, 201 11). NVP m menghamba at HIV-1 R RT dengan n cara berika atan secara langsung d dengan enz zim tersebu ut pada resi idu tyrosin yang terdapat pada posisi 181 dan 188 dari subunit p66 yang berdekatan (Smerdon et al., 1994; Parienti dan Peytavin, 2011). Ikatan NVP pada sisi tersebut akan menghambat reaksi katalisasi HIV-RT secara signifikan. NVP tidak perlu melewati fosforilasi intrasel untuk menjadi aktif seperti golongan NRTI misalnya zidovudine, karena NVP dikemas dalam bentuk aktifnya secara dijumpai didalam plasma. (Zhang, et al., 1996; Parienti andPeytavin, 2011)

  Kadar inhibitory concentration 50 (IC

  50 ) pada kultur sel T manusia

  adalah ~10µg/l (40 nmol/l). Substitusi asam amino tunggal dari HIV-1 RT dapat menghasilkan strain virus yang resisten terhadap NVP, dan strain resisten ini dapat dipicu oleh paparan NVP sebelumnya. Strain resisten dapat muncul hanya dalam beberapa minggu setelah penggunaaan NVP sebagai terapi tunggal pada penderita HIV-1 dewasa. Ketika NVP dikombinasi dengan minimal dua ARV lain sebagai komponen terapi ARV, sustained viral

  suppression , dan kemungkinan timbulnya strain resisten dapat dicegah pada

  sebahagian besar pasien. (Havlir, et al., 1996; Parienti and Peytavin, 2011)

2.3.2 Farmakokinetik dan Metabolisme

  NVP diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah pemberian secara oral. Kadar maksimum NVP plasma dapat dicapai dalam 4 jam setelah pemberian obat. Nevirapine memiliki bioavailabilitas yang tinggi (tabel 2.5), dapat mencapai 93% dari pemberian tablet secara oral, dan memiliki waktu paruh panjang. Pemberian obat bersamaan dengan makanan dapat menghambat absorbsi dari NVP, tetapi tidak mempengaruhi bioavailabilitas obat, dengan demikian NVP dapat diberikan bersamaan atau tidak bersamaan dengan makanan (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004)

Tabel 2.5 Median kadar steady-state plasma parameter farmakokinetik nevirapin dalam dosis 400mg sekali sehari dan 200mg dua

  kali sehari pada penderita HIV (van Heeswijk, et al., 2000) Parameter 400 mg sekali 200 mg dua kali p sehari sehari AUC0-24 h(h/ (92.6- 109.0 (96.0-

  0.60 μg/mL) 101.8

  145.3) 143.5) max( 6.69 (5.95-8.64) 5.74 (5.00-7.44)

  0.03 C μg/mL)

  C min( 2.88 (2.33-4.09) 3.73 (3.20-5.08) <0.01

  μg/mL)

  T max(h) 1.54 (1.03-2.40) 2.01 (1.47-3.14)

  0.08

  t 1/2(h) 21.5 (15.0-32.8) 15.8 (13.1-24.5) 0.77

  Cl/F (L/h) 3.93 (2.76-4.32) 3.67 (2.80-4.21)

  0.63 V/F (L) 116.5(88.5- 82.5 (70.5-103.9)

  0.73 161.8)

  Hampir 60% kadar NVP berikatan dengan protein plasma terutama albumin (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Nevirapine dapat melewati sawar plasenta (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011). Nevirapine juga terdeteksi di semen dan cerebral spinal fluid

  

(CSF) dengan kadar masing-masing sebesar 30 dan 60% dari kadar plasma

  total (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Rute eliminasi utama NVP melalui metabolisme di hati oleh CYP450 isoenzim 3A4 dan

  2B6, kemudian diekskresi terutama didalam urin melalui ginjal sebagai metabolit terhidroksilasi (80%) dan sisanya dalam bentuk metabolit utamanya (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004)

  Pemberian terapi jangka panjang dapat meyebebabkan terjadinya autoinduksi metabolik jalur eliminasi NVP. Akibat dari auto-induksi ini, bersihan NVP dapat meningkat 1,5-2 kali lipat dan t ½

  β rata-rata akan berkurang menjadi 20-30 jam (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011)

  Untuk menghindari peningkatan kadar NVP secara tiba-tiba dan mengurangi toksisitas, cara pemberian NVP yang dianjurkan adalah dengan pemberian 200mg sekali sehari selama 2 minggu diikuti dengan peningkatan mempertahankan steady-state konsentrasi NVP sebesar 4000µg/l.

  (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011).

  Farmakokinetik NVP pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal tidak mengalami perubahan. Proses dialisis dapat meningkatkan bersihan NVP sehingga dosis pengulangan setelah dialisis dapat dipertimbangkan; pasien dengan gangguan fungsi hati sedang hingga berat (skor Child-Pugh >8, asites) memiliki resiko terjadinya akumulasi NVP, disamping itu NVP sendiri dapat menyebabkan kelainan fungsi hati berupa hepatotoksik imbas obat. Dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan pemberian NVP, namun Jika sangat diperlukan, harus dipertimbangkan pengurangan dosis obat (Harris, et al., 2008).

  Konsentrasi NVP berkaitan erat dengan supresi virologi, kadar optimal terendah yang disarankan untuk efek supresi ini >3,4mg/l; parameter farmakokinetik NVP memiliki sedikit variasi pada wanita, namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi NVP akibat perbedaan jenis kelamin setelah pemberian dosis tunggal ataupun dosis ganda. Pada orang dewasa, farmakokinetik NVP juga tidak berubah jauh akibat perbedaan usia (berkisar18-68 tahun) (Harris, et al., 2008).

  2.3.3 makokineti ik nevirapin ne sekali se ehari dan d dua kali seh hari Farm

  Profil s teady-state plasma N NVP setelah h pemberia an dosis 4 00mg seka ali sehari da an 200mg d dua kali seh hari telah di iteliti oleh v van Heeswi ijk, et al. (2 2000) meng ggunakan m metode rand domized, ba alanced, two o-way cross s-over

  

bioe equivalence study pada 20 penderi ta HIV-1 (v van Heeswij jk, et al., 20 000)

conc centration vs time cu urve dari 0-24 jam (AUC ) ) (gambar 2.3),

0-24h

  mem mberikan ha asil yang seb banding dia antara kedua a rejimen pe emberian. U Untuk para ameter farm makokinetik lain, sepert ti waktu pa ruh, clearen nce, dan vo olume distr ribusi, juga a tidak ber rbeda diant tara kedua dosis. Nam mun konse ntrasi plasm ma maksim mum (Cmax x ) lebih ting ggi pada do osis sekali s sehari sedan ngkan

  

thro ough nevirap pine concen ntration (C ) lebih rendah pad da rejimen s sekali

t trough

  seha ari (van He eeswijk, et al., 2000) . Hasil ini juga didu ukung oleh hasil pene elitian pada

  2NN study y (van Leth, et al., 2004 4)

Gambar 2.3 G Kurva me edian konse entrasi stea ady-state pla asma nevir rapine berdasark kan waktu pada 20 0 penderita a HIV se etelah

  pemberian n nevirapin ne 400mg sekali se ehari (ling karan hitam) da an 200mg dua kali se ehari (lingk karan putih h) van

  Heeswijk, , et al. (200 0)

  2.3.4 Parameter farmakokinetik nevirapine dan respon virologi

  Konsentrasi nevirapine yang terbaik untuk menghambat replikasi virus dan efek jangka panjang, tidak pernah diperhitungkan sebelumnya karena steady-state nevirapine secara in vitro (median 4000ng/mL) sangat jauh diatas konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat 50% replikasi mendapatkan adanya kaitan antara konsentrasi NVP dengan respon virologi. Namun hasil ini belum seragam diantara semua penelitian yang telah ada dan mungkin dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan (Cooper and van Heeswijk, 2007).

  INCA study menunjukkan hubungan positif diantara konsentrasi NVP

  dengan respon virologi (Veldkamp, et al., 2001). Pada penelitian tersebut, 51 penderita baru HIV diberikan terapi zidovudine, didanosine, dan nevirapine 200mg dua kali sehari. Penelitian ini membuktikan bahwa paparan NVP yang tinggi memiliki korelasi positif dan signifikan dengan tingkat bersihan HIV-RNA plasma pada 2 minggu pertama (inital response), serta tingkat keberhasilan setelah 52 minggu (long-term response).

  Konsentrasi treshold plasma nevirapine yang dianjurkan pada awal terapi dan jangka panjang adalah 3,5µg/mL. Hasil penelitian tentang farmakokinetik-farmakodinamik tersebut dapat memberikan gambaran tentang dampak negatif dari tingkat kepatuhan yang tidak baik terhadap konsentrasi obat dan respon virologi. (Cooper and van Heeswijk, 2007)

  2.3.5 Hubungan antara farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas

  Hubungan antara variabel farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas yang terjadi secara klinis telah banyak diteliti, baik pada dosis standar atau pada dosis nevirapine sekali sehari. Sebahagian besar penelitian tersebut tidak menemukan hubungan yang signifikan antara konsentrasi dan paparan nevirapine dengan perubahan kadar SGOT atau SGPT. Tetapi pada pasien yang mengalami peningkatan enzim hati, namun hal ini belum jelas apakah kadar nevirapine yang tinggi menyebabkan toksik atau peningkatan kadar nevirapine yang terjadi disebabkan oleh berkurangnya bersihan obat akibat kelainan fungsi hati yang telah terjadi sebelumnya. Satu studi yang menyimpulkan bahwa bersihan nevirapine berkurang sebesar 13,2% pada pasien-pasien dengan kadar SGOT>1,5 kali diatas nilai normal (de Matt, et all., 2002).

  Pemberian low-dose lead-in pada pasien baru dapat mencegah timbulnya ruam kulit. Satu studi membuktikan, peningkatan risiko terjadinya ruam kulit 2,3 kali lebih besar pada pasien yang memiliki kadar nevirapine diatas 5,3µg/mL (de Matt, et all., 2003). Penelitian lain yang membandingkan kadar nevirapine dalam darah pasien yang mendapat ruam dengan yang tidak setelah pemberian nevirapine dosis 200mg dua kali sehari, ternyata kadar obat dalam darah pasien yang mendapat ruam setelah pemberian sesuai dosis tersebut lebih tinggi secara signifikan dibanding yang tidak menderita ruam (Montaner, et al., 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Launary, et al.,(2004) mendapatkan hasil yang hampir sama, dimana kadar nevirapine plasma pasien yang mendapat ruam lebih tinggi dibanding dengan mereka yang tidak mendapat ruam, dengan rata-rata masing-masing 3,36 dan 3,48 µg/mL.

  Penelitian terbesar dan terbaru yang meneliti hubungan antara Farmakokinetik-farmakodinamik nevirapine yakni 2NN Study, tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara farmakokinetik nevirapine

2.3.6 Keamanan dan Efek Samping

  Efek samping obat yang paling sering dilaporkan berkaitan dengan pemberian NVP adalah ruam kulit, peningkatan enzim hati, demam, fatigue, sakit kepala, dan mual. Ruam merupakan efek samping yang paling umum pada penggunaan NVP (Ammassari, et al., 2002). Ruam yang diakibatkan oleh NVP biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Resiko untuk timbulnya ruam terutama dijumpai pada 6 minggu pertama terapi.

  Dari empat uji klinis dengan menggunakan NVP, insidens terjadinya ruam oleh berbagai sebab mencapai 35% pada grup NVP dan 19% pada grup kontrol; dari total insiden ruam yang timbul, 16% diantaranya disebabkan oleh NVP; total 6.5% mengalami ruam tingkat 3 dan 4 pada kelompok NVP dibandingkan dengan 1.3% pada kelompok kontrol (Gathe, et al., 2010). Dari 2861 pasien yang di terapi dengan NVP dari berbagai uji klinis, sembilan pasien mengalami Sindroma Steven-Jhonson (SJS), termasuk dua yang dilaporkan mengalami SJS/Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Zhang,

  ;

  et al., 1996 van Heeswijk, et al., 2000) Sampai saat ini belum dapat dibuktikan faktor predisposisi tertentu untuk terjadinya ruam pada pasien. Mekanisme NVP menyebabkan ruam juga masih belum diketahui pasti. Konsentrasi plasma, jenis kelamin, ras, obat-obat yang diberikan bersamaan, riwayat ruam, ataupun stadium penyakit tidak berkolerasi dengan terjadinya ruam. Berdasarkan analisa retrospektif, dosis NVP yang saat ini dianjurkan 200mg sekali sehari selama 2 minggu, selanjutnya 200mg dua kali sehari, menunjukkan lebih jarang diperingatkan untuk hati-hati terhadap efek samping obat ini karena dapat berpotensi serius (van Heeswijk, et al., 2000; Wit, 2000)

  Peningkatan enzim hati dan hepatotoksik imbas obat, pernah dilaporkan pada pasien yang sedang mendapat terapi NVP. Peningkatan

  

Isolated gammaglutamyl transpeptidase juga cukup sering dijumpai, namun

  hal ini tidak memiliki arti secara klinis, dan sering dikaitkan dengan auto induksi enzim-enzim hati pada metabolisme NVP. Dari suatu penelitian didapatkan, 9 dari 906 (1%) pasien yang mendapat

  controlled clinical trials

  terapi NVP jangka lama, mengalami hepatotoksik imbas obat (Pollard, et al., 1998; Harris, et al., 2008; Gathe, et al., 2010), dan terjadinya hepatitis berat juga pernah dilaporkan pada pasien yang diberi terapi NVP (Wit, 2002; Harris, et al., 2008). Data dari penelitian the blinded FTC-302 study, studi fase III yang membandingkan efikasi pemberian NRTI emtricitabine dengan lamivudine, dikobinasi dengan stavudine, dimana keseluruhan subjek distratifikasi berdasarkan kadar baseline viral load untuk diberi nevirapine atau efavirenz. Dari semua peserta, 87% merupakan kulit hitam, dan 59% diantaranya adalah wanita. Para peneliti mendapatkan insiden hepatotoksik grade 3 dan 4 yang lebih tinggi pada kelompok yang diberi NVP yaitu 58 dari 468 pasien(15%) dan dua kasus diantaranya fatal (Harris, et al., 2008). Secara umum, hepatitis muncul pada 8 minggu pertama terapi, pada saat terjadinya peningkatan konsentrasi NVP akibat peningkatan dosis dari 200 menjadi 400mg sehari pada hari ke-14 pengobatan. Secara statistik, kejadian hepatotoksik imbas obat lebih banyak dua kali lipat pada wanita. (Bennett,

  3

  pada wanita dengan jumlah CD4>250 sel/mm atau pria dengan jumlah

3 CD4>400 sel/mm untuk mengurangi resiko terjadinya hepatotoksik (Leith,

  et al., 2005; Harris, et al., 2008). Insiden terjadinya hepatotoksik meningkat seiring dengan durasi pemberian terapi yang lebih lama, dan adanya

  polymorphisms pada gen MDRI drug pump, P-glycoprotein. (Martinez, et

  al., 2001; Haas, 2005; Harris, et al., 2008) Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor risiko terjadinya hepatotoksik imbas obat, diperkirakan pasien dengan koinfeksi hepatitis C cenderung memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya hepatotoksik imbas obat bila diberikan terapi NVP (Martinez et al., 2001; Wit, 2002; Harris, et al., 2008).

2.3.7 Uji klinis dosis nevirapine pada manusia

  Dosis harian Nevirapine yang pernah diteliti pada pasien dewasa adalah 12.5, 50, 200, dan 400 mg. Dose-proportional effects terbaik ditemukan dengan pemberian dosis 400mg/hari. Dari studi terpisah untuk dosis 600mg dijumpai peningkatan toksisitas namun tidak disertai peningkatan keuntungan dan manfaatnya. Batasan utama untuk Dose- dilihat dari timbulnya ruam, dan peningkatan enzim hati.

  limiting toxicity

  Oleh karena itu, dosis 400mg sehari dipilih untuk pengembangan klinis. (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Harris, et al., 2008; Parienti and Peytavin, 2011)

   Uji klinis pemberian Nevirapine sekali sehari dan Penyederhanaan dosis

  Dalam konteks untuk penyederhanaan rejimen pengobatan dan meningkatkan kepatuhan berobat, pengembangan dosis obat sekali sehari semakin menarik perhatian dan atensi para peneliti demi meningkatkan keberhasilan pengobatan pasien-pasien HIV/AIDS.

  Ada empat jenis ARV yang sudah diakui di Eropa dan Amerika serikat untuk diberikan sekali-sehari sebagai kombinasi pengobatan HIV, yaitu lamivudine, didanosine, tenofovir, dan efavirenz, sementara nevirapine masih dalam tahap penelitian (Ena and Pasquau, 2003)

  Saat ini dosis pemberian nevirapine adalah 200mg dua kali sehari, tetapi karena nevirapine memiliki waktu paruh plasma pada kadar steady

  state plasma yang panjang (25-30 jam), nevirapine menjadi kandidat yang

  layak dikembangkan untuk pemberian sekali sehari (Ena and Pasquau, 2003; Post, et al., 2010)

Tabel 2.6. ARV yang telah disetujui sekali sehari (Ena and Pasquau,

  2003) FDA-approved agents Investigational agents Efavirenz Emtricitabine (FTC) Didanosine, enteric coated Stavudine, extended release Tenofovir Atazanavir Lamivudine T-1249 Amprenavir/ritonavir

  a Nevirapine a

  Abacavir

  Lopinavir/ritonavira

  a a Boosted PIs Under evaluation for once-daily use.

  2.3.8.1

   2NN study (van Leth, et al., 2004)

  merupakan multicentre, open-label, randomised trial,

  2NN study

  yang membandingkan efikasi pemberian NNRTI nevirapine and efavirenz, pada 1216 penderita HIV/AIDS baru. Pada penelitian tersebut, seluruh pasien dibagi ke dalam empat kelompok terapi secara acak; (1) nevirapine 400mg sekali sehari, (2) nevirapine 200mg dua kali sehari, (3) efavirenz 600mg sekali sehari, atau (4) nevirapine 400mg sekali sehari ditambah efavirenz 800mg sekali sehari; dan semua kelompok mendapat kombinasi terapi dengan stavudine (40mg dua kali sehari) dan lamivudine (150mg dua kali sehari) selama 48 minggu. Pada masing-masing kelompok studi, pemberian NVP diawali dengan dosis 200mg sekali sehari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan eskalasi dosis 400mg sehari.

  Dari analisis terhadap efikasi primer (kegagalan virologi, progresi penyakit, dan perubahan terapi), didapatkan proporsi kegagalan terapi sebesar 43,6% pada kelompok sekali sehari dan 43,7% pada kelompok dua kali sehari pada minggu ke-48 atau sebelumnya.

  Khusus untuk kegagalan virologi, angka kegagalan pada kelompok dua kali sehari (18.9%) lebih tinggi dibanding dengan kelompok sekali sehari (11.4%) (p=0.016). Proporsi pasien dengan konsentrasi HIV-1 RNA plasma <50 kopi/mL pada minggu ke-48 terapi sebanding pada kedua kelompok (70% pada kelompok sekali sehari dan 65.4% pada kelompok dua kali sehari) Efek samping klinis dan laboratorium pada kedua kelompok terapi juga sebanding. Hepatitis grade 3 dan 4 pada kelompok NVP sekali sehari dijumpai sebesar 1.4% sementara pada kelompok dua kali sehari dijumpai masing-masing 4.2 dan 3.4%. Namun peningkatan kadar enzim hati yang abnormal lebih banyak dijumpai pada pasien yang mendapat nevirapine sekali sehari (13.6% pada kelompok sekali sehari dan 8.3% pada kelompok dua kali sehari)

  Dengan hasil tersebut, studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kegagalan terapi yang signifikan diantara rejimen yang dipakai. Nevirapine sekali sehari memiliki efikasi dan keamanan yang sama dengan nevirapine dua kali sehari sehingga dapat dijadikan pilihan untuk penyederhanaan dosis.

2.3.8.2 Spanish scan study (Garcia, et al., 2000)

  Penelitian ini dilakukan terhadap 94 penderita baru HIV yang dibagi dalam dua kelompok secara random. Kelompok pertama terdiri dari 47 pasien, yang diberikan nevirapine 400mg dan didanosine 400mg sekali sehari, dan kelompok kedua dengan jumlah pasien yang sama diberikan nevirapine 200mg dua kali sehari dan didanosine 200mg dua kali sehari. Kombinasi ARV yang ketiga diberikan adalah stavudine 40mg dua kali sehari untuk kedua kelompok studi. Pada awal penelitian, kedua kelompok diberikan dosis nevirapine yang sama, yaitu 200mg sekali sehari selama dua minggu.

  Untuk menilai efikasi dan keamanan pengobatan dilakukan dengan melihat perbandingan respon imun dan respon virologi setelah 80 minggu pemberian obat. Setelah 12 bulan pengobatan, pencapaian target viral load 73% pada kelompok yang mendapat nevirapine sekali sehari, dan 68% pada kelompok nevirapine dua kali sehari (intent-to-treat analysis).

  Tidak ada perbedaan efek samping obat secara keseluruhan yang bermakna diantara kedua kelompok studi. Empat pasien (8.5%) dari kelompok pertama (dua orang mengalami demam dan ruam kulit, satu pasien mengalami pankreatitis, dan satu pasien lagi karena lipodistrofi), serta tiga pasien (6.4%) dari kelompok kedua (semua karena ruam kulit dan demam), dikeluarkan dari penelitian dan dilakukan penggantian rejimen ARV. Sementara efek samping obat berupa hepatitis, dijumpai pada empat orang di kelompok kedua, pada kelompok pertama yang mendapat nevirapine sekali sehari tidak ada didapatkan hepatitis.

  Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan nevirapine sebagai kombinasi ARV yang aman dan dapat ditoleransi dengan baik seperti dosis standard, serta memiliki efektifitas yang sama dalam hal supresi viral load dan meningkatkan kadar CD4.

2.3.8.3 VIRGO Study (Raffi, et al., 2000)

  VIRGO Study merupakan suatu penelitian nonrandomized, dengan

  rejimen ARV yang diberikan adalah didanosine 400mg sekali sehari, stavudine 40mg dua kali sehari, dikombinasi dengan nevirapine 200mg dua kali sehari atau 400mg sekali sehari terhadap penderita HIV baru.

  Kelompok pertama sebanyak 60 pasien pertama diberikan nevirapine dua kali sehari, dan kelompok kedua sebanyak 40 pasien berikutnya diberikan nevirapine sekali sehari. Meskipun berbeda dalam jumlah sampel, namun umur 37 tahun, rerata berat badan 66kg, rerata CD4 432sel/

  ɥL), namun pasien dengan viral load >100.000copy/mL lebih banyak pada kelompok pertama, sehingga perbedaan ini dapat menimbulkan bias pada pemeriksaan respon virologi.

  Setelah pemberian obat selama 24 minggu, persentase pasien yang mencapai plasma viral load <50copy/mL untuk kedua kelompok masing- masing 55 dan 67% dan perbedaan ini tidak signifikan. Efek samping yang terjadi juga tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok studi. Ada enam orang pasien yang dikeluarkan dari penelitian pada masing-masing kelompok karena intoleransi obat (delapan pasien menderita ruam kulit, dan empat orang mengalami peningkatan kadar transaminase). Ruam kulit akibat pemberian obat pada kelompok pertama sebanyak 24% sementara pada kelompok kedua sebanyak 23%. Ruam kulit ini umumnya terjadi pada pasien yang tidak patuh terhadap aturan pemberian dose escalation pada minggu awal pengobatan. Secara persentase, 78% pasien yang tidak patuh mengalami ruam kulit, berbanding dengan 19% pada kelompok pasien yang patuh dengan dose escalation.

  VIRGO studi mendukung pemakaian nevirapine sekali sehari sebagai kombinasi ARV yang poten, ditoreansi dengan baik, mudah dan nyaman diaplikasikan.

2.3.8.4 Penelitian Negredo, et al. (2004)

  Penelitian Negrodo ini melihat efikasi dan keamanan perubahan ARV dengan kombinasi nevirapine 400mg sekali sehari, didanosine 400mg dan tenofovir 300mg. Sebanyak 169 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 85 diantaranya diganti dengan rejimen penelitian, dan sisanya tetap melanjutkan rejimen ARV awal sebagai kelompok pembanding.

  Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan perbandingan plasma

  viral load sebelum dan sesudah dilakukan perubahan rejimen obat pada

  kedua kelompok penelitian. Pada kelompok nevirapine sekali sehari, 65 dari 85 pasien (76%) dijumpai kadar plasma viral load tetap rendah <50 kopi/mL; sementara pada kelompok kedua yang tetap melanjutkan rejimen ARV, 72 dari 84 pasien (86%); hasil ini tidak berbeda bermakna (P=0.176). Efek samping lebih banyak dijumpai pada kelompok pasien yang dilakukan penggantian obat sesuai rejimen penelitian yaitu, 12 pasien (14.1%) berbanding 3 pasien (3.6%). Dari keseluruhan efek samping yang dijumpai, hepatitis sebanyak 5 pasien, pankreatitis akut 2 pasien, ruam kulit 2 pasien, xerostomia 2 pasien dan neruopaty perifer 1 pasien.

  Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan penilaian kepatuhan berobat diantara kedua kelompok studi, dan dijumpai perbedaan yang signifikan. Kepatuhan berobat pada kelompok pertama dengan rejimen penelitian sebesar 97% sementara pada kepatuhan berobat pada kelompok kedua yang meneruskan rejimen dua kali sehari hanya 69.2%.

  Data yang diperoleh dari hasil penelitian Negredo ini menunjukkan, keuntungan yang dapat diperoleh seiring dengan peningkatan kepatuhan terjadi.

  2.3.8.5 NODy Study (Podzamczer, et al., 2008)

  Penelitian ini membandingkan efikasi, hepatotoksik dan keamanan perubahan rejimen pemberian nevirapine dua kali sehari menjadi sekali sehari pada penderita HIV-1, dengan menggunakan metode randomized,

  open label, multi centre selama 12 bulan yang dilakukan di Spanyol. Total

  sebanyak 298 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 143 pasien diantaranya mendapat rejimen nevirapine sekali sehari.

  Hasil yang didapatkan, virological success rates dan kejadian hepatotoksik grade 3-4 dijumpai sama diantara kedua kelompok studi. Ko- infeksi hepatitis C dan peningkatan SGPT dari nilai awal tidak berkaitan dengan kejadian hepatotoksisitas pada penelitian ini. Peneliti menyimpulkan penggantian rejimen pengobatan menjadi nevirapine sekali sehari tetap aman karena insiden hepatotoksik yang rendah, dan rejimen tersebut masih efektif karena supresi virus dapat tetap dipertahankan.

  2.3.8.6 DAUFIN Study (Rey, et al., 2009) DAUFIN study, suatu randomized, open-label, non-inferiority trial,

  membandingkan zidovudine 300mg/lamivudine 150mg ditambah nevirapine 200mg dua kali sehari, dengan lamivudine 300mg tenofovir 245mg dan nevirapine 400mg sekali sehari. Sebanyak 70 pasien HIV-naif dengan CD4<350 sel/mm

  3 disertakan dalam penelitian ini.

  Penelitian ini dihentikan setelah dijumpai adanya early virological

  failure pada 8/36 (22,2%) serta insiden mutasi-resistensi terhadap NNRTI

  Kelemahan penelitian ini antara lain jenis obat yg diberikan berbeda, tingkat kepatuhan berobat terendah dari study Randomized Trial sejenis (79% vs 59%), jumlah Sampel Sedikit, median kadar VL dan CD4 lebih tinggi pada kelompok sekali sehari, kadar NVP plasma tidak dibandingkan antara yg gagal dan berhasil, data yang dipublikasikan tidak lengkap. Berdasarkan jenis mutasi yg terjadi maka kemungkinan penyebab utama resistensi adalah kadar nevirapine yang suboptimal.

2.3.9 Hubungan Frekuensi Minum Obat, Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi

  Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah yang serius bagi pasien- pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Srivastava, et al., 2013). Berdasarkan Internatiotal Society for

  Pharmacoeconomics and outcomes Research

  (ISPOR), kepatuhan berobat (medication compilance/adherence) didefinisikan sebagai penyesuaian diri terhadap rekomendasi yang dibuat oleh pemberi obat dengan memperhatikan waktu, dosis, dan frekuensi minum obat (Cramer, et al., 2008). Dengan tingkat kepatuhan berobat yang rendah, tingkat kegagalan pengobatan jangka pendek dapat meningkat melebihi 50% pada seluruh kasus (Srivastava, et al.,

  2013). Masalah kepatuhan berobat ini sering dijumpai pada pasien-pasien HIV/AIDS (Carrieri, et al., 2006). Berdasarkan data yang pernah dipublikasi hingga tahun 2006, didapatkan bahwa pengurangan dosis dan frekuensi minum obat dalam sehari dapat memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap kebiasaan dan kepatuhan berobat (Srivastava, et al., 2013). antiretroviral akan meningkatkan risiko terjadinya supresi virologis yang tidak optimal, perburukan penyakit dan kematian (Parienti, et al., 2009).

  

Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua

dosis tidak boleh terlupakan (

  Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk mencapai tingkat kepatuhan berobat yang optimal, pemberian dosis sekali sehari merupakan pilihan yang paling tepat (Parienti, et al., 2007).

  Meta-analisis terhadap tiga penelitian tentang kepatuhan berobat penderita HIV, didapatkan bahwa tingkat kepatuhan berobat dari pasien- pasien yang diberikan rejimen terapi antiretroviral sekali sehari lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pasien yang mendapat rejimen pengobatan

  2

  dua kali sehari (OR 3.48, 95%CI 1.32-9.17, p=0.012, I 64.4%) (Parienti, et al., 2009; Srivastava, et al., 2013).

Dokumen yang terkait

Perbandingan Efektifitas Rejimen Pengobatan Pasien HIV/AIDS yang Mengandung Kombinasi Zidovudin, Lamivudin, Efavirenz dengan Tenofovir, Lamivudin, Efavirenz

2 62 96

Perbandingan Efektifitas dan Keamanan Pemberian Nevirapine Dosis Tunggal dan Dosis Terbagi Sebagai Kombinasi Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS

1 35 105

Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazol Selama 2 dan 3 Hari pada Trichuris trichiura pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 39 77

Respons Pertumbuhan dan Produksi Ubi Jalar Terhadap Pemberian Berbagai Kombinasi Dosis Pupuk Organik dan Anorganik.

7 45 72

Perbandingan Masa Protrombin Setelah Pemberian Vitamin K Dosis Multipel Oral Dengan Dosis Tunggal Intramuskuler Pada Bayi Aterm

2 52 55

Efek Ekstrak Buah Pare (Momordica charantia) dan Metformin terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar yang Diinduksi Aloksan: Perbandingan Terapi Kombinasi dan Terapi Tunggal

2 17 4

Efek Pemberian Parasetamol Dosis Terapi terhadap Perubahan Kadar Enzim Transaminase

0 3 16

Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 3-6 dan Sabun Sulfur 10% Dengan Salep 3-6 Tunggal Sebagai Pengobatan Skabies. 2012

0 40 75

Perbandingan Pemberian Vitamin K Dosis Tunggal Intramuskular pada Bayi Prematur dan Aterm Terhadap Masa Protrombin

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 10