Perbandingan Efektifitas dan Keamanan Pemberian Nevirapine Dosis Tunggal dan Dosis Terbagi Sebagai Kombinasi Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS

(1)

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN PEMBERIAN

NEVIRAPINE DOSIS TUNGGAL DAN

DOSIS TERBAGI SEBAGAI KOMBINASI TERAPI

ANTIRETROVIRAL PADA PASIEN HIV/AIDS

TESIS

Oleh

SENIOR TAWARTA PERANGINANGIN

NIM: 087101018

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN PEMBERIAN

NEVIRAPINE DOSIS TUNGGAL DAN

DOSIS TERBAGI SEBAGAI KOMBINASI TERAPI

ANTIRETROVIRAL PADA PASIEN HIV/AIDS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister

Kedokteran Klinik dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam dalam

Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Oleh

SENIOR TAWARTA PERANGINANGIN

NIM: 087101018

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN PEMBERIAN NEVIRAPINE DOSIS TUNGGAL DAN DOSIS TERBAGI SEBAGAI KOMBINASI TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA PASIEN HIV/AIDS

Nama Mahasiswa : Senior Tawarta Peranginangin

NIM : 087101018

Program Studi Konsentrasi

: Magister Kedokteran Klinik : Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui, Komisi Pembimbing

dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI dr. Fransciscus Ginting, SpPD

Ketua Anggota

Sekretaris Program Studi Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP (K) Tanggal Lulus : 31 Desember 2013


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Senior Tawarta Peranginangin NIM : 087101018


(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Senior Tawarta Peranginangin

NIM : 087101018

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas tesis saya yang berjudul:

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN PEMBERIAN

NEVIRAPINE DOSIS TUNGGAL DAN DOSIS TERBAGI SEBAGAI

KOMBINASI TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA PASIEN HIV/AIDS

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 31 Desember 2013

Yang menyatakan,


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Desember 2013

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH Anggota :

1. DR.Dr. Rustam Efefendi Y.S., SpPD-KGEH 2. DR.Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR 3. Dr. Zuhrial Zubir, SpPD-KAI


(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan kasih setia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis pada Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakltas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Selama mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk tesis ini, penulis telah mendapat banyak bimbingan, petunjuk, bantuan, arahan, serta dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih hormat yang tiada terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH dan Dr.Refli Hasan, SpPD,SpJP (K), selaku Kepala Departemen dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

2. Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.

3. (alm) Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH, dan DR. Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD selaku mantan Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK-USU saat penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis. Terima kasih atas kesempatan, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan.

4. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI dan Dr. Fransciscus Ginting, Sp.PD selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak


(9)

meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan.

5. Para Guru Besar : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM, Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K), Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI, SpMK, Prof. Dr. OK. Moehadsyah, SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid, SpPD-KKV, AIF, Prof. Dr. Azmi S. Kar, SpPD-KHOM, Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K), Prof. Dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, para guru penulis : Dr. Salli Roseffi Nasution, Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH, SpPD-KGH, (alm) Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH, (alm) Dr. R. Tunggul Ch. Sukendar, SpPD-KGH, Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP(K), Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP, DR. Dr. Dharma Lindarto, KEMD, Dr. Mardianto, KEMD, Dr. Santi Syafril, KEMD, DR. Dr. Rustam Effendi Y.S., SpPD-KGEH, Dr. Sri Maryuni Sutadi, SpPD-SpPD-KGEH, (alm) Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH, Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH, DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH, Dr. Leonardo Basa Dairi, SpPD-KGEH, Dr. Dasril Effendi, SpPD-KGEH, Dr. Dairion Gatot, SpPD-KHOM, Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI, DR. Dr. Umar Zein, SpPD-KPTI, DTM&H, Dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI, Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP, Dr. E.N. Keliat, SpPD-KP, Dr. Zuhrial Zubir, SpPD-KAI, Dr. Pirma Siburian, SpPD-KGer, DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR, Dr. Tambar Kembaren, SpPD, Dr. Sugiarto Gani, SpPD, Dr. Savita Handayani, SpPD, Dr. Deske Muhadi, SpPD, Dr.Anita Rosari Dalimunthe, SpPD, Dr.Alwi Thamrin, SpPD, Dr.Radar Radius Tarigan, SpPD, Dr.Syafrizal Nasution SpPD, Dr.Endang Sembiring, SpPD, Dr.Henny Syahrini Lubis, SpPD, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.


(10)

7. Direktur dan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP-PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Dr Putri C Eyanoer, Ms.Epi selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan tesis ini.

10. Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI, DR. Dr Umar Zein, SpPD-KPTI yang bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, serta kepada yang telah membantu membuka jalan bagi penulis untuk menjadi bagian dari keluarga besar Ilmu Penyakit Dalam.

11. Seluruh perawat PUSYANSUS Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, tanpa bantuan mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

12. Teman-teman seangkatan penulis yang memberikan dorongan semangat : Dr. Yudi Andre Marpaung, Sp.PD, Dr. Siti Taqwa F. Lubis, SpPD, Dr. Dika Iyona Sinulingga, Dr. Lisa Yulianti, Dr. Rahmat Suhita Wahyu, Dr. Yuswita Santi Siregar, Dr. Raden Arief Banu Pradipta, Dr. Hendrik Sarumpaet, dan Dr. Aini Pertiwi, serta seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah memberikan banyak dukungan dengan persahabatan dan kerja sama dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

13. Seluruh perawat/paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama ini. 14. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis

ini dapat terwujud.

15. Bapak Syarifuddin Abdullah, Kak Lely Husna Nasution, Deni, Yanti, Wanti, Tanti, Erjan Ginting, Fitri, Ita dan seluruh pegawai administrasi Departemen


(11)

Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan tugas pendidikan.

Sembah sujud dan terimakasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orangtua penulis tercinta, Ayahanda Dr.Mission Peranginangin dan Ibunda Kasta Jenny br Tarigan, atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tanpa henti, memberikan dukungan moril dan materil, serta mendorong penulis dalam berjuang menapaki hidup dan mencapai cita-cita. Tak akan pernah bisa penulis membalas jasa-jasa Ayahanda dan Ibunda. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kesehatan, kekuatan, dan umur yang berkah bagi ayahanda dan ibunda penulis. Amin.

Terima kasih sebesar-besarnya kepada saudari kandung penulis, Siska Apulina br Peranginangin, Spd dan Sylvia Suzanna br Peranginangin, serta segenap keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan moril, semangat dan doa tanpa pamrih selama pendidikan, sehingga penulis dapat sampai di titik ini, yang tak lain merupakan pencapaian keluarga besar yang dicita-citakan bersama.

Rasa terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga bapak dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI beserta ibu Diana Ernawaty br Kaban, serta teman sejawat dr. Epifania Yoan Theresa br Ginting Jawak yang telah banyak berjasa memberikan arahan dan bantuan kepada penulis selama masa pendidikan, hanya doa yang dapat penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, agar senantiasa diberi sukacita, kesehatan dan umur yang berkah, dan semoga kemurahan hati serta kebaikan yang telah bapak dan ibu serta keluarga besar berikan kepada penulis akan terbalaskan berlipat ganda.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini. Izinkanlah penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang terkait atas segala kekurangan dan kesalahan selama penulis mengikuti Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam dan dalam penulisan tesis ini.


(12)

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat.

Medan, Desember 2013


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel... x

Daftar Gambar... xi

Daftar Singkatan dan Lambang... xii

Daftar Lampiran... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Hipotesa... 3

1.4 Tujuan Penelitian... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 1.6 Kerangka Konseptual... 4 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS………... 5

2.1.1Patogenesis Infeksi dan Siklus Hidup HIV... 6

2.1.2 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS.…... 7 2.1.3 Tatalaksana Pemberian ART...

2.1.4 Pemantauan Klinis dan Laboratorium selama Terapi ART Lini Pertama ... 2.2 Antiretroviral... 2.2.1 Reverse Transcriptase Inhibitor... 2.2.1.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor...

8 9 10 11 11 2.2.1.2 Non-Nucleoside Reverse Transcripatse Inhibitor...

2.2.1.3Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitor... 2.2.2 Protease Inhibitor... 2.2.3 Fusion atau Inhibisi Entry... 2.3 Nevirapine... 2.3.1 Farmakodinamik... 2.3.2 Farmakokinetik dan Metabolisme... 2.3.3 Farmakokinetik Nevirapine Sekali Sehari dan Dua

Kali Sehari... 2.3.4 Parameter Farmakokinetik Nevirapine dan Respon

Virologi... 2.3.5 Hubungan Antara Farmakokinetik Nevirapine

Dengan Toksisitas... 2.3.6 Keamanan dan Efek Samping... 2.3.7 Uji Klinis Dosis Nevirapine Pada Manusia... 2.3.8 Uji Klinis Pemberian Nevirapine Sekali Sehari dan

Penyederhanaan Dosis... 2.3.8.1 2NN Study... 2.3.8.2 Spanish Scan Study... 2.3.8.3 VIRGO Study...

11 11 12 12 12 14 15 17 18 19 20 23 24 25 26 27


(14)

2.3.8.6 NODy Study... 2.3.8.6 DAUFINStudy... 2.3.9 Hubungan frekuensi minum obat, tingkat kepatuhan

dan keberhasilan terapi...

30 31 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian... 33

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 33

3.3 Populasi, Sampel, dan Besar Sampel... 33

3.4 Kriteria Inklusi... 34

3.5 Kriteria Eksklusi... 34

3.6 Definisi Operasional... 34

3.7 Teknik Pengelompokan Pasien Penelitian... 3.8 Rejimen Pengobatan... 3.9 Teknik Pengumpulan Data... 36 36 37 3.10 Kerangka Kerja... 38

3.11 Analisa Data...…………... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien Secara Umum... 4.2 Karakteristik Dasar Kelompok Penelitian... 40 42 4.3 Efektifitas... 4.3.1 Parameter Imunologi... 4.2.2 Parameter Klinis... 4.4 Efek Samping... 43 43 45 49 BAB V PEMBAHASAN... 50

BAB VI KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan... 6.2 Saran... 56

56

DAFTAR KEPUSTAKAAN... 57


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO... 8

2.2 Paduan ARV sebagai lini pertama... 9

2.3 ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors... 11

2.4 Obat Protease Inhibitor 12 2.5 Median kadar steady-state plasma parameter farmakokinetik nevirapine dalam dosis 400mg sekali sehari dan 200mg dua kali sehari pada penderita HIV... 15

2.6 ARV yang telah disetujui sekali sehari... 24

4.1 Distribusi karakteristik pasien secara keseluruhan... 40

4.2 Karakteristik dasar pasien masing-masing kelompok... 42

4.3 Perbandingan jumlah pasien yang memenuhi kriteria efektif pada kedua kelompok... 44

4.4 Perbandingan kadar CD4 sebelum dan sesudah terapi... 45

4.5 Perbandingan rerata peningkatan kadar CD4 setelah terapi... 45

4.6 Perbaikan gejala klinis setelah intervensi terapi antiretroviral... 46

4.7 Perubahan berat badan pasien pada akhir penelitian... 47

4.8 Perbandingan berat badan sebelum dan sesudah terapi... 47

4.9 Perbandingan rerata peningkatan berat badan setelah terapi... 48

4.10 Data 5 orang pasien yang mengalami penurunan berat badan pada akhir penelitian... 48


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Siklus Hidup dan Patogenesis HIV dan target ARV... 7

2.2 Struktur kimia nevirapine... 13 2.3 Kurva median konsentrasi steady-state plasma nevirapine

berdasarkan waktu pada 20 penderita HIV setelah pemberian

nevirapine 400mg sekali sehari dan 200mg dua kali sehari... 18 4.1 Grafik kadar CD4 kelompok dosis tunggal sebelum terapi

dan sesudah terapi... 43 4.2 Grafik kadar CD4 kelompok dosis terbagi sebelum terapi


(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian pertama kali

pada halaman HIV Human Immunodeficiency Virus i AIDS Acquired immunodeficiency syndrome i

ARV Anti retroviral i

SGOT Serum glutamic oxaloacetic transaminase

i SGPT Serum glutamic-pyruvic transaminase i

CD4 Cluster Designation4 i

WHO World Health Organization i NNRTI Non-nucleoside reverse transcriptase

inhibitor

1

NVP Nevirapine 1

NRTI Nucleoside reverse transcriptase inhibitors

1

ODHA Orang dengan HIV dan AIDS 5

NAPZA Narkotika, psikotropika, dan zat aditif 5

RNA Ribonucleic acid 6

DNA Deoxyribonucleic acid

RT Reverse transciptase 6

VL Viral load 7

CDC Centeres for Disease Control and Prevention

7 NtRTI Nukleotide Reverse Transcriptase

Inhibitors

11

PI Protease Inhibitor 12

gp glycoprotein 12

CYP450 Cytochrome P 450 13

IC50 Iinhibitory concentration 50 14

CSF Cerebral spinal fluid 15


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Lembar persetujuan komisi etik penelitian... 61

2 Lembaran penjelasan kepada calon subjek penelitian... 62

3 Surat persetujuan setelah penjelasan... 63

4 Lembar kerja profil peserta penelitian... 64 5

6 7

Daftar riwayat hidup... Master tabel... Analisa statistik ………….………...

65 70 76


(19)

ABSTRACT

Comparison the effectiveness and safety of single-dose and split-dose

of nevirapine as antiretroviral combination therapy in patients with

HIV/AIDS

Senior Tawarta Peranginangin, Fransciscus Ginting, Yosia Ginting Division of Tropical and Infectious Diseases

Department of Internal Medicine Medical Faculty, University of Sumatera Utara

Introduction: Antiretroviral treatment administration once a day has a few influence toward the life style, and easy to remember so it will improve treatment compliance. Nowadays, administration of nevirapine regimen in Indonesia is still with split dose (2x200mg). Previous study showed that the single-dose of nevirapine (1x400mg) had the same effectivity and safety with the standard dose.

Aim : Assessing the effectiveness and safety of single-dose and split-dose of nevirapine as antiretroviral combination therapy in patients with HIV/AIDS

Methods : The study is designed by quasi experimental methode that involved new 42 HIV/AIDS patients who are devided into single-dose group and split-dose group. The examination of CD4 and liver function test were done before and after study.

Results : From 42 samples, 20 male (47.61%) and 35 female (52.4%) with mean age 34.14±7.14 years, and 37 (88.1%) married-patients. All of them have a same risk factor, heterosexual. Mean CD4 plasma concentration was 119.6±109.2cell/mm3. Mean liver function tests were at normal range, SGOT 28.6±14.29U/L, SGPT 28.38±18.13U/L, total bilirubin 0.43±0.19mg/dl, direct bilirubin 0.12±0.09md/dl. After treatment intervention for three months, there were significant increasment in CD4 plasma concentration for both groups (p<0.05). In single-dose group 118.8±104.0cell/mm3 became to 251.6±162.4cell/mm3 and split-dose group 120.4±116.7cell/mm3 became to 236.7±129.1cell/mm3. The mean elevation of CD4 for both groups showed unsignificant value (p>0.05). There was increasment of body weight and lysis of oppurtunistic infection after the treatment. No elevation levels of SGOT and SGPT which showed exceeding three times from the normal values, nor drug-induced hepatitis and skin rashes in both groups

Conclusion : The administration of nevirapine single-dose was as effective and safe as split-dose for antiretroviral combination


(20)

ABSTRAK

Perbandingan efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis

tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada

pasien HIV/AIDS

Senior Tawarta Peranginangin, Fransciscus Ginting, Yosia Ginting Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan : Pemberian terapi antiretroviral sekali sehari mudah diingat dan sedikit mempengaruhi gaya hidup, sehingga meningkatkan kepatuhan berobat. Di Indonesia pemberian nevirapine sebagai kombinasi terapi antiretroviral masih menggunakan dosis standard, yaitu dosis terbagi (2x200mg). Penelitian menunjukkan nevirapine dosis tunggal (1x400mg) sama efektif dan amannya dengan dosis standard.

Tujuan: Menilai efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada penderita HIV/AIDS

Metode : Penelitian dilakukan dengan metode quasi experimental terhadap 42 pasien yang baru didiagnosa HIV/AIDS yang dibagi ke dalam kelompok dosis tunggal dan dosis terbagi. Pemeriksaan CD4 dan fungsi hati dilakukan sebelum dan setelah pemberian terapi antiretroviral.

Hasil : Dari 42 pasien, 20 pria (47,6%) dan 22 wanita (52,4%) dengan rerata usia 34.14±7.14 tahun, dan 37 orang (88,1%) menikah. Semua pasien memiliki faktor resiko heteroseksual. Rerata kadar CD4 119.6±109.2sel/mm3. Rerata kadar fungsi hati dalam batas normal, yaitu SGOT 28.6±14.29U/L, SGPT 28.38±18.13U/L, bilirubin total 0.43±0.19mg/dl, bilirubin direk 0.12±0.09mg/dl. Setelah intervensi pengobatan selama tiga bulan, terjadi peningkatan kadar CD4 yang signifikan (p<0.05). Kadar CD4 pada kelompok dosis tunggal meningkat dari 118.8±104.0sel/mm3 menjadi 251.6±162.4sel/mm3, dan pada kelompok dosis terbagi meningkat dari 120.4±116.6sel/mm3 menjadi 236.7±129.1sel/mm3. Perbedaan rerata peningkatan CD4 pada kedua kelompok tidak signifikan (p>0.05). Dijumpai peningkatan rerata berat badan dan hilangnya infeksi opurtunistik setelah pemberian terapi antiretroviral selama tiga bulan. Tidak ada peningkatan kadar SGOT dan SGPT melebihi tiga kali nilai normal atau hepatitis imbas obat dan ruam kulit ringan dan berat pada kedua kelompok. Kesimpulan : Pemberian Niverapine dosis tunggal sama efektif dan amannya dibanding dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral


(21)

ABSTRACT

Comparison the effectiveness and safety of single-dose and split-dose

of nevirapine as antiretroviral combination therapy in patients with

HIV/AIDS

Senior Tawarta Peranginangin, Fransciscus Ginting, Yosia Ginting Division of Tropical and Infectious Diseases

Department of Internal Medicine Medical Faculty, University of Sumatera Utara

Introduction: Antiretroviral treatment administration once a day has a few influence toward the life style, and easy to remember so it will improve treatment compliance. Nowadays, administration of nevirapine regimen in Indonesia is still with split dose (2x200mg). Previous study showed that the single-dose of nevirapine (1x400mg) had the same effectivity and safety with the standard dose.

Aim : Assessing the effectiveness and safety of single-dose and split-dose of nevirapine as antiretroviral combination therapy in patients with HIV/AIDS

Methods : The study is designed by quasi experimental methode that involved new 42 HIV/AIDS patients who are devided into single-dose group and split-dose group. The examination of CD4 and liver function test were done before and after study.

Results : From 42 samples, 20 male (47.61%) and 35 female (52.4%) with mean age 34.14±7.14 years, and 37 (88.1%) married-patients. All of them have a same risk factor, heterosexual. Mean CD4 plasma concentration was 119.6±109.2cell/mm3. Mean liver function tests were at normal range, SGOT 28.6±14.29U/L, SGPT 28.38±18.13U/L, total bilirubin 0.43±0.19mg/dl, direct bilirubin 0.12±0.09md/dl. After treatment intervention for three months, there were significant increasment in CD4 plasma concentration for both groups (p<0.05). In single-dose group 118.8±104.0cell/mm3 became to 251.6±162.4cell/mm3 and split-dose group 120.4±116.7cell/mm3 became to 236.7±129.1cell/mm3. The mean elevation of CD4 for both groups showed unsignificant value (p>0.05). There was increasment of body weight and lysis of oppurtunistic infection after the treatment. No elevation levels of SGOT and SGPT which showed exceeding three times from the normal values, nor drug-induced hepatitis and skin rashes in both groups

Conclusion : The administration of nevirapine single-dose was as effective and safe as split-dose for antiretroviral combination


(22)

ABSTRAK

Perbandingan efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis

tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada

pasien HIV/AIDS

Senior Tawarta Peranginangin, Fransciscus Ginting, Yosia Ginting Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan : Pemberian terapi antiretroviral sekali sehari mudah diingat dan sedikit mempengaruhi gaya hidup, sehingga meningkatkan kepatuhan berobat. Di Indonesia pemberian nevirapine sebagai kombinasi terapi antiretroviral masih menggunakan dosis standard, yaitu dosis terbagi (2x200mg). Penelitian menunjukkan nevirapine dosis tunggal (1x400mg) sama efektif dan amannya dengan dosis standard.

Tujuan: Menilai efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada penderita HIV/AIDS

Metode : Penelitian dilakukan dengan metode quasi experimental terhadap 42 pasien yang baru didiagnosa HIV/AIDS yang dibagi ke dalam kelompok dosis tunggal dan dosis terbagi. Pemeriksaan CD4 dan fungsi hati dilakukan sebelum dan setelah pemberian terapi antiretroviral.

Hasil : Dari 42 pasien, 20 pria (47,6%) dan 22 wanita (52,4%) dengan rerata usia 34.14±7.14 tahun, dan 37 orang (88,1%) menikah. Semua pasien memiliki faktor resiko heteroseksual. Rerata kadar CD4 119.6±109.2sel/mm3. Rerata kadar fungsi hati dalam batas normal, yaitu SGOT 28.6±14.29U/L, SGPT 28.38±18.13U/L, bilirubin total 0.43±0.19mg/dl, bilirubin direk 0.12±0.09mg/dl. Setelah intervensi pengobatan selama tiga bulan, terjadi peningkatan kadar CD4 yang signifikan (p<0.05). Kadar CD4 pada kelompok dosis tunggal meningkat dari 118.8±104.0sel/mm3 menjadi 251.6±162.4sel/mm3, dan pada kelompok dosis terbagi meningkat dari 120.4±116.6sel/mm3 menjadi 236.7±129.1sel/mm3. Perbedaan rerata peningkatan CD4 pada kedua kelompok tidak signifikan (p>0.05). Dijumpai peningkatan rerata berat badan dan hilangnya infeksi opurtunistik setelah pemberian terapi antiretroviral selama tiga bulan. Tidak ada peningkatan kadar SGOT dan SGPT melebihi tiga kali nilai normal atau hepatitis imbas obat dan ruam kulit ringan dan berat pada kedua kelompok. Kesimpulan : Pemberian Niverapine dosis tunggal sama efektif dan amannya dibanding dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pemberian terapi antiretroviral diharapkan dapat menekan replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga kadar yang tidak terdeteksi, bersamaan dengan itu akan meningkatkan kadar lymphocyte cluster designation4 (CD4) serta memperbaiki sistem imun (DeJesus, et al., 2004). Terapi antiretroviral diberikan pada semua penderita HIV dengan kadar CD4 ≤350sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya, serta semua pasien HIV dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2011).Berdasarkan rekomendasi World Health Organization (WHO), lini pertama pengobatan yang direkomendasikan adalah kombinasi antara non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) misalnya nevirapine (NVP) atau efavirenz, dengan dua jenis golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) misalnya lamivudine atau tenofovir. (Rey, et al., 2009; WHO, 2010)

Saat ini atensi pengembangan terapi HIV semakin tertuju untuk mendapatkan rejimen terapi antiretroviral yang poten, dapat ditoleransi dengan baik, sederhana, dan mudah diaplikasikan oleh pasien, dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan (Post, et al., 2010) untuk meningkatkan keberhasilan terapi seumur hidup. (Frank, 2002; Ena and Pasquau, 2003; Rey et al., 2009)


(24)

Untuk mencapai supresi virologi yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terhadap terapi antiretroviral yang sangat tinggi. Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah paduan terapi antiretroviral, yang meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan, jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik dan efek samping obat (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Pasien yang memiliki gaya hidup yang sangat sibuk atau yang membutuhkan bantuan petugas pegawas pengobatan, pemberian terapi antiretroviral sekali sehari akan meningkatkan kepatuhan berobat karena mudah untuk diingat dan hanya sedikit mempengaruhi gaya hidup (Ena and Pasquau, 2003).

Saat ini pemberian NVP yang direkomendasikan adalah dosis terbagi (2x200mg) namun dari tiga studi berbeda yang dirangkum oleh Rosenbach, et al. (2002) dan van Heeswijk et al. (2000)menunjukkan bahwa nevirapine dosis tunggal (1x400mg) tetap efektif dan aman sama seperti rejimen standard, sehingga saat ini nevirapine dosis tunggal dipilih untuk pengembangan klinis.

DAUFIN trial (Rey, et al., 2009), mendapatkan hasil yang bertentangan. Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya early virological failure serta insiden mutasi-resistensi terhadap NNRTI lebih tinggi pada grup yang mendapat ARV sekali sehari. Namun hasil ini mungkin bukan hanya dipengaruhi cara pemberian obat tetapi juga jenis obat yang diberikan pada kedua kelompok ini juga berbeda.


(25)

Dari beberapa sumber diatas, kami berencana untuk melakukan penelitian terhadap efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis tunggal tanpa merubah dosis obat dan paduan terapi antiretroviral, karena di Indonesia dan banyak negara lain, rejimen terapi nevirapine yang digunakan masih dosis terbagi dan di Indonesia belum pernah ada penelitian yang membandingkan kedua rejimen dosis tersebut.

1.2 Perumusan masalah

Apakah ada perbedaan efektifitas dan kemananan pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS?

1.3 Hipotesis Penelitian

Pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi pada pasien HIV/AIDS memiliki efektifitas dan keamanan yang sama sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS

1.4 Tujuan penelitian

1. Menilai efektifitas pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada penderita HIV/AIDS

2. Mengetahui keamanan pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS

1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektifitas dan keamanan pemberian nevirapine dosis tunggal dan dosis terbagi sebagai kombinasi terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS


(26)

1.6

Kete

2. Manfaa Dapat penderi putus o tigkat k Kerangka rangan: TERAP D TERAP D at praktis dijadikan s ta HIV/AID obat pada p kesibukan tin Konseptua Variabel y PI ANTIRE Dengan Kom NVP 1x40 PI ANTIRE Dengan Kom NVP 2x20 sebagai das DS untuk m penderita H

nggi, dan ya al yang dinilai ETROVIRA mbinasi 00mg ETROVIRA mbinasi 00mg sar dalam meningkatka HIV/AIDS t

ang membu i RAL RAL menyesuai an kepatuha terutama pa utuhkan pen ikan pembe an berobat ada mereka ngawasan ke EFEK KAD GEJAL LABOR erian obat dan mengu a yang mem epatuhan be SAMPING DAR CD4 LA KLINI RATORIUM pada urangi miliki erobat G S M


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna narkotika, psikotropika, dan zat aditif (NAPZA) suntikan di beberapa provinsi seperti Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV positif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.1 HIV/AIDS

Human immunodeficiency virus (HIV) atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) saat ini merupakan masalah kesehatan dunia yang mengancam kehidupan jutaan manusia. HIV mempunyai kemampuan untuk merusak semua organ tubuh manusia baik disebabkan secara langsung oleh virus itu sendiri maupun akibat kerentanan tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi yang bersifat oportunistik (Gazzard, 1996)


(28)

2.1.1 Patog lentiv RNA 1, me terdap resept (Gazz revers keluar norma terhad revers mence (DNA retrov denga stadiu penya lanjut genesis Infe HIV term virus, merup

sebagai mo erupakan je pat di Afrik tor CD4 pa zard, 1996)

Siklus hi se transcrip rnya HIV y al dari sel (g

Nevirapin dap HIV-1 se transcip egah terjad A) (gambar 2

Setelah te viral akut, s an adanya in um AIDS. akit ini anta t dan penggu

eksi dan Sik masuk fam pakan virus olekul pemb enis yang d ka Barat. H ada permuk

dup HIV t ptase, tran yang telah a gambar 2.1) ne sebagai

akan meng tase (RT) d dinya polim 2.1). (Harri erinfeksi HI selanjutnya nfeksi oport Faktor ris ara lain vir una NAPZA

klus hidup mili retrov

s ribonucle bawa inform

dominan d HIV menyer kaannya, jug

terdiri dari nskripsi, tra aktif dari se ). (WHO, 2 non-nucleo ghambat rep dengan cara merisasi RN is, et al., 200 IV, dua sam

merupakan tunistik mak siko yang

ral load (V A suntik (G

HIV iridae, kla eic acid (R masi genetik di seluruh d rang limfos ga limfosit

i fase perle anslasi, ass el setelah m

010) oside rever plikasi viru a berikatan NA virus p

08)

mpai enam n fase asim ka perjalana

menyebabk VL), penuru Gazzard, 199

as retroviru RNA) karen

k. Ada dua dunia dan sit T helper

B, monosi

engketan d embly, dan membajak pr

rse transcr us melalui i secara lan pada deoxyr

minggu ter mtomatik rat an penyakit kan cepatny unan CD4 y 96)

us dan su na menggun

jenis yaitu HIV-2 teru r yang mem it, dan mak

dan penemp n budding roses mekan

riptase inh inaktivasi e ngsung, seh

ribonucleic

rjadilah sin ta-rata 8 t t telah mem ya progres yang cepat ubklas nakan HIV-utama miliki krofag pelan, yaitu nisme ibitor enzim hingga acid ndrom tahun, masuki sivitas , usia


(29)

Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Patogenesis HIV dan target ART (Pomerantz and Horn, 2003)

2.1.2 Klasifikasi klinis HIV/AIDS

Ada dua klasifikasi utama untuk HIV/AIDS, yaitu klasifikasi menurut Centeres for Disease Control and Prevention (CDC) dan WHO. Klasifikasi klinis dari WHO seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis HIV berdasarkan kriteria WHO (2010) Stadium I

1. Asimtomatik


(30)

Stadium II

1.Berat badan menurun < 10 %

2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis.

3. Herves Zoster dalam 5 tahun terakhir

4. Infeksi saluran nafas atas seperti sinusitis bakterialis Stadium III

1. Berat badan menurun > 10 %.

2. Diare kronis yang berlangsung > 1 tahun. 3. Demam > 1 bulan.

4. Kandidiasis orofaringeal. 5. Oral Hairy Leukoplakia. 6. TB paru dalam tahun terakhir.

7. Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis Stadium IV

1. HIV wasting syndrome.

2. Pneumonia Pneumocystis Carini. 3. Toksoplasmosis Otak.

4. Diare kriptosporidiosis > 1 bulan. 5. Kriptokokosis ekstrapulmonal. 6. Retinitis virus Citomegalo.

7. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan. 8. Leukoensefalopati multifokal progresif. 9. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis. 10. Kandidiosis esofagus,trakea, bronkus dan paru. 11. Mikobakteriosis atipikal diseminata.

12. Septikemia salmonelosis non-tifoid. 13. Tuberkulosis di luar paru.

14. Limfoma.

15. Sarkoma Kaposi. 16. Ensefalopati HIV

2.1.3 Tatalaksana Pemberian ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi dengan tujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat untuk mendapat ARV atau tidak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Untuk pasien baru HIV/AIDS, ada 4 pilihan paduan ARV sebagai lini pertama pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO dan juga dipakai di


(31)

Indonesia (Tabel 2.2) (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Tabel 2.2. Paduan ARV sebagai lini pertama (Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2011)

AZT + 3TC + NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine

ATAU

AZT + 3TC + EFV Zidovudine +

Lamivudine + Efavirenz

ATAU TDF + 3TC (atau FTC) +

NVP

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz

2.1.4 Pemantauan klinis dan laboratorium selama terapi ARV lini pertama Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu ke-2, 4, 8, 12 dan 24 sejak memulai ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Pengukuran SGPT dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala, dan bukan pemeriksaan yang rutin. Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu ke-2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV, dilanjutkan dengan pemantauan gejala klinis. Pengukuran VL tidak dianjurkan untuk monitoring pasien yang mendapat ARV terutama pada tempat-tempat dengan fasilitas dan kemampuan pasien yang terbatas.


(32)

Pemeriksaan VL umumnya digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan gagal terapi. VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan pemantauan klinis atau pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi yang diberikan diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6 (WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.2 Antiretroviral (ARV)

Prinsip pemberian ARV tidak untuk menyembuhkan, tetapi menghambat proses penyakit pada penderita HIV untuk beberapa tahun. Komponen terapi ARV terdiri dari beberapa obat yang dapat memperlambat reproduksi HIV pada tubuh, agar obat-obat tersebut dapat efektif dalam waktu yang lama maka diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat ARV (Ammassari, et al., 2002)

Terdapat tiga kelompok obat ARV. Masing-masing ARV memliki cara yang berbeda dalam merusak atau menghambat HIV (Ammassari, et al., 2002; Fauci, 2003; Pomerantz and Horn, 2003; WHO, 2010; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) yaitu:

2.2.1 Reverse Transcriptase Inhibitors

HIV membutuhkan suatu enzim yang dikenal dengan reverse transcriptase untuk menginfeksi sel induk dan mereproduksi dirinya. Seperti namanya, obat ini memperlambat produksi enzim transkriptase sehingga HIV tidak dapat menginfeksi sel dan menduplikasi diri. Golongan obat reverse transcriptase ini terdiri dari:


(33)

2.2.1.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)

Obat ini juga dikenal sebagai nukleoside analog, adalah obat jenis pertama untuk menghambat HIV yang diperkenalkan sejak tahun 1987. 2.2.1.2 Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)

Golongan ini mulai dikenal pada tahun 1997 dan secara umum dikenal sebagai non-nukleosid.

2.2.1.3 Nukleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTI)

Hanya ada satu jenis obat dari golongan ini, yaitu tenofovir. Obat ini bekerja dengan mencegah reverse transkriptase enzim tetapi dalam cara yang berbeda dengan obat reverse transcriptase lain.

Tabel 2.3. ARV golongan Reverse Transcriptase Inhibitors

NRTI NNRTI NtRTI

- Lamivudine - Abacavir - Zidovudine - Stavudine - Didanosin - Emtricitabine

- Delavirdine - Efavirenz - Nevirapine

Tenofovir

2.2.2 Protease Inhibitor (PI)

Golongan obat ini diperkenalkan pertama kali tahun 1995, cara kerjanya dengan menginhibisi protease, yaitu suatu enzim digestif untuk memecah protein yang digunakan oleh HIV dalam proses menduplikasikan dirinya.

Tabel 2.4. Obat Protease Inhibitor Protease Inhibitor (PI)


(34)

- Lopinavir/ritonavir - Nelfinavir - Tipranavir - Saquinavir - Amprenavir - Ritonavir - Atazanavir - Indinavir

2.2.3 Fusion atau Entry Inhibitor

Pada permukaan sel HIV dijumpai glycoprotein 41 (gp41) dan gp120, yang berguna untuk mempersiapkan HIV melekatkan diri pada permukaan sel induk, dengan mencegah kerja dari salah satu protein tersebut, akan memperlambat proses reproduksi HIV. Sebagai contoh dari golongan ini adalah fusion inhibitor T20 yang melekat pada gp41. Obat T20 berbeda dari obat lainnya karena harus disuntikkan, karena T20 adalah suatu protein sehingga tidak dapat diberikan secara oral. Obat T20 yang dikenal saat ini adalah fruzeon atau enfuvirtid.

2.3 Nevirapine

Nevirapine (NVP; gambar 2.2), salah satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) yang poten dan telah dapat ditoleransi dengan baik, saat ini pemberian nevirapine masih dua kali sehari. (Cheeseman, et al., 1993; Harris, et al.,2008; Parienti and Peytavin, 2011). Sediaan NVP yang beredar adalah dalam bentuk tablet 200mg (Viramune) yang mulai dipasarkan secara luas sejak tahun 1996, dan dalam bentuk suspensi 10mg/ml. Dosis yang dianjurkan sebagai komponen kombinasi ARV adalah satu tablet 200mg sehari selama 14 hari, selanjutnya satu tablet 200mg dua kali sehari, dengan tujuan untuk menghidari kemungkinan terjadinya induksi cytochrome P 450 (CYP450) serta ruam kulit


(35)

s s G e m b p ti P 2 ebagai efek etelah pemb Gambar 2.2. Nevi e)-(1,4)-diaz molekul 266 basa lemah pH<3, tetapi idak terlaru Parienti dan 2.3.1 Farm

revers HIV-2 Parien berika

k samping a berian obat Struktur kim irapine [11-zepin-6-one 6,3g/mol. S dengan pK i pada pH n ut pada pela

Peytavin, 2 makodinami NVP ada se transcip 2 RT, simia nti and Pey atan secara akibat penin tersebut (Pa mia nevirap -cyclopropy ] merupak erbuk NVP Ka 2,8. NV

normal NVP arut non-pol 2011).

ik

alah inhibito tase (RT) H an RT dan D ytavin, 201

langsung d

ngkatan ko arienti and pine (Cheese yl-5,11-dihy kan turunan P berwarna VP dapat la P hampir ti lar.(Cheese

or non-kom HIV-1 deng DNA polym 11). NVP m

dengan enz

nsentrasi pl Peytavin, 2

eman, et al. ydro-4-meth

n dari ben putih, sang arut dalam idak dapat l eman, et al.

mpetitif yan gan pengar merase manu

menghamba zim tersebu lasma NVP 011) , 1993) hyl-6H-dipy nzodiazepin gat lipofilik, air dengan larut sama s

, 1993; Har

ng selektif ruh yang m usia (Merlu at HIV-1 R ut pada resi

P secara tib

yrido(3,2-b: ne dengan

, dan merup n sempurna sekali, dan r

rris, et al., 2

terhadap e minimal terh uzzi, et al.,

RT dengan idu tyrosin a-tiba 2’,3’-berat pakan pada relatif 2008; enzim hadap 1990; n cara yang


(36)

terdapat pada posisi 181 dan 188 dari subunit p66 yang berdekatan (Smerdon et al., 1994; Parienti dan Peytavin, 2011). Ikatan NVP pada sisi tersebut akan menghambat reaksi katalisasi HIV-RT secara signifikan. NVP tidak perlu melewati fosforilasi intrasel untuk menjadi aktif seperti golongan NRTI misalnya zidovudine, karena NVP dikemas dalam bentuk aktifnya secara langsung. NVP juga dapat mengikat RT virion ekstraseluler, termasuk yang dijumpai didalam plasma.(Zhang, et al., 1996; Parienti andPeytavin, 2011)

Kadar inhibitory concentration 50 (IC50) pada kultur sel T manusia

adalah ~10µg/l (40 nmol/l). Substitusi asam amino tunggal dari HIV-1 RT dapat menghasilkan strain virus yang resisten terhadap NVP, dan strain resisten ini dapat dipicu oleh paparan NVP sebelumnya. Strain resisten dapat muncul hanya dalam beberapa minggu setelah penggunaaan NVP sebagai terapi tunggal pada penderita HIV-1 dewasa. Ketika NVP dikombinasi dengan minimal dua ARV lain sebagai komponen terapi ARV, sustained viral suppression, dan kemungkinan timbulnya strain resisten dapat dicegah pada sebahagian besar pasien. (Havlir, et al., 1996; Parienti and Peytavin, 2011) 2.3.2 Farmakokinetik dan Metabolisme

NVP diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah pemberian secara oral. Kadar maksimum NVP plasma dapat dicapai dalam 4 jam setelah pemberian obat. Nevirapine memiliki bioavailabilitas yang tinggi (tabel 2.5), dapat mencapai 93% dari pemberian tablet secara oral, dan memiliki waktu paruh panjang. Pemberian obat bersamaan dengan makanan dapat menghambat absorbsi dari NVP, tetapi tidak mempengaruhi bioavailabilitas


(37)

obat, dengan demikian NVP dapat diberikan bersamaan atau tidak bersamaan dengan makanan (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004)

Tabel 2.5 Median kadar steady-state plasma parameter farmakokinetik nevirapin dalam dosis 400mg sekali sehari dan 200mg dua kali sehari pada penderita HIV (van Heeswijk, et al., 2000)

Parameter 400 mg sekali

sehari

200 mg dua kali sehari

p AUC0-24 h(h/μg/mL) 101.8

(92.6-145.3)

109.0 (96.0-143.5)

0.60 C max(μg/mL) 6.69 (5.95-8.64) 5.74 (5.00-7.44) 0.03 C min(μg/mL) 2.88 (2.33-4.09) 3.73 (3.20-5.08) <0.01 T max(h) 1.54 (1.03-2.40) 2.01 (1.47-3.14) 0.08 t 1/2(h) 21.5 (15.0-32.8) 15.8 (13.1-24.5) 0.77 Cl/F (L/h) 3.93 (2.76-4.32) 3.67 (2.80-4.21) 0.63

V/F (L)

116.5(88.5-161.8)

82.5 (70.5-103.9) 0.73

Hampir 60% kadar NVP berikatan dengan protein plasma terutama albumin (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Nevirapine dapat melewati sawar plasenta (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011).Nevirapine juga terdeteksi di semen dan cerebral spinal fluid (CSF) dengan kadar masing-masing sebesar 30 dan 60% dari kadar plasma total (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004). Rute eliminasi utama NVP melalui metabolisme di hati oleh CYP450 isoenzim 3A4 dan 2B6, kemudian diekskresi terutama didalam urin melalui ginjal sebagai metabolit terhidroksilasi (80%) dan sisanya dalam bentuk metabolit utamanya (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc., 2004)

Pemberian terapi jangka panjang dapat meyebebabkan terjadinya autoinduksi metabolik jalur eliminasi NVP. Akibat dari auto-induksi ini, bersihan NVP dapat meningkat 1,5-2 kali lipat dan t½β rata-rata akan


(38)

berkurang menjadi 20-30 jam (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011)

Untuk menghindari peningkatan kadar NVP secara tiba-tiba dan mengurangi toksisitas, cara pemberian NVP yang dianjurkan adalah dengan pemberian 200mg sekali sehari selama 2 minggu diikuti dengan peningkatan dosis 200mg dua kali sehari. Pemberian rejimen seperti ini dapat mempertahankan steady-state konsentrasi NVP sebesar 4000µg/l. (Cheeseman, et al., 1995; Parienti and Peytavin, 2011).

Farmakokinetik NVP pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal tidak mengalami perubahan. Proses dialisis dapat meningkatkan bersihan NVP sehingga dosis pengulangan setelah dialisis dapat dipertimbangkan; pasien dengan gangguan fungsi hati sedang hingga berat (skor Child-Pugh >8, asites) memiliki resiko terjadinya akumulasi NVP, disamping itu NVP sendiri dapat menyebabkan kelainan fungsi hati berupa hepatotoksik imbas obat. Dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan pemberian NVP, namun Jika sangat diperlukan, harus dipertimbangkan pengurangan dosis obat (Harris, et al., 2008).

Konsentrasi NVP berkaitan erat dengan supresi virologi, kadar optimal terendah yang disarankan untuk efek supresi ini >3,4mg/l; parameter farmakokinetik NVP memiliki sedikit variasi pada wanita, namun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi NVP akibat perbedaan jenis kelamin setelah pemberian dosis tunggal ataupun dosis ganda. Pada orang dewasa, farmakokinetik NVP juga tidak berubah jauh akibat perbedaan usia (berkisar18-68 tahun) (Harris, et al.,2008).


(39)

2.3.3 Farm seka al. (2 bioe conc mem para distr plasm thro seha pene G makokineti Profil s ali sehari da

2000) meng equivalence Paparan centration mberikan ha ameter farm ribusi, juga ma maksim ough nevirap

ari (van He elitian pada

Gambar 2.3

ik nevirapin teady-state an 200mg d ggunakan m study pada

terhadap N vs time cu asil yang seb makokinetik

a tidak ber mum (Cmax pine concen eeswijk, et 2NN study Kurva me berdasark pemberian hitam) da Heeswijk,

ne sekali se plasma N dua kali seh metode rand 20 penderi NVP yang d

urve dari banding dia

lain, sepert rbeda diant x) lebih ting

ntration (Ct

al., 2000) y (van Leth,

edian konse kan waktu

n nevirapin an 200mg

, et al. (200

ehari dan d NVP setelah

hari telah di domized, ba ta HIV-1 (v diukur seba 0-24 jam antara kedua ti waktu pa tara kedua ggi pada do

trough) lebih

. Hasil ini et al., 2004

entrasi stea pada 20 ne 400mg dua kali se 0)

dua kali seh h pemberia iteliti oleh v alanced, two van Heeswij agai area un

(AUC0-24h)

a rejimen pe ruh, clearen dosis. Nam osis sekali s

rendah pad juga didu 4)

ady-state pla 0 penderita sekali se ehari (lingk

hari an dosis 4

van Heeswi o-way cross jk, et al., 20 under the pl ) (gambar

emberian. U nce, dan vo mun konse sehari sedan da rejimen s ukung oleh

asma nevir a HIV se ehari (ling karan putih 00mg ijk, et s-over 000) lasma 2.3), Untuk olume ntrasi ngkan sekali hasil rapine etelah karan h) van


(40)

2.3.4 Parameter farmakokinetik nevirapine dan respon virologi

Konsentrasi nevirapine yang terbaik untuk menghambat replikasi virus dan efek jangka panjang, tidak pernah diperhitungkan sebelumnya karena steady-state nevirapine secara in vitro (median 4000ng/mL) sangat jauh diatas konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat 50% replikasi virus (IC50 nevirapine in vitro 10.6ng/L), tetapi beberapa studi telah

mendapatkan adanya kaitan antara konsentrasi NVP dengan respon virologi. Namun hasil ini belum seragam diantara semua penelitian yang telah ada dan mungkin dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan (Cooper and van Heeswijk, 2007).

INCA study menunjukkan hubungan positif diantara konsentrasi NVP dengan respon virologi (Veldkamp, et al., 2001). Pada penelitian tersebut, 51 penderita baru HIV diberikan terapi zidovudine, didanosine, dan nevirapine 200mg dua kali sehari. Penelitian ini membuktikan bahwa paparan NVP yang tinggi memiliki korelasi positif dan signifikan dengan tingkat bersihan HIV-RNA plasma pada 2 minggu pertama (inital response), serta tingkat keberhasilan setelah 52 minggu (long-term response). Konsentrasi treshold plasma nevirapine yang dianjurkan pada awal terapi dan jangka panjang adalah 3,5µg/mL. Hasil penelitian tentang farmakokinetik-farmakodinamik tersebut dapat memberikan gambaran tentang dampak negatif dari tingkat kepatuhan yang tidak baik terhadap konsentrasi obat dan respon virologi. (Cooper and van Heeswijk, 2007) 2.3.5 Hubungan antara farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas


(41)

Hubungan antara variabel farmakokinetik nevirapine dengan toksisitas yang terjadi secara klinis telah banyak diteliti, baik pada dosis standar atau pada dosis nevirapine sekali sehari. Sebahagian besar penelitian tersebut tidak menemukan hubungan yang signifikan antara konsentrasi dan paparan nevirapine dengan perubahan kadar SGOT atau SGPT. Tetapi beberapa penelitian lain mendapatkan konsentrasi nevirapine yang tinggi pada pasien yang mengalami peningkatan enzim hati, namun hal ini belum jelas apakah kadar nevirapine yang tinggi menyebabkan toksik atau peningkatan kadar nevirapine yang terjadi disebabkan oleh berkurangnya bersihan obat akibat kelainan fungsi hati yang telah terjadi sebelumnya. Satu studi yang menyimpulkan bahwa bersihan nevirapine berkurang sebesar 13,2% pada pasien-pasien dengan kadar SGOT>1,5 kali diatas nilai normal (de Matt, et all., 2002).

Pemberian low-dose lead-in pada pasien baru dapat mencegah timbulnya ruam kulit. Satu studi membuktikan, peningkatan risiko terjadinya ruam kulit 2,3 kali lebih besar pada pasien yang memiliki kadar nevirapine diatas 5,3µg/mL (de Matt, et all., 2003). Penelitian lain yang membandingkan kadar nevirapine dalam darah pasien yang mendapat ruam dengan yang tidak setelah pemberian nevirapine dosis 200mg dua kali sehari, ternyata kadar obat dalam darah pasien yang mendapat ruam setelah pemberian sesuai dosis tersebut lebih tinggi secara signifikan dibanding yang tidak menderita ruam (Montaner, et al., 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Launary, et al.,(2004) mendapatkan hasil yang hampir sama, dimana kadar nevirapine plasma pasien yang mendapat ruam lebih tinggi


(42)

dibanding dengan mereka yang tidak mendapat ruam, dengan rata-rata masing-masing 3,36 dan 3,48 µg/mL.

Penelitian terbesar dan terbaru yang meneliti hubungan antara Farmakokinetik-farmakodinamik nevirapine yakni 2NN Study, tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara farmakokinetik nevirapine dengan parameter efek samping (Cooper and van Heeswijk, 2007).

2.3.6 Keamanan dan Efek Samping

Efek samping obat yang paling sering dilaporkan berkaitan dengan pemberian NVP adalah ruam kulit, peningkatan enzim hati, demam, fatigue, sakit kepala, dan mual. Ruam merupakan efek samping yang paling umum pada penggunaan NVP (Ammassari, et al., 2002). Ruam yang diakibatkan oleh NVP biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Resiko untuk timbulnya ruam terutama dijumpai pada 6 minggu pertama terapi. Dari empat uji klinis dengan menggunakan NVP, insidens terjadinya ruam oleh berbagai sebab mencapai 35% pada grup NVP dan 19% pada grup kontrol; dari total insiden ruam yang timbul, 16% diantaranya disebabkan oleh NVP; total 6.5% mengalami ruam tingkat 3 dan 4 pada kelompok NVP dibandingkan dengan 1.3% pada kelompok kontrol (Gathe, et al., 2010). Dari 2861 pasien yang di terapi dengan NVP dari berbagai uji klinis, sembilan pasien mengalami Sindroma Steven-Jhonson (SJS), termasuk dua yang dilaporkan mengalami SJS/Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Zhang, et al., 1996; van Heeswijk, et al., 2000)

Sampai saat ini belum dapat dibuktikan faktor predisposisi tertentu untuk terjadinya ruam pada pasien. Mekanisme NVP menyebabkan ruam


(43)

juga masih belum diketahui pasti. Konsentrasi plasma, jenis kelamin, ras, obat-obat yang diberikan bersamaan, riwayat ruam, ataupun stadium penyakit tidak berkolerasi dengan terjadinya ruam. Berdasarkan analisa retrospektif, dosis NVP yang saat ini dianjurkan 200mg sekali sehari selama 2 minggu, selanjutnya 200mg dua kali sehari, menunjukkan lebih jarang dikaitkan dengan terjadinya ruam, namun demikian pasien harus diperingatkan untuk hati-hati terhadap efek samping obat ini karena dapat berpotensi serius (van Heeswijk, et al., 2000; Wit, 2000)

Peningkatan enzim hati dan hepatotoksik imbas obat, pernah dilaporkan pada pasien yang sedang mendapat terapi NVP. Peningkatan Isolated gammaglutamyl transpeptidase juga cukup sering dijumpai, namun hal ini tidak memiliki arti secara klinis, dan sering dikaitkan dengan auto induksi enzim-enzim hati pada metabolisme NVP. Dari suatu penelitian controlled clinical trials didapatkan, 9 dari 906 (1%) pasien yang mendapat terapi NVP jangka lama, mengalami hepatotoksik imbas obat (Pollard, et al., 1998; Harris, et al., 2008; Gathe, et al., 2010), dan terjadinya hepatitis berat juga pernah dilaporkan pada pasien yang diberi terapi NVP (Wit, 2002; Harris, et al., 2008). Data dari penelitian the blinded FTC-302 study, studi fase III yang membandingkan efikasi pemberian NRTI emtricitabine dengan lamivudine, dikobinasi dengan stavudine, dimana keseluruhan subjek distratifikasi berdasarkan kadar baseline viral load untuk diberi nevirapine atau efavirenz. Dari semua peserta, 87% merupakan kulit hitam, dan 59% diantaranya adalah wanita. Para peneliti mendapatkan insiden hepatotoksik grade 3 dan 4 yang lebih tinggi pada kelompok yang diberi NVP yaitu 58


(44)

dari 468 pasien(15%) dan dua kasus diantaranya fatal (Harris, et al., 2008). Secara umum, hepatitis muncul pada 8 minggu pertama terapi, pada saat terjadinya peningkatan konsentrasi NVP akibat peningkatan dosis dari 200 menjadi 400mg sehari pada hari ke-14 pengobatan. Secara statistik, kejadian hepatotoksik imbas obat lebih banyak dua kali lipat pada wanita. (Bennett, et al., 2005; Harris, et al., 2008). Saat ini pemberian NVP tidak dianjurkan pada wanita dengan jumlah CD4>250 sel/mm3 atau pria dengan jumlah CD4>400 sel/mm3 untuk mengurangi resiko terjadinya hepatotoksik (Leith, et al., 2005; Harris, et al., 2008). Insiden terjadinya hepatotoksik meningkat seiring dengan durasi pemberian terapi yang lebih lama, dan adanya polymorphisms pada gen MDRI drug pump, P-glycoprotein. (Martinez, et al., 2001; Haas, 2005; Harris, et al., 2008)

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor risiko terjadinya hepatotoksik imbas obat, diperkirakan pasien dengan koinfeksi hepatitis C cenderung memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya hepatotoksik imbas obat bila diberikan terapi NVP (Martinez et al., 2001; Wit, 2002; Harris, et al., 2008).

2.3.7 Uji klinis dosis nevirapine pada manusia

Dosis harian Nevirapine yang pernah diteliti pada pasien dewasa adalah 12.5, 50, 200, dan 400 mg. Dose-proportional effects terbaik ditemukan dengan pemberian dosis 400mg/hari. Dari studi terpisah untuk dosis 600mg dijumpai peningkatan toksisitas namun tidak disertai peningkatan keuntungan dan manfaatnya. Batasan utama untuk Dose-limiting toxicity dilihat dari timbulnya ruam, dan peningkatan enzim hati.


(45)

Oleh karena itu, dosis 400mg sehari dipilih untuk pengembangan klinis. (Cheeseman, et al., 1995; Havlir, et al., 1995; Harris, et al., 2008; Parienti and Peytavin, 2011)

2.3.8 Uji klinis pemberian Nevirapine sekali sehari dan Penyederhanaan dosis Dalam konteks untuk penyederhanaan rejimen pengobatan dan meningkatkan kepatuhan berobat, pengembangan dosis obat sekali sehari semakin menarik perhatian dan atensi para peneliti demi meningkatkan keberhasilan pengobatan pasien-pasien HIV/AIDS.

Ada empat jenis ARV yang sudah diakui di Eropa dan Amerika serikat untuk diberikan sekali-sehari sebagai kombinasi pengobatan HIV, yaitu lamivudine, didanosine, tenofovir, dan efavirenz, sementara nevirapine masih dalam tahap penelitian (Ena and Pasquau, 2003)

Saat ini dosis pemberian nevirapine adalah 200mg dua kali sehari, tetapi karena nevirapine memiliki waktu paruh plasma pada kadar steady state plasma yang panjang (25-30 jam), nevirapine menjadi kandidat yang layak dikembangkan untuk pemberian sekali sehari (Ena and Pasquau, 2003; Post, et al., 2010)

Tabel 2.6. ARV yang telah disetujui sekali sehari (Ena and Pasquau, 2003)

FDA-approved agents Investigational agents Efavirenz

Didanosine, enteric coated Tenofovir

Lamivudine

Amprenavir/ritonavir Nevirapinea

Abacavira

Emtricitabine (FTC)

Stavudine, extended release Atazanavir


(46)

Lopinavir/ritonavira Boosted PIsa

a

Under evaluation for once-daily use.

2.3.8.1 2NN study (van Leth, et al.,2004)

2NN study merupakan multicentre, open-label, randomised trial, yang membandingkan efikasi pemberian NNRTI nevirapine and efavirenz, pada 1216 penderita HIV/AIDS baru. Pada penelitian tersebut, seluruh pasien dibagi ke dalam empat kelompok terapi secara acak; (1) nevirapine 400mg sekali sehari, (2) nevirapine 200mg dua kali sehari, (3) efavirenz 600mg sekali sehari, atau (4) nevirapine 400mg sekali sehari ditambah efavirenz 800mg sekali sehari; dan semua kelompok mendapat kombinasi terapi dengan stavudine (40mg dua kali sehari) dan lamivudine (150mg dua kali sehari) selama 48 minggu. Pada masing-masing kelompok studi, pemberian NVP diawali dengan dosis 200mg sekali sehari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan eskalasi dosis 400mg sehari.

Dari analisis terhadap efikasi primer (kegagalan virologi, progresi penyakit, dan perubahan terapi), didapatkan proporsi kegagalan terapi sebesar 43,6% pada kelompok sekali sehari dan 43,7% pada kelompok dua kali sehari pada minggu ke-48 atau sebelumnya.

Khusus untuk kegagalan virologi, angka kegagalan pada kelompok dua kali sehari (18.9%) lebih tinggi dibanding dengan kelompok sekali sehari (11.4%) (p=0.016). Proporsi pasien dengan konsentrasi HIV-1 RNA plasma <50 kopi/mL pada minggu ke-48 terapi sebanding pada kedua


(47)

kelompok (70% pada kelompok sekali sehari dan 65.4% pada kelompok dua kali sehari)

Efek samping klinis dan laboratorium pada kedua kelompok terapi juga sebanding. Hepatitis grade 3 dan 4 pada kelompok NVP sekali sehari dijumpai sebesar 1.4% sementara pada kelompok dua kali sehari dijumpai 2.1%. Ruam yang terjadi pada kelompok sekali sehari dan dua kali sehari, masing-masing 4.2 dan 3.4%. Namun peningkatan kadar enzim hati yang abnormal lebih banyak dijumpai pada pasien yang mendapat nevirapine sekali sehari (13.6% pada kelompok sekali sehari dan 8.3% pada kelompok dua kali sehari)

Dengan hasil tersebut, studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kegagalan terapi yang signifikan diantara rejimen yang dipakai. Nevirapine sekali sehari memiliki efikasi dan keamanan yang sama dengan nevirapine dua kali sehari sehingga dapat dijadikan pilihan untuk penyederhanaan dosis.

2.3.8.2 Spanish scan study (Garcia, et al., 2000)

Penelitian ini dilakukan terhadap 94 penderita baru HIV yang dibagi dalam dua kelompok secara random. Kelompok pertama terdiri dari 47 pasien, yang diberikan nevirapine 400mg dan didanosine 400mg sekali sehari, dan kelompok kedua dengan jumlah pasien yang sama diberikan nevirapine 200mg dua kali sehari dan didanosine 200mg dua kali sehari. Kombinasi ARV yang ketiga diberikan adalah stavudine 40mg dua kali sehari untuk kedua kelompok studi. Pada awal penelitian, kedua kelompok


(48)

diberikan dosis nevirapine yang sama, yaitu 200mg sekali sehari selama dua minggu.

Untuk menilai efikasi dan keamanan pengobatan dilakukan dengan melihat perbandingan respon imun dan respon virologi setelah 80 minggu pemberian obat. Setelah 12 bulan pengobatan, pencapaian target viral load HIV-1 RNA <200 kopi/mL pada masing-masing kelompok studi adalah 73% pada kelompok yang mendapat nevirapine sekali sehari, dan 68% pada kelompok nevirapine dua kali sehari (intent-to-treat analysis).

Tidak ada perbedaan efek samping obat secara keseluruhan yang bermakna diantara kedua kelompok studi. Empat pasien (8.5%) dari kelompok pertama (dua orang mengalami demam dan ruam kulit, satu pasien mengalami pankreatitis, dan satu pasien lagi karena lipodistrofi), serta tiga pasien (6.4%) dari kelompok kedua (semua karena ruam kulit dan demam), dikeluarkan dari penelitian dan dilakukan penggantian rejimen ARV. Sementara efek samping obat berupa hepatitis, dijumpai pada empat orang di kelompok kedua, pada kelompok pertama yang mendapat nevirapine sekali sehari tidak ada didapatkan hepatitis.

Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan nevirapine sebagai kombinasi ARV yang aman dan dapat ditoleransi dengan baik seperti dosis standard, serta memiliki efektifitas yang sama dalam hal supresi viral load dan meningkatkan kadar CD4.

2.3.8.3 VIRGO Study (Raffi, et al., 2000)

VIRGO Study merupakan suatu penelitian nonrandomized, dengan rejimen ARV yang diberikan adalah didanosine 400mg sekali sehari,


(49)

stavudine 40mg dua kali sehari, dikombinasi dengan nevirapine 200mg dua kali sehari atau 400mg sekali sehari terhadap penderita HIV baru. Kelompok pertama sebanyak 60 pasien pertama diberikan nevirapine dua kali sehari, dan kelompok kedua sebanyak 40 pasien berikutnya diberikan nevirapine sekali sehari. Meskipun berbeda dalam jumlah sampel, namun kedua kelompok ini memiliki kohort yang sebanding (pria 77%, rerata umur 37 tahun, rerata berat badan 66kg, rerata CD4 432sel/ɥL), namun pasien dengan viral load >100.000copy/mL lebih banyak pada kelompok pertama, sehingga perbedaan ini dapat menimbulkan bias pada pemeriksaan respon virologi.

Setelah pemberian obat selama 24 minggu, persentase pasien yang mencapai plasma viral load <50copy/mL untuk kedua kelompok masing-masing 55 dan 67% dan perbedaan ini tidak signifikan. Efek samping yang terjadi juga tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok studi. Ada enam orang pasien yang dikeluarkan dari penelitian pada masing-masing kelompok karena intoleransi obat (delapan pasien menderita ruam kulit, dan empat orang mengalami peningkatan kadar transaminase). Ruam kulit akibat pemberian obat pada kelompok pertama sebanyak 24% sementara pada kelompok kedua sebanyak 23%. Ruam kulit ini umumnya terjadi pada pasien yang tidak patuh terhadap aturan pemberian dose escalation pada minggu awal pengobatan. Secara persentase, 78% pasien yang tidak patuh mengalami ruam kulit, berbanding dengan 19% pada kelompok pasien yang patuh dengan dose escalation.


(50)

VIRGO studi mendukung pemakaian nevirapine sekali sehari sebagai kombinasi ARV yang poten, ditoreansi dengan baik, mudah dan nyaman diaplikasikan.

2.3.8.4 Penelitian Negredo, et al. (2004)

Penelitian Negrodo ini melihat efikasi dan keamanan perubahan dosis ARV dari berbagai rejimen ARV dua kali sehari menjadi paduan ARV dengan kombinasi nevirapine 400mg sekali sehari, didanosine 400mg dan tenofovir 300mg. Sebanyak 169 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 85 diantaranya diganti dengan rejimen penelitian, dan sisanya tetap melanjutkan rejimen ARV awal sebagai kelompok pembanding.

Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan perbandingan plasma viral load sebelum dan sesudah dilakukan perubahan rejimen obat pada kedua kelompok penelitian. Pada kelompok nevirapine sekali sehari, 65 dari 85 pasien (76%) dijumpai kadar plasma viral load tetap rendah <50 kopi/mL; sementara pada kelompok kedua yang tetap melanjutkan rejimen ARV, 72 dari 84 pasien (86%); hasil ini tidak berbeda bermakna (P=0.176). Efek samping lebih banyak dijumpai pada kelompok pasien yang dilakukan penggantian obat sesuai rejimen penelitian yaitu, 12 pasien (14.1%) berbanding 3 pasien (3.6%). Dari keseluruhan efek samping yang dijumpai, hepatitis sebanyak 5 pasien, pankreatitis akut 2 pasien, ruam kulit 2 pasien, xerostomia 2 pasien dan neruopaty perifer 1 pasien.

Setelah 48 minggu pemberian obat, dilakukan penilaian kepatuhan berobat diantara kedua kelompok studi, dan dijumpai perbedaan yang


(51)

signifikan. Kepatuhan berobat pada kelompok pertama dengan rejimen penelitian sebesar 97% sementara pada kepatuhan berobat pada kelompok kedua yang meneruskan rejimen dua kali sehari hanya 69.2%.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian Negredo ini menunjukkan, keuntungan yang dapat diperoleh seiring dengan peningkatan kepatuhan berobat tetap lebih tinggi bila dibandingkan dengan efek samping yang terjadi.

2.3.8.5 NODy Study (Podzamczer, et al., 2008)

Penelitian ini membandingkan efikasi, hepatotoksik dan keamanan perubahan rejimen pemberian nevirapine dua kali sehari menjadi sekali sehari pada penderita HIV-1, dengan menggunakan metode randomized, open label, multi centre selama 12 bulan yang dilakukan di Spanyol. Total sebanyak 298 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini, 143 pasien diantaranya mendapat rejimen nevirapine sekali sehari.

Hasil yang didapatkan, virological success rates dan kejadian hepatotoksik grade 3-4 dijumpai sama diantara kedua kelompok studi. Ko-infeksi hepatitis C dan peningkatan SGPT dari nilai awal tidak berkaitan dengan kejadian hepatotoksisitas pada penelitian ini. Peneliti menyimpulkan penggantian rejimen pengobatan menjadi nevirapine sekali sehari tetap aman karena insiden hepatotoksik yang rendah, dan rejimen tersebut masih efektif karena supresi virus dapat tetap dipertahankan. 2.3.8.6 DAUFIN Study (Rey, et al., 2009)

DAUFIN study, suatu randomized, open-label, non-inferiority trial, membandingkan zidovudine 300mg/lamivudine 150mg ditambah


(52)

nevirapine 200mg dua kali sehari, dengan lamivudine 300mg tenofovir 245mg dan nevirapine 400mg sekali sehari. Sebanyak 70 pasien HIV-naif dengan CD4<350 sel/mm3 disertakan dalam penelitian ini.

Penelitian ini dihentikan setelah dijumpai adanya early virological failure pada 8/36 (22,2%) serta insiden mutasi-resistensi terhadap NNRTI lebih tinggi pada grup yang mendapat ARV sekali sehari.

Kelemahan penelitian ini antara lain jenis obat yg diberikan berbeda, tingkat kepatuhan berobat terendah dari study Randomized Trial sejenis (79% vs 59%), jumlah Sampel Sedikit, median kadar VL dan CD4 lebih tinggi pada kelompok sekali sehari, kadar NVP plasma tidak dibandingkan antara yg gagal dan berhasil, data yang dipublikasikan tidak lengkap. Berdasarkan jenis mutasi yg terjadi maka kemungkinan penyebab utama resistensi adalah kadar nevirapine yang suboptimal.

2.3.9 Hubungan Frekuensi Minum Obat, Tingkat Kepatuhan dan Keberhasilan Terapi

Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah yang serius bagi pasien-pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Srivastava, et al., 2013). Berdasarkan Internatiotal Society for Pharmacoeconomics and outcomes Research (ISPOR), kepatuhan berobat (medication compilance/adherence) didefinisikan sebagai penyesuaian diri terhadap rekomendasi yang dibuat oleh pemberi obat dengan memperhatikan waktu, dosis, dan frekuensi minum obat (Cramer, et al., 2008). Dengan tingkat kepatuhan berobat yang rendah, tingkat kegagalan pengobatan jangka pendek dapat meningkat melebihi 50% pada seluruh kasus (Srivastava, et al.,


(53)

2013). Masalah kepatuhan berobat ini sering dijumpai pada pasien-pasien HIV/AIDS (Carrieri, et al., 2006). Berdasarkan data yang pernah dipublikasi hingga tahun 2006, didapatkan bahwa pengurangan dosis dan frekuensi minum obat dalam sehari dapat memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap kebiasaan dan kepatuhan berobat (Srivastava, et al., 2013).

Tingkat kepatuhan berobat yang buruk pada penggunaan antiretroviral akan meningkatkan risiko terjadinya supresi virologis yang tidak optimal, perburukan penyakit dan kematian (Parienti, et al., 2009). Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk mencapai tingkat kepatuhan berobat yang optimal, pemberian dosis sekali sehari merupakan pilihan yang paling tepat (Parienti, et al., 2007).

Meta-analisis terhadap tiga penelitian tentang kepatuhan berobat penderita HIV, didapatkan bahwa tingkat kepatuhan berobat dari pasien-pasien yang diberikan rejimen terapi antiretroviral sekali sehari lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pasien yang mendapat rejimen pengobatan dua kali sehari (OR 3.48, 95%CI 1.32-9.17, p=0.012, I2 64.4%) (Parienti, et al., 2009; Srivastava, et al., 2013).


(54)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah quasi experimental dengan desain pre-test dan post-test

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

- Penelitian dilaksanakan di poliklinik PUSYANSUS serta Ruang Rawat inap terpadu penyakit dalam RS H. Adam Malik Medan

- Penelitian dimulai sejak Mei 2012 sampai Nopember 2013 3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel

3.3.1 Populasi : pasien yang memenuhi kriteria HIV/AIDS dari WHO yang

berobat jalan di poliklinik PUSYANSUS dan dirawat di Ruang rawat Inap Terpadu penyakit dalam RSU H. Adam Malik Medan 3.3.2 Sampel: pasien HIV/AIDS yang memulai terapi ARV

3.3.3 Besar Sampel :

N1=N2 = 2σ2 ( Z (1-α/2) + Z (1-β) ) 2 (µ1- µ2) 2 Dimana:

Z (1-α/2) = Nilai baku dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada α

yang ditentukan, untuk α = 0,05 → Z (1-α/2) = 1,96

Z (1-β) = Nilai baku dari tabel Z, yang besarnya tergantung pada β


(55)

σ = Simpangan baku kedua kelompok pada studi sebelumnya = 28 (Garcia, et al.,2000)

µ1- µ2 = Perbedaan klinis yang diinginkan = 6

N1= N2 = 21 Pasien 3.4 Kriteria Inklusi

3.4.1 Pasien HIV/AIDS Pria dan wanita berusia diatas 15 tahun

3.4.2 Pasien HIV/AIDS yang baru dan belum pernah mendapat terapi antiretroviral

3.4.3 Pasien HIV/AIDS yang memiliki indikasi untuk mendapat terapi antiretroviral

3.4.4 Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani persetujuan setelah penjelasan

3.5 Kriteria Eksklusi

3.5.1 Penderita Tuberkulosis (TB)

3.5.2 Penderita koinfeksi hepatitis B dan C 3.5.3 Gangguan fungsi hati

3.5.4 Penderita HIV/AIDS yang sedang hamil 3.6 Definisi Operasional

- Efektifitas : dikatakan efektif bila dengan pemberian terapi antiretroviral sesuai rejimen selama 3 bulan dijumpai peningkatan kadar CD4 sebesar 24/mm3 atau lebih (Chakraborty, et al., 2011)

- Keamanan : dinilai berdasarkan tidak ada dijumpainya hepatotoksik imbas obat dan/atau ruam kulit berat setelah pemberian nevirapine. Hepatotoksik imbas obat didefinisikan sebagai peningkatan kadar SGOT


(56)

atau SGPT>3 kali batas atas normal. Ruam kulit berat didefinisikan sebagai sindroma Steven Jhonson (Martinez, et al., 2001)

- HIV/AIDS : Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila hasil pemeriksaan ELISA 3 metode positif; AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau CD4 <200 sel/mm3 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

- Indikasi terapi antiretroviral : rekomendasi cara memulai terapi antiretroviral pada ODHA Dewasa berdasarkan Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral edisi tahun 2011:

Target Populasi ODHA dewasa

Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi

Stadium klinis

1 dan 2

> 350 sel/mm3 Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan < 350 sel/mm3 Mulai terapi Stadium klinis

3 dan 4

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi Pasien dengan

ko-infeksi TB

Apapun

Stadium klinis

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi Pasien dengan

ko-infeksi Hepatitis B Kronik aktif

Apapun

Stadium klinis

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi

Ibu Hamil Apapun

Stadium klinis

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi - Data laboratorium : Pemeriksaan yang dievaluasi antara lain, kadar

CD4, SGOT dan SGPT, kadar bilirubin plasma.

- Gejala Klinis : gejala klinis sesuai dengan klasifikasi WHO; namun pada penelitian ini gejala klinis yang dinilai antara lain:

 Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar


(57)

 Diare

 Limafadenopati

 Kandidiasis oral

 Infeksi Herpes zoster

Pemantauan klinis dilakukan pada minggu 2, 4, 8, dan 12 setelah pemberian terapi antiretroviral. Dikatakan perbaikan gejala klinis, apabila dijumpai perbaikan paling tidak satu gejala klinis dari keseluruhan gejala yang dijumpai pada pasien pada awal penelitian.. 3.7 Teknik Pengelompokan Pasien Penelitian

Pengelompokan pasien pada penelitian ini berdasarkan hari pada saat pasien memulai terapi hingga jumlah sampel terpenuhi. Pasien yang memulai terapi antiretroviral pada hari senin, rabu, dan jumat dimasukkan ke dalam kelompok dosis tunggal yang diberikan kombinasi terapi antiretroviral dengan nevirapine 1x400mg, sementara pasien yang memulai terapi antiretroviral pada hari selasa, kamis, dan sabtu dimasukkan ke dalam dosis terbagi yang diberikan kombinasi terapi antiretroviral dengan nevirapine 2x200mg.

3.8 Rejimen Pengobatan

3.8.1 Rejimen pengobatan yang diberikan pada kedua kelompok sesuai dengan paduan terapi antiretroviral lini pertama pada Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral edisi tahun 2011, yaitu Zidovudine 300mg 2x1 tablet, Lamivudine 150mg 2x1 tablet, dan nevirapine 2x200mg atau 1x400mg. 3.8.2 Pada awal pemberian terapi antiretroviral, semua pasien yang telah

memenuhi kriteria untuk mendapatkan terapi, diberikan Zidovudine 300mg 2x1 tablet, Lamivudine 150mg 2x1 tablet, dan nevirapine 200mg 1x1 selama 14 hari, selanjutnya dilakukan peningkatan dosis nevirapine menjadi 400mg


(58)

per hari, dimana cara pemberian nevirapine untuk selanjutnya dibedakan sesuai kelompok penelitian, yaitu 1x400mg bagi pasien yang tergabung dalam kelompok dosis tunggal, dan 2x200mg bagi pasien yang tergabung dalam kelompok dosis terbagi.

3.9 Teknik Pengumpulan Data

Kepada semua pasien diminta memberikan persetujuan tertulis (informed concent) setelah dijelaskan tentang manfaat dan efek samping penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

a) Data klinis dikumpulkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk mendapatkan data: inisial, umur, jenis kelamin, gejala klinis dan keluhan yang berkaitan dengan efek samping setelah pemberian terapi antiretroviral.

b) Kadar CD4 dan fungsi hati diperiksa pada saat memulai terapi antiretroviral dan pada akhir penelitian di laboratorium patologi klinik RSUP H.Adam Malik Medan


(1)

Kurtosis 2.017 .972

SGOTsesudah Mean 25.5238 1.94155

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 21.4738

Upper Bound 29.5738

5% Trimmed Mean 25.1534

Median 24.0000

Variance 79.162

Std. Deviation 8.89730

Minimum 12.00

Maximum 46.00

Range 34.00

Interquartile Range 15.00

Skewness .493 .501

Kurtosis -.262 .972

SGPTsesudah Mean 24.0952 2.38438

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 19.1215

Upper Bound 29.0690

5% Trimmed Mean 23.5529

Median 21.0000

Variance 119.390

Std. Deviation 10.92659

Minimum 9.00

Maximum 49.00

Range 40.00

Interquartile Range 14.00

Skewness .932 .501

Kurtosis .291 .972

Paired Samples Test Kelompok Kontrol

Paired Differences

t df Sig.

(2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair 1 SGOTsebelum -

SGOTsesudah

3.90476 14.75434 3.21966 -2.81133 10.620 86


(2)

Test Statisticsb Kelompok Kontrol

SGPTsesudah - SGPTsebelum

Z -.486a

Asymp. Sig. (2-tailed) .627

a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Descriptives Fungsi Hati kelompok Intervensi

Statistic Std. Error

SGOTsebelum Mean 27.8048 3.78185

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 19.9160

Upper Bound 35.6936

5% Trimmed Mean 26.3810

Median 20.0000

Variance 300.350

Std. Deviation 17.33062

Minimum 8.90

Maximum 73.00

Range 64.10

Interquartile Range 19.00

Skewness 1.327 .501

Kurtosis .970 .972

SGOTsesudah Mean 28.7143 3.68339

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 21.0309

Upper Bound 36.3977

5% Trimmed Mean 26.8942

Median 23.0000

Variance 284.914

Std. Deviation 16.87940

Minimum 14.00

Maximum 77.00

Range 63.00

Interquartile Range 16.00

Skewness 1.756 .501

Kurtosis 2.430 .972

SGPTsebelum Mean 25.8524 3.17811


(3)

5% Trimmed Mean 25.2354

Median 18.0000

Variance 212.108

Std. Deviation 14.56391

Minimum 9.00

Maximum 54.00

Range 45.00

Interquartile Range 25.00

Skewness .752 .501

Kurtosis -1.011 .972

SGPTsesudah Mean 24.3810 3.80381

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 16.4464

Upper Bound 32.3156

5% Trimmed Mean 22.9788

Median 16.0000

Variance 303.848

Std. Deviation 17.43123

Minimum 8.00

Maximum 66.00

Range 58.00

Interquartile Range 18.00

Skewness 1.514 .501

Kurtosis 1.421 .972

Test Statisticsc Kelompok Intervensi

SGOTsesudah - SGOTsebelum SGPTsesudah - SGPTsebelum

Z -.226a -.939b

Asymp. Sig. (2-tailed) .821 .348

a. Based on negative ranks. b. Based on positive ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test

Descriptives Berat Badan Kelompok Kontrol

Statistic Std. Error

BBsebelum Mean 54.0476 2.82630

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 48.1521

Upper Bound 59.9432

5% Trimmed Mean 53.4259


(4)

Variance 167.748

Std. Deviation 12.95174

Minimum 35.00

Maximum 85.00

Range 50.00

Interquartile Range 23.50

Skewness .367 .501

Kurtosis .010 .972

BBsesudah Mean 56.1429 2.88534

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 50.1241

Upper Bound 62.1616

5% Trimmed Mean 55.8545

Median 56.0000

Variance 174.829

Std. Deviation 13.22228

Minimum 35.00

Maximum 83.00

Range 48.00

Interquartile Range 21.50

Skewness -.067 .501

Kurtosis -.726 .972

selisihBB Mean 2.0952 1.03488

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound -.0635

Upper Bound 4.2540

5% Trimmed Mean 1.4709

Median 1.0000

Variance 22.490

Std. Deviation 4.74241

Minimum -4.00

Maximum 20.00

Range 24.00

Interquartile Range 3.00

Skewness 2.841 .501

Kurtosis 10.529 .972


(5)

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

(2-taile

d) Lower Upper

Pair 1 BBsebelum - BBsesudah

-2.09524 4.74241 1.03488 -4.25396 .06348 -2.025 20 .056

Descriptives Berat Badan Kelompok Intervensi

Statistic Std. Error

BBawal Mean 55.0000 2.43682

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 49.9169

Upper Bound 60.0831

5% Trimmed Mean 54.6799

Median 54.0000

Variance 124.700

Std. Deviation 11.16692

Minimum 33.00

Maximum 83.00

Range 50.00

Interquartile Range 14.00

Skewness .492 .501

Kurtosis 1.081 .972

BBakhir Mean 58.7143 2.41537

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 53.6759

Upper Bound 63.7527

5% Trimmed Mean 58.1429

Median 58.0000

Variance 122.514

Std. Deviation 11.06862

Minimum 43.00

Maximum 85.00

Range 42.00

Interquartile Range 17.50

Skewness .614 .501

Kurtosis .116 .972

selisihBB Mean 3.7143 1.03772

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 1.5496

Upper Bound 5.8789

5% Trimmed Mean 3.3545


(6)

Variance 22.614

Std. Deviation 4.75545

Minimum -3.00

Maximum 17.00

Range 20.00

Interquartile Range 4.00

Skewness 1.513 .501

Kurtosis 2.385 .972

Paired Samples Test Kelompok Kontrol

Paired Differences

t df Sig.

(2-taile

d) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair 1 BBawal -

BBakhir

-3.71429 4.75545 1.03772 -5.87894 -1.54963 -3.579 20 .002

Test Statisticsa Selisih Berat Badan

SelisihBB

Mann-Whitney U 157.500

Wilcoxon W 388.500

Z -1.599

Asymp. Sig. (2-tailed) .110