BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus - Pembuatan Dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Antasida Dari Film Alginat-Kitosan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus

  Ulkus peptikum merupakan istilah yang mengacu pada erosi lapisan mukosa di mana saja di saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi di lambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus: terlalu sedikit produksi mukus atau terlalu banyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008).

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi mukus

  Ulkus umumnya berkembang ketika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan mukus yang cukup untuk melindungi terhadap pencernaan asam.

  Penyebab penurunan produksi mukus dapat mencakup apa saja yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel yang memproduksi mukus. Jenis ulkus ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi dengan semua jenis shock. Suatu jenis tertentu dari ulkus iskemik yang berkembang setelah luka bakar parah disebut ulkus Curling (Corwin, 2008).

  Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi bakteri H. pylori. H. pylori menginfeksi sel-sel yang mensekresi mukus lambung dan duodenum, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan mukus. Sekitar 90% dari pasien yang memiliki ulkus duodenum dan 70% dari pasien yang memiliki ulkus lambung disebabkan infeksi H. pylori. Penurunan produksi mukus dalam duodenum juga dapat terjadi sebagai akibat dari penghambatan kelenjar penghasil mukus, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas mereka dihambat oleh stimulasi simpatis, stimulasi simpatis meningkat dengan stres kronis. Sehingga menjadi suatu rangkaian antara stres kronis dan pengembangan ulkus (Corwin, 2008).

2.1.2 Dampak kelebihan produksi asam di lambung

  Secara fisiologis produksi asam di lambung diperlukan untuk aktivasi enzim pencernaan lambung. Asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh sel-sel parietal sebagai respon terhadap makanan tertentu, obat-obatan, hormon (termasuk gastrin), histamin, dan stimulasi parasimpatis. Makanan dan obat- obatan seperti kafein dan alkohol merangsang sel-sel parietal untuk menghasilkan asam. Beberapa individu mungkin over-reaktif dalam respon parietal mereka untuk zat atau makanan, atau mereka mungkin memiliki lebih banyak sel parietal dari normal dan karena itu melepaskan asam berlebih (Corwin, 2008).

  Ada dua jenis sekresi asam, sekresi asam yang distimulasi (acid dan sekresi asam basal (acid secretion basal). Sekresi asam

  secretion stimulated)

  melalui stimulasi terjadi sebagai respon terhadap penglihatan, penciuman, dan konsumsi makanan. Hal ini diatur terutama oleh hormon gastrin, yang dilepaskan dari antrum lambung sebagai respon terhadap peningkatan pH (misalnya saat makan). Ketika konsumsi makanan berhenti, pH di lambung turun, dan sekresi gastrin berhenti, menyebabkan sekresi asam berkurang. Dengan cara ini makan mengatur rangsangan sekresi asam (Gregory, 2000).

  Selain itu, sekresi gastrin dirangsang oleh pelepasan peptida yang melepaskan gastrin dari saraf pleksus submukosa sebagai akibat dari stimulasi parasimpatis. Karena gastrin merangsang produksi asam, apapun yang meningkatkan sekresi gastrin dapat menyebabkan produksi asam berlebih. Contoh utama dari kondisi ini disebut sindrom Zollinger-Ellison, penyakit yang ditandai dengan tumor sel endokrin yang mensekresi gastrin. Penyebab lain kelebihan asam mencakup stimulasi vagus yang berlebihan pada sel-sel parietal yang terlihat setelah cedera otak parah atau trauma. Ulkus yang berkembang dalam keadaan ini disebut ulkus Cushing. Stimulasi vagus yang berlebihan selama stres psikologis juga dapat menyebabkan kelebihan produksi HCl (Corwin, 2008).

  Sekresi asam basal terjadi terus menerus dan independen dari rangsangan eksternal (tidak dipengaruhi oleh ransangan dari luar). Hal ini dimediasi terutama oleh asetilkolin, neurotransmitter dari saraf vagus. Suatu karakterisitk penting dari sekresi asam basal adalah ritme hariannya (circadian rhythm), bahwa sekresi asam rendah di siang hari namun relatif tinggi di malam hari, umumnya memuncak antara jam 22.00 dan tengah malam. Baik sekresi asam yang dirangsang gastrin dan asetilkolin, terutama dengan merangsang sel-sel enterochromatin (ECL) di bagian bodi lambung. Sel ECL akan melepaskan histamin yang merangsang sel-sel parietal yang berdekatan untuk mensekresikan

  asam. Jalur akhir yang umum dari sekresi asam adalah pompa proton H , K ATPase yang menukar ion hidrogen dengan ion kalium (Gregory, 2000; Tolman, 2000).

  Pada umumnya, ulkus terjadi setiap kali ada peningkatan sekresi asam atau penurunan ketahanan mukosa, seperti terlihat pada Gambar 2.1. Sebaliknya, penyakit asam lambung dapat ditangani dengan baik dengan menurunkan asam atau meningkatkan ketahanan mukosa. pH tersebut dapat ditingkatkan dengan baik oleh penetral asam (antasida) atau penghambat sekresi lambung (antagonis H2-reseptor atau inhibitor pompa proton). Ketahanan mukosa dapat ditingkatkan dengan analog prostaglandin (Tolman, 2000).

  Peningkatan aliran asam ke duodenum dapat menyebabkan ulkus duodenum. Gerakan yang terlalu cepat dari isi lambung ke duodenum dapat membanjiri lapisan mukus pelindung duodenum. Hal ini terjadi pada iritasi lambung oleh makanan tertentu atau mikroorganisme, serta oleh kelebihan sekresi gastrin (Corwin, 2008).

  

Gambar 2.1.Faktor-faktor penyebab ulkus (Liu dan Crawford, 2005)

2.1.3 Cairan lambung (Gastric Juice)

  Cairan lambung (Gastric juice) adalah campuran heterogen dari cairan jernih, flocculent, dan mukus jernih. Konstituen utama dari cairan lambung (gastric juice) adalah asam hidroklorida, protease lambung (pepsin dan gastricsin), faktor hematopoietic (faktor intrinsik dan pengikat vitamin B

  12 ),

  hormon lambung, dan mucosubstance (aminopolysaccharides, mucopolyuronides, mucoids, dan mucoproteins). Protease lambung yang utama adalah pepsin dan gastricsin, pepsinogen adalah prekursor yang diubah menjadi pepsin aktif oleh HCl bebas dan oleh proses autokatalitik (Perigard, 2000).

  Pengujian fungsi lambung biasanya dilakukan pada sampel asam lambung yang dikumpulkan melalui intubasi langsung (direct intubation) ke dalam lambung. Kandungan lambung dalam puasa (normal, 20 – 30 ml) dan sekresi lambung tersebut dikumpulkan dalam keadaan basal, atau setelah stimulasi oleh pemberian oral kafein-benzoat atau alkohol, atau pemberian histamin parenteral, insulin, atau hormon pentagastrin. Sampel dikumpulkan melalui aspirasi terus menerus dan dianalisis untuk keasaman dan aktivitas protease lambung pada berbagai interval waktu (Dressman, 1998; Perigard, 2000).

  Keasaman dapat ditentukan dengan pengukuran pH secara sederhana dan

  • konversi ke mEq H atau dengan titrasi asam lambung. Asam lambung yang keluar (basal acid output ) adalah sekitar 1 mEq/jam pada kondisi normal dan 2 sampai 4 mEq pada pasien ulkus duodenum. Puncak keluaran asam (peak acid

  output /PAO) setelah stimulasi histamin adalah 10 sampai 20 mEq/jam dalam

  normal dan 40 sampai 50 mEq/jam dalam ulkus duodenum, PAO setelah stimulasi pentagastrik mirip dengan histamin (Perigard, 2000 ).

  2. 2 Antasida

  Antasida digunakan secara luas untuk menghilangkan rasa panas/nyeri ulu hati (heartburn) dan dispepsia (keluhan pada perut bagian atas seperti kembung,

  )

  cepat kenyang/sebah, mual, atau bersendawa yang dipicu oleh makanan , serta berbagai macam gejala GI nonspesifik. Peran utama antasida dalam penanganan gangguan asam lambung adalah menghilangkan rasa sakit.

  Antasida biasanya digunakan dalam kombinasi. Perbedaan dalam campuran menjelaskan perbedaan relatif dalam kapasitas netralisasi dan efek samping. Hal ini jelas bahwa semakin banyak asam dinetralkan, semakin besar efektivitas antasida tersebut. Untuk tujuan praktis, bagaimanapun, keberhasilan diperoleh dengan meningkatkan pH lambung menjadi 3,5 atau lebih besar. Hal ini dicapai dengan mudah oleh antasida modern (Tolman, 2000).

  Mekanisme kerja antasida bersifat kompleks. Mekanisme yang diusulkan adalah pencegahan difusi balik ion hidrogen di mukosa GI. Umumnya diterima bahwa meningkatkan pH lambung sekitar 4 mencegah stres ulkus, yang diduga diperantarai oleh difusi asam kembali. Tindakan lain antasida adalah untuk mencegah konversi pepsinogen lambung menjadi pepsin bentuk aktif. Ini adalah enzim proteolitik diperkirakan memediasi cedera jaringan pada penyakit ulkus.

  Pepsinogen mengalami inaktivasi ireversibel pada pH 5. Dengan demikian mungkin diperlukan untuk meningkatkan pH sampai 5 untuk mencapai manfaat maksimal dari antasida. Antasida juga dapat meningkatkan sitoproteksi di lambung, memberikan manfaat terapeutik dengan menonaktifkan garam empedu, yang diperkirakan refluks dari duodenum ke lambung dan memainkan beberapa peran dalam penyakit asam lambung (Tolman, 2000 ).

2.2.1 Kapasitas penetralan asam dan efektivitas relatif antasida

  Antasida konvensional (sediaan antasida dengan pelepasan segera) dibandingkan secara kuantitatif dalam hal ”Kapasitas Penetralan Asam” (acid- /ANC), didefinisikan sebagai jumlah miliekuivalen asam

  neutralizing capacity

  klorida yang diperlukan untuk mempertahankan 1 ml suspensi antasida pada pH 3 selama 2 jam secara in vitro (Tolman, 2000).

  Efektivitas relatif dari sediaan antasida konvensional dinyatakan sebagai miliekuivalen kapasitas penetralan asam (didefinisikan sebagai jumlah miliekuivalen HCl 1 N yang dapat membawa ke pH 3,5 dalam waktu 15 menit), sesuai dengan persyaratan FDA, antasida harus memiliki kapasitas netralisasi minimal 5 mEq per dosis (Wallace, 2000).

  Untuk ulkus tanpa komplikasi, antasida diberikan secara oral 1 dan 3 jam setelah makan dan sebelum tidur. Rejimen ini, memberikan - 120 mEq dari kombinasi Mg-Al per dosis, mungkin hampir sama efektifnya dengan dosis konvensional dengan antagonis reseptor H2. Untuk gejala berat atau refluks tidak terkontrol, antasida dapat diberikan sesering setiap 30 - 60 menit (Wallace, 2000).

  Secara umum, antasida diberikan dalam bentuk suspensi karena ini mungkin memiliki kapasitas netralisasi lebih besar dari bentuk bubuk atau sediaan tablet. Jika tablet yang digunakan, mereka harus benar-benar dikunyah untuk efek maksimum, namun antasida dibersihkan dari perut kosong dalam 30 menit, dengan adanya makanan cukup untuk meningkatan pH lambung sampai 5 selama 1 jam dan untuk memperpanjang efek netralisasi antasida selama 2 - 3 jam (Wallace, 2000 ).

2.3 Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS)

  Kandidat obat yang sesuai untuk sediaan yang tertahan di lambung atau gastroretentif (Garg dan Gupta, 2008; Swetha, et al., 2012): a.

  Obat-obat untuk aksi lokal dalam lambung misalnya: misoprostol, antasida, dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi Helicobacter pylori.

  b.

  Obat-obat yang kelarutan rendah dalam pH alkalis misalnya: furosemida, diazepam, verapamil, dan klordiazepoksida.

  c.

  Obat-obat yang terutama diabsorbsi dalam lambung atau bagian atas dari saluran pencernaan misalnya: amoksisilin. d.

  Obat-obat yang mempunyai rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan misalnya: siklosporin, metotreksat, levodopa, dan riboflavin.

  e.

  Obat-obat yang diabsorbsi cepat dari saluran pencernaan misalnya: metronidazol, dan tetrasikilin.

  f.

  Obat-obat yang tidak stabil dan terdegradasi didalam kolon misalnya ranitidin, metronidazol, dan metformin HCl.

  g.

  Obat-obat yang mengganggu mikroba kolon misalnya antibiotik untuk Helicobacter pylori .

  Kelebihan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a.

  Digunakan untuk aksi lokal dalam lambung.

  b.

  Dalam pengobatan dari penyakit ulkus peptikum.

  c.

  Digunakan untuk penghantaran obat-obat dengan rentang absorbsi yang sempit.

  d.

  Mengurangi frekuensi pemberian.

  e.

  Meningkatkan bioavailabilitas obat.

  f.

  Digunakan untuk obat-obat yang tidak stabil di dalam cairan usus.

  g.

  Digunakan untuk menahan penghantaran obat.

  h.

  Digunakan untuk mempertahankan konsentrasi obat sistemik dalam rentang terapeutik.

  Kekurangan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a.

  Memerlukan jumlah yang cukup besar cairan lambung, bagi sistem untuk mengapung dan bekerja efisien.

  b.

  Tidak cocok untuk obat-obat dengan masalah stabilitas dan kelarutan dalam lambung serta obat-obat yang mempunyai efek iritasi pada lambung.

2.3.1 Jenis-jenis Gastroretentif

  Pendekatan untuk sistem penghantaran obat tertahan di lambung secara umum terdiri dari:

  1. Sistem pengembangan dan pembesaran (swelling and expandable system).

  Ini merupakan bentuk sediaan yang setelah ditelan, dalam lambung mengembang pada taraf tertentu yang mencegah mereka keluar dari pilorus, seperti terlihat pada Gambar 2.2. Akibatnya, bentuk sediaan masih dipertahankan dalam lambung untuk jangka waktu yang panjang. Formulasi tersebut dirancang untuk tertahan di lambung (gastric retention) dan pelepasan obat dikontrol dalam rongga lambung (Kumar, 2012).

Gambar 2.2 GDDS dengan sistem pengembangan dan pembesaran

  (Kumar, 2012) 2. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems).

  Sistem bioadhesif digunakan sebagai perangkat penyampaian obat untuk meningkatkan absorpsi di tempat spesifik (site specific) dalam lambung.

  Pendekatan ini melibatkan penggunaan polimer bioadhesif, yang dapat menempel pada permukaan epitel di lambung. Beberapa eksipien yang paling menjanjikan yang telah umum digunakan di sistem ini meliputi polycarbophil, karbopol, kitosan dan gliadin (Kumar, 2012). Sistem bio/muko-adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 GDDS dengan sistem bio/muko-adhesif (Al-Qadi, et al., 2012)

  Mekanisme bioadhesif/mukoadhesif untuk berikatan antara polimer dengan permukaan mukus/epitel dapat dibagi menjadi tiga kategori: a.

  Adhesi yang dimediasi oleh Hidrasi Polimer hidrofilik tertentu memiliki kecenderungan untuk menyerap sejumlah besar air dan menjadi lengket, sehingga memperoleh sifat bioadhesif.

  Gastroretensi yang diperpanjang dari sistem pengiriman bio/muko-adhesi selanjutnya dikendalikan oleh laju disolusi polimer.

  b.

  Adhesi yang dimediasi oleh ikatan Adhesi polimer pada mukus/permukaan sel epitel melibatkan berbagai mekanisme ikatan. Ikatan fisik atau mekanik dapat dihasilkan dari deposisi dan masuknya bahan perekat di celah-celah mukosa tersebut. Ikatan kimia sekunder, berkontribusi terhadap sifat bioadhesif, seperti interaksi van der Walls dan interaksi ikatan hidrogen. Gugus fungsional hidrofilik yang bertanggung jawab untuk membentuk ikatan hidrogen adalah hidroksil (-OH) dan gugus karboksilat (-COOH) (Kumar, 2012). c.

  Adhesi yang dimediasi oleh reseptor Polimer tertentu memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel. Peristiwa yang dimediasi reseptor berfungsi sebagai pendekatan potensial dalam bio/muco-adhesi, sehingga meningkatkan retensi lambung dari bentuk sediaan (Kumar, 2012).

3. Sistem pengapungan (floating systems)

  Sistem ini memiliki kerapatan massa yang kurang dari cairan lambung sehingga mengapung di lambung tanpa mempengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu lama, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari sistem. Setelah pelepasan obat, sistem residual dikosongkan dari lambung. Sistem floating dapat dibagi ke dalam sistem effervescent dan non- effervescent (Kumar, 2012). Sistem floating dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 GDDS dengan sistem floating (Kumar, 2012) 4.

  Sistem berdensitas tinggi (high density systems) Sedimentasi telah digunakan sebagai mekanisme retensi untuk pelet yang cukup kecil untuk disimpan dalam lipatan lambung dekat daerah pilorus, yang merupakan bagian dari organ dengan posisi terendah dalam postur tegak. Pelet

  • 3

  padat (sekitar 3 g/cm ) terjebak dalam lipatan juga cenderung untuk menahan gerakan peristaltik dari dinding lambung, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Waktu transit GI dapat diperpanjang rata-rata 5,8 - 25 jam, tergantung pada kepadatan dan diameter pellet tersebut. Eksipien yang biasa digunakan adalah barium sulfat, seng oksida, titanium dioksida dan serbuk besi. Bahan-bahan ini meningkatkan

  • 3 kepadatan hingga 1,5 - 2,4g/cm (Kumar, 2012).

Gambar 2.5 GDDS dengan sistem berdensitas tinggi (High Density Systems)

  (Kumar, 2012)

  

2.3.2 Penelitian terdahulu tentang GDDS dan sediaan gastroretentif di

pasaran

  Penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang sistem penyampaian obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System/GDDS), diantaranya sebagai berikut:

  a. Sediaan gastroretentif dengan pembawa alginat-kitosan:

  • mikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif

  yang Formulasi mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol ( Wittaya, et al., 2006).

  Sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung - amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung ( Sahasathian, et al., 2010). Sediaan mikrobead dari campuran natrium alginat dengan natrium NaCMC

  • dan disalut enterik dengan kitosan untuk tujuan pelepasan terkontrol dari amoksisilin di dalam lambung (Angadi, et al., 2012).
  • dengan tetesan larutan busa ke dalam larutan CaCl , larutan busa terdiri dari

  Pengembangan jenis baru dari floating beads inner berpori. Bead dibuat

  2

  berbagai gelembung mikro dengan poloxamer 188 sebagai agen pembusa, dan alginat sebagai stablizer (Yao, et al., 2012). b. Sediaan gastroretentif dari bahan lainnya: Nayak, et al., (2012), pembuatan sistem keseimbangan hidrodinamis

  • ofloksasin menggunakan laktosa, HPMC K4M, PVP K 30, dan parafin cair, yang dapat meningkatkan waktu tinggal dalam lambung, dan memungkinkan dapat melepaskan obat maksimal di lokasi penyerapan untuk meningkatkan bioavailabilitas oral.

  c. Sediaan gastroretentif antasida: Sediaan antasida dengan masa tinggal yang diperpanjang di lambung

  • (Antacid Compositions With Prolonged Gastric Residence Time) telah ditemukan dan dipatentkan oleh Spickett, et al., (1994 ). Sediaan ini memiliki fase internal antasida yang padat (serbuk, tablet) dan dikelilingi oleh excipient dengan fase eksternal padat yang mengandung suatu substansi hidrofobik seperti ester dari gliserol dengan asam palmitat atau stearat, polialkena hidroksilasi dan emulsifier non-ionik.
  • product ) juga dipatentkan oleh Wallach, et al., (1996), merupakan suatu

  Sediaan antasida dengan durasi diperpanjang (Extended duration antacid

  produk antasida yang memiliki masa tinggal diperpanjang dalam lambung dan sistem pencernaan bagian atas. Produk antasida ini memuat campuran 10

  • 70% nonfosfolipid dalam bentuk vesikel lipid. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama enam jam dari sediaan masih dipertahankan dalam lambung.

  d. Sediaan gastroretentif dengan bentuk film.

  • eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan

  Sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan (

  Sediaan gastroretentif di pasaran Sathish, et al., 2013).

  Ranbaxy, India

  et al., 2013

  ,

  Sumber : Nayak, et al., 2010; Shashank

  Pharmacia, US

  floating tablet Bilayer floating capsule

  Cytotec® Misoprostol Gas-generating

  Ranbaxy, India

  Conviron® Ferrous sulfate gel-forming floating system

  (95 mg), Raft-forming liquid alginate preparation GlaxoSmith Kline, India

  Al(OH)

  Liquid Gaviscon®

  Perancis Oflin OD® Ofloxacin (400 mg) Gas-generating floating tablet

  Berkembangnya bentuk sediaan gastroretentif merupakan suatu upaya dalam memaksimalkan teknologi sistem penyampaian obat, terutama dalam teknologi penyampaian obat-obat untuk tujuan lokal dan spesifik di lambung dengan pelepasan lambat (sustained release). Beberapa contoh sediaan gastroretentif yang ada di pasaran, dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah.

  2 Pierre Fabre Drug ,

  3 , Mg(OH) Floating liquid alginate preparation

  Topalkan ® Al(OH)

  Valrelease ® Diazepam (15 mg) Floating capsule Hoffmann- La Roche, US

  Produk Roche, US

  Floating controlled release capsule

  Madopar ® Levodopa (l00 mg), benserazide (25 mg)

  Ranbaxy, India

  Gas-generating floating tablet

  Cifran OD ® Ciprofloxacin (500 mg & 1 g )

Tabel 2.1 Produk-produk sediaan gastroretentif yang tersedia di pasaran Nama dagang Obat (dosis) Bentuk sediaan Negara

3 Mg carbonate (358 mg)

  2.4 Natrium alginat

  Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah (Grasdalen, et al., 1979). Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera,

  

Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum. Alginat merupakan bahan yang non

toksik, non alergi (biokompatibel) dan biodegradabel (Rehm, 2009).

  Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D- mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linear. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1981). Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.6.

  Gambar 2. 6 Struktur Kimia Alginat (Thom, et al., 1981)

  2.5 Kitosan

  Kitosan merupakan aminopolisakarida hasil deasetilasi dari kitin, kitosan terdapat dalam cangkang crustacea seperti udang, lobster dan kepiting. Kitosan menunjukkan sifat polimer biomedis seperti nontoksik, biokompatibel dan biodegradabel (Felt, et al., 1998). Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola

  β-(1-4). Struktur kimia dari kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.7.

  

Gambar 2 .7 Struktur Kimia Kitosan (Felt, et al., 1998)

2.6 Interaksi antara alginat dengan kitosan

  Alginat yang merupakan polianionik dan kitosan yang merupakan polikationik dapat berinteraksi melalui gugus asam karboksilat dari alginat dan gugus amino dari kitosan membentuk kompleks polielektrolit dari muatan mereka yang berlawanan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

  Kompleks polielektrolit yang terbentuk diharapkan dapat memberikan aplikasi farmasetika yang lebih baik karena keunikan struktur dan sifatnya (Takahashi, et al., 1990).

  Gambar 2. 8 Reaksi antara Alginat dan Kitosan (Takahashi, et al., 1990)