Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC

(1)

TESIS

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN

GASTRORETENTIF METRONIDAZOL DARI FILM

ALGINAT-KITOSAN YANG DITAMBAHKAN HPMC

OLEH:

ELLA FRANSISKA

NIM 137014011

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN

GASTRORETENTIF METRONIDAZOL DARI FILM

ALGINAT-KITOSAN YANG DITAMBAHKAN HPMC

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ELLA FRANSISKA

NIM 137014011

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN GASTRORETENTIF

METRONIDAZOL DARI FILM ALGINAT-KITOSAN YANG

DITAMBAHKAN HPMC

OLEH:

ELLA FRANSISKA

NIM 137014011

Medan, Agustus 2015 Menyetujui:

Komisi Pembimbing, Komisi Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195201171980031002 NIP 195301011983031004

Prof. Dr. Karsono, Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 1954090919822011001 NIP 195504241983031003

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. NIP 195201171980031002

Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 1954090919822011001 Mengetahui: Disahkan Oleh:

Ketua Program Studi, Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 1954090919822011001 NIP 195807101986012001


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Ella Fransiska Nomor Induk Mahasiswa :137014011

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada hari Senin tanggal tiga bulan Agustus tahun dua ribu lima belas.

Mengesahkan: Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Anggota Tim Penguji : Prof. Dr. Karsono, Apt.

: Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Mahasiswa : Ella Fransiska Nomor Induk Mahasiswa :137014011 Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC

Dengan ini menyatakan bahwa tesis saya adalah asli karya saya sendiri, bukan plagiat dan apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Farmasi USU. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Medan, Agustus 2015 Yang membuat pernyataan,

Ella Fransiska NIM 137014011


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus atas segala berkat, rahmat, dan anugrah-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis dengan judul Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Selama menyelesaikan penelitiaan dan tesis ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

2. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Karsono, Apt., yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

3. Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., dan Prof. Dr. Karsono, Apt., selaku pembimbing yang tiada hentinya memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan tesis ini

4. Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., dan Drs. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. selaku dosen penguji yang memberikan kritik, saran, dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(7)

5. Ketua Peneliti Hibah Pasca Sarjana, Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., yang mendapatkan dana untuk penelitian ini yang berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara tahun 2015.

6. Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmasi Fisik beserta staff yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian.

7. Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi Farmasu beserta staff yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian.

8. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Mamaku yang tercinta Wang Soek Shen dan Papaku yang tersayang Thia Ong Hie yang tiada hentinya mendoakan, memberikan semangat, dukungan dan berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya. Harapan penulis semoga tesis ini menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang kefarmasian.

Medan, Agustus 2015 Penulis,


(8)

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN GASTRORETENTIF

METRONIDAZOL DARI FILM ALGINAT-KITOSAN YANG DITAMBAHKAN HPMC

ABSTRAK

Sediaan metronidazol konvensional memiliki durasi kerja yang singkat karena proses pengosongan lambung. Bentuk sediaan gastroretentif metronidazol diperlukan dalam pengobatan infeksi H.pylori untuk meningkatkan efektifitas obat dan kepatuhan pasien.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan filmgastroretentif metronidazol dengan menggunakan alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Selulose) yang dapat tertahan di lambung dan mampu memberikan pelepasan sustained release (SR) serta memberikan efek antibakteri.

Sediaan film gastroretentif metronidazol dibuat menggunakan musilago alginat 4%, musilago kitosan 4% dalam asam asetat 1%, HPMC, dan gliserin dalam rasio yang berbeda-beda. Campuran dari musilago alginat, musilago kitosan, HPMC dan gliserin yang mengandung metronidazol diratakan di atas objek gelas (2 cm x 5 cm) lalu dikeringkan pada temperatur kamar. Sifat pembentangan, integritas, dan pelepasan metronidazol dari film di evaluasi menggunakan alat disolusi USP metode dayung pada medium lambung buatan pH 1,2. Sifat mukoadhesif diuji menggunakan mukosa lambung tikus dengan tensiometer DuNoey, sifat pengembangan dalam medium lambung buatan pH 1,2 ditentukan berdasarkan pertambahan luas dan berat film, dan pengujian aktivitas antibakteri sediaan dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan bakteri Staphylococcus aureus.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa film F12 yang mengandung 3,34 g musilago alginat 4%; 1,16 g musilago kitosan 4% dalam asam asetat 1%; 150 mg serbuk HPMC; 8 tetes gliserin; dan 250 mg serbuk metronidazol memberikan karakteristik yang baik sebagai sistem penyampaian obat gastroretentif. Waktu pembentangan film adalah 6,5 menit, film masih tetap utuh selama 12 jam. Film mampu memberikan profil pelepasan SR selama 12 jam. Aliquot disolusi dari uji pelepasan obat menunjukkan bahwa sediaan film efektif menghambat pertumbuhan

Staphylococcus aureus selama 12 jam.

Hasisl penelitian menunjukkan bahwa film alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC adalah potensial untuk diaplikasikan sebagai suatu sistem penyampaian obat gastroretentif metronidazol.


(9)

FORMULATION AND EVALUATION GASTRORETENTIVE OF METRONIDAZOL USING ALGINATE-CHITOSAN FILM ADDED HPMC

ABSTRACT

The conventional metronidazole dosage forms have a short duration of action due to gastric emptying process. A gastroretentive dosage form of metronidazole is needed to improves the efficiency of gastric ulcers treatment againts H. pylori infection and patient compliance.

The aim of this study was to formulate a gastroretentive film dosage form of metronidazole using alginate-chitosan added HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose) based which was able to prolong the residence time in stomach, gave a sustained release in stomach, and have antibacterial activity.

The gastroretentive films of metronidazol were prepared using 4% alginate mucilage, 4% chitosan mucilage in 1% acetate acid, HPMC in various ratio and glycerin. The mixtures of alginate, chitosan, HPMC and glycerin containing metronidazole were then flattened on a glass object (2 cm x 5 cm) and allowed to dry at room temperature. Unfolding, disintegration, and release of metronidazol were evaluated using the USP dissolution tester apparatus II using gastric acid medium pH 1.2. Mucoadhesive property was tested using rats stomach by DuNoey tensiometer, swelling properties in gastric acid medium was determined based on the increase of film area and weight and antibacterial activities was tested using disc diffusion method with Staphylococcus aureus as a test organism.

The results showed that films F12 containing 3.34 g of 4% alginate mucilage, 1.16 g of 4% chitosan mucilage, 150 mg HPMC, 8 drops of glycerin and 250 mg of metronidazole gave good characteristics as a film gastroretentive drug delivery system. The unfolding time of the films was 6.5 minutes, the films was intact longer than 12 h. Film showed a sustained release profile of metronidazole for 12 h. The mucoadhesive value of the films was 106.627 ± 2.114 dyne/cm2 and the swelling index was 111.30%. Dissolution aliquot showed that the film containing metonidazole was effective to inhibite the growth of Staphylococcus aureus for 12 hour.

The result indicates that alginate-chitosan film by adding HPMC is potential to apply as a gastroretentive drug delivery system of metronidazole.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENGESAHAN TESIS ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 7


(11)

2.1 Ulkus ... 8

2.1.1 Faktor yang mempengaruhi produksi mukus ... 8

2.1.2 Pertahanan mukosa lambung ... 9

2.1.3 Cairan lambung (gastric juice) ... 12

2.1.4 Helicobacter pylori ... 13

2.2 Metronidazol ... 13

2.2.1 Uraian umum metronidazol ... 13

2.2.2 Farmakologi metronidazol ... 14

2.3 Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS) ... 15

2.3.1 Jenis-jenis gastroretentif ... 16

2.3.2 Penelitian terdahulu tentang GDDS dan sediaan di pasaran ... 20

2.4 Natrium Alginat ... 21

2.5 Kitosan ... 23

2.6 Interaksi antara Alginat dengan Kitosan ... 23

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Alat dan Bahan ... 24

3.2 Pembuatan Pereaksi ... 25

3.3 Pembuatan Sediaan Film Alginat-Kitosan ... 25

3.4 Uji Variasi Ketebelan dan Berat Film ... 26

3.5 Uji Sifat Pembentangan (Unfolding Behaviour) In Vitro . 26 3.6 Uji Integritas (keutuhan) Sediaan Film ... 27

3.7 Uji Sifat Pengembangan ... 28


(12)

3.9 Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazol ... 28

3.10 Uji Pelepasan Metronidazol dari Sediaan Film ... 29

3.11 Uji Aktivitas Antibakteri Film ... 28

3.11.1 Sterilisasi alat dan bahan ... 29

3.11.2 Pembuatan media ... 30

3.11.2.1 Media Nutrien Agar (NA) ... 30

3.11.2.2 Media Nutrien Broth (NB) ... 30

3.11.2.3 Media Muller Hington Agar (MHA) ... 31

3.11.3 Pembuatan stok kultur S. aureus ... 31

3.11.4 Penyiapan inokulum bakteri ... 31

3.11.5 Pembuatan kurva larutan standar metronidazol ... 32

3.11.6 Pengujiaan aktifitas antibakteri Film ... 32

3.12 Uji Bioadhesif secara In Vitro ... 33

3.13 Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Spesifikasi Sediaan Film Alginat- Kitosan ... 35

4.2 Sifat Pembentangan Film (Unfolding Behavior) ... 36

4.2.1 Pengaruh polimer pembawa terhadap sifat pembentangan film (unfolding behavior) ... 36

4.2.2 Pengaruh ratio alginat - kitosanterhadap waktu pembentangan film ... 38

4.3 Keutuhan Film (Integrity Properties) ... 39

4.4 Pengujian Daya Pengembangan Film ... 40

4.5 Uji Pelepasan Metronidazol secara In Vitro ... 42 4.5.1 Pengaruh ratio alginat – kitosan terhadap


(13)

pelepasan metronidazol secara in vitro ... 42

4.5.2 Pengaruh penambahan HPMC terhadap pelepasan metronidazol secara in vitro ... 44

4.5.3 Kinetika pelepasan metronidazol dari film ... 46

4.5.4 Pengaruh penambahan HPMC terhadap ketetapan laju (k) ... 47

4.5.5 Mekanisme difusi obat menurut model Korsmeyer-Peppas ... 48

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri Film ... 49

4.6.1 Pembuatan kurva larutan standar metronidazol ... 49

4.6.2 Penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) metronidazol ... 51

4.6.3 Uji aktivitas antibakteri aliquot disolusi ... 52

4.6.4 Korelasi pengujian diameter daerah hambat aliquot disolusi dan diameter daerah hambat larutan standar (hitung) ... 54

4.7 Pengujian Mukoadhesif ... 55

4.8 Scanning ElectronMicroscopy (SEM) ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 57


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Formula sediaan film alginat - kitosan yang mengandung

metronidazol ... 26

Tabel 4.1 Spesifikasi sediaan film gastroretentif metronidazol ... 35

Tabel 4.2 Sifat pembentangan film (unfolding behavior) ... 37

Tabel 4.3 Data keutuhan film (integrity properties) ... 40

Tabel 4.4 Daya pengembangan sediaan film ... 40

Tabel 4.5 Data pelepasan metronidazol dari sediaan film dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 44

Tabel 4.6 Data pelepasan metronidazol dari sediaan film dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 45

Tabel 4.7 Kinetika pelepasan metronidazol dari sediaan film... 46

Tabel 4.8 Harga ketetapan laju (k) pelepasan metronidazol ... 47

Tabel 4.9 Interpretasi dari mekanisme difusi obat dari poilimer film ... 48

Tabel 4.10 Aktvitas antibakteri dari larutan standar metronidazol terhadap S.aureus ... 50

Tabel 4.11 Pengujiaan aliquot disolusi terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus yang diinkubasi pada 37ᵒC selama 18 jam dalam MHA ... 52

Tabel 4.12 Korelasi pengujian diameter daerah hambat aliquot disolusi dan diameter daerah hambat larutan standar (hitung) ... 54


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Bagan kerangka pikir penelitian ... 7

Gambar 2.1 Rumus bangun metronidazol ... 14

Gambar 2.2 GDDS dengan system pengembangan dan pembesaran ... 17

Gambar 2.3 GDDS dengan system bio/muko-adhesif ... 17

Gambar 2.4 GDDS dengan system floating ... 19

Gambar 2.5 GDDS dengan system berdensitas tinggi ... 19

Gambar 2.6. Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guloronat ... 22

Gambar 2.7 Struktur kimia kitosan ... 23

Gambar 2.8 Reaksi antara alginat dan kitosan ... 23

Gambar 3.1 Ilustrasi sediaan gastroretentif metronidazol film alginat- kitosan ... 27

Gambar 4.1 Proses pembentangan film alginat-kitosan ... 36

Gambar 4.2 Sediaan film metronidazol setelah 3 jam dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 37

Gambar 4.3 Sediaan film metronidazol (dapat membentang) dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 38

Gambar 4.4 Grafik pengaruh ratio alginat - kitosan terhadap waktu pembentangan film (Unfolding behavior) ... 39

Gambar 4.5 Grafik daya pengembangan film metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 41

Gambar 4.6 Contoh daya pengembangan sediaan film yang mengandung metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 42

Gambar 4.7 Grafik pengaruh ratio alginat-kitosan terhadap laju pelepasan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 43 Gambar 4.8 Grafik pengaruh penambahan HPMC terhadap laju


(16)

pelepasan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 44 Gambar 4.9 Plot orde 0 dan orde 1 pelepasan metronidazol dari film ... 49 Gambar 4.10 Model Higuchi dan Model Korsmeyer-Peppas pelepasan

metronidazol dari film ... 49 Gambar 4.11 Hasil pengujiaan diameter daerah hambat larutan standar

metronidazol ... 52

Gambar 4.12 Plot ln (c) vs x2 larutan standar metronidazol terhadap

S.aureus ... 52 Gambar 4.13 Hasil pengujian diameter daerah hambat aliquot disolusi ... 53 Gambar 4.14 Grafik diameter daerah hambat vs waktu ... 53 Gambar 4.15 Hubungan antara pengujian diameter daerah hambat

aliquot disolusi dan diameter daerah lambat hitung ... 55 Gambar 4.16 Hasil pengujian Scanning Electron Miscoscopy (SEM) ... 56


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Data spesifikasi sediaan gastroretentif metronidazol dari

film alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC ... 63

Lampiran 2 Data sifat pembentangan (unfolding behavior) ... 67

Lampiran 3 Data pengujian sifat integritas film ... 70

Lampiran 4 Data pengujian sifat pengembangan film ... 71

Lampiran 5 Kurva serapan larutan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 80

Lampuran 6 Kurva kalibrasi larutan metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 81

Lampiran 7 Data hasil pengujian disolusi sediaan gastroretentif metronidazol dari film alginat- kitosan yang ditambahkan HPMC ... 82

Lampiran 8 Plot orde pelepasan obat ... 118

Lampiran 9 Data pengujjian aktivitas antibakteri ... 120


(18)

PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN GASTRORETENTIF

METRONIDAZOL DARI FILM ALGINAT-KITOSAN YANG DITAMBAHKAN HPMC

ABSTRAK

Sediaan metronidazol konvensional memiliki durasi kerja yang singkat karena proses pengosongan lambung. Bentuk sediaan gastroretentif metronidazol diperlukan dalam pengobatan infeksi H.pylori untuk meningkatkan efektifitas obat dan kepatuhan pasien.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan filmgastroretentif metronidazol dengan menggunakan alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Selulose) yang dapat tertahan di lambung dan mampu memberikan pelepasan sustained release (SR) serta memberikan efek antibakteri.

Sediaan film gastroretentif metronidazol dibuat menggunakan musilago alginat 4%, musilago kitosan 4% dalam asam asetat 1%, HPMC, dan gliserin dalam rasio yang berbeda-beda. Campuran dari musilago alginat, musilago kitosan, HPMC dan gliserin yang mengandung metronidazol diratakan di atas objek gelas (2 cm x 5 cm) lalu dikeringkan pada temperatur kamar. Sifat pembentangan, integritas, dan pelepasan metronidazol dari film di evaluasi menggunakan alat disolusi USP metode dayung pada medium lambung buatan pH 1,2. Sifat mukoadhesif diuji menggunakan mukosa lambung tikus dengan tensiometer DuNoey, sifat pengembangan dalam medium lambung buatan pH 1,2 ditentukan berdasarkan pertambahan luas dan berat film, dan pengujian aktivitas antibakteri sediaan dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan bakteri Staphylococcus aureus.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa film F12 yang mengandung 3,34 g musilago alginat 4%; 1,16 g musilago kitosan 4% dalam asam asetat 1%; 150 mg serbuk HPMC; 8 tetes gliserin; dan 250 mg serbuk metronidazol memberikan karakteristik yang baik sebagai sistem penyampaian obat gastroretentif. Waktu pembentangan film adalah 6,5 menit, film masih tetap utuh selama 12 jam. Film mampu memberikan profil pelepasan SR selama 12 jam. Aliquot disolusi dari uji pelepasan obat menunjukkan bahwa sediaan film efektif menghambat pertumbuhan

Staphylococcus aureus selama 12 jam.

Hasisl penelitian menunjukkan bahwa film alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC adalah potensial untuk diaplikasikan sebagai suatu sistem penyampaian obat gastroretentif metronidazol.


(19)

FORMULATION AND EVALUATION GASTRORETENTIVE OF METRONIDAZOL USING ALGINATE-CHITOSAN FILM ADDED HPMC

ABSTRACT

The conventional metronidazole dosage forms have a short duration of action due to gastric emptying process. A gastroretentive dosage form of metronidazole is needed to improves the efficiency of gastric ulcers treatment againts H. pylori infection and patient compliance.

The aim of this study was to formulate a gastroretentive film dosage form of metronidazole using alginate-chitosan added HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose) based which was able to prolong the residence time in stomach, gave a sustained release in stomach, and have antibacterial activity.

The gastroretentive films of metronidazol were prepared using 4% alginate mucilage, 4% chitosan mucilage in 1% acetate acid, HPMC in various ratio and glycerin. The mixtures of alginate, chitosan, HPMC and glycerin containing metronidazole were then flattened on a glass object (2 cm x 5 cm) and allowed to dry at room temperature. Unfolding, disintegration, and release of metronidazol were evaluated using the USP dissolution tester apparatus II using gastric acid medium pH 1.2. Mucoadhesive property was tested using rats stomach by DuNoey tensiometer, swelling properties in gastric acid medium was determined based on the increase of film area and weight and antibacterial activities was tested using disc diffusion method with Staphylococcus aureus as a test organism.

The results showed that films F12 containing 3.34 g of 4% alginate mucilage, 1.16 g of 4% chitosan mucilage, 150 mg HPMC, 8 drops of glycerin and 250 mg of metronidazole gave good characteristics as a film gastroretentive drug delivery system. The unfolding time of the films was 6.5 minutes, the films was intact longer than 12 h. Film showed a sustained release profile of metronidazole for 12 h. The mucoadhesive value of the films was 106.627 ± 2.114 dyne/cm2 and the swelling index was 111.30%. Dissolution aliquot showed that the film containing metonidazole was effective to inhibite the growth of Staphylococcus aureus for 12 hour.

The result indicates that alginate-chitosan film by adding HPMC is potential to apply as a gastroretentive drug delivery system of metronidazole.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ulkus peptikum merupakan lesi yang dalam yang terjadi pada mukosa dan muskularis mukosa saluran cerna. Ulkus peptikum yang sering terjadi adalah ulkus gastritis dan ulkus duodenum. Ulkus terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam hidroklorida, pepsin, Helicobacter pylori, NSAIDs) dengan faktor protektif (antioksidan enzimatis, antioksidan non enzimatis, aliran darah, proses regenerasi sel, musin, bikarbonat, prostaglandin), yang akhirnya menyebabkan kerusakan mukosa (Amandeep, et al., 2012). Ulkus peptikum merupakan penyakit yang sering terjadi secara klinis dan terjadi pada semua usia. Diperkirakan penyakit ini akan mempunyai pengaruh global yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien (Radhika dan Ganesh, 2012).

Faktor resiko besar penyebab ulkus meliputi: infeksi bakteri (Helicobacter pylori), obat-obatan tertentu (NSAIDs), bahan-bahan kimia (HCl/etanol), kanker lambung dan faktor resiko kecil meliputi: keadaan stres, merokok, makanan pedas dan defisiensi nutrisi (Amandeep, et al., 2012).

Penghantaran obat dengan sistem gastroretentif (Gastroretentive Drug Delivery Systems/GDDS) adalah sebuah pendekatan untuk memperpanjang waktu tinggal obat di lambung, sehingga menargetkan pelepasan spesifik ke lambung dan melepaskan obatnya secara terus menerus dan terkontrol dalam waktu yang lebih lama, sehingga akan bermanfaat untuk meningkatkan efikasi dari obat. Perpanjangan waktu tinggal dalam lambung dari sediaan obat dapat meningkatkan bioavailabilitas, mengontrol


(21)

lamanya pelepasan obat. Disamping itu juga akan bermanfaat bagi kerja lokal obat di bagian atas saluran pencernaan terutama untuk pengobatan ulkus peptik (Nayak, et al., 2010).

Beberapa contoh desain dan pengembangan dari sistem gastroretentif meliputi: sistem penyampaian obat mukoadhesif yang melekat pada permukaan mukosa. Sistem pengembangan (swelling) yaitu sediaan ketika kontak dengan cairan lambung akan mengembang dengan ukuran yang mencegah obat melewati pilorus sehingga sediaan tetap berada dalam lambung untuk beberapa waktu tertentu. Sistem pengapungan (floating system) yaitu sistem penyampaian dengan menggunakan sediaan dengan densitas rendah sehingga dapat mengapung dan bertahan dalam lambung untuk beberapa waktu, dan selanjutnya sediaan dengan densitas tinggi yang ditahan pada dasar dari lambung (Ami, et al., 2012; Nayak, et al., 2010).

Beberapa penelitian telah menjelaskan tentang penggunaan alginat-kitosan dalam formulasi pelepasan obat terkontrol, sediaan film dan sediaan gastroretentif, seperti formulasimikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif yang mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol (Wittaya, et al., 2006), sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung (Sahasathian, et al., 2010). Evaluasi fisika-kimia film alginat/kitosan yang mengandung natamycin sebagai agen antimikroba. Silvaa, et al., 2005) dan Lilian et al, (2011), membuat campuran film kitosan kationik dengan ekstrak protein quinoa anionik yang dapat digunakan sebagai edibel film untuk tujuan pengemasan dalam industri makanan.


(22)

Sementara sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan (Sathish, et al., 2013).

Alginat merupakan suatu polisakarida yang dihasilkan dari ganggang coklat (Phaeophyceae) dan bakteri. Alginat adalah kopolimer anionik linier yang terdiri dari residu asam β-D-manuronat dan asam α-L-guluronat dalam ikatan 1,4. Kelebihan yang paling penting dari natrium alginat sebagai matriks untuk formulasi pelepasan terkontrol adalah karena sifatnya yang biodegradabel dan biokompatibel (Sachan, et al., 2009).

Kitosan merupakan derivat kitin adalah biopolimer kedua terbanyak yang terdapat di alam sesudah sellulosa. Terdapat pada hewan khususnya kerang-kerangan, kulit kepiting dan udang. Kitosan bersifat non toksik, membentuk film (film former), biokompatibel, biodegradable dan bersifat mukoadhesif. Mekanisme kerja mukoadhesif terjadi melalui interaksi ionik antara gugus amino kitosan yang bermuatan positif dengan muatan negatif asam sialat yang terdapat dalam mukus. Selain itu, polimer hidrofilik ini menarik cairan dari lapisan gel mukus yang terdapat pada permukaan epitel dan akan mengembang dalam suasana asam (Felt, et al., 1998;Yogeshkumar, et al., 2013)

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk merancang suatu sediaan metronidazol model baru dengan sistem penyampaian obat gastroretentif, dengan bentuk sediaan berupa film yang digulung atau dilipat, kemudian dimasukkan ke dalam cangkang kapsul, dan saat kapsul hancur di lambung, film akan membentang kembali,


(23)

sehingga memperpanjang waktu tinggal obat di lambung, dan melepaskan obatnya secara terus menerus dan terkontrol dalam waktu yang lebih lama.

Kitosan, alginat dan HPMC adalah polimer yang digunakan untuk formulasi sediaan gastroretentif berbentuk film dalam penelitian ini, serta gliserin sebagai plastisizer. Alginat dan kitosan mempunyai muatan yang berlawanan sehingga akan membentuk kompleks polielektrolit yang memiliki karakteristik menarik untuk aplikasi pelepasan terkontrol (Yan, et al., 2001).Sifat-sifat dan kemampuan kitosan membentuk film, bersifat mukoadhesif, dan mengembang dalam suasana asam akan sangat cocok dikombinasikan dengan alginat yang mengontrol pelepasan obat dan bertahan di lambung sebagai sediaan gastroretentif. HPMC merupakan hidrokoloid yang dapat membentuk gel (gel-forming hydrocolloids) sehingga sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan sediaan pelepasan terkontrol (Nayak, et.al., 2012)

Metronidazol merupakan suatu nitroimidazol yang digunakan untuk penanganan infeksi anaerob. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM50) metronidazol yang dibutuhkan untuk mempengaruhi strain patogen periodontal umumnya adalah kurang dari 1 μg/ml (Dumitrescu, 2011). Penelitian Suwandi, (2003) menunjukkan bahwa setelah 8 jam pemberian lokal gel metronidazol 25%, dapat dicapai konsentrasi obat 128 μg/ml, atau sebanyak 100 kali KHM kebanyakan bakteri anaerob.

Untuk penelitian lebih lanjut tentang pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori maka peneliti tertarik untuk meneliti pembuatan sediaan film dari alginat dan kitosan dengan menggunakan metronidazol sebagai model obat. Metronidazol adalah obat antibiotik yang digunakan terutama dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan, terutama bakteri anaerob dan protozoa.


(24)

Pengobatan ulkus yang disebabkan oleh Helicobacter pylori dengan menggunakan sediaan konvensional dari metronidazol kurang efektif karena membutuhkan waktu pengobatan yang lama dan frekuensi pemberian obat yang tinggi sehingga mengurangi kepatuhan pasien. Oleh karena itu perlu dibuat sediaan yang dapat memperlama waktu tinggal metronidazol di lambung dan memiliki pelepasan yang berkelanjutan (sustained release).

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Apakah metronidazol dapat diformulasi dalam bentuk film alginat-kitosan sebagai sediaan Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS)?

b. Apakah metronidazol yang diformulasi dalam bentuk film alginat-kitosan dapat memberikan pelepasan Sustained Release (SR)?

c. Apakah bentuk sediaan gastroretentif film alginat-kitosan yang mengandung metronidazolsebagai antimikroba mampu menunjukkan efek anti-mikrobanya?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

a. Alginat-kitosan merupakan suatu polimer yang dapat berinterakasi membentuk kompleks polielektrolit yang dapat diaplikasikan terhadap metronidazol sebagai suatu sediaan film yang bertahan lebih lama dalam lambung/GDDS dan HPMC merupakan hidrokoloid yang dapat membentuk gel sehingga dapat memperlambat pelepasan obat..


(25)

b. Metronidazol yang diformulasikan dalam sediaan film alginat-kitosan dapat memberikan pelepasan Sustained Release (SR).

c. Sediaan GDDS dari film alginat, kitosan dan HPMC yang mengandung metronidazol sebagai antimikroba yang dilipat dan dimasukkan dalam kapsul mempunyai sifat elastis dan akan membentang kembali ketika kapsul hancur di lambung sehingga mencegah obat melewati pilorus, ditambah lagi dengan kitosan yang bersifat mukoadhesif serta mengembang dalam suasana asam akan lebih membantu sediaan tertahan di lambung dan memberikan efek antimikroba dalam waktu yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional yang diuji secara in vitro.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat formula film alginat-kitosan dan film alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC sebagai suatu sediaan metronidazol dalam bentuk film yang mampu bertahan lebih lama dalam lambung/GDDS dan memberikan pelepasan Sustained Release (SR) serta mempu memberikan aktivitas antibakteri dalam durasi yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional yang diuji secara in vitro.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi dan kontribusi dalam pengembangan Sistem Penyampaian Obat/Drug Delivery System (DDS) terutama dalam teknologi sediaan obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS).


(26)

Sediaan GDDS dapat mengontrol lamanya pelepasan obat dalam lambung sehingga lebih efektif.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Variabel bebas pada Formula F1-F9 adalah konsentrasi alginat dan kitosan, sedangkan pada F10-F13 variabel bebasnya adalah konsentrasi alginat, kitosan, dan HPMC.

Latar Belakang Penyelesaian Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Bagan kerangka pikir penelitian

ukuran Spesifikasi film Kendala pada penghantaran obat di lambung dari sediaan konvesional untuk pengobatan ulkus yang disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori adalah

waktu tinggalnya yang singkat di lambung Pembuatan sediaan filmyang dapat bertahan lama di lambung Orde pelepasan Kinetika Pelepasan Metronidazol dari film alginat-kitosan Konsentrasi alginat Konsentrasi HPMC berat tebal Konsentrasi kitosan

SEM permukaan Morfologi film sebelum dan setelah pengembangan Unfolding Behavior Kemampuan membentang kembali lama film utuh di lambung Integritas Film Diameter daerah hambat Aktivitas Antibakteri Pelepasan Metronidazol dari film alginat-kitosan Jumlah obat yang terlepas (%)


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ulkus

Ulkus peptikum merupakan istilah yang mengacu pada erosi lapisan mukosa di mana saja di saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi di lambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus: terlalu sedikit produksi mukus atau terlalu banyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008).

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi mukus

Ulkus umumnya berkembang ketika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan mukus yang cukup untuk melindungi terhadap pencernaan asam. Penyebab penurunan produksi mukus dapat mencakup apa saja yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel yang memproduksi mukus. Jenis ulkus ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi dengan semua jenis shock. Suatu jenis tertentu dari ulkus iskemik yang berkembang setelah luka bakar parah disebut ulkus Curling (Corwin, 2008).

Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi bakteri H. pylori. H. pylori menginfeksi sel-sel yang mensekresi mukus lambung dan duodenum, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan mukus. Sekitar 90% dari pasien yang memiliki ulkus duodenum dan 70% dari pasien yang memiliki ulkus lambung disebabkan infeksi H. pylori. Penurunan produksi mukus dalam duodenum juga dapat terjadi sebagai akibat dari penghambatan kelenjar penghasil mukus, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas mereka dihambat oleh


(28)

stimulasi simpatis, stimulasi simpatis meningkat dengan stres kronis. Sehingga menjadi suatu rangkaian antara stres kronis dan pengembangan ulkus (Corwin, 2008).

2.1.2 Pertahanan mukosa lambung

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor:

1. Faktor pre-epitelial

Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan Hall, 1997).

Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah yang lebih


(29)

sedikit. Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992).

2. Faktor epitelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992).

3. Faktor sub-epitelial

Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi balik ion H+. Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah


(30)

sel-sel radang lokal saluran cerna (sel-sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik, 1992).

Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG) (Julius 1992). Prostaglandin merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002).

Gambar 2.1.Faktor-faktor penyebab ulkus (Liu dan Crawford, 2005)

2.1.3 Cairan lambung (gastric juice)

Cairan lambung (Gastric juice) adalah campuran heterogen dari cairan jernih,

flocculent, dan mukus jernih. Konstituen utama dari cairan lambung (gastric juice) adalah asam hidroklorida, protease lambung (pepsin dan gastricsin), faktor


(31)

hematopoietic (faktor intrinsik dan pengikat vitamin B12), hormon lambung, dan

mucosubstance (aminopolysaccharides, mucopolyuronides, mucoids, dan mucoproteins). Protease lambung yang utama adalah pepsin dan gastricsin, pepsinogen adalah prekursor yang diubah menjadi pepsin aktif oleh HCl bebas dan oleh proses autokatalitik (Perigard, 2000).

Pengujian fungsi lambung biasanya dilakukan pada sampel asam lambung yang dikumpulkan melalui intubasi langsung (direct intubation) ke dalam lambung. Kandungan lambung dalam puasa (normal, 20 – 30 ml) dan sekresi lambung tersebut dikumpulkan dalam keadaan basal, atau setelah stimulasi oleh pemberian oral kafein-benzoat atau alkohol, atau pemberian histamin parenteral, insulin, atau hormon pentagastrin. Sampel dikumpulkan melalui aspirasi terus menerus dan dianalisis untuk keasaman dan aktivitas protease lambung pada berbagai interval waktu (Dressman, et al., 1998; Perigard, 2000).

Keasaman dapat ditentukan dengan pengukuran pH secara sederhana dan konversi ke mEq H+ atau dengan titrasi asam lambung. Asam lambung yang keluar (basal acid output ) adalah sekitar 1 mEq/jam pada kondisi normal dan 2 sampai 4 mEq pada pasien ulkus duodenum. Puncak keluaran asam (peak acid output/PAO) setelah stimulasi histamin adalah 10 sampai 20 mEq/jam dalam normal dan 40 sampai 50 mEq/jam dalam ulkus duodenum, PAO setelah stimulasi pentagastrik mirip dengan histamin (Perigard, 2000).

2.1.5 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori memproduksi urease dalam jumlah besar yang menghidrolisis urea dalam asam lambung dan mengubahnya menjadi amoniak dan


(32)

karbon dioksida. Efek buffer lokal dari amoniak menciptakan lingkungan kecil yang netral di sekitar bakteri yang melindungi dari efek asam lambung yang mematikan.

H.pylori juga memproduksi protein penghambat asam yang memungkinkan untuk beradaptasi dengan lingkungan pH rendah di lambung (Berardi dan Welage, 2005).

Kerusakan mukosa langsung dihasilkan oleh faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, protein gen terkait cytotoxin dan faktor inhibitor pertumbuhan, enzim pengurai dari bakteri (lipase, protease, dan urease). H.pylori juga memproduksi protein toksin (Vac A) yang bertanggung jawab untuk pembentukan vakuola seluler. Lipase dan protease mendegradasi mukus, ammonia yang dihasilkan oleh urease bersifat toksik terhadap sel epitel dan penempelan bakteri meningkatkan pemasukan toksin ke dalam sel epitel. Infeksi H.pylori mengubah respon inflamasi dan merusak sel epitel secara langsung oleh mekanisme kekebalan yang dimediasi oleh sel atau secara tidak langsung dengan mengaktifkan neutrofil atau makrofag mencoba untuk memfagosit bakteri atau produk dari bakteri (Berardi dan Welage, 2005).

2.2 Metronidazol

2.2.1. Uraian umum metronidazol (Depkes RI, 1995) Sinonim : 2-Metil-5-nitroimidazol-1-etanol Rumus Molekul : C6H9N3O3

Berat Molekul : 171,16

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara, tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya.


(33)

Kelarutan : Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol, dan dalam kloroform.

Jarak lebur : antara 159 dan 163oC

N N NO2

OH

CH3

Gambar 2.1 Rumus bangun metronidazol

2.2.2 Farmakologi metronidazol

Metronidazol mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu melawan semua cocci anaerobik dan basil anaerobik gram negatif (termasuk Bacteroides spp.) serta basil anaerobik gram positif penghasil spora (Brunton, et al., 2008). Metronidazol digunakan dalam amubiasis hepatik dan intestinal, giardiasis, trichomoniasis saluran urogenital dan vaginosis bakterial. Juga digunakan dalam pengobatan infeksi mikroba anaerob di gigi dan profilaksi pembedahan saluran cerna, serta dalam infeksi campuran aerobik-anerobik lainnya. Metronidazol juga diandalkan dalam penanganan ulkus duodenal akibat H.pylori dalam kombinasi dengan obat lain (Yellanki, et al., 2010).

Metronidazol adalah suatu prodrug yang diaktivasi dengan cara reduksi gugus nitro oleh organisme yang suseptibel. Berbeda dengan patogen aerobik, patogen anaerobik dan mikroaerofilik seperti T. vaginalis, E. hystolitica, dan G. lamblia serta bakteri anaerobik mempunyai komponen transpor elektron dengan potensial redoks yang cukup negatif untuk mendonorkan elektron kepada metronidazol. Transpor elektron menghasilkan anion nitro radikal yang sangat reaktif yang membunuh bakteri


(34)

yang suseptibel melalui mekanisme radical-mediated yang merusak DNA (Brunton, et al., 2008). Selain bersifat antiinfeksi, metronidazol juga bersifat antiinflamasi. Ia mempengaruhi motilitas neutrofil, aksi limfosit, dan imunitas seluler (Haveles, 2007).

2.3 Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS)

Kandidat obat yang sesuai untuk sediaan yang tertahan di lambung atau gastroretentif (Garg dan Gupta, 2008; Swetha, et al., 2012):

a. Obat-obat untuk aksi lokal dalam lambung misalnya: misroprostol, antasida, dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi Helicobacter pylori.

b. Obat-obat yang kelarutan rendah dalam pH alkalis misalnya: furosemida, diazepam, verapamil, dan klordiazepoksida.

c. Obat-obat yang terutama diabsorbsi dalam lambung atau bagian atas dari saluran pencernaan misalnya: amoksisilin.

d. Obat-obat yang mempunyai rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan misalnya: siklosporin, metotreksat, levodopa, dan riboflavin.

e. Obat-obat yang diabsorbsi cepat dari saluran pencernaan misalnya: metronidazol, dan tetrasikilin.

f. Obat-obat yang tidak stabil dan terdegradasi didalam kolon misalnya ranitidin, metronidazol, dan metformin HCl.

g. Obat-obat yang mengganggu mikroba kolon misalnya antibiotik untuk

Helicobacter pylori.

Kelebihan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a. Digunakan untuk aksi lokal dalam lambung.


(35)

c. Digunakan untuk penghantaran obat-obat dengan rentang absorbsi yang sempit. d. Mengurangi frekuensi pemberian.

e. Meningkatkan bioavailabilitas obat.

f. Digunakan untuk obat-obat yang tidak stabil di dalam cairan usus. g. Digunakan untuk menahan penghantaran obat.

h. Digunakan untuk mempertahankan konsentrasi obat sistemik dalam rentang terapeutik.

Kekurangan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012):

a.Memerlukan jumlah yang cukup besar cairan lambung, bagi sistem untuk mengapung dan bekerja efisien.

b.Tidak cocok untuk obat-obat dengan masalah stabilitas dan kelarutan dalam lambung serta obat-obat yang mempunyai efek iritasi pada lambung.

2.3.1 Jenis-jenis gastroretentif

Pendekatan untuk sistem penghantaran obat tertahan di lambung secara umum terdiri dari :

1. Sistem pengembangan dan pembesaran (swelling and expandable system).

Ini merupakan bentuk sediaan yang setelah ditelan, dalam lambung mengembang pada taraf tertentu yang mencegah mereka keluar dari pylorus, seperti terlihat pada Gambar 2.2. Akibatnya, bentuk sediaan masih dipertahankan dalam lambung untuk jangka waktu yang panjang. Formulasi tersebut dirancang untuk tertahan di lambung (gastric retention) dan pelepasan obat dikontrol dalam rongga lambung (Kumar, 2012).


(36)

Gambar 2.2 GDDS dengan sistem pengembangan dan pembesaran (Kumar, 2012)

2. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems).

Sistem bioadhesif digunakan sebagai perangkat penyampaian obat untuk meningkatkan absorpsi di tempat spesifik (site specific) dalam lambung. Pendekatan ini melibatkan penggunaan polimer bioadhesif, yang dapat menempel pada permukaan epitel di lambung (Dubernet, et al., 2004). Beberapa eksipien yang paling menjanjikan yang telah umum digunakan di sistem ini meliputi polycarbophil, karbopol, kitosan dan gliadin (Kumar, et al., 2012). Sistem bio/muko-adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 GDDS dengan sistem bio/muko-adhesif (Al-Qadi, et al., 2012)

Mekanisme bioadhesif/mukoadhesif untuk berikatan antara polimer dengan permukaan mukus/epitel dapat dibagi menjadi tiga kategori:


(37)

a.Adhesi yang dimediasi oleh Hidrasi

Polimer hidrofilik tertentu memiliki kecenderungan untuk menyerap sejumlah besar air dan menjadi lengket, sehingga memperoleh sifat bioadhesif. Gastroretensi yang diperpanjang dari sistem pengiriman bio/muko-adhesi selanjutnya dikendalikan oleh laju disolusi polimer.

b.Adhesi yang dimediasi oleh ikatan

Adhesi polimer pada mukus/permukaan sel epitel melibatkan berbagai mekanisme ikatan. Ikatan fisik atau mekanik dapat dihasilkan dari deposisi dan masuknya bahan perekat di celah-celah mukosa tersebut. Ikatan kimia sekunder, berkontribusi terhadap sifat bioadhesif, terdiri dari interaksi disperssif (yaitu interaksi van der Walls) dan interaksi ikatan hidrogen. Gugus fungsional hidrofilik bertanggung jawab untuk membentuk ikatan hidrogen adalah hidroksil (-OH) dan kelompok karboksilat (-COOH) (Chien, 1992).

c.Adhesi yang dimediasi oleh reseptor

Polimer tertentu memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel. Peristiwa yang dimediasi reseptor berfungsi sebagai pendekatan potensial dalam bio/muco-adhesi, sehingga meningkatkan retensi lambung dari bentuk sediaan (Kumar, et al., 2012).

2.Sistem pengapungan (floating systems)

Sistem ini memiliki kerapatan massa yang kurang dari cairan lambung sehingga mengapung di lambung tanpa mempengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu lama, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari system. Setelah pelepasan obat, sistem residual dikosongkan dari lambung. Sistem


(38)

floating dapat dibagi ke dalam sistem effervescent dan non-effervescent (Kumar, 2012). Sistem floating dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 GDDS dengan sistem floating (Kumar, 2012) 3.Sistem berdensitas tinggi (High Density Systems)

Sedimentasi telah digunakan sebagai mekanisme retensi untuk pelet yang cukup kecil untuk disimpan dalam lipatan lambung dekat daerah pilorus, yang merupakan bagian dari organ dengan posisi terendah dalam postur tegak. Pelet padat (sekitar 3 g/cm-3) terjebak dalam lipatan juga cenderung untuk menahan gerakan peristaltik dari dinding lambung, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Waktu transit GI dapat diperpanjang rata-rata 5,8 - 25 jam, tergantung pada kepadatan dan diameter pellet tersebut. Eksipien yang biasa digunakan adalah barium sulfat, seng oksida, titanium dioksida dan serbuk besi. Bahan-bahan ini meningkatkan kepadatan hingga 1,5 - 2,4g/cm-3 (Kumar, et al., 2012).

Gambar 2.5 GDDS dengan sistem berdensitas tinggi (High Density Systems) (Kumar, 2012)


(39)

2.3.2 Penelitian terdahulu tentang GDDS dan sediaan gastroretentif di pasaran

Penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang sistem penyampaian obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System/GDDS), diantaranya sebagai berikut:

a. Sediaan gastroretentif dengan pembawa alginat-kitosan:

- Formulasi mikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif yang mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol (Wittaya, et al., 2006).

- Sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung (Sahasathian, et al., 2010).

- Sediaan mikrobead dari campuran natrium alginat dengan natrium NaCMC dan disalut enterik dengan kitosan untuk tujuan pelepasan terkontrol dari amoksisilin di dalam lambung (Angadi et al., 2012).

- Pengembangan jenis baru dari floating beads inner berpori. Bead dibuat dengan tetesan larutan busa ke dalam larutan CaCl2, larutan busa terdiri dari berbagai gelembung mikro dengan poloxamer 188 sebagai agen pembusa, dan alginat sebagai stablizer (Yao Huimin, et al., 2012).

b. Sediaan gastroretentif dari bahan lainnya:

- Nayak, et al., (2012), pembuatan sistem keseimbangan hidrodinamis ofloksasin menggunakan laktosa, HPMC K4M, PVP K 30, dan parafin cair, yang dapat meningkatkan waktu tinggal dalam lambung, dan memungkinkan dapat melepaskan obat maksimal di lokasi penyerapan untuk meningkatkan bioavailabilitas oral.


(40)

c. Sediaan gastroretentif antasida:

- Sediaan antasida dengan masa tinggal yang diperpanjang di lambung (Antacid Compositions With Prolonged Gastric Residence Time) telah ditemukan dan dipatentkan oleh Spickett, et al., (1994 ). Sediaan ini memiliki fase internal antasida yang padat (serbuk, tablet) dan dikelilingi oleh excipient dengan fasa eksternal padat yang mengandung suatu substansi hidrofobik seperti ester dari gliserol dengan asam palmitat atau stearat, polialkena hidroksilasi dan emulsifier non-ionik. - Sediaan antasida dengan durasi diperpanjang (Extended duration antacid product)

juga dipatentkan oleh Wallach, et al., (1996), merupakan suatu produk antasida yang memiliki masa tinggal diperpanjang dalam lambung dan sistem pencernaan bagian atas. Produk antasida ini memuat campuran 10-70% nonfosfolipid dalam bentuk vesikel lipid. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama enam jam dari sediaan masih dipertahankan dalam lambung.

d. Sediaan gastroretentif dengan bentuk film.

- Sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan (Sathish, et al., 2013).

2.4Natrium alginat

Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium bikarbonat untuk membentuk natrium alginat. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai berikut :


(41)

Pemerian : Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan : Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan asam.

Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2009)

Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1981). Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan Welsh,1977)


(42)

2.5 Kitosan

Kitosan merupakan aminopolisakarida hasil deasetilasi dari kitin, kitosan terdapat dalam cangkang crustacea seperti udang, lobster dan kepiting. Kitosan menunjukkan sifat polimer biomedis seperti nontoksik, biokompatibel dan biodegradabel (Felt, et al., 1998). Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola β-(1-4). Struktur kimia dari kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur kimia kitosan (Felt, et al., 1998) 2.6Interaksi antara Alginat dengan Kitosan

Alginat yang merupakan polianionik dan kitosan yang merupakan polikationik dapat berinteraksi melalui gugus asam karboksilat dari alginat dan gugus amino dari kitosan membentuk kompleks polielektrolit dari muatan mereka yang berlawanan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Kompleks polielektrolit yang terbentuk diharapkan dapat memberikan aplikasi farmasetika yang lebih baik karena keunikan struktur dan sifatnya (Takahashi, et al., 1990).


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang meliputi pembuatan sediaan film alginat-kitosan yang mengandung metronidazol, evaluasi dan karakterisasi sediaan, efek antimikroba, dan uji in vitro. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU, Laboratorium Mikrobiologi Farmasi Fakultas Farmasi USU dan Laboratorium Terpadu LIDA USU.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca listrik (Boeco), alat-alat gelas, pelat kaca, lumpang, alu, penangas air, lemari asam, desikator, Spektrofotometer UV/Vis (Shimadzu), dan Scanning Electron Microscopy (SEM) TM3000 (Hitachi).

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah, kitosan (Wako Pure Chemical Industries, Ltd Japan), natrium alginat 500~600 (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Japan), gliserin (Merck), cangkang kapsul 00 (PT. Bratachem), dan metronidazol (PT MUTIFA). Pereaksi yang digunakan: asam klorida (HCl) 98%, asam asetat 98%, natrium klorida (NaCl). Semua pereaksi yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisa keluaran E.Merck.


(44)

3.2 Pembuatan Pereaksi 1. Larutan kitosan 4% (b/v).

Ditimbang 4 gram serbuk kitosan, kemudian dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 1%.

2. Larutan alginat 4% (b/v).

Ditimbang 4 gram serbuk natrium alginat (500-600), kemudian ditaburkan dalam 100 ml air suling, diaduk sampai homogen, dibiarkan mengembang selama 24 jam

3. Medium lambung buatan pH 1,2

Ditimbang 2 gram natrium klorida, dilarutkan dengan akuades kemudian ditambahkan larutan asam klorida (p) sebanyak 7 ml, lalu diencerkan dengan air suling sampai 1000 ml.

3.3 Pembuatan Sediaan Film Alginat-Kitosan

Pembuatan sediaan film didasarkan pada metode Mariadi (2014) yang telah dimodifikasi. Ditimbang larutan kitosan, larutan alginat, serbik HPMC) dan serbuk metronidazol sesuai dengan formula yang terdapat pada Tabel 3.1. Disiapkan cetakan film dari objek gelas yang telah dilumasi dengan minyak silikon. HPMC dimasukkan ke dalam lumpang lalu ditambahkan 10 tetes etanol 96%, gerus homogen. Ditambahkan larutan alginat dan/atau kitosan lalu digerus dalam lumpang sampai homogen, ditambahkan gliserin dan dihomogenkan. Setelah itu campuran diratakan di atas objek gelas dengan ukuran 2 cm x 5 cm, kemudian ditempatkan di atas permukaan yang datar


(45)

dan dikeringkan pada suhu kamar selama 48 jam. Film yang sudah kering dilepas dari objek gelas secara hati-hati dan disimpan dalam desikator, yang selanjutnya siap untuk dimasukkan ke dalam kapsul ukuran 00 dengan cara digulung.

Tabel 3.1 Formula sediaan film alginat-kitosan yang mengandung metronidazol

No Formula

Pembawa (g) Metroni

dazol

(mg) Gliserin (tetes) Alginat

(lart. 4%) (g)

Chitosan (lart. 4%)

(g)

Ratio alginat: kitosan

HPMC (mg)

1 F1 5,00 - 1:0 - 250 8

2 F2 - 5,00 0:1 - 250 8

3 F3 1,25 3,75 1:3 - 250 8

4 F4 1,67 3,37 1:2 - 250 8

5 F5 2,00 3,00 2:3 - 250 8

6 F6 2,50 2,50 1:1 - 250 8

7 F7 3,00 2,00 3:2 - 250 8

8 F8 3,34 1,67 2:1 - 250 8

9 F9 3,75 1,25 3:1 - 250 8

10 F10 3,34 1,67 2:1 50 250 8

11 F11 3,34 1,67 2:1 100 250 8

12 F12 3,34 1,67 2:1 150 250 8

13 F13 3,34 1,67 2:1 200 250 8

3.4 Uji Variasi Ketebalan dan Berat Film

Ketebalan film diukur dengan menggunakan jangka sorong mikro meter. Pengukuran dilakukan pada 5 posisi yang berbeda dari permukaan film dan dihitung nilai rata-rata. Sedangkan untuk berat, ditimbang berat film untuk setiap formulasi dalam tiga kali ulangan, dan dihitung nilai rata-ratanya.

3.5 Uji Sifat Pembentangan (Unfolding behaviour) Sediaan Film secara In Vitro

Uji sifat pembentangan film (Unfolding) dilakukan untuk melihat kemampuan membentang kembali dari sediaan film yang telah digulung dan dimasukkan ke dalam cangkang kapsul di dalam lambung, seperti ilustrasi pada Gambar 3.1. Uji sifat


(46)

pembentangan dilakukan menggunakan alat disolusi dalam 900 ml medium lambung buatan pH 1,2 pada 37ºC ± 0,5ºC dengan putaran 100 rpm. Diamati sifat pembentangan dari sediaan film. Setiap formula dilakukan tiga kali ulangan, dan dihitung standar deviasi rata-rata.

Gambar 3.1 Ilustrasi sediaan gastroretentif metronidazol film alginat-kitosan

3.6 Uji Integritas (Keutuhan) Sediaan Film

Uji integritas sediaan film dilakukan untuk mengukur berapa lama sediaan film tetap utuh dalam lambung. Keutuhan film dilihat dari ketahanan dan tidak hancurnya sediaan film dalam rentang waktu yang diamati. Uji integritas dilakukan menggunakan metode dayung, suhu 37±0,5ºC dengan medium lambung buatan pH 1,2.Pada waktu 0, 30, 60, 120, 240, 360, 480, 600, dan 720 menit diamati keutuhan dari sediaan film. Setiap formula dilakukan tiga kali ulangan, dan dihitung standar deviasi rata-rata.

Sediaan Gastroretentif Metronidazol

Film Alginat- Kitosan – HPMC metronidazol

Sediaan film yg digulung

Sediaan gastroretentif metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 Sediaan film yg


(47)

3.7 Uji Sifat Pengembangan

Derajat pengembangan (DP) film ini dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu berdasarkan pertambahan berat dan pertambahan luas film. Ditimbang berat awal (W1) dan diukur lebar dan panjang dari film, ke dalam wadah disolusi dimasukkan 900 ml larutan medium lambung buatan pH 1,2 dan diatur suhu 37 ± 0,5oC dengan kecepatan pengadukan alat disolusi yaitu 100 rpm. Kemudian dimasukkan sediaan film alginat-kitosan yang mengandung metronidazol. Pada interval waktu 10, 15, 30, 60, 120, 180, 240 dan 300 menit sampel yang basah ditarik keluar dengan hati-hati dan diusap antara kertas filter untuk menghilangkan kelebihan air dari permukaan, ditimbang kembali (W2) dan diukur lebar dan panjangnya. Derajat pengembangan diukur dalam jumlah relatif air yang diserap terhadap massa awal. Setiap pengujian diulangi 3 kali percobaan. Daya pengembangan dihitung sebagai berikut:

% Pengembangan = W2-W1

--- X 100% W1

3.8 Pembuatan Kurva Absorbansi Metronidazol

Dibuat Larutan Induk Baku (LIB) dengan cara melarutkan 25 mg metronidazol dalam medium lambung buatan hingga 100 ml (200 ppm). Setelah itu dipipet 1,2 ml LIB lalu dicukupkan hingga 25 ml dengan medium lambung buatan pH 1,2. Diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 200-400 nm.

3.9 Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazol

Dibuat larutan metronidazol dengan berbagai macam konsentrasi, yaitu: 1; 2; 4; 6; 8; 10; 12; 14; 16 ppm dengan cara melarutkan 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 ; 1; 1,2; 1,4; 1,6 ml LIB dan dicukupkan hingga 25 ml dengan medium lambung buatan. Masing-masing


(48)

konsentrasi diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277,3 nm

3.10 Uji Pelepasan Metronidazol dari Sediaan Film

Uji pelepasan metronidazol menggambarkan jumlah metronidazol yang terlepas dari sediaan film dan ditentukan secara Spektrofotometri Ultra Violet (UV).

Dimasukkan 900 ml medium lambung buatan pH 1,2 ke dalam labu disolusi,

kemudian diatur suhu medium 37 ± 0,5oC. Dimasukkan kapsul yang mengandung sediaan film ke dalam wadah sampel dan secara bersamaan diaduk dengan kecepatan 100 rpm. Kemudian pada waktu 5, 10, 15, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330, 360, 370, 400, 430, 460, 490, 510, 540, 560, 600, 630, 660, 690, 720 menit, dicuplik 2 ml larutan dari dalam wadah sampel, dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan dicukupkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian ditentukan secara Spektrofotometri Ultra Violet. Kadar metronidazol ditentukan secara Spektrofotometri Ultra Violet pada panjang gelombang 277,3 nm. Kemudian ditentukan persen pelepasan metronidazol dari sediaan film.

3.11 Uji Aktivitas Antibakteri Film

Disiapkan Film Metronidazol dengan teknik aseptik. Disterilisasi alat-alat yang diperlukan dalam pengujian aktivitas antibakteri.


(49)

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen.

3.11.2 Pembuatan media

3.11.2.1 Media Nutrient Agar (NA) Komposisi : ‘Lab-Lemco” powder 1 g

Yeast extract 2 g

Peptone 5 g

NaCl 5 g

Agar 15 g

Air suling sampai 1 L pH : 7,4 ± 0,2 pada suhu 25oC

Cara pembuatan: Sebanyak 28 g serbuk NA dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Oxoid, 2013).

3.11.2.2 Media Nutrient Broth (NB) Komposisi : ‘Lab-Lemco’ Powder 1 g

Yeast extract 2 g

Peptone 5 g

NaCl 5 g

Air suling sampai 1 L pH : 7,4 ± 0,2 pada suhu 25oC


(50)

Cara pembuatan:

Sebanyak 13 g serbuk NB dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Oxoid, 2013).

3.11.2.3 Media Muller Hington Agar (MHA) Komposisi: Beef extract 3 g

Peptone 5 g

Sodium Cloride 5 g

Agar 15 -20 g

Destiled water 1000 ml pH : 7.4 ± 0,2

Cara pembuatan:

Sebanyak 38 g serbuk MHA dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

3.11.3 Pembuatan stok kultur S. aureus

Biakan bakteri S. aureus diambil dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada media nutrient agar miring dengan cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36-37oC selama 18-24 jam (Depkes RI, 1995).

3.11.4 Penyiapan inokulum bakteri

Koloni bakteri diambil dari stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml Nutrient Broth. Kemudian diukur


(51)

kekeruhan larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Depkes RI, 1995).

3.11.5 Pembuatan kurva larutan standar metronidazol

Larutan standar metronidazol dibuat dalam berbagai konsentrasi (0-200 µg) dengan melarutkan metronidazol menggunakan air suling. Masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam vial. Kedalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum, kemudian ditambahkan 15 ml media MHA steril yang telah dicairkan dan ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Dimasukkan pencadang kertas ke dalam masing-masing larutan dan dibiarkan selama 30 menit. Selanjutnya ke dalam petri dimasukkan pencadang kertas yang telah dicelupkan dengan larutan dan ditiriskan dengan jarak 5 cm. Diinkubasi pada suhu 36-37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diameter daerah hambat di sekitar sumur diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali.

3.11.6 Pengujian aktivitas antibakteri film

Larutan yang diperoleh dari hasil disolusi juga dilakukan pengujian aktivitas antibakterinya dengan metode difusi agar. Pada interval wakru 0;0,5;1;2;3;4;5;6;7;8;9;10;11;12 jam diambil 2 ml aliquot disolusi, lalu dimasukkan ke dalam vial, Tambahkan 2 ml medium lambung buatan kedalam labu disolusi setiap pengambilan aliquot disolusi. Kedalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum, kemudian ditambahkan 15 ml media MHA steril yang telah dicairkan dan ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Dimasukkan pencadang kertas ke dalam masing-masing larutan disolusi dan dibiarkan


(52)

selama 30 menit.. Selanjutnya ke dalam petri dimasukkan pencadang kertas yang telah dicelupkan dengan larutan dan ditiriskan dengan jarak 5 cm. Diinkubasi pada suhu 36-37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diameter daerah hambat di sekitar sumur diukur dengan menggunakan jangka sorong.. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali.

3.12 Uji Bioadhesif secara In Vitro

Alat untuk uji bioadhesif dirakit secara lokal menggunakan tensiometer Du-Noey yang dimodifikasi, prinsipnya adalah mengukur kekuatan bioadhesif dinilai dalam hal kekuatan tarikan (dyne/cm) yang dibutuhkan untuk melepaskan kontak antara sediaan film alginat-kitosan dengan jaringan mukosa. Pada alat ini diatur bagian wadah tempat sampel sebagai tempat plat film, dan pada ujung kawat pengait di tempatkan jaringan mukosa lambung yang ditempelkan pada pelat.

Uji dilakukan menggunakan jaringan mukosa lambung tikus. Tikus dikorbankan dengan cara dislokasi leher. Jaringan mukosa lambung dibuka sepanjang

kurvatura mayor, dicuci dengan NaCl fisiologis dan diequilibrasi pada 37 ± 0,5oC dalam asam lambung buatan pH 1,2 selama 10 menit sebelum uji bioadhesif. Jaringan mukosa lambung dipotong kira-kira 1 x 1 cm dan ditempelkan pada pelat akrilat, pelat akrilat dikaitkan dengan kawat penarik tensiometer dengan mukosa lambung menghadap ke bagian bawah. Pada sisi tempat sampel dipasang film alginat-kitosan ukuran 2 x 5 cm yang telah dikondisikan dalam medium lambung buatan pH 1,2 selama 10 menit sebelumnya. Kemudian keduanya diposisikan secara bersentuhan dengan tekanan konstan selama 5 menit. Setelah 5 menit, pengait ditarik ke atas dengan memutar penarik tensiometer sampai kontak antara film dan jaringan terlepas. Gaya


(53)

(dyne/cm2) yang dibutuhkan untuk melepaskan antara film dan jaringan diamati pada skala tensiometer dan dicatat. Pengujian ini dilakukan tiga kali ulangan.

3.13 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Morfologi permukaan film ditentukan dengan Scanning Electron Microscopy

(SEM). Penentuan SEM dilakukan pada sediaan metronidazol dari film alginat-kitosan sebelum dan setelah pengembangan.


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesifikasi Sediaan Film Alginat- Kitosan

Sediaan film dibuat sebanyak tiga belas (13), beberapa formula dapat membentuk film dan ada pula yang tidak dapat membentuk film, spesifikasi dari setiap formula dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Lampiran 1.

Tabel 4.1 Spesifikasi sediaan film gastroretentif metronidazol

No Formula Ukuran (cm) Tebal (mm) ±SD Berat (g) ±SD

Panjang (cm) ±SD Lebar (cm) ±SD

1 F1 4,517 1,503 0,667 0,940

±0,015 ±0,006 ±0,012 ±0,005

2 F2 Tidak dapat membentuk film

3 F3 4,860 1,770 0,790 0,930

±0,017 ±0,010 ±0,026 ±0,007

4 F4 4,773 1,753 0,960 0,943

±0,005 ±0,005 ±0,015 ±0,002

5 F5 4,553 1,597 0,970 0,947

±0,006 ±0,015 ±0,000 ±0,001

6 F6 4,550 1,580 0,957 0,952

±0,000 ±0,020 ±0,006 ±0,003

7 F7 4,520 1,577 0,980 0,957

±0,010 ±0,012 ±0,000 ±0,001

8 F8 4,507 1,555 0,983 0,924

±0,006 ±0,013 ±0,006 ±0,003

9 F9 4,485 1,553 0,973 0,913

±0,007 ±0,006 ±0,015 ±0,003

10 F10 4,523 1,553 1,027 0,938

±0,025 ±0,015 ±0,012 ±0,006

11 F11 4,523 1,527 1,160 0,982

±0,057 ±0,015 ±0,020 ±0,003

12 F12 4,543 1,493 1,217 1,040

±0,035 ±0,006 ±0,031 ±0,005

13 F13 4,477 1,457 1,347 1,088

±0,025 ±0,023 ±0,006 ±0,003

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat kita lihat bahwa panjang, lebar, tebal, dan berat rata-rata film dari setiap formula masing-masing sebesar 4,597±0,145 cm; 1,594±0,106 cm; 0,967±0,2 mm; dan 0,956±0,035 g.


(55)

4.2 Sifat Pembentangan Film (Unfolding Behavior)

4.2.1 Pengaruh polimer pembawa terhadap sifat pembentangan film (unfolding behavior)

Hasil pengujian pembentangan film dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Lampiran 2.

Sediaan Film F12 awal

(digulung lalu dimasukkan dalam cangkang kapsul)

7 menit 5 menit 2 menit 0 menit Gambar 4.1 Proses pembentangan film alginat-kitosan

Formula F2 tidak dapat dilakukan pengujian karena film yang dihasilkan akan pecah apabila digulung. Demikian juga pada F13, film yang dihasilkan lebih tebal dan lebih kaku sehingga tidak dapat digulung dan dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Hasil Pengujian terhadap F1, F3, F4, F5, F6, F7, F8, F9, F10, F11, dan F12 dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(56)

Tabel 4.2 Sifat pembentangan film (unfolding behavior)

Formula

Ratio Waktu pembentangan (menit)

(alginat:kitosan) A B C rata-rata SD

F1 1:0 Tidak dapat membentang kembali

F3 1:3 0,97 0,93 0,98 0,96 0,02

F4 1:2 1,98 1,87 1,45 1,77 0,28

F5 2:3 2,45 2,63 2,63 2,57 0,11

F6 1:1 3,32 3,07 3,48 3,29 0,21

F7 3:2 3,38 3,40 3,55 3,44 0,09

F8 2:1 3,43 3,53 3,38 3,45 0,08

F9 3:1 Tidak dapat membentang kembali

F10 2:1 (+ 50 mg HPMC) 5,22 5,40 5,52 5,38 0,15

F11 2:1 (+100 mg HPMC) 5,77 5,85 6,43 6,02 0,36

F12 2:1 (+150 mg HPMC) 6,62 6,25 6,60 6,49 0,21

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa film F1 dan F9 tidak dapat membentang kembali. Sediaan F1 merupakan sediaan film metronidazol dengan polimer pembawa alginat saja dan F9 merupkan sediaan film dengan ratio alginat-kitosan 3:1. Film F1 dan F9 tidak dapat membentang karena sifat alginat yang merupakan polimer yang tidak larut dalam suasana asam dan cenderung menjadi lebih keras dan lebih kaku, sehingga ketika cangkang kapsul pecah dalam medium lambung buatan pH 1,2, film yang dalam kondisi tergulung tidak dapat membentang kembali, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Sediaan film metronidazol setelah 3 jam medium lambung buatan pH 1,2 (a) F1 (b) F9


(57)

Formula F3, F4, F5, F6. F7, F8 merupakan sediaan film dengan polimer pembawa kombinasi alginat-kitosan, F10, F11, F12 merupakan sediaan film dengan polimer pembawa kombinasi alginat-kitosan yang ditambahkan HPMC. Dari hasil pengujian terlihat bahwa film dapat membentang kembali. Hal ini sesuai dengan sifat kitosan yang dapat menarik cairan dan akan mengembang dalam suasana asam, sehingga pada waktu cangkang kapsul pecah di dalam medium asam lambung buatan pH 1,2 maka film yang mengandung kitosan akan mengembang sehingga dapat mendorong sediaan film untuk membentang kembali.

F3 (1 menit) F4 (2 menit) F5 (2 menit)

F6 (3 menit) F7 (3menit) F8 (3 menit)

F10 (5 menit) F11 (6 menit)

Gambar 4.3 Sediaan film metronidazol (dapat membentang) dalam medium lambung buatan (pH 1,2)

4.2.2 Pengaruh ratio alginat - kitosan terhadap waktu pembentangan film

Pengaruh ratio alginat : kitosan terhadap waktu pembentangan film dapat dilihat pada Gambar 4.4.


(58)

Gambar 4.4 Grafik pengaruh ratio alginat - kitosan terhadap waktu pembentangan film (Unfolding Behavior)

Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa semakin besar ratio alginat : kitosan maka waktu pembentangan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena semakin sedikit kitosan dalam sediaan film maka kemampuan film untuk membentang kembali dalam medium lambung buatan pH 1,2 akan berkurang karena berkurangnya kemampuan sediaan film untuk menarik air dan mendorong film untuk membentang kembali. Kitosan merupakan polimer hidrofilik ini menarik cairan dari lapisan gel mukus yang terdapat pada permukaan epitel dan akan mengembang dalam suasana asam (Felt, et al., 1998;Yogeshkumar, et al., 2013)

4.3 Keutuhan Film (Integrity Properties)

Sediaan film F1, F3, F4, F5, F6, F7, F8, F10, F11, dan F12 belum hancur pada medium lambung buatan pH 1,2 selama 12 jam tetapi film telah mulai mengalami erosi sejak menit ke-120 , data hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.3.

1,0 1,8

2,6

3,3 3,4 3,5

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

Waktu p e m b e n tan g an (m e n it) Ratio alginat:kitosan


(59)

Tabel 4.3 Data keutuhan film (integrity properties)

Formula

Ratio waktu hancur

alginat:kitosan A B c rata-rata

F1 1:00 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F3 1:03 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F4 1:02 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F5 2:03 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F6 1 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F7 1,5 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F8 2 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F9 0 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F10 2 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F11 2 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

F12 2 >12 jam >12 jam >12 jam >12 jam

4.4 Pengujian Daya Pengembangan Film

Daya pengembangan sediaan film dilakukan dengan dua pendekatan yaitu berdasarkan penambahan luas dan penambahan berat, ditunjukan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Daya pengembangan sediaan film

Formula Spesifikasi

waktu (menit)

0 10 15 30 60 120 180 240 300

F3

% swelling berat 0 210,319 243,296 266,217 265,686 265,86 256,594 238,584 223,55 % swelling luas 0 103,108 117,658 133,247 142,792 140,954 131,474 122,761 111,792

F4

% swelling berat 0 194,982 227,114 254,579 249,913 249,913 241,43 220,751 205,375 % swelling luas 0 91,87 107,376 122,622 128,402 128,754 119,063 108,593 99,829

F5

% swelling berat 0 171,293 203,323 230,701 226,05 226,05 217,593 196,98 181,653 % swelling luas 0 81,354 90,716 110,262 118,659 118,501 108,273 101,272 92,585

F6

% swelling berat 0 157,755 189,516 216,665 212,053 212,053 203,667 183,227 168,028 % swelling luas 0 72,905 82,122 101,515 109,864 109,693 99,105 92,64 84,036

F7

% swelling berat 0 155,708 182,664 183,721 184,249 183,192 181,078 172,752 160,817 % swelling luas 0 66,305 89,415 95,999 103,435 96,151 83,508 75,85 69,445

F8

% swelling berat 0 140,312 168,001 169,087 169,63 168,544 166,372 159,314 145,199 % swelling luas 0 58,067 80,994 91,433 95,14 87,821 79,796 69,6 61,047

F10

% swelling berat 0 121,757 149,697 150,793 151,34 150,245 148,053 140,931 126,687 % swelling luas 0 52,651 75,076 85,49 89,185 81,923 73,958 63,86 55,392

F11

% swelling berat 0 100,82 126,797 127,815 128,325 127,306 125,269 118,647 105,405 % swelling luas 0 46,971 68,863 79,264 82,949 75,743 67,835 57,833 49,447

F12

% swelling berat 0 99,17 115,97 116,93 117,41 116,45 114,53 108,29 95,81 % swelling luas 0 40,899 62,049 72,555 76,268 69,078 61,178 51,234 42,896


(60)

Dari kedua pendekatan dapat dilihat bahwa terjadi pengembangan baik penambahan luas maupun penambahan berat. Formula yang memiliki daya pengembangan dari yang terendah ke yang tertinggi secara berurutan adalah F3, F4, F5, F6, F7, F8, F10, F11, F12. Semakin besar jumlah kitosan yang digunakan dalam sediaan film maka daya pengembangannya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin besar jumlah alginat yang digunakan maka daya pengembangannya semakin rendah. Hal ini karena alginat merupakan polimer yang tidak larut dalam asam sehingga cenderung menjadi lebih keras dan lebih kaku, sedangkan kitosan merupakan polimer yang mempunyai sifat menarik cairan dan akan mengembang dalam suasana asam (Felt, et al., 1998). (a) (b) 0 50 100 150 200 250 300

-30 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330

% swe ll in g b e rat waktu (menit) F3 F4 F5 F6 F7 F8 F10 0 20 40 60 80 100 120 140 160

-30 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330

% sw e ll in g l u as waktu (menit) F3 F4 F5 F6


(61)

Gambar 4.5 Grafik daya pengembangan film metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2 (a) berdasarkan pertambahan berat (b) berdasarkan penambahan luas

Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa pada menit ke-120 film mengalami penurunan berat dan luas, hal ini disebabkan karena film mengalami erosi. Erosi yang terjadi pada permukaan matriks merupakan proses degradasi polimer yang terjadi pada medium asam lambung buatan pH 1,2.

Kemampuan film untuk mengembang dalam larutan asam dapat membantu dan menunjang suatu sediaan gastroretentif metronidazol yang dirancang. Dengan penambahan luas, maka film akan tetap tertahan dalam waktu yang lebih lama di dalam lambung karena tidak dapat melewati pilorus. Contoh sifat pengembangan luas sediaan film dapat dilihat pada Gambar 4.6.

0 menit 60 menit

120 menit 300 menit

Gambar 4.6 Contoh daya pengembangan sediaan film yang mengandung metronidazol dalam medium lambung buatan pH 1,2


(1)

Lampiran 9. (lanjutan) c. Pengujian III

0, 20, 40, 60 ppm 80, 100, 120, 140 ppm

160, 180, 200 ppm

2. Gambar pengujian diameter daerah hambat dari larutan disolusi metronidazol terhadap S. aureus

a. Pengujian I

0; 0,5; 1; 2; 3 jam 4; 5; 6; 7; 8 jam


(2)

Lampiran 9. (lanjutan)

b. Pengujian II

0; 0,5; 1; 2 jam 3; 4; 5; 6 jam


(3)

Lampiran 10. Gambar alat a. Alat disolusi


(4)

Lampiran 10. (lanjutan)

c. Alat pengujian mikrobiologi

autoklaf


(5)

Lampiran 10. (lanjutan)

Spekrofotometer Visibel

Jangka Sorong

Inkubator bakteri suhu 37oC


(6)

d. Alat pengujian SEM