BAB II DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI 2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli - Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias Di Kota Gunungsitoli

BAB II DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI

  2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli

  Pulau Nias yang merupakan salah satu pulau yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah:

  • • Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi

  Nanggroe Aceh Darussalam;

  • Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi

  Sumatera Utara;

  • Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten

  Tapanuli Tengah; • Sebelah Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia. Pulau Nias memiliki satu (1) Kotamadya, yaitu kota Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli”yakni sebuah nama gunung dalam kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan yang disebut Ina Mbanua.

  Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain; Menurut Zebua (1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni: a.

  Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi) b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda

  Bawolaraga Harefadan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso Borombanua Telaumbanua.

  c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua.

  d.

  Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga. dengan kelahiran pelabuhan yang dinamakan Luahanou. Pelabuhan tersebut pada awalnya masih sebagai pelabuhan alam terbuka pada tahun 1629. (Juga disebut dengan nama Luaha). Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sendirinya Tano Niha (Suku Nias) dengan kepualuannya masuk dalam wilayah Negara Republik Indonesia.Tano niha dengan kepulauannya(kepulauan Hinako dan kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan Ibu Kotanya Gunungsitoli. Kepala Luhak pertama adalah Daliziduhu Marunduri (1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak Nias di tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati.Bupati pertama adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli. Tidak berapa lama kemudian Tano Niha menjadi daerah Tingkat II Kabupaten Nias dan mulai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II. Dalam perkembangannya pemimpin pemerintahan (bupati) berganti dan sat ini Kota Gunungsitoli sebagai Daerah Otonom Baru dipimpin walikota defenitif.

  Proses perkembangan kota Gunungsitoli sejak lahirnya dengan nama Luahanou masa kemerdekaan Republik Indonesia dan masa Daerah Otonomi Baru Saat ini. Perkembangan itu dapat ditinjau dari perkembangan komunitas/etnis maupun perkembangan fisik/ prasarana. Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775- 140), Cina (1850), Jerman (1865) dan Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan Jepang (motif politik dan kekuasaan).

  

Gambar 1:Peta Wilayah Kota Gunungsitoli

  

Gambar 2: Peta Keseluruhan Pulau Nias

Sumber : Google/ niasjaya.wordpress.com

2.1.1 Demografi

  Dari hasil survei oleh Badan Pusat Statistik di Kota Gunungsitoli tahun 2010,

dimana survei tersebut dihitung berdasarkan jenis kelamin di kota Gunungsitoli

menghasilkan data sebagai berikut : NO TAHUN 2010

  1 Jumlah Pria (Jiwa)

  61.839

  2 Jumlah Waniata (Jiwa)

  64.363

  3 Total (Jiwa)

  126.202

  • 4 Pertumbuhan Penduduk (% )

  5 Kepadatan penduduk ( jiwa/km2) 269

2.1.2 Iklim

  Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC.

  Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan.

  Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai- sungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan. Keadaan iklim kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara.

  Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara berimbang.

2.1.3 Pemerintahan

  Pemerintah Kota Gunungsitoli terbilang muda. Baru terbentuk berdasarkan UU No. 47 Tahun 2008, sebagai pemekaran dari Kabupaten Nias. Kota gunungsitoli di pimpin oleh Walikota, yang mana jabatan ini merupakan jabatan yang paling tertinggi di pemerintahan Kota Gunungsitoli. Golongan atau jabatan yang di ada pada walikota selalu mendapat perlakuan istimewa dari masyarakatnya atau anggota-anggota pemerintahan lain yang ada di bawahnya. Walikota ini selalu dihormati, selalu di undang untuk hadir dalam pesta-pesta adat, seperti perkawinan, kematian, dan lainnya. Walikota ini juga mempunyai wewenang untuk memutuskan hal-hal penting dalam pemerintahan kota yang ia pimpin. Ada beberapa pembagian wilayah Kecamatan di Kota Gunungsitoli, yaitu: Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, dan Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Masing-masing wilayah kecamatan dipimpin oleh camat yang mempunyai wewenang atas wilayahnya masing- masing.

2.2 Masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli

  Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri sebagai gejala- gejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati (supernatural) bersumber pada gejala-gejala alam yang memiliki nama sesuai dengan tempat atau sistem kekuatannya.

  Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya:

  Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa

  tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud. Misalnya berbagai jenis patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö,

Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu.

  Mereka juga percaya pada leluatan supernatural pada pohon tertentu, misalnya:

  

Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap

  banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politeisme.

  Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.

  Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara

  

Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya. Sesama manusia juga di-

  ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani

  

(Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu)

  dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan.

  Zaman dahulu para leluhur ono Niha (masyaraakat Nias) mempercayai bahwa seluruh jagat raya dan alam semesta ini diatur oleh dewa, dan dewa tertinggi pada saat ini menurut kepercayaan mereka adalah Dewa Si’Ai. Para leluhur Nias dahulu mempercayai bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus memberikan sesajian-sesajian untuk menghormati dewa ini. Mereka mengadakan sebuah upacara dengan berkumpul dibawah pohon besar (pohon fosi atau pohon

  

eho) atau dalam bahasa Niasnya upacara ini disebut sebagai sambua olahoitö.

  Dibawah pohon tersebut mereka melakukan upacara dengan mengelilingi pohon tersebut dan manyampaikan keinginan mereka. dewa-dewa lain di antaranya: Luo Lowalangi sebagai Dewa Pencipta Alam Semesta; Lature Sobawi Sihono atau Dewa Pemilik dan Penguasa Ternak Babi;

  

Uwu Gere atau Dewa Pelindung dan Penguasa; Uwu Wakhei atau Dewa

  Penguasa Tanaman-tanaman; Gazo Tuha Zangarofa Dewa Penguasa Air, dan lainnya.

  Sejak masyarakat Nias menghuni pulau Nias (Tan

  ő Niha) mereka mamiliki

  pandangan bahwa masih ada dewa lain atau kekuatan lain di luar tubuh manusia yang beberbentuk gaib. Mereka percaya bahwa roh atau arwah-arwah leluhur mereka yang sudah meninggal dunia, memiliki kekuatan yang dapat melindungi serta menolong mereka. Sehingga mereka membuat tempat atau benda-benda seperti patung-patung yang terbuat dari batul. Mereka juga percaya akan tempat- tempat tertentu adalah tempat keramat,yang mana terdapat roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap mereka. Untuk menghormati roh-roh tersebut mereka melakukan ritual berdoa atau sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan–persembahan atau sesajian dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar.

  Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan

  

Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan

adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai

  sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali b

  őrőnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba adu).

  Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli. di Padang. Orang Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari kebiasaan- kebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan.

  Misi selanjutnya dilanjutkan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut sebagai tahun pertobatan (fangesa

  d ődő sebua).

  Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patung-patung perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda- benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).

  Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sngsi hukum adat dengan hukum badan, poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit memalui dukun sudah semakin 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63).

  Selain memeluk agama Kristen, orang Nias di Kota Gunungsitoli ada juga yang memeluk agama Islam. Mereka yang beragama Islam biasanya mengadakan upacara mangikuti ajaran-ajaran agama Islam. Mereka tidak lagi mengikiuti tradisi sanomba adu (penyembah patung), tidak lagi percaya kepada dukun- dukun, tidak lagi mengadakan sesajen untuk roh-roh leluhur. Mereka tidak lagi memotong babi yang diajaran Islam. Babi ini merupakan hewan yang haram dagingnya untuk dimakan. Biasanya digantikan dengan lembu atau kambing yang diabsahkan oleh ajaran Islam sebagai hewan yang halal. Masyarakat muslim di Nias juga giat melakukan kegiatan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memperingati isra’ mi’raj Nabi Muhammad dan lainnya. Walaupun memiliki perbedaan kepercayaan, masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup dengan harmonis dan rukun, serta saling menghormati antar umat beragama.

2.2.2 Bahasa

  Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia yang telah menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul “A grammar of Nias Selatan”, mengatakan dalam suatu wawancara: “Barangkali misteri terpenting, dan yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia.”

  Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e pepet atau eu dalam bahasa Sunda. Berdasarkan analisis, di identifikasi bahwa fonem bahasa Nias hanya berjumlah 20, yakni: b, d, f, g, h, k, l, m, mb, n, ndr, r, rn, s, t, w, bw, x, y, z.

  Logat dan intonasi bunyi bahasa Nias berbeda–beda yaitu karena memiliki dua logat, antara lain logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello.

  Logat pertama dipergunakan di Nias bagian utara, timur, dan barat yang menggunakan pengaruh logat bahasa Nias Utara antara lain di daerah pedalaman dan daerah pantai memiliki ciri khas. Logat yang kedua di Nias bagian tengah, selatan dan Kepulauan Batu yang mendapat mengaruh bahasa logat Nias bagian Selatan yaitu di daerah pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan imbuhan berupa awalan, akhiran dan sisipan terbatas. Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik.

  Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam"). memiliki fungsi-fungsi three in one. Bahasa Nias tidak saja merupakan bagian, indeks, dan simbol budaya Nias. Bahasa Nias juga merupakan media untuk memenuhi kebutuhan menyampaikan atau menanggapi suatu informasi, baik mengenai masa lampau, mengenai masa kini, maupun mengenai masa depan. Ini sejalan dengan pendapat Grimes (2002), yang menyatakan bahwa bahasa berkembang bersama lingkungan masyarakat dan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Bahasa digunakan untuk menuturkan cerita, menceritakan masa lampau, mengungkapkan rencana masa depan, mengungkapkan sastra (baik lisan maupun tertulis), dan mewariskan cara hidup. Ini menunjukkan betapa penting peranan bahasa Nias.

  Saat ini bahasa Nias masih digunakan sebagai alat komunikasi pada berbagai ranah, terutama oleh (sebagian besar) penduduk di desa-desa di pulau Nias. Beberapa warga komunitas tertentu asal Pulau Nias, yang tinggal di beberapa daerah di luar Pulau Nias, terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa juga masih menggunakan bahasa Nias ketika berkomunikasi dengan sesama warga asal Pulau Nias. Akan tetapi, ada beberapa fenomena yang memberi petunjuk bahwa kehidupan bahasa Nias memerlukan lebih banyak perhatian berbagai pihak.

  Dalam beberapa tahun terakhir, interferensi bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) ke dalam bahasa Nias cenderung menjadi semacam invansi atau “penjajahan” bahasa. “Serangan” bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) terhadap bahasa Nias tidak saja menyangkut kosakata, melainkan juga meliputi elemen-elemen lain. Elemen-elemen lain bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Nias. Salah satu hal yang menarik tersebut adalah kenyataan bahwa bahasa Indonesia menyusup, bahkan menggeser bahasa Nias, melalui orang Nias.

  Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan:

  • Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan

  tanda pemisah (') contoh kata: Ga'a

  • Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal. Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

  Ya'ahowu = biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan •

  salam

  • ya'o = aku, saya
  • ahono = tenang, diam
  • ya`ugö = anda, kamu
  • asu = anjing
  • tola = boleh
  • lö nasa = belum
  • ebua = besar
  • fofo = burung
  • li Niha = bahasa Nias • lala = cara, jalan
  • tötö`a = dada
  • Tanö Niha = Pulau Nias • idanö = air
  • Hadia duria? = Apa kabar?
  • Hauga bözi? = Jam berapa?
  • Koda, foto = gambar
  • bongi = malam
  • tanÕ owi = sore
  • ama = bapak
  • ina = ibu
  • ga'a = abang
  • nomo = rumah
  • baru = baju
  • manga = makan
  • serewa = celana
  • omasi'ö = disayangi

  • omasido = aku suka
  • laluo = siang
  • ono = anak
  • ono alawe = anak perempuan
  • Hezo möi'ö? = Mau kemana?
  • Manörö-nörö = jalan-jalan

  Gambar 3: Seorang Ibu Sedang Berbicara dalam Bahasa Nias

2.2.3 Organisasi Mayarakat

  Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat menonjol pada masyarakat Nias di kota Gunungsitoli, meskipun terdapat perbedaan dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa Kota Gunungsitoli ini dihuni oleh beberapa etnis lain di luar etnis Nias itu sendiri. Walaupun berbeda dari segi agama, etnis, dan budaya, namun masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup harmonis, tolong menolong, bahkan bersatu di dalam setiap kegiatan organisasi yang ada di tengah masyarakat.

  Salah satu organisasi masyarkat di Kota Gunungsitoli adalah dalam segi organisasi keagamaan, seperti organisasi Persatuan Masyakat Muslim Se- Kepulauan Nias yang sudah banyak mengadakan acara-acara seperti pada acara memperingati Maulid Nabi Muhamad SAW. Ketua MUI Kota Gunungsitoli, H.

  Abdul Hadi Caniago, S.H. di halaman Masjid Al-Falah Tohia mengatakan, saat ini pihaknya memperhatikan BKPRM (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia) telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif, khususnya dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam di wilayah Kota Gunungsitoli dan Nias.

  Pihaknya juga mengharapkan kepada semua umat Islam untuk terus menggunakan masjid itu sendiri sehingga masjid dapat dipandang dengan baik di mata semua umat. Momentum peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan sebagai rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil alamin. Untuk itu pihaknya mengharapkan kepada generasi muda untuk dapat terus meneladani Nabi Muhammad sAW. Terlebih saat ini meningkatnya berbagai kegiatan negatif yang dapat menjerumuskan para kader- kader pemuda Islam.

  Ada juga organisasi Persatuan Pemuda Kristen se-kepulauan Nias yang sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan rohani, perlombaan-perlombaan yang membuat pemuda Nias bersatu tanpa melihat perbedaan yang ada. Ada juga persatuan HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia), Persatuan pemuda Pasar Kota Gunungsitoli. Selain itu, ada juga organisasi perempuan Nias seperti HIPMI (Himpunan perempuan Nias Indonesia). Adajuga persatuan masyarakat

  Idan ő Gawo, Lahewa, Sirombu, Nias Selatan dan Pulau-pulau Batu dan lainnya.

  Ada juga organisasi masyarakat berdasarkan marga (mado), seperti Persatuan marga Telaumabnua, Zalukhu, Zega, Gul ő, Ziliwu dan lainnya.

2.2.4 Mata pencaharian

  Kota Gunungsitoli saat ini merupakan kota yang sangat berkembang di Pulau Nias dan Kota Gunungsitoli ini juga merupakan Kota yang menjadi tujuan orang dari perkampungan atau pelosok untuk bermigrasi, mengadu nasib, dan mencari lahan pekerjaan akibat ketertarikan akan banyaknya lahan kerja yang ada di kota Gunungsitoli. Masyarakat dari perkampungan yang ke kota Gunungsitoli ini menyebar keberbagai wilayah di kota, ada yang bekerja sebagai Pegawai ada yang jadi tukang becak dan buruh lepas.

  Mata pencaharian orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam yakni di ladang (sabae’e) dan di sawah (laza).

  Lahan di Pulau Nias tergolong memiliki daya guna yang besar bila sistem pendayagunaan dikembangkan. Hal ini di sebabkan oleh iklim di daerah Nias sangat menunjang untuk lahan pertanian karena memiliki curah hujan yang tingg sehingga banyak juga orang Nias yang hidup dari bertani.

  Mata pencaharian lainnya adalah berburu di hutan, menangkap ikan di sungai, beternak dan bertukang. Hasil peternakan utama di Nias adalah babi.

  Selain itu diternakkan pula kambing dan kerbau yang biasanya diusahakan oleh orang Nias yang beragama Islam. Nias juga memiliki hutan tropic yang beraneka ragam jenis tanaman dan relatif tidak homogen. Banyak dijumpai tanaman perkebunan seperi cengkeh, kopi, karet, dan nilam. Yang menjadi hasil olahan penduduk antara lain berupa minyak nilam, kopi, kopra dan minyak kelapa. Minyak nilam dari Nias juga diekspor setelah diproses di Medan sebagai bahan kosmetik. Sedangkan kpra dan kopi dipasarkan keluar pulau Nias namun masih dalam jumlah yang kecil karena keterbatasan sarana dan prasarana angkutan (distribusi barang yang terbatas).

  Selain masyarakat nias sendiri yang bermigrasi,ada juga masyarakat dari etnis lain di luar Nias seperti Minangkabau (Padang), Aceh, Melayu, Cina yang mencari nafkah di kota Gunungsitoli dengan cara berdagang. Arang Padang, Aceh, dan Melayu sebagian besar berjualan emas. Ada juga yang jualan pakaian jadi, serta ada yang berjualan bahan bagunan dan elektronik.

  Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi ketajaman, keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah dengan mandau yang dibuat oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterampilan dalam seni membangun pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan sampai saat kini.

  Namun adanya pergeseran nilai akibat pengaruh budaya luan membuat keakhlian khas yang dimiliki orang Nias tidak begitu berkembang terutama dalam seni membuat perkakas atau ornamen-ornamen dalam keperluan rumah tangga. Industri yang berkembang di Nias berupa kerajinan rumah seperti: kerajinan anyaman, topi, tikar, karung dan bagian-bagian ornamen untuk bagian- bagian rumah. Industri lainnya berupa industri perkakas logam seperti pedang, tombak, golok, dan cangkul.

2.2.6 Adat Istiadat dan Filsafat Hidup

  Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kemudian bagi siapa saja yang melanggar hukum tersebut akan di kenakan sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya, bahkan ada sanksi yang sampai kepada kematian.

  Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. telah memberi. Ada 3 jenis pesta dari berbagai varian yang sedemikian banyak (sebanyak jumlah desa yang ada!): integrasi individu ke dalam komunitas (lahir, menikah, meninggal, naiknya status sosial), pesta antar desa seketurunan untuk menghormat leluhur, dan fondrakö yaitu perayaan peneguhan norma-norma adat yang dirayakan 7 tahun sekali. Pesta yang pertamalah yang paling meriah dirayakan, paling banyak babi yang dimasak. Pada perayaan naiknya status seseorang batu-batu megalith dibuat dan ditegakkan di halaman rumah balugu sebagai tanda dari status sosialnya. Tanpa adanya pesta, megalith tidak punya alasan untuk didirikan.

  Umumnya pesta dilangsungkan dengan menari dan menyanyikan hoho. Menari adalah mencipta ruang. Dalam tindakan menari dan menyanyikan hoho itu tatanan semesta (banua) dipentaskan ulang. Semua anggota komunitas berpartisipasi dalam tarian sesuai peran dan kedudukan dia di dalamnya. Desa dan anggotanya pada peristiwa itu sungguh-sungguh menjadi banua, karena istilah

  

banua itu sendiri selain bermakna langit, semesta, juga desa dan orang-orangnya.

  Di dalam peristiwa menari dan menyanyi ini dibagikanlah (commune) dan diteguhkan kisah penciptaan dan harapan yang hendak dicapai di depan. Menari adalah awal dan akhir dunia.

  Di suku ono Niha (suku Nias) kepatuhan terhadap adat-istiadat itu adalah merupakan salah satu beban tugas yang harus ditaati agar dapat menggapai apa

  

fahasara dödö (persatuan) maka akan timbullah yang disebut siapa yang kuat

  dialah yang berkuasa. Itulah sebabnya ono niha takit melawan atau melanggar setian peraturan (fondrakhö) yang berlaku dan yang sudah diatur di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Nias mempercayai bahwa apa yang diamanahkan oleh leluhur itu adalah “Hukum” dan barang siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi yang berat atau kutukan dari arwah leluhur yang mengakibatkan hidup diatas dunia ini tidak bahagia, tidak aman serta dilanda oleh kesengsaraan hidup sampai ke anak cucu. Amaedola (pepatah) Nias mengatakak afatö gahe zanaö,

  

aköi döla hulu zanuri arö yang artinya patah kaki yang melanggar hukum dan

bengkok punggung yang menyeruaknya.

  Masyarakat Nias yang memiliki hukum adat-istiadat pada umumnya dapat kita ketahui dengan mengamatinya secara sederhana sekali berdasarkan pada:

  • Selalu mempercayai segala yang diamanahkan oleh orang tua atau leluhur agar tidak terkena kutukan.
  • Tetap mematuhi semua amanah leluhur baik dalam segi kehidupan sehari-hari baik dari segi persatuan, kesatuan, dan alam sekitar terlebih di dalam keluarganya.
  • Seluruh warga mengetahui bahwa yang lebih berkuasa adalah yang disebut

  

sobawi (dewa yang dapat memberikan kebahagiaan dah dapat memberikan

  kesengsaraan dan kesusahan juga bagi setiap orang yang tidak mematuhi aturan yang digariskan oleh leluhur.

  • Tetap memelihara dan menyambungkan semua amanah itu kepada anaknya sampai kepada cucu-cunya. kehidupan agar tenteram, damai dan bahagia serta dapat mempersatukan warga dalam wadah yang baik.

  Contoh seseorang yang memandang remeh, tidak menghormati, tidak menghormati orang tuanya, pamannya, mertuanya, tidak mengasihi istri dan anak- anaknya, tidak sopan santun dalam berbicara, maka dalam adat istiadat Nias ini tindakan ini disebut dengan silo mangila huku (tidak tahu adat). Akibat dari perbuatannya ini, maka dia, keluarganya dan keturunanya akan mendapatkan hukuman baik dari dewa dan roh leluhur.

  Masyarakat Nias juga mengenal filsafat hidup, salah satu filsafah hidup orang Nias adalah seperti buah ilalang di tengah buah tanaman padi, kelihatan buah kebohongan dibawa angin dan kelihatan buah kebenaran dapat dinikmati atau dipanen. Dalam bahasa Nias hulo mbua go’o, bagotalua mbua wakhe, Oroma

  zowua faya i’ohe angi, ba oroma zowua sindruhu tola mubasi.

  Kemudian filsafat rumput ilalang di tengah tanaman padi sebagai pesan

  

khusus kepada pilar Nias. Rumput ilalang sangat dibenci oleh petani karena

sangat membahayakan dan merusak tanaman padi. Menanam padi secara

musiman di ladang (area tanah keras) bukan sawah (area tanah datar yang berair)

memiliki banyak kelemahan yaitu selalu mudah ditumbuhi oleh ilalang dan jenis

tanaman rumput lainnya. Rumput ilalang tumbuh diantara padi dan sulit sekali

dideteksi karena jenis daunnya hampir sama. Lebih hebatnya lagi, ilalang bisa

menyesuaikan diri dengan tingkat kehijauan daun padi. Rumput ilalang sangat

kuat dalam memperebutkan makanan dari tanah, justru ilalang kelihatan

lebih subur dan kadang daunnya menghalangi daun padi. Rumput ilalang merusak

padi dan membuatnya menjadi tidak menghasilkan buah yang maksimal. Cerita di

ini, yaitu:

  Ada juga filsafat hidup hulo mbua go’o, bagotalua mbua wakhe, oroma

  

zowua faya i’ohe angi, ba oroma zowua sindruhu tola mubasi. Artinya, seperti

  buah ilalang di tengah buah tanaman padi, kelihatan buah kebohongan dibawa angin dan kelihatan buah kebenaran dapat dinikmati atau dipanen.

  Sekalipun rumput ilalang berusaha menyembunyikan diri dari komunitas

tanaman padi, namun pada akhirnya mereka pasti tertangkap dari hasil kerja yang

mereka buahi. Akhir dari semuanya itu adalah “buah” yang langsung kelihatan

mana yang benar dan mana yang penuh dengan kefasikan. Sekalipun rumput

  ilalang mengubah wajahnya, berusaha seakan-akan seperti padi yang baik hati, namun suatu hari dia tertangkap dalam “hasil kerja yang dibuahkannya.” Apa misinya rumput ilalang? Menumpang hidup, artinya rumput ilalang di mana-mana akan berusaha menumpang hidup dilahan yang baru disiapkan untuk

  Tanaman Padi. Misi yang pertama ini sudah ketahuan bahwa pemikirannya hanya bersifat short term. Sangat bersifat pendek dan sesaat. Sifat inilah yang sangat membahayakan organisasi di manapun, ada orang-orang yang berpikir pendek memakai kata “mumpung ada kesempatan.”

  Akibatnya aboto mbanua karena ilalang kelihatannya persis tanaman padi, mukanya sangat polos seakan-akan buahnya kelak sama dengan buahnya padi, semua orang dilingkungannya menganggap dia saudara, sahabat, dan mitra yang baik. Hati sebagian tanaman padi menjadi condong kepadanya, karena belas kasihan namun akan diuji oleh waktu bahwa ketika tiba saatnya akan kelihatan siapa yang akan memberi hasil yang baik dan siapa yang hanya memberi buah kosong, ada penyesalan namun sudah terlambat. rumput ilalang dalam ladang itu, maka rumput ilalang sangat cepat sekali menyebar ke seluruh areal ladang. Padi pun menjadi kurus kering dan mati, hidupnya terancam akhirnya jika bertahan hidup, sekalipun tentu tidak menghasilkan buah yang maksimal, pasti hasilnya tidak sesuai dengan harapan.

  Apa yang harus di lakukan? Cabut rumput ilalang sampai keakar-akarnya

  dan buang ke bara api untuk dibakar sampai jadi debu. Jangan ada belas kasihan padanya, karena dia dilahirkan sebagai perusak. Tidak akan mungkin dia menghasilkan buah padi sampai kapan pun. Rumput ilalang tetap menghasilkan buah ilalang. Di manapun ilalang tumbuh dia adalah trouble maker, samoto

  banua, dan pembuat penderitaan bagi tanaman padi.

  Hal ini prinsip para petani yang baik di manapun di muka bumi ini, bahwa rumput ilalang tidak menguntungkan dan tidak diharapkan kelahirannya di dalam ladang yang telah disiapkan untuk kehidupan dan peradaban manusia. Itulah arti dari apa yang saya sampaikan bahwa kita harus mengabdikan diri bagi kemanusiaan, mendatangkan kebaikan dan mampu mebedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

  Ketika kita memisahkan rumput ilalang dari tanaman padi harus benar-benar super hati-hati, supaya tanaman padi lainnya jangan ikut tercabut dan turut terbawa ke bara api yang mematikan itu. Namun segala sesuatu ada resikonya.

  Saudara, kita membutuhkan profesionalisme yang tinggi meminimalis resiko apapun. Namun ada harga yang harus dibayar jika memang demikian keadaanya di lapangan. Sekalipun beresiko besar bagi tanaman padi yang akan turut tercabut posisinya karena ketika sang ilalang dicabut dengan tangan yang adalah resiko dan harga yang harus dibayar dalam menyelamatkan ladang padi yang lebih besar yang telah disiapkan untuk menghasilkan padi demi keluhuran manusia dan demi kebaikan kita bersama. Filsafat buah ilalang, padi, dan ladang ini, sangat dipegang teguh oleh masyarakat Nias hingga hari ini. Inti dari filsafat hidup ini adalah jangan mengganggu orang lain, hiduplah untuk kebijakan dan bermanfaat bagi orang lain.

2.2.7 Kesenian

  Kesenian masyarakat Nias meliputi seni musik, seni lukis, tari, seni kerajinan, seni pahat seperti memahat patung. Nias memiliki budaya yang sangat menarik. Lompat batu (hombo batu) merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik, di mana seorang pria melompat di atas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan lompat batu tersebut di Desa Bawomatolua, Hilisimaetano, atau di desa-desa sekitarnya.

  Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria. Walaupun hal ini sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang menyenangkan serta menjadi daya tarik pariwisata di pulau Nias.

  Gambar 4: Atraksi Lompat Batu Nias Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian tradiional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung. Dengan tangannya mereka membawa tombak dan perisai.

  Gambar 5 : tari perang Di dalam kebudayaan Nias, tarian tradisional merupakan hal penting dan masih ada sampai sekarang, contohnya adalah sebagai berikut.

  1. Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bahagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai.

  Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan, dan pesta untuk menyambut pendatang baru.

  2. Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada uapacara pernikahan.

  3. Forgaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria.

  4. Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana.

  5. Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang. seseorang pada zaman megalitikum. Dalam upacara ini ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere.

  7. Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu zenajah tersebut dikuburkan.

  8. Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk memanggil roh. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu.

  9. Manaho adalah tarian yang ditarikan pada acra pernikahan dan untuk menyambut tamu penting. Penari wanita berjejer didepan dan penari pria yang berada disamping melakukan gerakan yang mirip dengan tarian perang. Karena tarian ini sangat mahal biasanya masyarakat kelas bawah menarikan tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan didalam gedung, dengan tujuan agar tamu tidak erasa bosan. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu.

  10. Tari Tuwu adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.

  11. Fadabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukkan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Di dalam bahasa Indonesia namanya dabus dan banyak dijumpai di Indonesia seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Banten, kawasan-kawasan budaya Melayu, dan lain-lainnya. menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya. Masyarakat Aceh dan Pesisir memperkenalkn tarian ini ke Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini: Starla, Aleale, Sangorofafa, Famosioshi, dan lain-lainnya.

  13. Fatabo adalah sebuah peristiwa unik di Pulau-pulau Batu. Fatabo walaupun berunsur tari, namun bukan sebuah tarian, hanya sebuah cara untuk menangkap ikan diair yang dangkal. Dua baris orang yang masing-masing di bawah pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebut dan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuat suara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian mereka berjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak tersebut, dan menyimpan ikan tersebut di antara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhan peristiwa ini adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dan keributan. Fatabo sangat populer di Pulau Sigata, Desa Wawa, dan Tanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias.

  14. Tari Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan pada acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan, penyambutan tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan sudah disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini selalu di pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias

  Masyarakat Nias juga mengenal beberapa tradisi musik antara lain yaitu tradisi seni suara yang dilakukan bersama (sikola manuno), nyanyian dalam kelompok gereja untuk memuliakan kebesaran atau pujian (sinuo fano

  

bu’o) atau lagu perkawinan dikala seorang calon mempelai laki-laki menawara,

  jujuran (fanuo bawango walu), lagu kematian sebagai ratapan bela sungkawa (bawa abu dodo), lagu mars, pemberi semangat berperang (sinuno wanuwo) dan lagu anak-anak (sinuno nda ono). Salah contoh lagu dari Nias adalah Hoho

  Hilinawalö-Fau.

  Alat musik pukul, gesek, tiup dan petik juga terdapat di Nias. Alat-alat musik tersebut dibunyikan pada saat pesta. Pada upacara kebesaran, pesta perkawinan dan kematian, aramba (gong), faritia (canang), dan göndra (gendang), fondrahi atau tutu (tambur) dibunyikan berhari-hari sebelum pesta berlangsung agar masyarakat dan desa tetangga mendengarnya. Alat musik lagia,

  

ndruri, doli-doli, dan surune sering dibunyikan oleh masyarakat pada saat mereka

sedang santai, kesepian, atau sedih agar mereka dapat terhibur.

  Di Nias Selatan, selain pada upacara kebesaran (fa’ulu), pada upacara kematian seorang bangsawan yang dihormati, gong dan gendang juga dibunyikan.

  Sementara pada upacara pemujaan dewa-dewa, para pemuka agama kuno (ere) selalu membunyikan fondrahi sambil mengucapkan mantra-mantra tertentu dalam bentuk syair atau pantun (hoho).

  Di bawah ini adalah berbaga jenis alat-alat musik tradisional yang sering di pakai oleh masyarakat nias dalam berbagai acara kebudayaan:

1. Gendang, gendang dalam bahasa daerah nias sering di sebut dengan

  göndra, di dalam bahasa Inggris di sebut dengan drum, dan dalam

  bahasa Indonesia disebut dengan gendang. Alat musik göndra (gendang) ini berasal dari Orahili-Ulunoyo, Nias Tengah. Terbuat dari hingga tembus sampai ke ujung sebelah. Kemudian, kedua sisinya diregangi dengan kulit kambing, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Dipergunakan pada upacara besar (owasa), pesta pernikahan, dan sebagainya.

  Gambar 6: Göndra (Gendang Besar)

  2. Gong dalam bahasa Nias disebut dengan aramba, dalam bahasa Inggris di sebut dengan Gong, sama seperti dalam bahasa Indonesia.

  Gong ini berasal dari Desa Hilimbuasi, Nias Tengah. Terbuat dari bahan kuningan. Dan biasanya dibunyikan dengan cara memukul gong dengan sebuah kayu yang dililit dengan kain yang tebal. Dipergunakan pada saat ada upacara besar (owasa), pesta pernikahan dsb. Tinggi 13,5 cm, tebal 0,5 cm, dengan diameter 44 cm.

  Gambar 7:

  Aramba (Gong) 3.

  Canang/faritia. Canang dalam bahasa nias sering di sebut dengan faritia.