Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias Di Kota Gunungsitoli

(1)

ANALISIS

SINUNŐ

PADA PERTUNJUKAN

FANARI

YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: CHICAL THEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

ii

ANALISIS

SINUNŐ

PADA PERTUNJUKAN

FANARI

YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI

OLEH:

NAMA: CHICAL THEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Fadlin, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196102201989031003 NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni

dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

iii PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3.Drs. Fadlin, M.A. ( )

4. 5.


(4)

iv DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001


(5)

v

KATA PENGANTAR

Syaloom…

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yesus Kristus Maha Penyayang dan Pengasih atas berkat dan karuniaNya yang diberikan, sehingga penulis mendapatkan kesehatan, kepintaran, pemikiran, kekuatan dan rejeki untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI, yang diajukan untuk

memperoleh gelar Sarjana Seni (S.sn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini berisikan hasil penelitian mengenai analisis pada pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan Nias di kota Gunungsitoli, dimana tarian ini merupakan tarian penyambutan (fangowai) yang sering di pertunjukan di dalam setiap acara adat Nias, khususnya di Kota Gunungsitoli.

Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan yang luar biasa sekali dari Bapak Drs. Fadlin, M.A.,selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Muhammad Takari,M.hum.,Ph.D.,selaku pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, dari awal penulisan sampai dengan selesai. Kedua dosen pembimbing inisungguh banyak membantu penulis selama penyusunan skripsi. Mereka juga banyak memberikan motifasi, support, kesabaran dan ketelatenan serta semangat dalam penulisan skripsi ini. Arahan-arahan mereka tersebut semakin memacu dan memotifasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(6)

vi

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya-USU, yang telah memberikan peluang, kemudahan dan bantuan moril kepada penulis sejak awal duduk dibangku perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada informan, Ibu Dra. Adiria Zendratő dan Ibu Eka Gulő yang bersedia menjadi informan bagi penulis saat melakukan penelitian lapangan. Terimakasih atas informasi-informasi yang telah diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan sempurna. Penulis mengucapkan terimakasih banyak sekali lagi atas kesediannya menjadi informan selama penulisan skripsi ini berlangsung.

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, papa tercinta Yulius Fangelama Telaumbanua.B.sc dan mama tersayang Ria Murni Laoli. Keduanya telah sabar mendukung selama penulis menyusun skripsi ini dan menyemangati penulis ketika penulis dilanda perasaan lelah, dan memarahi penulis dalam kasih dan cintanya ketika penulis malas dan jenuh dalam melakukan penyusunan skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kakanda tercinta Yuri Della Angelia Telaumbanua.S.E, adek saya tercinta Ivan ardin Dan Axel Kevin Telaumbanua yang sudah banyak mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Dorongan dan motifasi yang kalian berikan sangat berharga bagi penulis sampai skripsi ini selesai dengan sempurna.

Buat keluarga besar penulis Bapak sakhi Cornelius Telaumbanua, mama sakhi, , mama sa’a I.citra, mama talu I.Pasti dan I.Lini, mama sakhi I.Kiki serta seluruh saudara-saudara penulis perempuan dan laki-laki dari penulis K’Citra,Wiwin,Linda,Ira,Ella,Lini,Iin, Kiki,Yanti,Jeni, Gita, belly, bang Pasti Harefa.M.m, Davit,Juang, Novan, dan abang


(7)

vii

A.Kaylen yang sudah banyak membantu dan memotifasi penulis sampai dengan selesainya penyusunan skripsi ini.

Tak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada kekasih yang sangat penulis sayangi Dwi Cahyani Mendrőfa.Am.Kep yang sudah sabar dan tetap setia memotifasi penulis dalam penyusunan skripsi ini. Thank’s buat omelannya dek yang tidah habis-habisnya terucap disaat penulis malas dan jenug dalam menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi penulis mengucapkan terimakasih. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada sahabat saya Juang Zega, Efendi waruwu, teman-teman di Glow, buat bang Dedi zega, B’Parulian Tampubolon.S.sn, Bernard Saragih, Anggel Gulő dan seluruh teman-teman di Glow yang belum Penulis sebutkan satu persatu. Thanks buat semua dukungan Doa dan motifasi yang telah diberikan kepada penulis sampai dengan selesainya skripsi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman di kos Waikiki, buat komisi Pemuda Sektor Medan Baru yang sudah banyak bersama dengan penulis di dalam suka dan duka, serta selalu berbagi keceriaan didalam segala hal.

Buat adek-adek penulis tercinta Rukun Zebua dan Lois Zebua yang sudah mendampingi, memotifasi dan sabar serta tidak henti-hentinya memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, thank’s penulis ucapkan untuk kalian.

Ucapan terimakasih juga penulis lanturkan kepada seluruh teman-teman seangkatan penulis di Departemen Etnomusikologi; Novalinda Tringani Ginting S.Sn, Yunika Margaretha Ginting, Evi Nenta Sipahutar, Jery Periance Saragih S.Sn,Vanesia Amelia Sebayang S.Sn, Inta Junia Hasugian S.Sn, Rina Gustriani Simanjuntak S.Sn, Rebekka Sihombing S.Sn, Destri Damayanti Purba S.Sn, Eva Gusmalayanti S.Sn, Heydi Evelin Simorangkir S.Sn, Sansri Nuari Silitonga S.Sn, Amran Hutahean S.Sn, Jefri Hutagalung S.Sn, Ananda Mora Ichsan, Daniel Limbong, Jonedy Nababan, Ucok Silalahi,


(8)

viii

Arnold, Efraim Tarigan, Chical T dan Boby Sandy. Terimakasih telah bersama dan telah berbagi susah maupun senang dan juga menjadi bagian hidup penulis selama duduk di banguku perkuliahan dan mudah-mudahan persahabatan ini abadi sampai seterusnya. Kalian bukan Cuma sekedar teman, bahkan sudah penulis anggap sebagai keluarga.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang turut berperan dalam penyelesaian skripsi ini dan kepada siapa saja yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Semoga Tuhan membalas kebaikan yang telah anda berikan. Akhir kata, penulis mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah atau kurang berkenan di hati para pembaca sekalian. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada disiplin etnomusikologi dan dapat pula berguna bagi kebudayaan Nias. Ya’ahowu…

Penulis,


(9)

ix ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli. Sinunő merupakan nyanyian pengiring dalam tari Ya’ahowu, dimana tarian Ya’ahowu ini merupakan tarian penyambutan pada setiap upacara adat di Nias, khususnya di Kota Gunungsitoli.

Adapun fokus utama dari penelitian ini adalah mengenai penganalisaan terhadap strukutur teks sinunő, bagaimana makna konotatif dan denotatifnya. Untuk mengetahui bagaimana struktur umum musikal nyanyian tersebut, maka dilakukanlah penganalisaan terhadap melodi dengan menggunakan teori weighted scale, yaitu melalui tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah nada, interval, pola kadens, formula melodi dan kontur.

Dalam penelitian ini, penulis memilih Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli sebagai tempat penelitian, dimana tarian Ya’ahowu ini diciptakan pertama sekali secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan.

Kata kunci : Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Wilayah kota Gunungsitoli………. 28

Gambar 2 Peta Keseluruhan Pulau Nias………. 29

Gambar 3 Seorang Ibu Sedang Berbicara Dalam bahasa Nias………41

Gambar 4 Atraksi Lompat Batu Nias………. 51

Gambar 5 Tari perang………. 52

Gambar 6 Gőndra (gendang besar)……….57

Gambar 7 Aramba (gong)………... 58

Gambar 8 Faritia (canang)………...59

Gambar 9 Lagia……….. 60

Gambar 10 Salah satu seni patung Nias………61

Gambar 11 Omo sebua (rumah adat besar)……….. 62

Gambar 12 Pakaian Tradisional Nias Zaman Dahulu………66

Gambar 13 Kostum penari dan perhiasan yang dipergunakan………..67

Gambar 14 Kostum pemusik pria………..68

Gambar 15 Salah satu pertunjukan tari ya’ahowu………71

Gambar 16 Salah satu pertunjukan tari ya’ahowu……… 71

Gambar 17 Contoh Visual Gerakan Tari ya’ahowu………. 73

Gambar 18 Gerak Dalam Pola Berkumpul……….. 74

Gambar 19 Gerak Membentuk Formasi Lingkaran………..74

Gambar 20 Gerak Menunjukkan Kotak Kapur Sirih………75


(11)

xi

Gambar 22 Penyerahan Sirih Kepada Seorang Penonton Wanita………. 77

Gambar 23 Penyerahan Sirih Kepada Seorang Penonton Pria……….. 78

Gerakan 24 Gerakan Akhir Dalam Persembahan Tari Y’ahowu……… 79

Gambar 25 Gambar Dua Orang Pemain Gőndra……….... 82

Gambar 25 Gambar Pemain Gong………. 83


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

ABSTRAK... ix

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... ………… x

DAFTAR TABEL ... …………. x

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2 Pokok Permasalahan……….12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….12

1.3.1Tujuan………12

1.3.2Manfaat……….13

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan………..13

1.4.1Konsep……….13

1.4.2Teori………..16

1.5 Metode Penelitian………..18

1.5.1Studi Kepustakaan………19

1.5.2Penelitian Lapangan………..20

1.5.3Wawancara………....21

1.5.4Perekaman Data Visual dan Audio………... 21

1.5.5Kerja Laboratorium………... 22

1.5.6Pemilihan Lokasi dan Informan………..23


(14)

xiv

2.1 Gambaran Umum Kota Gunung Sitoli……….. 25

2.1.1 Demografi………... 30

2.1.2 Iklim………... 30

2.1.3 Pemerintahan………... 31

2.2 Masyarakat Nias di Gunungsitoli………. 32

2.2.1 Agama………...32

2.2.2 Bahasa………... 37

2.2.3 Organisasi Masyarakat……….... 41

2.2.4 Mata Pencaharian………... 43

2.2.5 Teknologi Tradisional……….... 44

2.2.6 Adat Istiadat dan Filsafat Hidup……….. 45

2.2.7 Kesenian……… 50

BAB III: DESKRIPSI PERTUNJUKAN SINUNO PADA FANARI YA’AHOWU 3.1 Persiapan Awal………. 64

3.2 Properti………...65

3.2.1 Busana………....65

3.2.2 Peralatan Tari………. 68

3.2.3 Make Up……… 69

3.3 Pertunjukan……… 69

3.4 Deskripsi Gerak………. 72

3.5 Musik………. 79

3.6 Sinuno……… 85


(15)

xv

4.1 Struktur Teks……….88

4.1.1 Teks Pembuka………. 88

4.1.2 Teks Isi……… 90

4.1.3 Teks Penutup………91

4.2 Makna Teks………...92

4.2.1 Makna Konotatif……….92

4.2.2 Makna Denotatif……….93

BAB V: ANALISIS STRUKTUR MELODI SINUNŐ 5.1 Tangga Nada……….100

5.2 Wilayah Nada………101

5.3 Nada Dasar………101

5.4 Formula Melodi……….101

5.5 Interval………...102

5.6 Pemakaian Nada………104

5.7 Pola-pola Kadensa………105

5.8 Kontur………105

BAB VI: PENUTUP 1.1 Kesimpulan………107

1.2 Saran………109

DAFTAR PUSTAKA……… 112


(16)

xvi

DAFTAR INFORMAN...114


(17)

(18)

(19)

ix ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli. Sinunő merupakan nyanyian pengiring dalam tari Ya’ahowu, dimana tarian Ya’ahowu ini merupakan tarian penyambutan pada setiap upacara adat di Nias, khususnya di Kota Gunungsitoli.

Adapun fokus utama dari penelitian ini adalah mengenai penganalisaan terhadap strukutur teks sinunő, bagaimana makna konotatif dan denotatifnya. Untuk mengetahui bagaimana struktur umum musikal nyanyian tersebut, maka dilakukanlah penganalisaan terhadap melodi dengan menggunakan teori weighted scale, yaitu melalui tangga nada, nada dasar, wilayah nada, jumlah nada, interval, pola kadens, formula melodi dan kontur.

Dalam penelitian ini, penulis memilih Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli sebagai tempat penelitian, dimana tarian Ya’ahowu ini diciptakan pertama sekali secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan.

Kata kunci : Analisis Sinunő Pada Pertunjukan Fanari Ya’ahowu Dalam Kebudayaan Nias di Kota Gunungsitoli


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap suku bangsa di nusantara ini masing-masing memiliki bentuk-bentuk kesenian tradisional yang khas dan beragam yang sering disebut dengan

local culture yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, kesenian tradisional tersebut berkembang dengan mengikuti dinamika zaman. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat pemiliknya. Pada prinsipnya sebuah bentuk kesenian diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar merasa tentram dalam menghadapi tantangan alam.

Salah satu suku bangsa tersebut adalah masyarakat Nias. Secara geografis, Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera (Indonesia). Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang memiliki budaya megalitik, musik, tarian, dan nyanyian (sinunő). Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (ono artinya anak atau keturunan dan

niha artinya manusia) dan pulau Nias sebagai Tanő Niha yang artinya (tanő artinya tanah) dan diartikan sebagai tanah manusia. Suku Nias merupakan masyarakat yang hidup di lingkungan adat dan kebudayaan yang memiliki nilai-nilai yang khas.


(21)

2

Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu dapat di perkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjaraningrat, 1997:4). Kenyataan ini dapat dijumpai dalam etnik Nias yang merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sumatera Utara.

Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu menjadi suatu hal yang sangat sakral dan harus dijalani dan di patuhi oleh setiap masyarakat Nias. Masyarakat Nias memiliki sistem hukum adat yang disebut Fondrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kepada kematian, dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakannya akan diberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat.

Dalam kebudayaan Nias terdapat banyak sekali keragaman budaya. Keragaman budaya tersebut antara lain seperti tarian tradisional, sinunő dan musik tradisional, makanan,dan minuman yang bersifat tradisional. Tarian tradisional, musik dan sinunő di pertunjukan pada setiap upacara-upacara adat, baik itu pernikahan, kematian, penyambutan tamu-tamu adat dan pemerintahan. Pada setiap upacara-upacara adat salah satu unsur yang tidak dapat lepas darinya adalah tarian tradisional serta sinunő (nyanyian) pengiring tari tersebut. Tarian tradisional

dan sinunő ini diiringi oleh ensambel musik yang terdiri dari gendra (gendang

besar), faritia (canang), dan mamba (gong).

Masih terdapat beberapa alat musik lainnya dan yang ketiga alat musik di atas adalah yang paling umum dipakai. Pada masyarakat Nias terdapat beberapa


(22)

3

jenis tarian tradisional, antara lain : Tari Maena yaitu tarian ini merupakan tarian suka cita yang biasa di pertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang di hormati, tari Maru yang merupakan tarian yang dipertunjukkan pada pesta penyambutan tamu dan owasa, tari Mamadaya Saembu atau Folaya Saembu merupakan tarian yang dipertunjukan pada pesta kebesaran untuk meningkatkan derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, tari Perang tarian yang biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, dan festival-festival kebudayaan, tari

Ya’ahowu merupakan tarian kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang paling sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu, baik itu tamu adat dan tamu yang hadir pada suatu pesta.

Untuk mempersempit pokok permasalahan, maka dalam hal ini saya sebagai penulis mengambil pokok permasalahan pada tari Ya’ahowu. Tari ya’ahowu ini merupakan sebuah tarian khas kepulauan Nias di mana tarian ini merupakan sapaan khas penduduk Pulau Nias yang dipertunjukkan untuk menyambut tamu yang datang, baik tamu kedaerahan, pemerintahan dan tamu adat. Tarian ini diikuti atau diiringi oleh nyanyian (sinunő) yang merdu dan sahut menyahut yang mengandung makna dan arti tertentu yang dinyanyikan dalam bahasa Nias. Kalau kita mengartikan kata Tari Ya’ahowu jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan exspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang di perhalus melalui estetika.


(23)

4

Latar belakang terciptanya tari Ya’ahowu ini adalah adanya unsur keinginan masyarakat untuk menciptakan tari yang menggambarkan rasa sukacita dan penyambutan kepada tamu yang datang di Nias terutama di daerah Nias bagian utara. Sebelum terbaginya beberapa wilayah kabupaten dan kota di Nias, tari penyambutan di yang sering dan umum di pertunjukan adalah tari Faluaya

(tari perang) dan nyanyiannya vokal yang digunakan pada masa sebelum terbaginya wilayah Nias adalah nyanyian Hoho. Terjadinya pembagian wilayah kabupaten di Nias menjadikan masyarakat Nias menciptakan kesenian tradisional baru yang melambangkan atau menjadi ikon dari daerah itu. Nias Utara dan selatan memiliki perbedaan tradisi yang sangat jauh berbeda, terutama dalam hal tarian dan musik. Nias bagian utara pada tariannya memiliki gerakan yang lebih halus dibandingkan dengan Nias bahagian selatan yang rata-rata gerakannya kesar dan energik. Begitu juga dalam nyanyiannya.

Dari perbedaan wilayah inilah maka Nias bagian utama atau sekarang di kenal dengan daerah kota Gunungsitoli menciptakan tari Ya’ahowu sebagai tari penyambutan tamu adat di daerah ini. Tarian ini pertama sekali diciptakan secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan.

Pada upacara penyambutan tamu, tari Ya’ahowu di pertunjukan disertai dengan sinunő fangowai yang artinya adalah nyanyian penyambutan. Nyanyian pada waktu penyambutan ini terdiri dari 2 jenis, yakni: bőlihae dan fangowai. Kedua nyanyian ini biasanya didapati pada setiap acara penyambutan tamu-tamu


(24)

5

adat, ataupun pemerintahan. Pengertian kedua nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias adalah sebagai berikiut: (a) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang tamu memasuki lokasi acara tempat diadakannya pesta penyambutan tamu. (b) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő atau orang dalam terhadap tome atau tamu yang datang.

Kedua nyanyian di atas menggunakan syair-syair tertentu, khususnya

Bőlihae yang berisikan pujian-pujian dari masyarakat setempat atau orang dalam

kepada pihak tome/ tamu yang datang. Sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa sukacita saat itu tergambar dari nyanyian (sinunő) yang mereka nyanyikan pada saat itu; sedangkan Fangowai berisikan penghormatan tehadap pihak tamu. Kedua nynyian ini dinyanyikan dengan menitikberatkan pada medium suara manusia. Kedua nyanyian ini juga merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara adat penyambutan tamu pada masyarakat Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian (sinunő) untuk pengiring tari Ya’ahowu membuat Bolihae dan Fangowai diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Meskipun tarian

Ya’ahowu dan sinunő pengiringnya masih tergolong kreasi baru, tetapi mempunyai posisi yang penting pada kebudayaan Nias. Dalam konteksnya, banyak tarian yang mengadopsi atau mengunakan nyanyian vokal sebagai pengiring dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tari itu sendiri. Banyak tarian yang mana nyanyian pengiringnya mengandung makna sesuai dengan gerakan tari yang dimainkan oleh penari.

Sinunő atau Nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai fungsi yang sama dengan nyanyian hoho yang terdapat di Nias selatan yaitu sama-sama nyanyian pengiring tari, hanya saja berbeda dalam konteks penyajian, tergantung


(25)

6

dimana konteks dia di pertunjukakan. Tari Ya’ahowu di Nias utara lebih sering dipertunjukan pada acara penyambutan tamu, dan teks yang terkandung dalam sinunő mengandung makna sapaan, pemberian hormat dan rasa sukacita yang diberikan kepada tamu. Sedangkan hoho pada kebudayaan Nias selatan hampir di semua acara adat dia di pergunakan. Teks dalam nyanyian hoho ini belum baku dan bisa berubah sesuai dimana ia di mainkan. Di dalam teks hoho ini terdapat mitologi Nias yang berisi berbagai konsep orang Nias tentang alam, adat dan rekigi ataupun filsafah hidup masyarakat Nias. Ere hoho mempunyai peranan penting dalam menyusun ataupun membuat teks hoho yang akan ditampilkan.

Berdasarkan cara menyajikan atau menampilkannya, masyarakat Nias (bagian Selatan) membagi hoho dalam dua jenis, yang pertama adalah Hoho yang dibawakan untuk mengiringi tari Faluaya. Atau yang menyanyikan hoho membawakan nyanyian itu sambil menarikan tarian Faluaya bersama dengan penari Faluaya lainnya yang jumlahnya bisa mencapai pulihan orang dan biasanya ditampilkan dihalaman kampong atau newali. Sedangkan yang kedua hoho yang ditampilkan tanpa tarian dan ditampilkan sambil duduk di atas

daro-daro (kursi tradisional Nias) atau disebut dengan hoho Fetataro. Jadi sinunő pengiring tari Ya’ahowu mempunyai fungsi yang sama dengan hoho, yaitu sama-sama sebagai nyanyian pengiring tari, tetapi cara menyanyikannya, intonasinya, serta teksnya berbeda. Cara bernyanyi di Nias selatan lebih keras disbanding cara bernyanyi masyarakat di Nias utara yang lebih lembut.

Sinunő atau nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini tergolong nyanyian baru

yang baru diciptakan sekitar bulan Maret tahun 2004 oleh Bapak Man Harefa yang merupakan salah seorang budayawan Nias. Nyanyian ini banyak dipengaruhi oleh nyanyian gereja yang dapat di lihat dari nada-nada yang diciptakan dan


(26)

7

teksnya yang berisi kalimat-kalimat yang lembut yang berbeda jauh dari cara masyarakat Nias Selatan yang lebih keras.

Dengan melihat pendapat tersebut, nyanyian (sinunő) pengiring tari

Ya’ahowu juga menjadi bagian yang sangat perlu dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual, maka akan berbicara mengenai bahasa juga, dimana bahasa juga merupakan salah satu system yang masuk kedalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981:203).

Fenomena linguistik dengan bunyi musikal sudah sangat lama diteliti mengenai hubungannya. Menurut salah satu pakar etnomusikologi Feld dalam Purba (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu : yang meliputi hubungan tekstual (relasi), sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, music didalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties) ke-musikal-an dari bahasa.

Demikian juga sinunő pengiring tari Ya’ahowu merupakan musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya. Sinunő pengiring tari Ya’ahowu memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantung adat atau bahasa-bahasa ynag mengandung makna tersendiri sebagai syair/teks nyanyian. Makna konotatif ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Nias itu sendiri.

Maka sinunő juga merupakan media komusikasi yang memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tersebut, dan menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami


(27)

8

oleh masyarakat Nias itu sendiri ataupun masyarakat lain di luar kebudayaan Nias. Dengan demikian sinunő tidak hanya sebatas nyanyian yang dinyanyikan pada acara-acara adat ataupun penyambutan tamu dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau memiliki beberapa fungsi lain.tetapi yang paling inti bahwa sinunő menggambarkan suatu cirri atau kebudayaan masyarakat Nias melalui teks atau syair dan menyampaikan makna yang terkandung di dalam teks atau syair tersebut.

Dengan melihat latar belakang tersebut di atas, maka nyanyian sinunő yang disajikan dalam pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunung Sitoli ini, menarik secara keilmuan untuk dikaji melalui disiplin etnomusikologi. Apalagi disiplin ini adalah ilmu yang penulis pelajari dan resapi selama beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu perlu penulis uraikan sekilas apa itu etnomusikologi dan bagaimana terapannya untuk penelitian ini.

Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni dan siial, disiplin ilmu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan gabungan atau fusi dari dua disiplin ilmu yaitu antropologi (kadangkala disebut juga dengan etnologi dengan musikologi. Fusi antara kedua disiplin ini sendiri telah menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks dalam sejarah perkembangan etnomusikologi di seluruh dunia ini.

Dalam konteks penggunaan kedua disiplin itu di dalam etnomusikologi, maka bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri. Di lain sisi antropologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia yang lebih luas. Secara tegas dinyatakan oleh Alan P. Merriam di tahun 1964 sebagai berikut.


(28)

9

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).1

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

1

Buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.


(29)

10

sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.


(30)

11

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.2

Dari definisi etnomusikologi tersebut di atas, maka dalam konteks penelitian ini, sangatlah relevan mengkaji sinunő pada pertunjukan fanari Ya’ahowu di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Gunung Sitoli. Alasannya adalah bahwa

sinunő adalah musik vokal yang mengandung makna-makna kebudayaan. Nyanyian ini dapat didekati oleh disiplin etnomusikologi yang merupakan hasil fusi dari disiplin antropologi dan musikologi. Sinunő ini dapat dikaji dari aspek

2

Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.


(31)

12

strukturalnya melalui musikologi dan dikaji aspek fungsi sosial dan budayanya dari sudut antropologi.

Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis sinunő (nyanyian) untuk iringan tari Ya’ahowu karena melihat hal ini baik untuk dibahas dan dituliskan dalam skripsi dengan judul:

ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU

DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI.

1.2 Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur sinunő yang digunakan pada pertunjukan fanari

Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunungsitolu? 2. Bagaimana struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu pada acara penyambutan

tamu adat di Kota Gunungsitoli?

3. Makna apa yang terkandung di dalam sinunő?

1.3Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur nyanyian/melodi vocal sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

2. Untuk mengetahui struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.


(32)

13

3. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sinunő

fanari ya’ahowu yang dapat berguna sebagai pedoman oleh masyarakat Nias

1.3.2 Manfaat

Yang menjadi manfaat dalam tulisan ini adalah:

4 Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui secara jelas bagaimana dan sejauh mana sinunő berperan dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.

5 Penelitian ini bermanfaat untuk mendokumentasikan keberadaan seni etnik, khususnya Nias.

6 Penelitian ini juga bermanfaat untuk pengembangan ilmu etnomuskolologi dalam mengkaji kebudayaan etnik yang terdapat di seluruh dunia ini.

1.4Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau dengan kata lain, konsep merupakan istilah dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan


(33)

14

dugaan akan sebenarnya. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005).

Sinunő dalam Kamus Bebas Bahasa Nias berarti nyanyian, sedangkan yang

bernyanyi artikan Si Manunő. Nyanyian disebut juga dengan musik vokal, yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya.

Pertunjukan menurut Richard Schechner (1997:161) adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath (yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Menurut Singer (1995:165) pertunjukan adalah sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya. Sedangkan menurut Sediawaty (1981:58-60) seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Selain hal tersebut, seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan. Dalam hal ini seni yang terdapat dalam tari Ya’ahowu/fanari


(34)

15

Fanari dalam Kamus Bahasa Nias berarti menari atau menarikan. Jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Haukin mengatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasai dan di beri bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta (Haukins, 1990:2). Dalam konteksnya, beberapa unsur gerak tari yang tampak meliputi gerak, ritme, dan bunyi musik, serta unsur-unsur pendukung lainnya.

Ya’ahowu dalam Kamus Bahasa Nias (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti “Semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh

yang maha kuasa. Sedangkan Kota Gunungsitoli adalah, kota terbesar di pulau Nias saat ini,

membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang dari pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi berimigrasi ke kota Gunungsitoli. Di samping itu Kota Gunugsitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Kota GunungSitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh, dan orang-orang keturunan Tionghoa.


(35)

16 1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Sebagai landasan berfikir dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan dua teori utama untuk membedah dua permasalahan utama. Untuk mengkaji masalah struktur melodi digunakan teori

weighted scale (bobot tangga nada), dan untuk mengkaji struktur teks (lirik) lagu digunakan teori semiotik.

Sinuno atau nyanyian berhubungan erat dengan bahasa (tekstual). Terkadang juga nynyian berhubungan erat dengan musik. Ada 2 faktor yang paling mendasar di dalam hubungan bahasa dan musik, antara lain :

7 Bahasa di dalam musik yang meliputi hubungan tekstual, sifal quistik atau gaya bahasa.

8 Musik di dalam bahasa meliputi masalah eksistensi sikap atau masalah dari bahasa.

Menurut Steven Feld dan Hugo Zemp,vocabulari yang sebelumnya dianggap sebagai tata bahasa saja, tetapi berhubungan dengan kebiasaan masyarakat seperti bentuk musik, nyanyian vokal, nyanyian pengiring dalam sebuah pertunjukan tari.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis sinunő (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada),

prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa),


(36)

17

pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Dalam hal ini penulis hanya akan menganalisa nyanyian , yaitu sinuno sebagai nyanyian vocal,bagaimana nada-nadanya, interval yang di pakai, bagaimana irama nyanyian itu.

Untuk menganalisis pertunjukan penulis berpedoman pada Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji, penyaji dan penonton) diantara variabel-variabel wilayah yang berbeda.

Dari segi tari, penulis mengutip apa yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98), mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak tetapi gerak-gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud-maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud-maksud-maksud simbolis (abstrak) yang sukar untuk dimengerti, hal ini diperbuat agar makna tari itu berbeda dari apa yang dinamakan “pantonim” yang menggunakan gerakan-gerakan yang mudah dimengerti.

Qureshi (1986:135-136) menekankan bahwa pentingnya proses dari analisa yang terkait dimana adanya interaksi diantara dua pandangan yang berbeda yaitu


(37)

18

bukan hanya sekedar penyajian musikal, karena setiap peristiwa yang terkait memiliki makna tertentu bagi masyarakat pendukungnya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam.

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sach dalam Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Metode penelitiaan yang digunakan juga memakai metode penelitian deskriptif, merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, dan akibat atau efek yang terjadi (Sukmadinata 2006:72).

Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.


(38)

19 1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti.

Penulis juga mempelajari buku-buku tentang asal usul Orang Nias, buku tentang bagaimana Nias di zaman dahulu. Penulis juga mempelajari bagaimana kebudayaan Nias dulu, bagaimana kesenian- kesenian yang terdapat di masa dulu serta kaitannya kepada kebudayaan musik sekarang, serta membaca jurnal-jurnal yang membahas dan berkaitan dengan kebudayaan Nias.

Dalam mencari informasi yang berhubungan dan mendukung dengan tulisan ini serta dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian, penulis melakukan studi kepustakaan. Ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang berguna untuk melengkapi hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian lapangan. Selain itu penulis juga mencari penjelasan dari internet yang mana dari literatur tersebut diharapkan dapat membantu penyelesaian dari penulisan skripsi ini.


(39)

20 1.5.2 Kerja Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Selain itu juga penulis mengacu pada pendapat Merriam bahwa dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40).

Penulis juga melakukan pengamatan langsung ke tempat diselengarakannya pertunjukan fanari Ya’ahowu pada sebuah acara penyambutan tamu daerah yang menampilkan naynyian dan tarian tersebut di Kota Gunungsitoli dan melakukan perekaman langsung guna diteliti.


(40)

21

1.5.3 Wawancara

Dalam rangka penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung kepada objek yang di teliti, baik penarinya, penyanyinya serta pemusiknya yang berguna untuk mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian ini. Menurut Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak-pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan yang diwawancari (interview). Patton (dalam Moleong, 1988:135), mengungkapkan beberapa jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara pembicaraan informal, (2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (3) wawancara baku terbuka.

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

1.5.4 Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pertunjukan Fanari Ya’ahowu ditampilkan pada acara


(41)

22

penyambutan tamu dengan langsung merekamnya dengan format video dan mengambil foto-foto tentang pertunjukan itu.

Perekaman data ini di lakukan dengan menggunakan handycam Sony dan menggunakan camera Nikkon. serta merekam nyanyianatau sinuno melalui laptop yang menggunakan software Nuendo 4.2 dan menyimpannya dalam format mp3. Hasil dari rekaman ini kemudian di edit dan dipilih, sehingga dapat dimuat dalam data skripsi. Data nyanyian atau sinunő tersebut di pindahkan ke dalam satu notasi yang sifatnya visual agar mudah dipelajari.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Dari semua data yang diperoleh dari perekaman melalui penelitian langsung, Semua data yang diperoleh di lapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

Dalam kerja laboratorium ini juga penulis di bimbing langsung oleh dosen pembimbing yaitu: Bapak Fadlin dan Muhammad Takari yang juga mengarahkan penulis melalui pendekatan-pendekatan etnomusikologi tentang masalah yang penulis bahas. Sehingga jika terdapat kekurangan dapat langsung diperbaiki melalui saran dari dosen pembimbing.


(42)

23

1.5.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Di Nias terdapat banyak sanggar seni, baik itu sanggar seni yang berada di bawah pembinaan atau naungan sekolah, seperti sanggar Sma Xaverius Gunungsitoli, Sanggar SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Sanggar Perguruan Pemda (Pemerintah Daerah) Gunungsitoli, dan masih banyak lagi sanggar seni yang ada di bawah naungan sekolah lainnya. Ada juga sanggar seni yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu.

Dalam pemilihan lokasi penelitian, penulis menetapkan Sanggar Bolalahina Sma Negeri 1 Kota Gunungsitoli yang merupakan sanggar pencipta tari Ya’ahowu dan sanggar ini juga merupakan sanggar yang paling banyak di undang untuk mengisi setiap acara-acara yang menampilkan kesenian-kesenian Nias. Sanggar ini di pilih karena di sanggar inilah banyak terdapat informasi-informasi yang berhubungan dengan penelitian yang di kerjakan oleh penulis.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal yang mampu membeikan informasi yang penulis butuhkan sebelum melakukan penelitian. Informan pangkal inilah nantinya yang akan membawa atau mengarahkan penulis kepada informan kunci.

Adapun kapasitas dan criteria informan kunci ini adalah orang yang mengetahui tentang Sinuno dalam tari Ya’ahowu dan memberikan semua informasi yang penulis butuhkan. Informan kunci yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Ibu Adiria Zendrato (42) dan Ibu Eka Gulo (45). Ibu Adiri Zendrato dan Ibu Eka Gulo dianggap oleh masyarakat Nias di Gunungsitoli


(43)

24

sebagai orang yang banyak memahami sinuno untuk tari Ya’ahowu. Keduanya melatih dan menghasilkan para penari Ya’ahowu dengan kualitas estetik dan teknis yang dipandang baik. Keduanya juga berwawasan budaya dalam konteks memaknai tari dan lagu ini.


(44)

25 BAB II

DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS

DI KOTA GUNUNGSITOLI 2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli

Pulau Nias yang merupakan salah satu pulau yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah:

•Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

• Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara;

•Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah;


(45)

26

Pulau Nias memiliki satu (1) Kotamadya, yaitu kota Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi ini diresmikan ole Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli”yakni sebuah nama gunung dalam kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan yang disebut Ina Mbanua.

Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain; Menurut Zebua (1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni:

a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi)

b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda


(46)

27

Bawolaraga Harefadan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso Borombanua Telaumbanua.

c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua. d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou

segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga.

Dengan demikian momentum lahirnya kota Gunungsitoli dianalogikan dengan kelahiran pelabuhan yang dinamakan Luahanou. Pelabuhan tersebut pada awalnya masih sebagai pelabuhan alam terbuka pada tahun 1629. (Juga disebut dengan nama Luaha). Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sendirinya Tano Niha (Suku Nias) dengan kepualuannya masuk dalam wilayah Negara Republik Indonesia.Tano niha dengan kepulauannya(kepulauan Hinako dan kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan Ibu Kotanya Gunungsitoli. Kepala Luhak pertama adalah Daliziduhu Marunduri (1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak Nias di tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati.Bupati pertama adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli. Tidak berapa lama kemudian Tano Niha menjadi daerah Tingkat II Kabupaten Nias dan mulai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat


(47)

28

II. Dalam perkembangannya pemimpin pemerintahan (bupati) berganti dan sat ini Kota Gunungsitoli sebagai Daerah Otonom Baru dipimpin walikota defenitif.

Proses perkembangan kota Gunungsitoli sejak lahirnya dengan nama Luahanou masa kemerdekaan Republik Indonesia dan masa Daerah Otonomi Baru Saat ini. Perkembangan itu dapat ditinjau dari perkembangan komunitas/etnis maupun perkembangan fisik/ prasarana. Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775-140), Cina (1850), Jerman (1865) dan Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan Jepang (motif politik dan kekuasaan).


(48)

29

Gambar 2: Peta Keseluruhan Pulau Nias Sumber : Google/ niasjaya.wordpress.com


(49)

30 2.1.1 Demografi

Dari hasil survei oleh Badan Pusat Statistik di Kota Gunungsitoli tahun 2010, dimana survei tersebut dihitung berdasarkan jenis kelamin di kota Gunungsitoli menghasilkan data sebagai berikut :

NO TAHUN 2010

1 Jumlah Pria (Jiwa) 61.839

2 Jumlah Waniata (Jiwa) 64.363

3 Total (Jiwa) 126.202

4 Pertumbuhan Penduduk (% ) ---

5 Kepadatan penduduk ( jiwa/km2) 269

2.1.2 Iklim

Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC.

Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan.


(50)

31

Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan. Keadaan iklim kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara.

Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara musim kemaru dan penghujan memiliki kelelmbaban (humiditas) yang cukup berimbang.

2.1.3 Pemerintahan

Pemerintah Kota Gunungsitoli terbilang muda. Baru terbentuk berdasarkan UU No. 47 Tahun 2008, sebagai pemekaran dari Kabupaten Nias. Kota gunungsitoli di pimpin oleh Walikota, yang mana jabatan ini merupakan jabatan yang paling tertinggi di pemerintahan Kota Gunungsitoli. Golongan atau jabatan yang di ada pada walikota selalu mendapat perlakuan istimewa dari masyarakatnya atau anggota-anggota pemerintahan lain yang ada di bawahnya. Walikota ini selalu dihormati, selalu di undang untuk hadir dalam pesta-pesta adat, seperti perkawinan, kematian, dan lainnya. Walikota ini juga mempunyai wewenang untuk memutuskan hal-hal penting dalam pemerintahan kota yang ia pimpin.


(51)

32

Ada beberapa pembagian wilayah Kecamatan di Kota Gunungsitoli, yaitu: Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, dan Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Masing-masing wilayah kecamatan dipimpin oleh camat yang mempunyai wewenang atas wilayahnya masing-masing.

2.2 Masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli 2.2.1 Agama

Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati (supernatural) bersumber pada gejala-gejala alam yang memiliki nama sesuai dengan tempat atau sistem kekuatannya.

Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya:

Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga


(52)

33

memberhalakan roh-roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud. Misalnya berbagai jenis patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö,

Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu. Mereka juga percaya pada leluatan supernatural pada pohon tertentu, misalnya:

Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politeisme.

Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.

Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara

Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani

(Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran


(53)

34

kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu

Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan.

Zaman dahulu para leluhur ono Niha (masyaraakat Nias) mempercayai bahwa seluruh jagat raya dan alam semesta ini diatur oleh dewa, dan dewa tertinggi pada saat ini menurut kepercayaan mereka adalah Dewa Si’Ai. Para leluhur Nias dahulu mempercayai bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus memberikan sesajian-sesajian untuk menghormati dewa ini. Mereka mengadakan sebuah upacara dengan berkumpul dibawah pohon besar (pohon fosi atau pohon

eho) atau dalam bahasa Niasnya upacara ini disebut sebagai sambua olahoitö. Dibawah pohon tersebut mereka melakukan upacara dengan mengelilingi pohon tersebut dan manyampaikan keinginan mereka.

Selain dewa Si’ai mereka leluhur Nias dahulu juga mempercayai adanya dewa-dewa lain di antaranya: Luo Lowalangi sebagai Dewa Pencipta Alam Semesta; Lature Sobawi Sihono atau Dewa Pemilik dan Penguasa Ternak Babi;

Uwu Gere atau Dewa Pelindung dan Penguasa; Uwu Wakhei atau Dewa Penguasa Tanaman-tanaman; Gazo Tuha Zangarofa Dewa Penguasa Air, dan lainnya.

Sejak masyarakat Nias menghuni pulau Nias (Tanő Niha) mereka mamiliki pandangan bahwa masih ada dewa lain atau kekuatan lain di luar tubuh manusia yang beberbentuk gaib. Mereka percaya bahwa roh atau arwah-arwah leluhur mereka yang sudah meninggal dunia, memiliki kekuatan yang dapat melindungi serta menolong mereka. Sehingga mereka membuat tempat atau benda-benda seperti patung-patung yang terbuat dari batul. Mereka juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat-tempat keramat,yang mana terdapat roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap mereka. Untuk menghormati roh-roh tersebut mereka melakukan


(54)

35

ritual berdoa atau sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan–persembahan atau sesajian dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar.

Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan

Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan

adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali bőrőnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba adu).

Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli. Sebelumnya ia sudah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orang Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan.

Misi selanjutnya dilanjutkan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut sebagai tahun pertobatan (fangesa dődő sebua).

Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patung-patung


(55)

36

perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).

Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sngsi hukum adat dengan hukum badan, poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit memalui dukun sudah semakin berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragam kristen (S. Zebua 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63).

Selain memeluk agama Kristen, orang Nias di Kota Gunungsitoli ada juga yang memeluk agama Islam. Mereka yang beragama Islam biasanya mengadakan upacara mangikuti ajaran-ajaran agama Islam. Mereka tidak lagi mengikiuti tradisi sanomba adu (penyembah patung), tidak lagi percaya kepada dukun-dukun, tidak lagi mengadakan sesajen untuk roh-roh leluhur. Mereka tidak lagi memotong babi yang diajaran Islam. Babi ini merupakan hewan yang haram dagingnya untuk dimakan. Biasanya digantikan dengan lembu atau kambing yang diabsahkan oleh ajaran Islam sebagai hewan yang halal. Masyarakat muslim di Nias juga giat melakukan kegiatan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, wirid


(56)

37

yasin, memperingati isra’ mi’raj Nabi Muhammad dan lainnya. Walaupun memiliki perbedaan kepercayaan, masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup dengan harmonis dan rukun, serta saling menghormati antar umat beragama.

2.2.2 Bahasa

Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah dipergunakan oleh penduduk di bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia yang telah menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul “A grammar of Nias Selatan”, mengatakan dalam suatu wawancara: “Barangkali misteri terpenting, dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa, adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia.”

Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e pepet atau eu dalam bahasa Sunda. Berdasarkan analisis, di identifikasi bahwa fonem bahasa Nias hanya berjumlah 20, yakni: b, d, f, g, h, k, l, m, mb, n, ndr, r, rn, s, t, w, bw, x, y, z.

Logat dan intonasi bunyi bahasa Nias berbeda–beda yaitu karena memiliki dua logat, antara lain logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat pertama dipergunakan di Nias bagian utara, timur, dan barat yang menggunakan pengaruh logat bahasa Nias Utara antara lain di daerah pedalaman dan daerah pantai memiliki ciri khas. Logat yang kedua di Nias bagian tengah,


(57)

38

selatan dan Kepulauan Batu yang mendapat mengaruh bahasa logat Nias bagian Selatan yaitu di daerah pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan imbuhan berupa awalan, akhiran dan sisipan terbatas. Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam").

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Nias seharusnya memiliki fungsi-fungsi three in one. Bahasa Nias tidak saja merupakan bagian, indeks, dan simbol budaya Nias. Bahasa Nias juga merupakan media untuk memenuhi kebutuhan menyampaikan atau menanggapi suatu informasi, baik mengenai masa lampau, mengenai masa kini, maupun mengenai masa depan. Ini sejalan dengan pendapat Grimes (2002), yang menyatakan bahwa bahasa berkembang bersama lingkungan masyarakat dan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Bahasa digunakan untuk menuturkan cerita, menceritakan masa lampau, mengungkapkan rencana masa depan, mengungkapkan sastra (baik lisan maupun tertulis), dan mewariskan cara hidup. Ini menunjukkan betapa penting peranan bahasa Nias.

Saat ini bahasa Nias masih digunakan sebagai alat komunikasi pada berbagai ranah, terutama oleh (sebagian besar) penduduk di desa-desa di pulau Nias. Beberapa warga komunitas tertentu asal Pulau Nias, yang tinggal di


(58)

39

beberapa daerah di luar Pulau Nias, terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa juga masih menggunakan bahasa Nias ketika berkomunikasi dengan sesama warga asal Pulau Nias. Akan tetapi, ada beberapa fenomena yang memberi petunjuk bahwa kehidupan bahasa Nias memerlukan lebih banyak perhatian berbagai pihak.

Dalam beberapa tahun terakhir, interferensi bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) ke dalam bahasa Nias cenderung menjadi semacam invansi atau “penjajahan” bahasa. “Serangan” bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) terhadap bahasa Nias tidak saja menyangkut kosakata, melainkan juga meliputi elemen-elemen lain. Elemen-elemen lain bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Nias. Salah satu hal yang menarik perhatian penulis mengenai penyusupan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Nias tersebut adalah kenyataan bahwa bahasa Indonesia menyusup, bahkan menggeser bahasa Nias, melalui orang Nias.

Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan:

• Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata: Ga'a

• Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.

Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Ya'ahowu = biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan salam

ya'o = aku, saya • ahono = tenang, diam


(59)

40 • ya`ugö = anda, kamu

asu = anjing • tola = boleh • lö nasa = belum • ebua = besar • fofo = burung

li Niha = bahasa Nias • lala = cara, jalan • tötö`a = dada

Tanö Niha = Pulau Nias • idanö = air

tundraha = sampan/perahu • Hadia duria? = Apa kabar? • Hauga bözi? = Jam berapa? • Koda, foto = gambar • bongi = malam • tanÕ owi = sore • ama = bapak • ina = ibu • ga'a = abang • nomo = rumah • baru = baju • manga = makan • serewa = celana • omasi'ö = disayangi


(60)

41 • omasido = aku suka

laluo = siang • ono = anak

ono alawe = anak perempuan • Hezo möi'ö? = Mau kemana? • Manörö-nörö = jalan-jalan

Gambar 3:

Seorang Ibu Sedang Berbicara dalam Bahasa Nias

2.2.3 Organisasi Mayarakat

Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat menonjol pada masyarakat Nias di kota Gunungsitoli, meskipun terdapat perbedaan dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa Kota Gunungsitoli ini dihuni oleh beberapa etnis lain di luar etnis Nias itu sendiri. Walaupun berbeda dari segi agama, etnis, dan budaya, namun masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup harmonis, tolong menolong,


(61)

42

bahkan bersatu di dalam setiap kegiatan organisasi yang ada di tengah masyarakat.

Salah satu organisasi masyarkat di Kota Gunungsitoli adalah dalam segi organisasi keagamaan, seperti organisasi Persatuan Masyakat Muslim Se-Kepulauan Nias yang sudah banyak mengadakan acara-acara seperti pada acara memperingati Maulid Nabi Muhamad SAW. Ketua MUI Kota Gunungsitoli, H. Abdul Hadi Caniago, S.H. di halaman Masjid Al-Falah Tohia mengatakan, saat ini pihaknya memperhatikan BKPRM (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia) telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif, khususnya dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam di wilayah Kota Gunungsitoli dan Nias. Pihaknya juga mengharapkan kepada semua umat Islam untuk terus menggunakan mesjid sebagai tempat ibadah secara kolektif, sesuai dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri sehingga masjid dapat dipandang dengan baik di mata semua umat. Momentum peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan sebagai rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil alamin. Untuk itu pihaknya mengharapkan kepada generasi muda untuk dapat terus meneladani Nabi Muhammad sAW. Terlebih saat ini meningkatnya berbagai kegiatan negatif yang dapat menjerumuskan para kader-kader pemuda Islam.

Ada juga organisasi Persatuan Pemuda Kristen se-kepulauan Nias yang sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan rohani, perlombaan-perlombaan yang membuat pemuda Nias bersatu tanpa melihat perbedaan yang ada. Ada juga persatuan HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia), Persatuan pemuda Pasar Kota Gunungsitoli. Selain itu, ada juga organisasi perempuan Nias seperti HIPMI (Himpunan perempuan Nias Indonesia). Adajuga persatuan masyarakat


(62)

43

Idanő Gawo, Lahewa, Sirombu, Nias Selatan dan Pulau-pulau Batu dan lainnya. Ada juga organisasi masyarakat berdasarkan marga (mado), seperti Persatuan marga Telaumabnua, Zalukhu, Zega, Gulő, Ziliwu dan lainnya.

2.2.4 Mata pencaharian

Kota Gunungsitoli saat ini merupakan kota yang sangat berkembang di Pulau Nias dan Kota Gunungsitoli ini juga merupakan Kota yang menjadi tujuan orang dari perkampungan atau pelosok untuk bermigrasi, mengadu nasib, dan mencari lahan pekerjaan akibat ketertarikan akan banyaknya lahan kerja yang ada di kota Gunungsitoli. Masyarakat dari perkampungan yang ke kota Gunungsitoli ini menyebar keberbagai wilayah di kota, ada yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, menjadi petani, nelayan karyawan swasta atau bahkan ada yang jadi tukang becak dan buruh lepas.

Mata pencaharian orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam yakni di ladang (sabae’e) dan di sawah (laza). Lahan di Pulau Nias tergolong memiliki daya guna yang besar bila sistem pendayagunaan dikembangkan. Hal ini di sebabkan oleh iklim di daerah Nias sangat menunjang untuk lahan pertanian karena memiliki curah hujan yang tingg sehingga banyak juga orang Nias yang hidup dari bertani.

Mata pencaharian lainnya adalah berburu di hutan, menangkap ikan di sungai, beternak dan bertukang. Hasil peternakan utama di Nias adalah babi. Selain itu diternakkan pula kambing dan kerbau yang biasanya diusahakan oleh orang Nias yang beragama Islam. Nias juga memiliki hutan tropic yang beraneka ragam jenis tanaman dan relatif tidak homogen. Banyak dijumpai tanaman perkebunan seperi cengkeh, kopi, karet, dan nilam. Yang menjadi hasil olahan


(63)

44

penduduk antara lain berupa minyak nilam, kopi, kopra dan minyak kelapa. Minyak nilam dari Nias juga diekspor setelah diproses di Medan sebagai bahan kosmetik. Sedangkan kpra dan kopi dipasarkan keluar pulau Nias namun masih dalam jumlah yang kecil karena keterbatasan sarana dan prasarana angkutan (distribusi barang yang terbatas).

Selain masyarakat nias sendiri yang bermigrasi,ada juga masyarakat dari etnis lain di luar Nias seperti Minangkabau (Padang), Aceh, Melayu, Cina yang mencari nafkah di kota Gunungsitoli dengan cara berdagang. Arang Padang, Aceh, dan Melayu sebagian besar berjualan emas. Ada juga yang jualan pakaian jadi, serta ada yang berjualan bahan bagunan dan elektronik.

2.2.5 Teknologi Tradisional

Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi ketajaman, keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah dengan mandau yang dibuat oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterampilan dalam seni membangun pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan sampai saat kini.

Namun adanya pergeseran nilai akibat pengaruh budaya luan membuat keakhlian khas yang dimiliki orang Nias tidak begitu berkembang terutama dalam seni membuat perkakas atau ornamen-ornamen dalam keperluan rumah tangga. Industri yang berkembang di Nias berupa kerajinan rumah seperti:


(1)

114

DATA INFORMAN

Lampiran

1. Nama : Ibu Dra. Adiria Zendratő, S.pd Umur : 42 Tahun

Alamat : Jln.Yosudarso, pelabuhan angin Gunungsitoli-Nias

Pekerjaan : Seorang Guru ( Pegawai Negeri Sipil), pelatih dan sebagi salah seorang Pembina pada Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli

2. Nama : Ibu.Dra. Eka Gulo,S.pd Umur : 45 Tahun

Alamat : Jln. Madula Gunungsitoli-Nias

Pekerjaan : Seorang Guru (Pegawai Negeri Sipil), pelatih dan sebagi salah seorang Pembina pada Sangga Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli


(2)

115

DAFTAR ISTILAH

Adat : Aturan (perbuatan dsb) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala (Kebiasaan-kebiasaan sebelumnya)

Amaedola : Peribahasa/ pepatah masyarakat Nias

Ansamble : Sebuah kelompok / group music yang para pemainnya memainkan alat music secara bersama-sama.

Analisa : Suatu usaha untuk menjelaskan dan mendeskripsikan

sebuah musik.

Antropologi : Ilmu ttg manusia, khususnya ttg asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pd masa lampau.

Adikodarati : Kekuatan supranatural Banua : Langit/ alam semesta

Bőlihae : Nyanyian yang dibawakan sepanjang tamu memasuki lokasi acara pesta

Buku Zinunő : Merupakan Buku Nyanyian

Dokumentasi : Pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan (spt kutipan dari surat kabar, gambar-gambar, dan lain sebagainya).

Etnomusikologi : Ilmu perbandingan musik yg bertujuan memperoleh pengertian tt sejarah asal-usul, perkembangan, dan persebaran musik pd pelbagai bangsa di dunia.

Ere : Dukun atau pimpinan agama kuno Fananő bunu : Upacara menabur bunga

Famaoso dalő : Upacara mengangkat tengkorak orang yang sudah meninggal


(3)

116

Fame’e afo : pemberian sekapur sirik kepada tamu Fahasara dodo : Kesatuan hati

Fondrakhő : Hukum yang mengatur segi kehidupan dari kelahiran sampai kepada kematian

Gladi resik : Latiha persiapan sebelum berlangsungnya suatu acara Hoho : Merupakan nyanyian vocal dalam kebudayaan Nias,

yang menggunakan teks-teks tertentu dan menitik beratkan pada medium suara manusia

Informan : Orang yg memberi informasi; orang yg menjadi sumber data dalam penelitian; narasumber.

Konteks : Situasi yang ada hubungannya dng suatu kejadian. Laboratorium : Ruang kerja analisis data bagi etnomusikolog.

Laza : Ladang

Linguistik : Ilmu ttg bahasa.

Literatur : Kesustraan/kepustakaan.

Li Niha : Bahasa asli yang di pergunakan oleh masyrakat Nias Luo Lowalangi : Tuhan / dewa pencipta alam

Mbola Nafo : Sekapur sirih / dan temat sirih

Makna konotatif : Makna yang timbul sebagai akaibat dari sikap sosial, sikap pribadi dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual

Makna denotatif : Makna yang wajar / makna yang sebenarnya

Melodi : Susunan rangkaian tiga nada atau lebih dl musik yg terdengar berurutan secara logis serta berirama dan mengungkapkan suatu gagasan.


(4)

117

Metode : Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan.

Musikal : Bersifat musik.

Musikologi : Ilmu ttg musik, sejarah, dan perkembangannya. Nada : Tinggi rendahnya bunyi (pitch)

Notasi : Penggambaran simbolik sebuah musik.

Niha : Manusia

Omo sebua : Rumah adat yang besar

Sambua olahaitő : Suatu perkumpulan yang diadakan di bawah pohon besar

Sekola sinunő : Paduan suara

Sowatő : Pihak pelaksana pesta adat / tuan rumah

Sinunő : Merupakan nyanyian ungkapan persaaan hati yang

dalam serta disertai melodi yang disuarakan secara bersama atau sendiri- sendiri.

Struktur : Cara sesuatu disusun atau dibangun; ketentuan unsur- unsur dari suatu benda.

Silő mangila huku : Orang yang tidak tau hukum dan memahami tentang

hukum

Tangga nada : Susunan nada-nada naik atau pun turun yang tersusun secara berurutan.

Teks : Naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang. Tempo : Ukuran lama waktu kecepatan sesuatu gerak (musik,

lagu, dll).

Teori : Pendapat yg didasarkan pd penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.

Tradisi : Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.

Transkripsi : Proses menyalin sebuah musik menjadi notas-notasi lewat media rekam.


(5)

118

Upacara : Melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat dan kebiasaan atau menurut agama

Vokal : Mengenai suara, linguistik bunyi bahasa yang dihasilkan oleh arus udara dari paru-paru melalui pita suara dan penyempitan pada saluran suara di atas glotis.


(6)