KARAKTER PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL INDONESIA BERWARNA LOKAL JAWA: KAJIAN PERSPEKTIF GENDER DAN TRANSFORMASI BUDAYA

  

KA RA KTER PEREM PUA N JA W A DA LA M NOV EL INDONESIA

BERW A RNA LOKA L JA W A : KAJIA N PERSPEKTIF GENDER

DA N TRA NSFORM A SI BUDA YA

  

The characters of Javanese Women in Indonesian Fictions with Javanese Local Colour: A

Gender Perspective and Cultural Transformation Study

Esti Ismawati

  Universitas Widya Dharma Klaten, Jalan K.H. Dewantara, Klaten Utara, Jawa Tengah, Telp: 0272-322363, Pos-el: ibu_esti@yahoo.co.id

  Naskah masuk: 12 Agustus 2012—Revisi akhir: 31 Mei 2013

  

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakter tokoh perempuan Jawa dalam novel Indone-

sia berwarna lokal Jawa: kajian perspektif gender dan transformasi budaya. Dua belas novel yang diteliti,

yakni Burung-Burung Manyar (BBM) dan Romo Rahadi (RR) karya YB Mangunwijaya, Canting

karya Arswendo Atmowiloto, Para Priyayi (PP), Sri Sumarah (SS) dan Bawuk (B) karya Umar Kayam.

  

Ronggeng Dukuh Paruk (RDK), Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH) , dan Jentera Bianglala (JB)

karya Ahmad Tohari, Pada Sebuah Kapal (PSK), Tirai Menurun (TM) karya Nh. Dini, dan Pariyem

(P) karya Linus Suryadi AG. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa karakter perempuan Jawa dalam

novel yang diteliti mengalami perubahan yang berkaitan dengan transformasi budaya. Mereka bukan

melainkan aktif berperan di sektor publik sebagai pencari nafkah keluarga. Mereka konco wingking,

juga bukan perempuan biasa yang pasif, melainkan aktif memecahkan masalah kehidupan. Kesetaraan

gender dan transformasi budaya terdapat dalam karakter tokoh perempuan Jawa dalam novel Indonesia

berwarna lokal Jawa yang diteliti.

  Kata kunci: perempuan Jawa, karakter, gender, dan transformasi

Abstract: This research is aimed at describing the characters of Javanese women in Indonesian

fictions with Javanese local colour related to gender perspective and cultural transformation study.

  

There are twelve novels observed in the research, namely, Burung-Burung Manyar (BBM) and

Romo Rahadi (RR) written by YB Mangunwijaya; Canting (C) written by Arswendo Atmowiloto;

Priyayi (P), Sri Sumarah (SS), and Bawuk (B) written by Umar Khayam; Ronggeng Dukuh Paruk

(RDP), Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH); and Jentera Bianglala (JB) written by Ahmad Tohari,

Pada Sebuah Kapal (PSK) and Tirai Menurun ( TM ) written by Nh. Dini, and AG Pariyem (P)

written by Linus Suryadi . From the analysis, it can be concluded that cultural transformation has

occurred in characters of the Javanese women in Indonesian fiction. Female characters in the

fiction, which are analyzed above, have played an important role in various aspects of life. They

are not only Konco Wingking, but they also take an active role in the public sector as economic

actors in a family. They are not the passive women, but women who are creative in solving the

problems of life. Gender equality has been obtained by the Javanese female characters in fictions

which are analyzed.

  Key words: Javanese women, character, gender, transformation

   E ST I

   I SM AW AT I : K ARAKTER P EREMPUAN J AWA DLM N OVEL I NDONESI A ...

1. Pendahuluan

  Ketika membaca karya sastra, pembaca dihadapkan pada keadaan yang paradoksal. Satu p ihak kary a sastra m erup akan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, yang boleh/ harus dipahami, dan ditafsirkan pada dirinya sendiri, tetapi di pihak lain, tidak ada karya seni mana pun yang berfungsi dalam situasi kosong. Setiap cipta sastra atau karya seni merup akan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem ko nv ensi atau ko d e sastra d an budaya (Teeuw , 1983:11). Sampai tingkat tertentu, sastra melukiskan kecenderungan- kecenderungan utama dalam masyarakatnya, baik karena sebuah teks dengan sadar (tidak sad ar) m eng ung kap kanny a, m aup un karena teks tersebut dengan sengaja (tanpa sengaja) menghindari atau mengelabuhinya (Kleden dalam Salam, 1998). Sastra telah diakui sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan y ang ad a d i m asy arakat. D alam merealisasikan tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang diidealkan, pengarang bisa menggunakan tokoh sebagai penyambung lidahnya. Penampilan tokoh dalam sastra bisa menggunakan berbagai cara, misalnya pengarang secara langsung menganalisis watak tokohnya, melukiskan situasi sekitar to ko h d an tang g ap an to ko h baw ahan terhadap tokoh utama, atau melalui tokoh baw ahan yang m em bicarakan kead aan tokoh utama.

  Tokoh perempuan Jaw a dalam sastra Indonesia yang diidealkan oleh beberapa p engarang Jaw a d alam no vel-no velnya telah jauh m elam p aui harap an kaum perempuan, yakni hadirnya kesetaraan gen- der. Bukan hanya pengakuan kesederajatan dalam peran dan status, melainkan capaian yang lebih tinggi dari itu, yakni kesedarajatn d i sekto r p end id ikan d an eko no m i.

  Perempuan Jaw an tidak berposisi sebagai konco wingking.

  Bahkan, tidak segan-segan p ara p eng arang no v el tersebut menggambarkan secara jujur keunggulan perempuan Jawa atas kaum laki-lakinya, sebag aim ana tam p ak p ad a to ko h D r. Larasati dalam novel Burung-Burung Manyar dan dr. Rosi Padmakristi dalam novel Romo

  Rahadi

  karya YB Mangunwijaya. Superioritas kaum laki-laki Jaw a yang telah berabad- abad diunggulkan, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam kehidupan karya fiksi oleh beberapa pengarang telah dianggap sebagai mitos. Perempuan Jawa dalam dua novel Mangunw ijaya tersebut tidak lagi diperankan sebagai konco wingking meskipun secara kultural hal ini terus berlangsung. Beberapa pengarang yang terang-terangan menempatkan perempuan Jawa pada posisi depan, misalnya YB Mangunwijaya, Umar Kayam, Nh Dini, A hmad To hari, Linus Suryadi AG, dan A rsw endo A tmow iloto. Bagaimana karakter perempuan Jawa dalam novel Indonesia berwarna lokal Jawa karya p enulis-p enulis tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikannya apa, bag aim ana, d an m eng ap a karakter p eremp uan Jaw a d alam novel berw arna lo kal Jaw a terkait d engan transfo rmasi budaya.

  Kajian mengenai transformasi budaya sud ah bany ak d itulis. Kay am (1994) mengangkat transformasi bud aya d alam Pidato Pengukuhan Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya, UGM berjudul “ Transformasi Budaya Kita” . Nurgiyantoro, (1998) dalam

  Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia m eny im p ulkan bahw a

  transfo rm asi alur p ercerita w ay ang ke dalam fiksi jauh lebih dominan daripada alur pertunjukan w ayang. Transfo rmasi penokohan tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi lebih intensif, khas, atau tip ikal. Transformasi perwatakan mengambil jiwa atau inti hakikat cerita wayang, sedangkan transformasi penamaan hanya mengambil kulitnya. Transformasi latar tidak terjadi secara intensif karena transformasi alur dan peno kohan tidak harus melibatkan latar. M asalah p o ko k d an tem a d alam cerita w ayang dapat diangkat dan ditampilkan d alam kehid up an m o d ern secara ko ntekstual karena terd ap at bany ak kesamaan inti p ermasalahan kehid upan y ang esensial, m isalny a hal-hal y ang METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  BBM,

  a. Transformasi Budaya

  2. Kajian Teori

  Teknik utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi d engan pembacaan dan penafsiran berulang-ulang. Kemudian, ditriangulasi dengan wawancara pakar, analisis riwayat hidup pengarang, dan triangulasi penafsiran dari berbagai sumber. Instrumen utama adalah peneliti dibantu kartu data yang digunakan untuk mencatat temuan data dari hasil identifikasi, integ rasi, d an interp retasi. D ata y ang terkum p ul d ianalisis secara d eskrip tif kualitatif sehingga d iketahui gambaran karakter yang terkait dengan transformasi budaya secara menyeluruh dari berbagai aspek kehidupan para tokoh perempuan Jawa yang dianalisis.

  perempuan Jaw a kelas buruh dan pemain wayang orang, bernama Kedasih, sedangkan PSK, tokoh utamanya perempuan Jawa, penari istana, pramugari, penyiar radio, bernama Sri. Selanjutnya, ad alah Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag, sebuah prosa liris dengan tokoh utama seorang perempuan Jaw a, bernama Pariyem d ari W o no sari, Gunung Kidul, seorang pembantu rumah- tangga di keluarga ningrat Yogya.

  Sebuah Kapal (PSK). TM toko h utamanya

  Kayam d engan to ko h p erem p uan Jaw a terpelajar bernama Siti Ngaisah, Bawuk, dan Sumarah. Canting karya Arswendo Atmowiloto m enam p ilkan to ko h utam a bernam a Tug inem, p eremp uan Jaw a buta huruf, seorang buruh, tetapi dengan kecerdasannya ia m am p u bersand ing d eng an Bei Sestro kesum o d ari kerato n Surakarta. Tuginem m elahirkan lima p utera yang semuanya sarjana: dokter, ekonom, insinyur, dan apoteker. Berikutnya, novel karya Nh. Dini berjudul Tirai Menurun (TM) dan Pada

  Bawuk (B) dan Sri Sumarah (SS) karya Umar

  tokoh utamanya perempuan ningrat Jaw a y ang berg elar d o kto r, bernam a Larasati; sedangkan RR tokoh utamanya perempuan Jawa terpelajar bergelar dokter, bernama Ro si Padmakristi. No vel-novel berikutnya adalah Para Priyayi (PP) dan

  karya Ahmad Tohari. Tokoh utam a ketig a no v el ini ad alah Srintil, perempuan desa, tidak berpendidikan alias buta huruf. Berikutnya novel-novel karya YB Mangun W ijaya y ang berjud ul Burung- burung Manyar (BBM) dan Romo Rahadi (RR).

  , Juni 2013: 10—21 m eny ang kut m asalah p ilihan m o ral, perjuangan untuk mencapai tujuan, d an kesetiaan serta pengabdian kepada suami, negara, dan orang lain sebagai manifestasi balas budi. Transformasi nilai-nilai wayang ke dalam karya fiksi menunjukkan adanya keterbalikan dalam penekanan nilai-nilai.

  Lintang Kemukus D ini Hari (LKDH), Jentera Bianglala (JB)

  Penelitian ini ad alah p enelitian deskriptif kualitatif. Cara meneliti dirinci menjadi tiga bagian, yakni penggambaran fokus, pengumpulan data, penganalisisan d ata, d an p emaknaan. Fo kus p enelitian adalah 12 novel Indonesia yang menokohkan perempuan, dari perempuan desa hingga p eremp uan ko ta, d ari p eremp uan biasa hingga perempuan berdarah biru, serta dari perempuan buta huruf hingga perempuan bergelar d okto r. No vel-no vel d imaksud ad alah: Ronggeng D ukuh Paruk (RD K),

  menyimpulkan bahwa terdapat perubahan secara menyeluruh pada tokoh perempuan Jaw a d alam fiksi Ind o nesia berkenaan dengan perubahan sosial budaya dari waktu ke waktu.

  Fiksi Indonesia: Kajian Transformasi Budaya

  Ism aw ati (2005) d alam buku y ang d iterbitkan Pustaka Cakra, Surakarta berjudul Transformasi Perempuan Jawa dalam

  mengkaji hubungan antara sastra tradisi dan sastra modern dan hubungan antara tradisi dan mod ernitas dalam proses perkembangan kebudayaan Ind o nesia. Menurut Esten, kajian yang demikian ini amat penting dilakukan dalam memahami perkembangan kebudayaan In- donesia yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk kebudayaan baru dari suatu masyarakat yang baru pula.

  Transformasi Budaya

  Esten (1999) d alam buku terbitan A ng kasa, Band ung berjud ul Kajian

  Transfo rmasi bud aya secara teo retis diartikan sebagai suatu proses dialog yang terus-menerus antara kebud ayaan lo kal

   E ST I

   I SM AW AT I : K ARAKTER P EREMPUAN J AWA DLM N OVEL I NDONESI A ...

  kebudayaan donor sampai tahap tertentu membentuk proses sintesa dengan pelbagai wujud yang akan melahirkan format akhir budaya yang mantap. Dalam proses dialog, sintesa, dan bentuk format akhir tersebut d id ahului o leh pro ses inkulturisasi d an akulturasi (Sachari, 1994). Transfo rmasi bud ay a d i Ind o nesia telah berlangsung dalam tiga tahap, (1) dari kebudayaan Jawa p rim itif ke arah terbentukny a fo rm at kebudayaan Jaw a Hind u-Budha, (2) dari kebudayaan Jawa Hindu-Budha ke arah for- mat terbentuknya kebudayaan Jawa Hindu- Islam (kebudayaan lokal), dan (3) bertemunya kebud ay aan lo kal d eng an kebud ay aan ko lo nial (Po rtug is, Ing g ris, Beland a) mengalami culture schock karena berbeda karakteristiknya. Akhir abad 19 mulai terjadi dialog antara dua kebudayaan tersebut yang ditandai lahirnya Budi Utomo, Sarekat Islam, dan berbagai pergolakan politik modern (Sachari, 1994).

  Menurut Sachari (1994) dialo g yang terjad i pad a akhir abad 19 membangun p erubahan sistem nilai d alam berbag ai kehidupan: politik, ekonomi, pendidikan, pola pikir, gaya hidup, dan adat. Kenyataan itu m encip takan p erg eseran nilai-nilai (termasuk novel pada tahun-tahun pertama kem unculanny a hing g a sekarang ). Pergeseran nilai-nilai tersebut dapat diamati juga dalam karya pemikiran, pendidikan, dan penokohannya (Salam, 1998). Adanya p erg eseran nilai-nilai tersebut d ap at d ijad ikan ind ikasi bahw a p ro ses transfo rmasi bud ay a Ind o nesia terjad i secara menyeluruh.

  Suriasumantri (2000:49—53) mengatakan bahw a transfo rmasi d ip erlukan d alam rang ka m enuju m o d ernisasi y ang merupakan serangkaian perubahan nilai- nilai dasar yang meliputi nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik (kuasa), nilai estetika, dan nilai agama. Nilai teori y ang tercerm in d alam cara berp ikir nonanalitik bergeser dari intuitif ke analitik; kebiasaan bergeser ke nilai yang sangat meninggikan rasionalitas dan efisiensi. Nilai so sial berg eser d ari o rientasi status ke prestasi kerja. Nilai ekonomi bergeser dari p ola ko nsumtif ke p o la pro duktif. Nilai p o litik berg eser d alam karakteristik p eng am bilan kep utusan berg eser d ari pertimbangan orang lain ke pertimbangan d iri send iri. Nilai agama berg eser d ari p ersp ektif lama y ang fatalistik ke arah motivasi hidup yang lebih baik. Nilai estetika bergeser d ari p arad igma lama ke arah p arad ig m a baru y ang m eng acu p ad a pandangan hidup dan kepribadian bangsa.

  Sejalan dengan pemikiran Suriasumantri, So ed jatm o ko (1984:ix-xiii) m eng atakan bahwa persoalan utama bagi kita bukanlah m eng g alakkan p ertum buhan eko no m i melainkan pentransformasian sosial seluruh masyarakat y ang akan m embaw a serta trasformasi dalam semua sektor kehidupan ang g o ta m asy arakat. Transfo rm asi d i bidang politik akan menghasilkan sistem politik yang di satu pihak dapat menjadi sistem reko nsiliasi y ang sang g up mengakomodasi konflik-konflik kepentingan d ari berbag ai kelo m p o k p o litik d engan menggunakan p aksaan minimum d an di lain p ihak harus sanggup menghad ap i masalah-masalah praktis yang dibawa oleh m o d ernisasi. Transfo rm asi d i bid ang kebud ay aan akan m em buat ang g o ta masyarakat sanggup melakukan penyesuaian diri d engan kreatif terhad ap p erubahan- p erubahan sosial yang diakibatkan o leh modernisasi, teknologisasi, nuklirisasi, dan penyesuaian the rising expectations terhadap hasil m o d ernisasi. Pertem uan d eng an budaya asing tidak masalah yang penting ialah kemampuan budaya yang satu untuk mencernakan d an m enyesuaikan unsur budaya untuk tujuan sendiri. Vitalitas suatu bang sa tercerm in d ari keberanian menjalankan eksperimen dan mencoba jalan baru yang belum terdapat pada kebudayaan asli. Tradisi bagi bangsa yang vital bukan sesuatu yang beku dan bukan merupakan kurungan yang merintangi suatu bangsa menghad ap i p erso alan baru, melainkan bag aikan rabuk untuk p ertum buhan selanjutny a. Transfo rm asi d i bid ang ekonomi akan mengakibatkan perubahan struktural y ang harus m em bebaskan masyarakat dari ketimpangan dan keluar METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 10—21 dari kemiskinan karena struktur yang ada secara ekonomis selalu merugikan mereka (Soedjatmoko, 1984:46-47). .

  Ro cho n (http://en.wikipedia.org/wiki/

  Transformation of Culture,

  diakses tanggal 23 A gustus 2010) menyebutkan tiga mod us perubahan budaya, (1) nilai konversi, yakni penggantian nilai-nilai budaya yang ada dengan nilai-nilai budaya yang baru, (2) penciptaan nilai, yakni pengembangan ide- ide baru untuk diterapkan ke situasi baru, dan (3) nilai koneksi, yakni pengembangan lingkungan ko nsep tual feno mena yang diduga sebelumnya tidak berhubungan atau dihubungkan dengan cara yang berbeda, misalnya menghubungkan ide baru untuk agama atau politik lama.

  Sementara itu, menurut Kayam (1989), transformasi budaya menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling berkaitan, yaitu (1) transformasi budaya Ind onesia y ang menarik bud aya etnik ke tataran bud ay a neg ara kebang saan d an (2) transfo rm asi status Ind o nesia y ang menggeser ekonomi terbelakang ke tataran negara ind ustri m o d ern. Transfo rmasi budaya pertama adalah konsekuensi dari komitmen bangsa Indonesia untuk bersedia bernaung d i baw ah NKRI. Transformasi budaya etnik menjadi budaya kebangsaan. Tantang an y ang d ihad ap i ad alah bag aim ana m encip takan ko nd isi y ang menyehatkan dan menguntungkan bagi terciptanya dialog budaya antar nilai-nilai etnik d an nilai-nilai negara kebangsaan. Nilai-nilai etnik adalah nilai-nilai tradisional yang diw arisi oleh lingkungan etnik dari p emantap an struktur m asy arakat yang mendahului mereka. Sementara itu, nilai- nilai negara kebangsaan adalah nilai-nilai ko ntem p o rer y ang d iletakkan o leh persyaratan minimal untuk membangun sosok struktur negara kebangsaan tersebut.

  Untuk mewujudkan transformasi pertama ini tidak mudah. Kendala yang menghadang terciptanya kondisi yang diinginkan, yakni (a) kemapanan dan kekukuhan akar budaya serta kesistem an trad isi d alam tubuh lingkungan etnik (b) sifat/ ciri dari sistem neg ara kebang saan y ang cend erung imperatif terhadap sistem nilai lama yang dianggap akan menghalangi struktur baru. Ko nd isi ini m end o ro ng terciptanya ketimpangan dan ketidaksejajaran d ialo g antara masing-masing etnik ataupun antara masyarakat etnik dan negara kebangsaan.

  Transfo rmasi bud aya ked ua ad alah transformasi budaya pertanian tradisional ke budaya masyarakat industri modern juga mengalami tantangan, yakni bagaimana meny iap kan masa transisi y ang cukup membuka banyak kesempatan bagi unsur- unsur budaya baru. Ciri utama bud aya trad isio nal p ertanian ad alah p ad a penekanan orientasi pandangan dunia yang melihat masyarakat sebagai suatu rumpun bagian dari satu jagat yang bulat yang harus d ijag a keseimbang anny a. D i sini akan muncul p erbedaan-p erbed aan p end ap at yang tajam, konfrontasi persaingan terbuka dan sengit, serta penonjolan prestasi yang berlebihan. Hal itu dipandang sebagai nilai- nilai yang kurang baik karena akan memicu d isharmo ni. Pad ahal, p and angan d unia budaya industri modern justru menekankan p ersaing an y ang terbuka, ko nflik d an ko nfro ntasi, p eno njo lan p restasi, ad u pendapat; tidak mendorong dunia sebagai jagat yang statis, tetapi dunia yang terus bergo lak d an berkembang untuk maju. Pandangan kedua kubu ini sangat mendasar dan prinsipil (Kayam, 1989).

  b. Gender

  Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural, misalnya perempuan dikenal lemah-lembut, emosional, keibuan; laki-laki rasional, kuat, jantan, dan perkasa (Fakih, 1996:8). Gender hasil ko nstruksi bud ay a tersebut, yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, yang berubah dari waktu ke w aktu dapat dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya setempat dari satu jenis kelamin kepada jenis kelamin lainnya (KPP, 2008).

  Sementara itu, ko nsep jenis kelamin ad alah kenyataan secara bio lo gis yang

   E ST I

   I SM AW AT I : K ARAKTER P EREMPUAN J AWA DLM N OVEL I NDONESI A ...

  m em bed akan antara laki-laki d an perempuan. Dengan sendirinya seks tidak bisa dipertukarkan, bersifat biologis, fisik, alamiah, pemberian Tuhan, tidak berubah dari waktu ke waktu, dan tidak berbeda dari tempat ke tempat, serta dari kelas ke kelas. Menurut Fakih (1996), sejarah perbedaan gend er antara laki-laki d an p eremp uan terjad i m elalui p ro ses y ang p anjang , dibentuk, disosialisasikan dan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran agama dan negara sehingga perbedaan gen- der dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Analisis gender d apat menemukan berbagai manifestasi ketidakadilan gender, yakni marginalisasi p erem p uan, subo rd inasi p erem p uan, stereo tip e (p elabelan negatif) terhad ap p erem p uan, kekerasan terhad ap perempuan, dan beban kerja domestik yang lebih bany ak serta lebih lam a bag i perempuan. Peremp uan hanya d i sektor domestik (masak, macak, manak), sedangkan laki-laki bekerja di sektor publik. Dampak gender telah melahirkan peran reproduktif, p eran p ro d uktif, p eran so sial, d an p em bag ian kerja y ang tid ak ad il bag i perempuan. Akses, partisipasi, kontrol, dan m anfaat p em bang unan sang at tid ak berpihak pada kaum perempuan.

  Karakter ad alah sebuah sifat y ang mencirikan kepribad ian seseo rang yang membedakan dengan yang lain. Karakter mencirikan seseo rang d alam meresp o n situasi dan kondisi so sial yang dihad api (Mumpuniarti, 2011:252). Terkait dengan kajian ini, Beidha (2001) meneliti karakter perempuan dalam film dan sinetron televisi d i Ind o nesia. M enurut Beid ha (2001) p erempuan Indo nesia yang ditamp ilkan dalam film dan sinetron-sinetron di televisi Indonesia jauh dari kesetaraan gender. Hasil penelitian menunjukkan bahw a sepanjang enam puluh delapan tahun usia ind ustri p erfilman Indo nesia (1922—1990) masih ditampakkan potret perempuan Indonesia yang suka menangis, kurang panjang akal, tidak kreatif, terlalu banyak bicara, cerewet, d an suka m em p erto nto nkan bentuk tubuhny a. Penelitian lanjutan y ang diad akan pada tahun 1996 d engan o bjek film-film yang dipro duksi tahun 1990-an menunjukkan juga menunjukkan hal yang sam a bahw a tem p at p erem p uan itu d i dalam rumah-tangga sebagai isteri dan ibu yang baik. Menjadi perempuan yang pintar d an m eng ejar karier (bekerja untuk keluarga) serta melanjutkan studi ke S2 dan S3 adalah peran yang tidak direstui. Lebih dari itu dalam film-film dan sinetron-sinetron Indonesia, perempuan masih tampak suka menangis, cerew et, seronok, dan menjadi objek seks murahan (Beidha, 2001).

  Dalam bukunya yang berjudul The Social

  System,

  Parsons mengatakan adanya dua sistem yang terdapat di masyarakat, yakni sistem kultural yang mengandung nilai-nilai dan simbol-simbol dan sistem kepribadian para pelaku individual. Menurut Parsons (dalam Poloma, 1987) terdapat hubungan antara individu dan sistem sosial dan dapat d ianalisis m elalui ko nsep status d an p eranan. Status ad alah ked ud ukan, sedangkan peranan adalah perilaku yang diharap kan atau perilaku normatif yang melekat pada status itu. Dalam sistem sosial, ind iv id u m end ud uki suatu status d an beperan sesuai dengan norma atau aturan- aturan yang dibuat oleh sistem.

c. Karakter

  3. Hasil dan Pembahasan

  Dalam dua belas novel Indonesia yang diteliti, karakter dan sosok tokoh perempuan Jawa selalu dimunculkan dengan citra dan p ro blematikanya masing-masing sesuai dengan golo ngan sosial yang ada dalam realitas masyarakat. Perempuan golongan bawah disosokkan sebagai perempuan yang miskin, kurang berpendidikan, bekerja di sektor kasar atau d ianggap rendah, d an secara genealo gis bukan d ari g o lo ngan priyayi atau bangsawan. Srintil dalam novel trilogi RD P, LKD H, dan JB karya A hmad Tohari, Pariyem (p ro sa liris karya Linus Suryadi), Kedasih dalam novel TM karya Nh Dini, termasuk golongan ini. METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  Tokoh Larasati dalam novel BBM karya YB Mangunwijaya adalah perempuan yang senantiasa sukses dalam kehidupan, baik kehid up an keluarg a m aup un d alam kehid upan kariernya. Sekretaris Syahrir, sebagai kepala kantor konservasi alam. Ia lulusan S3 d engan pred ikat maxima cum

  “ Larasati putri Tuan A ntana adalah salah seorang pembantu khusus perdana menteri amatir Sutan Syahrir’ (BBM halaman 68). “ Profesor itu perlahan- lahan mulai dengan memperkenalkan promovenda (Larasati) selaku w anita pejuang, yang sejak proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti d alam perg ulatan d ip lo masi menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya” (BBM halaman 203). “ Ah, itulah sang pujaan (Larasati). Nah, tersenyum. Walaupun telah satu tahun melampaui usia 40 tahun, dengan karier yang begitu pesat, citra yang tersenyum di kulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an” (BBM, hlm. 201).

  sarat dengan prestasi’. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

  laras ing ati ‘ bersahaja dalam jiw a, tetapi

  Dr. Larasati adalah prototipe perempuan Jaw a y ang d iid ealkan o leh YB Mangunw ijaya. Ia bukan hanya berd iri sejajar dengan laki-laki dalam olah nalar, dalam perjuangan merebut kemerdekaan, melainkan memberi nilai plus dari yang tidak d im iliki o leh kaum laki-laki d em i terw ujud ny a p ening katan kualitas kehidupan yang lebih baik. Larasati adalah simbo l kesemp urnaan perempuan Jaw a:

  berjudul “ Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Ko m unikasi Varietas Burung Plo ceus M any ar” . Ia jug a aktif d alam perjuangan merebut kemerdekaan RI dalam kapasitasnya sebagai sekretaris PM Syahrir. Ia sama sekali bukan perempuan inferior yang bekerja hanya pada sektor domestik sebagaimana gambaran perempuan Jaw a masa itu: masak, manak, macak. Ia tampil di depan dalam pencapaian prestasi akademik. Ia pun penuh inisiatif, cerdas, tetapi tetap ang g un d an eleg an sebag ai seo rang p eremp uan serta m am p u memecahkan masalah kehidupan dengan penuh kearifan.

  laude setelah mempertahankan disertasi yang

  Salah satu norma yang dikenal dalam m asy arakat Jaw a m eny atakan bahw a perempuan adalah konco wingking. Norma tersebut ternyata sud ah tid ak d ip egang teguh oleh para pengarang fiksi Indonesia d i dalam menoko hkan peremp uan Jaw a dalam yang diteliti.

  , Juni 2013: 10—21 Perem p uan g o lo ng an m eneng ah d iso so kkan d ari kalang an p riy ay i, mengenyam pend id ikan menengah, d an secara ekonomi tidak kekurangan. Sri dalam

  Secara ko nsep tual masyarakat d esa temp at to ko h go lo ng an baw ah, sep erti Srintil, Pariyem, dan Kedasih digambarkan sebag ai m asy arakat y ang (1) rend ah pengetahuan d an teknologinya sehingga tingkat produktivitasnya juga rendah. (2) relatif kecil, hidup tanpa perubahan, hubungan dengan dunia luar sangat terbatas. (3) belum banyak mengenal p embagian kerja d an spesialisasi. (4) tidak banyak deferensiasi kemasyarakatan, tid ak banyak lembaga- lembaga khusus sep erti urusan hukum, urusan p erkaw inan, urusan pertanahan, d an urusan rekreasi. (5) tid ak terd ap at hetero genitas kebudayaan, tid ak terjad i ko ntak d engan o rang luar, zakelijk. (6) adanya cirri-ciri o rdo moral, yaitu suatu p rinsip yang mengikat atau mekanisme masyarakat (Sayogo, 1985), sedangkan ciri masyarakat perkotaan adalah sebaliknya.

  karya YB Mangunwijaya, serta tokoh Bu Bei (Canting karya Arsw endo A tmow iloto termasuk golongan atas.

  BBM dan tokoh dr. Rosi Padmakristi dalam RR

  Perempuan golongan atas digambarkan sebagai perempuan yang sukses lahir- batin, kaya-raya, berpend id ikan tinggi, p unya ked ud ukan terho rm at, d ari kalang an ningrat atau bangsawan. Dr. Larasati dalam

  Sastrodarsono atau Dik Ngaisah dalam PP dan Sumarah karya Umar Kayam termasuk perempuan golongan menengah.

  PSK kary a N h. D ini, to ko h N y o ny a

  Tokoh dr. Rosi Padmakristi dalam novel yang berjudul RR karya YB Mangun wijaya, bahkan m em baw a m uatan id ealism e mengenai perempuan Jawa yang lebih tinggi.

   E ST I

   I SM AW AT I : K ARAKTER P EREMPUAN J AWA DLM N OVEL I NDONESI A ...

  Sebagai dokter perempuan Jawa, ia rela dan tulus mengabdi di bumi Papua, jarak ribuan kilometer jauhnya harus ditempuhnya dari kota kelahirannya d i Temanggung, Jaw a Teng ah, ketika ko nsep m eng enai transmigrasi belum digarap oleh pemerintah RI. Melalui tokoh p erempuan Jaw a yang bernama lengkap Dokter Rosi Padmakristi, Mangunw ijaya ingin menyebarkan nilai- nilai nasionalisme, nilai pengabdian kepada sesama, dan tidak mempertahankan konsep

  mangan ora mangan sing penting kumpul

  . Rosi Pad m akristi tetap m enjad i p erem p uan Jawa, tetapi ia memiliki wawasan yang luas tidak terbatas. Ini dapat ditemukan pada kutipan-kutipan berikut.

  “ Kesenangan kaw an-kaw an terhadap Rosi tidak sedikit terpengaruh juga oleh kecerdasan gadis yang sangat sosial menolong rekan-rekan sekelas bila macet berhitung” (RR, hlm. 83). “ Rosi adalah simbol yang selalu menunjuk pada yang indah, yang ningrat, yang mulia, yang dapat dipuja dan dicinta” (RR, hlm.205).

  Tokoh perempuan Jawa ciptaan Umar Kayam, seperti Baw uk, Sri Sumarah, Siti N g aisah (N y o ny a Sastro d arso no ) jug a bukan p erem p uan-p erem p uan konco

  wingking . Baw uk ikut m eng g erakkan

  organisasi ketika suaminya memilih partai sebagai pilihan jalan hidupnya, lepas partai itu mampu membawa perbaikan hidup atau tidak (PKI). Ia titipkan buah hatinya kepada ibundanya dan pamit ke medan laga yang sud ah jelas akan m em baw any a p ad a kehid up an y ang seng sara. A p a p un resikonya, Bawuk berteguh hati bergabung dengan suami untuk berjuang, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini :

  “ bila malam telah larut, anak-anaknya telah tidur dan diskusi-diskusi telah selesai, Baw uk sering mem ikirkan tentang p erjalanan y ang telah ditempuhnya selama ini. Perjalanan bersama Hasan yang penuh dengan busa ideo logi, kegairahan untuk mereguk kehidupan hingga dasarnya bersama keyakinan itu…….” (Bawuk, hlm. 103 – 104).

  Hal yang sama tampak juga pada tokoh Sri Sum arah. Sep ening g al suam i y ang seumur jagung menikahinya, ia bekerja sebagai tukang pijat yang terhormat. Ia tidak menerima lamaran beberapa lelaki yang akan meminangnya. Ia memiliki keyakinan yang teguh untuk melanjutkan kehidupan yang bermartabat sebagai janda seo rang g uru. Sri Sum arah tetap m em iliki kepribadian Jaw a yang sumarah ‘ berserah diri’ pada yang Mahakuasa, tetapi ia tidak pernah putus asa dalam memperjuangkan hidupnya. Ia tegar berdiri di depan ketika seluruh tanggung jaw ab kehidupan harus berpind ah ke pund aknya, sebagai mana tampak pada kutipan berikut ini :

  “ Sri Sumarah bukan Sri Sumarah, bila ia tidak sumarah terhad ap nasibnya” . “ Dengan sikap sumarah itu ia tidak membiarkan dirinya berkabung lama- lama. Pusat perhatiannya adalah Tun. Kata-kata terakhir suam iny a dianggapnya sebagai amanat keramat, yang mesti dilaksakan lewat jalan apa pun” (SS, hlm. 17).

  To ko h Siti N g aisah (N y o ny a Sastrodarsono) seorang isteri priyayi kecil yang hidup sebagai guru di Ngawi ciptaan Umar Kayam dalam novel PP juga bukan to ko h p erem p uan biasa. Siti N g aisah (p erhatikan lav alny a y ang khas Jaw a, Ngaisah, bukan ‘Aisyah) adalah puteri Jawa berp end id ikan y ang d ap at berbahasa Belanda. Sikap dan bahasanya yang halus, N g aisah m eng etahui bag aim ana mengend alikan p erasaan w anitanya. Ia lebih suka jika anak perempuannya tidak lekas-lekas m enikah. Ia sang at cerd as, bekerja keras, jarang mengeluh, dan menjadi tumpuan seisi rumah jika tertimpa masalah.

  Juga ketika suaminya yang seorang guru itu d item p eleng Jep ang karena tid ak mau membongkok, dan ia sangat tersinggung karena kep alanya d item p eleng Jep ang. Ng aisah melerai kemarahan suam iny a, mendinginkan emosi suaminya. Memang, bagi orang Jawa, kepala adalah organ tubuh yang sangat dimuliakan, pantang disentuh sembarang o rang, d an karena itu Tuan Sastrodarsono suami Siti Ngaisah begitu METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 10—21 tersinggung mendapat perlakuan kasar dari Jepang. Begitu tersinggungnya sehingga Tuan Sastro d arso no mengundurkan d iri sebagai guru pada masa Jepang. Namun, semuanya dapat diselesaikan oleh Ngaisah dengan smooth, sebagaimana tampak pada kutipan-kutipan berikut :

  “ Biasanya ibu-ibu lebih senang melihat anak perempuannya lekas mendapatkan jodoh, terus kaw in. Ini tid ak. Malah kelihatannya dik Ngaisah lebih suka melihat anaknya tid ak tergesa-gesa dikawinkan” (PP, hlm. 67). “ Dik Ngaisah memang isteri yang cerdas. Dia selalu bekerja keras, jarang sekali mengeluh, dan menjadi tumpuan kami serumah setiap kali kami tertumbuk pada macam-macam persoalan. Dan selalu saja dia dapat mengatasi dengan baik” (PP, hlm. 83).

  To ko h berikutnya ad alah Sri d alam novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini. Sri adalah perempuan Jawa, dari Semarang. Ia pandai menari. Profesi penyiar radio dan p ramug ari p ernah d ijalani. Ia m enikah dengan diplomat Perancis, tetapi hidupnya tidak bahagia. Sri adalah citra perempuan Jawa yang sudah modern. Ia hidup dalam berbagai budaya, Timur dan Barat, tanpa kendala. Sri adalah tokoh perempuan Jawa yang diciptakan Nh. Dini untuk melaw an adat. Tidak berarti berpegang teguh pada adat itu jelek. Sri adalah simbol perempuan Jawa yang berpikir kritis. Dalam hal ini telah terjad i transfo rm asi. Seiring d eng an perkembangan zaman, banyak nilai-nilai yang sudah tidak relevan, misalnya secara turun-temurun Sri menerima ajaran bahwa suami adalah junjungan, sesembahan, dan isteri harus selalu bersujud di baw ah kaki suami. A papun yang terjadi, tidak boleh membantah kata-kata suami. Harus selalu bermuka manis meskip un d imadu, d an sebagainya. A jaran yang secara adat ini dipandang mulia, tidak relevan ketika Sri bertemu dengan suami yang kasar, ringan tangan, tidak memiliki kep ed ulian pada kehid up an isteri. Sri berusaha melaw an setiap mendapat perlakuan kasar. Perilaku suami Sri tidak selaras dengan pakem yang d iterim any a secara turun-tem urun.

  Perny ataan ini sesuai d eng an kutip an berikut :

  “ Keluar dari sekolah menengah atas aku bekerja sebagai penyiar radio di kotaku” (PSK, hlam. 19). “ Aku semakin sering menari di istana presiden. Kecuali untuk hari-hari bersejarah, juga untuk tamu- tamu yang datang dari luar negeri” (PSK, hlm. 55). “ Aku dididik dalam keluarga yang sangat keras tetapi penuh dengan kasih say ang , y ang penuh d engan kep ed ulian d an peng ertian” ( PSK, hlm.55).

  To ko h p eremp uan Jaw a berikutnya ad alah p erem p uan asal So lo bernam a Tug inem (Bu Bei) cip taan A rsw end o A tmo w ilo to d alam no vel yang berjud ul

  Canting

  . Tuginem ad alah anak seo rang buruh batik. Ia cantik, cerdas, cekatan, dan mampu meluluhkan hati Pak Bei. Tuginem ad alah buruh batik yang bernasib baik karena diperisteri oleh Pak Bei Sestrokusumo dari Ngabean Solo. Pernikahan yang tidak direstui oleh keluarga Pak Bei ini ternyata membawa kebahagiaan bagi Pak Bei. Kelima puteranya menjadi sarjana, tidak buta huruf seperti ibunya. Mereka hidup layak sebagai putera bangsawan. Meski buta huruf, Bu Bei sangat terpelajar. Ia belajar menggunakan bahasa Jaw a y ang halus, belajar cara m eny em bah, cara laku dhodhok, belajar m enari, d an sebag ainy a, sebag aim ana putera-puteri keraton. Semua itu dilakukan oleh Tuginem dengan sempurna sebelum menjadi isteri Pak Bei. Tidak ada urusan y ang tid ak d ap at d iselesaikan d eng an sem p urna o leh Bu Bei. A p alag i d alam mengurus p erusahaan batik cap canting milik Pak Bei. Transaksi ratusan juta rupiah dapat diselesaikan dengan sempurna oleh Bu Bei dalam hitungan detik. Usaha batik yang merup akan bisnis keluarga secara turun-temurun dapat berkembang pesat di tangan Bu Bei. Pagi buta Bu Bei dengan dua becak penuh batik pergi ke pasar Klewer dibantu dua orang pelayan. Urusan rumah tangga tidak pernah terbengkalai, terutama dalam hal melayani suaminya, Pak Bei.

  Bu Bei bukan hanya isteri yang lemah lembut, bekti, dan tulus, melainkan juga

   E ST I

   I SM AW AT I : K ARAKTER P EREMPUAN J AWA DLM N OVEL I NDONESI A ...

  bertindak sebagai pencari nafkah keluarga yang utama karena Pak Bei hanya sibuk d eng an urusan yang berkaitan d eng an statusnya sebagai priyayi. Jika malam hari Pak Bei p amit untuk tirakatan, pad ahal sebetulnya hanya bersenang-senang dengan teman-temannya di Bengaw an Solo, praon (naik perahu ditemani perempuan). Bu Bei setia m enung g u kehad iran suam iny a d eng an m eny iap kan air hang at untuk m and i sep ulang tirakatan. Tid ak lup a menyiapkan wedang jahe, atau kop i dan

  camilan

  kesukaan Pak Bei. N gersaaken

  ngunjuk menapa?

  adalah sapaan pertama Bu Bei menyambut kehadiran suaminya pada tengah larut malam. Citra bangsaw an saat itu m em ang d ig am barkan p eng arang sebagaimana Pak Bei: tid ak mau bekerja keras, tetap i ingin hid up enak. Semua urusan minta dilayani: dari urusan makan, mandi, tidur, sampai bepergian. Pekerjaan utama Pak Bei di rumah ad alah metheti

  manuk

  , berceng keram a d eng an hew an piaraannya: ayam alas, aneka burung! Bu Bei ciptaan Arsw endo Atmowiloto ini adalah perempuan Jawa yang sempurna. Ia tegar, penuh percaya diri berada di dalam dunianya, yakni pasar Klewer. Di balik itu, Bu Bei adalah isteri yang lembut, p enuh kasih sayang, tabah d alam ro ngro ngan saudara-saudara Pak Bei. Bu Bei sangat setia sebagai isteri d an ibu, meskip un sering dikhianati Pak Bei.

  Perempuan Jawa berikutnya berasal dari golongan bawah, yakni Srintil, Pariyem, dan Kedasih. Srintil adalah tokoh perempuan Jawa ciptaan A hmad Tohari dalam novel trilogi RDK, LKDH, dan JB. Srintil adalah gadis desa Paruk yang karena keyakinan adat desa itu ia harus memangku adat untuk menjadi ronggeng. Hari-hari keras dilalui Srintil dengan tabah hingga pada suatu hari bertemu dengan seorang lelaki bernama Bajus, seorang anemer dari Jakarta. Srintil sangat senang dengan Bajus, tetapi ternyata Bajus ingin membeli Srintil untuk bos-nya agar ia mend ap at p ro yek. Srintil y ang bermartabat, Srintil y ang berang gap an bahw a menjad i w anita somahan itu jauh lebih mulia daripada menjadi ronggeng itu sangat terpukul. Srintil yang memandang bahw a uang bukan segala-galanya dalam hidup ini, menjadi gila tatkala mendapati

  pakem hidup yang kontra mitos tersebut.

  Mengapa dalam hid up sering o rang hanya memandang hitam putih. Mengapa d alam hid up o rang begitu takut d enga lahiriah fo rm al y ang terlalu bany ak meminta. Srintil menjadi sosok aneh dalam pandangan materialisme ini karena ia tidak suka menjadi jutawan. Ia tidak suka menjadi o rang kay a. Ia hany a ing in m enjad i p erem p uan somahan, d alam sebuah keluarga yang d ilingkup i kasih sayang suam i. Beberap a kutip an berikut menegaskan pernyataan tadi:

  “ Hanya dituntun nalurinya, Srintil mulai menari sebagai ro nggeng. Matanya setengah terp ejam . Ketika Srintil menyanyikan lagu yang sulit-sulit, yang belum pernah dipelajarinya, semua orang Paruk percaya bahwa Srintil mendapat indang. Srintil dilahirkan di dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng” (RDP, hlm. 23). “ Dalam perkembangannya tak ada lelaki dukuh Paruk yang berani mendekati Srintil. Bukan karena Srintil sudah kaya dan penampilannya berbeda dengan or- ang pedukuhan itu, tetapi terutama karena kep ribad ian Srintil yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng lain yang menjadikan uang sebagai satu-satunya nilai tukar” (LKDH, hlm. 182).

  Tokoh berikutnya adalah Pariyem dan Kedasih yang kurang lebih sama dengan Srintil. Pariyem, tokoh peremp uan Jaw a ciptaan Linus Suryadi harus mengemban tugas sebagai seorang babu itu ternyata juga bukan p erem p uan biasa. Ia m enerim a perannya sebagai babu di keluarga seorang bang saw an Jo g ja d eng an ikhlas. Ia mengetahui, jika boleh memilih, tidak ada seorang pun yang mau berperan menjadi babu. Namun, ia memiliki keyakinan, harga diri, dan optimisme bahw a kehidupan itu akan terus m eng alir karena itu ia memutuskan p ulang kamp ung d eng an perut membuncit. Ia tidak malu atau bunuh METASASTRA , Vol. 6 No.

  1

  , Juni 2013: 10—21 diri dengan lakon yang diterimanya itu. Ia pun rela melahirkan bayi titipan dari putera m ajikanny a itu (D en Bag us A ry o ) d i Wonosari, Gunung Kiduli.

  Terakhir, tokoh Ked asih cip taan Nh. Dini dalam novelnya yang berjudul Tirai Menurun.

  Kedasih adalah gadis miskin. Siang hari ia bekerja di w arung, malam hari ia berperan menjadi putri dari cerita panggung hiburan w ayang orang. Ia bekerja keras untuk menggapai kehidupan yang layak sebagaimana tampak pada kutipan berikut.

  “ Dasih malam itu menemukan jalan hid up ny a. Ia belum sepenuhny a menyadari. Yang ia rasakan ad alah keinginan kuat yang mendesak-desak: ia mau menari. Ia mau menembang. Ia tidak m eng erti. Meng ap a? Ini tid ak ia persoalkan” (TM , hlm. 108). “ Malam itu Ked asih d ipasrahi peranan End ang Pergiwa. Badannya yang cukup tinggi dan berisi memberi w ibaw a sebagai penampilan gadis cekatan, gesit, cerdas” (Tirai Menurun, hlm. 300).

  Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa karakter to ko h p eremp uan Jaw a d alam no v el Ind o nesia berw arna lo kal Jaw a digambarkan sudah memainkan peran aktif dalam kehidupan. Mereka bukan lagi konco

  wingking

  yang tidak menyumbangkan apa- apa di sektor publik, tetapi berperan di sektor d o mestik d an p ublik, bahkan eko no mi keluarga berada di tangan. Mereka gigih bekerja d i sekto r p ublik sebag aim ana dilakukan oleh kaum lelaki. Kesetaraan gen- der sudah berada pada tokoh perempuan Jawa dalam w ilayah sastra Indonesia. Ini berarti bahw a kesetaraan g end er d an transformasi budaya telah terjadi dalam diri perempuan Jaw a dalam no vel Indo nesia yang diteliti.

  Dapat dikatakan bahwa dari perspektif Kayam, Suriasumantri, d an Soedjatmoko transfo rm asi y ang terjad i p ad a so so k perempuan Jaw a dalam no vel Indo nesia berw arna lo kal Jaw a m erup akan transfo rm asi so sial bud ay a secara menyeluruh, yakni p ad a tataran p o litik (kuasa), tataran ide dan pemikiran, tataran eko no m i, serta tataran ag am a y ang tercerm in p ad a to ko h Larasati, Ro si Padmakristi, Sri, Sumarah, Bawuk, Bu Bei, N y o ny a Sastro d arso no , d an Srintil.