TUGAS AKHIR HUKUM KONSTITUSI“ DILEMATIS PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN CALONHAKIM AGUNG”

TUGAS AKHIR HUKUM KONSTITUSI
“ DILEMATIS PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN CALON
HAKIM AGUNG”
Oleh : Ana Riyanti
NIM : 10340185

A. PENDAHULUAN
Sejak awal kemerdekaan, kekuasaan kehakiman diniatkan sebagai
institusi yang terpisah dari lembaga-lembaga politik. Dalam penjelasan
Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan :
“Kekuasaan kehakimnan ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan
jaminan dalam undang-undang tentang keududukan hakim”.
Yang dimaksud pemerintah dalam penjelasan tersebut dapat dipahami
dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatiif
dan eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum amandeman tidak
menganut faham pemisahaan kekuasaan (separation of power), terutama
antara fungsi eksekutif
kehakiman

dan legislatif. Namun demikian, kekuasaan


tetap dinyatakan

bebas

dan

merdeka

pemerintah. Karena itu, cabang kekuasaan kehakiman

dari

kekuasaan

sejak semula

memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah
dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang ingin
dibangun berdasarkan UUD Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945.

Pada era reformasi dengan dilakukannya amandemen ketiga UUD
1945 pada tahun 2001 Indonesia mempertegas deklarasi negara hukumnya
kedalam pasal 1 ayat 3 bahwasanya Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah jaminan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

1

merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam upaya memperkuat
prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai tuntutan
reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap UndangUndang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok.
Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
1999, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan undang-undang tersebut,
telah diletakkan kebijakan baru bahwa segala urusan mengenai peradilan
baik


yang

menyangkut

teknis

yudisial

maupun

urusan

organisasi,

administrasi, dan financial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Kebijakan ini popular disebuat “kebijakan satu atap”. Dengan kebijakan satu
atap ini, maka pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama,
badan peradilan militer, dan peradilan Tata Usaha Negara di bawah
kekusaan Mahkamah Agung.
Mengingat betapa pentingnya kekuasaan Makhmah Agung maka perlu

pengaturan dan pengawasan dalam proses Seleksi Hakim Agung yang
notabenenya sebagai pimpinan Makhmah Agung. Seleksi Hakim Agung
menjadi isu yang strategis untuk diamati dan diadvokasi. Hakim Agung
bertugas di Mahkamah Agung, pada persidangan

kasasi

memeriksa

pertimbangan hukum dan penerapan hukum dalam putusan pengadilan di
bawahnya (judex jurist).

Peran

penting

untuk

menjaga


konsistensi

penerapan hukum di Indonesia berada di pundak para Hakim Agung.
Berbagai proses seleksi dan pemilihan Hakim Agung telah
dilakukan. Perubahan tersebut didasari akan tujuan untuk dapat memilih
Hakim Agung

terbaik

yang berkualitas

dan

berintegritas ditengah

terpuruknya penegakan hukum di Indonesia. Kewenangan

seleksi

yang


besar pada eksekutif pada era pra orde baru, hingga kewenangan
legislatif yang besar pada era pasca orde baru. Terdapat upaya untuk
mengimbangi

besarnya kewenangan
2

seleksi

Hakim

Agung

dengan

membentuk

suatu Komisi Yudisial yang berwenang ntuk mengusulkan


pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta
perilaku hakim.
Namun seperti kita ketahui bersama dewasa ini Indonesia dilanda
kekisruhan dalam masalah peraturan perundang-undangan. Kekuasan
legislative yang cenderung mendominasi system pemerintahan Indonesia
sepertinya memberikan banyak celah dalam produk peraturan perundangan
yang dibuatnya. Seperti yang ada di dalam beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur mekanisme pengangkatan hakim agung. Antara
undang-undang yang satu tidak sejalan dengan undang-undang yang lain
bahkan bertentangan dengan konstitusi.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan yang diusung oleh penulis diatas, adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan DPR dalam seleksi calon Hakim Agung?
2. Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi calon Hakim
Agung?
C. TINJAUAN PUSTAKA
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan UU
No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakima, dan khusus ketentuan tentang Makhamah Agung (MA)

diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Makhamah Agung. Pasal 4 UU
MA ini menentukan susunan MA terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan seorang sekretaris. Adapun jumlah hakim Agung paling banyak
enem puluh orang.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon hakim
agung harus memenuhi persyaratan antara lain : (1) Warga Negara Indonesia;
(2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berijazah sarjana hokum atau
sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hokum; (4) berusia sekurangkurangnya 50 tahun; (5) sehat jasmani dan rohani; (6) berpengalaman
3

sekurang-kurangnya dua puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurangkurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi.1
Adapun apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak
berdasarkan system karier dengan syarat : (1) Warga Negara Indonesia; (2)
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berijazah berijazah sarjana
hokum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hokum; (4)
berusia sekurang-kurangnya 50 tahun; (5) sehat jasmani dan rohani; (6)
berpengalaman sekurang-kurangnya dalam profesi hokum dan/ atau akademis
hokum sekuarang-kurangnya 25 tahun; (7) berijazah magister dalam ilmu
hokum dengan sarjana hokum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian
dibidang hokum; dan (8) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih.2
Para Hakim Agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang
diajukan oleh DPR. Calon Hakim Agung dipilih oleh DPR dari nama calon
yang diusulkan oleh komisi yudisial. Apabila melihat sejarah awal
pembentukan komisi yudisial adalah setelah adanya sistem penyatuan
satu atap di Mahkamah Agung.
Peran komisi yudisial dalam seleksi calon hakim agung apabila kita
melihat konteksnya di dalam hal internal independent (independensi
hakim terhadap kolega atau atasannya). Sejarah membuktikan hal tersebut.
Pada tahun 1966, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sering menentang
kebijakan Soejadi ketua MA saat itu, kemudian Soerjadi berusaha
membuang pimpinan

IKAHI

yang

terkenal


kritis,

seperti Asikin

Kusumahatmadja, Sri Widyowati dan Basthanul Arifin dari Jakarta ke
daerah. Ia meminta Menteri Kehakiman saat itu, Oemar Seno Adji untuk
menyetujui usulan pemindahan ketiga hakim tersebut. Karena beberapa
1 Pasal 7 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Makhamah Agung.
2 Pasal 7 Ayat (2) UU No. Tahun 2004 Tentang Makhamah Agung.

4

hal, Seno Adji menolak permintaan Soerjadi tersebut. Dalam kasus di atas
kita temukan dualisme kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan kejadian tersebut maka bisa dikatakan bahwa untuk
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang benar-benar independen tidak bisa
diserahkan hanya kepada MA saja. Kekhawatirkan apabila terjadinya
monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA sangat patut diwaspadai apabila
melihat sejarah

wenang

tersebut, dikhawatirkan MA akan bertindak sewenang-

apabila tidak ada lembaga

yang

mampu mengawasi

dan

memberikan penilaian terhadap kinerja MA. Pemerintah dan DPR sebagai
lembaga eksekutif dan legislatif tidak bisa serta merta melakukan
intervensi terhadap pihak yudikatif, karena khusus dalam fungsi yudikatif,
prinsip yang tetap dipegang adalah bahwa dalam negara hukum, badan
yudikatif haruslah bebas dari campur tangan eksekutif maupun legislatif.
Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi yang bernama Komisi Yudisial.
Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah sebagai auxiliary organ dimana
Mahkamah Agung adalah sebagai main state organnya. Komisi Yudisial
dibentuk bukanlah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman melainkan
sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung Makhamah Agung.

D. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hokum yang
menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan
guna menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan UUD 1945.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip
penting bagi Indonesia sebagai negara hokum. Prinsip ini menghendaki
kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak mana pun dan
dalam bentuk apa pun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
ada jaminan ketidakberpihakkan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap
5

hokum dan keadilan itu sendiri. Adapun upaya-upaya yang dilakukan menuju
arah tersebut yaitu dengan cara: (1) mengadakan penataaan ulang lembaga
yudikatif; (2) peningkatan kulifikasi hakim;dan (3) penataaan ulang
perundang-undangan yang berlaku.
Implikasi dari ketentuan diatas maka amandemen UUD 1945
,membagi kekuasaan lembaga yudikatif menjadi tiga kamar yaitu Makhamah
Agung (MA), Makhamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY).
Seperti halnya Makhamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY)
merupakn lembaga negara yang terbentuk setelah adanya amandemen UUD
1945. Dalam konteks ketatanegaraan KY mempunyai peranan yang sangat
penting yaitu: (1) mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui
pencalonan hakim agung; (2) melakukan pengawasan terhadap hakim yang
transparan dan partisipasif guna menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini tertuang di dalam pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 dan secara operasionalnya dijabarkan dalam pasal 13
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY ),
bahwa dalam kedudukannya sebagai lembaga negara komisi yudisial diberi
kewenangan antara lain adalah :
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR.
2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Yang kemudian pasal tersebut diubah di dalam UU Nomor 18 tahun
2011 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004. Dimana

Komisi Yudisial

mempunyai wewenang:
1. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
3. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersamasama dengan Mahkamah Agung; dan
4. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim.”
6

Dalam melaksanakan kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung, komisi yudisial memiliki tugas; (1) melakukan pendaftaran calon
Hakim Agung; (2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3)
Menetapkan calon Hakim Agung; dan (4) mengajukan calon Hakim Agung ke
DPR.
Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, DPR juga terlibat dalam
pemilihan hakim agung ini. Undang-Undang Komisi Yudisial, Kekuasaan,
Kehakiman, dan Mahkamah Agung saat ini memberi kewenangan yang
besar pada DPR untuk memilih Hakim Agung. DPR bersama dengan
Komisi Yudisial memiliki peran dalam rekrutmen Hakim Agung, tidak
seperti pada era Orde Baru yang dikuasai oleh Pemerintah (eksekutif).
Komisi Yudisial mengajukan tiga nama calon Hakin Agung untuk 1
posisi

Hakim Agung

kepada

DPR

untuk

dipilih.

Berbeda dengan

kewenangan DPR berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950. DPR mengajukan
dua nama calon kepada Presiden untuk setiap satu posisi Hakim Agung.
Komisi III DPR pada pemilihan Hakim Agung Januari 2013 lalu
untuk melakukan penelusuran rekam jejak calon Hakim Agung gagal
dilaksanakan karena terbatasnya waktu. Hal ini dikarenakan DPR memiliki
tiga fungsi utama yang masih jauh dari performa memuaskan yaitu
pembuatan

Undang-Undang

(legislasi), pengawasan

(controlling),

penganggaran (budgeting) selain rekrutmen hakim agung ini.
Pemilihan Hakim Agung semestinya berdasarkan

dan

kualifikasi

tertentu semisal rekam jejak yang baik, kepatuhan terhadap kode etik,
integritas, dan keahlian yang dimiliki. DPR perlu mendasarkan pada
kualifikasi terukur agar seorang dapat diangkat menjadi seorang Hakim
Agung. Selain

itu

untuk mendukung

kebijakan

sistem

kamar

di

Mahkamah Agung, memilih Hakim Agung sesuai dengan kebutuhan kamar
menjadi suatu keharusan. Pertaruhan bagi peran DPR dalam rekrutmen
Hakim Agung yang tetap meloloskan calon yang tidak memenuhi kualifikasi
dan kebutuhan. DPR akan dinilai gagal bertindak secara obyektif dengan
7

kedepankan kualifikasi, sehingga tidak menutup kemungkinan pendulum
akan bergeser mengikis lagi kewenangan DPR dalam rekrutmen Hakim
Kuasa itu makin kentara dan melembaga setelah UU Mahkamah
Agung dan UU Komisi Yudisial mengatur lebih spesifik peran DPR. Salah
satu kisruh peraturan perundangan ini khususnya dalam proses seleksi hakim
agung yang beberapa waktu yang lalu sempat ramai dibicarakan. Di dalam
UUD 45 menjamin hak DPR memberikan pertimbangan, pemilihan dan
persetujuan. Namun dalam konteks seleksi hakim agung, konstitusi
memberikan pembatasan wewenang pada Pasal 24A ayat 3 di mana
dinyatakan DPR hanya berwenang memberikan persetujuan bukan memilih di
antara pilihan.
Demikian pula dengan pemilihan komisioner KY. Pasal 24B ayat 3
UUD 45 membatasi kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan.
Masalahnya, kewenangan yang besar dan bertentangan dengan konstitusi
justru diberikan dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Pasal 8 ayat 2 UU MA, misalnya,
memberikan kewenangan untuk memilih calon hakim agung. Akibatnya DPR
berhak mengadakan seleksi calon hakim agung.
Namun, kecenderungan yang terjadi memperlihatkan bahwa kalkulasi
politik mampu mengalahkan parameter kompetensi dan integritas. Kuasa tidak
diperankan di wilayah yang semestinya, bahkan kuasa diselundupkan untuk
mendapatkan cabang kuasa baru yang makin bermasalah. Terbukti, DPR
memperluas kewenangannya di kuasa legislasi melalui UU No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial agar kuasa memberikan “persetujuan” dimaknai “memilih”. Kuasa
“memilih” dalam wujud fit and proper test disusupi kalkulasi politik
berhadapan dengan kriteria kompetensi dan integritas. Hasilnya? Kalkulasi
politik membenamkan keakuratan kompetensi dan integritas.3
3 http://pshk.or.id/site/?q=id/content/definisi-ulang-skema-keterlibatan-dpr-dalam-pemilihan-pejabatpublik-pelajaran

8

Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa
kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan, tanpa dimaknai dan
dilengkapi dengan tindakan “memilih” melalui mekanisme fit and proper test.
Dengan demikian, Komisi Yudisial seharusnya menyampaikan calon hakim
agung kepada DPR sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, tidak perlu lebih
(2—3 kali lipat). Pola seperti itu seharusnya berlaku pula untuk pemilihan
pejabat publik lain, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Dengan demikian, posisi DPR sudah “disuguhkan” pada pilihan
dengan standar yang tinggi secara kompetensi dan integritas. Jika DPR
kemudian memilih hakim agung kurang dari yang diajukan oleh Komisi
Yudisial, seharusnya itu tidak menjadi masalah karena yang terpilih adalah
calon dengan profil terbaik.
Di dalam Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Calon
Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden. Dari keterangan pasal tersebut maka bisa
dilihat adanya keterlibatan tiga lembaga negara, yaitu Komisi Yudisial,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam proses perekrutan
hakim agung. Dari tiga lembaga tersebut yang paling disorot saat ini
adalah peran dari DPR, hal ini bisa dilihat dari adanya Judicial Review
terhadap Pasal 8 Ayat (2), (3) dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 Tentang
MA dan Pasal 18 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011 Tentang KY.
Menurut keterangan ahli Zainil Arifin Mochtar dalam acara sidang
uji

materi

Mahkamah “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Konstitusi,
disebutkan yang menjadi permasalahan permasalahan dari Judicial Review
ini adalah terjadi pelanggaran atas UUD 1945 khususnya Pasal 24A Ayat

9

(3) UUD 1945

yang menyebutkan peran

DPR

adalah

memberikan

persetujuan atas rekomendasi Calon Hakim Agung oleh Komisi Yudisial.
Dari sini ahli berpendapat frasa “mendapatkan

persetujuan”

didalilkan

berbeda dengan ketentuan UU MA dan KY yang memberikan kewenangan
untuk “memilih” bagi Dewan Perwakilan Rakyat.
Kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan

tidak

bisa

disamakan dengan kewenangan untuk memilih karena apabila kita melihat
sudut pandang pembuat Undang-Undang, para pembuat Undang-Undang
sudah mendefinisikan

hal

yang berbeda

untuk kata “memilih” dan

“memberikan persetujuan”. Apabila kita melihat pasal yang mengatur
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sudah jelas disebutkan di dalam
Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, kewenangan DPR dalam memilih
calon hakim agung hanya berupa persetujuan bukan pemilihan seperti yang
diatur mengenai pemilihan BPK. Berpotensi menganggu independensi
peradilan karena hakim agung dipilih oleh DPR, dimana dengan mekanisme
pemilihan ini memungkinkan bagi DPR menolak calon-calon yang diusulkan
oleh KY atas alasan dianggap tidak memenuhi jumlah calon yang disyaratkan
UU MA dan UU KY atau DPR memilih calon hakim agung yang dapat
melindungi kepentingan partai politik tertentu.
Akibatnya, apabila ketentuan pemilihan hakim agung oleh DPR
dipertahankan, berpotensi merugikan hak konstitusionauntuk mendapatkan
perlakuan yang sama menjadi pejabat publik, in casu hakim agung dan hak
untuk diperlakukan secara profesional mengingat adanya kewenangan
“memilih”calon hakim agung oleh DPR, membuka kesempatan kepada DPR
untuk mengulang kembali proses seleksi yang sebelumnya sudah dilakukan
oleh Komisi Yudisial, padahal Komisi Yudisial sudah menguji kelayakan dan
kompetensi calon hakim agung.
Selain itu pemilihan hakim yang dilalui oleh mekanisme politik
tentu saja berpotensi banyak kepentingan yang akan terjadi, karena seperti
10

kita

ketahui bahwa

kepentingan

politik bisa

mudah

saja

berubah

tergantung dari orangnya atau situasi politik yang terjadi. Seperti contoh,
apabila DPR sebagai lembaga negara yang anggotanya berasal dari partai
politik mempunyai kepentingan politik yang baik maka bisa diharapkan
hasil hakim yang terpilih adalah yang baik juga, namun hal yang berbeda
akan terjadi apabila kepentingan politik yang ada adalah tidak baik, maka
hakim yang terpilih bisa saja terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan
yang buruk tersebut.
Mekanisme pemilihan hakim agung yang melibatkan DPR bisa saja
berpotensi menghasilkan hakim-hakim yang tidak baik tergantung dari
keadaan dan situasi politik yang ada.
E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam jangka panjang, amendemen UUD 1945 memang harus
mendefinisi ulang skema keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik
agar tidak terjadi pola seperti sekarang ini. Dalam konteks pemilihan hakim
agung, misalkan, kewenangan DPR diperbesar melalui produk undangundang: UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perlu adanya penambahan klausul dan penjelasan yang jelas di dalam
Undang-Undang yang terkait pembatasan kewenangan DPR dalam seleksi
Hakim Agung ini. Dalam jangka pendek, revisi UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR harus
menjangkau masalah tersebut, sekaligus menyediakan pilihan mekanisme
yang mendongkrak transparansi dan akuntabilitas. Anggota DPR yang tidak
terlibat dalam proses fit and proper test atau yang ketahuan punya konflik
kepentingan terhadap calon pejabat publik tidak diberikan hak suara. Setiap
pertanyaan yang diajukan oleh anggota DPR dalam proses fit and proper test
harus tercatat dan dipublikasikan, termasuk tanggapan dari para calon.
Kemudian, saat pemberian suara, seharusnya dilakukan secara terbuka agar

11

publik bisa mengetahui kinerja dan preferensi wakil mereka, terutama saat
memberikan persetujuan terhadap calon pejabat publik. Hal ini dikarenakan
konstitusi yang dibentuk dengan biaya yang tidak sedikit itu lagi-lagi hanya
menjadi tameng lembaga negara ini dalam menjalankan pemerintahan.
Lembaga legislative yang sebenarnya pengejawantahan dari rakyat ini malah
menjadi ladang bisnis politik.
Dan yang masih menjadi pertanyaan dalam benak penulis adalah
apabila DPR berkewenangan melakukan seleksi ulang dengan fit and
properties maka apakah hakim agung bertanggung jawab kepada DPR ? Hal
ini apabila kata memilih ini masih dipertahankan dan dimaknai selain dari
memberikan persetujuan

maka siapa yang memilih dialah yang diserai

pertanggung jawaban.
DAFTAR PUSTAKA

Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman. Bekasi: Kesaint Blanc, 2008.
Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945. Yogyakarta :FH UII Press, 2003.
Tutik, Triwulan. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia pasca Amandemen UUD
1945. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2010.
http://pshk.or.id/site/?q=id/content/definisi-ulang-skema-keterlibatan-dpr-dalampemilihan-pejabat-publik-pelajaran.

12