Peran Hukum Internasional atas Pelanggar

LEGAL OPINION
PERAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PELANGGARAN HAM
BERAT TERHADAP ENTNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR

MATA KULIAH:
HUKUM INTERNASIONAL (ROMBEL 05)

Disusun Oleh:
Adib Nor Fuad (8111416107)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

PENDAHULUAN
Etnis Rohingya merupakan salah satu etnis yang tinggal di Myanmar yang
menganut agama Islam, mereka tinggal di wilayah Arakan yang juga dihuni oleh
etnis Rakhine, dan hubungan antara kedua kelompok masyarakat adat tersebut
kurang harmonis dan sering terjadi konflik kedua kubu tersebut dan konflik
tersebut berkepanjangan hingga Negara turun tangan. Pada tahun 2012 konflik
antara Pemerintahan Negara Myanmar dengan masyarakat adat Rohingya mulai

hangat dibincangkan kalangan Internasional. Mereka mendapatkan perlakuan
diskriminasi dan intimidasi yang dilakukan oleh pemerintahannya sendiri, bahkan
mereka tidak diakui sebagai warga negara dari Myanmar sendiri.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya
tidak hanya terkait pengakuan sebagai warga negara, tetapi tindakan mengusir,
pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dan penindasan yang diterima oleh etnis
Rohingya. Namun demikian, sejarah telah mencatat berbagai pelanggaran HAM
yang disebabkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, status sosial,
politik, keturunan dan sebagainya. Pelanggaran ini terjadi secara horizontal (antar
masyarakat) maupun vertikal (antar Negara terhadap rakyat) atau sebaliknya.
Banyak diantaranya tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross
violation of human rights).1
Tindakan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar terhadap
etinis Rohingya, telah mengakibatkan ribuan orang kehilangan nyawa, belum lagi
yang mengalami gangguan kejiwaan dan kehilangan harta dan bendanya.
Menurut para pengungsi di Banglandesh, tak kurang dari 3000 orang meninggal
dunia dan 883 orang mengalami gangguan kejiwaan. Disamping itu, sebanyak
925 anak ikut mengunggsi tanpa kerabat serta 6.000 rumah milik Entnis Muslim
Rohingya dibakar di Rakhine. Hingga saat ini, jumlah etnis Rohingya yang

mengungsi sudah mencapai angka 700.000 orang.2
Pandangan dari pemerintah Myanmar terhadap kejadian yang menimpa
masyarakat Rohingya diklaim sebagai suatu serangan balasan setelah kelompok
militan tentara ARSA (Pembebasan Rohingya Arakan) yang menyerang sejumlah
pos keamanan di Rakhine. Namun apa yang dilakukan militer Myanmar dengan
memporakporandakan,
mengusir
dari
tempat
tinggalnya
bahkan
membumihanguskan tempat tinggal penduduk sungguh tak sebanding dengan
kekuatan Entnis Muslim Rohingya di Rakhine yang tidak memiliki kekuatan dan
dukungan dari pemerintah.
Konfik antara Etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar di rakhine
merupakan konflik yang berkepanjangan. Serangan dari militan ARSA terhadap
pos penjagaan oleh Entnis Muslim Rohingya dijadikan momentum dan alas an
pemerintah Myanmar untuk melancarkan serangan balik, hanya saja apa yang
dilakukan oleh tantara Myanmar merupakan tindakan persekusi dan deskriminasi
1 Prinst Darwan, 2001, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm.9.

2 Addi Wisudawan, “Rohingya Dalam Kacamata Hukum Internasional”, Kompasiana.com, diperbaharui pada
20 September 2017 14.27 WIB,
https://www.kompasiana.com/i.addi_wisudawan/59c2173db9a42c30e664aac2/rohingya-dalam-kacamatahukum-internasional, diakses pada 28 Oktober 2017.

kelomp, yang kita ketahui Myanmar merupakan negara dengan populasi
mayarakat yang menganut agama Budha adalah menjadi mayoritas dibandingkan
dengan jumlah populasi umat Islam disana. Tindakan pemerintah Myanmar
seakan-akan lebih mengarah kepada tindakan Genosida atau etnic cleansing
dengan tujuan pembersihan Entnis Muslim Rohingya di tanah Myanmar.
Dalam konflik ini sangat disayangkan, Negara dalam kepemimpinan Aung
San Suu Kyi yang merupakan peraih nobel perdamaian pada tahun 2012,
seyogyanya bisa mencegah tindakan militer Myanmar yang sangat bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia disana, padahal dalam pidatonya saat menerima nobel
ia menyakan bahwa ia ingin menciptakan dunia yang terbebas dari pengungsi,
tunawisma, dan mereka yang putus asa.
Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada
etnis ronghingya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pengusiran
secara paksa, pengusiran secara paksa disini dengan melakukan Tindakantindakan sistematis sebagai berikut :

1. Etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya sebagai warga negara
Myanmar.
Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan seseorang
termasuk warga negaranya atau tidak. Terdapat Asas Ius Soli dan Asas Ius
Sanguinis.
2. Adanya larangan untuk berpraktek agama.
Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap
individu mempunyai hak kebebasan untuk beragama. Namun, pada kasus ini
etnis rohingya tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya, ini
terlihat bahwa yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir semua masjid
di ibu kota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar, banyak
masjid dan madrasah di Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak
boleh beribadah di dalamnya. Jika ada yang melanggar atau mencoba untuk
sholat akan ditangkap dan dihukum.3
3. Adanya perlakuan diskriminasi terhadap etnis rohingya
Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional
tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan
konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966
memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya diskriminasi.
ANALISIS ATURAN HUKUM

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak individu yang paling
fundamental yang mencakup hak-hak atas hidup dalam bidang politik, hukum,
ekonomi, sosial, dan budaya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 Universal
Declaration of Human Right (UDHR), bahwa setiap orang berhak atas hak asasi
nya tanpa dibeda-bedakan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasankebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian
apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak
milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan
3 Hery Aryanto, “Kondisi Faktual Muslim Rohingya di Indonesia”, 27 September 2013,
www.indonesia4rohingya.org, diakses pada 12 September 2017.

pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional
dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang
merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di
bawah batasan kedaulatan yang lain”.4
Istilah Pelanggaran HAM Berat merupakan terjemahan dari konsep Kejahatan
Internasional (International Crimes). Pelaku kejahatan internasional seperti yang
dilakukan terhadap etnis Rohingya tersebut dapat dibawa ke peradilan nasional
maupun internasional. Hal ini sesuai asas yang dianut bagi kejahatan
internasional yaitu asas universal. Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk Aparat Negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum,
mengurangi, menghilangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 5
Tindakan militer/Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat
diklasifikasikan dan dikatagorikan sebagai tindakan Genosida dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma, yaitu;

Art. 6 Rome Statute; any of the following acts committed with intent to
destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as
such:
a. Killing members of the group;
b. Causing derious bodily or mental harm to members of the group;
c. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring
about its physical destruction in whole or in part;
d. Imposing measures intended to prevent births within the group;
e. Forcibly transferring children oof the group to another group. 6

Ada 2 unsur pokok didalam ketentuan mengenai Kejahatan Genosida
ini yang kemudian dapat diuraikan setiap unsur-unsurnya yaitu :
1. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok ( genocide by killing )
Berpedoman pada “Elements of Crimes” dapat diketahui bahwa
yang dibunuh tidak perlu seluruh atau sebagian dari anggota
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama
tertentu, tetapi sudah cukup jika yang dibunuh itu seorang atau lebih
dari anggota kelompok tersebut.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok (genocide by causing serious bodily or
mental harm)
c. Penderitaan fisik atau mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf b UU No. 26 Tahun 2000, tidak sekedar hanya penderitaan
fisik atau mental yang biasa, tetapi adalah penderitaan fisik atau
mental yang berat atau serius terhadap anggota kelompok lain.
Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa
4 Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR).
5 Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6 Rome Statute of the International Criminal Court Pasal 6


penderitaan ini termasuk penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan
seksual, dan perbuatan yang tidak manusiawi.
d. Menciptakan kondisi kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya (genocide by deliberately
inflicting conditions of life calculated to bring about physical
destruction).
e. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok (genocide by imposing measures intended to
prevent births).
f. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke
kelompok lain (genocide by forcibly transferring children)
Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa paksaan tidak
terbatas pada paksaan fisik, tetapi termasuk pula ancaman secara fisik yang
menyebabkan ketakutan akan kekerasan,
ancaman hukuman, paksaan
psikologis atau penyalahgunaan wewenang atas manusia tersebut atau
mengambil kesempatan pada saat berlangsungnya kondisi tersebut.
2. Dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.

UJI SYARAT
Jika dalam menganalisis tentang kejahatan terhadap etnis Rohingnya, pada
2 unsur pokok didalam ketentuan mengenai Kejahatan Genosida sudah jelas
dan terbukti dengan adanya pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh
puluhan ribu masyarakat etnis Rohingya ke Negara-negara tetangga seperti,
Bangladesh, Malaysia, Indonesia.
Maka dari itu harus ada upaya agar kejahatan yang dilakukan oleh Myanmar
terhadap masyarakatnya sendiri dapat segera diatasi. Oleh karena itu kasus ini
dapat diatasi dengan beberapa instrument hukum. Lahirnnya beberapa instrumen
hukum sebagai legal standing kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dilatar
belakangi oleh isu-isu hak asasi manusia dimata dunia, yang tertuang dalam
bentuk perjanjian-perjanjian Internasional seperti Statuta Roma, International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Universal Declaration of Human
Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ICESCR), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women (CEDAW), Convention on the Rights of Child (CRC), dan International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).
Dalam menangani kasus HAM berat terhadap Etnis Muslim Rohingya, ada
beberapa cara yang dapat ditempuh, diantaranya melalui Mekanisme Peradilan
Pidana Internasional yaitu di International Criminal Court (ICC) karena secara

umum,
berdasarkan
fakta-fakta
hukum
yang
ada,
tindakan-tindakan
militer/Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat diklasifikasikan dan
dikatagorikan sebagai tindakan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.
Namun yang menjadi persoalan saat ini adalah, Myanmar tidak meratifikasi
seluruh perjanjian internasional tersebut, sehingga tidak terikat dan terbebani
tanggung jawab sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian

tersebut jika akan dilakukan mekanisme berbasis perjanjian internasional (Treaty
Based Mecanism) seperti Statuta Roma.
Akan tetapi, International Criminal Court (ICC) dapat mengambil alih kasus
kejahatan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya ini jika Myanmar dianggap
tidak mampu menyelesaiakan dan mengadili kasus tersebut sesuai pasal 17 ayat
(1) huruf (a) yang menyebutkan "Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh

suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau
Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan
penyelidikan atau penuntutan". Terkait sanksi hukum terhadap Myanmar yang
dapat diberikan oleh ICC adalah pengenaan prinsip tanggungjawab pidana
individu (individual criminal responsibility) sesuai dalam pasal 25 statuta roma,
dan tanggung jawab komandan dan atasan (commander and superior
responsibility) sesuai dalam pasal 27 statuta roma. Selanjutnya, pelaku kejahatan
tersebut dapat dikenakan hukuman ganti rugi kepada korban termasuk restitusi,
kompensasi dan rehabilitasi (sesuai dalam pasal 75 statuta roma) serta dapat
pula dikenakan pidana penjara paling lama 30 tahun atau penjara seumur hidup
dengan melihat beratnya kejahatan serta kondisi-kondisi personal dari terpidana
ditambah denda dan pembekuan harta kekayaan yang didapat secara langsung
atau tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya sesuai dalam pasal 77
statuta roma.
Langkah atau mekanisme lain adalah dapat juga melalui Dewan HAM PBB,
dengan mekanisme Complaint Procedure yang membuka peluang bagi individu
atau organisasi selaku subyek hukum untuk melaporkan dewan mengenai
pelanggaran HAM berat, Seperti halnya yang telah ditayangkan dalam Liputan6
Siang SCTV, Senin (11/9/2017), Memberitakan bahwa Badan HAM Bangladesh
meminta bantuan dari komunitas internasional untuk mengadukan Myanmar dan
militer Myanmar ke pengadilan internasional.7 Hal ini kemudian akan dilanjutkan
dengan mekanisme Special Procedure berupa pencarian fakta-fakta hukum dalam
bentuk investigasi yang akan lakukan para ahli independen dengan mandat dari
dewan HAM PBB. Rangkaian mekanisme tersebut disebut dengan Charter Based
Mecanism, yang menggunakan Piagam PBB sebagai dasar oleh Dewan HAM PBB.
Mekanisme terakhir yang dapat ditempuh adalah meknisme intervensi
militer. Jerry Indrawan, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta,
dalam tulisannya yang berjudul Mungkinkah Intervensi Militer ke Myanmar pada
kolom opini harian republika (tanggal 13 september 2017), yang berpendapat
bahwa konteks kedaulatan Negara dapat dikontestsasikan dengan konsep
Responbility to Protect jika berada dalam rezim politik internasional yang semakin
borderless. Inti dari konsep Responbility to Protect adalah kedaulatan Negara
menyaratkan perlindungan terhadap warga negaranya sendiri, jika dalam
negaranya ada populasi masyarakat yang terjebak dalam situasi berbahaya maka
Negara dianggap gagal dan berdasarkan prinsip konsep Responbility to Protect
tersebut dunia internasional memiliki kewajiban untuk melindungi. Untuk
mencegah semakin besarnya korban dalam kondisi tersebut terlebih terdapat
pelanggaran HAM didalamnya menurut Jerry, Komunitas Global ataupun Negara
yang memiliki kapasitas harus bertindak dan dapat melakukan intervensi militer.
7 Shinta Lestari, “Badan HAM Bangladesh Minta Myanmar Dilaporkan ke Pengadilan Internasional”, Liputan
6, diperbaharui pada 11 September 2017 13.11 WIB, http://news.liputan6.com/read/3090166/badan-hambangladesh-minta-myanmar-dilaporkan-ke-pengadilan-internasional, diakses pada 1 November 2017.

Pada dasarnya, dalam kasus Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime)
seperti yang terjadi pada etnis muslim Rohingya di Rakhine Myanmar tersebut
diatas jelas bertujuan untuk menghilangkan suatu polpulasi berdasarkan etnis
atau agama tertentu. Ini merupakan pelanggaran HAM berat yang berbentuk
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusian sama seperti yang terjadi pada
saat suku Tutsi oleh suku Hutu yang memakan korban 800.000 jiwa di republic
Rwanda, Afrika Tengah. Tentu saja pencabutan nobel perdamaian bukan puncak
hukuman. Sesuai yurisdiksinya, pimpinan yang bertanggungjawab dan
membiarkan terjadinya kejahatan kemanusaiaan dan Genosida ini harus diadili di
Peradilan Internasioal sebagaimana penulis sampaikan diatas.
Penyelesaian pada konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat
dilakukan dengan dua pilihan, yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur
litigasi merupakan cara penyelesaian masalah melalui jalur Pengadilan,
sedangkan non-litigasi merupakan cara penyelesaian masalah di luar Pengadilan. 8
Dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan ini hukum Internasional harus tegas
dalm menegakkan keadilan. Dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara
diplomasi terlebih dahulu sebelum ke ranah hukum. Hal tersebut berbunyi
sebagai berikut :
Ayat 1, Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika
berlangsung secara terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan nasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian
dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi,
penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan
regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.
Ayat 2, Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak
bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa
itu.
Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan
Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui perundingan yang
diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga disini disebut sebagai
mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat individu, organisasi
internasional dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada etnis
rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang
bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga
negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi
para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu
pihak yang dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap
etnis rohingya, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar
untuk segera mengakhiri kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak
ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini masih
belum ada upaya penyelesaian.9
8 Cacuk Sudarsono, “Pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan”, Unnes
Law Journal, No. 4, Januari, 2015, hlm. 21.
9 NN, “PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Myanmar”, diunggah pada 25 Oktober 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/118524655/PBB-Kutuk-Kekerasan-terhadapMuslim-Myanmar, diakses pada 10 September 2017 pukul 20:32 WIB.

Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam
mengakhiri permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan
masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh
Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court) yang sudah diterangkan diatas.
Dengan memperhatikan empat yurisdiksi pada ICC yaitu; 10 a) rationae materiae,
b) rationae personae, c) ratione loci, d) ratione temporis.
KESIMPULAN
Pada dasarnya, dalam kasus Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime)
seperti yang terjadi pada etnis muslim Rohingya di Rakhine Myanmar tersebut
diatas jelas bertujuan untuk menghilangkan suatu polpulasi berdasarkan etnis
atau agama tertentu. Ini merupakan pelanggaran HAM berat yang berbentuk
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusian.
Penyelesaian pada konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat
dilakukan dengan dua pilihan, yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur
litigasi merupakan cara penyelesaian masalah melalui jalur Pengadilan,
sedangkan non-litigasi merupakan cara penyelesaian masalah di luar Pengadilan.
Dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan ini hukum Internasional harus tegas
dalm menegakkan keadilan.
Berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma, yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional dapat berlaku apabila terjadi kurangnya penyelidikan dan
penuntututan
nasional
yang
sungguh- gungguh,
maupun
adanya
keengganan dan ketidakmampuan negara tempat pelaku atau perbuatan
pelanggaran HAM dilakukan, untuk memproses pelanggaran tersebut.
Berdasarkan pasal ini, pemerintah Myanmar terbukti seperti tidak melakukan
upaya hukum dan enggan untuk menyelesaikan kekerasan terhadap etnis
Rohingya.
Dalam kasus ini Statuta Roma mengizinkan Dewan Keamanan PBB
merujuk atau meneruskan sebuah keadaan pelanggaran HAM yang tampak
kepada Mahkamah Pidana Internasional. Sayangnya,
Pasal 12 ayat
2
Statuta Roma menyatakan, suatu negara dinyatakan menerima yurisdiksi
Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta. Hal ini, tentu tidak
menguntungkan karena negara yang tidak meratifikasi tidak dapat di adili.
Berbagai pasal yang dapat dibuktikan telah dilanggar oleh pemerintahan
Myanmar menjadi tidak dapat diterapkan, karena Myanmar tidak menjadi
Negara yang meratifikasi satupun peraturan- peraturan mengenai Hak Asasi
Manusia diatas. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban terhadap setiap
pelanggaran yang telah dilakukan pemerintah Myanmar menjadi sulit untuk
diterapkan.
Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai
mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan
pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat
membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan.
10 Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”, Jurnal Hukum, No. 2, Vol.14,
April, 2007, hlm. 22.

DAFTAR RUJUKAN
Aryanto,
Hery. 2017. “Kondisi Faktual Muslim Rohingya di Indonesia”, 27
September 2013,
www.indonesia4rohingya.org, diakses pada 12 September 2017.
Darwan, Prinst. 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia.
Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Lestari, Shinta. “Badan HAM Bangladesh Minta Myanmar Dilaporkan ke Pengadilan
Internasional”, Liputan 6, diperbaharui pada 11 September 2017 13.11
WIB,
http://news.liputan6.com/read/3090166/badan-ham-bangladeshminta-myanmar-dilaporkan-ke-pengadilan-internasional, diakses pada 1
November 2017.
NN. “PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Myanmar”, diunggah pada 25
Oktober 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/118524655/PBB-KutukKekerasan-terhadap-Muslim-Myanmar, diakses pada 10 September 2017
pukul 20:32 WIB.
Rome Statute of the International Criminal Court Pasal 6
Sefriani. 2007. “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”,
Jurnal
Hukum, No. 2, Vol.14.
Sudarsono, Cacuk. 2015. “Pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana
Penganiayaan”, Unnes Law Journal, No. 4.
Undang-Undang. 1999. Pasal 1 ayat 6 No. 39. Tentang Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Right (UDHR). Pasal 2.
Wisudawan, Addi. “Rohingya Dalam Kacamata Hukum Internasional”,
Kompasiana.com,
diperbaharui pada 20 September 2017 14.27 WIB,
https://www.kompasiana.com/i.addi_wisudawan/59c2173db9a42c30e664aa
c2/rohingya-dalam-kacamata-hukum-internasional, diakses pada 28
Oktober 2017.