Perkembangan Citizen Journalism di Indon

Perkembangan Citizen Journalism di Indonesia: Peluang
dan Tantangan
Rani Diah Anggraini
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: r4ni_anggraini@yahoo.co.id
Abstrak
Tren jurnalisme warga atau citizen journalism terus berkembang di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Terlepas dari perbedaannya dengan citizen
journalism yang tidak melibatkan jurnalis profesional dalam proses peliputan,
jurnalisme publik atau civic journalism telah membuka pintu bagi tumbuhnya
praktek jurnalistik oleh warga. Praktek jurnalistik oleh warga tersebut semakin
berkembang di era digital berbasis internet seperti sekarang ini. Kemunculan citizen
journalism di Indonesia sendiri dipelopori oleh Radio Elshinta pada awal tahun
2000-an. Sedangkan sebagai pioner jurnalisme warga online atau online citizen
online journalism di Indonesia, ada Kompasiana yang dirilis pada tahun 2008.
Sebagai sebuah peluang, citizen journalism berkontribusi bagi percepatan arus
informasi dan memperkuat pondasi demokrasi. Sementara itu, untuk menjawab
tantangan atas isu kredibilitas citizen journalism, tidak sedikit media mainstream
yang melakukan proses gatekeeping pada jurnalisme warganya. Sejumlah media
juga menerapkan agenda setting, antara lain dengan membatasi variasi konten
dalam situs citizen journalism mereka.

Kata kunci:
media baru, online, citizen journalism, media mainstream, peluang, tantangan

Pendahuluan
Jurnalisme warga atau citizen journalism muncul sebagai tren baru dunia
jurnalistik yang dilakukan oleh warga sebagai jurnalis non-profesional. Berbeda
dengan jurnalisme publik atau civic journalism yang muncul sebagai kritik atas
praktek jurnalistik yang kurang memberi ruang pada proses demokrasi dan sering
mengabaikan kepentingan khalayak, citizen journalism tidak melibatkan jurnalis
profesional dalam proses peliputan oleh warga (Nip, 2006).
Sebagai media alternatif bagi warga, eksistensi citizen journalism di
beberapa negara bahkan mampu bersaing dengan jurnalisme profesional media
mainstream, seperti televisi, radio, dan surat kabar. Keberhasilan citizen journalism
dalam membawa misi ‘dari warga untuk warga’ tersebut, antara lain dapat dilihat
dalam blog ohmynews.com dari Korea Selatan yang secara efektif menyuarakan

1

aspirasi warganya, stomp.sg dari Singapura, dan malaysiakini.com dari Malaysia
yang disebut-sebut sebagai media oposisi pemerintah (Wijayana dan Luqman,

2009).
Pada awal perkembangannya, citizen journalism memang sempat
mendapatkan penolakan dari media-media mainstream. Tidak hanya karena
sebagian dari media-media tersebut menganggap citizen journalism sebagai
ancaman pada eksistensi mereka, tetapi juga karena jurnalis warga dianggap bukan
seorang profesional yang bisa melakukan peliputan seperti jurnalis profesional.
Pengetahuan akan kaidah-kaidah jurnalistik, seperti kelengkapan informasi, etika
penulisan, dan akurasi berita, menjadi pertanyaan-pertanyaan skeptis yang
bermunculan pada awal perkembangan citizen journalism. Namun, seiring
berjalannya waktu, praktek jurnalisme oleh warga ini tetap mendapat tempat di
ranah jurnalistik sebagai media alternatif bagi warga untuk mendapatkan informasi.
Bahkan, dalam beberapa kasus, citizen journalism mampu memberikan kontribusi
yang signifikan karena kecepatannya, terlebih dikukung oleh perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat. Misalnya, saat terjadi
bencana alam, insiden bom bunuh diri, dan sebagainya.
Selain ketersediaan alat-alat untuk melakukan peliputan seperti handrecord
dan handycam yang relatif murah di pasaran, kehadiran media baru berbasis
internet tak pelak telah mendorong perkembangan citizen journalism, termasuk di
Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, jutaan log web atau blog dengan
beragam konten telah muncul dan bahkan mendefinisikan ulang praktek jurnalistik

(Thurman, 2008). Keberadaan citizen journalism melalui media online yang bisa
diakses oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, tetap menjadikan praktek
jurnalistik oleh warga ini sebagai model ekspresi yang sangat kuat dan alat baru
untuk mengimbangi pemerintah, industri, atau pihak-pihak besar lainnya yang
berperan dalam mempengaruhi media (Leslie dalam Tamburaka, 2013).
Sebagai bagian dari rantai berita, citizen journalism mampu menyuarakan
aspirasi warga, bahkan dalam bentuk yang sederhana sekalipun. Contohnya, salah
satu grup citizen journalism yang cukup terkenal di Facebook, Info Cegatan Jogja
(ICJ). Dengan anggota lebih dari 500 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia
dan beberapa negara di Asia (Aluysius, 2017), ICJ awalnya hanya menyampaikan

2

informasi seputar lokasi cegatan atau operasi tertib lalu lintas. Hal ini bertujuan tak
lain agar para anggota tidak terkena tilang bila tidak memiliki surat-surat yang
lengkap. Namun, seiring berjalannya waktu, grup yang didirikan pada 13
September 2013 ini mulai mengunggah konten yang semakin beragam, seperti halhal unik dan menarik yang dijumpai di Kota Yogyakarta, kejadian yang
mengundang protes warga, dan lain sebagainya.
Situs jejaring sosial, seperti Facebook, tak dipungkiri memang telah
berkontribusi pada perkembangan citizen journalism di Indonesia. Hal ini, antara

lain dikarenakan popularitas media sosial tersebut yang tinggi, bahkan tertinggi di
Indonesia. Berdasarkan data yang diolah Wijayana dan Luqman (2009) dari
alexa.com, pengguna atau user Facebook di Indonesia sebanyak 3,6% dari seluruh
pengguna media sosial tersebut. Jumlah ini menduduki posisi pertama di Asia
Tenggara dan nomor 6 di dunia. Posisi pertama di dunia diduduki Amerika Serikat,
disusul Inggris, Prancis, dan India. Berikut ini adalah tabel tentang situs jejaring
sosial yang masuk jajaran 100 website terpopuler di Indonesia.

Tabel 1
Peringkat Situs Jejaring Sosial di Indonesia

Sumber: alexa.com (dikutip dari Wijayana dan Luqman, 2009)

Selain Facebook yang mulai naik daun pada tahun 2008, media share site,
seperti YouTube juga mempunyai andil pada perkembangan citizen journalism
karena tingkat popularitasnya yang tinggi. Berikut ini adalah tabel tentang media
share sites yang masuk jajaran 100 website terpopuler di Indonesia.

3


Tabel 2
Peringkat Media Share Sites di Indonesia

Sumber: alexa.com (dikutip dari Wijayana dan Luqman, 2009)

Di Indonesia, jumlah pengguna YouTube yang dirilis pada 15 Februari 2005
tersebut mencapai 1% dari jumlah seluruh user sharing site itu di dunia. Jumlah
tersebut menduduki posisi ke-19 di dunia dan posisi ke-3 di Asia. Peringkat pertama
ditempati AS dengan jumlah pengguna 23,6% (Wijayana dan Luqman, 2009).
Sama halnya dengan Facebook, meski tidak semua pengguna YouTube
melakukan praktek citizen journalism, keberadaan Youtube menjadi salah satu
wadah bagi jurnalis warga untuk menyebarkan informasi dengan cepat.
Sementara itu, untuk jumlah pengguna internet sendiri di Indonesia
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang
dirilis World Internet Statistic, pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta
pada tahun 2000 menjadi 22 juta pada tahun 2010 dan melonjak dua kali lipat
menjadi 55 juta pengguna pada tahun 2011. Sedangkan hasil analisis tahunan
Yahoo dan TNS menunjukkan bahwa akses online di Indonesia meningkat dari 28%
pada pada tahun 2009 menjadi 37% pada tahun 2010 (Alamiyah, 2015).
Peningkatan jumlah pengguna dan akses internet ini menunjukkan bahwa teknologi

media baru tersebut semakin terjangkau oleh khalayak dan sangat potensial ikut
mendorong perkembangan citizen journalism, terutama versi online.
Tidak hanya berkembang di ranah online, tren citizen journalism di
Indonesia juga merambah dunia televisi, radio, dan surat kabar. Citizen journalism
dalam siaran stasiun radio Elshinta, misalnya. Sejak menjadi pioner di tahun 2000,

4

hingga kini Elshinta telah memiliki 100.000 jurnalis warga (Kurniawan, 2007).
Apalagi di era konvergensi media seperti saat ini, bukan tidak mungkin bagi mediamedia konvensional tersebut untuk melebarkan sayap dengan mempublikasikan
berita-berita jurnalis warganya melalui berbagai platform.
Tren citizen journalism kini memang telah hadir dan meramaikan khasanah
pemberitaan dan berkontribusi dalam segmen berita realtime, termasuk di
Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana awal
kemunculannya di Indonesia dengan Radio Elshinta sebagai pelopor? Bagaimana
perkembangan jurnalisme warga online atau online citizen journalism di Indonesia
dengan

Kompasiana


sebagai

pioner?

Bagaimana

media

mainstream

mengkompromikan isu kredibilitas jurnalis warga yang tak surut diperdebatkan?
Dan, bagaimana proses gatekeeping serta agenda setting diterapkan pada segmen
citizen journalism? Jawaban atas pertayaan-pertanyaan tersebut akan dibahas pada
kajian kali ini dalam beberapa bagian, mulai dari cikal bakal lahirnya citizen
journalism, pendorong lahirnya online journalism, awal mula perkembangan
citizen journalism di Indonesia, pioner online citizen journalism di Indonesia,
sampai dengan isu kredibilitas citizen journalism, proses gatekeeping, dan agenda
setting.

Civic Journalism sebagai Cikal Bakal Lahirnya Citizen Journalism

Ledger-Inquirer meluncurkan prakarsa civic journalism untuk kali pertama
pada 1988. Sejak saat itu, sudah lebih dari 300 kampanye civic journalism
dilakukan di seluruh Amerika Serikat dan jumlahnya terus meningkat. Civic
journalism pada dasarnya memang dikembangkan oleh wartawan profesional,
menyikapi meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap media dan kesinisan
publik terhadap politik di Amerika Serikat di akhir tahun 90-an tersebut. Kritik
keras pada arogansi media mendorong media untuk berpikir tentang fungsi dan
tanggung jawabnya kepada masyarakat serta peningkatan kepekaan wartawan
terhadap masalah yang menjadi perhatian masyarakat. Dalam hal ini, civic
journalism mencoba mendefinisi ulang nilai berita, mempertanyakan nilai
objektivitas dan imparsialitas, mendorong keterlibatan wartawan lebih besar

5

sebagai peserta aktif dalam masyarakat, serta menginginkan praktek jurnalisme
yang mencerminkan keragaman kultural di masyarakat Amerika.
Terlepas dari bubarnya gerakan pelopor civic journalism, The Pew Center
of Civic karena kekurangan dana pada tahun 2003, civic journalism dalam hal ini
telah membuka pintu bagi tumbuhnya citizen journalism, dimana warga yang
mempunyai berita dan foto dapat menyampaikannya langsung melalui blog atau ke

beberapa media mainstream, seperti situs www.bbc.co.uk; www.cnn.com atau
iReport.com; situs koran The Jakarta Post dalam edisi Pemilu Jakarta 2007,
www.thejakartapost.com/election; Wide Shot dan I-Witness Metro TV; NET. CJ;
serta kompasiana.com.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang telah merambah
hampir ke seluruh penjuru dunia, melahirkan bentuk-bentuk media baru dan
menciptakan ruang yang lebih luas untuk interaksi khalayak penggunanya. Dengan
kata lain, menurut McQuail (2000), media baru membuka kesempatan komunikasi
yang lebih besar untuk demokrasi. Hal inilah yang menjadi kunci konsep citizen
journalism yang pada dasarnya digunakan untuk komunikasi langsung antara warga
dengan negara yang selama ini dijembatani oleh media mainstream.
Menurut Bowman dan Willis (2003), citizen journalism adalah “... the act
of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing,
and disseminating news and information.” Dalam hal ini, citizen journalism
dikatakan sebagai suatu kegiatan aktif dari warga dalam proses mengumpulkan,
menyampaikan, menganalisis, dan menyajikan informasi. Sedangkan Nugraha
(2012), mendefinisikan citizen journalism sebagai kegiatan warga biasa yang bukan
wartawan profesional dalam mengumpulkan fakta di lapangan, serta menyusun,
menulis, dan melaporkan hasil liputannya di media sosial.
Selain citizen journalism, istilah lain yang menunjukkan kegiatan

melaporkan suatu peristiwa atau informasi oleh warga adalah participatory
journalism, public journalism, democratic journalism, independent journalism,
wiki journalism, open source journalism, dan street journalism (Nugraha, 2012: 20).
Sementara itu, menurut Wood dan Smith (2005), jurnalis warga atau netizen
didefinisikan sebagai sekelompok warga yang aktif memberikan kontribusi berita
seiring dengan perkembangan internet.

6

Lasica (2003) mengklasifikasi media bagi citizen journalism dalam lima
tipe, yakni: (1) audience participation seperti komentar pengguna yang
melampirkan berita, (2) blog pribadi, foto, atau video; (3) situs web berita atau
informasi independen, situs berita partisipatoris murni, situs media kolaboratif; (4)
thin media seperti mailing list, newsletter, dan e-mail; serta (5) situs penyiaran
pribadi.
Sementara itu, Outing (2005) mengklasifikasi citizen journalism dalam
sebelas kategori, yakni: (1) komentar publik terhadap tulisan jurnalis profesional;
(2) kontribusi masyarakat dalam artikel yang ditulis jurnalis profesional; (3)
kolaborasi antara jurnalis profesional dengan non jurnalis yang memiliki
kemampuan dalam bidang yang akan dibahas dalam artikel; (4) bloghouse yang

mengundang pembaca untuk ikut berkomentar; (5) newsroom citizen transparency
blogs yang disediakan sebagai upaya transparansi sebuah organisasi media; (6)
stand-alone citizen journalism site yang melalui proses editing sebelum berita
dipublikasikan; (7) stand-alone citizen journalism site yang meniadakan proses
editing pada publikasi beritanya; (8) stand-alone citizen-journalism website yang
juga menyediakan versi cetak untuk informasi warganya; (9) hybrid: pro + citizen
journalism yang melibatkan jurnalis profesional dalam proses gate keeping
informasi dari jurnalis warganya; (10) penggabungan antara jurnalis profesional
dan jurnalis warga dalam satu organisasi media; serta (11) citizen journalism model
wiki yang memberi kesempatan kepada pembaca untuk menjadi editor bagi berita
atau informasi yang dipublikasikan.

Media Baru dan Online Journalism
‘Media baru’ atau new media dalam hal ini merujuk pada berbagai
perangkat teknologi komunikasi baru yang memungkinkan untuk penggunaan
pribadi sebagai alat komunikasi dengan digitalisasi dan ketersediannya yang luas
(McQuail, 2009: 148). Sebagai perbandingan dengan ‘media lama’, media baru
mengabaikan batasan percetakan dan model penyiaran dengan memungkinkan
terjadinya percakapan antar banyak pihak; memungkinkan penerimaan secara
simultan, perubahan, dan penyebaran kembali objek-objek budaya; melampaui

7

batas kewilayahan; menyediakan kontak global secara instan; serta melibatkan
subyek modern dalam mesin berjaringan (Poster, 1999: 15).
McQuail merangkum enam perubahan mendasar yang muncul dengan
kehadiran media baru, yakni adanya digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek
media, adanya pemisahan dan pengaburan dari ‘lembaga media’, munculnya
beragam pintu atau gateway media, adanya adaptasi terhadap peranan publikasi dan
khalayak, adanya mobilitas dan delokasi untuk mengirim dan menerima, serta
semakin meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jaringan. Terkait dengan tren
citizen journalism yang kini terus berkembang di berbagai belahan dunia, hal itupun
tak terlepas dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan netizen untuk menayangkan
konten dalam bentuk teks, foto, dan video. Dengan kata lain, peningkatan jumlah
pengguna dan akses internet sangat potensial ikut mendorong perkembangan citizen
journalism, terutama versi online.
Selanjutnya, membahas mengenai online citizen journalism tidak dapat
dipisahkan dari konsep online journalism yang memayunginya. Mark Deuze
(dalam Berkam dan Shumway, 2003: 83-84) mengklasifikasi empat tipe online
journalism, sebagai berikut: (1) Mainstream News Sites, yakni website yang
dimiliki media konvensional sebagai versi online dari media konvesional tersebut;
(2) Index and Category Sites, yakni media online yang menghubungkan pembaca
dengan news site yang ada di internet; (3) Meta and Comment Sites, yakni situs
informasi, data, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan jurnalisme dan media;
serta (4) Share and Disscusion Sites, yakni situs yang fokus pada kepentingan
publik yang hampir tidak melalui proses editing moderator. Dari keempat tipe
tersebut, citizen jornalism masuk dalam kategori share and disscussion sites.
Setelah menelisik database citizen journalism di Indonesia menggunakan
google.co.id,

serta

mengamati

data

pendukung

dari

alexa.com,

websitesoutlook.com, dan whoisbucket.com, Wijayana dan Luqman (2009)
mengklasifikasi online citizen journalism dalam enam kategori berdasarkan
aktifitas user dan administrator, sebagai berikut: (1) Citizen Journalism Murni,
yakni website yang secara tegas memang menjalankan konsep citizen journalism;
(2) Portal Citizen Journalism, yakni website yang memiliki unsur citizen
journalism meskipun pada dasarnya merupakan web blog portal media online yang

8

dijalankan jurnalis profesional; (3) Mainstreams’s Citizen Journalism, yakni portal
yang memiliki unsur citizen journalism dan dimiliki oleh media mainstream; (4)
Portal Comment, yakni portal yang dikelola wartawan online profesional yang
memberi kesempatan kepada pengguna untuk berkomentar terhadap berita yang
dipublikasikan; (5) Portal Forum, yakni forum saling berbagi informasi oleh para
pengguna. Berbeda dengan Portal Comment, pemosting berita dalam Portal Forum
adalah pengguna, bukan administrator web; (6) Mainstream’s Portal Comment,
yakni website milik media mainstream yang memberikan kesempatan kepada
pengguna untuk berkomentar pada berita yang dipublikasikan.

Awal Mula Perkembangan Citizen Journalism di Indonesia
Sebagai gambaran awal mula perkembangan citizen journalism di
Indonesia, Radio Elshinta dapat dijadikan sebagai contoh pelopor kemunculan
praktek jurnalistik oleh warga di Tanah Air. Elshinta sendiri didirikan pada tahun
1966 sebagai radio yang menyiarkan budaya Indonesia. Setelah sebelumnya
beroperasi sebagai radio yang multi program, pada tahun 1998 Elshinta mulai
bertranformasi menjadi radio berita dengan jaringan di 60 kota dan jam siar 24 jam
sehari.
Sejak menayangkan program citizen journalism pada tahun 2000 hingga
setengah dasawarsa kemudian, Radio Elshinta sudah memiliki 100.000 jurnalis
warga. Keberhasilan ini tidak jauh berbeda dengan keberhasilan situs OhMyNews
dari Korea Selatan yang sukses mempraktekkan citizen journalism di negara
tersebut. OhMyNews yang berdiri tahun 2000, pada periode yang sama telah
memiliki 40.000 jurnalis warga dan 70 jurnalis profesional (Kurniawan, 2007).
Citizen journalism OhMyNews berkembang pesat sebagai media alternatif di
tengah kuatnya kontrol tidak langsung dari pemerintah terhadap media meski
kebebasan pers sudah ada. Di samping itu, menurut The National Internet
Development Agency of Korea (dalam Kurniawan, 2007) pada tahun 2004,
masyarakat Korea Selatan juga sudah akrab dengan internet, yaitu sekitar 30 juta
atau 2/3 penduduknya terhubung dengan internet berkecepatan tinggi.
Keberhasilan Elshinta melahirkan budaya berbagi informasi oleh warga,
tidak terlepas dari kondisi di awal tahun 2000-an dimana radio memang masih

9

menjadi salah satu media massa andalan untuk mencari informasi, berita, dan
hiburan. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menyebutkan bahwa
masyarakat berusia 10 tahun ke atas sebanyak 53,7% mendengarkan radio; 86,4%
menonton televisi; 26,7% membaca majalah dan surat kabar; serta 1,8% membaca
berita lewat internet.
Faktor lain yang berperan dalam perkembangan citizen journalism Radio
Elshinta adalah kebebasan pers yang mulai bergulir sejak tahun 1998 setelah
jatuhnya rezim Orde Baru. Selain itu, budaya masyarakat Indonesia untuk
mendengar dan bicara atau berbincang-bincang dan berbagi informasi yang sudah
turun-temurun

juga

menyumbang

keberhasilan

Radio

Elshinta

dalam

mengembangkan citizen journalism. Ditambah lagi dengan telepon seluler yang
semakin mudah didapat di pasaran dengan harga relatif terjangkau, semakin
mempermudah Radio Elshinta untuk mengembangkan interaktivitas dengan
pendengar dan menghidupkan segmen berita realtime tersebut. Data Asosiasi
Telepon Seluler Indonesia pada Maret 2006 menunjukkan bahwa pengguna telepon
seluler di Indonesia mencapai 50,6 juta jiwa atau 23 % dari total jumlah penduduk
sebanyak 220 juta jiwa (Kurniawan, 2007).
Sementara itu, media massa lain seperti televisi atau media cetak, pada awal
tahun 2000-an memiliki pandangan berbeda dalam merespon kehadiran jurnalisme
warga. Mereka pada umumnya masih enggan untuk mengadopsi citizen journalism
dalam praktek jurnalistik mereka karena takut kehilangan kredibilitas, reputasi, dan
problem etika jurnalistik (Kurniawan, 2007). Meski demikian, setelah Elshinta
sukses menangkap peluang dengan mengembangkan citizen journalism sebagai
media alternatif penyaji informasi, stasiun TV swasta seperti SCTV, RCTI, ANTV,
Metro TV, Net TV, dan beberapa stasiun radio mulai mengadopsi konsep
jurnalisme warga tersebut dalam program acaranya.
Saat ini, dengan kehadiran media baru digital, memberi peluang yang lebih
luas bagi perkembangan citizen journalism. Sebagaimana diketahui, kemajuan
teknologi yang sudah sedemikian pesat dan penggunaan media baru digital yang
sudah sedemikian massif pada akhirnya mengubah pola atau cara-cara masyarakat
dalam mengakses informasi. Dan, di era konvergensi media seperti saat ini, bukan
tidak mungkin bagi media-media konvensional untuk melebarkan sayap dengan

10

mempublikasikan berita-berita jurnalis warganya melalui berbagai platform, seperti
Metro TV yang tidak hanya menyediakan ruang bagi jurnalisme warga melalui
media televisi, namun juga menyediakan ruang melalui media online, yakni di
metrotvnews.com/ jurnalisme-warga. Kemudian Net TV, tidak hanya menyediakan
ruang di NET CJ yang notabene media online, namun juga membuka kesempatan
bagi para jurnalis warga untuk tampil di televisi dalam program acara “Apa Kabar
Indonesia”. Ini tidak jauh berbeda dengan Grup Kompas, yang tak hanya mewadahi
aspirasi warga dalam kompasiana.com, tetapi juga dalam program acara “Sahabat
Kompas TV”. Sementara Tribun News, menyediakan versi online dan cetak untuk
jurnalisme wargannya, masing-masing melalui jogja.tribunnews.com/citizenjournalism dan Tribun News cetak.

Kompasiana Hadir sebagai Pioner Online Citizen Journalism di Indonesia
Sebelum mengulas mengenai situs jurnalisme warga kompasiana.com
sebagai pioner online citizen journalism di Indonesia, kajian kali ini akan sedikit
mengulik mengenai awal mula kemunculan praktek jurnalistik oleh warga dalam
ranah online di Indonesia.
Pada awal kemunculannya di Indonesia, wajah jurnalisme warga online
diwarnai oleh lahirnya beberapa citizen journalism murni. Praktek jurnalistik ini
dinilai paling mewakili konsep awal citizen journalism, yakni benar-benar oleh
warga, tanpa campur tangan jurnalis profesional, dan tidak bernaung di bawah
media mainstream. Sebagai contoh, munculnya situs panyingkul.com, wikimu.com,
dan rumahkiri.net. Berikut tabel selengkapnya mengenai citizen journalism murni
di Indonesia pada tahun 2000-an.

11

Tabel 3
Citizen Journalism Murni di Indonesia

Sumber: alexa.com (dikutip dari Wijayana dan Luqman, 2009)

Seperti sebuah euforia yang menjamur setelah kebebasan informasi bergulir
pasca reformasi 1998 tetapi kemudian tenggelam, beberapa dari citizen journalism
murni tersebut pada akhirnya gulung tikar, entah karena kurangnya sumberdaya dan
sumber dana, maupun karena konten informasi dan beritanya yang menimbulkan
banyak kontroversi. Rumahkiri.net misalnya, situs yang mempunyai tagline Media
Alternatif Kaum Progresif ini, kontennya tidak selalu mengikuti tren yang tengah
hangat di kalangan media-media mainstream. Tulisan yang menghiasi
rumahkiri.net didominasi oleh tulisan-tulisan kritis dengan tujuan utama berjuang
untuk melakukan perubahan di Indonesia dan mengimbangi dominasi informasi
media mainstream. Tidak hanya pedas mengkritik pemerintah, situs yang dirilis
pada 2005 silam ini juga sempat menimbulkan kontroversi ketika dianggap
menyebarkan ajaran komunisme dan mendapat protes dari Forum Umat Islam Jabar
Bersatu (FUI-JB) pada akhir September 2007.
Meski mendapat perhatian masyarakat, popularitas rumahkiri.net masih
kalah jika dibandingkan dengan citizen journalism yang diadopsi oleh media-media
mainstream. Berdasarkan pelacakan melalui alexa.com dan websiteoutlook.com
tanggal 25 Oktober 2009, rumahkiri.net hanya berada pada ranking 49.444 di
Indonesia dengan pageview 564 dan pagerank 4 (Wijayana dan Luqman, 2009).
Dan, meski situs didirikan pada tahun 2005, sebutan pioner online citizen

12

journalism tetap disematkan pada situs kompasiana.com yang dirilis pada akhir
2008 lalu dan mendorong banyak media mainstream untuk mulai mengadopsi
konsep citizen journalism. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah media besar dari
mancanegara juga mengikuti tren kolaborasi antara citizen journalism dengan
media mainstream tersebut, seperti BBC Inggris dan CNN Amerika dengan
iReport.com-nya (Kperogi, 2011).
Kompas.com sendiri sebagai induk dari situs kompasiana.com, awalnya
memiliki dua situs citizen journalism, yakni Kompasiana itu sendiri dan Koki atau
“Komuninas Kompas” dengan alamat situs http://community.kompas.com. Namun,
pada perkembangannya, Kompas hanya berfokus untuk mengembangkan
Kompasiana sebagai ajang berbagi para jurnalis warganya yang disebut
“Kompasianer”. Sedangkan nama “Kompasiana”, meski pernah digunakan pendiri
Harian Kompas, P.K. Ojong, untuk kumpulan rubriknya, namun penyematan nama
tersebut pada blog berbagi informasi dan pendapat muncul dari gagasan seorang
jurnalis senior Kompas, Budiarto Shambazy, yang melihat tidak semua jurnalis saat
itu akrab dengan blog apalagi memilikinya. Dengan demikian, awalnya blog yang
mulai beroperasi pada 1 September 2008 ini dibuat sebagai wadah unjuk pendapat
para jurnalis Kompas dan Kompas Gramedia. Namun, kehadiran beberapa
wartawan senior sebagai penulis tamu, dan beberapa penulis dari kalangan artis,
serta netizen dan blogger dari masyarakat umum yang begitu antusias mengisi
kolom-kolom Kompasiana, menjadikan blog tersebut semakin besar. Pada 22
Oktober 2008, Kompasiana pun diluncurkan secara resmi sebagai social blog.
Bahkan saat ini, sejumlah tokoh penting negeri ini juga ikut ambil bagian dalam
kolom-kolom penulis Kompasiana. Sebut saja Wakil Presiden Jusuf Kalla; mantan
Rektor ITB dan mantan Menristek RI, Prof. Kusmayanto Kadiman; mantan KSAU,
Marsekal Punawirawan TNI AU Chappy Hakim; serta Penasihat Menteri
Pertahanan Bidang Intelijen, Prayitno Ramelan.
Hingga paruh awal 2014 saja, jumlah Kompasianer sudah mencapai 127
ribu lebih (Bhaskoro, 2017). Sedangkan menurut salah seorang pendiri
Kompasiana, Pepih Nugraha, pada Juli 2011, terdapat 600-800 tulisan per hari dan
6-7 juta pengunjung setiap bulannya. Dengan mengusung slogan awal, Sharing
Connecting, Kompasiana menyediakan beragam kanal, seperti kanal “Bola”,

13

“Ekonomi”, “Fiksiana”, “Gaya Hidup”, “Hiburan”, “Hijau”, “Humaniora.
“Jakarta”, “Kesehatan”, “Kotak Suara”, “Media, “Muda”, “Olahraga”, “Otomotif”,
“Politik”, “Regional”, “Tekno”, “Wisata”, dan “Wanita”.
Tidak berselang lama setelah dirilis sebagai social blog, yakni dalam waktu
3 bulan, Kompasiana sudah mengalami kenaikan rating yang signifikan.
Berdasarkan situs alexa.com pada saat itu, Kompasiana menempati ranking 90.711
dunia. Dalam literatur media online, sebuah situs baru bisa dianggap sebagai situs
atau website dan layak dipasangi iklan, jika sudah mencapai ranking di bawah
100.000 dunia. Sebagai situs yang terbilang baru pada waktu itu, pencapaian ini
dianggap sebagai suatu keberhasilan. Apalagi berdasarkan data Google Analitycs
pada 28 Desember 2008 hingga 27 Januari 2009, jumlah pengunjung Kompasianan
mencapai 125.542, dengan jumlah halaman dibaca sebanyak 228.980 atau rata-rata
pengunjung per halaman mencapai 1,82. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92.160 di
antaranya merupakan unique visitors atau pengunjung tetap Kompasiana.
Pengunjung Kompasiana terbesar masih berasal dari dalam negeri sebanyak 95.006,
sedangkan sisanya sebanyak 30.536 berasal dari negara-negara lain (Nugraha,
2015).
Keberhasilan inipun memantik munculnya ide pemberian penghargaan
kepada para Kompasianer dalam Kompasiana Award yang kali pertama digelar
pada tahun 2009 dengan kategori penghargaan, antara lain sebagai “Blog Terbaik”,
“Blog Terfavorit”, “Tulisan Terbaik”, “Tulisan Terfavorit”, “Tulisan Inspiratif”,
“Tulisan Terheboh”, “Blogger of The Year”, “Komentator of The Year”,
“Komentar Terbaik”, dan “Penghargaan Khusus”.
Tidak hanya ajang Kompasiana Award, sejumlah acara off air lainnya juga
digelar Kompasiana, seperti Kompasianival dan lomba blog #Kompasiana17an
yang ditujukan untuk memotivasi penulis agar lebih produktif. Selain mendapatkan
poin untuk kenaikan level, bagi Kompasianer yang aktif menulis, tulisan mereka
bisa masuk jajaran headline atau highlight.
Jika dikaji lebih jauh, pemberian berbagai penghargaan ini, tidak hanya
sebagai reward atas ‘kerja keras’ para Kompasianer, tetapi juga sebagai upaya
untuk menarik sumber-sumber daya potensial agar ikut bergabung meramaikan
kolom-kolom situs citizen journalism tersebut.

14

Perjalanan Kompasiana meraih popuparitas tidak semulus jalan tol. ‘Perang
urat syaraf’ antar Kompasianer seperti saat suhu politik memanas akibat Pilkada
DKI 2012 dan 2017 serta Pilpres 2014, memaksa para admin bekerja keras memberi
stempel merah pada akun tertentu yang kebanyakan palsu, serta menghapus dan
mengkonfirmasi tulisan yang terlalu tendensius dan berpotensi berdampak negatif.
Bahkan, kanal atau rubrik “Agama” kembali dihapus pada tahun 2012 karena tidak
lagi menjadi ajang diskusi yang sehat soal agama, tetapi justru menjadi ajang saling
serang antar keyakinan. Sebelumnya, kanal tersebut pernah ditutup pada 2009 dan
kembali dibuka pada 2011, namun akhirnya kembali ditutup pada 8 Februari 2012
untuk menghindari tulisan negatif berbau SARA.
Sebagai terobosan menyikapi era konvergensi media, pada awal tahun 2015
Kompasiana mulai berkolaborasi dengan Kompas TV dalam program Prime Time.
Sejumlah

Kompasianer

diundang

dalam

acara

televisi

tersebut

untuk

memperbincangkan topik yang mereka angkat dalam tulisan di Kompasiana. Tidak
hanya itu, tak sedikit Kompasianer yang kemudian menerbitkan buku-buku
inspiratif, dan beberapa tulisan mereka sering dijadikan rujukan oleh media lain.
Saat ini di usianya yang telah menapaki sembilan tahun pada Februari 2017,
Kompasiana telah menjadi blog terbesar di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara
(kompas.com, 23 Februari 2017). Bersamaan dengan peringatan ke-9 tahun
tersebut, Kompasiana meluncurkan logo dan slogan baru yang menegaskan situs
citizen journalism tersebut sebagai platform yang mengakomodir opini atau laporan
warga. Slogan baru tersebut adalah Beyond Blogging. Sedangkan logo baru
Kompasiana,

menggambarkan

peran

serta

mereka

dalam

menyatukan

blogger dengan latar belakang pendidikan, letak geografis, usia, dan minat yang
berbeda namun tetap bersinergi dalam berbagi konten positif.
Dari hasil pengamatan tersebut, terlihat bahwa Kompasiana terus
melakukan berbagai inovasi. Hal ini tampaknya juga dilakukan sebagai langkah
antisipasi atas kehadiran kompetitor yang kini semakin banyak bermunculan dari
pihak media-media mainstream lainnya atau dari situs citizen journalism murni
yang bisa bertahan dan bahkan berkembang. Selain Kompasiana, beberapa online
citizen journalism lainnya yang kini cukup mendapat perhatian di Indonesia, antara
lain “Indonesiana” yang diluncurkan tempo.co pada tahun 2014 dengan ciri khas

15

topik-topik bahasan yang relatif berat; “Pasang Mata” yang dibuat detik.com dan
mengusung konsep kontribusi foto; “Rubik” (Ruang Publik) yang dibuat
okezone.com; serta “Plimbi” yang merupakan transformasi dari portal.paseban.com
dan didominasi konten teknologi selain menghadirkan fiksi. Untuk menarik jurnalis
warga yang mereka sebut “author”, Plimbi memberikan penghargaan berupa poin
untuk rating yang disematkan pembaca, serta hadiah berupa uang bagi penulis yang
mendapat gelar “Best Author of The Month”.
Dinamika citizen journalism yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga di dunia tersebut, tak ayal mendorong banyak pewarta warga untuk senantiasa
melaporkan peristiwa di sekitarnya. Apalagi dengan perkembangan platform media
bagi citizen journalism di era digital sekarang ini, aliran informasi yang semakin
cepat dan terbuka bisa menciptakan suatu era kebebasan berpendapat, dimana tentu
saja kebebasan berpendapat yang dimaksud di sini adalah kebebasan bertanggung
jawab yang tidak berpotensi memecah belah bangsa, tetapi membangun dan
melibatkan publik dalam berbagai lini kehidupan. Dengan demikian, citizen
journalism menjadi peluang yang menjanjikan, sekaligus berkontribusi bagi
percepatan arus informasi dan memperkuat pondasi demokrasi.

Isu Kredibilitas Citizen Journalism
Kode Etik Jurnalistik merupakan hal terpenting bagi pewarta agar tidak
terjebak dalam pelanggaran atas norma-norma aturan yang lebih tinggi. Sebagai
pengganti dari Kode Etik Wartawan Indonesia, Kode Etik Jurnalistik menjadi
landasan hukum bagi setiap wartawan. Dalam hal ini, etika jurnalistik merupakan
standar norma-norma yang harus menjadi acuan bagi wartawan dalam menjalankan
profesinya. Selanjutnya, untuk menghasilkan berita yang sesuai standar profesi,
wartawan harus memahami pengertian berita, nilai berita, unsur berita 5W+1H,
struktur naskah berita, dan bahasa jurnalistik atau bahasa media.
Sebagai pencari dan pengolah berita, pewarta atau jurnalis warga juga harus
memegang kode etik agar karya yang dihasilkan tidak menyimpang atau bahkan
menyesatkan konsumen beritanya. Tokoh pendukung citizen journalism, Dan
Gillmor dan J.D. Lasica mengemukakan five basic principles of citizen journalism
atau lima prinsip dasar jurnalisme warga, yang meliputi accuracy atau ketepatan,

16

thoroughness atau ketelitian, transparency atau keterbukaan, fairness atau
kejujuran, dan independence atau ketidakberpihakan. Dengan kata lain, jurnalis
warga juga harus berdedikasi sebagai jurnalis top-notch (Gillmor dan Lasica, 2009).
Dalam melakukan praktek jurnalistik, jurnalis warga pada umumnya
memiliki perbedaan yang signifikan dengan jurnalis profesional terkait
pengetahuan dan pemahaman pada prinsip-prinsip dasar jurnalistik tersebut. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi media mainstream yang mengakomodasi
kegiatan citizen journalism. Proses gatekeeping pun mau tidak mau harus dilakukan
media-media mainstream untuk menjaga kredibilitas mereka, di samping
menetapkan aturan-aturan tertentu kepada jurnalis warganya sebelum bergabung
dalam segmen berita realtime mereka. Sebagai contoh, untuk menghindari berita
palsu atau berita yang tidak akurat, identitas jurnalis warga Elshinta harus jelas.
Berita yang dikirimkan juga harus bersifat kejadian dan bukan investigasi. Berita
dari jurnalis warga yang baru kali pertama melaporkan juga tidak akan disiarkan
secara langsung dan harus dicek ulang keakuratannya oleh jurnalis profesional
Elshinta.
Jika Elshinta memiliki prosedur operasi standar untuk jurnalis warganya,
maka OhMyNews memiliki Kode Etik Reporter Warga yang menyatakan bahwa
jurnalis warga harus menjelaskan kedudukannya saat meliput berita, tidak
menyebarkan berita palsu, tidak menggunakan bahasa yang vulgar dan menyerang
secara pribadi, tidak menghancurkan reputasi orang dengan melanggar privasi, serta
menggunakan metode yang sah dalam melakukan peliputan. Proses gatekeeping
dilakukan oleh editor di kantor OhMyNews dan sebagai pintu terakhir pengecekan
kebenaran suatu berita dapat dilakukan oleh pembaca melalui komentar-komentar
mereka. Selain hal-hal tersebut, Kurniawan (2007) menyebutkan, kredibilitas
OhMyNews juga dibangun dengan mengharuskan jurnalis warganya memiliki
identitas yang jelas. Dengan kata lain, OhMyNews menerapkan prinsip
Sementara itu, untuk pengelolaan konten, Kompasiana melakukannya
secara simultan. Dimana, setiap artikel yang dibuat Kompasianer akan langsung
ditayangkan, namun gatekeeper tetap akan memoderasi isi konten untuk
memastikan tidak ada yang melanggar syarat dan ketentuan (kompas.com, 23
Februari 2017).

17

Saat ini, strategi semacam itu banyak dipraktekkan oleh media-media
mainstream untuk menjaga kredibilitas mereka sekaligus mengkompromikan dan
menjawab tantangan citizen journalism berupa kurangnya pemahaman pada etika
jurnalistik pada beberapa kasus. Bahkan, tidak hanya proses gatekeeping saja yang
dilakukan, sejumlah media seperti Metro TV, Net TV, dan bahkan CNN melalui
iReport-nya, juga menerapkan agenda setting bagi informasi dari jurnalis
warganya. Dimana, informasi yang sesuai dengan agenda setting media
bersangkutan yang nantinya akan ditayangkan (Kperogi, 2011).
Asumsi dasar teori agenda setting, menurut Bernard C. Cohen (dalam
Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2009) adalah, “The press is significanly more than
a surveyor of information and opinion. It may not be successful much of the time in
telling the people what to think, but it is stunningly successful in telling readers
what to think about. To tell what to think about.” Dalam hal ini, teori agenda setting
berbicara tentang pembentukan persepsi khalayak, yakni mengenai apa yang
dianggap penting untuk dipublikasikan. Terkait segmen citizen journalism, media
mainstream dianggap memegang peranan dalam menentukan isu-isu atau topik apa
saja yang layak dipublikasikan oleh jurnalis warga.
Pembatasan mengenai konten yang boleh tayang atau tidak, memang jamak
dilakukan oleh banyak media mainstream. iReport.com CNN misalnya, melalui
kanal “Assignment Desk”, situs tersebut menyediakan daftar topik yang bisa dipilih
“iReporters” untuk peliputan. Sementara itu, Kompasiana kembali menghapus
kanal “Agama” pada tahun 2012, sebagai upaya untuk menghindari konten-konten
bernuansa agama yang tidak sedikit di antaranya justru berujung pada ujaran
kebencian. Dalam hal ini, Kompasiana terlihat tidak mau dipersalahkan atau
dianggap mendukung ‘perang dalil’ yang bernuansa SARA tersebut. Contohcontoh tersebut menunjukkan bahwa media-media mainstream menetapkan agenda
bagi jurnalis warga mereka.

Penutup
Tren citizen journalism yang dijalankan oleh warga sebagai jurnalis nonprofesional saat ini terus berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Berbeda dengan civic journalism yang muncul sebagai kritik atas

18

praktek jurnalistik di Amerika Serikat pada akhir tahun 90-an, citizen journalism
tidak melibatkan jurnalis profesional dalam proses peliputan oleh warga. Meski
demikian, civic journalism telah membuka pintu bagi tumbuhnya citizen
journalism.
Selanjutnya, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta
lahirnya era digital berbasis internet, semakin menumbuhsuburkan citizen
journalism, terutama di ranah online. Hal ini tidak terlepas dari lahirnya web 2.0
yang memungkinkan netizen untuk menayangkan konten dalam bentuk teks, foto,
dan video. Peningkatan jumlah pengguna dan akses internet sangat potensial ikut
mendorong perkembangan citizen journalism, terutama versi online.
Kemunculan citizen journalism di Indonesia sendiri dipelopori oleh Radio
Elshinta yang mulai mengusung konsep tersebut pada awal tahun 2000-an.
Sedangkan sebagai pioner online citizen journalism di Indonesia, ada Kompasiana
yang dirilis pada tahun 2008 dan kini telah berkembang pesat dengan berbagai
inovasi serta diikuti oleh beberapa media mainstream lainnya di Tanah Air.
Perkembangan platform media bagi citizen journalism di era digital
sekarang ini tak pelak mempercepat aliran informasi dan berpotensi menciptakan
suatu era kebebasan berpendapat dalam arti yang positif. Dengan demikian, citizen
journalism menjadi peluang yang menjanjikan, sekaligus berkontribusi bagi
percepatan arus informasi dan memperkuat pondasi demokrasi.
Kemudian, dalam rangka menjawab tantangan atas isu kredibilitas citizen
journalism yang tak surut diperdebatkan, tidak sedikit media mainstream yang
melakukan proses gatekeeping pada informasi dan berita jurnalis warganya.
Bahkan, selain proses gatekeeping, sejumlah media mainstream menerapkan
agenda setting pada segmen citizen journalism-nya, antara lain dengan membatasi
variasi konten dalam situs mereka.

Referensi
Alamiyah, Syifa Syarifah (2015). “Peluang dan Tantangan Citizen Journalism di
Indonesia.” Jurnal Imu Komunikasi Vol. 7(2): 27-38.
Ardianto, Elvinaro; Komala, Lukiati; dan Karlinah, Siti (2004). Komunikasi Massa:
Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

19

Badan Pusat Statistik (2003). “Statistik Sosial Budaya, Hasil Susenas.” National
Survey Result, halaman 19-26. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bhaskoro, Avi Tejo (2014). Saingi Kompasiana, Tempo Luncurkan Media
Jurnalisme Warga Indonesiana. Diakses pada 5 Desember 2017 dari
https://dailysocial.id/post/saingi-kompasiana-tempo-luncurkan-mediajurnalisme-warga-indonesiana
Berkman, I. Robert and Christopher A. Shumway (2003). Digital Dilema: Ethical
Issues for Online Media Proffesionals. US: Iowa State Press.
Bowman, Shayne and Willis, Chris (2003). We Media: How Audiences are Shaping
the Future of News and Information. US: The Media Center at American
Press Institute.
Gillmor, Dan and Lasica, J.D. (2009). The Online Journalism Handbook: Citizen
Journalism Basics. Diakses pada 4 Oktober 2017 dari
http://bighow.com/guides/the-online-journalism-handbook-citizenjournalism-basics
Jaka, Aluysius (2017). Citizen Journalism Terunik di Indonesia. Diakses pada 4
Oktober 2017 dari https://www.kompasiana.com/nuwunsewu/citizenjournalism-terunik-di-indonesia_58dcc9d64323bd8a20fc6343
Kompas.com (23 Februari 2017). Yang Baru dari Kompasiana, Lebih dari Sekadar
Ngeblog.
Diakses
pada
5
Desember
2017
dari
http://tekno.kompas.com/read/2017/02/23/18392767/yang.baru.dari.kompa
siana.lebih.dari.sekadar.ngeblog
Kurniawan, Moch. Nunung (2007). “Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek, dan
Tantangannya.” Makara, Sosial Humaniora Vol. 11(2): 71-78. Diakses
pada
4
Oktober
2017
dari
hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/115/88
Lasica, J. D. (2003). What is Participatory Journalism? Diakses pada 4 Oktober
2017
dari
http://www.jdlasica.com/journalism/what-is-participatoryjournalism/
McQuail, Denis (2011). Teori Komunikasi Massa McQuail. Edisi 6 (Buku1).
Diterjemahkan oleh Putri Iva Izzati. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Nip, Joyce Y.M. (2006). “Exploring the Second Phase of Public Journalism.”
Journalism Studies Vol. 7(2): 212–236.
Nugraha, Pepih (2012). Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan
Pengalaman. Jakarta: Kompas.
Nugraha, Pepih (2015). Kompasiana Menurut Google Analitycs. Diakses pada 5
Desember
2017
dari

20

https://www.kompasiana.com/pepihnugraha/kompasiana-menurut-googleanalitycs_54fd2749a333112e3550f93d
Outing, Steve (2005). The 11 Layers of Citizen Journalism. Diakses pada 4 Oktober
2017 dari https://www.poynter.org/news/11-layers-citizen-journalism
Poster, Mark (1999). “Underdetermination.” New Media and Society Vol. 1(1): 1217. London: SAGE Publications.
Tamburaka, Apriadi (2013). Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media
Massa (Cetakan Ke-1). Jakarta: Rajawali Press.
Thurman, N. (2008). “Forums for Citizen Journalists? Adoption of User Henerated
Content Initiatives by Online News Media.” New Media amd Society Vol.
10(1): 139–57.
Wijayana, N. H. dan Luqman, Y. (2009). Studi Kasus tentang Perkembangan
Citizen Journalism di Indonesia. Diakses pada 15 September 2017 dari
http://eprints.undip.ac.id/33925/1/
Wood, F. Andrew and Smith, Matthew J. (2005). Online Communication. London:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

21