Gotong Royong Pemberdayaan Hak Asasi Man
Gotong Royong : Pemberdayaan, Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial
Disusun oleh :
Bonifatius Tulus Sunyoto, S.Sos, M.Sc
I.
Pendahuluan
Pembangunan sebagai sebuah pemberdayaan masyarakat tentunya tidak bisa lepas dari
konsep
pemikiran
bahwa
pemberdayaan
bertujuan
untuk
meningkatkan
keberdayaan/kekuatan dari yang kurang berdaya. Pernyataan ini mengandung 2 konsep
penting, yaitu: kekuasaan/kekuatan (power) dan ketidakberdayaan (disadvantage)
terhadap akses sumber daya (resource endowments). Sebuah pemberdayaan mutlak untuk
mendistribusikan kekuasaan dari kaum “berpunya” kepada kaum “tak berpunya”, dan
sebagainya. Dalam pendistribusian “power” dari yang berdaya kepada yang tidak berdaya
bisa melalui berbagai hal salah satunya adalah gotong royong. Konsep gotong royong
yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia sebagai alternative cara pemberdayaan
masyarakat akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dalam konteks sebagai pemberdayaan,
selain itu gotong royong akan dicoba dipahami dari prespektif Hak asasi Manusia dan
Keadilan Sosial.
II.
Pemahaman Gotong royong.
Kata gotong royong pada awalnya hidup dalam masyarakat yang hidup dalam mata
pencaharian sebagai petani tradisional. Ketika petani menggarap tanah, mereka
memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk mencangkul tanah, menanam benih,
mengatur saluran air, memupuk tanaman dan menyiangi tanaman. Demikian juga pada
saat musim panen tiba. Warga masyarakat bergotong royong memetik padi,
mengeringkannya, dan memasukkannya ke dalam lumbung.
Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong,
Akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban
masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya
keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan
menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan
atau komunitas tradisional. (Pasya, 2013).
Dalam konteks kesatuan bangsa, Indonesia sebagai sebuah kesatuan tujuan membangun
kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang digali oleh Ir. Sukarno, di dalamnya
mengandung lima sila yaitu :
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia
Bila diintrepretasikan kelima sila itu bisa menjadi satu makna saja yaitu Gotong -royong.
(Adams, 1996). Sukarno mengartikan Gotong royong yaitu pembantingan-tulang
bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama (Adams, 1966).
Spirit kebersamaan untuk bersama-sama membangun. Kepentingan bersama diutamakan
daripada kepentingan pribadi atau individu. Subejo (2011) menulis pengalamannya
mengenai masyarakat Jepang menghadapi efek Gempa Jepang 2010 dimana ketika
Jepang dilanda Gempa dan Tsunami sehingga mengakibatkan kekurangan persediaan
pangan dan air bersih tetapi tidak dilaporkan adanya penimbunan bahan makanan,
penjarahan, spekulasi harga pangan. Pembangunan nilai untuk membangun kerjasama
dan semangat kebersamaan untuk saling membantu menghadapi bencana telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Modernisasi tidak mampu menggerus spirit
kebersamaan, saling percaya dan tidak mementingkan diri sendiri. Spirit yang disebut
“murashakai” menawarkan sebuah dukungan mutualisme didalam masyarakat.
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari
pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di
dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan.(Subejo, 2013)
III.
Gotong royong sebagai Pemberdayaan
Indonesia pada era tahun-tahun awal kemerdekaan semangat kebersamaan untuk saling
rela berkorban dan saling membantu (gotong royong) demi kepentingan bangsa dan
negara sangat dijunjung tinggi. Modal sosial inilah sebenarnya yang bisa menjadi sebuah
alternative untuk membangun keterpurukan bangsa Indonesia dari penjajahan. Semangat
“Hololobis Kuntul Baris” membawa manusia Indonesia seutuhnya menjadi sebuah
kesatuan
bangsa
yang
holistic.
Semangat
gotong
royong,
saling
membantu
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi menjadi sebuah modal
sosial yang saat itu dibanggakan.
Pembangunan dimana tujuannya adalah kesejahteraan bagi rakyat merupakan kondisi
kehidupan terbaik , terpenuhi kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual,
kebutuhan sosial dengan tatanan yang teratur, konflik dalam kehidupan dapat dikelola,
keamanan dapat terjamin, keadilan ditegakan, tidak ada kesenjangan ekonomi. Semuanya
ini dapat tercipta dalam kehidupan bersama baik dalam keluarga, komunitas maupun
masyarakat luas apabila masyarakat masih memiliki modal sosial yaitu semangat
kebersamaan dalam konteks ini gotong royong. Sebuah kekurangan ekonomi seseorang
dalam sebuah masyarakat yang masih kuat jiwa gotong royongnya akan bisa diatasi
secara bersama-sama oleh komunitas itu. Sebuah kesulitan individu akan menjadi
tanggungan bersama dalam komunitas.
Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan,
karena di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem
upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong,
sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem
upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama
dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat
(Sajogyo,1992) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
1.
Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang
sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari
tetangga-tetangganya dan orang lain sedesa;
2.
Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap
rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus,
menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan
tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi bantuan makanan;
3.
Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya,
bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari
tetangga-tetangganya,
untuk
mempersiapkan
dan
penyelenggaraan
pestanya;
4.
Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum
dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan
irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa dapat tergerak
untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Contoh yang dikemukakan diatas menjadikan gotong-royong seolah-olah identik dengan
kerja bakti padahal pada perkembangannya gotong royong telah lama
berkembang
menjadi berbagai macam yang tidak terbelenggu dalam kerja fisik saja, misalnya adanya
program Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Ambangun Ngayogyakarto) yang
diluncurkan Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai pengoptimalan potensi gotong royong
untuk pembangunan. Dalam program Segoro Amarto ini salah satu pengembangannya
Tabungan Warga untuk Pendidikan yaitu sebuah program menggugah semangat gotong
royong warga untuk bisa menyisihkan kekayaannya secara bersama-sama untuk dikelola
bersama-sama membantu pembiayaan sekolah anak usia pendidikan yang kurang mampu
di lingkungannya. Pembiayaan sekolah tidak hanya terfokus pada biaya SPP tetapi juga
berfokus pada penyediaan saran belajar siswa yang kurang mampu (contoh : buku tulis,
sepatu,seragam dsb). Sebuah share kekuatan terjadi dalam program ini.
Sebagai sebuah modal social, gotong royong terbangun ketika ada kepercayaan terhadap
sebuah norma bahwa ketika seseorang terlibat dalam membantu kepentingan umum atau
kepentingan individu lain yang berkesusahan maka ketika seseorang itu berkesusahan
maka orang lain akan bersama-sama membantu. Azas timbal balik untuk saling
menyalurkan kekuatan / tenaga kepada yang tidak berdaya.
Gotong-royong banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang
dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam
bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan
secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai
kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai
bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan
menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan;
memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada
bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan
seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong
dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan
di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga
komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan
bersama.(Pasya, 2013). Fakta seperti yang diungkapkan menggambarkan gotong royong
sangat identik dengan pemberdayaan karena pemberdayaan memiliki dua pemahaman
yang pertama sebagai upaya memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan yang kedua upaya memberikan kemampuan
atau keberdayaan. (Sunartiningsih,2004)
Sebagai sebuah gerakan dalam masyarakat gotong royong mampu mengaktualisasi
Pemberdayaan sebagai sebuah share power karena pemberdayaan dalam prespektif
pluralis adalah sebuah proses menolong kelompok dan individu yang kurang berdaya
untuk bersaing secara lebih efektif diantara berbagai kepentingan, dengan membantu
mereka belajar dan menggunakan keterampilan dalam melobi, penggunaan media,
terlibat dalam kegiatan politik, memahami bagaimana “sebuah sistem bekerja” dan
sebagainya (Ife, 2006).
IV.
Gotong royong dalam gagasan Hak Asasi Manusia
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk
membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi
seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang
pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat
orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong
ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya
imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan,
begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah
menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh
bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama. Apabila seseorang tidak mau
terlibat dalam kegiatan gotong royong di wilayahnya
maka akan ada sanksi sosial
sebagai konsekuensi dari sebuah penyimpangan dari norma yang sudah disepakati dari
gotong royong sebagai modal sosial.
Sanksi dan pemaksaan terhadap hak individu inilah yang sering dikritik oleh beberapa
ahli barat khususnya yang beraliran liberal sebagai sebuah pelanggaran HAM. Hak Asasi
Manusia dalam pandangan liberal barat hak individu (HAM) merupakan sebuah konsep
dimana setiap individu dapat bebas melakukan apa yang mereka senangi, sehingga segala
macam pengengkangan terhadap hak bersikap dan berperilaku individu dalam suatu
komunitas dipandang sebagai sebuah pelanggran Hak Asasi Manusia.
Dalam menyikapi kritik dari kaum liberalis barat kita harus bisa mengembalikan lagi
konsep Hak Asasi Manusia sebagai paradoks untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
terhadap komunitas atau individu yang lain. Gandhi mengungkap (Ife,2006) hak asasi
tidak diimplikasikan sebagai setiap individu dapat bebas melakukan apa yang mereka
senangi (implikasi HAM Barat), tetapi kebebasan sebagai sebuah kemampuan membuat
keputusan yang membuat seseorang bisa memenuhi kewajibannya kepada orang lain.
Maka hak kebebasan adalah paradoks dari hak untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.
Dalam konteks sebuah bangsa Ife (2006) mengungkapkan Hak Asasi Manusia
menunjukan kewajiban Negara untuk warga negaranya dan warga Negara terhadap warga
Negara yang lain, dimana Negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa HAM
warga Negara dilindungi dan diwujudkan, melalui penyediaan layanan kesehatan,
pendidikan, perumahan, jaminan pendapatan, kesempatan ekonomi dan perlindungan
lingkungan serta warga Negara mampu menghargai pewujudan HAM warga Negara yang
lain. Dalam gagasan ini terkandung sebuah makna bahwa setiap negara dan warga negara
mempunyai kewajiban untuk mampu melindungi kebutuhan dasar warga negara yang
lain, gotong royong memungkinkan aplikasi perlindungan pemenuhan hak dasar warga
negara yang tidak mampu.
Gotong royong sebagai sebuah pemberdayaan tentunya menuntut ada pengurangan hak
dari yang mampu kepada yang tidak mampu karena kembali kepada konsep
pemberdayaan yaitu sebagai sebuah share power. Sebenarnya masalah yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana proses pengurangan hak dari yang berdaya kepada yang
tidak berdaya tidak menjadikan beban atau menimbulkan masalah baru yang membuat
kelompok yang awalnya berdaya jadi tidak berdaya. Oleh karena itu dalam konteks
Gotong royong sebagai sebuah pemberdayaan di masing-masing wilayah memiliki ciri
khas dan pengembangan dalam upaya menjawab tantangan dalam dinamika masyarakat
yang selalu berkembang. Contohnya adalah adanya pengembangan model “titip ronda”
dimana ronda sebagai sebuah system gotong royong untuk menjaga keamanan secara
bersama-sama kadang menjadi kesulitan bagi sebagian warga yang harus bekerja secara
formal maka diberikan kebijaksanaan untuk mengganti kewajiban rondanya dengan
menyetor sejumlah materi sebagai wujud dukungan kepada kegiatan ronda. Tentu saja
roh dari ronda sebagai sebuah gotong royong tidak boleh lepas menjadi sebuah system
keamanan berbayar, tetapi tetap harus berdasarkan semangat kerjasama untuk
meningkatkan keberdayaan komunitas.
V.
Gotong Royong Dalam Perspektif Keadilan Sosial
Sila kelima dari Pancasila berbunyi “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,
yang menyiratkan bahwa sebuah masyarakat Indonesia yang memiliki kesetaraan sosial
merupakan sebuah dasar dibentuknya Negara Republik Indonesia. berbicara mengenai
Keadialn Sosial kita harus bisa mengingat kembali mengenai konsep Teori keadilan
dikembangkan oleh John Rawls (Ife, 2006) dengan tiga prinsip keadilan, yaitu:
kesetaraan dalam kebutuhan dasar, kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan untuk
kemajuan, dan diskriminasi positif bagi mereka yang tidak beruntung dalam rangka
menjamin kesetaraan. Hal prinsip yang perlu dicatat tentang prinsip-prinsip Rawl adalah
bahwa prinsip-prinsip tersebut secara normal akan dipahami sebagai hal yang diterapkan
kepada individu-individu. Akan tetapi analisis dari suatu perspektif individual hanyalah
salah satu cara untuk memahami isu-isu sosial dan keadilan sosial.
Gotong royong sebagai sebuah gerakan masyarakat memiliki tiga prinsip keadilan yang
dikemukakan oleh John Rawls.
1.
Gotong royong mampu membuat kesetaraan dalam kebutuhan dasar
Melalui gotong royong individu diajak untuk bisa memahami dan membantu
memenuhi kebutuhan dasar dari individu yang lain. Seorang individu dalam
sebuah komunitas yang masih kental nilai gotong royongnya akan menjadikan
kesusahan orang lain menjadi kesusahan bagi komunitas. Sehingga sebuah system
pengamanan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar umumnya disediakan oleh
komunitas itu melalui sebuah gerakan gotong royong. Susetiawan (2009)
mengungkapkan dengan gotong royong yang masih kental, sebuah komunitas
memegang peranan penting bahwa kesejahteraan seseorang sangat ditentukan
oleh bagaimana komunitas mengelola institusi kesejahteraan yang menjamin para
anggotanya. Pada masa lalu desa-desa di Jawa memiliki lumbung padi. Lumbung
ini menjadi cadangan pangan bagi penduduk desa tatkala paceklik terjadi.
Lumbung padi yang dihimpun dari pengumpulan padi setiap penduduk esensinya
adalah ketahanan komunitas, yakni kedaulatan pangan (food sovereignity)
sekaligus adalah ketahanan pangan (food security) bagi penduduk desa. Tentu
dalam kehidupan bersama, desa selalu memiliki institusi resolusi konflik.
Harmoni menjadi bagian yang didambakan untuk memahami kesejahteraan.
Saling menjamin antartetangga jika terjadi kesulitan.
2.
Gotong royong mampu memenuhi kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan
untuk kemajuan
Sebuah komunitas yang memiliki nilai gotong royong yang masih tinggi akan
memberikan kesempatan bagi anggotanya yang tidak berdaya memiliki
kesempatan untuk bisa lebih berdaya (maju) dengan disokong oleh kebersamaan
dalam komunitas tersebut. Program UPPKS (Usaha Peningkatan Perekonomian
Keluarga Sejahtera) yang diluncurkan oleh BKKBN mungkin sebagai salah satu
bentuk apresiasi dari system “gotong royong” untuk bisa memberikan kesempatan
berusaha mencapai kehidupan ekonomi yang lebih baik melalui penggunaan
stimulant bantuan dana bagi kader-kader KB supaya bisa bersama membuat usaha
ekonomi. Kader-kader KB diajak untuk mengatasi kesulitan ekonomi secara
bersama dengan menanggalkan sikap individualism. Usaha yang dikembangkan
menjadi sebuah usaha bersama untuk perbaikan ekonomi secara bersama. Dengan
semangat gotong royong pencapaian untuk mendapatkan kesempatan maju akan
didorong oleh komunitas, dimana dalam komunitas ini akan saling berbagi
kemampuan (ekonomi, manajerial, ketrampilan dll) untuk bisa meningkatkan
kapasitas dan kompetensi anggota komunitas sehingga tercapai sebuah keadilan
sosial.
3.
Gotong royong menjamin diskriminasi positif bagi mereka yang tidak beruntung
dalam rangka menjamin kesetaraan
Individu dalam perjalanan hidupnya tentunya mengalami kesulitan, sebuah
kenyataan bahwa manusia tidak akan selamanya bahagia. Gotong royong
menawarkan jaminan perlakuan diskriminasi dalam arti yang positif agar individu
atau kelompok dalam komunitas bisa terjamin kesetaraannya seperti individu atau
kelompok yang lain dalam komunitas tersebut. Sesuai dengan prinsip gotong
royong yaitu solidaritas antar sesama sebagai rasa kemanusian, Pertolongan yang
diberikan pada warga atau orang yang mengalami musibah merupakan kewajiban
yang harus dipikul bersama dan harus dipelihara sepanjang masa dan tanpa
adanya permintaan dari warga yang mengalami musibah tersebut. Dengan
demikian, bahwa tolong menolong dalam menghadapi bencana dianggap
kewajiban sebagai umat manusia untuk menolong antar tanpa adanya rasa pamrih
dari orang yang pernah ditolongnya. (Pasya, 2013)
Realita yang ada saat ini masyarakat Gunung Kidul -sebagai sebuah komunitas
yang masih kuat nilai gotong royongnya- ketika mereka menengok sanak
keluarganya atau tetangganya yang sedang menderita sakit dan harus dirawat di
rumah sakit, mereka satu persatu menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada si
sakit atau keluarganya. Ini adalah sebuah rasionalitas dimana penderitaan dipikul
secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Kiranya banyak hal yang
ditegakkan oleh komunitas ini sebagai sebuah institusi kesejahteraan. Atau bagi
anak-anak desa atau kampung biaya pendidikan seringkali juga dibantu oleh
keluarga yang mampu.
VI.
Penutup.
Gotong royong sebagai salah satu cirri khas masyarakat di Indonesia ternyata merupakan
sebuah tawaran yang jitu dalam pembangunan dengan konsep pemberdayaan. Karena
gotong royong mencakup sebuah alternative strategi pembangunan yang berprinsip pada
pemberdayaan. Perlu kita mengerti juga bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan
pembangunan secara ekonomi atau fisik semata tetapi juga mencakup pembangunan
spirit dan kompetensi manusia. Gotong royong mampu memberikan sebuah warna solusi
bagi pembangunan manusia secara holistic karena di dalamnya mencakup dasar dari
pembangunan sebagai Hak asasi manusia dan pembangunan sebagai sebuah proses
mencapai keadilan sosial.
Hal yang mungkin perlu diwaspadai adalah bahaya globalisasi yang cenderung
menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia individualis. Induksi budaya individualis
yang akan menggerus local wisdom yaitu gotong royong (sebagai sebuah spirit kerjasama
membangun) harus bisa dibendung oleh Pemerintah sebagai salah satu pengambil
kebijakan. Karena ketika sebuah bangsa kehilangan kebersamaannya maka tujuan untuk
bisa bersama-sama membuat perubahan yang lebih baik bagi negara menjadi hilang
akibatnya negara tidak akan pernah mencapai arti pembangunan itu sendiri.
Daftar Pustaka
1. Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung
Agung. Jakarta
2. Friedmann, John 1992. EMPOWERMENT The Politics of Alternative Development.
Blacwell Publisher. USA
3. Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2006 Community Development. Pearson Education.
Australia.
4. Pasya, Gurniwan Kamil. 2013 Gotong Royong Dalam Kehidupan Masyarakat.
Universitas Pendidikan Indonesia.
5. Sajogyo dan Sajogyo, Pudjiwati. 1992. Sosiologi Pedesaan. Jilid 1 dan 2. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
6. Subejo. 2011 Behaviours and Mentality of Japanese Community in Coping natural
Disasters. The Jakarta Post. Jakarta.
7. ___________, 2013 Power of Community : Bagi Pembangunan Pertanian dan
Perekonomian di Indonesia. UGM. Yogyakarta.
8. Sunartiningsih, Agnes (ed.). 2004 Strategi pemberdayaan Masyarakat. Aditya Media.
Yogyakarta
9. Susetiawan. 2009 Working Paper : Pembangunan Dan Kesejahteraan Masyarakat:
Sebuah Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme. PSPK
UGM. Yogyakarta.
10. Mudiyono. 2013. Makalah : Strategi Pembangunan Yang Memihak Rakyat. UGM.
Yogyakarta.
Disusun oleh :
Bonifatius Tulus Sunyoto, S.Sos, M.Sc
I.
Pendahuluan
Pembangunan sebagai sebuah pemberdayaan masyarakat tentunya tidak bisa lepas dari
konsep
pemikiran
bahwa
pemberdayaan
bertujuan
untuk
meningkatkan
keberdayaan/kekuatan dari yang kurang berdaya. Pernyataan ini mengandung 2 konsep
penting, yaitu: kekuasaan/kekuatan (power) dan ketidakberdayaan (disadvantage)
terhadap akses sumber daya (resource endowments). Sebuah pemberdayaan mutlak untuk
mendistribusikan kekuasaan dari kaum “berpunya” kepada kaum “tak berpunya”, dan
sebagainya. Dalam pendistribusian “power” dari yang berdaya kepada yang tidak berdaya
bisa melalui berbagai hal salah satunya adalah gotong royong. Konsep gotong royong
yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia sebagai alternative cara pemberdayaan
masyarakat akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dalam konteks sebagai pemberdayaan,
selain itu gotong royong akan dicoba dipahami dari prespektif Hak asasi Manusia dan
Keadilan Sosial.
II.
Pemahaman Gotong royong.
Kata gotong royong pada awalnya hidup dalam masyarakat yang hidup dalam mata
pencaharian sebagai petani tradisional. Ketika petani menggarap tanah, mereka
memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk mencangkul tanah, menanam benih,
mengatur saluran air, memupuk tanaman dan menyiangi tanaman. Demikian juga pada
saat musim panen tiba. Warga masyarakat bergotong royong memetik padi,
mengeringkannya, dan memasukkannya ke dalam lumbung.
Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong,
Akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban
masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya
keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan
menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan
atau komunitas tradisional. (Pasya, 2013).
Dalam konteks kesatuan bangsa, Indonesia sebagai sebuah kesatuan tujuan membangun
kita memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang digali oleh Ir. Sukarno, di dalamnya
mengandung lima sila yaitu :
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia
Bila diintrepretasikan kelima sila itu bisa menjadi satu makna saja yaitu Gotong -royong.
(Adams, 1996). Sukarno mengartikan Gotong royong yaitu pembantingan-tulang
bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama (Adams, 1966).
Spirit kebersamaan untuk bersama-sama membangun. Kepentingan bersama diutamakan
daripada kepentingan pribadi atau individu. Subejo (2011) menulis pengalamannya
mengenai masyarakat Jepang menghadapi efek Gempa Jepang 2010 dimana ketika
Jepang dilanda Gempa dan Tsunami sehingga mengakibatkan kekurangan persediaan
pangan dan air bersih tetapi tidak dilaporkan adanya penimbunan bahan makanan,
penjarahan, spekulasi harga pangan. Pembangunan nilai untuk membangun kerjasama
dan semangat kebersamaan untuk saling membantu menghadapi bencana telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Modernisasi tidak mampu menggerus spirit
kebersamaan, saling percaya dan tidak mementingkan diri sendiri. Spirit yang disebut
“murashakai” menawarkan sebuah dukungan mutualisme didalam masyarakat.
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari
pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di
dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan.(Subejo, 2013)
III.
Gotong royong sebagai Pemberdayaan
Indonesia pada era tahun-tahun awal kemerdekaan semangat kebersamaan untuk saling
rela berkorban dan saling membantu (gotong royong) demi kepentingan bangsa dan
negara sangat dijunjung tinggi. Modal sosial inilah sebenarnya yang bisa menjadi sebuah
alternative untuk membangun keterpurukan bangsa Indonesia dari penjajahan. Semangat
“Hololobis Kuntul Baris” membawa manusia Indonesia seutuhnya menjadi sebuah
kesatuan
bangsa
yang
holistic.
Semangat
gotong
royong,
saling
membantu
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi menjadi sebuah modal
sosial yang saat itu dibanggakan.
Pembangunan dimana tujuannya adalah kesejahteraan bagi rakyat merupakan kondisi
kehidupan terbaik , terpenuhi kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual,
kebutuhan sosial dengan tatanan yang teratur, konflik dalam kehidupan dapat dikelola,
keamanan dapat terjamin, keadilan ditegakan, tidak ada kesenjangan ekonomi. Semuanya
ini dapat tercipta dalam kehidupan bersama baik dalam keluarga, komunitas maupun
masyarakat luas apabila masyarakat masih memiliki modal sosial yaitu semangat
kebersamaan dalam konteks ini gotong royong. Sebuah kekurangan ekonomi seseorang
dalam sebuah masyarakat yang masih kuat jiwa gotong royongnya akan bisa diatasi
secara bersama-sama oleh komunitas itu. Sebuah kesulitan individu akan menjadi
tanggungan bersama dalam komunitas.
Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan,
karena di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem
upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong,
sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem
upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama
dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat
(Sajogyo,1992) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
1.
Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang
sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari
tetangga-tetangganya dan orang lain sedesa;
2.
Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap
rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus,
menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan
tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi bantuan makanan;
3.
Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya,
bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari
tetangga-tetangganya,
untuk
mempersiapkan
dan
penyelenggaraan
pestanya;
4.
Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum
dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan
irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa dapat tergerak
untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Contoh yang dikemukakan diatas menjadikan gotong-royong seolah-olah identik dengan
kerja bakti padahal pada perkembangannya gotong royong telah lama
berkembang
menjadi berbagai macam yang tidak terbelenggu dalam kerja fisik saja, misalnya adanya
program Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Ambangun Ngayogyakarto) yang
diluncurkan Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai pengoptimalan potensi gotong royong
untuk pembangunan. Dalam program Segoro Amarto ini salah satu pengembangannya
Tabungan Warga untuk Pendidikan yaitu sebuah program menggugah semangat gotong
royong warga untuk bisa menyisihkan kekayaannya secara bersama-sama untuk dikelola
bersama-sama membantu pembiayaan sekolah anak usia pendidikan yang kurang mampu
di lingkungannya. Pembiayaan sekolah tidak hanya terfokus pada biaya SPP tetapi juga
berfokus pada penyediaan saran belajar siswa yang kurang mampu (contoh : buku tulis,
sepatu,seragam dsb). Sebuah share kekuatan terjadi dalam program ini.
Sebagai sebuah modal social, gotong royong terbangun ketika ada kepercayaan terhadap
sebuah norma bahwa ketika seseorang terlibat dalam membantu kepentingan umum atau
kepentingan individu lain yang berkesusahan maka ketika seseorang itu berkesusahan
maka orang lain akan bersama-sama membantu. Azas timbal balik untuk saling
menyalurkan kekuatan / tenaga kepada yang tidak berdaya.
Gotong-royong banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang
dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam
bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan
secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai
kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai
bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan
menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan;
memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada
bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan
seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong
dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan
di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga
komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan
bersama.(Pasya, 2013). Fakta seperti yang diungkapkan menggambarkan gotong royong
sangat identik dengan pemberdayaan karena pemberdayaan memiliki dua pemahaman
yang pertama sebagai upaya memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan yang kedua upaya memberikan kemampuan
atau keberdayaan. (Sunartiningsih,2004)
Sebagai sebuah gerakan dalam masyarakat gotong royong mampu mengaktualisasi
Pemberdayaan sebagai sebuah share power karena pemberdayaan dalam prespektif
pluralis adalah sebuah proses menolong kelompok dan individu yang kurang berdaya
untuk bersaing secara lebih efektif diantara berbagai kepentingan, dengan membantu
mereka belajar dan menggunakan keterampilan dalam melobi, penggunaan media,
terlibat dalam kegiatan politik, memahami bagaimana “sebuah sistem bekerja” dan
sebagainya (Ife, 2006).
IV.
Gotong royong dalam gagasan Hak Asasi Manusia
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk
membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi
seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang
pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat
orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong
ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya
imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan,
begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah
menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh
bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama. Apabila seseorang tidak mau
terlibat dalam kegiatan gotong royong di wilayahnya
maka akan ada sanksi sosial
sebagai konsekuensi dari sebuah penyimpangan dari norma yang sudah disepakati dari
gotong royong sebagai modal sosial.
Sanksi dan pemaksaan terhadap hak individu inilah yang sering dikritik oleh beberapa
ahli barat khususnya yang beraliran liberal sebagai sebuah pelanggaran HAM. Hak Asasi
Manusia dalam pandangan liberal barat hak individu (HAM) merupakan sebuah konsep
dimana setiap individu dapat bebas melakukan apa yang mereka senangi, sehingga segala
macam pengengkangan terhadap hak bersikap dan berperilaku individu dalam suatu
komunitas dipandang sebagai sebuah pelanggran Hak Asasi Manusia.
Dalam menyikapi kritik dari kaum liberalis barat kita harus bisa mengembalikan lagi
konsep Hak Asasi Manusia sebagai paradoks untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
terhadap komunitas atau individu yang lain. Gandhi mengungkap (Ife,2006) hak asasi
tidak diimplikasikan sebagai setiap individu dapat bebas melakukan apa yang mereka
senangi (implikasi HAM Barat), tetapi kebebasan sebagai sebuah kemampuan membuat
keputusan yang membuat seseorang bisa memenuhi kewajibannya kepada orang lain.
Maka hak kebebasan adalah paradoks dari hak untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.
Dalam konteks sebuah bangsa Ife (2006) mengungkapkan Hak Asasi Manusia
menunjukan kewajiban Negara untuk warga negaranya dan warga Negara terhadap warga
Negara yang lain, dimana Negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa HAM
warga Negara dilindungi dan diwujudkan, melalui penyediaan layanan kesehatan,
pendidikan, perumahan, jaminan pendapatan, kesempatan ekonomi dan perlindungan
lingkungan serta warga Negara mampu menghargai pewujudan HAM warga Negara yang
lain. Dalam gagasan ini terkandung sebuah makna bahwa setiap negara dan warga negara
mempunyai kewajiban untuk mampu melindungi kebutuhan dasar warga negara yang
lain, gotong royong memungkinkan aplikasi perlindungan pemenuhan hak dasar warga
negara yang tidak mampu.
Gotong royong sebagai sebuah pemberdayaan tentunya menuntut ada pengurangan hak
dari yang mampu kepada yang tidak mampu karena kembali kepada konsep
pemberdayaan yaitu sebagai sebuah share power. Sebenarnya masalah yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana proses pengurangan hak dari yang berdaya kepada yang
tidak berdaya tidak menjadikan beban atau menimbulkan masalah baru yang membuat
kelompok yang awalnya berdaya jadi tidak berdaya. Oleh karena itu dalam konteks
Gotong royong sebagai sebuah pemberdayaan di masing-masing wilayah memiliki ciri
khas dan pengembangan dalam upaya menjawab tantangan dalam dinamika masyarakat
yang selalu berkembang. Contohnya adalah adanya pengembangan model “titip ronda”
dimana ronda sebagai sebuah system gotong royong untuk menjaga keamanan secara
bersama-sama kadang menjadi kesulitan bagi sebagian warga yang harus bekerja secara
formal maka diberikan kebijaksanaan untuk mengganti kewajiban rondanya dengan
menyetor sejumlah materi sebagai wujud dukungan kepada kegiatan ronda. Tentu saja
roh dari ronda sebagai sebuah gotong royong tidak boleh lepas menjadi sebuah system
keamanan berbayar, tetapi tetap harus berdasarkan semangat kerjasama untuk
meningkatkan keberdayaan komunitas.
V.
Gotong Royong Dalam Perspektif Keadilan Sosial
Sila kelima dari Pancasila berbunyi “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,
yang menyiratkan bahwa sebuah masyarakat Indonesia yang memiliki kesetaraan sosial
merupakan sebuah dasar dibentuknya Negara Republik Indonesia. berbicara mengenai
Keadialn Sosial kita harus bisa mengingat kembali mengenai konsep Teori keadilan
dikembangkan oleh John Rawls (Ife, 2006) dengan tiga prinsip keadilan, yaitu:
kesetaraan dalam kebutuhan dasar, kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan untuk
kemajuan, dan diskriminasi positif bagi mereka yang tidak beruntung dalam rangka
menjamin kesetaraan. Hal prinsip yang perlu dicatat tentang prinsip-prinsip Rawl adalah
bahwa prinsip-prinsip tersebut secara normal akan dipahami sebagai hal yang diterapkan
kepada individu-individu. Akan tetapi analisis dari suatu perspektif individual hanyalah
salah satu cara untuk memahami isu-isu sosial dan keadilan sosial.
Gotong royong sebagai sebuah gerakan masyarakat memiliki tiga prinsip keadilan yang
dikemukakan oleh John Rawls.
1.
Gotong royong mampu membuat kesetaraan dalam kebutuhan dasar
Melalui gotong royong individu diajak untuk bisa memahami dan membantu
memenuhi kebutuhan dasar dari individu yang lain. Seorang individu dalam
sebuah komunitas yang masih kental nilai gotong royongnya akan menjadikan
kesusahan orang lain menjadi kesusahan bagi komunitas. Sehingga sebuah system
pengamanan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar umumnya disediakan oleh
komunitas itu melalui sebuah gerakan gotong royong. Susetiawan (2009)
mengungkapkan dengan gotong royong yang masih kental, sebuah komunitas
memegang peranan penting bahwa kesejahteraan seseorang sangat ditentukan
oleh bagaimana komunitas mengelola institusi kesejahteraan yang menjamin para
anggotanya. Pada masa lalu desa-desa di Jawa memiliki lumbung padi. Lumbung
ini menjadi cadangan pangan bagi penduduk desa tatkala paceklik terjadi.
Lumbung padi yang dihimpun dari pengumpulan padi setiap penduduk esensinya
adalah ketahanan komunitas, yakni kedaulatan pangan (food sovereignity)
sekaligus adalah ketahanan pangan (food security) bagi penduduk desa. Tentu
dalam kehidupan bersama, desa selalu memiliki institusi resolusi konflik.
Harmoni menjadi bagian yang didambakan untuk memahami kesejahteraan.
Saling menjamin antartetangga jika terjadi kesulitan.
2.
Gotong royong mampu memenuhi kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan
untuk kemajuan
Sebuah komunitas yang memiliki nilai gotong royong yang masih tinggi akan
memberikan kesempatan bagi anggotanya yang tidak berdaya memiliki
kesempatan untuk bisa lebih berdaya (maju) dengan disokong oleh kebersamaan
dalam komunitas tersebut. Program UPPKS (Usaha Peningkatan Perekonomian
Keluarga Sejahtera) yang diluncurkan oleh BKKBN mungkin sebagai salah satu
bentuk apresiasi dari system “gotong royong” untuk bisa memberikan kesempatan
berusaha mencapai kehidupan ekonomi yang lebih baik melalui penggunaan
stimulant bantuan dana bagi kader-kader KB supaya bisa bersama membuat usaha
ekonomi. Kader-kader KB diajak untuk mengatasi kesulitan ekonomi secara
bersama dengan menanggalkan sikap individualism. Usaha yang dikembangkan
menjadi sebuah usaha bersama untuk perbaikan ekonomi secara bersama. Dengan
semangat gotong royong pencapaian untuk mendapatkan kesempatan maju akan
didorong oleh komunitas, dimana dalam komunitas ini akan saling berbagi
kemampuan (ekonomi, manajerial, ketrampilan dll) untuk bisa meningkatkan
kapasitas dan kompetensi anggota komunitas sehingga tercapai sebuah keadilan
sosial.
3.
Gotong royong menjamin diskriminasi positif bagi mereka yang tidak beruntung
dalam rangka menjamin kesetaraan
Individu dalam perjalanan hidupnya tentunya mengalami kesulitan, sebuah
kenyataan bahwa manusia tidak akan selamanya bahagia. Gotong royong
menawarkan jaminan perlakuan diskriminasi dalam arti yang positif agar individu
atau kelompok dalam komunitas bisa terjamin kesetaraannya seperti individu atau
kelompok yang lain dalam komunitas tersebut. Sesuai dengan prinsip gotong
royong yaitu solidaritas antar sesama sebagai rasa kemanusian, Pertolongan yang
diberikan pada warga atau orang yang mengalami musibah merupakan kewajiban
yang harus dipikul bersama dan harus dipelihara sepanjang masa dan tanpa
adanya permintaan dari warga yang mengalami musibah tersebut. Dengan
demikian, bahwa tolong menolong dalam menghadapi bencana dianggap
kewajiban sebagai umat manusia untuk menolong antar tanpa adanya rasa pamrih
dari orang yang pernah ditolongnya. (Pasya, 2013)
Realita yang ada saat ini masyarakat Gunung Kidul -sebagai sebuah komunitas
yang masih kuat nilai gotong royongnya- ketika mereka menengok sanak
keluarganya atau tetangganya yang sedang menderita sakit dan harus dirawat di
rumah sakit, mereka satu persatu menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada si
sakit atau keluarganya. Ini adalah sebuah rasionalitas dimana penderitaan dipikul
secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Kiranya banyak hal yang
ditegakkan oleh komunitas ini sebagai sebuah institusi kesejahteraan. Atau bagi
anak-anak desa atau kampung biaya pendidikan seringkali juga dibantu oleh
keluarga yang mampu.
VI.
Penutup.
Gotong royong sebagai salah satu cirri khas masyarakat di Indonesia ternyata merupakan
sebuah tawaran yang jitu dalam pembangunan dengan konsep pemberdayaan. Karena
gotong royong mencakup sebuah alternative strategi pembangunan yang berprinsip pada
pemberdayaan. Perlu kita mengerti juga bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan
pembangunan secara ekonomi atau fisik semata tetapi juga mencakup pembangunan
spirit dan kompetensi manusia. Gotong royong mampu memberikan sebuah warna solusi
bagi pembangunan manusia secara holistic karena di dalamnya mencakup dasar dari
pembangunan sebagai Hak asasi manusia dan pembangunan sebagai sebuah proses
mencapai keadilan sosial.
Hal yang mungkin perlu diwaspadai adalah bahaya globalisasi yang cenderung
menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia individualis. Induksi budaya individualis
yang akan menggerus local wisdom yaitu gotong royong (sebagai sebuah spirit kerjasama
membangun) harus bisa dibendung oleh Pemerintah sebagai salah satu pengambil
kebijakan. Karena ketika sebuah bangsa kehilangan kebersamaannya maka tujuan untuk
bisa bersama-sama membuat perubahan yang lebih baik bagi negara menjadi hilang
akibatnya negara tidak akan pernah mencapai arti pembangunan itu sendiri.
Daftar Pustaka
1. Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung
Agung. Jakarta
2. Friedmann, John 1992. EMPOWERMENT The Politics of Alternative Development.
Blacwell Publisher. USA
3. Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2006 Community Development. Pearson Education.
Australia.
4. Pasya, Gurniwan Kamil. 2013 Gotong Royong Dalam Kehidupan Masyarakat.
Universitas Pendidikan Indonesia.
5. Sajogyo dan Sajogyo, Pudjiwati. 1992. Sosiologi Pedesaan. Jilid 1 dan 2. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
6. Subejo. 2011 Behaviours and Mentality of Japanese Community in Coping natural
Disasters. The Jakarta Post. Jakarta.
7. ___________, 2013 Power of Community : Bagi Pembangunan Pertanian dan
Perekonomian di Indonesia. UGM. Yogyakarta.
8. Sunartiningsih, Agnes (ed.). 2004 Strategi pemberdayaan Masyarakat. Aditya Media.
Yogyakarta
9. Susetiawan. 2009 Working Paper : Pembangunan Dan Kesejahteraan Masyarakat:
Sebuah Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme. PSPK
UGM. Yogyakarta.
10. Mudiyono. 2013. Makalah : Strategi Pembangunan Yang Memihak Rakyat. UGM.
Yogyakarta.