PEMIKIRAN FIKIH WANITA QASIM AMIN

  Abdul Kadir Riyadi

  1 Nur Lailatul Musyafa’ah

Abstract

This paper explores Qasim Amin’s thinking on fiqh related to women; hijab, divorce, and polygamy.

  

Initially, Qasim Amin wrote al-Mis} riyyu> n to defend the patriarchal traditions that occurred in Egypt

which is criticized by D’Couhourt. But, in five years later he wrote the book Tah} ri> r mar’ah that reconstructs

fiqin (Islamic jurisprudence) on women’s issues. He reinforced his opinion in his later piece of writing titled

al-mar’ah al-jadidah. There are several factors behind his shifting way of thinking; the influence of

modernization in Egypt and the influence of French culture where he was studying. In social science theory,

changing way of thinking is reasoneable and is in accordance with the theory of creative personality initiated

by David Mc.Celland.

  Keywords: Fikih, Wanita, Qasim Amin Pendahuluan Qasim Amin adalah seorang tokoh gerakan emansipasi wanita (baca: perempuan) Mesir.

  Ia mengkritisi pemahaman fikih masyarakat Mesir tentang hukum yang berkaitan dengan perempuan. Qasim mulai menulis tentang perempuan ketika seorang pemikir orientalis Prancis D’Couhourt mengkritik tradisi bangsa Mesir dan para perempuannya yang kurang menikmati kebebasan. Qasim berusaha menjawab kritikan tersebut dan membela tradisi bangsanya dengan

  riyyu> n

  menulis buku al-Mis} (Bangsa Mesir). Namun lima tahun kemudian Qasim Amin menulis

  ri> r al-Mar’ah

  buku Tah} (Emansipasi Wanita) yang di buku tersebut, Qasim malah mengkritisi tradisi Arab yang menurutnya mendiskriminasikan wanita. Ia menuntut pentingnya pendidikan bagi perempuan dan mengkritik tradisi hijab, talak di tangan suami dan poligami.

  Keberanian Qasim Amin dalam mengungkapkan pendapatnya tentang rekonstruksi fikih perempuan mendapat tanggapan dan kritikan tajam dari berbagai kalangan pada waktu itu.

  dah

  Namun ia tidak gentar bahkan setahun kemudian ia menerbitkan buku al-Mar’ah al-Jadi> (Wanita Baru) sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya. Karenanya banyak kalangan yang menganggap bahwa Qasim telah berjasa bagi kebangkitan emansipasi perempuan di Mesir.

  Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini akan membahas pemikiran Qasim Amin tentang fikih perempuan yang kemudian dianalisis dengan pendekatan sosiologi.

  Biografi Qasim Amin 1 Qasim Amin lahir pada awal Desember tahuh 1863 di Mesir. Ayahnya bernama Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

  Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin

  Muhammad Amin keturunan Kurdi Turki dan ibunya bernama Karimah Ahmad Khitob 2 3

  n”

  keturunan Mesir. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah “Ra’s al-Ti> Iskandariyah dan melanjutkan sekolah menengah di Kairo. Ia berhasil meraih gelar S1-nya dari fakultas 4 hukum pada tahun 1881 M. Kemampuannya untuk menyelesaikan kuliah pada usia 22 tahun 5 menandakan jika Qasim Amin memang seorang yang cerdas dan pintar. Tidak heran jika kemudian ia mendapatkan beasiswa untuk memperdalam ilmu hukumnya di Perguruan Tinggi 6 di Perancis.

  Ketika di Prancis itulah Qasim berusaha aktif berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ia sempat bertemu dengan dua tokoh modernis yang paling berpengaruh yaitu Jamaluddin al- 7 Afghani dan Imam Muhammad Abduh. Ketika itu ia juga akrab dengan buku karangan Natzi 8 (1844-1900 M), Darwin (1809-1882 M) dan Karl Marx (1818-1883 M) dan sebagainya. Setelah 9 berhasil menamatkan kuliahnya selama empat tahun ia pun kembali ke Kairo pada tahun 1885.

  Pada tahun 1894 ia menikah dengan gadis Mesir bernama Zainab. Dari pernikahannya tersebut 10 dikaruniai dua putri yaitu Zainab dan Gelsen.

  Qasim mengawali karirnya dengan bekerja di kantor pengacara Mustofa Fahmi sejak lulus dari kuliah hukum di Mesir, namun karena harus melanjutkan studi ke Perancis ia keluar 11 dari kantor tersebut. Sepulang dari Perancis tahun 1885, ia bekerja di pengadilan Mesir.

  Semenjak itu karirnya sebagai hakim semakin menanjak, ia pernah menjadi kepala cabang di beberapa pengadilan daerah yaitu di Bani Suif pada tahun 1889 dan di Thonto pada tahun

  f

  1891. Pada bulan Juni 1892, ia menjadi wakil hakim pada pengadilan isti’na> dan dua tahun 12 13

  riyyu> n

  Semasa hidupnya, ia aktif menulis artikel dan buku. Di antara karyanya adalah al-Mis}

  r al-Mar’ah dah

  (1894) yang ditulis dalam bahasa Perancis, Tah}ri> (1899), dan al-Mar’ah al-Jadi> 14 (1890). Sedangkan artikelnya telah dikumpulkan dan diterbitkan setelah ia wafat dalam 15

  b wa Nata> ij t li Qa> sim Ami> n kumpulan tulisan berjudul Asba> dan Kalima> . 2 Emansipasi wanita (baca:perempuan) adalah proses pelepasan diri perempuan dari 3 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 1988). hlm. 16.

  Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, Jurnal al-Mana> r al-Jadi>

  d, (Januari, 4 1999), hlm. 66. 5 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 18.

  

M. Sayyid Barokah, “Ma’a Muh} ammad Qut} b; Qadhiyyah Tah} ri> r al-Mar’ah”, Jurnal al-Mana> r al-Jadi> d , edisi 8, (Oktober,

6 1999) hlm. 73. 7 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 18. 8 Amru Abd. Krim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 66. 9 Ibid., hlm. 66. 10 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 18. 11 Ibid., hlm. 26. 12 Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah}ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 66. 13 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 24. 14 Qasim Amin, al-Mis} riyyu> n, (Kairo: Da> r al-Hila> l, 1995), hlm. 11. 15 Ibid., hlm. 24.

  Ibid.,hlm. 7.

  Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

  kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan 16 tah}ri> r al-mar’ah.

  Feminisme dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi patriarkhi dalam Islam. Ia tak dapat dilepaskan dari teks-teks kegamaan yang memang amat menentukan kesadaran 17 masyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk memahami Alquran dan hadis secara tepat perlu 18 dilakukan untuk memahami esensi ajaran sesungguhnya.

  Feminisme di Mesir telah berumur lebih dari 100 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh jajahan Inggris di Mesir pada tahun 1882. Gerakan Muhammad Abduh dan pengikutnya mengusulkan perubahan dan modernisasi terhadap status perempuan. Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan tantangan besar bagi kaum muslim ketika itu karena adanya pertentangan antara 19 pandangan Barat dan agama.

  Pada tahun 1899, Qasim Amin (1865-1908) menerbitkan bukunya yang sangat

  r al-Mar’ah

  berpengaruh, Tah}ri> (Emansipasi Wanita). Dalam buku ini, dia memperjuangkan 20 pendidikan perempuan sebagai suatu hak pemberian Tuhan. Selain itu ia juga mengkritik masyarakat Mesir yang mengkristalkan tradisi sebagai ajaran agama dan menganggapnya suatu hal yang baku yang tidak dapat dirubah yang berimbas pada pengekangan kebebasan perempuan seperti hijab, hak talak, dan poligami.

  r al-Mar’ah”

  Kitab “Tah}ri> tersebut merupakan poin penting dalam gerakan emansipasi wanita di Mesir. Sebelum kitab tersebut terbit, warga Mesir kurang mengenal pembahasan 21 menyematkan julukan bapak feminis Mesir kepada Qasim Amin. Meskipun banyak penulis emansipasi wanita (perempuan) sebelum Qasim Amin, namun tidak ada yang seheboh karya Qasim Amin pada masa itu. Sehingga bukunya tersebut sering dijadikan sumber referensi dan 22 penelitian dalam pembahasan tentang emansipasi wanita (perempuan).

  Pemikiran Fikih Perempuan Qasim Amin

  Pemikiran fikih perempuan Qasim Amin dapat dilihat dalam tiga karyanya yaitu al-

  Mis} riyyu> n, Tah}ri> r al-Mar’ah, dah. ri> r al-Mar’ah

  dan al-Mar’ah al-Jadi> Sebelum menulis Tah} , Qasim menulis buku berbahasa Perancis berjudul Les Egyptiens diterjemahkan dalam bahasa Arab

  riyyu> n 16 dengan al-Mis} (Bangsa Mesir) pada tahun 1894. Kitab ini ditulis untuk merespon karya 17 Abdul Azis Dahlan (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), H. 1923 18 Taufik Abdullah (et. al), Ensiklopedi Tematis,(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Jld. V, hlm. 178. 19 Ibid., hlm. 175.

  

Ahmad Abd. Rahman, “Jihad al-Iffah fi Muwajahat al-Taghrib”, Jurnal al-Manar al-Jadid, edisi 8, (Oktober, 1999),

20 hlm. 18.

  

Nelly Van Doorn Harder, “Perempuan di Mesir: Perspektif Budaya dan Agama”, dalam Menakar “Harga” Perempuan,

21 ed. Syafiq Hasyim, (Bandung:Mizan, 1999), h. 25-26. 22 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 6.

  Jamal Sulthon, “Qadhiyyah Qa> sim Ami> n”, Jurnal al-Mana> r al-Jadi> d , edisi 8, (Oktober, 1999), hlm. 4. Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin riyyu> n

  penulis orientalis dari Perancis Duc d’harcourt yang berjudul Misra wa al Mis} (Mesir dan 23 warganya). Dalam bukunya tersebut Duc d’harcourt mengkritik budaya Mesir yang terbelakang dan dalam satu bab khusus menulis tentang tradisi yang membelenggu kebebasan perempuan 24 Mesir. Ia mengkritik tentang hijab dan tradisi patriarkhi dalam keluarga di Mesir.

  Sebagai warga Mesir yang memiliki jiwa nasionalisme, Qasim tidak dapat tenang membaca 25 karya Duc d’harcourt tersebut hingga ia jatuh sakit selama dua minggu. Karena itu ia tergerak

  riyyu> n.

  menjawab kritikan Duc d’harcourt dengan menulis kitab Al-Mis} Dalam kitab tersebut Qasim berusaha menjawab kritikan Duc d’harcourt dengan membela agama dan bangsanya, tidak lupa dalam satu bab khusus Qasim membela budaya perempuan Arab khususnya Mesir tentang budaya yang berlaku bagi mereka ketika itu seperti hijab dan poligami bahkan ia 26 mengkritik kebebasan di Barat yang menurutnya malah merendahkan derajat perempuan.

  ri> r

  Namun lima tahun kemudian, pada tahun 1899, Qasim menulis buku yang berjudul Tah} al-Mar’ah.

  Dalam buku tersebut, Qasim berbalik membela kebebasan perempuan Eropa dan mengkritik budaya Mesir yang mendiskriminasikan perempuan. Jadi pemikiran Qasim tentang,

  riyyu> n

  perempuan dalam kitab Al-Mis} berbeda dengan pandangannya tentang perempuan dalam ri> r al-Mar’ah. kitab Tah}

  Di bawah ini akan dibahas sekilas tentang tiga hal penting karya Qasim Amin dalam

  Tah} ri> r al-Mar’ah riyyu> n

  yang berbeda dengan tulisannya dalam al-Mis} :

  1. Hijab

  riyyu> n Dalam buku al-Mis} yang terbit pada tahun 1894, Qasim Amin membela tradisi hijab

bentuk pemisahan antara lelaki dengan perempuan. Ia menolak tuduhan Duc d’harcourt yang

27 beranggapan bahwa hijab merupakan bentuk isolasi kaum perempuan dari pergaulan.

  Menurut Qasim, dalam Islam, persamaan antara lelaki dan perempuan telah terwujud 28

karena apa yang diharamkan bagi perempuan juga diharamkan bagi pria/laki-laki. Jika

perempuan dilarang bergaul dengan kalangan kaum laki-laki begitu juga sebaliknya seorang

29 lelaki akan terlarang bergabung dalam komunitas perempuan.

  Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dalam tradisi Arab, hijab harus dipertahankan karena

ia merupakan bentuk ajaran agama Islam dan memiliki nilai positif bagi pergaulan lelaki dan

30

perempuan. Hijab memuliakan kaum perempuan, sebaliknya pergaulan bebas yang berlangsung

23

di Eropa merupakan tanda tidak menghargai perempuan dan menimbulkan dampak negatif

24 Qasim Amin, al-Mis} riyyu> n, hlm. 13. 25 Ibid., hlm.18. 26 Ibid., hlm. 161. 27 Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah}ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 67. 28 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 70. 29 Ibid . 30 Ibid. 31 Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah}ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 67.

  Ibid., hlm. 67.

  31 Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

yang dapat mengurangi derajat dan wibawa seorang perempuan. Maka perempuan Mesir

32

tidak membutuhkan perubahan tetapi yang harus berubah adalah bangsa Eropa. Bahkan ia

33 mengusulkan agar peradaban Eropa menginduk pada peradaban Islam.

  Namun lima tahun kemudian, pembelaannya tersebut dia bantah sendiri dalam bukunya ri> r al-Mar’ah”

  

Tah} . Menurutnya, hijab hanyalah tradisi orang Arab dan bukan kewajiban dalam

agama Islam. Maka perubahan tradisi berhijab sangat memungkinkan sesuai dengan tuntutan

34 zaman sebagaimana tradisi hijab dalam bangsa Yunani atau Eropa.

  Lebih lanjut Qasim mengajak meneliti tentang tinjauan hukum Islam terhadap bentuk

hijab yang dianjurkan dalam Islam yaitu menutup seluruh badan perempuan kecuali wajah dan

telapak tangan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak terdapat dalam Alquran dan

Hadis ajaran yang mengatakan bahwa wajah perempuan merupakan aurat sehingga wajahnya

harus ditutup. Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran

agama Islam. Selain itu hijab tidak boleh diartikan sebagai bentuk pemisahan ruang pergaulan

35 antara lelaki dan perempuan karena tidak ada anjurannya di dalam Alquran dan Hadis. Hijab sebagai penutup tubuh perempuan termasuk wajah dan sebagai bentuk pemisahan

ruang lelaki dan perempuan membawa perempuan berkedudukan rendah, menghambat

36 kebebasan, dan pengembangan daya keahlian mereka untuk mencapai kesempurnaan.

  2. Pembatasan Kekuasaan Talak

  riyyu> n, Dalam al-Mis} Qasim membela adanya kekuasaan talak yang mutlak di tangan suami ri> r

dan tidak menyetujui jika perceraian diputuskan melalui pengadilan. Namun dalam kitab Tah}

al-Mar’ah

dengan beberapa syarat, yaitu; 1. Perceraian terjadi karena ada keinginan kuat untuk itu, 2.

  

Harus ada saksi dalam proses talak, 3. Menghadirkan pihak ketiga sebagai juru damai antara

37 suami-istri, 4. Talak terjadi karena putusan pengadilan.

  Menurutnya, dalam masalah perkawinan harus ada hak yang sama antara laki-laki dan

perempuan baik dalam memilih jodoh maupun hak cerai. Sehingga hak tersebut tidak mutlak

38 di tangan para pria.

  3. Poligami

  riyyu> n,

  Dalam al-Mis} Qasim membolehkan para suami untuk beristri lebih dari satu hingga empat jika ada sebab yang mendesak untuk berpoligami. Selain itu suami harus mampu berlaku 32 adil kepada para istrinya dan mampu memberi nafkah yang layak bagi keluarganya. Meskipun 33 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 74. 34 M. Sayyid Barokah, Ma’a Muh}ammad Qut} b; Qadhiyyah Tah} ri> r al-Mar’ah, hlm. 73. 35 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm..75. 36 Ibid., hlm. 76. 37 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 80. 38 M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 81. 39 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 79.

  M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 85. Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin 39

  demikian, Qasim menganjurkan agar para lelaki sebaiknya hanya memiliki seorang istri.

  Bahkan dalam kitab tersebut, Qasim mengkritik pendapat yang melarang poligami hanya karena alasan poligami menciptakan ketidakharmonisan berumahtangga dan rentan menimbulkan percekcokan antara para istri dan anak-anak mereka. Menur utnya 40 ketidakharmonisan dalam rumah tangga tidak berkaitan dengan adanya poligami. Seperti halnya hijab dan perceraian, pendapat Qasim tentang poligami berubah dalam

  ri> r al-Mar’ah

  kitab Tah} . Menurutnya, tak seorang pun perempuan yang ingin dimadu dan kalau 41 seorang lelaki menikah dengan istri kedua berarti ia mengabaikan perasaan istri pertama.

  Tidak ada alasan bagi seorang lelaki untuk memiliki istri lebih dari satu kecuali terpaksa. Sedangkan firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 memang menjelaskan tentang diperbolehkannya berpoligami jika aman dari penyimpangan. Namun, poligami dapat menjadi haram jika perbuatan tersebut justeru menimbulkan bahaya dan ketidakadilan yang menyebabkan permusuhan dalam rumah tangga. Maka demi kemaslahatan bersama, Qasim 42 mengusulkan agar para hakim menolak adanya poligami. Maka meskipun poligami disebutkan 43 dalam Alquran, Qasim berpendapat bahwa Islam pada hakekatnya menganjurkan monogami.

  ri> r al-Mar’ah

  Buku Tah} memang fenomenal pada waktu itu karena kaitannya dengan kritik sosial dan agama. Maka Qasim Amin harus rela mendapat kritik tajam atas karyanya tersebut, sehingga membuatnya sering menyendiri di rumah. Namun berkat dorongan Sa’ad Zaghlul untuk tetap bersemangat membuat Qasim bersemangat untuk menuangkan pemikirannya dalam 44

  dah

  sebuah buku berjudul al-Mar’ah al-Jadi> sebagai jawaban atas kritikan yang berdatangan 45 ri> r al-Mar’ah.

  ri> r al-Mar’ah,

  Dalam kitab Tah} Qasim lebih banyak mengkritik tradisi Arab yang sudah dianggap sebagai ajaran baku dari agama Islam. Menurutnya, tradisi bukanlah agama, ia hanya merupakan hasil dari penafsiran agama yang tidak bersifat baku. Maka perlu adanya reinterpretasi terhadap ajaran agama khususnya mengenai permasalahan yang berkaitan dengan perempuan. Qasim berusaha menguatkan pendapatnya dengan mengambil referensi dari pendapat para ulama yang dikuatkan dengan penafsiran Alquran.

  ri> r al- Mar’ah

  Jika dalam Tah} Qasim banyak merujuk pada pendapat para ulama muslim

  dah

  maka dalam al-Mar’ah al-Jadi> Qasim lebih merujuk kepada pemikiran para orientalis dan

  

dah

  pendekatan sosiologis. Dalam al-Mar’ah al-Jadi> , Qasim lebih kuat mempertahankan kebebasan perempuan. Ia menekankan agar kaum perempuan sebagai anggota masyarakat terus aktif 46 40 belajar dan berkarir untuk memajukan harkat dan wibawanya. Menurutnya, kebebasan 41 Ibid., hlm. 86. 42 Maryam, Jameelah, Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri dkk., (Surabaya: Usaha Nasional, tt.). hlm. 190.

  M. Imarah, Qa> hlm. 86. 43 sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, 44 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 79. 45 M. Sayyid Barokah, Ma’a Muh} ammad Qut} b; Qadhiyyah Tah}ri> r al-Mar’ah, hlm. 74. 46 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 80.

  Amru Abd. Karim, Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 72.

  Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

  perempuan tidak dapat dipisahkan dari kebebasan anggota masyarakat lainnya. Masyarakat terus berkembang maka perempuan harus turut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Di negara Arab, perempuan masih berada di bawah kekuasaan laki-laki sedangkan di negara Eropa perempuan telah memperoleh kebebasan dan penghargaan yang tinggi dari 47 masyarakat. Maka ia menginginkan perempuan Arab semakin maju sebagaimana yang telah dicapai perempuan Eropa.

  Akibat dari pemikiran Qasim Amin tentang emansipasi perempuan tersebut timbul dua pandangan yang berbeda mengenai sosok Qasim Amin; Sebagian golongan menganggap Qasim sebagai pelopor dan tokoh emansipasi perempuan sedangkan sebagian yang lain menganggap 48 Qasim Amin sebagai perusak moral perempuan Arab karena harus mengikuti budaya Eropa.

  Latar Belakang Pemikiran Qasim Amin

  Pemikiran seseorang tidak akan terlepas dari pengaruh sejarah dan budaya dari tempat ia tinggal. Qasim Amin sebagai pemikir yang lahir dan dibesarkan di Mesir, maka di bawah ini akan dibahas tentang kondisi sosio kultural Mesir dan pengaruh modernisme pada negeri tersebut.

  Mesir, yang terletak di dalam dua benua; Asia dan Afrika, adalah sebuah negara yang 49 penuh dengan legenda. Ia terkenal dengan sejarah peradabannya, yang telah ada semenjak 4000 tahun SM. Ia merupakan negara para Nabi dan setiap agama Samawi memiliki hubungan sejarah dengan Mesir.

  Islam memasuki negeri ini pada tahun 639 M (di masa Umar bin Khattab sebagai Khalifah 50 berkuasa di Mesir sebelum pemerintahan Gamal ‘Abd al-Naser adalah Dinasti Fatimiyyah (834- 1171 M), Ayyubiyyah (1171-1250 M), Mamlukiyyah (1250-1517 M), dan Turki Uthmani (1517- 51 1952 M). Selain oleh beberapa kekuatan di atas, Mesir juga pernah dijajah oleh Perancis 52 (pada tahun 1798 M), dan oleh Inggris (pada tahun 1882 M).

  Pada tahun 1798, Mesir dijajah Perancis di bawah panglima Napoleon Bonaparte, tapi dengan perlawanan yang gigih dan bantuan dari Inggris dan Turki, akhirnya Perancis dapat 53 diusir dari Mesir pada tahun 1801.

  Pada saat invasi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte itu, terjadilah modernisasi di negeri Mesir. Modernisasi itu semakin gencar dilakukan pada masa pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849), dengan melakukan modernisasi di bidang militer, pendidikan,

  t} i> r al Khairiyyah 47 budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, seperti membangun waduk al-Qana> 48 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 80. 49 M. Imarah, Qa> sim Ami> n; al-A’ma> l al-Ka> milah, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 1989), hlm. 9. 50 Derek Hopwood, Egypt, Politics and Society 1945-1984, (London: Billing&Sons, 1985), hlm. 1. 51 Afaf Lutfi Sayyid al-Marsot, a Short History of Modern Egypt, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), hlm. 1. 52 Selma Hotman, Egypt from Independence to Revolution, 1919-1952, (Syracuse: Syracuse University Press, 1991), hlm. 11-15. 53 Ibid., 26.

  Musthafâ Mu’min, Qasama> t al-‘A> lam al-Isla> mi> al-Mu’a> shir , (Da> r al-Fath} , 1974), hlm. 300. Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin

  di sungai Nil. Dari beberapa langkah yang dilakukannya, Muhammad Ali kemudian dijuluki 54 sebagai bapak Mesir Modern (the father of modern Egypt).

  Beberapa hal yang dilakukan oleh Muhammad Ali untuk mendukung proses modernisasi adalah mengirim kelompok-kelompok kerja untuk belajar di Perancis selama lima tahun di 55 bawah pengawasan Rifa’ah al Tahtawi.

  Sepulang dari Perancis, gerakan ini mampu memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran keislaman di Mesir. Mereka membangun sekolah-sekolah model Barat. Sekolah ini mengajarkan bahwa tidak ada kontradiksi antara nilai-nilai yang dipinjam dari Barat, khususnya dalam metodologi sains dengan ajaran Islam yang didasarkan pada Alqur’an dan 56 Hadits. Banyak kemudian di antara para pemikir Muslim di Mesir yang mengkaji pemikiran- pemikiran lulusan Barat itu dan menjadikannya sebagai referensi dalam memahami kembali 57 pesan-pesan keagamaan yang termaktub di dalam Alqur’an dan Hadits. Qasim Amin merupakan salah satu pelajar alumni Perancis yang mencoba melakukan pembaruan pemikiran Islam dalam masalah perempuan. Hal tersebut tertuang dalam dua

  ri> r al-Mar’ah dah bukunya Tah} (emansipasi perempuan) dan al-Mar’ah al-jadi> ( Perempuan Baru).

  Kedua buku tersebut mendapat sambutan yang luar biasa di Mesir karena pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan kondisi saat itu.

  Qasim Amin berbeda dari pemikir modernis lainnya waktu itu, karena keberaniannya menuangkan pemikirannya khusus tentang kebebasan perempuan. Karenanya, ia dijuluki tokoh feminis Mesir, yang karyanya cukup penting bagi perkembangan pemikiran feminisme di Mesir 58 memperlihatkan keterpengaruhannya, atau paling tidak persentuhannya dengan gerakan 59 modernisme Islam yang antara lain dipelopori oleh Muhammad Abduh pada abad ke-19.

  ri> r al-Mar’ah

  Dalam bukunya yang menghebohkan untuk konteks waktu itu, Tah} , yang terbit pertama kali pada 1899, Amin menekankan pentingnya pendidikan perempuan. Menurut Amin yang berprofesi sebagai hakim, perempuan selama ini bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda. Oleh karena itu, mereka juga bertanggung jawab terhadap penyebaran berbagai 60 mitos dan takhayul yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Islam perlu dilakukan bukan hanya agar mereka mampu mengatur rumah tangga dengan baik namun lebih dari itu 61 mereka juga dapat memberikan pendidikan dasar yang baik bagi anak-anak mereka. Selain 54 masalah pendidikan ada tiga hal penting yang dikritisi Qasim Amin dalam buku tersebut 55 Derek Hopwood, Egypt, Politics and Society 1945-1984, hlm. 9. 56 Marsot, a Short History of Modern Egypt, hlm. 15. 57 Issa J. boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought, (New York: State University of New York, 1990), hlm. 2. 58 Ibid. 59 Taufik Abdullah., Ensiklopedi Tematis, hlm. 177. 60 Ibid., hlm. 176. 61 Ibid.,hlm.177. 62 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), hlm. 79.

  M. Imarah, Qa> sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, hlm. 68.

  62 Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

  yaitu; hijab, hak talak yang mutlak di tangan suami, dan poligami.

  Kontribusi Muhammad Abduh dalam Pemikiran Qasim Amin

  Gaya penulisan Qasim Amin yang ahli dalam ilmu sosial dan hukum tapi mampu menulis dan menafsirkan teks keagamaan secara brilian menimbulkan keraguan tentang orisinalitas 63 pemikiran Qasim Amin.

  Qasim Amin adalah seorang ahli hukum yang belajar di Perancis dan mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Imam Muhammad Abduh. Menurut Abduh, perempuan dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam merubah 64 itu sehingga perempuan memiliki kedudukan rendah dalam masyarakat. Ide inilah yang dikupas 65 ri> r al-Mar’ah. Qasim Amin dalam bukunya Tah}

  Menurut Muhammad Imarah, pemikiran Qasim Amin tentang kebebasan perempuan tidak terlepas dari pengaruh modernisme dalam Islam di Mesir yang dipelopori oleh Imam Muhammad Abduh. Menurutnya, latar belakang pendidikan Qasim Amin yang tidak berkaitan dengan ilmu hukum Islam, tidak memungkinkan baginya untuk menuangkan pemikiran tentang kebebasan perempuan dengan menganalisa pendapat ulama muslim dan menafsirkan teks-teks Alquran

  ri> r al-Mar’ah

  seperti yang ia tuangkan dalam kitab Tah} kecuali jika ia dibimbing oleh seorang 66 guru yang ahli dalam bidang tersebut ketika itu yaitu Imam Muhammad Abduh.

  ri> r al-Mar’ah

  Sebelum buku Tah} terbit, AlGabert menggambarkan bahwa masyarakat Mesir yang religius mengharuskan para perempuan untuk memakai jilbab dan penutup wajah, hanya perempuan Eropa yang memperlihatkan rambut mereka. Namun keadaan tersebut berubah 67 68 rumah, berdandan dan berpakaian ala perempuan Eropa. Kairo pun berubah seperti Paris.

  Begitu juga dengan Ratu Nazili, perempuan bangsawan Mesir yang mulai bergaya ala perempuan

  n,

  Perancis. Ia pun tersinggung dengan kritikan Qasim Amin dalam kitab al-Mis}riyyu> bahwa perempuan Mesir yang mengikuti gaya Eropa akan mengurangi wibawa dan kemuliaannya,

  am

  sehingga ia menunjuk harian al-Muqat}t} untuk menerbitkan enam artikel balasan terhadap riyyu> n. tulisan Qasim Amin dalam al-Mis} Perdebatan tersebut menarik publik sehingga Imam Muhammad Abduh tergerak untuk menganjurkan Qasim Amin untuk merevisi tulisannya dalam 69

  al-Mis}riyyu> n

  dan menemui sang ratu untuk meminta maaf. Semenjak itu pemikiran Qasim Amin berubah dari pembelaannya untuk mempertahankan tradisi perempuan Mesir ke arah 70 63 pembebasan perempuan dari belenggu tradisi yang ada. 64 Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 70. 65 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 79. 66 Ibid.

  M. Imarah, Qa> hlm. 88. 67 sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my, Ahmad Abd. Rahman, Jiha> hlm 21. 68 d al-‘Iffah fi> Muwa> jaha> t al-Taghri>

  b, 69 Ibid.,hlm 22 70 Amru Abd. Karim, Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, hlm. 67.

  Ibid. Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin

  Maka secara bertahap pada tanggal 20 Maret 1899, Qasim mulai merevisi tulisannya

  riyyu> n

  dalam al-Mis} dengan menulis beberapa artikel setiap minggunya untuk diterbitkan di harian al-Muayyad.

  Ia menulis tentang pentingnya emansipasi perempuan tentang pentingnya peran perempuan dalam masyarakat sosial, pentingnya pendidikan perempuan dan masalah-masalah perempuan lainnya. Meskipun artikel mingguannya selalu mendapat tanggapan dan kritikan namun tidak seheboh ketika tulisan tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul 71 Tah}ri> r al-Mar’ah . Dari uraian di atas terlihat bahwa Imam Muhammad Abduh turut berperan bagi perkembangan pemikiran Qasim Amin terutama dalam penafsiran teks agama Islam. Sebagaimana pendapat M. Imarah, bahwa Qasim tidak memiliki kepandaian dalam mengulas 72 permasalahan hukum Islam kecuali ada pengaruh dari Imam Muhammad Abduh.

  Analisis Sosiologis terhadap Pemikiran Qasim Amin

  Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa pemikiran Qasim Amin tentang perlunya reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan fikih perempuan di antaranya

  hijab,

  talak, dan poligami berawal dari ketersinggungan perasaan beliau terhadap tulisan seorang pemikir orientalis Prancis D’Couhourt yang mengkritisi tradisi bangsa Mesir dan para perempuannya yang kurang menikmati kebebasan karena pemahaman fikih rakyat Mesir yang mendiskriminasikan perempuan dengan memberlakukan tradisi hijab, talak mutlak di tangan suami, dan diperbolehkannya poligami. Karena itu Qasim membela negaranya dengan menulis

  al-Mis} riyyu> n

  bertambahnya waktu ia belajar di Perancis dan semakin banyaknya pengaruh budaya dan ilmu pengetahuan yang ia dapat mempengaruhi pemikiran awalnya tentang teori hijab, talak, dan

  riyyu> n

  poligami sehingga hatinya tergerak untuk merevisi pandangan awalnya dalam kitab al-Mis} bahkan cenderung mendukung pemikiran D’Couhourt dengan menulis karya keduanya yang

  ri> r al-Mar’ah

  berjudul Tah} yang dalam kitabnya tersebut beliau menganjurkan untuk mengadakan pembaruan pemikiran fikih perempuan dengan mulai mereinterpretasi teks-teks yang berkaitan dengan hijab, talak, dan poligami.

  Pembaruan fikih perempuan yang dia ajukan adalah bahwa teori hijab yang berarti menutup seluruh tubuh tidaklah wajib tetapi yang benar adalah diperbolehkannya wajah dan telapak tangan terbuka, talak yang mutlak diberikan di tangan suami hendaknya diteliti kembali karena hal tersebut dapat membuat seorang suami bertindak semaunya/sewenang-wenang terhadap istrinya, maka ia menganjurkan agar talak hanya dapat terjadi di depan pengadilan, dan masalah poligami tidaklah dilarang di dalam Islam tetapi hendaknya diperbolehkan dengan 71 syarat-syarat yang ketat. 72 Ibid., hlm. 68.

  

Ibid.,hlm. 70. Pihak keluarga Qasim Amin menolak anggapan tersebut dan menyatakan bahwa orisinalitas pemikiran

Qasim Amin dalam Tah} ri> r al-Mar’ah bisa dipertanggungjawabkan. Lihat Qasim Amin, al-Mis} riyyu> n. hlm. 162.

  Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

  Pemikiran Qasim Amin tidak terlepas dari kondisi sosial tempat ia tinggal, dan interaksi dengan masyarakat di sekelilingnya itulah yang mempengaruhi Qasim Amin, di antaranya mulai adanya modernisasi di Mesir, pengaruh pergaulan selama ia belajar di Mesir, dan adanya pengaruh pemikiran Muhammad Abduh.

  Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa perubahan dalam pemikiran Qasim Amin diawali dengan konflik yang terjadi dengan pemikir orientalis Prancis D’Couhourt. Perubahan tersebut 73 sesuai dengan teori konflik yang digagas oleh Lewis A. Coser.

  Coser membahas tentang konflik dengan menggambarkan kondisi-kondisi konflik yang secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah 74 kerangka masyarakat. Buku Coser yang berjudul The Function of Social Conflict membicarakan tentang teori fungsional yang digunakan untuk membahas tentang masalah perubahan sosial dan dinamika historik. Ia mengemukakan bahwa konflik itu dapat mencegah suatu pembakuan 75 sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas.

  Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali 76 identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Menurut Coser, konflik yang meledak merupakan tanda-tanda dari hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak 77 akan ada suasana yang benar-benar kacau. Maka melalui konfliklah masyarakat menjadi dinamis. yang intinya, bahwa melalui konflik di dalam struktur sosial itu maka kehidupan masyarakat 78 akan mengarah kepada integrasi sosial yang dinamis. Hal tersebut terbukti dengan pemikiran

  Qasim Amin yang berkembang setelah ada konflik dengan D’Couhourt mampu mengembangkan pemikirannya dan memperdalam kajiannya tentang perempuan.

  Sedangkan keberaniannya untuk mengungkapkan pendapatnya di wilayah Mesir yang cenderung patriarkhi dapat dianalisis dengan menggunakan teori sosial Kepribadian Kreatif 73 yang digagas David Mc.Celland, yaitu kemajuan seseorang lebih didorong kepribadiannya yang

Selama lebih dua puluh tahun Lewis A. Coser terikat pada model sosiologi dengan tekanan pada struktur sosial.

  

Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Coser

menyatakan bahwa ahli teori bangsa Amerika yang awal lebih menekankan pemahaman mereka tentang konflik

sebagai kesadaran yang yang tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat. Sedangkan ahli sosiologi kontemporer

sering mengacuhkan analisa konflik sosial. Kemudian Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan

menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan

dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi dia juga menunjuk pada

74 proses lain yaitu konflik sosial. Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali press, 2004), 105 75 Ibid., 107. 76 Judistira K.Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1992), 67. 77 Margaret M. Poloma, 107. 78 Ibid., 113. 79 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda, (Surabaya: Graha Sophia Center, 2005), 27.

  Judistira K.Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, 75. Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama Pemikiran Fikih Wanita Qasim Amin 79

  berhasrat kuat untuk berprestasi demi untuk melakukan yang terbaik. Kesesuaian pemikiran Qasim Amin dengan teori ini adalah bahwa Qasim Amin memiliki hasrat kuat untuk merubah masyarakat negaranya dengan terus berkarya menulis buku yang ingin mengangkat derajat perempuan walaupun banyak menerima kritikan dan cemoohan.

  Perubahan yang dialami Qasim Amin juga melalui beberapa tahapan perubahan sosial sebagaimana yang disampaikan Robert E. Park karena adanya penyatupaduan etnik yang membawa perubahan sosial, yaitu kontak, persaingan, akomodasi, dan asimilasi. Pada setiap tahapan berlangsung beberapa proses yang membawa relasi kepada langkah yang saling berkelanjutan: 1) kontak, yaitu terjadinya kontak antara Qasim Amin dengan D’Couhourt dan kebudayaan Perancis serta pemikiran Muhammad Abduh, 2) persaingan, setelah kontaknya tersebut timbul persaingannya dengan D’Couhourt lewat komunikasi tulisan, 3) Akomodasi, setelah kontak dan bersaing menimbulkan hubungan yang lebih erat, dan 4) asimilasi, yaitu 80 adanya pembauran dan penyatuan pemikiran akibat akomodasi tersebut.

  Simpulan

  Perhatian Qasim Amin terhadap fikih perempuan tidak terlepas dari pengaruh jajahan Inggris dan Perancis di Mesir, yang membuka modernisasi di Mesir. Modernisasi tersebut membuka peluang bagi warga Mesir untuk belajar di luar negeri salah satunya ke Perancis seperti yang dialami Qasim Amin. Kritikan D’Couhourt pada warga Mesir yang mendiskriminasikan perempuan menggerakkan Qasim Amin untuk membela negaranya dengan

  n. ri> r al-Mar’ah

  Perancis menjadikannya pada tahun 1899 menerbitkan bukunya yang berjudul Tah} (Emansipasi Perempuan). Dalam buku ini, dia memperjuangkan pendidikan perempuan sebagai suatu hak pemberian Tuhan, mengkritik hijab, talak, dan poligami. Ide-idenya menuai kritik tajam karena dianggap menyalahi tradisi ketika itu yang dianggap sudah baku.

  Teori sosiologi yang berkaitan dengan pemikiran Qasim Amin adalah teori konflik yang dikemukakan Lewis A. Coser dan kepribadian kreatif David MacLelland. Bahwa pemikirannya berkembang setelah adanya konflik dengan D’Couhourt dan ia memiliki pribadi kreatif yaitu hasrat untuk membela dan mengubah pemahaman warga Mesir tentang perempuan dengan

  riyyu> n, Tah} ri> r al-Mar’ah dah.

  menuangkan ide-idenya dalam buku al-Mis} dan al-Mar’ah al-Jadi>

  Daftar Pustaka

  Abdul Azis Dahlan (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) Afaf Lutfi Sayyid al-Marsot, a Short History of Modern Egypt, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).

  r al-Jadi> d 80 Ahmad Abd. Rahman, “Jiha> d al-‘Iffah fi> Muwa> jaha> t al-Taghri> b”, Jurnal al-Mana> , edisi Ibid., 84. Nur Lailatul Musyafa’ah Abdul Kadir Riyadi

  8, (Kairo: Da> r al-Mana> r al-Jadi> d; Oktober, 1999). Amru Abd. Karim, “Qa> sim Ami> n Baina Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadi> dah”, Jurnal Al-

  Mana> r al-Jadi>

  d, (Kairo: Da> r al-Mana> r al-Jadi> d; Januari, 1999).

  Derek Hopwood, Egypt, Politics and Society 1945-1984, (London: Billing&Sons, 1985). Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996). Issa J. boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought, (New York: State University of New York, 1990).

  r al-Jadi> d

  Jamal Sulthon, “Qadhiyyah Qasim Amin”, Jurnal al-Mana> , edisi 8, (Kairo: Da> r al- Mana> r al-Jadi> d; Oktober, 1999). Judistira K.Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1992)

  sim Ami> n: Tah} ri> r al-Mar’ah wa al-Tamaddun al-Isla> my,

  M. Imarah, Qa> (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 1988).

  sim Ami> n; al-A’ma> l al-Ka> milah, ________, Qa> (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 1989). r al-

  M. Sayyid Barokah, “Ma’a Muhammad Qut} b; Qadhiyyah Tah} ri> r al-Mar’ah”, Jurnal al-Mana>

  Jadi> d , edisi 8, (Kairo: Da> r al-Mana> r al-Jadi> d; Oktober, 1999).