1 Draft Laporan. Pengelolaan OB Mineral.

DRAFT LAPORAN KEGIATAN

KONSEP PEDOMAN PENGELOLAAN PENIMBUNAN BATUAN PENUTUP DI PERTAMBANGAN MINERAL INDONESIA

Oleh : Marsen Alimano

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA BANDUNG

KATA PENGANTAR

Laporan ini dibuat sebagai pelaksanaan kegiatan Program Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya Tahun Anggaran 2011. Lokasi penelitian dilakukan di PT. Newmont Nusa Tenggara, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan PT. Avocet Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Provinsi Sulawesi Utara.

Pada kegiatan pertambangan batuan penutup atau overburden yang diambil secara langsung menyebabkan perubahan bentang alam berupa timbulnya lubang besar yang pada akhir pengerjaan penambangan akan ditutup kembali dan direklamasi. Untuk mengurangi dampak negatif dari pengelolaan penimbunan batuan penutup diperlukan suatu panduan atau pedoman yang baik dan benar tentang kegiatan tersebut, dilakukan kajian kondisi dan teknologi kegiatan penimbunan batuan penutup di tambang terbuka beserta permasalahannya sehingga diketahui metode yang digunakan dan kesulitan yang dihadapi oleh pelaku kegiatan.

Atas bantuan dan terjalinnya hubungan yang baik, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga laporan ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Semoga hasil kegiatan penelitian ini dapat bermanfaat.

Bandung, Desember 2011 Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara

Ir. Hadi Nursarya, M.Sc. NIP. 19540306 197803 1 001

SARI

Pada kegiatan pertambangan yang mengeksploitasi sumber daya alam secara langsung menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam. Batuan penutup atau overburden yang diambil pada kegiatan penambangan dapat menimbulkan lubang besar pada akhir pengerjaan penambangan. Untuk mengurangi dampak negatif adanya lubang- lubang besar tersebut maka dilakukan kegiatan penimbunan (backfilling) dalam rangkaian kegiatan reklamasi lahan bekas tambang. Untuk mengurangi dampak negatif dari pengelolaan penimbunan batuan penutup diperlukan suatu panduan atau pedoman yang baik dan benar tentang kegiatan tersebut. Kegiatan ini bertujuan mengetahui kondisi dan teknologi kegiatan penimbunan batuan penutup di tambang terbuka mineral beserta permasalahannya sehingga diketahui metode yang digunakan dan kesulitan yang dihadapi oleh pelaku kegiatan. Lokasi kegiatan dilakukan di PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT), Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan PT. Avocet Bolaang Bongondow (PT. ABM), Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Pelaksanaan kegiatan meliputi pengumpulan data primer dan sekunder di tiap lokasi, seperti data analisis PAF/NAF (potentially acid forming/non potentially acid forming), cross section daerah tambang, peta geologi, peta topografi, peta penampungan air, peta penimbunan batuan penutup, data eksplorasi, dan data analisa kestabilan lereng timbunan.

Dari hasil studi diketahui perusahaan tambang telah memiliki pedoman pelaksanaan pengelolaan penimbunan batuan penutup namun ada pula perusahaan yang mengalami kendala teknis dalam hal pelaksanaan pengelolaan penimbunan batuan penutupnya dilihat dari hasil uji geomekanik, geofisik, dan geometri lereng yang memiliki potensi stabil tetapi mengalami longsoran.

Berdasarkan hasil studi telah dibuat konsep rancangan awal penyusunan pedoman teknis pengelolaan penimbunan batuan penutup pada tambang terbuka mineral.

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pembangunan yang berwawasan lingkungan telah menjadi kebutuhan dan tuntutan global yang harus dilaksanakan termasuk kegiatan pertambangan yang mengeksploitasi sumber daya alam secara langsung. Salah satu tugas dalam Kelompok Bidang Keahlian Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara adalah melaksanakan kegiatan pengkajian dan pengembangan serta perekayasaan di bidang teknologi lingkungan pertambangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung kegiatan di sektor pertambangan dan lingkungan hidup dalam mempersiapkan pedoman kerja pendukung peraturan pemerintah sehubungan dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Lingkungan No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.

18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

Pada saat ini rancangan peraturan pemerintah yang dirasakan cukup mendesak dan harus segera dikeluarkan adalah tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. Untuk menunjang peraturan pemerintah itu diperlukan suatu pedoman kerja yang mendukung, salah satunya adalah tentang penanganan dan pengelolaan tanah penutup.

Kegiatan penambangan mineral yang dilaksanakan di Indonesia banyak yang dikerjakan dengan cara tambang terbuka (open pit mining). Batuan penutup (overburden) yang diambil pada kegiatan penambangan dapat menyebabkan perubahan bentang alam berupa timbulnya lubang besar yang pada akhir pengerjaan penambangan akan ditutup kembali dan direklamasi. Kegiatan yang menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam tersebut akan sangat mengganggu kondisi lingkungan di daerah pertambangan. Untuk mengurangi dampak negatif dari adanya lubang-lubang besar tersebut, dilakukan kegiatan penimbunan kembali (backfilling) dalam rangkaian kegiatan reklamasi lahan bekas tambang. Guna mengurangi dampak negatif dari pengelolaan penimbunan batuan penutup, diperlukan suatu panduan atau pedoman yang baik dan benar tentang kegiatan tersebut.

1.2. TUJUAN

Tujuan dari kegiatan Konsep Pedoman Pengelolaan Penimbunan Batuan Penutup Di Pertambangan Mineral Indonesia ini adalah mengetahui kondisi dan teknologi kegiatan penimbunan batuan penutup di tambang terbuka mineral, khususnya penambangan emas beserta permasalahannya sehingga diketahui kesulitan yang dihadapi oleh pelaku kegiatan dan diperoleh pengetahuan teknis yang memadai dalam pelaksanaannya.

1.3. SASARAN

 Membuat rancangan (konsep) awal penyusunan pedoman teknis pengelolaan penimbunan batuan penutup pada tambang terbuka mineral, dalam hal ini penambangan emas, sehingga diharapkan kelak perusahaan tambang tidak memiliki kendala pada pelaksanaan penimbunan batuan penutupnya.

 Perusahaan tambang dapat menentukan pengelolaan batuan penutup yang paling cocok, ekonomis, dan efisien sesuai kondisi daerah.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Batuan penutup adalah batuan yang merupakan hasil samping pada proses penambangan bahan galian. Batuan ini umumnya tidak bernilai ekonomis atau bernilai ekonomis kecil, yang membungkus atau mengelilingi sebuah cadangan mineral atau batubara. Batuan penutup ditempatkan pada daerah-daerah yang memungkinkan dan sedekat mungkin dengan kegiatan tambang terbuka untuk menekan biaya angkut atau transportasinya.

Multi karakteristik dari sebuah penambangan mineral emas adalah beragamnya nilai potensi pembentukan asam dari batuan yang melingkupi mineral berharganya sehingga tidak dapat ditentukan tingkat keasaman (pH) suatu daerah tambang mineral sebelum dilakukan analisis geokimia batuannya. Untuk menentukan suatu cara penimbunan yang sesuai bagi segala aktivitas paska tambang diperlukan suatu pelaksanaan pengelolaan terintegrasi yang baik dan benar dari suatu kegiatan penimbunan batuan penutup tersebut, dimulai dari perencanaan yang cermat hingga pengawasan (monitoring) berkala setelah rangkaian kegiatan tersebut selesai dilaksanakan. Hal yang paling dikhawatirkan oleh pelaku penambangan dalam mengelola batuan penutup adalah dampak negatif dari kegiatannya, misal penempatan batuan sulfidis yang berpotensi menciptakan air asam tambang dan kegagalan kestabilan lereng, karena akan berimbas kepada pembengkakan anggaran dan sanksi pemerintah.

2.1. AIR ASAM TAMBANG

Salah satu isu penting dalam pengelolaan lingkungan yang sering dihadapi oleh industri pertambangan adalah masalah air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) karena dampak lingkungan yang ditimbulkannya bisa menjadi permasalahan dalam jangka panjang.

Air asam tambang adalah air asam yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan. Pada kegiatan penambangan, dapat berupa air larian permukaan (run off) atau penirisan (drainage) di daerah tambang yang bersifat asam dengan kadar logam tinggi. AAT terbentuk sebagai akibat teroksidasinya senyawa belerang dari batuan oleh udara

secara alamiah menjadi belerang dioksida (SO 2 ) dan pada kondisi kelembapan tinggi SO 2 diubah menjadi asam sulfat (H 2 SO 4 ) melalui proses hidrolisis.

Eksploitasi mineral logam seperti tembaga, emas, dan perak pada industri pertambangan bisa memicu permasalahan AAT batuan penutup ataupun batuan Eksploitasi mineral logam seperti tembaga, emas, dan perak pada industri pertambangan bisa memicu permasalahan AAT batuan penutup ataupun batuan

2.1.1. Mekanisme Pembentukan AAT

Pembentukan AAT merupakan suatu reaksi kimia yang kompleks meliputi aspek geologi, hidrologi, kimia, dan teknologi penambangan yang diterapkan. Pembentukan AAT dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti susunan batuan daerah tambang, keterdapatan dan intrusi air, metode penambangan, komposisi geokimia batuan, dan faktor alaminya. Secara umum reaksi pembentukan AAT adalah sebagai berikut:

Reaksi pembentukan AAT tersebut terjadi apabila mineral besi disulfida (pirit) terpapar oleh air dan oksigen. Selain pirit, mineral sulfida lain yang berpotensi menjadi sumber

AAT adalah pirotit (Fe x S x ), kalkosit (Cu 2 S), markasit (FeS 2 ), kovelit (CuS), kalkopirit (CuFeS 2 ), molibdenit (MoS 2 ), milerit (NiS), galena (PbS), dan spalerit (ZnS).

Beberapa mekanisme reaksi yang terjadi dalam pembentukan AAT:

Pada reaksi (2) besi sulfida teroksidasi hingga terbentuk besi fero, sulfat, dan ion hidrogen. Pada reaksi (3), besi fero hasil reaksi (2) teroksidasi kembali membentuk besi feri. Reaksi (3) berlangsung lebih lambat tergantung dari tingkat keasaman, dan apabila terdapat bakteri Acidithiobacillus, akan terjadi percepatan proses hingga jutaan kali. Beberapa bakteri yang memiliki peranan percepatan reaksi dapat dilihat pada Tabel

Reaksi (4) terjadi hidrolisis besi, yaitu terjadi pemisahan molekul air. Besi feri hasil dari reaksi (3) terhidrolisis menjadi feri hidroksida. Besi feri hasil reaksi (3) dapat pula secara langsung bereaksi dengan pirit seperti ditunjukkan pada reaksi (5).

Dari semua reaksi di atas terlihat bahwa keasaman terbentuk tidak selalu karena kehadiran oksigen seperti terlihat pada reaksi (4) dan (5). Karena itu bila terbentuk AAT di permukaan overburden maka selanjutnya akan menginfiltrasi ke dalam timbunan dan dapat berganti peran (dengan bantuan bakteri) menjadi katalis untuk material di Dari semua reaksi di atas terlihat bahwa keasaman terbentuk tidak selalu karena kehadiran oksigen seperti terlihat pada reaksi (4) dan (5). Karena itu bila terbentuk AAT di permukaan overburden maka selanjutnya akan menginfiltrasi ke dalam timbunan dan dapat berganti peran (dengan bantuan bakteri) menjadi katalis untuk material di

Tabel 2.1. Bakteri pemercepat reaksi oksidasi bijih sulfida

Kondisi Suhu, C Acidithiobacillus ferrooxidans

Jenis Bakteri

Suasana pH

10 - 37 Acidithiobacillus thiooxidans

0,5 - 6,0

10 - 37 Acidithiobacillus intermedius

0,5 - 6,0

25 - 35 Acidithiobacillus perometabolis

1,9 - 7,0

25 - 35 Acidithiobacillus neapolitanus

2.1.2. Faktor yang Memengaruhi Pembentukan Air Asam Tambang

Pembentukan AAT ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 

Faktor primer, merupakan faktor pembentuk langsung AAT, yaitu komposisi batuan yang meliputi sifat fisik dan kimia, air, dan oksigen.

 Faktor sekunder, merupakan faktor yang mencegah atau mengurangi pembentukan AAT. Mineral karbonat merupakan salah satu contoh mineral alkali yang dapat mengontrol atau mencegah pembentukan AAT.

 Faktor tersier, merupakan faktor alami yang dapat berpengaruh secara signifikan atau mempercepat laju pembentukan AAT, seperti curah hujan, aliran run off, dan aktivitas mikroorganisme.

2.1.3. Prediksi Potensi Pembentukan AAT

Kecenderungan pembentukan AAT ini dapat diprediksi sejak awal kegiatan pertambangan. Secara umum teknik prediksi dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: 

Penilaian secara geologis 

Tes geokimia statik 

Tes geokimia kinetik

2.1.3.1. Penilaian Secara Geologis

Persamaan deposit antara satu deposit dengan lainnya dalam suatu lingkungan pembentuk formasi batuan yang sama (paleoenvironmental) dapat memerkirakan potensi pembentuk air asam tambang. Contoh deposit di lokasi Bukit Suharto dengan lokasi lain (formasi Balikpapan) yang berjauhan apabila paleoenvironmental-nya sama maka dapat dilakukan pendekatan asumsi bahwa pembentukan air asam tambangnya tidak berbeda jauh.

Paleoenvironmental telah digunakan untuk memerkirakan kualitas air tambang batubara pada skala regional. Pemodelan geologi sangat berguna dalam memrediksi potensi generasi asam. Beberapa ahli geologi di lapangan sekarang me-logging dan merekam informasi yang relevan untuk memrediksi pembentukan AAT. Hal ini harus didorong dalam semua program pemboran eksplorasi. Faktor berikut ini berpengaruh

 keadaan oksidasi mineral 

kandungan mineral sulfida 

kandungan mineral karbonat 

alterasi dan kekerasan batuan

Faktor-faktor tersebut menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam pengklasifikasian cadangan mineral yang berpotensi untuk menghasilkan AAT.

2.1.3.2. Tes Geokimia Statik

Tes statik merupakan tes penentuan potensi asam pada material buangan tambang yang relatif mudah, cepat, dan murah. Tes statik mengevaluasi keseimbangan antara proses pembentukan asam (oksidasi material sulfida) dan proses penetralan asam (disolusi karbonat basa). Terdapat dua pendekatan pada tes statik, yaitu prosedur penghitungan asam basa dan prosedur oksidasi langsung hidogen peroksida. Terdapat banyak pendekatan asam basa yang digunakan, tetapi yang umum digunakan di negara-negara Asia Pasifik adalah metode potensi produksi asam bersih (Net Acid Producing Potential/NAPP). Akhir-akhir ini tes pembentukan total asam berdasar hidrogen peroksida (The Hydrogen Peroxide-based Net Acid Generation/NAG) lebih banyak digunakan karena tidak hanya sebagai tes lapangan atau pengisbatan saja, tetapi juga sebagai aplikasi prediksi mineral sulfida yang reaktif.

 Perhitungan Asam Basa (Acid-Base Accounting)

Perhitungan Asam Basa (Acid-Base Accounting) adalah uji statik yang bertujuan untuk menentukan kemampuan suatu percontoh dalam menetralkan dan memproduksi asam secara kuantitatif.

 Potensi Keasaman Maksimum (Maximum Potential Acidity, MPA)

Potensi Keasaman Maksimum (Maximum Potential Acidity, MPA) adalah nilai yang dihitung berdasarkan stoikiometri reaksi oksidasi belerang dengan asumsi reaksi berlangsung sempurna.

 Kapasitas Penetralan Asam (Acid Neutralising Capacity, ANC)

Kapasitas Penetralan Asam (Acid Neutralising Capacity, ANC) adalah kemampuan percontoh dalam pembentukan bufer atau menetralkan asam, yang disebabkan adanya mineral karbonat dalam contoh batuan.

 Net Acid Producing Potential (NAPP)

NAPP merupakan pendekatan teoritis dalam pengelompokan batuan yang menghasilkan asam. NAPP dikalkulasi secara sederhana dengan mengurangi Kapasitas Penetralan Asam (Acid Neutralising Capacity/ANC) dari Potensi Asam Total Maksimum (Maximum Potential Acidity/MPA). Formula NAPP disajikan

- - - (6)

Keterangan: MPA adalah (%S x 30,6)

NAPP dapat dikalkulasi menggunakan total sulfur, total sulfida sulfur atau kandungan sulfur pirit. MPA dihitung dari total sulfur pirit di dalam batuan dan berdasarkan perhitungan dari persamaan reaksi oksidasi pirit, dimana 1% sulfur

pirit setara dengan 30,6 kg H 2 SO 4 per ton batuan. ANC didapat dari reaksi beberapa berat percontoh batuan dengan larutan standar HCl yang selanjutnya dititrasi dengan larutan standar NaOH. Formula ANC adalah sebagai berikut:

Keterangan:

V = volume H 2 SO 4 yang ditambahkan selama titrasi M = konsentrasi H 2 SO 4

W = berat percontoh

 Net Acid Generation (NAG)

Tes ini secara langsung mengevaluasi potensi pembentukan asam bersih tanpa mengukur potensi pembentukan asam dan kapasitas netralisasi asam secara terpisah. Tes ini pun dilakukan untuk menghitung reaktivitas pembentukan asam pada kandungan sulfur percontoh. Metode pengujiannya adalah dengan cara

menambahkan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) pada percontoh batuan untuk mengoksidasi sulfida yang reaktif, selanjutnya dilakukan pengukuran pH.

 pH Pasta

pH pasta merupakan analisis pembentukan asam yang biasanya dilakukan secara in-situ selama 16 hingga 24 jam. Tes ini dilakukan dengan cara merendam percontoh batuan ke dalam akuades. Nilai pH pasta tidak dapat dijadikan tolok ukur sebagai nilai pembentuk asam yang valid karena pembentukannya yang singkat dan kemungkinan terjadinya penetralan yang kecil, maka nilai pH pasta hanya digunakan sebagai gambaran umum karakteristik geokimia percontoh dalam bentuk mentah.

2.1.3.3. Tes Geokimia Kinetik

Tes kinetik yang dilakukan meliputi humidity cells, column tests, batch tests, soxhelet reactor tests, field lysimeters, trial dumps, dan barrel tests. Tes NAG juga dapat dianggap sebagai uji kinetik dan nilai NAG akan digunakan sebagai data pembentukan yang akan dijadikan data dasar dalam reaksi kinetik. Metode ini merupakan upaya Tes kinetik yang dilakukan meliputi humidity cells, column tests, batch tests, soxhelet reactor tests, field lysimeters, trial dumps, dan barrel tests. Tes NAG juga dapat dianggap sebagai uji kinetik dan nilai NAG akan digunakan sebagai data pembentukan yang akan dijadikan data dasar dalam reaksi kinetik. Metode ini merupakan upaya

Tujuan utama dari tes kinetik adalah: 

menyediakan data kinetik dan nilai terkini dari kecepatan reaksi pembentukan asam dan penetral asam dalam kondisi laboratorium atau lapangan.

 menyediakan data pelepasan logam yang terlindi dan kualitas drainase/rembesannya.

 untuk mengevaluasi dan mendapatkan estimasi terbaik dari bermacam opsi pengelolaan seperti penutupan (covers), pengapuran (liming), pelapisan (layering), penggenangan (inundation), dan penambahan bahan kimia (surfaktan).

 Humidity Cell

Tes yang digunakan dalam penentuan laju pembentukan asam. Tes ini menggunakan media kayu yang memiliki saluran udara masuk dan keluar.

 Soxhelet Extraction

Tes dengan menyimulasikan pelapukan geokimia pada percontoh dengan menggunakan peralatan ekstraksi Soxhelet.

 Column Test

Dilakukan dengan meletakkan material di dalam bejana silinder atau semacamnya. Siklus lembap dan kering dibuat dengan penambahan air destilat dan pemanasan dengan lampu.

 Batch Reactor

Batuan dan air dilarutkan dalam bejana (flask). Bejana dikocok kontinyu kemudian larutan (biasanya air destilat) diambil per interval waktu dan dianalisis beberapa parameter seperti pH, sulfat, dan logam terlarut.

 Field Scale

Pengujian yang dilakukan dengan kondisi yang mendekati keadaan sebenarnya. Uji tidak mengurangi ukuran partikel dengan tujuan pendekatan yang mendekati sempurna sesuai kondisi nyata di lapangan.

2.1.4. Pengelolaan Air Asam Tambang

2.1.4.1. Filosofi Penanganan AAT

Beberapa hal dijadikan tolok ukur yang berbeda untuk setiap daerah dalam hal

 Tiap daerah tambang memiliki perbedaan atau keunikan sendiri, antara lain dalam hal faktor geologi, iklim, dan topografi.

 Mineral sulfida tidak selalu sama reaksinya dalam pembentukan AAT.

Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan AAT adalah pencegahan, penanggulangan, dan pemantauan. Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berlangsung secara integral karena tidak ada satupun prinsip yang dapat secara sempurna berdiri sendiri dalam pengelolaan AAT.

2.1.4.2. Pencegahan

Pada kegiatan pencegahan, hal yang sangat penting untuk diketahui adalah cara penambangan yang terintegrasi, mulai dari kegiatan eksplorasi, perencanaan tambang, hingga rencana reklamasi di akhir kegiatan pertambangan.

Secara umum konsep pencegahan terbentuknya AAT adalah pengendalian oksidasi mineral sulfida dan reaksi turunannya. Perlakuan pertama pencegahan adalah penerapan kaidah pertambangan yang baik dan benar, termasuk fase pembersihan lahan (land clearing) yang sesuai aturan. Langkah selanjutnya yang harus diperhatikan adalah pengontrolan kontak antara oksigen dan air dengan mineral sulfida. Langkah- langkah yang umum dilakukan dalam pencegahan ini adalah penerapan metode penutup kering (dry cover method) dan metode penutup basah (wet cover method) dalam penimbunan batuan penutupnya.

 Metode Penutup Kering

Metode penutupan kering merupakan metode penutupan batuan berpotensi pembentuk asam dengan batuan netral atau pengonsumsi asam (basa) yang selanjutnya dipadatkan. Metode ini memiliki implikasi bahwa potensi air asam tambang harus diketahui sebelum penambangan dilakukan, termasuk lokasi dan ketebalan dari material tersebut di dalam cadangan batuan.

Beberapa jenis metode penutup kering adalah:  Enkapsulasi; penutupan batuan berpotensi pembentuk asam dengan batuan

netral atau pengonsumsi asam. Metode ini lebih sering dilakukan karena kemudahannya.

 In-pit disposal; dilakukan pada lokasi pit yang luas atau berdekatan. Metode ini memanfaatkan areal di dalam pit yang telah digunakan tetapi mencukupi untuk

dijadikan areal pembuangan.  Mixing disposal; pencampuran batuan berpotensi pembentuk asam dengan

pengonsumsi asam. Cara ini jarang dilakukan karena kesulitan kondisi geologi dan kemajuan tambangnya serta potensi perubahan batuan penetral menjadi batuan berpotensi pembentuk asam.

Kelebihan metode penutup kering:  Dapat dikombinasikan dengan sistem backfilling.

 Pelaksanaan teknis dapat dilakukan dengan peralatan sederhana atau konvensional.

Kelemahan metode penutup kering:  Memerlukan penjadwalan penimbunan yang tepat dengan adanya sinkronisasi

antara rencana penambangan dengan rencana penimbunan. Metode ini tidak cocok untuk kegiatan penambangan yang tidak terduga (penambangan dilakukan sesuai permintaan konsumen).

 Kuantitas batuan netral atau basa harus dipastikan dapat melingkupi atau menutupi batuan asam sesuai dimensi perencanaan.

 Tingkat pemadatan/kompaksi harus dihitung dan diukur secara benar.

 Metode Penutup Basah

Metode penutup basah merupakan metode yang dilakukan dengan cara penempatan batuan penutup berpotensi pembentuk asam ke dalam suatu area penimbunan dan menggenanginya dengan air. Metode ini cocok untuk daerah cekungan dan/atau memiliki curah hujan yang cukup tinggi.

Kelebihan metode penutup basah:  Ramah lingkungan.

 Dapat memanfaatkan rawa alami untuk mengurangi biaya (apabila diizinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup).

Kelemahan metode penutup basah:  Memerlukan area yang relatif luas.

 Memerlukan biaya tinggi untuk pemindahan batuan apabila area timbunan terletak jauh dari lokasi penambangan.

2.1.4.3. Penanggulangan

Tujuan utama dari penanggulangan air asam tambang adalah mengelola air asam tambang yang terbentuk sehingga pada akhirnya bisa memenuhi baku mutu lingkungan yang dipersyaratkan. Penanggulangan yang umum diterapkan adalah pembubuhan kapur (Anoxic Limestone Drain) dan rawa/lahan basah buatan (artificial wetland).

2.1.4.4. Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk melihat keefektifan dari pencegahan dan penanggulangan air asam tambang yang telah dilakukan. Pemantauan air asam tambang dilakukan tidak hanya terhadap air permukaan saja tetapi juga terhadap air bawah tanah untuk memastikan tidak ada air lindian yang mencemari badan air. Pemantauan dilakukan dengan cara pengambilan percontoh lubang bor untuk mengetahui efektifitas pemadatan batuan penutup dan dengan cara menampung air keluaran dari lereng timbunan.

2.2. KESTABILAN LERENG

Kestabilan/kemantapan lereng merupakan faktor yang sangat penting dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan dan bahan galian, karena menyangkut persoalan keselamatan manusia (pekerja), keamanan peralatan serta kelancaran produksi, dan untuk kegiatan tambang yang berdekatan dengan perkampungan atau pemukiman juga dapat menyangkut keselamatan jiwa dan bangunan sipil umum.

Dalam operasi penambangan, masalah kemantapan lereng ini akan ditemukan pada penggalian tambang terbuka, bendungan untuk cadangan air kerja, tempat penimbunan limbah buangan (tailing disposal) dan penimbunan bijih (stockyard). Apabila lereng-Iereng yang terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit slope) maupun yang merupakan sarana penunjang operasi penambangan (seperti bendungan dan jalan) tidak stabil, maka akan mengganggu kegiatan produksi.

Analisis kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang penting untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap kelancaran produksi maupun terjadinya bencana yang fatal. Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam. Bila karena sesuatu sebab mengalami perubahan keseimbangan akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain, maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaaan yang baru secara alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran- Iongsoran atau gerakan-gerakan lain sampai tercapai keadaaan keseimbangan yang baru. Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal, dan tekanan air dari pori. Ketiga hal di atas mempunyai peranan penting dalam membentuk kestabilan lereng.

Tanah dan/atau batuan memunyai sifat-sifat fisik asli tertentu, seperti sudut geser dalam (angle of internal friction), gaya kohesi, dan bobot isi yang juga sangat berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan memengaruhi kemantapan lereng. Oleh karena itu dalam upaya untuk melakukan analisis kemantapan lereng harus diketahui dengan pasti sistem tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan dan juga sifat-sifat fisik aslinya. Dengan pengetahuan dan data tersebut, dapat dilakukan analisis kelakuan tanah atau batuan tersebut jika digali atau "diganggu". Setelah itu, bisa ditentukan geometri lereng yang diperbolehkan atau mengaplikasikan cara-cara lain yang dapat membantu lereng tersebut menjadi stabil dan mantap.

Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan (safety factor). Faktor keamanan merupakan perbandingan antara gaya- gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut. Nilai faktor keamanan dirumuskan sebagai berikut:

Faktor Kemanan (FK) = gaya penahan / gaya penggerak (8)

FK > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap FK = 1,0

: lereng dalam keadaan seimbang dan siap untuk longsor

FK < 1,0 : lereng tidak mantap

Namun demikian, Indonesia memiliki standar angka faktor keamanan yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum seperti tercantum pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Faktor keamanan minimum kemantapan lereng

Parameter Kuat Geser Resiko

Kondisi Beban

Kurang Teliti

Teliti Kurang Teliti

Tinggi Dengan gempa

1,35 1,50 Tanpa gempa

1,20 1,40 Tanpa gempa

Dengan gempa

Dengan gempa

1,00 1,10 Tanpa gempa

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2001

Keterangan: Resiko Tinggi

apabila ada konsekuensi terhadap manusia cukup besar (ada kemungkinan) dan/atau bangunan sangat mahal dan/atau sangat penting

Resiko Menengah apabila ada konsekuensi terhadap manusia tetapi sedikit (bukan pemukiman) dan/atau bangunan tidak begitu mahal dan/atau tidak begitu penting

Resiko Rendah apabila tidak ada konsekuensi terhadap manusia dan bangunan (sangat murah)

Kuat Geser Maksimum adalah harga puncak dan dipakai bila massa tanah/batuan yang berpotensi longsor tidak memunyai bidang diskontinuitas dan belum pernah mengalami gerakan

Kuat Geser Sisa digunakan apabila massa tanah/batuan yang berpotensi longsor memunyai bidang diskontinuitas dan/atau pernah bergerak (walaupun tidak memunyai bidang diskontinuitas)

Nilai FK yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (kini Kementerian Pekerjaan Umum) bisa dijadikan acuan untuk keadaan dan lokasi tambang yang berada dekat perkampungan atau pemukiman umum.

Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kemantapan lereng, antara lain:

 Penyebaran batuan

Penyebaran dan keragaman jenis batuan sangat berkaitan dengan kemantapan lereng karena kekuatan, sifat fisik dan teknis suatu jenis batuan berbeda dengan batuan lainnya. Penyamarataan jenis batuan akan mengakibatkan kesalahan hasil Penyebaran dan keragaman jenis batuan sangat berkaitan dengan kemantapan lereng karena kekuatan, sifat fisik dan teknis suatu jenis batuan berbeda dengan batuan lainnya. Penyamarataan jenis batuan akan mengakibatkan kesalahan hasil

 Struktur geologi

Struktur geologi yang memengaruhi kemantapan lereng dan perlu diperhatikan dalam analisis adalah struktur regional dan lokal. Struktur ini mencakup sesar, kekar, bidang perlapisan, sinklin dan antiklin, ketidakselarasan, dan liniasi. Struktur ini sangat memengaruhi kekuatan batuan karena umumnya merupakan bidang lemah pada batuan tersebut dan merupakan tempat rembesan air yang memercepat proses pelapukan.

 Morfologi

Keadaan morfologi suatu daerah akan sangat memengaruhi kemantapan lereng di daerah tersebut. Morfologi yang terdiri dari keadaan fisik, karakteristik dan bentuk permukaan bumi, sangat menentukan laju erosi dan pengendapan yang terjadi, menentukan arah aliran air permukaan maupun air tanah dan proses pelapukan batuan.

 Iklim

Iklim memengaruhi temperatur dan jumlah hujan, sehingga berpengaruh pula pada proses pelapukan. Daerah tropis yang panas dan lembap dengan curah hujan tinggi akan menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih cepat daripada daerah sub- tropis. Karena itu ketebalan tanah di daerah tropis lebih tebal dan kekuatannya lebih rendah dari batuan segarnya.

 Tingkat pelapukan

Tingkat pelapukan memengaruhi sifat-sifat asli dari batuan, misal angka kohesi, besarnya sudut geser dalam, dan bobot isi. Semakin tinggi tingkat pelapukan maka kekuatan batuan akan menurun.

 Faktor manusia

Selain faktor alami, manusia juga memberikan andil yang tidak kecil. Misalnya, suatu lereng yang awalnya mantap, karena manusia menebangi pohon pelindung, pengolahan tanah yang tidak baik, saluran air yang tidak baik, penggalian/tambang, dan lainnya menyebabkan lereng tersebut menjadi tidak mantap, sehingga erosi dan longsoran mudah terjadi.

Pada dasarnya longsoran akan terjadi karena dua sebab, yaitu naiknya tegangan geser dan menurunnya kekuatan geser (shear strenght). Adapun faktor yang dapat menaikkan tegangan geser adalah:  Pengurangan penyanggaan lateral, antara lain karena erosi, longsoran terdahulu

 Penambahan tegangan, antara lain karena penambahan beban, tekanan air rembesan, dan penumpukan;  Gaya dinamik, yang disebabkan oleh gempa dan getaran lainnya;

 Pengangkatan atau penurunan regional, yang disebabkan oleh gerakan pembentukan pegunungan dan perubahan sudut kemiringan lereng;  Pemindahan penyangga, yang disebabkan oleh pemotongan tebing oleh sungai, pelapukan dan erosi di bawah permukaan, kegiatan pertambangan dan

terowongan, berkurangnya/hancurnya material di bagian dasar;  Tegangan lateral, yang ditimbulkan oleh adanya air di rekahan serta pembekuan air, penggembungan lapisan lempung dan perpindahan sisa tegangan.

Adapun faktor yang mengurangi kekuatan geser adalah:  Keadaan atau rona awal, yang sudah rendah dari awal disebabkan oleh

komposisi, tekstur, struktur, dan geometri lereng;  Perubahan karena pelapukan dan reaksi kimia fisik, yang menyebabkan lempung berpori menjadi lunak, disintegrasi batuan granular, turunnya kohesi,

pengggembungan lapisan lempung, dan pelarutan material penyemen batuan;  Perubahan gaya antara butiran karena pengaruh kandungan air dan tekanan air pori;  Perubahan struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang terdapat

di tebing/lereng.

Adapun kasus longsoran sepanjang bidang berbentuk lengkung lingkaran adalah yang paling sering digunakan untuk memeriksa kestabilan suatu lereng. Longsoran itu terjadi sepanjang lengkung lingkaran di dalam lereng. Sebagian dari lereng tersebut memutar ke bawah dan keluar dari sekeliling suatu titik pusat lingkaran (pusat rotasi). Bagian bawah dari material longsoran dapat membentuk tonjolan baik pada tubuh lereng maupun pada area sekitar kaki lereng. Bagian atas dari daerah yang longsor akan mengalami penurunan baik tegak lurus permukaan atas lereng maupun di sepanjang mercu lereng.

Gaya utama yang bekerja atas suatu irisan yang berbentuk lengkung lingkaran adalah sebesar W, seperti bisa dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Gaya utama yang bekerja dalam suatu irisan lengkung lingkaran (Das, 1995)

Gaya utama lainnya yang bekerja melawan berat irisan adalah gaya normal N yang arahnya tegak lurus bidang gelincir, disebabkan oleh bagian lereng yang tidak bergerak. Oleh karena arah dari gaya normal ini tegak lurus bidang gelincir (mengarah lewat titik pusat dari lengkung lingkaran) dan tak mengarah langsung melawan gaya berat W, gaya T yang dihasilkan cenderung memutar irisan lereng itu ke arah bawah dan samping di sekeliling titik putaran P. Gerakan putaran ini ditahan oleh gaya kohesif dan gaya gesek dari material lereng timbunan, di sepanjang sisi terluar dari permukaan lingkaran gelincir.

Gaya tahanan terhadap gerakan ke arah lateral maupun geser disebut sebagai kuat geser F. Bila F sama atau lebih besar dari gaya longsoran T yang cenderung menggerakkan irisan lingkaran di sekitar P, maka longsoran tidak akan terjadi di dalam bidang gelincir lereng. Derajat kemantapan lereng, atau Faktor Keamanan, dapat dirumuskan dengan persamaan dibawah ini:

RF FoS  AF (9)

Keterangan: FoS = Factor of Safety RF = Resistance Forces (gaya-gaya penahan)

AF = Acting Forces (gaya-gaya penggerak)

Makin besar faktor keamanan maka makin kecil kemungkinan untuk terjadinya kelongsoran.

Kestabilan lereng dapat ditingkatkan dengan cara memperbesar jumlah total dari gaya- gaya penahan, misalnya dengan menguatkan bagian kritis yang dimiliki suatu lereng Kestabilan lereng dapat ditingkatkan dengan cara memperbesar jumlah total dari gaya- gaya penahan, misalnya dengan menguatkan bagian kritis yang dimiliki suatu lereng

Gambar 2.2. Peningkatan kestabilan lereng dengan meningkatkan jumlah total gaya penahan (Das, 1995)

Pedoman dasar untuk konstruksi sebuah timbunan adalah material dengan kekuatan geser yang tinggi harus ditempatkan pada daerah di sekitar kaki timbunan, dalam hal ini berfungsi sebagai counterweight, untuk menahan pengaruh dari gaya-gaya penggerak. Selain itu, teknik mendatarkan sudut kemiringan lereng atau memperkecil tinggi lereng juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kondisi kestabilan sebuah lereng.

Gambar 2.3. Beberapa teknik slope lereng untuk meningkatkan kestabilan lereng (Das, 1995)

2.2.2. Sifat Fisik dan Mekanik Material Timbunan

Material timbunan terdiri atas unsur padat dan unsur pori. Istilah pori meliputi unsur udara dan air, sedangkan unsur padat mencakup unsur tanah dan batuan. Oleh karena itu, massa total diasumsikan terdiri dari partikel padatan dan pori (udara dan air). Untuk itu, massa timbunan dibagi ke dalam beberapa unsur dasar seperti dapat dilihat pada Gambar 2.4.

V a Udara

Gambar 2.4. Unsur dasar massa timbunan (Das, 1995)

Hubungan massa-volume memerhitungkan ketiga unsur tersebut, yaitu udara, air, dan padatan. Massa udara biasanya diabaikan jika dibandingkan dengan massa air dan padatan.

 Bobot isi

Bobot isi tanah atau batuan merupakan perbandingan antara berat total dengan volume total dari massa tanah/batuan, diformulasikan sebagai:

W γ T

V T (10)

Jika massa tanah/batuan adalah contoh yang tidak terganggu maka bobot yang dihitung merupakan bobot isi alami. Kasus khusus terjadi jika massa tanah/batuan tersebut dalam kondisi jenuh air dimana semua pori tanah/batuan terisi oleh air, sedangkan kasus lainnya adalah kondisi kering dimana air pori dihilangkan dengan cara dikeringkan.

 Angka pori dan porositas

Angka pori merupakan perbandingan antara volume pori V v dengan volume padatan, diformulasikan sebagai:

V v e  V s (11)

Angka pori biasanya dinyatakan dalam desimal < < ∞.

Porositas merupakan perbandingan antara volume void dengan volume total,

V v n  x100

V (12)

Porositas sering dinyatakan kedalam persentase, nilainya berada dalam kisaran 0 < n < 100.

Hubungan antara angka pori dan porositas adalah sebagai berikut:

V v = volume pori

V s = volume partikel padat

V = volume total dari material timbunan

 Kadar air

Kadar air merupakan perbandingan antara berat air dengan berat partikel padat, diformulasikan sebagai:

W w w  x100 W s

Keterangan: W w = berat air

W s = berat partikel padat

Kadar air sering dinyatakan dalam persentase, nilainya berada dalam kisaran 0 < w < ∞.

Derajat kejenuhan (S), dinyatakan dalam persentase, merupakan perbandingan antara volume air dengan volume pori, diformulasikan sebagai:

V w S  x100 V v

Keterangan:

V w = volume air

V v = volume pori

Cakupan nilai derajat kejenuhan beragam, mulai dari S = 0 untuk kondisi kering sampai S = 100 untuk kondisi jenuh.

 Berat jenis

Pengertian dasar dari berat jenis merupakan perbandingan antara bobot isi material timbunan dengan bobot isi air destilasi pada suhu 40 °C, diformulasikan sebagai:

γ w (16)

Keterangan:

G s = berat jenis material timbunan  s = bobot isi material timbunan  w = bobot isi pada suhu 40 °C

 Batas konsistensi/Atterberg (mekanika tanah)

Konsistensi adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan derajat kekakuan (lunak, medium, keras). Batas Atterberg merupakan prosedur yang dikembangkan secara empirik dan digunakan secara luas untuk menjelaskan dan menentukan konsistensi tanah, khususnya tanah tipe kohesif.

Konsistensi tanah tipe ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air porinya. Peningkatan kadar air secara bertahap, sebagai contoh tanah lempung kering, dapat berubah dari kondisi padat ke kondisi semi-padat, ke kondisi plastis, dan selanjutnya, dengan penambahan air lagi menjadi kondisi cair. Nilai kadar air pada kondisi batas dari tiap-tiap kondisi ini dikenal sebagai batas susut, batas plastis, dan batas cair. Gambar 2.5 memperlihatkan hal tersebut:

Increasing limit, w S limit, w P limit, w L water

Gambar 2.5. Nilai kadar air pada kondisi batas (Das, 1995)

content, w

 Distribusi ukuran butiran (mekanika tanah)

Ukuran butiran ditentukan dengan menyaring sejumlah tanah melalui seperangkat saringan yang disusun dengan lubang yang paling besar berada paling atas, dan makin ke bawah makin kecil. Jumlah tanah yang tertahan pada saringan tertentu disebut sebagai salah satu dari ukuran butiran contoh tanah itu.

Komposisi tanah berbutir kasar biasanya ditentukan dengan menyaring tanah melalui seperangkat saringan dengan ukuran yang berbeda dan menimbang berat yang tertahan pada tiap-tiap saringan. Cara ini disebut dengan Analisis Saringan. Material berukuran lebih kecil dari saringan No. 200 biasanya ditentukan berdasarkan kecepatan jatuh bola melalui cairan kental (hukum Stoke). Cara ini

 Uji Proctor (mekanika tanah)

Derajat kepadatan tanah di lapangan biasanya ditentukan dengan kurva hubungan antara berat isi vs kadar air, yang dikenal dengan Uji Proctor/Kompaksi. Uji kompaksi tipe standar digunakan pada studi ini, untuk menentukan derajat kepadatan jenis tanah pada skala laboratorium.

Spesifikasi jenis pengujian, Standard Proctor Test (ASTM D-698 atau AASHTO T-99), adalah sebagai berikut:

 Berat penumbuk

= 2,49 kg

 Tinggi jatuh

= 30,5 cm

 Lapisan

 Jumlah tumbukan tiap lapisan = 25 kali  Energi tiap pengujian 3 = 592 KJ/m

2 = 592 kN/m

2.2.3. Pemadatan/Kompaksi Tanah

Ada beberapa cara yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, salah satunya adalah pemadatan. Cara pemadatan banyak dipakai karena relatif mudah dan biayanya relatif murah. Tujuan pemadatan adalah:

 Meningkatkan kekuatan tanah  Memperbaiki daya dukung tanah  Mengurangi porositas (berkurangnya angka pori serta bertambahnya berat isi)  Mengurangi penurunan tanah dan sifat permeabilitas tanah  Mengurangi sifat susut tanah

2.2.4. Material Timbunan dari Lapisan Penutup

Kegiatan peledakan pada lokasi tambang terbuka seringkali menghasilkan fragmentasi batuan mulai dari ukuran boulder sampai gravel. Fragmentasi ini, yang disebut dengan material buangan tambang, dipindahkan dari lokasi tambang ke dalam truk dengan menggunakan alat muat dan kemudian diangkut ke tempat lain yang ditentukan sebagai lokasi timbunan.

Di lokasi ini, timbunan seringkali dibangun hanya dengan menggunakan truk sehingga pengendalian terhadap distribusi ukuran butiran dari material buangan tambang pada lokasi ini sangat kecil. Namun demikian, teknologi peledakan yang modern sudah dapat mengendalikan material berukuran besar, ditambah dengan adanya alat crusher di lokasi tambang yang bertujuan untuk mengurangi butiran material yang berukuran besar agar dapat diangkut oleh belt-conveyor keluar dari lokasi tambang menuju lokasi penimbunan.

Material timbunan ini seringkali ditangani dengan cara hanya membuangnya keluar dari truk kemudian disebar ke seluruh luasan area lokasi timbunan dengan Material timbunan ini seringkali ditangani dengan cara hanya membuangnya keluar dari truk kemudian disebar ke seluruh luasan area lokasi timbunan dengan

Kemiringan lereng keseluruhan untuk satu lapisan timbunan harus kurang dari sudut angle of repose-nya agar lereng tersebut dapat tetap stabil mengingat umumnya lereng ini tidak mendapat perlakuan pemadatan, sedangkan ketebalan dari tiap lapisan tergantung dari kondisi lokasi timbunan. Pemilihan beberapa lapisan untuk penimbunan material ini membutuhkan biaya operasional yang lebih besar dibandingkan dengan satu lapisan saja, namun memberi manfaat yang lebih baik dari aspek kestabilan lereng serta aspek lingkungan. Kedua aspek ini akan menjadi pertimbangan untuk membuat timbunan menjadi beberapa lapis.

Lokasi timbunan dari material lapisan penutup biasanya berada pada daerah topografi yang alami atau daerah bekas galian tambang dengan tanah pucuk (apabila tersedia) digunakan untuk reklamasi lapisan atas dari timbunan yang ada. Penempatan material dari lapisan penutup pada lokasi timbunan biasanya hanya membutuhkan lapisan tanah dasar yang padat atau yang dipadatkan, untuk menghindari terjadinya pelindian ke dalam lapisan di bawahnya dan menghindari pergeseran tanah atau batuan timbunan.

Tinggi lereng timbunan bervariasi bergantung pada kondisi topografi dari lokasi tambang setempat serta geomekanika batuannya. Ketinggian dan kemiringan lereng harus mempertimbangkan aspek kemantapan serta didukung dengan serangkaian studi tentang kemantapan lerengnya.

Khusus untuk lereng timbunan yang tinggi dan curam harus selalu mewaspadai bahaya longsor yang dapat mengancam sewaktu-waktu karena bahaya limpasan dari material yang longsor dapat menutupi area kerja yang sangat besar dan mengancam keselamatan jiwa manusia serta peralatan yang ada sehingga isu kemantapan lereng menjadi sebuah keharusan. Pengendalian air limpasan dilakukan dengan membuat saluran pelimpah untuk mengurangi terjadinya erosi di permukaan serta kelongsoran pada lereng yang curam. Sedimentasi yang terjadi akibat erosi di permukaan harus ditangani dengan menambah peralatan penanganan sedimen sebelum dialirkan menuju ke sungai.

Metode pembuatan lereng timbunan dari lapisan penutup dapat menimbulkan debu yang dapat memengaruhi lingkungan di sekitarnya. Pemantauan kualitas udara serta jenis logam tertentu yang terkandung di dalamnya akan membantu untuk menangani masalah ini. Penyiraman secara berkala terhadap lapisan permukaan lereng akan mengurangi jumlah debu yang ada. Penyediaan fasilitas bersamaan dengan area rehabilitasi juga dapat mengurangi debu.

2.3. KONDISI KEGIATAN PENAMBANGAN

2.3.1. PT. Newmont Nusa Tenggara

Sistem penambangan di PT. Newmont Nusa Tenggara adalah sistem tambang terbuka (open pit mining) dengan metode konvensional menggunakan truk dan shovel. Penambangan di Batu Hijau diawali dengan kegiatan pengeboran dan peledakan. Ledakan menghasilkan batuan berukuran rata-rata 25 cm. Dengan menggunakan shovel berukuran besar, batuan diangkut ke dalam truk berkapasitas 240 ton dan dibawa ke unit crusher (mesin penghancur). Pada unit crusher batuan dihancurkan atau diperkecil hingga berdiameter rata-rata kurang dari 15 cm. Batuan bijih yang telah diperkecil selanjutnya diangkut dengan belt conveyor (ban berjalan) sepanjang 6 km ke pabrik pemrosesan mineral (konsentrator) untuk diolah hingga menjadi konsentrat.

Terdapat dua jenis daerah timbunan di daerah pertambangan PT. NNT, yang pertama adalah untuk waste rock yang dibuang ke waste dump. Yang kedua adalah untuk bijih berkadar rendah yang ditumpuk di ore stockpile, yang akan kembali digali bila bijih berkadar tinggi telah habis dieksploitasi dan diolah. Ampas hasil pengolahan mineral tidak dibuang ke waste dump tetapi langsung ditempatkan di palung lepas pantai Ngarai Senunu dengan sistem Penempatan Tailing Laut Dalam (Deep Sea Tailing Placement/DSTP).

PT. NNT menerapkan sistem kanal ganda (double channel) pada penyaliran air permukaannya. Hal ini dilakukan untuk menjaga mutu/kualitas air alami yang berasal dari hutan agar tidak tercampur atau terkontaminasi dengan air produksi tambang. Setiap perluasan areal penambangan didahului oleh perombakan kanal lama dan pembuatan kanal air baru. Kanal air bersih akan langsung didistribusikan ke daerah luar tambang atau masyarakat dan alam. Air produksi tambang diresirkulasi untuk digunakan dalam proses pengolahan mineral.

Area sekitar penambangan merupakan hutan primer yang diusahakan dengan permohonan izin pakai pada Kementerian Kehutanan. Pada tahun 2010 curah hujan rata-rata bulanan mencapai puncaknya pada bulan April dengan nilai 589 mm (khusus di areal tambang) dan musim kering terjadi pada bulan Juni hingga Agustus dengan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 36 mm. Area tambang dilingkupi dengan keterdapatan tanah pucuk yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh iklim tropis yang cenderung lembap dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga memicu pelapukan yang cukup tinggi.

2.3.2. PT. Avocet Bolaang Mongondow

Penambangan mineral emas yang dilakukan oleh PT. Avocet Bolaang Mongondow menggunakan metode tambang terbuka, sedangkan sistem pengolahan materialnya adalah dengan sistem heap leaching dengan bottom up dumping (undakan/penimbunan dari bawah ke atas). Pada dasar dari timbunan batuan tersebut telah dipasang geotextile tipe HDPE untuk menahan infiltrasi ke dalam tanah dasar yang dapat berpotensi untuk terjadinya air asam tambang dan pencemaran sianidasi di daerah sekitar lokasi tambang.