analisa definisi korban khususnya korban

1

Analisis Terhadap Defnisi

Krran Dalam Pelaksanaan

Bantuan Medis dan PsikKsKsial Lemraga Perlindungan
Saksi dan

Krran

Oleh : Rully Novian dan Susilaningtias1

A. Pendahuluan
Rezim orde baru telah menyisahkan banyak permasalahan yang
terjadi di Indonesia, salah satunya hutang Negara terhadap
warga negaranya yang menjadi korban dari kekuasaan orde
baru, dengan lahirnya beberapa undang-undang dan peraturan–
peraturan di Indonesia yang tentunya sejalan dengan rezim
Ham Internasional. Ada beberapa hak yang menjadi tanggung
jawab


Negara

yang

harus

diberikan

kepada

Korban

Pelanggaran Ham yang berat.

Hak-hak yang dapat diperoleh oleh korban pelanggaran
HAM yang berat, termasuk juga hak untuk mendapatkan
rehabilitasi medis dan psiko-sosial adalah Kekhususan
yang dimiliki oleh korban pelanggaran HAM yang berat.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip dan ketentuan hukum

HAM Internasional tentang korban pelanggaran HAM dan
hukum

humaniter.

Dalam konteks

Indonesia, karena

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan

kejahatan

yang

masuk

dalam


kategori

pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, maka terhadap dua kejahatan ini menimbulkan
kewajiban bagi negara untuk memberikan reparasi atau
1

Staf Divisi Penerimaan Permohonan LPSK

1

2

pemulihan
reparasi

kepada

kepada


korban.

korban

Kewajiban

merupakan

memberikan

tanggung

jawab

negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen
hak

asasi


dan

(jurisprudensi)

ditegaskan

dalam

komite-komite

hak

putusan-putusan
asasi

manusia

internasional maupun regional.
Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban
negara atas pelanggaran hukum HAM internasional juga

memberikan hak kepada individu atau kelompok yang
menjadi

korban

mendapatkan
pemulihan

dalam

wilayah

penanganan

yang

adil,

hukum


yang

negara

itu

yang

efektif

sesuai

untuk

dengan

dan

hukum


internasional. Suatu negara tidak saja harus memberikan
pemulihan, tetapi juga harus menjamin bahwa paling tidak
hukum

domestik

memberikan

perlindungan

dengan

standar yang sama dengan apa yang menjadi tanggung
jawab atau kewajiban internasional. Dengan kata lain
maka negara harus memberikan atau menyediakan suatu
akses yang efektif dan setara bagi korban pelanggaran
HAM yang berat untuk memperoleh keadilan dan juga
harus memberikan ganti rugi yang efektif bagi korban,
termasuk di dalamnya pemulihan atau reparasi.
Dalam Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak Atas

Pemulihan

untuk

Korban

Pelanggaran

Hukum

HAM

Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles and
Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for
Victims of Violations of International Human Rights and
Humanitarian Law 1995); dan Deklarasi Prinsip-prinsip
Dasar

Keadilan


Penyalahgunaan

Bagi
Kekuasaan

2

Korban

Kejahatan

(Declaration

of

dan
Basic

3


Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of
Power). Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles
and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation
for Victims of Violations of International Human Rights
and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban
memiliki lima hak reparasi yaitu:
a. Restitusi;
b. Kompensasi;
c. Rehabilitasi;
d. Kepuasan (Satisfaction);
e. Jaminan ketidakberulangan (non reccurence).
Rehabilitasi

yang

dimaksud

dalam

prinsip

tersebut

mencakup pelayanan hukum, jasa medis atau juga jasa
psikologis

yang

ditujukan

untuk

pemulihan

korban

termasuk pula memulihkan nama baik dan martabat
korban.2 Dalam kerangka tersebut maka bantuan dalam
UU No 13 Tahun 2006 merupakan bagian dari pemenuhan
prinsip-prinsip tersebut. Sebelum adanya UU No 23 Tahun
2006. Hak rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat
hanya

ada

dalam

UU

No

26

tahun

2000

tentang

Pengadilan HAM termasuk dalam PP 3 Tahun 2002,
namun ketentuan mengenai rehabilitasi tersebut sulit
untuk dilakukan.
Dengan lahirnya UU No 13 tahun 2006 terutama yang
diatur baik dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa
bantuan yang dimaksudkan oleh UU No. 13 Tahun 2006
yang disebutkan pada Pasal 6 mencakup pada pertama,
bantuan

medis

dan

kedua,

2

bantuan

rehabilitasi

Supriyadi Widodo Eddiono dalam Makalah Aspek Aspek-Aspek
Penting Dalam Penanganan Permohonan dan Penelaahan Bantuan Medis dan
Psikososial Korban Pelanggaran HAM Berat LPSK

3

4

psikososial.

Undang-undang

juga

menyatakan

bahwa

bantuan tersebut akan diberikan pada korban pelanggaran
HAM

berat.

Demikian

pula

Peraturan

Pemerintah

(selanjutnya disingkat PP) No. 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada
Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa
korban

pelanggaran

HAM

yang

berat

memperoleh

bantuan;
B. Ruang Lingkup
1. Bentuk

ejahatan Pelanggaran Ham Yang Berat

Kejahatan dalam Kategori Pelanggaran Ham Yang
Berat Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan Ham meliputi

3

:

a) kejahatan genosida;
yang dimaksud dengan kejahatan ini adalah dimana
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian

kelompok

dengan

maksud

untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruhnya atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau
mental

yang

berat

terhadap

anggota-anggota

kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fsik
baik

seluruh

atau

tindakan-tindakan

sebagiannya,

yang

memaksakan

bertujuan

mencegah

kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan
3

Pasal 7 UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

4

5

secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan

yang

dilakukan

serangan

yang

meluas

sebagai

atau

bagian

sistematik

dari
yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
 pembunuhan;
 pemusnahan;
 perbudakan;
 pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa;
 perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fsik lain secara
 sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum
 internasional;
 penyiksaan;
 perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan
 kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk
 kekerasan seksual lain yang setara;
 penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari
 persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin
 atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang

5

6

 menurut hukum internasional;
 penghilangan orang secara paksa; atau
 kejahatan apartheid.
2. Defnisi

Krran Pelanggaran Ham yang rerat

a. Defnisi

Krran Menurut Hukum InternasiKnal

Mengacu pada Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian
Law,

defnisi dari korban pelanggaran ham yang

berat adalah “Victims are persons who individually
or collectively sufered harm, including physical or
mental injury, emotional sufering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights,
through acts or omissions that constitute gross
violations of international human rights law, or
serious violations of international humanitarian law.
Where appropriate, and in accordance with domestic
law, the term “victim” also includes the immediate
family or dependants of the direct victim and
persons who have sufered harm in intervening to
assist victims in distress or to prevent victimization”.
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan “Korban
adalah

orang

yang

secara

perseorangan

atau

kelompok yang menderita kerugian, termasuk luka
fsik atau mental, penderitaan emosional, kerugian
ekonomi

atau

subtansi

hak-hak

dasar

mereka,

melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan
pelanggaran

berat

hukum

6

hak

asasi

manusia

7

internasional,

atau

pelanggaran

serius

hukum

kemanusiaan internasional . Apabila diperlukan, dan
sesuai dengan hukum nasionalnya, istilah "korban"
juga termasuk keluarga dekat atau tanggungan dari
korban

langsung

menderita
untuk

dan

kerugian

membantu

orang-orang

dalam

korban

yang

melakukan
dalam

telah

tindakan

kesulitan

atau

mencegah terjadinya viktimisasi .”
Selanjutnya

International

Criminal

Court

juga

memberikan defnisi korban sebagai:
(a) “Victims, means natural persons who have
sufered harm as a result of the commission of
any crime within the jurisdiction of the court;
(b) Victims

may

include

organizations

or

institutions that have sustained direct harm to
any of their property which is dedicated to
religion, education, art or science or charitable
purposes, and to their historic monuments,
hospitals and other places and objects for
humanitarian pusposes.”
Dalam terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
(a) Korban

berarti

orang-orang

yang

telah

mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk
dalam jurisdiksi Mahkamah.
(b) Korban
atau

bisa

mencakup organisasi-organisasi

lembaga-lembaga

yang

benar-benar

tertimpa kerugian langsung atas harta milik
mereka

yang

dibaktikan

bagi

kepentingan

agama, pendidikan, seni, atau ilmu pengetahuan
7

8

atau untuk tujuan-tujuan karikatif dan atas
monumen-monumen
sakit

dan

sejarah

tempat-tempat

mereka,

serta

rumah

obyek-obyek

lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau
misi kemanusiaan.
Dari kedua defnisi di atas, ada beberapa hal yang
menjadi

unsur-unsur

penting

mengenai

korban,

sebagai berikut:
1.

Unsur penderitaan atau kerugian yang dialami
akibat dari suatu kejahatan

2.

Korban itu mencakup individu (orang per orang)
dan kelompok.

Sehingga menurut hukum internasional, korban ini
tidak saja dimaknai sebagai individu, tetapi juga
kelompok atau organisai. Selanjutnya hal ini dapat
kita

bandingkan

dengan

pengaturan

mengenai

korban kejahatan di Indonesia
r. Defnisi

Krran Menurut Hukum NasiKnal

Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional
yang juga telah merativikasi berbagai instrument
internasional juga tentunya telah memiliki defnisi
tentang apa itu Korban Pelanggaran Ham Yang
Berat yang tertuang di dalam peraturan perundangundangan.
1. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat:

8

9

“Korban

adalah

orang

perseorangan

atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fsik
dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun.”
2. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi,
Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Yang Berat
“Korban

adalah

orang

perseorangan

atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fsik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi,

atau

pengurangan

atau

mengalami

pengabaian,

perampasan

hak-hak

dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah
ahli warisnya”.
3. Defnisi menurut Undang-undang No 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan:
“Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”4.
4. Defnisi

Menurut

Rancangan

Perubahan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan:

4

Pasal 1 Angka 2 UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.

9

10

“Korban

adalah

orang

yang

mengalami

penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas mengenai
defnisi korban, ada hal yang menarik dimana ada
perbedaan mendasar di antara ke empat peraturan
perundang-undangan di atas dalam mendefnisikan
korban. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
masih menyebutkan mengenai cakupan korban yang
tidak saja individu, seseorang, tetapi juga kelompok.
Sementara di dalam rezim Undang-undang Nomor
13

Tahun

2006

sudah

tidak

mendefnisikan

kelompok sebagai korban. Di dalam undang-undang
ini

jelas

menyebutkan

bahwa

korban

adalah

seseorang. Sedangkan defnisi di dalam Rancangan
Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
mendefnisikan korban sebagai “orang”. Hal ini
masih belum jelas apakah “orang” di sini dimaknai
sebagai

individu

saja

atau

apakah

kelompok/organisasi juga termasuk di dalamnya.
Perbedaan cakupan ini akan berimplikasi kepada
pemberian reparasi kepada korban.
3.

Knsep Reparasi Bagi

Krran

Menurut hukum internasional, pelanggaran terhadap
setiap hak asasi manusia menimbulkan suatu hak atas
reparasi

bagi

korban.

Reparasi

diberikan

untuk

menghormati dan memastikan penghormatan terhadap
hak

asasi

manusia,
10

termasuk

kewajiban

untuk

11

mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki
pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan
yang layak bagi pelanggar, dan kewajiban untuk
memberikan remedi bagi para korban. Reparasi untuk
pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan
untuk

meringankan

penderitaan

dan

memberikan

keadilan bagi para korban dengan menghilangkan atau
memperbaiki akibat-akibat dari tindakan salah dan
dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.
Reparasi seharusnya sesuai dengan kerugian yang
dialami oleh para korban, kebutuhan, dan keinginan
para korban. Reparasi haruslah proporsional dengan
beratnya pelanggaran dan kerusakan yang ditimbulkan
dan

haruslah

rehabilitasi,
terulang

mencakup:

kepuasan,

lagi.

restitusi,

dan

Termasuk

jaminan
dalam

kompensasi,
untuk

reparasi

tidak
untuk

pelanggaran hak asasi manusia berat adalah menuntut
dan menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Menurut Theo Van Boven, pemulihan (reparasi) adalah
segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat material
maupun non material bagi para korban pelanggaran
hak-hak

asasi

manusia.

Oleh

karena

itu

hak

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi mencakup aspekaspek tertentu dari pemulihan.

Boven mengusulkan

enam prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh negara
yang akan merumuskan kebijakan untuk pemenuhan
hak-hak korban, yakni:
1. Pemulihan dapat dituntut secara individual maupun
kolektif.

11

12

2. Negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah
pemulihan yang efektif secara penuh. Pemulihan
harus seimbang dengan beratnya pelanggaran dan
kerusakan-kerusakan

yang

diakibatkannya,

yang

mencakup pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
kepuasan, dan jaminan agar kejadian serupa tidak
terulang.
3. Setiap

negara

harus

mengumumkan

melalui

mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di
dalam maupun di luar negeri tentang tersedianya
prosedur-prosedur pemulihan.
4. Ketentuan-ketentuan
diterapkan

selama

pembatasan
masa

tidak

dimana

boleh

tidak

ada

penyelesaian efektif atas pelanggaran asasi manusia
dan pelanggaran hukum humaniter.
5. Setiap negara harus memungkinkan tersedianya
secara cepat seluruh informasi yang berkenaan
dengan

persyaratan-persyaratan

tuntutan

pemulihan.
6. Keputusan-keputusan menyangkut pemulihan atas
korban

pelanggaran

hak

asasi

manusia

dan

pelanggaran hukum humaniter harus dilaksanaka
melalui cara yang cermat dan cepat.5
Sementara pandangan lain mengenai prinsip-prinsip
umum dalam penanganan korban Pelanggaran Ham
yang berat antara lain6 :
5

Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Pengantar Buku: Ifdhal Kasim Hal.
xxi-xxii, ELSAM, 2002.
6
Roichatul Aswidah (Komisioner Komasn Ham), Dalam Bahan
Presentasi, Tantangan Pemenuhan Layanan Bantuan Bagi Korban
Pelanggaran HAM Berat Pasca Perubahan UU Perlindungan Saksi dan
Korban, Disampaikan Pada Acara Gelar Perkara Divisi Penerimaan
Permohonan –LPSK Tanggal 3 Oktober 2014

12

13

a) prinsip

umum,

bahwa

pelanggaran

hak

asasi

manusia menerbitkan adanya hak korban atau pun
keluarganya atas pemulihan.
b) Implikasi, adanya kewajiban dan tugas di pundak
negara untuk memberikan pemulihan kepada korban
atau

pun

keluarganya

serta

kemungkinan

bagi

korban untuk mencari pemulihan dari pelaku.
c) Negara

harus

korban

menjamin

untuk

adanya

menuntut

prosedur

pemulihan

bagi
serta

mempublikasikannya.
Selanjutnya Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan PBB
tentang

Hak

atas

Penyelesaian

dan

Reparasi

menyebutkan kerangka reparasi sebagai berikut:
 Restitusi,

mengembalikan

korban

pada

situasi

sebelum terjadi pelanggaran HAM yang berat,
melalui

pengembalian

kebebasan,

kewarganegaraan, pekerjaan atau hak milik.
 Kompensasi, diberikan untuk mengganti kerugian
akibat kerusakan yang dialami oleh korban baik
materiil maupun non materiil.
 Rehabilitasi, merupakan upaya untuk memperbaiki
kerusakan

permanen

dari

pelanggaran

HAM

melalui penyediaan jasa medis, psikologis, hukum,
dan sosial.
 Kepuasan,

meliputi

dihentikannya

pelanggaran,

pengakuan kebenaran kepada publik, pencarian
orang yang hilang dan yang dibunuh, deklarasi hak
korban,

sanksi

hukum

dan

administrasi

bagi

mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran,

13

14

dan

peringatan

serta

penghormatan

terhadap

korban.
 Jaminan

ketidakberulangan,

termasuk

sektor

keamanan untuk memastikan bahwa pengawasan
sipil secara efektif, penguatan sistem peradilan
yang independen, pendidikan HAM untuk aparat
penegak hukum dan keamanan, mekanisme untuk
mencegah dan memantau konfik, serta peninjauan
dan reformasi atas hukum dan kebijakan yang
berkontribusi pada terjadinya pelanggaran HAM
yang berat.7
4. PrKsedur dan Mekanisme
Setiap

negara

harus

menyiapkan

prosedur

dan

mekanisme bagi para korban untuk dapat mengakses
program pemulihan terhadap dirinya atau kelompok.
Mekanisme dan prosedur ini biasanya tidak bisa
dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di negara
tersebut. Mekanismenya biasanta disesuai dengan halhal keperdataan, administrasi, dan prosedural, dengan
tujuan untuk menjamin bahwa hak atas reparasi dapat
diakses

dengan

mudah,

tidak

dihambat

dan

mempertimbangkan kerentanan potensial dari para
korban.

Selain itu negara juga berkewajiban untuk

mempublikasikan prosedur dan mekanisme tersebut.
5. Reparasi di IndKnesia
Dalam hal pemberian reparasi kepada para korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Pemerintah
7

Ibid

14

15

Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002. Kedua peraturan ini diterbitkan sebagai
pelaksana dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang

Pengadilan

Hak

Asasi

Manusia.

Kedua

peraturan ini mengatur mengenai hak korban dan saksi
pelanggaran

hak

asasi

manusia

berat

untuk

mendapatkan perlindungan atas informasinya untuk
mengungkap pelanggaran hak asasi manusia berat dan
juga hak korban untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sebagai reparasi terhadap
para korban.
Pada

tahun

2006

pemerintah

juga

menerbitkan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dimana di
dalam mengatur mengenai hak korban pelanggaran
ham berat untuk mendapatkan bantuan medis dan
psiko-sosial serta kompensasi dan restitusi. Undnagundang ini
Lembaga

kemudian

menjadi

Perlindungan

Saksi

dasar
dan

didirikannya

Korban,

yang

diberikan mandat untuk memberikan perlindungan dan
bantuan

bagi

para

saksi

dan

korban

kejahatan,

termasuk korban pelangagran hak asasi manusia berat.
Lebih lanjut pelaksanaan undang-undang ini diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
Kepada Saksi dan Korban.
6. PERAN

LPS

DALAM

REPARASI

ORBAN

PELANGGARAN HAM BERAT
Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan

Saksi

dan
15

Korban

mengatur

bahwa

16

korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan
psiko-sosial.

Selanjutnya

Pasal

7

Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006 juga mengatur bahwa korban
pelanggaran hak asasi manusia berhak mendapatkan
kompensasi dan restitusi (korban kejahatan lainnya
juga berhak atas restitusi).

Selanjutnya lebih detail

mengenai mekanismenya diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.
Ketentuan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor
13 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk medis dan
psiko-sosial diberikan dalam bentu bantuan. Tidak ada
di

dalam

undang-undang

ini

atau

Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 yang menyebutkan
bahwa mekanisme bantuan medis dan psiko-sosial
kepada para korban tersebut adalah sebagai bentuk
reparasi. Dus, tidak ada juga di dokumen-dokumen
lainnya yang menyatakan bahwa hak para korban
pelanggaran ham berat yang diatur di kedua peraturan
perundang-undangan tersebut sebagai bagian dari
reparasi bagi korban pelanggaran ham berat. Bentuk
layanan untuk medis dan psiko-sosial hanya bersifat
“bantuan”.
LPSK sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk
melaksanakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
beserta aturan di bawahnya, dapat melaksanakan
ketentuan di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang
ini.

Dalam konteks ini, LPSK telah melayani banyak

korban pelanggaran ham berat dengan bentuk bantuan
16

17

untuk pengobatan (medis) dan psiko-sosial. Implikasi
dalam bentuk bantuan adalah tidak semua bantuan
tersebut dilakukan sampai tuntas, misalnya sampai
korban sembuh benar.
Selain itu LPSK juga memberikan bantuan tersebut
secara individu perseorangan. Hal ini karena; Pertama,
administrasi pencatatan perlindungan di LPSK secara
individu

yang

pembiayaan

dan

dilindungi.

Kedua,

dalam

pertanggungjawaban

sistem

penggunaan

biaya untuk orang-orang yang dilindungi/dilayani oleh
LPSK, dilakukan secara individu. Namun demikian,
tidak

menutup

kemungkinan

setiap

individu

mendapatkan 1 layanan. Seorang yang dibantu oleh
LPSK dapat saja mendapatkan 2 layanan bantuan,
seperti mendapatkan bantuan medis dan psiko-sosial
sekaligus. Ada juga yang mendapatkan hanya salah
satunya.
Untuk mendapatkan layanan bantuan medis dan psikososial ini, terlebih dahulu sudah ada penetapan bahwa
suatu peristiwa atau tindak pidana adalah pelanggaran
ham berat oleh KOMNAS HAM.

Selanjutnya untuk

mengidentifkasi siapa korban dan bukan, Komnas
Ham sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
untuk persoalan hak asasi manusia akan menerbitkan
dokumen yang menerangkan bahwa seseorang adalah
korban pelanggaran ham berat.
Berkaitan dengan hal tersebut, memang telah ada
beberapa

peristiwa

yang

ditetapkan

pelanggaran ham berat, yaitu peristiwa

17

sebagai
Mei 1998

18

(termasuk penghilangan paksa), peristiwa
Priok,

dan

peristiwa

1965.

Para

tanjung

korban

yang

mengalami penderitaan akibat pelanggaran ham berat
pada

peristiwa-peristiwa

tersebut

sebagian

telah

mengajukan permohonan bantuan medis dan psikososial.

Sebagian

dari

mereka

juga

ada

yang

mengajukan permohonan kompensasi.
Untuk bantuan medis dan psiko-sosial, LPSK dapat
memberikan layanan tersebut berdasarkan keputusan
LPSK. Tetapi untuk kompensasi, belum ada yang dapat
dibantu oleh LPSK untuk proses pengajuannya karena
sejauh ini belum ada pengadilan ham. Sementara
kompensasi dapat diberikan negara kepada korban
pelanggaran ham berat jika melalui pengadilan ham
sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000.
Dalam hal layanan, LPSK tercatat telah melayani
korban pelanggaran ham berat dengan rincian sebagai
berikut (Periode Januari-Minggu I Oktober 2014):
Wilayah
DI. Yogyakarta
Sumatera Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Tengah
TKtal

Medis
51
133
38
443
1
3
7
51
10
8
745

18

PsikKlKgis
43
13
10
215
2
5
17
305

19

Pada awal pemberian bantuan medis dan psiko-sosial,
LPSK

memberikan

bantuan

juga

kepada

keluarga

korban. Hal ini didasarkan ketentuan di dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan
defnisi keluarga (ahli waris) jika kita mengacu pada
penyebutan ahli waris pada defnisi korban yang ada
pada PP No 3 Tahun 2002. Undag-undang Nomor 13
Tahun 2006 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis
menyamping

sampai

derajat

ketiga,

atau

yang

mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
mejadi tanggungan saksi dan/atau korban”.
Tetapi

sejak

tahun

mempertimbangkan
bantuan

kepada

2014,

untuk
korban

LPSK

membatasi
pelanggaran

mulai

pemberian
ham

berat

khususnya untuk peristiwa tahun 1965. LPSK mulai
membedakan korban langsung dan tidak langsung
untuk memberikan bantuan. Para korban langsung yang
mengalami penderitaan akibat peristiwa pelanggaran
ham berat 1965 diberikan bantuan medis dan psikologis
(jika memerlukan) dengan keputusan LPSK. Sementara
untuk korban tidak langsung seperti anak atau istri
korban, hanya diberikan bantuan psiko-sosial (jika
memerlukan).

Tapi

jika

tidak,

maka

tidak

dapat

diberikan bantuan. Hal ini bertolak belakang dengan
dokumentasi atau rekomendasi yang diberikan oleh
KOMNAS HAM yang menyatakan bahwa orang-orang
tersebut adalah berstatus sebagai korban pelanggaran

19

20

ham

berat

tidak

pandang

bulu

apakah

yang

bersangkutan adalah anak atau istri dari korban.
7. Pemriayaan Medis dan PsikK-SKsial Bagi Para
Krran
Undang-undang
mengamanatkan

Nomor
kepada

13
LPSK

Tahun
untuk

2006

memberikan

bantuan medis dan psiko-sosial bagi para korban
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dengan dianggarkannya biaya bantuan
medis dan psiko-sosial. Selanjutnya anggaran untuk
bantuan medis dan psiko-sosial ini tidak saja digunakan
untuk kepentingan pembiayaan bantuan medis dan
psikologis bagi para korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, tetapi juga digunakan untuk
pembiayaan bantuan medis dan psikologis bagi para
saksi dan korban kejahatan lainnya yang menjadi
prirotas LPSK untuk ditangani. Hal ini dimaksudkan
agar para saksi dan korban kejahatan tersebut jika
mengalami penderitaan fsik dan psikis, dapat diobati,
sehingga

memudahkan

saksi

dan

korban

untuk

mengungkapkan kejahatan yang diketahuinya.
LPSK telah menganggarkan biaya bantuan medis dan
psiko-sosial ini sejak tahun 2010. Anggaran medis
digunakan untuk biaya pengobatan bagi para korban
pelanggaran ham yang berat serta pengobatan bagi
korban kejahatan lainnya yang mengalami penderitaan.
Sementara untuk biaya psiko-sosial digunakan bukan
untuk pembiayaan psiko-sosial yang seutuhnya, hanya
digunakan untuk konseling psikologi bagi para saksi

20

21

dan korban yang terganggu psikisnya karena tindak
pidana yang dialaminya.
Dalam kurun waktu sejak tahun 2010 sampai 2011
biaya ini hanya digunakan untuk pembiayaan medis
dan psikologis bagi saksi dan korban kejahatan lainnya.
Tetapi pada tahun 2012, para korban pelanggaran hak
asasi

manusia

yang

berat

telah

mulai

menerima

manfaat. Pada tahun 2012 para korban yang pertama
kali menerima manfaat adalah para korban kasus
tanjung

priok,

keluarga

korban tahun

keluarga korban penghilangan paksa.

1998,

dan

Untuk ketiga

kasus ini LPSK membiayai pengobatan medis dan
psikologis korban yang secara langsung mengalami
penderitaan dan keluarganya.

Selanjutnya menjelang

akhir tahun 2012, LPSK menerima banyak permohonan
bantuan

medis

dan

psikologis

dari

para

korban

pelanggaran ham yang berat peristiwa tahun 1965
karena sekitar akhir Bulan Juli 2012, Komnas Ham
menyatakan

bahwa

peristiwa

1965

merupakan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sejak saat
itu

para

korban

peristiwa

1965

mengajukan

permohonan ke LPSK untuk mendapatkan bantuan
medis

dan

psikologis.

penganggaran
psikososial

LPSK

pada

Berikut

untuk

tahun

data

bantuan

2013

dan

mengenai
medis

2014

dan

beserta

realisasinya:
Bantuan

2013

2014

Realisasi

Penyerapan
dalam Persen

2013

Per Sept
2014

21

2013

2014

22

2.223.050.00

3.543.640.00

2.218.648,16

2.458.423.77

0,-

0,-

2,-

8,-

Psikososi

1.156.746.00

601.240.000,

1.156.514.89

49.663.098,-

al

0.-

-

5,-

Medis

99,80%

69,38%

99,98%

8,26%

Dari data di atas dapat dilihat bahwa anggaran bantuan
medis mengalami kenaikan pada tahun 2014.

Hal ini

karena penyerapan anggaran bantuan medis pada
tahun 2013 tinggi karena banyaknya korban yang harus
diberikan bantuan medis. Sementara berbeda dengan
anggaran biaya bantuan psiko-sosial yang mengalami
penurunan karena penggunaan biaya psiko-sosial pada
tahun 2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2014
bantuan psiko-sosial tidak banyak dimanfaatkan karena
tidak semua korban pelanggaran ham berat bersedia
menerima layanan bantuan psiko-sosial.
C.

esimpulan dan Saran
Undang-undang No 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa
pengertian korban adalah “seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Jadi pemberian
bantuan

tersebut

diberikan

kepada

korban

dalam

pengertian orang yang secara langsung menderita akibat
suatu tindak pidana. Sementara untuk keluarga korban di
dalam rezim undang-undang ini hanya diposisikan sebagai
pihak

yang

dapat

mengajukan

bantuan

medis

dan

psikologis. Untuk restitusi dan kompensasi dimungkinkan
keluarga korban atau ahli warisnya mendapatkan ini.
Sementara pengaturan mengenai defnisi korban di dalam
Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun

22

23

2006 juga masih belum jelas mengenai istilah “orang”,
apakah ini menyebut pada orang secara langsung atau
juga keluarga.
Namun dalam konsep hukum internasional, korban dalam
hal ini tidak saja seseorang yang mengalami langsung
tetapi juga orang-orang di sekitarnya bahkan orang-orang
yang

membantu

juga

diidentifkasi

sebagai

korban.

Defnisi korban seperti hukum internasional ini juga
diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
Peraturan

ini

mencakup

menyebutkan

kepada

Ahli

bahwa

Waris

korban

termasuk

(keluarga),

dimana

pengertian keluarga adalah “orang yang mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai

hubungan

perkawinan,

atau

orang

yang

menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban”.
Dengan kata lain bantuan medis dan psikososial yang
dilaksanakan

oleh

Lembaga

Perlindungan

Saksi

dan

Korban dapat diberikan kepada:
 Seseorang yang mengalami penderitaan fsik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana (korban yang secara langsung
mengalami kejahatan sesuai dengan defnisi kejahatan
sebagaimana telah disebutkan di atas)
 Keluarga

korban

yang

mempunyai

hubungan

perkawinan (istri korban)
 Keluarga

korban

yakni

orang

yang

mempunyai

hubungan darah darah dalam garis lurus ke atas atau

23

24

ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga
(anak korban)
 Orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban
(anak angkat atau anak adopsi korban).
 Dengan kenaikan permohonan bantuan dari para
korban pelanggaran ham berat peristiwa 1965 ini,
maka disarankan agar LPSK menaikkan anggaran
untuk bantuan medis dan psikologis bagi saksi dan
korban.

24