analisa definisi korban khususnya korban
1
Analisis Terhadap Defnisi
Krran Dalam Pelaksanaan
Bantuan Medis dan PsikKsKsial Lemraga Perlindungan
Saksi dan
Krran
Oleh : Rully Novian dan Susilaningtias1
A. Pendahuluan
Rezim orde baru telah menyisahkan banyak permasalahan yang
terjadi di Indonesia, salah satunya hutang Negara terhadap
warga negaranya yang menjadi korban dari kekuasaan orde
baru, dengan lahirnya beberapa undang-undang dan peraturan–
peraturan di Indonesia yang tentunya sejalan dengan rezim
Ham Internasional. Ada beberapa hak yang menjadi tanggung
jawab
Negara
yang
harus
diberikan
kepada
Korban
Pelanggaran Ham yang berat.
Hak-hak yang dapat diperoleh oleh korban pelanggaran
HAM yang berat, termasuk juga hak untuk mendapatkan
rehabilitasi medis dan psiko-sosial adalah Kekhususan
yang dimiliki oleh korban pelanggaran HAM yang berat.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip dan ketentuan hukum
HAM Internasional tentang korban pelanggaran HAM dan
hukum
humaniter.
Dalam konteks
Indonesia, karena
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan
kejahatan
yang
masuk
dalam
kategori
pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, maka terhadap dua kejahatan ini menimbulkan
kewajiban bagi negara untuk memberikan reparasi atau
1
Staf Divisi Penerimaan Permohonan LPSK
1
2
pemulihan
reparasi
kepada
kepada
korban.
korban
Kewajiban
merupakan
memberikan
tanggung
jawab
negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen
hak
asasi
dan
(jurisprudensi)
ditegaskan
dalam
komite-komite
hak
putusan-putusan
asasi
manusia
internasional maupun regional.
Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban
negara atas pelanggaran hukum HAM internasional juga
memberikan hak kepada individu atau kelompok yang
menjadi
korban
mendapatkan
pemulihan
dalam
wilayah
penanganan
yang
adil,
hukum
yang
negara
itu
yang
efektif
sesuai
untuk
dengan
dan
hukum
internasional. Suatu negara tidak saja harus memberikan
pemulihan, tetapi juga harus menjamin bahwa paling tidak
hukum
domestik
memberikan
perlindungan
dengan
standar yang sama dengan apa yang menjadi tanggung
jawab atau kewajiban internasional. Dengan kata lain
maka negara harus memberikan atau menyediakan suatu
akses yang efektif dan setara bagi korban pelanggaran
HAM yang berat untuk memperoleh keadilan dan juga
harus memberikan ganti rugi yang efektif bagi korban,
termasuk di dalamnya pemulihan atau reparasi.
Dalam Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak Atas
Pemulihan
untuk
Korban
Pelanggaran
Hukum
HAM
Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles and
Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for
Victims of Violations of International Human Rights and
Humanitarian Law 1995); dan Deklarasi Prinsip-prinsip
Dasar
Keadilan
Penyalahgunaan
Bagi
Kekuasaan
2
Korban
Kejahatan
(Declaration
of
dan
Basic
3
Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of
Power). Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles
and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation
for Victims of Violations of International Human Rights
and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban
memiliki lima hak reparasi yaitu:
a. Restitusi;
b. Kompensasi;
c. Rehabilitasi;
d. Kepuasan (Satisfaction);
e. Jaminan ketidakberulangan (non reccurence).
Rehabilitasi
yang
dimaksud
dalam
prinsip
tersebut
mencakup pelayanan hukum, jasa medis atau juga jasa
psikologis
yang
ditujukan
untuk
pemulihan
korban
termasuk pula memulihkan nama baik dan martabat
korban.2 Dalam kerangka tersebut maka bantuan dalam
UU No 13 Tahun 2006 merupakan bagian dari pemenuhan
prinsip-prinsip tersebut. Sebelum adanya UU No 23 Tahun
2006. Hak rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat
hanya
ada
dalam
UU
No
26
tahun
2000
tentang
Pengadilan HAM termasuk dalam PP 3 Tahun 2002,
namun ketentuan mengenai rehabilitasi tersebut sulit
untuk dilakukan.
Dengan lahirnya UU No 13 tahun 2006 terutama yang
diatur baik dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa
bantuan yang dimaksudkan oleh UU No. 13 Tahun 2006
yang disebutkan pada Pasal 6 mencakup pada pertama,
bantuan
medis
dan
kedua,
2
bantuan
rehabilitasi
Supriyadi Widodo Eddiono dalam Makalah Aspek Aspek-Aspek
Penting Dalam Penanganan Permohonan dan Penelaahan Bantuan Medis dan
Psikososial Korban Pelanggaran HAM Berat LPSK
3
4
psikososial.
Undang-undang
juga
menyatakan
bahwa
bantuan tersebut akan diberikan pada korban pelanggaran
HAM
berat.
Demikian
pula
Peraturan
Pemerintah
(selanjutnya disingkat PP) No. 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada
Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa
korban
pelanggaran
HAM
yang
berat
memperoleh
bantuan;
B. Ruang Lingkup
1. Bentuk
ejahatan Pelanggaran Ham Yang Berat
Kejahatan dalam Kategori Pelanggaran Ham Yang
Berat Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan Ham meliputi
3
:
a) kejahatan genosida;
yang dimaksud dengan kejahatan ini adalah dimana
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian
kelompok
dengan
maksud
untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruhnya atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau
mental
yang
berat
terhadap
anggota-anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fsik
baik
seluruh
atau
tindakan-tindakan
sebagiannya,
yang
memaksakan
bertujuan
mencegah
kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan
3
Pasal 7 UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
4
5
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan
yang
dilakukan
serangan
yang
meluas
sebagai
atau
bagian
sistematik
dari
yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
pembunuhan;
pemusnahan;
perbudakan;
pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa;
perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fsik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum
internasional;
penyiksaan;
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang
5
6
menurut hukum internasional;
penghilangan orang secara paksa; atau
kejahatan apartheid.
2. Defnisi
Krran Pelanggaran Ham yang rerat
a. Defnisi
Krran Menurut Hukum InternasiKnal
Mengacu pada Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian
Law,
defnisi dari korban pelanggaran ham yang
berat adalah “Victims are persons who individually
or collectively sufered harm, including physical or
mental injury, emotional sufering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights,
through acts or omissions that constitute gross
violations of international human rights law, or
serious violations of international humanitarian law.
Where appropriate, and in accordance with domestic
law, the term “victim” also includes the immediate
family or dependants of the direct victim and
persons who have sufered harm in intervening to
assist victims in distress or to prevent victimization”.
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan “Korban
adalah
orang
yang
secara
perseorangan
atau
kelompok yang menderita kerugian, termasuk luka
fsik atau mental, penderitaan emosional, kerugian
ekonomi
atau
subtansi
hak-hak
dasar
mereka,
melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan
pelanggaran
berat
hukum
6
hak
asasi
manusia
7
internasional,
atau
pelanggaran
serius
hukum
kemanusiaan internasional . Apabila diperlukan, dan
sesuai dengan hukum nasionalnya, istilah "korban"
juga termasuk keluarga dekat atau tanggungan dari
korban
langsung
menderita
untuk
dan
kerugian
membantu
orang-orang
dalam
korban
yang
melakukan
dalam
telah
tindakan
kesulitan
atau
mencegah terjadinya viktimisasi .”
Selanjutnya
International
Criminal
Court
juga
memberikan defnisi korban sebagai:
(a) “Victims, means natural persons who have
sufered harm as a result of the commission of
any crime within the jurisdiction of the court;
(b) Victims
may
include
organizations
or
institutions that have sustained direct harm to
any of their property which is dedicated to
religion, education, art or science or charitable
purposes, and to their historic monuments,
hospitals and other places and objects for
humanitarian pusposes.”
Dalam terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
(a) Korban
berarti
orang-orang
yang
telah
mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk
dalam jurisdiksi Mahkamah.
(b) Korban
atau
bisa
mencakup organisasi-organisasi
lembaga-lembaga
yang
benar-benar
tertimpa kerugian langsung atas harta milik
mereka
yang
dibaktikan
bagi
kepentingan
agama, pendidikan, seni, atau ilmu pengetahuan
7
8
atau untuk tujuan-tujuan karikatif dan atas
monumen-monumen
sakit
dan
sejarah
tempat-tempat
mereka,
serta
rumah
obyek-obyek
lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau
misi kemanusiaan.
Dari kedua defnisi di atas, ada beberapa hal yang
menjadi
unsur-unsur
penting
mengenai
korban,
sebagai berikut:
1.
Unsur penderitaan atau kerugian yang dialami
akibat dari suatu kejahatan
2.
Korban itu mencakup individu (orang per orang)
dan kelompok.
Sehingga menurut hukum internasional, korban ini
tidak saja dimaknai sebagai individu, tetapi juga
kelompok atau organisai. Selanjutnya hal ini dapat
kita
bandingkan
dengan
pengaturan
mengenai
korban kejahatan di Indonesia
r. Defnisi
Krran Menurut Hukum NasiKnal
Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional
yang juga telah merativikasi berbagai instrument
internasional juga tentunya telah memiliki defnisi
tentang apa itu Korban Pelanggaran Ham Yang
Berat yang tertuang di dalam peraturan perundangundangan.
1. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat:
8
9
“Korban
adalah
orang
perseorangan
atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fsik
dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun.”
2. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi,
Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Yang Berat
“Korban
adalah
orang
perseorangan
atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fsik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi,
atau
pengurangan
atau
mengalami
pengabaian,
perampasan
hak-hak
dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah
ahli warisnya”.
3. Defnisi menurut Undang-undang No 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan:
“Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”4.
4. Defnisi
Menurut
Rancangan
Perubahan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan:
4
Pasal 1 Angka 2 UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
9
10
“Korban
adalah
orang
yang
mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas mengenai
defnisi korban, ada hal yang menarik dimana ada
perbedaan mendasar di antara ke empat peraturan
perundang-undangan di atas dalam mendefnisikan
korban. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
masih menyebutkan mengenai cakupan korban yang
tidak saja individu, seseorang, tetapi juga kelompok.
Sementara di dalam rezim Undang-undang Nomor
13
Tahun
2006
sudah
tidak
mendefnisikan
kelompok sebagai korban. Di dalam undang-undang
ini
jelas
menyebutkan
bahwa
korban
adalah
seseorang. Sedangkan defnisi di dalam Rancangan
Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
mendefnisikan korban sebagai “orang”. Hal ini
masih belum jelas apakah “orang” di sini dimaknai
sebagai
individu
saja
atau
apakah
kelompok/organisasi juga termasuk di dalamnya.
Perbedaan cakupan ini akan berimplikasi kepada
pemberian reparasi kepada korban.
3.
Knsep Reparasi Bagi
Krran
Menurut hukum internasional, pelanggaran terhadap
setiap hak asasi manusia menimbulkan suatu hak atas
reparasi
bagi
korban.
Reparasi
diberikan
untuk
menghormati dan memastikan penghormatan terhadap
hak
asasi
manusia,
10
termasuk
kewajiban
untuk
11
mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki
pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan
yang layak bagi pelanggar, dan kewajiban untuk
memberikan remedi bagi para korban. Reparasi untuk
pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan
untuk
meringankan
penderitaan
dan
memberikan
keadilan bagi para korban dengan menghilangkan atau
memperbaiki akibat-akibat dari tindakan salah dan
dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.
Reparasi seharusnya sesuai dengan kerugian yang
dialami oleh para korban, kebutuhan, dan keinginan
para korban. Reparasi haruslah proporsional dengan
beratnya pelanggaran dan kerusakan yang ditimbulkan
dan
haruslah
rehabilitasi,
terulang
mencakup:
kepuasan,
lagi.
restitusi,
dan
Termasuk
jaminan
dalam
kompensasi,
untuk
reparasi
tidak
untuk
pelanggaran hak asasi manusia berat adalah menuntut
dan menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Menurut Theo Van Boven, pemulihan (reparasi) adalah
segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat material
maupun non material bagi para korban pelanggaran
hak-hak
asasi
manusia.
Oleh
karena
itu
hak
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi mencakup aspekaspek tertentu dari pemulihan.
Boven mengusulkan
enam prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh negara
yang akan merumuskan kebijakan untuk pemenuhan
hak-hak korban, yakni:
1. Pemulihan dapat dituntut secara individual maupun
kolektif.
11
12
2. Negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah
pemulihan yang efektif secara penuh. Pemulihan
harus seimbang dengan beratnya pelanggaran dan
kerusakan-kerusakan
yang
diakibatkannya,
yang
mencakup pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
kepuasan, dan jaminan agar kejadian serupa tidak
terulang.
3. Setiap
negara
harus
mengumumkan
melalui
mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di
dalam maupun di luar negeri tentang tersedianya
prosedur-prosedur pemulihan.
4. Ketentuan-ketentuan
diterapkan
selama
pembatasan
masa
tidak
dimana
boleh
tidak
ada
penyelesaian efektif atas pelanggaran asasi manusia
dan pelanggaran hukum humaniter.
5. Setiap negara harus memungkinkan tersedianya
secara cepat seluruh informasi yang berkenaan
dengan
persyaratan-persyaratan
tuntutan
pemulihan.
6. Keputusan-keputusan menyangkut pemulihan atas
korban
pelanggaran
hak
asasi
manusia
dan
pelanggaran hukum humaniter harus dilaksanaka
melalui cara yang cermat dan cepat.5
Sementara pandangan lain mengenai prinsip-prinsip
umum dalam penanganan korban Pelanggaran Ham
yang berat antara lain6 :
5
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Pengantar Buku: Ifdhal Kasim Hal.
xxi-xxii, ELSAM, 2002.
6
Roichatul Aswidah (Komisioner Komasn Ham), Dalam Bahan
Presentasi, Tantangan Pemenuhan Layanan Bantuan Bagi Korban
Pelanggaran HAM Berat Pasca Perubahan UU Perlindungan Saksi dan
Korban, Disampaikan Pada Acara Gelar Perkara Divisi Penerimaan
Permohonan –LPSK Tanggal 3 Oktober 2014
12
13
a) prinsip
umum,
bahwa
pelanggaran
hak
asasi
manusia menerbitkan adanya hak korban atau pun
keluarganya atas pemulihan.
b) Implikasi, adanya kewajiban dan tugas di pundak
negara untuk memberikan pemulihan kepada korban
atau
pun
keluarganya
serta
kemungkinan
bagi
korban untuk mencari pemulihan dari pelaku.
c) Negara
harus
korban
menjamin
untuk
adanya
menuntut
prosedur
pemulihan
bagi
serta
mempublikasikannya.
Selanjutnya Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan PBB
tentang
Hak
atas
Penyelesaian
dan
Reparasi
menyebutkan kerangka reparasi sebagai berikut:
Restitusi,
mengembalikan
korban
pada
situasi
sebelum terjadi pelanggaran HAM yang berat,
melalui
pengembalian
kebebasan,
kewarganegaraan, pekerjaan atau hak milik.
Kompensasi, diberikan untuk mengganti kerugian
akibat kerusakan yang dialami oleh korban baik
materiil maupun non materiil.
Rehabilitasi, merupakan upaya untuk memperbaiki
kerusakan
permanen
dari
pelanggaran
HAM
melalui penyediaan jasa medis, psikologis, hukum,
dan sosial.
Kepuasan,
meliputi
dihentikannya
pelanggaran,
pengakuan kebenaran kepada publik, pencarian
orang yang hilang dan yang dibunuh, deklarasi hak
korban,
sanksi
hukum
dan
administrasi
bagi
mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran,
13
14
dan
peringatan
serta
penghormatan
terhadap
korban.
Jaminan
ketidakberulangan,
termasuk
sektor
keamanan untuk memastikan bahwa pengawasan
sipil secara efektif, penguatan sistem peradilan
yang independen, pendidikan HAM untuk aparat
penegak hukum dan keamanan, mekanisme untuk
mencegah dan memantau konfik, serta peninjauan
dan reformasi atas hukum dan kebijakan yang
berkontribusi pada terjadinya pelanggaran HAM
yang berat.7
4. PrKsedur dan Mekanisme
Setiap
negara
harus
menyiapkan
prosedur
dan
mekanisme bagi para korban untuk dapat mengakses
program pemulihan terhadap dirinya atau kelompok.
Mekanisme dan prosedur ini biasanya tidak bisa
dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di negara
tersebut. Mekanismenya biasanta disesuai dengan halhal keperdataan, administrasi, dan prosedural, dengan
tujuan untuk menjamin bahwa hak atas reparasi dapat
diakses
dengan
mudah,
tidak
dihambat
dan
mempertimbangkan kerentanan potensial dari para
korban.
Selain itu negara juga berkewajiban untuk
mempublikasikan prosedur dan mekanisme tersebut.
5. Reparasi di IndKnesia
Dalam hal pemberian reparasi kepada para korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Pemerintah
7
Ibid
14
15
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002. Kedua peraturan ini diterbitkan sebagai
pelaksana dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang
Pengadilan
Hak
Asasi
Manusia.
Kedua
peraturan ini mengatur mengenai hak korban dan saksi
pelanggaran
hak
asasi
manusia
berat
untuk
mendapatkan perlindungan atas informasinya untuk
mengungkap pelanggaran hak asasi manusia berat dan
juga hak korban untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sebagai reparasi terhadap
para korban.
Pada
tahun
2006
pemerintah
juga
menerbitkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dimana di
dalam mengatur mengenai hak korban pelanggaran
ham berat untuk mendapatkan bantuan medis dan
psiko-sosial serta kompensasi dan restitusi. Undnagundang ini
Lembaga
kemudian
menjadi
Perlindungan
Saksi
dasar
dan
didirikannya
Korban,
yang
diberikan mandat untuk memberikan perlindungan dan
bantuan
bagi
para
saksi
dan
korban
kejahatan,
termasuk korban pelangagran hak asasi manusia berat.
Lebih lanjut pelaksanaan undang-undang ini diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
Kepada Saksi dan Korban.
6. PERAN
LPS
DALAM
REPARASI
ORBAN
PELANGGARAN HAM BERAT
Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan
Saksi
dan
15
Korban
mengatur
bahwa
16
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan
psiko-sosial.
Selanjutnya
Pasal
7
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 juga mengatur bahwa korban
pelanggaran hak asasi manusia berhak mendapatkan
kompensasi dan restitusi (korban kejahatan lainnya
juga berhak atas restitusi).
Selanjutnya lebih detail
mengenai mekanismenya diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.
Ketentuan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor
13 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk medis dan
psiko-sosial diberikan dalam bentu bantuan. Tidak ada
di
dalam
undang-undang
ini
atau
Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 yang menyebutkan
bahwa mekanisme bantuan medis dan psiko-sosial
kepada para korban tersebut adalah sebagai bentuk
reparasi. Dus, tidak ada juga di dokumen-dokumen
lainnya yang menyatakan bahwa hak para korban
pelanggaran ham berat yang diatur di kedua peraturan
perundang-undangan tersebut sebagai bagian dari
reparasi bagi korban pelanggaran ham berat. Bentuk
layanan untuk medis dan psiko-sosial hanya bersifat
“bantuan”.
LPSK sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk
melaksanakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
beserta aturan di bawahnya, dapat melaksanakan
ketentuan di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang
ini.
Dalam konteks ini, LPSK telah melayani banyak
korban pelanggaran ham berat dengan bentuk bantuan
16
17
untuk pengobatan (medis) dan psiko-sosial. Implikasi
dalam bentuk bantuan adalah tidak semua bantuan
tersebut dilakukan sampai tuntas, misalnya sampai
korban sembuh benar.
Selain itu LPSK juga memberikan bantuan tersebut
secara individu perseorangan. Hal ini karena; Pertama,
administrasi pencatatan perlindungan di LPSK secara
individu
yang
pembiayaan
dan
dilindungi.
Kedua,
dalam
pertanggungjawaban
sistem
penggunaan
biaya untuk orang-orang yang dilindungi/dilayani oleh
LPSK, dilakukan secara individu. Namun demikian,
tidak
menutup
kemungkinan
setiap
individu
mendapatkan 1 layanan. Seorang yang dibantu oleh
LPSK dapat saja mendapatkan 2 layanan bantuan,
seperti mendapatkan bantuan medis dan psiko-sosial
sekaligus. Ada juga yang mendapatkan hanya salah
satunya.
Untuk mendapatkan layanan bantuan medis dan psikososial ini, terlebih dahulu sudah ada penetapan bahwa
suatu peristiwa atau tindak pidana adalah pelanggaran
ham berat oleh KOMNAS HAM.
Selanjutnya untuk
mengidentifkasi siapa korban dan bukan, Komnas
Ham sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
untuk persoalan hak asasi manusia akan menerbitkan
dokumen yang menerangkan bahwa seseorang adalah
korban pelanggaran ham berat.
Berkaitan dengan hal tersebut, memang telah ada
beberapa
peristiwa
yang
ditetapkan
pelanggaran ham berat, yaitu peristiwa
17
sebagai
Mei 1998
18
(termasuk penghilangan paksa), peristiwa
Priok,
dan
peristiwa
1965.
Para
tanjung
korban
yang
mengalami penderitaan akibat pelanggaran ham berat
pada
peristiwa-peristiwa
tersebut
sebagian
telah
mengajukan permohonan bantuan medis dan psikososial.
Sebagian
dari
mereka
juga
ada
yang
mengajukan permohonan kompensasi.
Untuk bantuan medis dan psiko-sosial, LPSK dapat
memberikan layanan tersebut berdasarkan keputusan
LPSK. Tetapi untuk kompensasi, belum ada yang dapat
dibantu oleh LPSK untuk proses pengajuannya karena
sejauh ini belum ada pengadilan ham. Sementara
kompensasi dapat diberikan negara kepada korban
pelanggaran ham berat jika melalui pengadilan ham
sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000.
Dalam hal layanan, LPSK tercatat telah melayani
korban pelanggaran ham berat dengan rincian sebagai
berikut (Periode Januari-Minggu I Oktober 2014):
Wilayah
DI. Yogyakarta
Sumatera Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Tengah
TKtal
Medis
51
133
38
443
1
3
7
51
10
8
745
18
PsikKlKgis
43
13
10
215
2
5
17
305
19
Pada awal pemberian bantuan medis dan psiko-sosial,
LPSK
memberikan
bantuan
juga
kepada
keluarga
korban. Hal ini didasarkan ketentuan di dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan
defnisi keluarga (ahli waris) jika kita mengacu pada
penyebutan ahli waris pada defnisi korban yang ada
pada PP No 3 Tahun 2002. Undag-undang Nomor 13
Tahun 2006 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis
menyamping
sampai
derajat
ketiga,
atau
yang
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
mejadi tanggungan saksi dan/atau korban”.
Tetapi
sejak
tahun
mempertimbangkan
bantuan
kepada
2014,
untuk
korban
LPSK
membatasi
pelanggaran
mulai
pemberian
ham
berat
khususnya untuk peristiwa tahun 1965. LPSK mulai
membedakan korban langsung dan tidak langsung
untuk memberikan bantuan. Para korban langsung yang
mengalami penderitaan akibat peristiwa pelanggaran
ham berat 1965 diberikan bantuan medis dan psikologis
(jika memerlukan) dengan keputusan LPSK. Sementara
untuk korban tidak langsung seperti anak atau istri
korban, hanya diberikan bantuan psiko-sosial (jika
memerlukan).
Tapi
jika
tidak,
maka
tidak
dapat
diberikan bantuan. Hal ini bertolak belakang dengan
dokumentasi atau rekomendasi yang diberikan oleh
KOMNAS HAM yang menyatakan bahwa orang-orang
tersebut adalah berstatus sebagai korban pelanggaran
19
20
ham
berat
tidak
pandang
bulu
apakah
yang
bersangkutan adalah anak atau istri dari korban.
7. Pemriayaan Medis dan PsikK-SKsial Bagi Para
Krran
Undang-undang
mengamanatkan
Nomor
kepada
13
LPSK
Tahun
untuk
2006
memberikan
bantuan medis dan psiko-sosial bagi para korban
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dengan dianggarkannya biaya bantuan
medis dan psiko-sosial. Selanjutnya anggaran untuk
bantuan medis dan psiko-sosial ini tidak saja digunakan
untuk kepentingan pembiayaan bantuan medis dan
psikologis bagi para korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, tetapi juga digunakan untuk
pembiayaan bantuan medis dan psikologis bagi para
saksi dan korban kejahatan lainnya yang menjadi
prirotas LPSK untuk ditangani. Hal ini dimaksudkan
agar para saksi dan korban kejahatan tersebut jika
mengalami penderitaan fsik dan psikis, dapat diobati,
sehingga
memudahkan
saksi
dan
korban
untuk
mengungkapkan kejahatan yang diketahuinya.
LPSK telah menganggarkan biaya bantuan medis dan
psiko-sosial ini sejak tahun 2010. Anggaran medis
digunakan untuk biaya pengobatan bagi para korban
pelanggaran ham yang berat serta pengobatan bagi
korban kejahatan lainnya yang mengalami penderitaan.
Sementara untuk biaya psiko-sosial digunakan bukan
untuk pembiayaan psiko-sosial yang seutuhnya, hanya
digunakan untuk konseling psikologi bagi para saksi
20
21
dan korban yang terganggu psikisnya karena tindak
pidana yang dialaminya.
Dalam kurun waktu sejak tahun 2010 sampai 2011
biaya ini hanya digunakan untuk pembiayaan medis
dan psikologis bagi saksi dan korban kejahatan lainnya.
Tetapi pada tahun 2012, para korban pelanggaran hak
asasi
manusia
yang
berat
telah
mulai
menerima
manfaat. Pada tahun 2012 para korban yang pertama
kali menerima manfaat adalah para korban kasus
tanjung
priok,
keluarga
korban tahun
keluarga korban penghilangan paksa.
1998,
dan
Untuk ketiga
kasus ini LPSK membiayai pengobatan medis dan
psikologis korban yang secara langsung mengalami
penderitaan dan keluarganya.
Selanjutnya menjelang
akhir tahun 2012, LPSK menerima banyak permohonan
bantuan
medis
dan
psikologis
dari
para
korban
pelanggaran ham yang berat peristiwa tahun 1965
karena sekitar akhir Bulan Juli 2012, Komnas Ham
menyatakan
bahwa
peristiwa
1965
merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sejak saat
itu
para
korban
peristiwa
1965
mengajukan
permohonan ke LPSK untuk mendapatkan bantuan
medis
dan
psikologis.
penganggaran
psikososial
LPSK
pada
Berikut
untuk
tahun
data
bantuan
2013
dan
mengenai
medis
2014
dan
beserta
realisasinya:
Bantuan
2013
2014
Realisasi
Penyerapan
dalam Persen
2013
Per Sept
2014
21
2013
2014
22
2.223.050.00
3.543.640.00
2.218.648,16
2.458.423.77
0,-
0,-
2,-
8,-
Psikososi
1.156.746.00
601.240.000,
1.156.514.89
49.663.098,-
al
0.-
-
5,-
Medis
99,80%
69,38%
99,98%
8,26%
Dari data di atas dapat dilihat bahwa anggaran bantuan
medis mengalami kenaikan pada tahun 2014.
Hal ini
karena penyerapan anggaran bantuan medis pada
tahun 2013 tinggi karena banyaknya korban yang harus
diberikan bantuan medis. Sementara berbeda dengan
anggaran biaya bantuan psiko-sosial yang mengalami
penurunan karena penggunaan biaya psiko-sosial pada
tahun 2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2014
bantuan psiko-sosial tidak banyak dimanfaatkan karena
tidak semua korban pelanggaran ham berat bersedia
menerima layanan bantuan psiko-sosial.
C.
esimpulan dan Saran
Undang-undang No 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa
pengertian korban adalah “seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Jadi pemberian
bantuan
tersebut
diberikan
kepada
korban
dalam
pengertian orang yang secara langsung menderita akibat
suatu tindak pidana. Sementara untuk keluarga korban di
dalam rezim undang-undang ini hanya diposisikan sebagai
pihak
yang
dapat
mengajukan
bantuan
medis
dan
psikologis. Untuk restitusi dan kompensasi dimungkinkan
keluarga korban atau ahli warisnya mendapatkan ini.
Sementara pengaturan mengenai defnisi korban di dalam
Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun
22
23
2006 juga masih belum jelas mengenai istilah “orang”,
apakah ini menyebut pada orang secara langsung atau
juga keluarga.
Namun dalam konsep hukum internasional, korban dalam
hal ini tidak saja seseorang yang mengalami langsung
tetapi juga orang-orang di sekitarnya bahkan orang-orang
yang
membantu
juga
diidentifkasi
sebagai
korban.
Defnisi korban seperti hukum internasional ini juga
diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
Peraturan
ini
mencakup
menyebutkan
kepada
Ahli
bahwa
Waris
korban
termasuk
(keluarga),
dimana
pengertian keluarga adalah “orang yang mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai
hubungan
perkawinan,
atau
orang
yang
menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban”.
Dengan kata lain bantuan medis dan psikososial yang
dilaksanakan
oleh
Lembaga
Perlindungan
Saksi
dan
Korban dapat diberikan kepada:
Seseorang yang mengalami penderitaan fsik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana (korban yang secara langsung
mengalami kejahatan sesuai dengan defnisi kejahatan
sebagaimana telah disebutkan di atas)
Keluarga
korban
yang
mempunyai
hubungan
perkawinan (istri korban)
Keluarga
korban
yakni
orang
yang
mempunyai
hubungan darah darah dalam garis lurus ke atas atau
23
24
ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga
(anak korban)
Orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban
(anak angkat atau anak adopsi korban).
Dengan kenaikan permohonan bantuan dari para
korban pelanggaran ham berat peristiwa 1965 ini,
maka disarankan agar LPSK menaikkan anggaran
untuk bantuan medis dan psikologis bagi saksi dan
korban.
24
Analisis Terhadap Defnisi
Krran Dalam Pelaksanaan
Bantuan Medis dan PsikKsKsial Lemraga Perlindungan
Saksi dan
Krran
Oleh : Rully Novian dan Susilaningtias1
A. Pendahuluan
Rezim orde baru telah menyisahkan banyak permasalahan yang
terjadi di Indonesia, salah satunya hutang Negara terhadap
warga negaranya yang menjadi korban dari kekuasaan orde
baru, dengan lahirnya beberapa undang-undang dan peraturan–
peraturan di Indonesia yang tentunya sejalan dengan rezim
Ham Internasional. Ada beberapa hak yang menjadi tanggung
jawab
Negara
yang
harus
diberikan
kepada
Korban
Pelanggaran Ham yang berat.
Hak-hak yang dapat diperoleh oleh korban pelanggaran
HAM yang berat, termasuk juga hak untuk mendapatkan
rehabilitasi medis dan psiko-sosial adalah Kekhususan
yang dimiliki oleh korban pelanggaran HAM yang berat.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip dan ketentuan hukum
HAM Internasional tentang korban pelanggaran HAM dan
hukum
humaniter.
Dalam konteks
Indonesia, karena
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan
kejahatan
yang
masuk
dalam
kategori
pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, maka terhadap dua kejahatan ini menimbulkan
kewajiban bagi negara untuk memberikan reparasi atau
1
Staf Divisi Penerimaan Permohonan LPSK
1
2
pemulihan
reparasi
kepada
kepada
korban.
korban
Kewajiban
merupakan
memberikan
tanggung
jawab
negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen
hak
asasi
dan
(jurisprudensi)
ditegaskan
dalam
komite-komite
hak
putusan-putusan
asasi
manusia
internasional maupun regional.
Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban
negara atas pelanggaran hukum HAM internasional juga
memberikan hak kepada individu atau kelompok yang
menjadi
korban
mendapatkan
pemulihan
dalam
wilayah
penanganan
yang
adil,
hukum
yang
negara
itu
yang
efektif
sesuai
untuk
dengan
dan
hukum
internasional. Suatu negara tidak saja harus memberikan
pemulihan, tetapi juga harus menjamin bahwa paling tidak
hukum
domestik
memberikan
perlindungan
dengan
standar yang sama dengan apa yang menjadi tanggung
jawab atau kewajiban internasional. Dengan kata lain
maka negara harus memberikan atau menyediakan suatu
akses yang efektif dan setara bagi korban pelanggaran
HAM yang berat untuk memperoleh keadilan dan juga
harus memberikan ganti rugi yang efektif bagi korban,
termasuk di dalamnya pemulihan atau reparasi.
Dalam Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak Atas
Pemulihan
untuk
Korban
Pelanggaran
Hukum
HAM
Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles and
Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for
Victims of Violations of International Human Rights and
Humanitarian Law 1995); dan Deklarasi Prinsip-prinsip
Dasar
Keadilan
Penyalahgunaan
Bagi
Kekuasaan
2
Korban
Kejahatan
(Declaration
of
dan
Basic
3
Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuses of
Power). Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles
and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation
for Victims of Violations of International Human Rights
and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban
memiliki lima hak reparasi yaitu:
a. Restitusi;
b. Kompensasi;
c. Rehabilitasi;
d. Kepuasan (Satisfaction);
e. Jaminan ketidakberulangan (non reccurence).
Rehabilitasi
yang
dimaksud
dalam
prinsip
tersebut
mencakup pelayanan hukum, jasa medis atau juga jasa
psikologis
yang
ditujukan
untuk
pemulihan
korban
termasuk pula memulihkan nama baik dan martabat
korban.2 Dalam kerangka tersebut maka bantuan dalam
UU No 13 Tahun 2006 merupakan bagian dari pemenuhan
prinsip-prinsip tersebut. Sebelum adanya UU No 23 Tahun
2006. Hak rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat
hanya
ada
dalam
UU
No
26
tahun
2000
tentang
Pengadilan HAM termasuk dalam PP 3 Tahun 2002,
namun ketentuan mengenai rehabilitasi tersebut sulit
untuk dilakukan.
Dengan lahirnya UU No 13 tahun 2006 terutama yang
diatur baik dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa
bantuan yang dimaksudkan oleh UU No. 13 Tahun 2006
yang disebutkan pada Pasal 6 mencakup pada pertama,
bantuan
medis
dan
kedua,
2
bantuan
rehabilitasi
Supriyadi Widodo Eddiono dalam Makalah Aspek Aspek-Aspek
Penting Dalam Penanganan Permohonan dan Penelaahan Bantuan Medis dan
Psikososial Korban Pelanggaran HAM Berat LPSK
3
4
psikososial.
Undang-undang
juga
menyatakan
bahwa
bantuan tersebut akan diberikan pada korban pelanggaran
HAM
berat.
Demikian
pula
Peraturan
Pemerintah
(selanjutnya disingkat PP) No. 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada
Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa
korban
pelanggaran
HAM
yang
berat
memperoleh
bantuan;
B. Ruang Lingkup
1. Bentuk
ejahatan Pelanggaran Ham Yang Berat
Kejahatan dalam Kategori Pelanggaran Ham Yang
Berat Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan Ham meliputi
3
:
a) kejahatan genosida;
yang dimaksud dengan kejahatan ini adalah dimana
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian
kelompok
dengan
maksud
untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruhnya atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau
mental
yang
berat
terhadap
anggota-anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fsik
baik
seluruh
atau
tindakan-tindakan
sebagiannya,
yang
memaksakan
bertujuan
mencegah
kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan
3
Pasal 7 UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
4
5
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan
yang
dilakukan
serangan
yang
meluas
sebagai
atau
bagian
sistematik
dari
yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
pembunuhan;
pemusnahan;
perbudakan;
pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa;
perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fsik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum
internasional;
penyiksaan;
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang
5
6
menurut hukum internasional;
penghilangan orang secara paksa; atau
kejahatan apartheid.
2. Defnisi
Krran Pelanggaran Ham yang rerat
a. Defnisi
Krran Menurut Hukum InternasiKnal
Mengacu pada Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian
Law,
defnisi dari korban pelanggaran ham yang
berat adalah “Victims are persons who individually
or collectively sufered harm, including physical or
mental injury, emotional sufering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights,
through acts or omissions that constitute gross
violations of international human rights law, or
serious violations of international humanitarian law.
Where appropriate, and in accordance with domestic
law, the term “victim” also includes the immediate
family or dependants of the direct victim and
persons who have sufered harm in intervening to
assist victims in distress or to prevent victimization”.
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan “Korban
adalah
orang
yang
secara
perseorangan
atau
kelompok yang menderita kerugian, termasuk luka
fsik atau mental, penderitaan emosional, kerugian
ekonomi
atau
subtansi
hak-hak
dasar
mereka,
melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan
pelanggaran
berat
hukum
6
hak
asasi
manusia
7
internasional,
atau
pelanggaran
serius
hukum
kemanusiaan internasional . Apabila diperlukan, dan
sesuai dengan hukum nasionalnya, istilah "korban"
juga termasuk keluarga dekat atau tanggungan dari
korban
langsung
menderita
untuk
dan
kerugian
membantu
orang-orang
dalam
korban
yang
melakukan
dalam
telah
tindakan
kesulitan
atau
mencegah terjadinya viktimisasi .”
Selanjutnya
International
Criminal
Court
juga
memberikan defnisi korban sebagai:
(a) “Victims, means natural persons who have
sufered harm as a result of the commission of
any crime within the jurisdiction of the court;
(b) Victims
may
include
organizations
or
institutions that have sustained direct harm to
any of their property which is dedicated to
religion, education, art or science or charitable
purposes, and to their historic monuments,
hospitals and other places and objects for
humanitarian pusposes.”
Dalam terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
(a) Korban
berarti
orang-orang
yang
telah
mengalami derita atau kerugian sebagai akibat
dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk
dalam jurisdiksi Mahkamah.
(b) Korban
atau
bisa
mencakup organisasi-organisasi
lembaga-lembaga
yang
benar-benar
tertimpa kerugian langsung atas harta milik
mereka
yang
dibaktikan
bagi
kepentingan
agama, pendidikan, seni, atau ilmu pengetahuan
7
8
atau untuk tujuan-tujuan karikatif dan atas
monumen-monumen
sakit
dan
sejarah
tempat-tempat
mereka,
serta
rumah
obyek-obyek
lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau
misi kemanusiaan.
Dari kedua defnisi di atas, ada beberapa hal yang
menjadi
unsur-unsur
penting
mengenai
korban,
sebagai berikut:
1.
Unsur penderitaan atau kerugian yang dialami
akibat dari suatu kejahatan
2.
Korban itu mencakup individu (orang per orang)
dan kelompok.
Sehingga menurut hukum internasional, korban ini
tidak saja dimaknai sebagai individu, tetapi juga
kelompok atau organisai. Selanjutnya hal ini dapat
kita
bandingkan
dengan
pengaturan
mengenai
korban kejahatan di Indonesia
r. Defnisi
Krran Menurut Hukum NasiKnal
Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional
yang juga telah merativikasi berbagai instrument
internasional juga tentunya telah memiliki defnisi
tentang apa itu Korban Pelanggaran Ham Yang
Berat yang tertuang di dalam peraturan perundangundangan.
1. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat:
8
9
“Korban
adalah
orang
perseorangan
atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fsik
dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun.”
2. Defnisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi,
Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Yang Berat
“Korban
adalah
orang
perseorangan
atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fsik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi,
atau
pengurangan
atau
mengalami
pengabaian,
perampasan
hak-hak
dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah
ahli warisnya”.
3. Defnisi menurut Undang-undang No 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan:
“Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”4.
4. Defnisi
Menurut
Rancangan
Perubahan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan:
4
Pasal 1 Angka 2 UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
9
10
“Korban
adalah
orang
yang
mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas mengenai
defnisi korban, ada hal yang menarik dimana ada
perbedaan mendasar di antara ke empat peraturan
perundang-undangan di atas dalam mendefnisikan
korban. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
masih menyebutkan mengenai cakupan korban yang
tidak saja individu, seseorang, tetapi juga kelompok.
Sementara di dalam rezim Undang-undang Nomor
13
Tahun
2006
sudah
tidak
mendefnisikan
kelompok sebagai korban. Di dalam undang-undang
ini
jelas
menyebutkan
bahwa
korban
adalah
seseorang. Sedangkan defnisi di dalam Rancangan
Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
mendefnisikan korban sebagai “orang”. Hal ini
masih belum jelas apakah “orang” di sini dimaknai
sebagai
individu
saja
atau
apakah
kelompok/organisasi juga termasuk di dalamnya.
Perbedaan cakupan ini akan berimplikasi kepada
pemberian reparasi kepada korban.
3.
Knsep Reparasi Bagi
Krran
Menurut hukum internasional, pelanggaran terhadap
setiap hak asasi manusia menimbulkan suatu hak atas
reparasi
bagi
korban.
Reparasi
diberikan
untuk
menghormati dan memastikan penghormatan terhadap
hak
asasi
manusia,
10
termasuk
kewajiban
untuk
11
mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki
pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan
yang layak bagi pelanggar, dan kewajiban untuk
memberikan remedi bagi para korban. Reparasi untuk
pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan
untuk
meringankan
penderitaan
dan
memberikan
keadilan bagi para korban dengan menghilangkan atau
memperbaiki akibat-akibat dari tindakan salah dan
dengan mencegah dan menangkal pelanggaran.
Reparasi seharusnya sesuai dengan kerugian yang
dialami oleh para korban, kebutuhan, dan keinginan
para korban. Reparasi haruslah proporsional dengan
beratnya pelanggaran dan kerusakan yang ditimbulkan
dan
haruslah
rehabilitasi,
terulang
mencakup:
kepuasan,
lagi.
restitusi,
dan
Termasuk
jaminan
dalam
kompensasi,
untuk
reparasi
tidak
untuk
pelanggaran hak asasi manusia berat adalah menuntut
dan menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Menurut Theo Van Boven, pemulihan (reparasi) adalah
segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat material
maupun non material bagi para korban pelanggaran
hak-hak
asasi
manusia.
Oleh
karena
itu
hak
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi mencakup aspekaspek tertentu dari pemulihan.
Boven mengusulkan
enam prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh negara
yang akan merumuskan kebijakan untuk pemenuhan
hak-hak korban, yakni:
1. Pemulihan dapat dituntut secara individual maupun
kolektif.
11
12
2. Negara berkewajiban menerapkan langkah-langkah
pemulihan yang efektif secara penuh. Pemulihan
harus seimbang dengan beratnya pelanggaran dan
kerusakan-kerusakan
yang
diakibatkannya,
yang
mencakup pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
kepuasan, dan jaminan agar kejadian serupa tidak
terulang.
3. Setiap
negara
harus
mengumumkan
melalui
mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di
dalam maupun di luar negeri tentang tersedianya
prosedur-prosedur pemulihan.
4. Ketentuan-ketentuan
diterapkan
selama
pembatasan
masa
tidak
dimana
boleh
tidak
ada
penyelesaian efektif atas pelanggaran asasi manusia
dan pelanggaran hukum humaniter.
5. Setiap negara harus memungkinkan tersedianya
secara cepat seluruh informasi yang berkenaan
dengan
persyaratan-persyaratan
tuntutan
pemulihan.
6. Keputusan-keputusan menyangkut pemulihan atas
korban
pelanggaran
hak
asasi
manusia
dan
pelanggaran hukum humaniter harus dilaksanaka
melalui cara yang cermat dan cepat.5
Sementara pandangan lain mengenai prinsip-prinsip
umum dalam penanganan korban Pelanggaran Ham
yang berat antara lain6 :
5
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban atas
Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Pengantar Buku: Ifdhal Kasim Hal.
xxi-xxii, ELSAM, 2002.
6
Roichatul Aswidah (Komisioner Komasn Ham), Dalam Bahan
Presentasi, Tantangan Pemenuhan Layanan Bantuan Bagi Korban
Pelanggaran HAM Berat Pasca Perubahan UU Perlindungan Saksi dan
Korban, Disampaikan Pada Acara Gelar Perkara Divisi Penerimaan
Permohonan –LPSK Tanggal 3 Oktober 2014
12
13
a) prinsip
umum,
bahwa
pelanggaran
hak
asasi
manusia menerbitkan adanya hak korban atau pun
keluarganya atas pemulihan.
b) Implikasi, adanya kewajiban dan tugas di pundak
negara untuk memberikan pemulihan kepada korban
atau
pun
keluarganya
serta
kemungkinan
bagi
korban untuk mencari pemulihan dari pelaku.
c) Negara
harus
korban
menjamin
untuk
adanya
menuntut
prosedur
pemulihan
bagi
serta
mempublikasikannya.
Selanjutnya Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan PBB
tentang
Hak
atas
Penyelesaian
dan
Reparasi
menyebutkan kerangka reparasi sebagai berikut:
Restitusi,
mengembalikan
korban
pada
situasi
sebelum terjadi pelanggaran HAM yang berat,
melalui
pengembalian
kebebasan,
kewarganegaraan, pekerjaan atau hak milik.
Kompensasi, diberikan untuk mengganti kerugian
akibat kerusakan yang dialami oleh korban baik
materiil maupun non materiil.
Rehabilitasi, merupakan upaya untuk memperbaiki
kerusakan
permanen
dari
pelanggaran
HAM
melalui penyediaan jasa medis, psikologis, hukum,
dan sosial.
Kepuasan,
meliputi
dihentikannya
pelanggaran,
pengakuan kebenaran kepada publik, pencarian
orang yang hilang dan yang dibunuh, deklarasi hak
korban,
sanksi
hukum
dan
administrasi
bagi
mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran,
13
14
dan
peringatan
serta
penghormatan
terhadap
korban.
Jaminan
ketidakberulangan,
termasuk
sektor
keamanan untuk memastikan bahwa pengawasan
sipil secara efektif, penguatan sistem peradilan
yang independen, pendidikan HAM untuk aparat
penegak hukum dan keamanan, mekanisme untuk
mencegah dan memantau konfik, serta peninjauan
dan reformasi atas hukum dan kebijakan yang
berkontribusi pada terjadinya pelanggaran HAM
yang berat.7
4. PrKsedur dan Mekanisme
Setiap
negara
harus
menyiapkan
prosedur
dan
mekanisme bagi para korban untuk dapat mengakses
program pemulihan terhadap dirinya atau kelompok.
Mekanisme dan prosedur ini biasanya tidak bisa
dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di negara
tersebut. Mekanismenya biasanta disesuai dengan halhal keperdataan, administrasi, dan prosedural, dengan
tujuan untuk menjamin bahwa hak atas reparasi dapat
diakses
dengan
mudah,
tidak
dihambat
dan
mempertimbangkan kerentanan potensial dari para
korban.
Selain itu negara juga berkewajiban untuk
mempublikasikan prosedur dan mekanisme tersebut.
5. Reparasi di IndKnesia
Dalam hal pemberian reparasi kepada para korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Pemerintah
7
Ibid
14
15
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2002. Kedua peraturan ini diterbitkan sebagai
pelaksana dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang
Pengadilan
Hak
Asasi
Manusia.
Kedua
peraturan ini mengatur mengenai hak korban dan saksi
pelanggaran
hak
asasi
manusia
berat
untuk
mendapatkan perlindungan atas informasinya untuk
mengungkap pelanggaran hak asasi manusia berat dan
juga hak korban untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sebagai reparasi terhadap
para korban.
Pada
tahun
2006
pemerintah
juga
menerbitkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dimana di
dalam mengatur mengenai hak korban pelanggaran
ham berat untuk mendapatkan bantuan medis dan
psiko-sosial serta kompensasi dan restitusi. Undnagundang ini
Lembaga
kemudian
menjadi
Perlindungan
Saksi
dasar
dan
didirikannya
Korban,
yang
diberikan mandat untuk memberikan perlindungan dan
bantuan
bagi
para
saksi
dan
korban
kejahatan,
termasuk korban pelangagran hak asasi manusia berat.
Lebih lanjut pelaksanaan undang-undang ini diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
Kepada Saksi dan Korban.
6. PERAN
LPS
DALAM
REPARASI
ORBAN
PELANGGARAN HAM BERAT
Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan
Saksi
dan
15
Korban
mengatur
bahwa
16
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan
psiko-sosial.
Selanjutnya
Pasal
7
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 juga mengatur bahwa korban
pelanggaran hak asasi manusia berhak mendapatkan
kompensasi dan restitusi (korban kejahatan lainnya
juga berhak atas restitusi).
Selanjutnya lebih detail
mengenai mekanismenya diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.
Ketentuan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor
13 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk medis dan
psiko-sosial diberikan dalam bentu bantuan. Tidak ada
di
dalam
undang-undang
ini
atau
Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 yang menyebutkan
bahwa mekanisme bantuan medis dan psiko-sosial
kepada para korban tersebut adalah sebagai bentuk
reparasi. Dus, tidak ada juga di dokumen-dokumen
lainnya yang menyatakan bahwa hak para korban
pelanggaran ham berat yang diatur di kedua peraturan
perundang-undangan tersebut sebagai bagian dari
reparasi bagi korban pelanggaran ham berat. Bentuk
layanan untuk medis dan psiko-sosial hanya bersifat
“bantuan”.
LPSK sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk
melaksanakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
beserta aturan di bawahnya, dapat melaksanakan
ketentuan di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang
ini.
Dalam konteks ini, LPSK telah melayani banyak
korban pelanggaran ham berat dengan bentuk bantuan
16
17
untuk pengobatan (medis) dan psiko-sosial. Implikasi
dalam bentuk bantuan adalah tidak semua bantuan
tersebut dilakukan sampai tuntas, misalnya sampai
korban sembuh benar.
Selain itu LPSK juga memberikan bantuan tersebut
secara individu perseorangan. Hal ini karena; Pertama,
administrasi pencatatan perlindungan di LPSK secara
individu
yang
pembiayaan
dan
dilindungi.
Kedua,
dalam
pertanggungjawaban
sistem
penggunaan
biaya untuk orang-orang yang dilindungi/dilayani oleh
LPSK, dilakukan secara individu. Namun demikian,
tidak
menutup
kemungkinan
setiap
individu
mendapatkan 1 layanan. Seorang yang dibantu oleh
LPSK dapat saja mendapatkan 2 layanan bantuan,
seperti mendapatkan bantuan medis dan psiko-sosial
sekaligus. Ada juga yang mendapatkan hanya salah
satunya.
Untuk mendapatkan layanan bantuan medis dan psikososial ini, terlebih dahulu sudah ada penetapan bahwa
suatu peristiwa atau tindak pidana adalah pelanggaran
ham berat oleh KOMNAS HAM.
Selanjutnya untuk
mengidentifkasi siapa korban dan bukan, Komnas
Ham sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
untuk persoalan hak asasi manusia akan menerbitkan
dokumen yang menerangkan bahwa seseorang adalah
korban pelanggaran ham berat.
Berkaitan dengan hal tersebut, memang telah ada
beberapa
peristiwa
yang
ditetapkan
pelanggaran ham berat, yaitu peristiwa
17
sebagai
Mei 1998
18
(termasuk penghilangan paksa), peristiwa
Priok,
dan
peristiwa
1965.
Para
tanjung
korban
yang
mengalami penderitaan akibat pelanggaran ham berat
pada
peristiwa-peristiwa
tersebut
sebagian
telah
mengajukan permohonan bantuan medis dan psikososial.
Sebagian
dari
mereka
juga
ada
yang
mengajukan permohonan kompensasi.
Untuk bantuan medis dan psiko-sosial, LPSK dapat
memberikan layanan tersebut berdasarkan keputusan
LPSK. Tetapi untuk kompensasi, belum ada yang dapat
dibantu oleh LPSK untuk proses pengajuannya karena
sejauh ini belum ada pengadilan ham. Sementara
kompensasi dapat diberikan negara kepada korban
pelanggaran ham berat jika melalui pengadilan ham
sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000.
Dalam hal layanan, LPSK tercatat telah melayani
korban pelanggaran ham berat dengan rincian sebagai
berikut (Periode Januari-Minggu I Oktober 2014):
Wilayah
DI. Yogyakarta
Sumatera Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Tengah
TKtal
Medis
51
133
38
443
1
3
7
51
10
8
745
18
PsikKlKgis
43
13
10
215
2
5
17
305
19
Pada awal pemberian bantuan medis dan psiko-sosial,
LPSK
memberikan
bantuan
juga
kepada
keluarga
korban. Hal ini didasarkan ketentuan di dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan
defnisi keluarga (ahli waris) jika kita mengacu pada
penyebutan ahli waris pada defnisi korban yang ada
pada PP No 3 Tahun 2002. Undag-undang Nomor 13
Tahun 2006 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis
menyamping
sampai
derajat
ketiga,
atau
yang
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
mejadi tanggungan saksi dan/atau korban”.
Tetapi
sejak
tahun
mempertimbangkan
bantuan
kepada
2014,
untuk
korban
LPSK
membatasi
pelanggaran
mulai
pemberian
ham
berat
khususnya untuk peristiwa tahun 1965. LPSK mulai
membedakan korban langsung dan tidak langsung
untuk memberikan bantuan. Para korban langsung yang
mengalami penderitaan akibat peristiwa pelanggaran
ham berat 1965 diberikan bantuan medis dan psikologis
(jika memerlukan) dengan keputusan LPSK. Sementara
untuk korban tidak langsung seperti anak atau istri
korban, hanya diberikan bantuan psiko-sosial (jika
memerlukan).
Tapi
jika
tidak,
maka
tidak
dapat
diberikan bantuan. Hal ini bertolak belakang dengan
dokumentasi atau rekomendasi yang diberikan oleh
KOMNAS HAM yang menyatakan bahwa orang-orang
tersebut adalah berstatus sebagai korban pelanggaran
19
20
ham
berat
tidak
pandang
bulu
apakah
yang
bersangkutan adalah anak atau istri dari korban.
7. Pemriayaan Medis dan PsikK-SKsial Bagi Para
Krran
Undang-undang
mengamanatkan
Nomor
kepada
13
LPSK
Tahun
untuk
2006
memberikan
bantuan medis dan psiko-sosial bagi para korban
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dengan dianggarkannya biaya bantuan
medis dan psiko-sosial. Selanjutnya anggaran untuk
bantuan medis dan psiko-sosial ini tidak saja digunakan
untuk kepentingan pembiayaan bantuan medis dan
psikologis bagi para korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, tetapi juga digunakan untuk
pembiayaan bantuan medis dan psikologis bagi para
saksi dan korban kejahatan lainnya yang menjadi
prirotas LPSK untuk ditangani. Hal ini dimaksudkan
agar para saksi dan korban kejahatan tersebut jika
mengalami penderitaan fsik dan psikis, dapat diobati,
sehingga
memudahkan
saksi
dan
korban
untuk
mengungkapkan kejahatan yang diketahuinya.
LPSK telah menganggarkan biaya bantuan medis dan
psiko-sosial ini sejak tahun 2010. Anggaran medis
digunakan untuk biaya pengobatan bagi para korban
pelanggaran ham yang berat serta pengobatan bagi
korban kejahatan lainnya yang mengalami penderitaan.
Sementara untuk biaya psiko-sosial digunakan bukan
untuk pembiayaan psiko-sosial yang seutuhnya, hanya
digunakan untuk konseling psikologi bagi para saksi
20
21
dan korban yang terganggu psikisnya karena tindak
pidana yang dialaminya.
Dalam kurun waktu sejak tahun 2010 sampai 2011
biaya ini hanya digunakan untuk pembiayaan medis
dan psikologis bagi saksi dan korban kejahatan lainnya.
Tetapi pada tahun 2012, para korban pelanggaran hak
asasi
manusia
yang
berat
telah
mulai
menerima
manfaat. Pada tahun 2012 para korban yang pertama
kali menerima manfaat adalah para korban kasus
tanjung
priok,
keluarga
korban tahun
keluarga korban penghilangan paksa.
1998,
dan
Untuk ketiga
kasus ini LPSK membiayai pengobatan medis dan
psikologis korban yang secara langsung mengalami
penderitaan dan keluarganya.
Selanjutnya menjelang
akhir tahun 2012, LPSK menerima banyak permohonan
bantuan
medis
dan
psikologis
dari
para
korban
pelanggaran ham yang berat peristiwa tahun 1965
karena sekitar akhir Bulan Juli 2012, Komnas Ham
menyatakan
bahwa
peristiwa
1965
merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sejak saat
itu
para
korban
peristiwa
1965
mengajukan
permohonan ke LPSK untuk mendapatkan bantuan
medis
dan
psikologis.
penganggaran
psikososial
LPSK
pada
Berikut
untuk
tahun
data
bantuan
2013
dan
mengenai
medis
2014
dan
beserta
realisasinya:
Bantuan
2013
2014
Realisasi
Penyerapan
dalam Persen
2013
Per Sept
2014
21
2013
2014
22
2.223.050.00
3.543.640.00
2.218.648,16
2.458.423.77
0,-
0,-
2,-
8,-
Psikososi
1.156.746.00
601.240.000,
1.156.514.89
49.663.098,-
al
0.-
-
5,-
Medis
99,80%
69,38%
99,98%
8,26%
Dari data di atas dapat dilihat bahwa anggaran bantuan
medis mengalami kenaikan pada tahun 2014.
Hal ini
karena penyerapan anggaran bantuan medis pada
tahun 2013 tinggi karena banyaknya korban yang harus
diberikan bantuan medis. Sementara berbeda dengan
anggaran biaya bantuan psiko-sosial yang mengalami
penurunan karena penggunaan biaya psiko-sosial pada
tahun 2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2014
bantuan psiko-sosial tidak banyak dimanfaatkan karena
tidak semua korban pelanggaran ham berat bersedia
menerima layanan bantuan psiko-sosial.
C.
esimpulan dan Saran
Undang-undang No 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa
pengertian korban adalah “seseorang yang mengalami
penderitaan fsik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Jadi pemberian
bantuan
tersebut
diberikan
kepada
korban
dalam
pengertian orang yang secara langsung menderita akibat
suatu tindak pidana. Sementara untuk keluarga korban di
dalam rezim undang-undang ini hanya diposisikan sebagai
pihak
yang
dapat
mengajukan
bantuan
medis
dan
psikologis. Untuk restitusi dan kompensasi dimungkinkan
keluarga korban atau ahli warisnya mendapatkan ini.
Sementara pengaturan mengenai defnisi korban di dalam
Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 13 Tahun
22
23
2006 juga masih belum jelas mengenai istilah “orang”,
apakah ini menyebut pada orang secara langsung atau
juga keluarga.
Namun dalam konsep hukum internasional, korban dalam
hal ini tidak saja seseorang yang mengalami langsung
tetapi juga orang-orang di sekitarnya bahkan orang-orang
yang
membantu
juga
diidentifkasi
sebagai
korban.
Defnisi korban seperti hukum internasional ini juga
diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
Peraturan
ini
mencakup
menyebutkan
kepada
Ahli
bahwa
Waris
korban
termasuk
(keluarga),
dimana
pengertian keluarga adalah “orang yang mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai
hubungan
perkawinan,
atau
orang
yang
menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban”.
Dengan kata lain bantuan medis dan psikososial yang
dilaksanakan
oleh
Lembaga
Perlindungan
Saksi
dan
Korban dapat diberikan kepada:
Seseorang yang mengalami penderitaan fsik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana (korban yang secara langsung
mengalami kejahatan sesuai dengan defnisi kejahatan
sebagaimana telah disebutkan di atas)
Keluarga
korban
yang
mempunyai
hubungan
perkawinan (istri korban)
Keluarga
korban
yakni
orang
yang
mempunyai
hubungan darah darah dalam garis lurus ke atas atau
23
24
ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga
(anak korban)
Orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban
(anak angkat atau anak adopsi korban).
Dengan kenaikan permohonan bantuan dari para
korban pelanggaran ham berat peristiwa 1965 ini,
maka disarankan agar LPSK menaikkan anggaran
untuk bantuan medis dan psikologis bagi saksi dan
korban.
24