Penyelesaian permohonan perkara wali'adhal di pengadilan agama bekasi : analisa putusan no.042/ptt.p/2008/pa.bks

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Achdi Gufron 204044103013

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : ACHDI GUFRON NIM : 204044103013 Di Bawah Bimbingan:

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

Achdi Gufron 204044103013

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I

Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc. MA NIP : 196 803 202 000 031 001

Pembimbing II

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag,.MA NIP : 150 326 896

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(4)

002/PDT.P/2008/PA.BKS PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 03 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

Jakarta, 03 Maret 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dah Hukum

Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM NIP.150210422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey,SH,MA (...) NIP : 130 789 745

2. Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA (...) NIP : 150 269 678

3. Pembimbing : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH,MA (...) NIP : 150 169 102

4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag (...) NIP : 150 282 403

5. Penguji II : Drs. H. Burhanuddin Yusuf, MM (...) NIP : 150 203 012


(5)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta ,17 Nopember 2009

Achdi Gufron


(6)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian puji dan

syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayat-Nya yang senantiasa

berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta

ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa

penulis haturkan kepada Revolusioner Besar junjungan Nabi Muhammad SAW, yang

senantiasa membawa cahaya dan syafa’at bagi seru sekalian alam.

Kini tiba saat yang dinanti-nantikan, sebuah perjalanan panjang yang penuh

dengan perjuangan, walaupun dengan raga yang tertatih-tatih dan melelahkan

akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan

hambatan yang dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal

ini tidak terlepas dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa.

Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapkan ribuan terima kasih yang tiada

tara dan tiada terhingga atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada

penulis, yaitu kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M. sebagai dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu


(7)

2. Bapak Drs.H.A. Basiq Djalil, SH. MA., sebagai Ketua Jurusan Ahwâl

Al-Syakhsiyyah fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta dan pembimbing akademik penulis yang senantiasa selalu

sabar dalam membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis.

3. Bapak Kamarusdiana SH, MH. Selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah

yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

4. Bapak Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc. MA dan Bapak Dr. Ahmad Tholabi

Kharlie, S.Ag,. MA sebagai dosen pembimbing skripsi dengan kesabaran yang

tulus senantiasa meluangkan waktunya untuk bimbingan, pengarahan, saran-saran

selama penulisan skripsi.

5. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey. SH. MA., dan Bapak. Drs. Ahmad Yani, M. Ag.,

sebagai Ketua Kortek dan sekertaris Kortek program Non Reguler beserta staf

(Mufida SH.i dan Mohammad Syafi’I SE.i), penulis banyak mengucapkan terima

kasih yang sedalam-dalamnya yang senantiasa sabar memberikan banyak bantuan

dan masukan serta do’a yang tak kunjung henti, semoga Allah SWT membalas

dengan ganjaran yang berlipat. (Amiiin)

6. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah

Jakarta, serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

do’a serta motivasi yang tak henti-hentinya, karenanya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih atas cinta dan kasih sayang dan segala

bimbingan baik moril maupun materil.

8. Sahabat-sahabatku satu perjuangan (Zaenuddin, Muhasim, Ma’mun, Agus

Khaeroni) yang senantiasa selalu sabar dan berjuang untuk menggapai cita-cita.

Semoga apa yang kalian lakukan selalu diridhoi oleh Allah SWT.

9. Sahabat-sahabatku yang tiada bosan selalu memberikan do’a dan motivasi

(Mirzan Ghulam Ahmad SH.i, SS, Hamzah Iwat SH.i, Saiful Bahri SH.i, Soriadi

SH.i) semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan rahmat kepada kalian.

10.Sahabat-sahabatku para personil Central Group yang selalu membantu dalam

pengerjaan skripsi ini (Uda Iwan beserta isteri, Aldi Wandra Hasan, Jack Sammy,

Benny Marco Anderson, Ari Luis Nani, Rahmat Septrio, Nana, Nanu , Saiban)

terima kasih semuanya.

11.Sahabat-sahabat satu kelasku dan teman-teman yang lain yang tidak bisa saya

sebutkan namanya satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada

kalian.

12.Rekan-rekan SAS Non-Regular angkatan 2004, semoga kalian semua selalu

dalam kesuksesan.


(9)

vi

haturkan. Semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah

SWT, dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda (Amin). Akhirnya penulis

berharap semoga skripsi ini bermanfaat, bagi penulis khususnya dan pembaca umum.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta : 17 Nopember 2009 M 29 Dzulqo’dah 1430 H


(10)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Terdahulu... 7

E. Metode Penelitian . ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG WALI A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah ... 13

B. Syarat-syarat Wali Nikah ... 18

C. Macam-macam Wali Dalam Pernikahan ... 23

D. Wali ‘Adhal... 29

E. Acara Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal... 32


(11)

B. Kedudukan Pengadilan Agama ... 39

C. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi 41 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG WALI ‘ADHAL A. Duduk Perkara Wali ‘Adhal No.042/Pdt.P/2008/PA.Bekasi di Pengadilan Agama Bekasi ... 50

B. Analisis terhadap Penetapan Hukum yang Digunakan Pengadilan Agama Dalam Perkara Wali ‘Adhal... 67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA... 83

LAMPIRAN... 85


(12)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah

1. Pengertian Wali

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari kata al-wali (

ﻟﻮﻟا

), dengan bentuk jamak auliya (

ءﺎﻴﻟوا

), yang berarti pecinta, saudara, penolong.1 Menurut istilah wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan

perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut

ketentuan syari’at. Sayyid Sabiq mengatakan wali adalah sesuatu ketentuan

hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang

hukumnya.2

Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan

penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan

melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian

disebut “wali”.3 Perwalian ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat

khusus. Kewalian bersifat umum ialah mengenai orang banyak dalam suatu

wilayah atau negara. Sedangkan kewalian yang bersifat khusus ialah

menyangkut pribadi seseorang atau hartanya. Dalam pembahasan skripsi ini

1

Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: Darul Masyriq, 1975), h. 919. 2

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT Al-Ma’arif, 1997), Cet Ke-13, Jilid 7, h. 7. 3

Kamal Muhtar, Azaz-Azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), Cet ke-2, h. 92.


(13)

adalah wali menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan atau biasa disebut

menjadi Wali Nikah. Menurut kamus istilah fiqih, Wali Nikah adalah mereka

yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang menikah, karena keturunan

atau kekuasaan.4

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Wali Nikah adalah

orang-orang yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah

dan hak perwalian diperoleh berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki

atau berdasarkan kekuasaan.

2. Dasar Hukum Wali Nikah

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria

dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Karena perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah mawaddah warrahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan

rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.

Sahnya suatu perkawinan dalam Hukum Islam adalah dengan

terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam

4

M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet ke-3, h. 416. 5

Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag R.I., 2004), h. 14.


(14)

kaitannya dengan rukun nikah, Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun nikah

terdiri atas :6

a. Adanya calon suami;

b. Adanya calon istri;

c. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita ;

d. Adanya dua orang saksi;

e. Siqhat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali / wakilnya

dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Dari rukun tersebut diatas, wali termasuk faktor yang menentukan

dalam sebuah pernikahan. Adanya wali bagi seorang wanita dalam akad

nikahnya merupakan rukun akad tersebut. Adapun dasarnya adalah :

a. Firman Allah swt

1) Surat al-Baqarah ayat 232

).

ةﺮ ﻟا

:

232

(

“....maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf ...”

6

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-1, h. 89. lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU. No 1/74 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-3, h. 8.


(15)

Ayat ini ditujukan kepada wali, jika mereka tidak mempunyai

hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk

menghalang-halangi.7

2) Surat Al-Baqarah ayat 221

و

)

ةﺮ ﻟا

:

221

(

“...dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman...”

Ayat ini juga ditujukan kepada wali supaya mereka tidak

menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang musrik. Seandainya

wanita mempunyai hak secara langsung untuk menikahkan dirinya

tanpa wali, maka tidak ada artinya ayat tersebut ditunjukan kepada

wali dan semestinya ditunjukan kepada wanita. Akan tetapi karena

akad nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditunjukan

kepada wali bukan kepada wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan

nikah terletak kepada Wali Nasab. Jika tidak demikian, tentulah

larangan tersebut tidak ditunjukkan kepada para wali.8

b. Hadis Nabi Muhammad Saw.

7

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. Ke-1, h. 336. 8

Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah Thalaq, Rujuk dan Kewarisan, (Jakarta : Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971), h. 1761.


(16)

أﺑ

دة

ﺑأ

نأ

ﻟا

ﷲا

و

لﺎ

:

ﺎﻜ

ح

إ

ﻮﻟ

)

اور

ﻮﺑا

اد

دو

(

9

“Dari Abu Burdah R.A dari Abi Musa R.A, Rasulullah SAW Bersabda : Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali.” (HR Abu Daud)

ﺎﻟ

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

:

أ

اﺎ

اة

ﺑﻐ

إذ

ن

ﻮا

ﻴﻟ

ﻬﺎ

ﺣﺎ

ﻬﺎ

ﺎﺑ

ث

تا

،

ﻓﺈ

ن

د

ﺑﻬ

ﻟﺎ

ﻟﻬ

ﺑﻤ

أ

بﺎ

ﻓﺈ

ن

او

ﺴﻟﺎ

نﺎ

وﻟ

وﻟ

)

اور

دوادﻮﺑا

(

“Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda: barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (H.R. Abu Daud)

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 dijelaskan bahwa wali

nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.10

Mengingat pentingnya wali dalam perkawinan dan dengan

pertimbangan bahwa perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu

tidak hanya menggabungkan hubungan dua individu tapi juga

menghubungkan dua keluarga besar sehingga tercipta keluarga yang

sakinah mawaddah warahmah. Maka untuk menciptakan tujuan mulia itu

dapat diatarik ketegasan bahwa wali dalam pernikahan itu merupakan

9

Imam Abu Daud Sulaiman Al-Assy’ats As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), juz II, h. 193.

10

Departemen Agama R.I., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 132.


(17)

“rukun”, artinya wali harus ada di dalam setiap pernikahan. Tanpa adanya

Wali Nasab maupun Wali Hakim maka pernikahan itu dianggap tidak sah.

B. Syarat-Syarat Wali Nikah

Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh

hukum maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itulah persyaratan menjadi wali

harus dipenuhi. Imam Taqiyuddin dalam bukunya berjudul Kifayatul Akhyar

menyatakan beberapa persyaratan tentang Wali Nikah, diantaranya adalah :

1. Islam;

2. Baligh;

3. Sehat akalnya;

4. Merdeka;

5. Laki-Laki;

6. Adil.11

Dalam buku lain juga disebutkan oleh karena wali sudah ditentukan sebagai

rukun bagi sahnya nikah, maka syariat telah menentukan pula syarat-syarat untuk

boleh menjadi wali. Syarat-Syarat tersebut adalah :

a. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali);

b. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);

11

Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar (Terj), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. Pertama, h. 371-39.


(18)

c. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali);

d. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).12

Persyaratan tentang wali lebih rinci telah dijelaskan dalam buku Pedoman

Pembantu Pencatat Nikah, yaitu :

1. Beragama Islam;

2. Baligh;

3. Berakal;

4. Tidak dipaksa;

5. Terang laki-lakinya;

6. Adil (bukan fasik);

7. Tidak sedang ihram;

8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh Pemerintah;

9. Tidak rusak pikirannya;

10.Merdeka.13

Pada perinsipnya dari beberapa pendapat-pendapat tersebut tidak ada

perbedaan yang mendasar. Dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil

kesimpulan, bahwa syarat untuk menjadi wali adalah :

1. Orang yang Mukallaf

12

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 28.

13

Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986)., h. 12.


(19)

Karena orang yang Mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum

dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya. Anak-anak tidak sah menjadi

wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berfikir dan

bertindak secara sadar dan baik.14

Sabda Nabi SAW

اﺑ

ﻀﻟا

،ﻰ

ﻟا

ﷲا

و

لﺎ

:

ر

ﻟا

ة

:

ﻟا

ﺋﺎ

و

ﻟا

،

و

ﻟا

ن

)

اور

ﻮﺑا

دواد

(

15

“Dari Abu Dhuha, dari Ali RA, Rasulullah Saw. Bersabda Diangkatlah hukum itu dari tiga perkara : dari orang yang tidur sehingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (H.R. Abu Daud)

2. Muslim

Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang kawin itu orang muslim

juga, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 28 :

)

لا

ناﺮﻤ

:

28

(

14

Abdurahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet ke-1, h. 48

15


(20)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.

Ayat diatas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin menikah atau

menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan Muslim. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan syarat yang harus dipenuhi

oleh Wali Nikah.

3. Laki-Laki

Laki-laki merupakan syarat perwalian. Demikian merupakan pendapat

seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap

mempunyai kekurangan. Wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri

apalagi orang lain.16

4. Berakal

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang

yang bertanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang yang

berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila tidak memenuhi syarat

untuk menjadi wali.

5. Adil (cerdas)

Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali adalah adil. Adil yang

dimaksud adalah berbuat adil, tidak fasik. Menurut Imam Syafi’i yang dimaksud

16


(21)

dengan adil itu adalah cerdas.17 Cerdas yang dimaksud adalah dapat atau mampu

menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

ﺔ ﺋﺎ

ﻟﺎ

:

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

:

حﺎﻜ

ﻟﻮﺑ إ

ىﺪهﺎ و

لﺪ

)

اور

ﻰ راﺪﻟا

(

18

“Dari Aisyah, dari Nabi SAW bersabda : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.(H.R. Ad-Daaruquthni)

Berdasarkan hadist tersebut, maka orang yang tidak cerdas atau tidak

mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan. Ini berarti jika

wali ingin berbuat fasik, maka wali itu harus digantikan oleh orang lain yang

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Pernyataan tersebut di atas memberikan pengertian bahwa syarat utama

yang harus ada pada wali dalam pernikahan adalah Islam, dewasa, dan laki-laki.

Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil pengertian baligh

karena balig menunjukan bahwa orang itu telah berakal dan muslim atau

beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti dapat berbuat adil.

Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya telah mencakup lima

persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku fikih atau Hukum Islam.

C. Macam-Macam Wali Dalam Penikahan

17

Kamal Mukhtar, Azaz-Azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan. h.92. 18


(22)

Secara umum wali dalam perkawinan digolongkan menjadi dua macam,

yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim.19 Kedua macam wali tersebut akan diuraikan

lebih lanjut di bawah ini.

1. Wali Nasab

Nasab artinya bangsa. Wali Nasab adalah Wali Nikah karena ada

hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.20 Wali

ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib mulai dari orang yang paling

berhak, yaitu orang yang paling dekat / aqrab, lebih kuat hubungan darahnya.

Jumhur Ulama mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari

garis ayah, bukan ibu.21

Urutan Wali Nasab yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam

pada pasal 21 dan 22, adalah sebagai berikut :

Pasal 21 :

a) Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

19

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet ke-4, h. 80.

20

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 89. 21


(23)

b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

c) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

d) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama-sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama-sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.22

Apabila diuraikan lebih rinci lagi susunan wali adalah sebagai berikut:

a. Ayah kandung;

b. Kakek (dari garis ayah) seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;

c. Saudara laki-laki sekandung;

d. Saudara laki-laki seayah;

e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;

g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

i. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman):

j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman ayah);

k. Anak laki-laki paman sekandung;

l. Anak laki-laki paman seayah;

m. Saudara laki-laki kakek sekandung;

n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;

22


(24)

o. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.23

Wali yang paling berhak dan paling utama menjadi Wali Nikah adalah

ayah, karena sangat dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita dan ayah

adalah orang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan Wali Nikah

yang lain. Oleh karena itu ayah disebut wali yang dekat atau Wali Aqrab, dan

wali lain disebut wali yang jauh atau wali ab’ad (Saudara terdekat atau yang

agak jauh).

Pasal 22 KHI menjelaskan bahwa apabila Wali Nikah yang paling

berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena

Wali Nikah rungu atau sudah udzur, maka yang menjadi wali bergeser kepada

Wali Nikah yang lain menurut derajat berikutnya.24

Mengenai perpindahan wali dari yang dekat kepada yang lebih jauh

urutannya yaitu apabila wali yang dekat ada atau karena sesuatu hal dianggap

tidak ada, yaitu:

1. Wali aqrab-nya tidak ada sama sekali;

2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh;

3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila;

4. Wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua;

5. Wali aqrab ada, tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya;

23

Selamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 90-91. Lihat juga, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 87.

24


(25)

6. Wali aqrab ada, tetapi tidak beragama Islam.25

Wali Nasab terbagi menjadi dua, yaitu Pertama Wali Nasab yang

berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang

perempuan mesti kawin. Wali Nasab yang berhak memaksa ini disebut Wali

Nasab yang mujbir dipendekan dengan sebutan Wali Mujbir. Wali Mujbir

terdiri dari bapak, kakek dan ayah dari kakek seterusnya ke atas. Mujbir

artinya orang yang memaksa.26 Walaupun Wali Mujbir dapat memaksa tetapi

ia harus memenuhi persyaratan :

1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis;

2. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;

3. Calon suami itu mampu membayar mas kawin;

4. Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia.27

Apabila keempat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh wali yang

memaksa menikahkan anaknya (Wali Mujbir) maka wanita yang dipaksa

menikah dapat meminta fasakh ke pengadilan.

Kedua Wali Nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau

Wali Nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa, paman yaitu

saudara laki-laki kandung atau sebapa, dari bapa dan seterusnya anggota

keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinear.

25

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 88. 26

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet ke-1 h. 69. 27

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta Hudakarya Agung , 1996), Cet ke-15, h 55


(26)

2. Wali Hakim

Wali Hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang

dalam bidang perkawinan. Biasanya Penghulu atau petugas lain dari

Departemen Agama. Dalam hal ini ditemui kesulitan untuk hadirnya Wali

Nasab atau ada halangan-halangan dari Wali Nasab atas suatu perkawinan,

maka seorang calon pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan Wali

Hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur

yang dapat ditempuh.28

Rasulullah S.A.W. bersabda :

و

ة،

ﺎﺋ

:

ﺎﻟ

:

ل

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

....

ﺴﻟﺎ

نﺎ

وﻟ

وﻟ

)

اور

ﻦﺑا

(

29

“....Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (H.R. Ibnu Majah).

Dalam prakteknya Wali Hakim yang diangkat oleh Pemerintah pada

saat ini adalah Pegawai Pencatat Pernikahan (Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan). Ketentuan tentang Wali Hakim diatur dalam Peraturan Menteri

Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim khususnya pada

Bab III pasal 4 dan pasal 5 mengenai Wali Hakim yang berbunyi :

Pasal 4

1) Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

28 Ibid., 29

Abi Abdullah Muhammad Ibni Yaziida Quzwiini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar Al-Fikr), Jilid I, h. 605.


(27)

2) Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departeman Agama kabupaten/kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.

Pasal 5

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Untuk dapat menggunakan Wali Hakim, diperlukan alasan-alasan kuat

bagi calon pengantin perempuan, yaitu :

1. Tidak ada Wali Nasab;

2. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad.

3. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ±92.5 km atau dua

hari perjalanan;

4. Wali aqrab-nya dipenjara dan tidak bisa ditemui;

5. Wali aqrab-nya ‘adhal;

6. Wali aqrab-nya berbelit-belit;

7. Wali aqrab-nya sedang ihram;

8. Wali aqrab-nya sendiri yang akan menikah;

9. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan Wali Mujbir

tidak ada.30

Wali Hakim tidak berhak menikahkan:

1. Wanita yang belum balig;

30


(28)

2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu;

3. Tanpa seizin wali yang akan menikahkan;

4. Di luar daerah kekuasaannya.31

D. Wali ‘Adhal

Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab, yaitu

(

ﻴﻀ

) yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.32 Wali ‘adhal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig

dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak

menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.33

Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila:

a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu

dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik

penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya

maupun tidak;

b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan

dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya

menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.34

31

Ibid, h. 93. 32

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet ke-14, n. 441. 33

Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). Cet. Ke-1, h. 1339.

34 Ibid,


(29)

Dalam bukunya yang berjudul 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap

Anak, M. Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua

berusaha menghalangi perkawinan anaknya, yaitu:

1. Orang tua melihat calon menantunya orang miskin, karena kemiskinannya

orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan;

2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan

orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak keturunannya

menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun dalam tata pergaulan

keluarga Bangsawan;

3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya pernah

bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan direndahkan harga

dirinya oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan suami istri dengan

keluarga semacam ini.35

Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status sosial, kedudukan yang

tinggi dan beberapa pertimbangan lainnya merupakah hal-hal yang dituntut dan

tidak dikesampingkan dalam mencarikan dan memilihkan pasangan untuk wanita,

maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang tercela.

Jika seluruh pertimbangan di atas sudah dijadikan prioritas utama di dalam

menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan akhlak, maka

perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela. Sehingga apabila terdapat orang

35

M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1996), Cet. ke-12, h. 90-91.


(30)

tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak

syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’, maka wali tersebut

disebut wali ‘adhal.

Firman Allah SWT:

).

ةﺮ ﻟا

:

232

(

maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah : 232)

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak

kewaliannya berpindah kepada Wali Hakim. Hal ini berdasarkan sabda

Rasulullah SAW.

ﺎﻟ

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

:

أ

ﻤﺎ

ا

ةا

ﺑﻐ

إذ

ن

.

ﻟا

ﻴﻬ

ﺣﺎ

ﻬﺎ

ﺑﺎ

ث

تا

،

ﻓﺈ

ن

د

ﺑﻬ

ﻟﺎ

ﻟﻬ

ﺑﻤ

أﺎ

بﺎ

ﻓﺈ

ن

او

ﺴﻟﺎ

نﺎ

وﻟ

وﻟ

)

اور

دوادﻮﺑا

(

36

“Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda : barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud).

Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan (‘adhal) juga

diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu Peraturan Menteri

36


(31)

Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim pada BAB II,

yang berbunyi:

Pasal 2

1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah Ekstra Teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, atau

mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

2) Untuk menyatakan ‘adhalnya wali sebagaimana tersebut ayat (1), pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

E. Acara Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal

a. Terjadinya Wali ‘Adhal

Penetapan ‘adhalnya wali diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor

2 Tahun 1987 tanggal 28 Oktober 1987 tentang Wali Hakim.

Wali ‘adhal ialah Wali Nasab yang mempunyai kekuasaan untuk

menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi ia

enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.

b. Tata cara penyelesaian wali ‘adhal

Mengenai tatacara penyelesaian wali ‘adhal diatur sebagai berikut:

1. Untuk menetapkan ‘adhalnya wali harus ditetapkan dengan keputusan


(32)

2. Calon mempelai wanita yang bersangkutan mengajukan permohonan

penetapan ‘adhalnya wali dengan “Surat Permohonan”.

3. Surat Permohonan tersebut memuat:

a.Identitas calon mempelai wanita sebagai “Pemohon”.

b.Uraian tentang pokok perkara.

c.Petitum, yaitu mohon ditetapkan ‘adhalnya wali dan ditunjuk Wali

Hakim untuk menikahkannya.

4. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal calon

mempelai wanita (Pemohon).

5. Perkara penetapan ‘adhalnya wali berbentuk Voluntair.

6. Pengadilan Agama menetapkan hari sidangnya dengan memanggil

Pemohon dan memanggil pula wali Pemohon tersebut untuk didengar

keterangannya.

7. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan

acara singkat.

8. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara resmi dan

patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat didengar keterangannya,

maka hal ini dapat memperkuat ‘adhalnya wali.

9. apabila pihak wali telah hadir dan memberikan keterangannya maka harus

dipertimbangkan oleh Hakim dengan mengutamakan kepentingan


(33)

10.Untuk memperkuat ‘adhalnya wali, maka perlu didengar keterangan

saksi-saksi.

11.Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan

yang kuat menurut hukum perkawinan dan sekiranya perkawinan tetap

dilangsungkan justru akan merugikan Pemohon atau terjadi pelanggaran

terhadap larangan pekawinan, maka permohonan Pemohon akan ditolak.

12.Apabila Hakim berpendapat bahwa wali telah benar-benar ‘adhal dan

Pemohon tetap pada permohonannya maka Hakim akan mengabulkan

permohonan Pemohon dengan menetapkan ‘adhalnya wali dan menunjuk

kepada KUA Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN), di tempat

tinggal Pemohon untuk bertindak sebagai Wali Hakim.

13.Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan banding.

14.Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali Hakim meminta kembali kepada

Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah

ada penetapan Pengadilan Agama tentang ‘adhalnya wali.

15.Apabila Wali Nasabnya tetap ‘adhal, maka akad nikah dilangsungkan

dengan Wali Hakim.

16.Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya wali bagi calon mempelai wanita

Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Luar Negeri dilakukan

oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

17.Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat


(34)

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji atas

nama Menteri Agama.37

37

H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), h. 238-239.


(35)

PENGADILAN AGAMA BEKASI

A. Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi

Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau ”judicial power” khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan kembali tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan.1

Untuk menghapus segala anggapan dan suasana dilematis tersebut UU No.7 Tahun 1989 menegaskan kembali kedudukan lingkungan Peradilan Agama agar benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Penegasan yang terdapat dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun penegasan yang terdapat dalam Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penegasan ulang yang terdapat dalam Pasal 44 UU No.14 Tahun 1985 tentang

1

Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 45.


(36)

Keberadaan Lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, rupanya dianggap pembuat undang-undang belum memadai. Maka, untuk lebih meratakan penyebaran kesadaran dan kepercayaan masyarakat tentang kedudukan lingkungan Peradilan Agama yang sebenarnya, UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menganggap perlu mempertegasnya. Sekaligus dalam penegasan tersebut diatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara yang diberlakukan dalam lingkungan Peradilan Agama.2

Dari satu segi, mungkin penegasan yang berulang kali ini, agak berlebihan. Sebab kalau dibaca dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, secara tegas disebut, lingkungan peradilan yang berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau judicial power terdiri dari lingkungan:

1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara3

Kemudian dalam Pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kembali ditegaskan tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan Peradilan

2

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10.

3


(37)

Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan. 4

Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan Hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, ” Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini ”.

Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini meliputi kewenangan Relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaa putusan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.5

Letak Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani No. 10, Komplek Perkantoran Kota Bekasi. Wilayah administratif daerah tingkat

4

Ibid, h. 10.

5

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 9.


(38)

II Kota Bekasi berada di lokasi yang sangat strategis letak geografisnya, terutama pengembangan ekonomi, wilayah dan penduduknya secara umum.6

Secara geografis, Kota Bekasi terletak pada peta dengan posisi antara 106 55 – Bujur Timur dan antara 67-615 Lintang Selatan dengan memilki markaz

kiblat 64 51 29,87 dari Utara ke Barat atau 25 08 30,13 dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas kurang lebih 16.175,21 Ha dengan batas-batas wilayah :

1. Sebelah Barat, berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta.

2. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Taruma Jaya dan Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi.

3. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Tambun dan Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi.

4. Sebelah Selatan, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor.7

B. Kedudukan Pengadilan Agama

Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani No. 10, Komplek Perkantoran Kota Bekasi wilayah administratif Daerah tingkat II Kota

6

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.

7

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.


(39)

adalah merupakan Pengadilan Agama Kelas 1 B yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Bandung Jawa Barat.8

Pengadilan Agama Bekasi di bangun diatas tanah seluas 1080 M2 dengan status Kantor milik Pengadilan Agama Bekasi Hak Guna Bangunan sertikikat Nomor.13 tanggal 06 juli 1991.9

Bekasi setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus dirubah menurut struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Kewedanan yang masih tetap dalam wilayah Kabupaten yang dahulu disebut Ken Jatinegara. Selanjutnya pada tanggal 17 Februari 1950 masyarakat Bekasi melakukan unjuk rasa yang antara lain menuntut kepada Pemeritah agar Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi yang mewilayahi 4 (empat) Kewedanan, 13 (tiga belas) Kecamatan dan 95 (sembilan puluh lima) Desa yang terungkap secara simbolis dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan Motto ”Swatantra Wibawa Mukti”. Selanjutnya pada tahun 1960 Kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi tepatnya di jalan Ir. H. Juanda Bekasi yang selanjutnya agar pelayanan dapat dilakukan secara maksimal, efesien, dan efektif. Maka pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah

8

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.

9

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.


(40)

Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi di pindahkan ke lokasi baru yaitu tepatnya di Jl. Jenderal Ahmad Yani Nomor 1 Bekasi.10

Adanya tuntutan masyarakat perkotaan dengan perkembangan kehidupan masyarakat Bekasi yang semakin padat, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1981 Kabupaten Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) Kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan yang secara keseluruhan mencakup 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa. Selanjutnya dengan adanya kebijakan konsep Botabek yang merupakan pelaksana Inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh terhadap perkembangan Kota Administratif Bekasi sebagai penyangga Ibukota Negara, maka Kota Administratif Bekasi dan kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan serta sarana dan prasarana sebagai pengelolaan.11

C. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama

Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman ialah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan

10

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.

11

Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi.


(41)

setiap perkara yang diajukan kepadanya (Ps. 2 ayat (1) UU. No. 14/1970), termasuk didalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelasan ps.2 (1) tersebut).12

Berdasarkan ketentuan UU. No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, khususnya pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain: UU No. 1/1974, PP No. 28/1977, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag. No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan Hukum Islam.13

Bidang hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi kekuasaan Peradilan Agama, dan disebutkan dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat 2 adalah :

1. Izin beristeri lebih dari seorang.

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

3. Dispensasi Kawin.

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 1.

13


(42)

4. Pencegahan Perkawinan.

5. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 6. Pembatalan Perkawinan.

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri. 8. Perceraian karena talak.

9. Gugatan Perceraian.

10.Penyelesaian Harta Bersama. 11.Mengenai Pengusaan Anak-anak.

12.Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.

13.Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14.Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak. 15.Putusan tentang pencabutan kekuasaan.

16.pencabutan kekuasaan wali.

17.Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.

18.Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.

19.Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.


(43)

20.Penetapan asal-usul seorang anak.

21.Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.

22.Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.14

Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi meliputi seluruh wilayah daerah Tingkat II Kota Bekasi yang terdiri dari 12 (Dua Belas) Kecamatan dan 55 (Lima Puluh lima) Kelurahan.

Yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama adalah terdapat pada Pasal 49, ayat (1) yang berbunyi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, Wakaf dan Shadaqah. Pada ayat (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Kemudian pada ayat (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa

14

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 86-87.


(44)

yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peniggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan.15

15

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet.ke 1,(Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 29.


(45)

TENTANG WALI

A. Duduk Perkara Wali ‘Adhal No.042/Pdt.P/2008/PA.Bekasi di Pengadilan

Agama Bekasi

Dengan mencermati jalan perkara berbagai kasus yang pernah diangkat dalam beberapa tulisan, terutama kasus yang berkaitan dengan masalah permohonan penetapan Wali ‘Adhal, penulis semakin berkesimpulan betapa pentingnya sosialisasi Hukum Islam ke dalam masyarakat yang bukan saja bentuk rumusan hukum normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek tujuan hukum yang dalam kajian Hukum Islam dikenal dengan maqasid al-syari’ah. Secara teoretis, Hukum Islam dirumuskan oleh perumusnya (Allah SWT). Secara umum tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan.1

Dalam pembahasan ini penulis akan melakukan analisa yurisprudensi terhadap masalah ketetapan Pengadilan Agama Bekasi yang mengabulkan permohonan Wali ‘Adhal yang diajukan oleh Fabri Anita binti Suyoto yang selanjutnya disebut Pemohon dengan maksud untuk melangsungkan pernikahan dengan seorang pria pilihannya yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi

1

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 29.


(46)

Budiarto, namun ayah kandung dari perempuan tidak menyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi calon suami.

1. Duduk Perkaranya

Bahwa pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 31 Oktober 2008 yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 042/Pdt.P/2008/PA.BKS, mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa, Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki pilihan yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Pemuda no. 5 RT 002/04, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi.

2. Bahwa, antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai, sehingga Pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan.

3. Bahwa, Pemohon dengan calon suami telah menyampaikan maksud tersebut kepada ayah kandung Pemohon bernama Suyoto bin Karto Kardi, umur 54 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Penggilingan Jl. Dr. Sumarno RT 011/08, Kelurahan Pulo Gebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, namun ayah kandung tersebut tidak menyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi calon suami.


(47)

4. Bahwa, calon suami dan keluarga calon suami sudah pernah datang secara baik-baik kepada ayah kandung dua kali dan terakhir 02 Agustus 2008 dan diterima dengan baik, dimana ayah masih keberatan dan tidak setuju dengan alasan pribadi calon suami maka atas pertimbangan itulah Pemohon mengajukan permohonan tersebut.

5. Bahwa, antara Pemohon dengan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua syarat untuk pernikahan telah terpenuhi.

6. Bahwa, Pemohon bertempat tinggal di daerah Bekasi Barat maka pelaksanaan pernikahan tersebut diadakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat dengan Wali Hakim/Kepala Kantor Urusan Agama.

7. Bahwa, berdasarkan uraian-uraian dan penjelasan tersebut diatas maka dengan ini Pemohon mengajukan permohonan kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bekasi untuk dapat mengabulkan permohonan Pemohon sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

2. Menetapkan Suyoto bin Karto Kardi sebagai wali yang ‘adhal.

3. Mengizinkan kepada Pemohon untuk melakukan pernikahan dengan Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto dengan menggunakan Wali Hakim.


(48)

4. Menetapkan menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat sebagai Wali Hakim untuk menikahkan Fabri Anita Rachman bin Suyoto dengan Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto. 5. menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.2

Bilamana Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya.

Bahwa pada persidangan Pengadilan Agama yang telah ditetapkan, ayah kandung Pemohon selaku Wali Hadir.

Bahwa majelis hakim telah menasehati Pemohon untuk tidak melanjutkan permohonan sambil berusaha melakukan pendekatan kepada ayah kandung Pemohon.

Bahwa ketua majelis telah membacakan surat permohonan Pemohon tersebut, atas pertanyaan majelis hakim, Pemohon menyatakan tetap pada dalil-dalil permohonannya.

Bahwa ayah Pemohon (Sutoyo bin Karto Kardi) telah mengajukan keterangan bahwa tidak keberatan serta tidak menghalangi Pemohon untuk menikah.

Bahwa Pemohon telah menghadirkan calon suami Pemohon yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, menerangkan sebagai berikut.

Selanjutnya calon suami Pemohon menjelaskan tentang keinginannya untuk menikahi Pemohon dengan menerangkan, sebagai berikut:

2


(49)

1. Bahwa, benar bahkan kami sudah bertunangan dan sudah pernah menentukan waktu pernikahan tetapi ternyata waktu yang ditentukan oleh Bapak Pemohon itu, ibu Pemohon tidak tahu dan ternyata waktu itu ibu Pemohon tidak bisa karena ada kegiatan di tempat kerjanya akhirnya tidak jadi dan sampai sekarang waktu pernikahan itu belum juga ditentukan lagi.

2. Bahwa, keluarga saya sudah dua kali menemui bapak Pemohon tetapi tidak ada tanggapan positif dan pembicaraan tidak berfokus kearah pernikahan malah muter-muter tidak jelas.

3. Bahwa, saya tetap mau menikahi Pemohon dan saya akan bertanggung jawab terhadap Pemohon walaupun kondisi bapaknya seperti itu.

4. Bahwa, tidak ada larangan menikah dengan Pemohon.3

Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonan Pemohon, maka Pemohon dibebani pembuktian, selanjutnya di persidangan Pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa:

1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon nomor 10.5504.680282. 1016 tertanggal 30-11-2006 ditandatangani Camat Bekasi Barat, selanjutnya ditandai Bukti P.1.

2. Foto copy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Suyoto nomor 10.5504/01/28968 tertanggal 17-04-2007 dari Camat Bekasi Barat, selanjutnya ditandai Bukti P.2.

3


(50)

3. Foto copy Surat Keterangan untuk nikah Model N1.Nomor 474.2/257/KL.JKSPNII/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.3.

4. Foto copy Surat Keterangan asal-usul Model N2.Nomor 474.2/257/KL.JKSPMI/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.4.

5. Foto copy Surat Keterangan tentang orang tua Model N4.Nomor 474.2/257/KL.JKSPNII/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.5.

6. Foto copy Surat perihal Pemberitahuan Kehendak Nikah Model N7 tertanggal 15 Juli 2008 dari yang memberitahukan Siti Rochmani, selanjutnya ditandai Bukti P.6.4

Bahwa selain bukti tersebut diatas Pemohon menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang mengangkat sumpah lalu memberikan saksi di persidangan sebagai berikut:

Saksi Pertama, Siti Rohmani binti Sainan Darsowiryono, selanjutnya menerangkan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi adalah ibu kandung Pemohon.

2. Bahwa benar dengan Rudi sudah tunangan tetapi sampai sekarang belum juga dilaksanakan pernikahannya.

4


(51)

3. Bahwa ayah Pemohon sebagai walinya tidak memberikan jawaban kapan perrnikahan itu dilaksanakan padahal beberapa waktu setelah pertunangan mereka bapak Pemohon sudah menentukan waktu pernikahan mereka namun saat itu saya tidak setuju karena saksi ada pelatihan di tempat saya bekerja akhirnya waktu yang sudah ditentukan itu batal dan sampai saat ini jika ditanyakan tidak ada jawaban hanya meminta agar Pemohon meminta maaf kepadanya dan itu sudah Pemohon laksanakan dan memerintahkan Pemohon agar tetap melaksanakan sholat 5 waktu.

4. Bahwa tidak ada masalah antara Pemohon dengan bapaknya dan dengan calon suami Pemohon sehingga sampai saat ini bapak Pemohon belum memastikan waktu untuk menikahkan Pemohon dengan calon suaminya. 5. Bahwa ada masalah bisnis antara ayah Pemohon dengan calon suami

Pemohon, diduga sebab penyebab tertundanya pernikahan Pemohon tersebut.

6. Bahwa saksi selaku ibu kandung Pemohon merestui pernikahan Pemohon dengan calon suaminya, sebab keduanya sudah saling mencintai.5

Saksi Kedua, Neneng Siti Khodijah binti Khoharudin, menerangkan sebagai berikut:

1. Bahwa saksi kenal Pemohon dan calon suami Pemohon.

2. Bahwa Pemohon telah bertunangan dengan sdr. Rudi, bahkan pernah ditetapkan pelaksanaannya, namun karena bertepatan dengan kegiatan

5


(52)

kantor ibu Pemohon sehingga dibatalkan untuk waktu yang belum ditentukan.

3. Bahwa Pemohon telah bertunangan dengan sdr. Rudi, namun penentuan hari pernikahan belum ditentukan sebab ayah Pemohon tidak bersedia menjadi Wali Nikah.

4. Bahwa pihak keluarga dari calon suami pemohon telah mengunjungi orang tua Pemohon menindaklanjuti rencana pernikahan, namun belum memberikan kepastian hanya terkesan mengulur-ngulur waktu tanpa alasan yang jelas.6

Bahwa atas kesaksian kedua orang saksi di persidangan Pemohon membenarkan, selanjutnya Pemohon tidak akan mengajukan bukti lagi hanya mohon putusan.

Bahwa untuk singkatnya putusan ini maka semua berita acara persidangan harus dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini.

2. Tentang Hukumnya

Bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon sebagaimana diuraikan diatas.

Bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan dalil-dalil sebagai berikut:

6


(53)

1. Bahwa Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki pilihan yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta.

2. Bahwa antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai, sehingga pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan.

3. Bahwa Pemohon dan calon suami telah menyampaikan maksud tersebut kepada ayah kandung Pemohon, namun ayah kandung Pemohon tersebut tidak meyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi calon suami. 4. Bahwa calon suami dan keluarga calon suami sudah pernah datang secara baik-baik kepada ayah kandung dua kali dan terakhir 2 Agustus 2008 dan diterima dengan baik, dimana ayah masih keberatan dan tidak setuju dengan alasan pribadi calon suami maka atas pertimbangan itulah Pemohon mengajukan permohonan tersebut.

5. Bahwa antara Pemohon dengan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua syarat untuk pernikahan telah terpenuhi.

6. Bahwa Pemohon bertempat tinggal di daerah Bekasi Barat maka pelaksanaan pernikahan tersebut diadakan di Kantor Urusan Agama


(54)

Kecamatan Bekasi barat dengan Wali Hakim/Kepala Kantor Urusan Agama.7

Bahwa ayah Pemohon bernama Suyoto bin Karto kardi, pada saat mengajukan jawaban dalam persidangan menyatakan bahwa tidak keberatan dengan pernikahan Pemohon dengan lelaki tersebut.

Meskipun permohonan Pemohon tersebut bersifat Voluntair, namun karena perkara ini termasuk perkara perdata khusus, maka seluruh alasan yang menjadi dasar permohonan Wali ‘Adhal, seluruh dalil permohonan dipandang sebagai pokok masalah dalam perkara ini sebagai berikut:

Apakah permohonan Wali ‘Adhal memenuhi syarat dan rukun

‘adhalnya wali?

Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonan tersebut, maka Pemohon dibebani wajib bukti atas pokok masalah tersebut.

Bahwa Pemohon telah mengajukan bukti prosedur pelaksanaan akad nikah, bukti P1, P2, P3, P4, P5, dan bukti P6, selanjutnya bukti tersebut dijadikan landasan hukum untuk memeriksa perkara tersebut.

Bahwa kedua orang saksi Pemohon di persidangan telah memberikan kesaksian dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut.

Bahwa Pemohon telah dipinang oleh seorang pria bernama Rudi, bahkan orang tua Pemohon telah merestui, namun pada saat pihak calon

7


(55)

suami Pemohon meminta kepastian pelaksanaan akad nikah, ayah Pemohon menyatakan tidak bersedia mejadi Wali Nikah, sehingga pelaksanaan akad nikah tertunda tanpa alasan yang jelas dari ayah Pemohon.

Bahwa pihak keluarga calon suami Pemohon telah meminta restu kepada ayah Pemohon, namun ayah Pemohon menolak dengan alasan yang tidak rasional.8

Bahwa Majelis Hakim menganalisis kesaksian kedua orang saksi Pemohon yang berkaitan dengan keengganan ayah Pemohon menjadi wali sebagai berikut:

Bahwa keengganan ayah Pemohon menjadi Wali Nikah, pada dasarnya merupakan sikap yang tidak tepat, sebab tidak satupun alasan yang dikemukakan oleh ayah Pemohon berdasar hukum, hanya karena luapan kebencian terhadap calon suami Pemohon karena tidak menyukai perilakunya, hal mana perilaku tersebut tidak dapat dikatogerikan sebagai alasan untuk sebuah penolakan atas keinginan tulus calon suami Pemohon menikah dengan Pemohon.

Bahwa berdasarkan keterangan ayah Pemohon dalam persidangan yang menerangkan bahwa tidak keberatan dengan pernikahan Pemohon bersama lelaki tersebut, namun dalam kenyataannya ayah Pemohon selaku Wali Nikah dari Pemohon tidak menunjukkan adanya kepastian ayah

8


(56)

Pemohon bersedia menjadi Wali Nikah tentang rencana pelaksanaan akad nikah, dapat dipahami sebuah penolakan dari ayah Pemohon untuk bertindak sebagai Wali Nasab atas keinginan calon suami Pemohon untuk menikah dengan Pemohon, hal mana penolakan dari sikap ayah Pemohon yang ditegaskan dalam menentukan rencana akad nikah Pemohon.9

Bahwa berdasarkan analisa terhadap bukti-bukti tersebut, Majelis Hakim telah menemukan fakta sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon tidak terhalang baik secara syar’i maupun peraturan lain untuk menikah dengan calon suami pilihan yang bernama Rudi Budiarto. 2. Bahwa ayah kandung Pemohon tidak memberikan kepastian secara tegas

tentang kesediaannya menjadi wali atas rencana pernikahan Pemohon dengan pria bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto.

3. Bahwa Pemohon telah melakukan langkah-langkah prosedur nikah melalui Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

Bahwa Wali Nikah merupakan rukun dari perkawinan, yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan sebagaimana maksud Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam karena itu keengganan wali yang berhak menikahkan Pemohon suatu hal yang perlu

9


(57)

disikapi dengan arif, sebab secara nasab ayah kandung Pemohon selaku wali yang paling berhak karena itu tanpa alasan yang sangat berdasar hukum perwalian itu tidak dapat dialihkan, namun berdasarkan fakta-fakta persidangan secara nyata ayah kandung Pemohon meskipun telah menyatakan tidak keberatan untuk berlangsungnya pernikahan putrinya namun dalam kenyataannya tidak memberikan sikap yang tegas, hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi tentang keengganan (‘adhal) untuk menjadi wali, sementara antara Pemohon dan calon suami tidak terhalang secara Syar’i maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali Nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau ‘adhal atau enggan sebagaimana maksud Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1952 yang menyatakan jikalau seorang Wali Nasab ‘adhal (menolak, tidak mau menikahkan), maka nikah dari mempelai itu boleh dilangsungkan dengan Wali Hakim, setelah diadakan pemeriksaan seperlunya kepada yang berkepentingan.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti dalil-dalil permohonan Pemohon dan telah memenuhi maksud Pasal 23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, karena itu berdasar dan beralasan hukum permohonan Pemohon dikabulkan sesuai petitum pertama.

Bahwa dengan terpenuhi alasan permohonan Pemohon, maka Majelis Hakim berpendapat oleh karena Wali Nasab telah dinyatakan ‘adhal maka


(58)

secara yuridis Wali Nikah dialihkan kepada Wali Hakim dalam hal ini Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat atau Pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Agama sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1952 sesuai petitum kedua.

Bahwa oleh karena perkara ini masih ruang lingkup perkawinan maka berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.10

4. Tentang Putusan

1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

2. Menyatakan wali dari Pemohon (Sutoyo bin Karto Kardi) sebagai Wali Nasab yang ‘adhal.

3. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat sebagai Wali Hakim dan menunjuk untuk menikahkan Pemohon (Fabri Anita Rachman binti Suyoto) dengan seorang laki-laki bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto.

4. Mengizinkan Pemohon (Fabri Anita Rachman binti Suyoto) untuk melangsungkan pernikahan dengan Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto dengan Wali Hakim.

5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 344.000,- (tiga ratus empat puluh empat ribu rupiah).

10


(59)

Putusan ini dijatuhkan pada hari Rabu tanggal 11 Nopember 2008 M bertepatan dengan tanggal 13 Zulqaidah 1429 H oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bekasi, Dra. Sarbiati SH sebagai Ketua Majelis, Drs. Humaidi Yusuf, dan Dra. Hj. Nurwathon SH, sebagai Hakim Anggota. Pada hari itu juga putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dibantu Enjang Zaenal Hasan SH, sebagai Panitera Pengganti dihadiri oleh Pemohon tanpa hadirnya Termohon.11

3. Analisisa Kasus

Setelah membaca duduk perkara tersebut di atas dan mempelajari berkas perkaranya, dengan mencermati argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh Pemohon, serta pertimbangan hukum oleh Pengadilan Agama Bekasi, ada beberapa hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti lebih jauh seperti akan dibahas sebagai berikut.

Dalam perkara ini, secara gamblang telah dapat dibuktikan bahwa Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki pilihan bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, umur 31 tahun beragama Islam dan memiliki pekerjaan sebagai Wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Pemuda No. 5 RT 002/04, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi.

Antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai sehingga Pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan. Pemohon dan calon

11


(60)

suami telah menyampaikan maksud tersebut kepada ayah kandung Pemohon yang bernama Suyoto bin Karto Kardi, umur 54 tahun bergama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Penggilingan Jl. Dr. Sumarno RT 011/08, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, namun ayah kandung Pemohon tidak menyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi yaitu masalah bisnis antara ayah kandung Pemohon dengan calon suami Pemohon.

Antara Pemohon dan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua syarat pernikahan telah terpenuhi. Pemohon dan calon suami sudah bertunangan, ini diperkuat dengan 2 orang saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yaitu Siti Rochmani binti Sainan Darsowiryono sebagai ibu kandung Pemohon yang mengatakan bahwa benar Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah bertunangan tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan pernikahannya karena ayah kandung Pemohon enggan atau menolak (‘adhal) untuk menikahkan dan ayah Pemohon sebagai walinya tidak memberikan jawaban kapan pernikahan itu dilaksanakan. Saksi selanjutnya yaitu Neneng Siti Khodijah binti Khoharudin yang mengenali Pemohon dan calon suami Pemohon mengatakan hal yang sama.12

12


(61)

Bilamana terbukti telah terjadi hal seperti itu, tidak ada alasan ayah kandung tersebut untuk menolak menikahkan. Karena alasan tersebut tidak bisa diterima untuk dijadikan sebagai penolakan pernikahan dan pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya seorang wali itu tidak sah. Faktor-faktor yang dominan menjadi alasan seorang wali atau orang tua menolak menikahkan anaknya (‘adhal) adalah faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor dendam. Faktor ekonomi disini melingkupi kekhawatiran seorang wali dimana apabila anaknya menikah dengan orang yang ekonominya kurang mampu atau miskin disebabkan pekerjaannya yang dirasa oleh wali belum sukses atau mapan sehingga apabila pernikahan itu tetap dilakukan maka akan membuat keturunannya sengsara. Padahal untuk mengukur kesuksesan seseorang atau kemapanan seseorang adalah bersifat relatif. Faktor sosial, biasanya dilatarbelakangi oleh status sosial misalnya saja seorang Perwira TNI tidak mau anaknya menikah selain dengan Perwira TNI juga, karena dirasa Perwira TNI lebih mempunyai kelas tersendiri, masalah pendidikan seorang menolak menikahkan karena calon menantunya didapati berpendidikan formal di bawah pendidikan anaknya misalnya saja calon menantunya berpendidikan sampai tingkat SMA, sedangkan anaknya berpendidikan sarjana. Faktor dendam biasanya dilatarbelakangi oleh permusuhan yang terjadi antara wali dengan keluarga calon mempelai laki-laki atau permusuhan yang terjadi antara wali dengan calon pengantin wanita (anaknya) dengan sebab-sebab tertentu. Faktor yang terakhir ini yang menurut


(62)

penulis sama dengan faktor kasus yang sedang penulis bahas, di dalam sebab kasus tersebut ada faktor dendam dalam hal bisnis yang terjadi antara ayah kandung Pemohon (Suyoto bin Karto Kardi) dengan calon suami Pemohon (Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto).

B. Analisis Terhadap Penetapan Hukum Yang Digunakan Pengadilan Agama

Dalam Perkara Wali ‘Adhal

Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al qadha’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “Penggugat” dan “Tergugat”. Produk Pengadilan Agama semacam ini biasanya diistilahkan dengan “produk Peradilan Agama yang sesungguhnya” atau

jurisdictio contentiosa.13

Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat comdemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.14

Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut:

13

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998),h.193.

14


(63)

a. Bagian kepala putusan

b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara c. Identitas pihak-pihak

d. Duduk perkaranya (bagian posita) e. Tentang pertimbangan hukum f. Dasar hukum

g. Diktum atau amar putusan h. Bagian kaki putusan

i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya15

Sebagaimana diketahui bahwa kehadiran Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melahirkan lembaga “pengukuhan” terhadap “keputusan” atau “putusan” Pengadilan Agama oleh Pengadilan Umum dalam jenis-jenis perkara yang terdapat dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut.

Selain itu sudah pula menunggu sejak dulu, bahwa untuk pelaksanaan paksa keputusan Peradilan Agama diperlukan “fiat eksekusi” atau executoir verklaaring” oleh Peradilan Umum. Karenanya, pada kesempatan pembahasan tentang produk Peradilan Agama yang dinamakan putusan atau penetapan ini,

15


(64)

perlu kita bahas pula kaitannya dengan pengukuhan dan fiat eksekusi tersebut sebagai berikut.16

1. Baik putusan atau penetapan Pengadilan Agama baru mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) adalah setelah lampau waktu 14 hari sejak salinan lengkap putusan atau penetapan diterimakan kepada para pihak. Jadi bukan 14 hari sejak diputus atau sejak diberitahukan ikhtisar putusan.

2. Putusan Pengadilan Agama sebagaimana juga putusan Pengadilan Negeri yang lengkap, memuat tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan mengikat (bindende kracht), kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht). 17

Perkara Voluntair ialah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti :

a) Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan tindakan hukum.

b) Penetapan pengangkatan wali. c) Penetapan pengangkatan anak.

d) Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah).

16

Roihan A.Rosyid, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama,Cet.1 (Jakarta: CV.Pedoman Ilmu Jaya,1989),h.16-17.

17


(1)

mempunyai masalah pribadi dengan calon suami Pemohon dalam hal bisnis antara keduanya.

3. Penyelesaian perkara Wali ‘Adhal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan kekeluargaan, Apabila dengan jalan kekeluargaan permasalahan tersebut belum dapat diselesaikan, maka sebaiknya permasalahan tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Agama melalui proses persidangan. Seperti yang dilakukan oleh calon suami Pemohon yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto dengan melakukan pendekatan kepada keluarga secara terus menerus melalui ayah kandung Pemohon, sehingga Hakim Pengadilan Agama Bekasi mengabulkan permohonan Pemohon dengan mngeluarkan Putusan Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.Bks.

B. Saran

1. Sebelum melangsungkan pernikahan hendaknya dilakukan proses pengenalan (ta’aruf) keluarga yaitu keluarga dari pihak wanita dan dari pihak laki-laki. Hali ini dimaksudkan untuk mengenal lebih jauh tentang pribadi dan asal-usul masing-masing keluarga agar tidak terjadi kesalah pahaman.

2. Bagi para orang tua, jangan khawatir untuk menikahkan anaknya walaupun laki-laki itu belum mempunyai pekerjaan tetap. Para orang tua hendaknya jangan menjadi penghalang bagi anaknya untuk menikah jika memang anaknya sudah sangat ingin menikah dan takut terjatuh ke dalam jurang


(2)

82

kemaksiatan. Terlebih lagi karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan oleh Agama.

3. Bagi pihak-pihak terkait seperti para Pejabat Kantor Urusan Agama dan Praktisi-Praktisi Hukum Islam agar mensosialisasikan kepada masyarakat tentang Wali ‘Adhal melalui kajian-kajian, seminar-seminar, ceramah-ceramah di majlis ta’lim, khutbah jum’at, dan lain-lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1990.

Aminuddin dan Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-1.

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet. Ke-4.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Dahlan, Abdul Aziz., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Ke-1.

Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta: Proyek Pembinaan sarana Keagamaan Islam, 1985/1986.

Departemen Agama RI, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Depag R.I, 2004.

Ghazali, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarata: Kencana, 2003 Cet. Ke-1.

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-1.

Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Husen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalak, Rujuk dan Kewarisan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971.

Ibn Rusyd. Bidayatul Mujtahid, (Terj.), Semarang: CV. As-Syifa, 1990, Cet. Ke-1.

Imam Abu Daud Sulaiman, Al- Asy’ats As-Sajastani, Sunnan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, Juz II.


(4)

84

Al-Imam Taqiyuddin, Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini. Khifayatul Akhyar (Terj.), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. Pertama.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid, Beirut: Darul Masyriq, 1975.

Mubarok, Jaih. Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Muchtar, Kamal. Azaz-azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Cet. Ke-II.

Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-3.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-4.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Alih Bahasa: Mohammad Tholib. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997, Cet. Ke-13, Jilid-7.

Sukarja, Ahmad dan Bakri A. Rahman. Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan Dan hukum Perdata. Jakarta: Hidakarya Agung, 1981.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesi Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkaiwinan. Jakarta: Prenada Media, 2006.

Thalib, M. 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996, Cet. Ke-12.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1974, Cet. Ke-1.

Umar, Abdurrahman. Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta: Hudakarya Agung, 1996.


(5)

Aktif di lembaga : Pengadilan Agama

Jabatan : Hakim

Waktu wawancara : 26 Desember 2008

Tempat wawancara : Kantor Pengadilan Agama Bekasi

1. Bagaimana proses persidangan untuk perkara wali ‘Adhal ?

Jawab: wali adhal merupakan jenis perkara voluntair dimana tidak ada pihak lawan, acara persidangannya cukup singkat. Pertaman kita periksa permohonannya kemudian Pemohon yaitu calon mempelai wanita setelah itu kita buat alasan-alasan penolakan wali sehingga adhal, selanjutnya kita periksa saksi-saksi dan dilengkapi dengan mendengarkan keterangan calon mempelai laki-laki. Dalam proses persidangan wali adhal biasanya tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk penyelesaiannya.

2. Bagaimana jika wali yang adhal tersebut tidak pernah menghadiri persidangan ? Jawab : jika wali tersebut tidak pernah menghadiri persidangan, dapat saja diputus dengan ketentuan telah dipanggil secara patut oleh pihak pengadilan, karena wali dianggap bukan merupakan pihak, tetapi dia didudukan sebagai orang yang didengar kesaksiannya.

3. Bagaimana upaya hukum jika salah satu pihak keberatan atas keputusan hakim yang telah ditetapkan ?


(6)

Jawab : apabila terdapat pihak yang keberatan terhadap putusan hakim maka upaya hukum yang dapat dilakukan wali adalah mengajukan kasasi.

4. alasan seperti apakah perkara permohonan wali adhal dapat dikabulkan dan tidak dapat dikabulkan ?

Jawab : kita mengacu kepada fiqh Islam, seseorang yang akan menikah itu harus sekufu. Lalu kita lihat apa saja yang menjadi syarat dalam kafaah itu. Kemudian kita periksa si wali yang adhal ini. Penyebab penolakan wali untuk menikahkannya karena alasan apa. Jika adhalnya itu karena alasan kulitnya tidak sama, calon suaminya miskin, atau tidak sederajat pendidikannya, itu tidak bisa diterima dan majelis hakim dapat saja mengabulkan pemohon. Tetapi jika adalnya wali karena alasan yang di benarkan syari’at seperti ketidaksekufuan masalah keimanan, perangai calon suami yang jelek seperti pemabuk, berjudi, pengkonsumsi narkoba, mempunyai penyakit yang membahayakan, mungkin saja permohonan dari pemohon itu dapat ditolak.

Bekasi, 26 Desember 2008 Hakim Pengadilan Agama Bekasi