Pandangan Hukum Islam terhadap Perlindungan Saksi dan korban dalam perkara pidana di Indonesia: kajian terhadap pasal (1) UU No.13 Tahun 2006

(1)

i

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN DALAM PERKARA PIDANA DI

INDONESIA

(Kajian Terhadap Pasal (1) UU No. 13 Tahun 2006)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : Daimatul Ihsan NIM : 206043103772

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2010


(3)

iii

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمح رلا ها مسب

Puji dan syukur dengan tulus kami persembahkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini, yang disusun dan ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya serta orang-orang yang menyeru dengan seruannya dengan berpedoman dengan petunjuknya.

Suka cita selalu menyelimuti penulis seiring dengan selesainya penyusunan skripsi ini. Hal tersebut tidak lain karena dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis megucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.


(4)

iv

3. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA. selaku Pembimbing, yang telah rela memberikan bimbingan dengan penuh ketekunan, kesabaran dan perhatian hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mewariskan ilmunya kepada penulis dengan konsep ikhlas.

5. Pimpinan, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Umum Iman Jama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk pengumpulan bahan dalam skripsi ini.

6. Ayahanda tercinta Wangsit dan Ibunda tercinta Tasmilah, yang selalu

mendo‟akan dan memberikan bantuan serta dorongan baik berupa moril maupun materiil hingga selesainya penulisan skripsi ini.

7. Mas Supriyono yang telah banyak membantu do‟a morel dan mareril sehingga segala sesuatu berjalan dengan lancar.

8. Teman-teman sekampung yang telah mendukung dan memberi motifasi sehingga selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah periode 2006, teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu yang telah turut mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Bapak Rizal, ibu Yen beserta keluarga dan ibu Yerli yang telah banyak membantu.


(5)

v

Atas semuanya itu, penulis hanya dapat memanjatkan do‟a kepada Allah Swt

semoga amal baiknya diterima dan mendapatkan balasan yang lebih baik. Amin…

Akhirnya penulis memanjatkan do‟a dan memohon semoga Allah Swt

memberikan kemanfaatan atas skripsi ini baik bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya, serta melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua.

Amin…

Jakarta, 18 November 2010


(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Review Studi Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Saksi ... 14

B. Korban ... 26

C. Perlindungan Hukum ... 31

D. Pidana ... 33

BAB III

PANDANGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PERKARA

PIDANA DALAM UU NO 13 TAHUN 2006

A. UU No. 13 Tahun 2006 ... 38

B. Kajian Pasal (1, 5 sampai 9) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 ... 44


(7)

vii

BAB IV

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM

KASUS PIDANA DI INDONESIA

A.

Pandangan Hukum Islam Terhadap Perlindngan Saksi dan

Korban ... 60

B.

Pandangan Hukum Positif Terhadap Perlindungan Saksi dan

Korban ... 65

C. Analisa Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif ... 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran-Saran ... 78


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perlindungan saksi dan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak saksi dan korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana (korban yang menjadi saksi). Keberadaan saksi dan korban sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang di sebabkan tidak dapat menghadirkan saksi. Ketidak hadiran saksi dan korban memenuhi panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini sering kali di sebabkan


(9)

2

adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang ditujukan kepada saksi dan korban.

Kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adnya perlindungan hukum bagi saksi dan korban dan tidak adanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas.

Peradilan adalah suatu tugas suci yang di akui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di dalam peradilan yang terkandung perintah menyuruh baik dan mencegah yang buruk menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim dari pada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila peradilan itu tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.

Walaupun tidak sepenuhnya dipercaya, pengadialan tetap merupakan tumpuan masyarakat dalam mengusung keadilan yang dicita-citakan. Hal ini meniscayakan lembaga pengadilan untuk mampu mengeluarkan keputusan yang tidak memihak, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.

Sumber-sumber yang di pergunakan hakim dalam mengambil keputusan di

sebut sebagai “alat bukti”. Setiap alat bukti berbeda-beda kekuatan satu dengan yang lainnya, yang secara langsung dapat mempengaruhi keputusan yang di


(10)

3

hasilkan. Jika kekuatan alat bukti dapat di akui, maka seseorang hakim untuk memutuskan perkara memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga hakim merasa yakin dengan keputusannya. .

Keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban yang sangat timpang terlihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka atau terdakwa. KUHAP sebagai landasan untuk beracara dalam perkara pidana ternyata cendrung lebih banyak memberikan porsi perlindungan terdakwa dan tersangka dari pada kepada saksi. Dengan kondisi ini, KUHAP sendiri menjadi tameng hukum yang efektif bagi dinikmati hak-hak terdakwa dan tersangka dan posisi yang sebaliknya justru dialami oleh para korban dan saksi, mereka tidak mendapat hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai seorang yang ikut berperan dalam penegakan hukum. Saksi dan korban sangat jarang bahkan tidak pernah mendapatkan hak pemulihan bagi dirinya dan keluarganya.1 Logika sederhana kenapa kemudian penting untuk melindungi para saksi dan korban.

Keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban menjadi sedemikian pentingnya, di Indonesia pada saat ini mengingat lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan membutuhkan instrumen hukum untuk melakukan pekerjaan perlindungan saksi dan korban berstandarkan prinsip Internosional.

1

Supriadi Widodo Eddyono,dkk, perlindumgan saksi dan korban Pelanggaran HAM Bera


(11)

4

Undang-undang perlindungan saksi dan korban adalah jalan utama untuk memperbaiki konsep lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Proses peradilan pidana yang mulanya berupa putusan hakim dipengadilan sebagaimana yang terjadi saat ini, tampak cenderung melupkan dan meninggalkan saksi dan korban. Para pihak terkait antara jaksa penuntut umum tersangka/ terdawa, penasehat hukum, saksi dan korban serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpun (fucus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum, atas jaksa dan tersangka / terdakwa. Proses peradilan lebih kepada perbuatan tersangka / terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil

(substantial truth) sebagai kebenaran yang selengkap–lengkapnya dan

perlindungan hak asasi manusia (protection of human righ) tidak seluruh tercapai.2 Dilupakannya unsur saksi dan korban dalam proses peradilan cenderung menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat.. Dalam beberapa kasus, saksi dan korban dapat berperan dengan berbagai derajat kesalahan dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat yang lebih salah dari para pelaku.

2 Angkasa,dkk ,”Kedudukan korban tindak pidana Dalam sistem peradilan Pidana “(Kajian Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan Dengan

Mempertimbangkan Peranan Korban), Penelitian Hukum “ Supremasi Hukum “Vol.12 No.2 Agustus


(12)

5

Ketika terjadi suatu tindak pidana biasanya paling dirugikan adalah korban. Tetapi saat terjadi pemeriksaan di kepolisian, kemudian stigmatisasi negatif dari masyarakat - untuk kejahatan kekerasan seksual, pergantian kerugian memakan waktu yang lama – kalaupun ada berminggu-minggu, serta bentuk perlindungan

dari negara yang tidak jelas. Secara pisikologis korban lebih “tersiksa dari pada saksi ketika harus berhadapan dengan masyarakat.

Pasal 3, 4 dan 5 DUHAM pada dasarnya menegaskan hak hidup dan mendapatkan perlindungan pada diri setiap orang, tanpa membeda - bedakan suku warna kulit dan agama yang dianutnya.3

Jadi, perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang teraniaya (korban) melainkan kepada orang yang menganiaya (pelaku) itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya (zalim) tersebut.

Dalam konteks persidangan hakim membutuhkan sesuatu yang otentik dan orisinil yang kemudian dapat dijadikan pegangan yang kuat untuk mengambil suatu putusan. Saksi dan korban merupakan dari persidangan yang keterangannya sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran materi.

Menurut Hukum Islam ada beberapa tindak pidana yang ancaman saksinya sangat berat sampai mati. Seperti perkara pembunuhan, murtad (keluar dari agama Isalm), dan bughat pemberontakan. Sedangkan hukuman mati adalah bagian dari hukuman yang sifatnya irreversible, yaitu hukuman yang seketika

3

Ahmat Kosasi.HAM Dalam perspektif Islam, Menyingkapi Persamaan dan perbedan antara

Isalm dan Barat, (Jakarta salemba Diniyah.2003), h. 68


(13)

6

dijatuhkan dan dilaksanakan maka tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memperbaiki.

Untuk hukum seperti ini hakim harus mendapatkan keterangan yang orisinil dan se-aktual mungkin lebih para saksi dan korban. Dari pada korban yang kemudian menjadi saksi korban, hakim juga perlu menggali keterangan yang terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Bukan hanya karena ancaman hukuman yang dijatuhkan berat, tetapi dari pada untuk menghargai hak tersangka untuk tidak di perdana, baik secara sosial maupun legal formal sebelum adanya hukum ( in kraht van gewijscd ).

Keberadaan saksi dan korban sebagai bagian dari alat bukti merupakan sesuatu yan wajib. Dalam kitab Undang-undang Hukum Acara pidana diterangkan bahwa alat bukti yang sah ada lima, yaitu; 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. 4

Dalam hukum acara pidana keberadaan saksi dan korban merupakan faktor yang sangat penting. Keterangan korban juga merupakan dari keterangan saksi. Hukum Islam juga mengatur eksistensi keterangan saksi, korban yang juga menjadi saksi.

Sebelumnya memang telah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, namun dikhususkan untuk tindak pidana tertentu, sehingga belum dapat menampung perlindungan terhadap saksi dan korban untuk tindak pidana secara umum yang semakin beragam dan komplek pada zaman

4


(14)

7

sekarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akhirnya pada tanggal 18 juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang perlindungan saksi dan korban.5 Dengan demikian bagaimana tinjauan hukum islam dan hukum positif dalam menyikapi tindak soal terkait tentang perlindungan saksi dan korban di Indonesia.

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah di paparkan diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih tentang:

“PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERKARA PIDANA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” (Kajian Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian diatas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasi penelitian ini hanya mengenai masalah yang menyangkut: Saksi dan korban dalam perkara pidana, dalam pandangan Fiqih konvensioal terhadap perlindungan saksi dan korban dalam perkara pidana di indonesia.

Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana di Indonesia

5

Lihat Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006)


(15)

8

aimana perlindungan hukum terhadap saksi dan korban perkara pidana dalam perspektif hukum Islam

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang di kemukakan diatas, maka dapat diakui bahwa:

1. Tujuan penelitian :

a. Untuk mengetahui posisi saksi dan korban dalam perkara pidana menurut Hukum Islam

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam perkara pidana dalam undang-undacng Nomer 13 Tahun 2006.

c. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam undang-undang perlindungan saksi.

2. Kegunaan penelitian :

a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum baik hukum islam maupun hukum positif.,

b. Diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dan memperkaya kepustakaan (Khasanah intelektual khususnya dalam bidang hukum), dan dapat menambah wawasan para pembaca tentang perlindungan saksi dan korban di Indonesia khususnya yang berkenaan dengan pelanggaran dalam perlindungan saksi kejahatan. Seperti tindak kejahatan terhadap saksi.


(16)

9

D. Review Studi Terdahulu

Dalam baberapa literatur yang berada di perpustakaan FSH, penulis mengambil untuk di jadikan sebuah perbandingan mengenai upaya perlindungan hukum bagi saksi.

Abdul Razak (SJPMH 2008) dengan judul skripsi pandangan hukum islam terhadap perlindungan saksi dalam perkara pidana di Indonesia menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2006 penulis membahas tentang kajian teori terhadap kebijakan perlindungan saksi. Materi yang terdapat dalam skripsi ini menitik beratkan kepada proses pemberian restitusi, pelayanaan, rehabiltasi, kesehatan dan sosial oleh pemerintah, serta kajian teori yang tertulis hanya seputar isi materi yang terdapat dalam Undang-Undang tahun 2006.

Husni Mubarok (SJJS 2008) dengan judul skripsi kedudukan LPSK di Indonesia (HI) penulis membahas tentang bagaimana konsep lembaga LPSK yang di cerminkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang LPSK dalam kajian HI.

Rahmad Tri Fianto (SJ PMH 2009) Dengan judul skripsi peranan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan korban menurut perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, penulis membahas atau memberi gambaran tentang LPSK serta peran lembaga LPSK dalam upaya memberikan perlindungan dan bantuan.


(17)

10

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Sebenarnya banyak yang mendefinisikan apa itu penelitian kualitatif. Bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.6

Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan) yang mengkaji asas-asas dan norma-norma suatu sistem hukum. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini juga menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel dengan menyajikannya apa adanya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini di peroleh dengan menggunakan teknik studi dokumentasi, yakni mengkaji : bahan hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum

6

Lexi J Morang, Metode Penelitian Kuaalitatif (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2005 ) cet


(18)

11

yang mengikat. Dalam kaitan ini peraturan perundang-undangan yaitu kitab Undang-undang hukum pidana dan Undang-undang dan Undang-undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum acara pidana serta Undang-undang Republik Indonesia Noner 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku-buku hukum serta catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan memperjelas bahan hukum primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan baik melalui penelusuran buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikel-artikel, jurnal-jurnal ataupun dari sumber lainnya.

3. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisis data, di terapkan teknik analisis ini secara kualitatif. Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah di peroleh dan di susun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi.

Untuk mencapai sasaran sesuai yang di harapkan maka sistematika pembahasan ini di bagi menjadi lima bab. Teknik penulisxan yang di gunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.


(19)

12

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut :

BAB I Merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, review terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dimaksudkan dengan pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar.

BAB II Terdiri dari Dua sub bab yang membahas tentang, Pengertian Saksi, Macam-macam dan Syarat-syarat Saksi, Hak-hak dan Tujuan Saksi, Dasar Hukum sub kedua tentang korban dan Hak-hak korban

BAB III Terdiri dari Tiga sub, sub yang pertama tentang UU No 13 tahun 2006,Sejarah, tujuan pembentukannya, landasan hukumnya, susunan dan isi. Sub kedua tentang kajian pasal 1 UU No 13 2006, Sub ketiga tentangPerlindungan hukum dalam UU No. 13 tahun 2006

BAB IV Merupakan Perlindungan saksi dan korban dalam kasus pidana di Indonesia. Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Sub pertama pandangan Hukum Islam tentang perlindungan saksi dan korban, Sub kedua tentang pandangan hukum positif positif terhadap perlindungan saksi dan korban, sub ketiga tentang Analisis pandangan hukum positif dan hukum islam terhadap perlindungan saksi dan korban


(20)

13

BAB V Adalah penutup, terdiri kesimpulan dan saran-saran. Bab V sebagai kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan kesimpulan ini harus di lakukan untuk menemukan jawaban yang di ajukan pada penelitian ini.


(21)

14

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A.SAKSI

1. Pengertian Saksi

Saksi menurut bahasa Indonesia adalah “orang yang melihat atau

mengetahui”7

. Kemudian kata saksi dalam bahasa Arab adalah ( ه ش ) lafadz ( ش ) yaitu orang yang mengetahui dan menerangkan apa yang dia ketahuinya, kata jamaknya adalah ( ءا ش ) masdarnya ( لا ) yang berarti kabar yang pasti.8

Dikatakan pula bahwa kesaksian ( لا ) semakna dengan kata “ مل عإ “ (pemberitahuan), berdasarkan Firman Allah:











ه

(

ع ا

/

3

:

18

)

Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia”. . . (QS. 3 (Ali-Imran) : 18

7

W. J. S. Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1976),

h. 825 8

Ahmad Warson al-Munawir, Kamus Al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)


(22)

15

Disini arti ( ش) adalah (ملع) (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain.9ا

Dalam hukum Islam, kesaksian disebut dengan ( لا) yang dapat didefinisikan sebaga berikut; dalam kitab Qolyubi wa Umairah dijelaskan bahwa kesaksian adalah :

ء ضقلا سلجم ف

لا ظ ل ح ثإ ص خإ

.

10

Artinya: “Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak

dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan”.

Pada umumnya dalam beberapa kitab Fiqih tidak ditemukan definisi saksi secara gamblang dan jelas, yang lebih dititik beratkan kebanyakan adalah definisi kesaksian atau ( لا). Oleh sebab itu terlebih dahulu dijelaskan beberapa pengertian tentang kesaksian yang dikemukakan oleh para fuqoha, antara lain yaitu:

a. Menurut Muhammad Salam Madzkur, bahwa yang dimaksud dengan kesaksian adalah:

يغلا لع ح ثإ

لا ظ ل م حلا سلجم ف ص خا ع ع

لا

Artinya: “Kesaksian adalah istilah mengetahui pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk

menerapkan suau hak terhadap orang lain”.11

9

Sayyid Sabiq, Terj-Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif,1994), cet

ke-4, Jilid 14, h. 55.

10

Ibnul Hamman, Sarah Fathul Qodir ( Mesir: Mustafa al-Babil al-Hadad , 1970) Jilid VII, h. 415

11

Muhammad Salam Madzkur. Al-qada fi al-islam, (al-qahirah: dar al-Nahdahal-Arabiyah,


(23)

16

b. Menurut Ibnu al-Hamman, bahwa yang dimaksud dengan kesaksian adalah:

ء ضقلا سلجم ف

لا ظ ل ح ثإ ص خإ

.

Artinya: “pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hal dengan ucapan kesaksian di depan pengadilan”. 12

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kesaksian itu harus memenuhi unsur-unsur yaitu:

1) Adanya suatu persengketaan dalam perkara sebagai obyek.

2) Dalam obyek tersebut terdapat hak yang harus di tegakkan oleh hakim. 3) Adanya orang memberitahukan apa yang dia ketahuinya.

4) Orang memberitahukan obyek tersebut harus berita yang sebenarnya.

5) Pemberitahukan itu diberitahukan kepada yang berhak menerimanya, dan pemberitahuan itu dengan suatu ucapan kesaksian.13

Kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang kuat bagi hakim dalam menetapkan suatu hukum eksistensinya kesaksian sebagai salah satu alat bukti terdapat Firman Allah SWT :























































(

ا ق لا

/

2

:

282

)

12

Ibnu Hamman, Syarah Fath al- Qadir, (misr: Mustafa al-Babi al-Hadad, 1970 ) jilid VII, h.

415 13

Abdul Rahman Umar, Kadudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum,(Jakarta: PT.


(24)

17

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.(QS. 2 (al-Baqarah). 282 Bagian akhir ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang saksi tidak boleh menolak diminta keterangannya. Sebab memberi kesaksian hukumnya adalah fardhu kifayah.14

Sebab tuntutan untuk memberi atau mendatangkan kesaksian bersifat pasti. Allah SWT berfirman Qs Al Baqarah 283





















(

ا ق لا

/

2

:

283

)

Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia

adalah orang yang berdosa hatinya”( QS. 2 (al-Baqarah). 283)

Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur

ulama‟. sedangkan yang dimaksud dengan bagian akhir ayat di atas, yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka menjadi saksi. Seorang saksi hakekatnya adalah pihak yang bertanggung jawab. Jika dpanggil, maka ia berkewajiban untuk memenuhinya. Jadi hal itu sebagai Fardhu „Ain. Jika tidak, maka kedudukan sebagai fardhu kifayah.

2. Hak- Hak dan Tujuan Saksi a. Hak-Hak Saksi

14

Fardhu kifayah, adalah suatu kuwajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak

ada yang mengerjakan kewajiban tersebut berdosa., Abdullah bin Muhammad, terj- Abd. Ghaffar,


(25)

18

Disini akan dijelaskan bahwa ada dua bagian dalam hak-hak saksi, di antaranya adalah :

1) Hak Allah

Hak-hak Allah terbagi menjadi tiga macam, yaitu :

a) Tidak dapat diterima saksi yang kurang dari empat orang laki-laki. Yaitu zina. Keempat orang laki-laki tersebut memandang perbuatan perbuatan zina dengan tujuan bersaksi.15

Allah SWT berfirman:

















(

لا

/

24

:

4

)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka” (QS. 24 (an-Nur ):4) b) Hak kedua dari hak-hak Allah adalah hak di mana diterima kesaksian

dua orang laki-laki. Penyusun menjelaskan hal ini dengan ucapan: yaitu hukuman selain zina, hukuman minum arak.

Allah SWT berfirman















(

ق لا

/

2

:

282

)

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari

orang-orang lelaki (di antaramu)”(QS. 2 (al-Baqarah) :282) Allah SWT berfirman :









(

اطلا

/

65

:

2

)

15


(26)

19

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil” (QS. 65 (ath-Thalak) : 2)

c) Hak ketiga dari hak Allah adalah hak dimana diterima di terima kesaksian seorang laki-laki. Yaitu hilal bulan ramadhan saja, bukan bulan lainnya. Hikmah dan diterimanya kesaksian seseorang dalam hal ini adalah untuk berhati-hati dalam urusan berpuasa. Sebab keliru dalam mengerjakan ibadah akan lebih ringan mafsadahnya dari pada keliru meninggalkan ibadah. Karena itulah dalam hal menetapkan tanggal satu sawal tidak dapat di terima kecuali sedikitnya ada dua orang saksi.16

2) Hak Adami

Hak adami ada tiga macam yaitu :

a) Pertama; adalah hak dimana tidak dapat diterima, kecuali dua saksi laki-laki.17

Allah SWT berfirman































(

ئ لا

/

5

:

106

)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah

(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu”

(QS. 5 (al-Maidah) : 106 Allah SWT berfirman dalam

16

Ibid

17


(27)

20 































(

اطلا

/

65

:

2

)

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu

dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.

Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar”.(QS. )Ath – talak(: 2)

Dalam ketiga nash di atas, saksi-saksi disebutkan dalam lafadz

mudzakar. Maka untuk hak-hak sejenis yang tidak dapat disebutkan dalam ayat atau hadis, dikiaskan dalam hal di atas.

b) Di sini dapat diterima salah satu dari ketiga hal: dua orang saksi laki-laki dan dua orang wanita atau satu saksi dan sumpah pendakwa. Namun sumpahnya harus harus dilakukan setelah kesaksian saksinya dan saksi itu di nyatakan adil.18

Pendakwa dalam sumpahnya harus menyebutkan bahwa saksinya benar mengenai apa, dimana dia bersaksi untuk pendakwa. Jika pendakwa tidak bersumpah dan menuntut terdakwa untuk bersumpah, maka dia berhak demikian. Jika terdakwa tidak mau bersumpah, maka pendakwa boleh untuk sumpah balik menurut pendapat yang lebih jelas.

Allah SWT berfirman Al Baqarah 282

18


(28)

21 

















































(

ق لا

/

2

:

282

)

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya”. (QS .2 (al-Baqarah) 282) c) Ketiga adalah hak di mana bisa di terima bila di terima salah satu dari

dua hal, boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, boleh empat orang wanita. Penyusun menjelaskan hak ini dengan perkataan: hak ini adalah sesuatu yang biasanya disaksikan oleh kaum laki-laki, namun jarang, misalnya bersalin, haid dan susuan.

Ketahuilah bahwa tidak ada hak yang bisa ditetapkan berdasarkan dua kesaksian wanita dan sumpah. Adapun hak-hak Allah, kesaksian kesaksian wanita tidak diterima, hanya kesaksian laki-laki saja yang diterima.

b. Tujuan Saksi

Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafaz-lafaz kesaksian di hadapan sidang pengadilan, inilah definisi kesaksian. Seperti mendengar,


(29)

22

melihat dan hal-hal yang serupa. Oleh karena itu untuk menyampaikan kesaksian dinamakan dengan memberi sebuah kesaksian.19

Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan, seperti bukti meyakinkan yang berasal dari penginderaan oleh satu panca indra, maka masyarakat di bolehkan bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Semua bukti yang tidak berasal melalui jalan ini, maka kesaksian atas bukti-bukti itu tidak di perbolehkan. Sebab, Kesaksian tidak ditegakkan kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan. Dengan demikian kesaksian tidak boleh ditetapkan dengan jalan as sama‟ (mendengar dari orang lain). Artinya orang

yang hendak bersaksi tidak boleh memberi kesaksian yang menyatakan : “ saya mendengar dari orang”, atau “ saya mendengar bahwa orang-orang

berkata”, atau yang lainnya. Namun demikian dikecualikan pada sembilan kasus. Pada sembilan kasus tersebut boleh memberikan kesaksian yang as

sama‟. yaitu pada kasus pernikahan, nasab, kematian, dan peradilan. Pada empat kasus ini tidak di jumpai adanya perbedaan pendapat tentang di terimanya kesaksian dengan jalan as sama‟.

Jadi jelaslah pula bahwa hakekat kesaksian adalah menyampaikan kebenaran, yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan oleh orang yang jujur/benar. Kesaksian merupakan upaya untuk membuktikan kebenran. Bukti juga disyariatkan untuk menampakkan kebenaran.

19

Ahmad ad-Daur, Terj-Syamsuddin Ramadlan, Hukum Pembuktian Dalam Islam, (Bogor:


(30)

23

Berdasarkan hal ini maka kesaksian dengan penyangkalan murni tidak dapat diterima, sebab hal ini bertentangan dengan definisi kesaksian. Namun jika pengingkaran lebih dulu di awali dengan sebuah pembuktian, maka kesaksiannya dengan demikian di perbolehkan. Karena kesaksian itu secara otomatis bukan lagi menjadi kesaksian di dalam pembuktian. Oleh karena itu

di katakan “tidak bolehnya memberi kesaksian dengan penyangkalan murni, tidak di katakan penyangkalan saja”, karena diperbolehkan memberi kesaksian dengan penyangkalan yang diperkuat dengan bukti..20

4. Dasar Hukumnya

Dalam Al Quran ditegaskan, Allah SWT berfirman :















(

ء س لا

/

3

:

35

ا

)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah” (QS. 3

(an-Nisa) :135)

Kesaksian, wajib ditunaikan oleh saksi jika dalam menunaikannya tidak ada bahaya yang menimpa baik badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya. Apabila saksi itu banyak dan tidak dihawatirkan kebenaran akan di sia-siakan, maka kesaksian pada saat yang demikian menjadi sunnah, sehingga bila seorang saksi terlambat menyampaikannya tanpa alasan, maka ia tidak berdosa.21

20 Ibid. 21


(31)

24

Apabila persaksian tidak ditentukan, maka haram mengambil upah atas persaksian itu, kecuali bila saksi keberatan dalam menempuh perjalanan untuk menyampaikannya, maka ia boleh mengambil ongkos itu, apabila kesaksian itu tidak ditentuka. Kesaksian itu fardhu „ain bagi orang yang memikulnya, bila ia dipanggil untuk itu dihawatirkan kebenaran akan hilang, bahkan wajib apabila dihawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu.22 Seperti yang telah ditegaskan dalam Firman-Nya :





















(

ق لا

/

2

:

283

)

Artinya: “Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka sesungguhnya ia

adalah orang yang berdosa hatinya”. (QS. 2 (al-Baqarah) 283

Hukum mengemukakan kesaksian ada dua jalan, sebelum peristiwa terjadi dan sesudah peristiwa terjadi. Yang dimaksud sebelum peristiwa terjadi adalah kesediaan menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al Baqarah ayat : 282 yang berbunyi :







(

ق لا

/

2

:

282

)

Artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” (QS. 2 (al-Baqarah) 282)

Berdasarkan ayat di atas, dibutuhkan atau tidaknya saksi tergantung dari istiwa tersebut, dan juga berkesedianya menjadi saksi sebelum peristiwa terjadi , dalam suatu peristiwa dimana adanya saksi menjadi salah satu syarat sahnya

peristiwa tersebut seperti saksi akad nikah. Menurut madzhab syafi‟i, maka

22 Ibid.


(32)

25

hukumnya fardhu kifayah. sedangkan terhadap orang yang diminta menjadi saksi, hukuymnya fardhu „ain.23

Adapun dalam pertistiwa di mana adanya saksi tidak menjadi syarat sahnya peristiwa tersebut, kemudian menjadi saksi hukumnya sunnah, karena adanya saksi dapat di tetapkan adanya hak, baik seseorang jika dikemudian hari terjadi perselisihan tentang hak tersebut. Kemudian kesaksian setelah terjadi, menurut tujuan syara‟, menjadi saksi dan mengemukakannya adalah wajib. Oleh karena itu, barang siapa yang menemui peristiwa yang ia saksikan sendiri dan di dasari oleh pikiran dan perasaannya, maka menyembunyikan kesaksian dapat di ibaratkan memenjarakan kesaksian didalam hatinya.24

Kasus terhadap seseorang dimana hanya dia yang dapat mengemukakan kesaksiannya. Sedangkan hak di dalam peristiwa tersebut tidak akan dapat di tegakkan tanpa adanya kesaksian tersebut, maka hukum mengemukakan kesaksian baginya adalah fardhu „ain. Dalam hukum positif, saksi adalah alat bukti yang sangat vital. Keterangan saksi dijadikan alat bukti seperti dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP, yaitu bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa-apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.25

B. KORBAN

23

Abdullah bin Muhammad, terj-Abd. Ghaffar, Tafsir Ibnu Katsir, h. 65.

24 Ibid 25


(33)

26

1.Pengertian Korban

Dalam Khazanah fiqih Islam. Istilah yang dipergunakan untuk “korban”

ialah al-majniy „alaih (yang menderita).26 Korban merupakan pihak hukum yang mengalami penderitaan fisik maupun mental, kerusakan, luka atau segala bentuk kerugian, tidak hanya dari sudut pandang hukum, tetapi juga dari sudut ekonomi, sosial, politik maupun budaya.

Korban yaitu pihak yang menderita kerugian baik karena terluka, kehilangan / kerusakan harta kekayaan, sosial, maupun trauma emosional sebagai akibat dari suatu perbuatan tindak pidana yang untuk semua itu korban tidak dimintai pertanggung jawaban, yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Yang termasuk kriteria korban ialah leluarga korban dan mereka yang menerima akibat yang sama dengan korban karena mencegah tindak pidana, membantu korban atau membantu petugas penegak hukum melawan pelaku tindak pidana.27

Korban adalah siapa saja yang rasa sakitnya dan penderitaannya (akibat suatu jarimah) diabaikan oleh Negara (state) sedang Negara memiliki sumber daya yang lengkap sekali untuk menburu dan menghukum sang pelaku tindak pidana yang mesti bertanggung jawab rasa sakit dan penderitaannya itu.

26

Abd al-Qadir al- „Audah, al-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassah al-Risalah)

Juz ke-2, h. 37. 27

Asmawi, Aplikasi masalah dalam perlindungan korban kejahatan menurutr hokum islam,

(Laporan penelitian Individual, program penelitian DIPA, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007) h. 64.


(34)

27

Secara umum, korban merupakan perorangan atau golongan yang menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan korban dapat menderita karena trauma yang berkepanjangan jika ia melaporkan perbuatan si pelaku kejahatan dan memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku tindak pidana di pengadilan.

Hak hidup, hak milik hak keamanan, hak kehormatan, hak keturunan,

hal jiwa dianggap sebagai urgensi dalam pandangan syari‟at Islam, syariat

diturunkan oleh Allah SWT untuk melindungi dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Bahkan Allah SWT telah menetapkan hukuman untuk memberikan dan jaminan perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran di kalangan umat manusia di muka bumi ini.28

Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dimiliki manusia menjalankan proses kehidupan. Perlindungan atas hak ini diberikan dalam segala yang berkaitan dengan usaha manusia untuk membangun kehidupan, mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan dilingkungan sekitarnya. Hak hidup di berikan kepada semua umat manusia.29

Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang sangat dilindungi

dalam ajaran islam. Berbagai ajaran yang terkandung dalam Al Qur‟an dan As

Sunah menegaskan dukungan dan jaminan atas hak hidup manusia, termasuk di

28

Yusuf al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspekrtif al-Qur‟an dan al-Sunah, (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. Ke-1, h. 71. 29Maulana Abul A‟la Maududi

, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara) h . 21-23


(35)

28

dalamnya hukum-hukum yang mengatur tentang larangan bagi sesama manusia untuk merugikan salah satu pihak.30

Nilai-nilai kemanusaan dipertahankan sangat ketat dalam pelaksanaan hukum pidana islam. Pemberlakuan hukuman hanya berlaku bagi orang yang terbukti bersalah. Pihak keluarga sebagai ahli waris dari korban tidak boleh memberikan hukuman yang semena-mena dan harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan alasan kemanusiaan inilah maka hukuman bisa terhapus jika pihak keluarga korban memaafkan pelaku tindak pidana walaupun pelaku tindak pidana tetap mendapat hukuman pengganti dari hukuman pokok.31 Hukuman pidana yang dijatuhkan semata-mata ditentukan oleh Negara melalui undang-undang terlepas dari kehendak korban / ahli warisnya dan jenis sanksinya.

Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 178, Allah SWT berfirman:

ث أ ث أا عل علا حل حلا لتقلا يف

صقلا م يلع تك ا مآ ي لا ي ي

م م في ت كل سحإ هيلإ ءا ف ع ل ع ت ف ءيش هيخ م هل ي ع ف

ميل ا ع هلف كل ع تعا ف ح

(

ق لا

/

2

:

١

)

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi

30

Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani Press

1999), h. 60. 31


(36)

29

ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih

(QS. 2 (Al-Baqarah) : 178)

Perlunya diberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan secara memadai tidak saja menjadi isu nasional, melainkan juga isu internasional. Padahal, telah kita ketahui bahwa dalam persidangan keberadaan korban itu sangat menentukan baik atau salahnya seseorang agar menghasilkan penegakan keadilan yang efektif.

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana sering kali korban kejahatan hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian baik dalam pemeriksaan ataupun dalam pengadilan, sebagai pelapor dalam proes penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewjibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi.

Dalam setiap penangan perkara pidana, aparat penegak hukum sering kali di hadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang bekesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuik memulihkan penderitaannya. Karena telah menjadi korban kejahatan (baik secara mental, fisik, maupun materil) dan kepentingan tersangka/terdakwa/terpidana sekalipun ia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh di langgar.


(37)

30

Terlebih apabila atas perbuatannya belum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku bersalah; dan karena itu ia harus dianggap sebagi orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah). Perlindungan tidak hanya diberikan kepada orang yang sedang teraniaya (korban) melainkan kepada orang yang menganiaya (pelaku) itu sendiri yaitu dengan jalan melepaskan tangannya dari perbuatan aniaya (zalim) tersebut.32

. C. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “Perlindungan” dan “Hukum”. Artinya perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Bahwa pada hakekatnya tidak ada orang yang salah 100% dan tidak ada orang yang benar 100%. Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang yang dituduh bersalah itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Apabila seseorang yang dituduh bersalah akan tetapi diperiksa dan diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku maka apa bedanya orang yang memeriksa dan mengadili dengan orang yang dituduh bersalah itu.33

Pengertian Perlindungan hukum menurut peraturan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warganegara

32

Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan

Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), h. 69. 33


(38)

31

dalam melaksankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentua perundang-undangan yang berlaku (UU 40/1999).34

Secara teoritis bentuk perlindungan terhadap saksi/ atau korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan atau kerugian oleh korban.35 Sebagai contoh untuk kerugian yang sifatnya mental atau psikis tentunya cukup ganti rugi dalam bentuk materi atau uang tidaklah memadahai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materil (seperti, harta benda hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.36

Dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain:

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi.

Restitusi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sedangkan kompensasi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.37

2. Konseling

34

Ibid.

35

Didik M. Arif Mansyur. dan Elisatris Gultom S.H., M.H. Urgensi Pelindungan Korban

Kejahatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) ed. I, h. 165. 36

Ibid.

37


(39)

32

Diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.38

3. Pelayanan atau Bantuan Medis

Pemberian pelayanan atau bantuan medis itu dibrikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti).

4. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan yang harus diberikan terhadap korban kejahatan baik diminta maupun tidak diminta oleh korban.

5. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.39

D. Pidana

1. Pengertian pidana

38

Dalam Pasal 6 huruf B UU No. 13. Th. 2006. Perlindungan Saksi dan Korban.

39


(40)

33

Pidana berasal dari kata straabaarfeitf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melaku-kan suatu tindak pidana. Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan oleh prof. Satochid kartanegara bahwa hukum pidana materil berisikan peraturan-peraturan tentang berikut ini.40

Menurut moeljatno pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar aturan tersebut. 41

a. Perbuatan yang dapat diancam dengan pidana (Strafbare feiten)misalnya: 1) Mengambil barang milik orang lain.

2) Dengan sengaja merampas nyawa orang lain.

2. Jenis pidana dan tindakan bagi orang dewasa

Adapun mengenai bentuk pidana yang di jatuhkan utamanya mengacu kepada KUHP. Namun untuk untuk pidana khusus, ternyata ada perluasan atau penambahan bentuk atau jenis pidana tambahan diluar yang termaktub dalam KUHP.Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (WvS) telah menetapkan

40

Bambang Waluyo,SH. Pidana dan pemidanaan, (Sinar Grafika, 2004) h.6

41


(41)

34

jeniss-jeenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.42

Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:43 a. Pidana pokok meliputi:

1) Pidana mati

Jenis pidana mati yang dalam dalam praktek sering menimbulkan perbedaan diantara yang setuju dan tidak setuju. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan, seperti maker pembunuhan terhadap presiden(pasal 104) Pembunuhan berencana (pasal 340) dan sebagainya. 2) Pidana penjara;

Sehubungan dengan pidana penjara yang dapat menjadi jus constituendum, yaitu sebagai berikut:

a) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun betturut-turut. Atau paing singkat satu hari.

b) Jika dapat dipilih antara pidana mati atau penjara seumur hidup; atau ika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana pnjara lma belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua pulh tahun berturut-turut.

42

Bambang Waluyo,SH. h. 26 43


(42)

35

c) Jika pidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, menteri kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.

d) Pelepasan bersyarat. 3) Pidana kurungan

Dinyatakan dalam pasal 27 bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum acaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau undang-undang lainnya yaitu penjelasan pasal 27, yang berbunyi: “Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang

dewasa”.

4) Pidana denda

Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi, “Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak


(43)

36

nakal paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana

denda bagi orang yang dewasa”.

b. Pidana tambahan meliputi

1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu

Pencabutan hak yang diperoleh oleh terpidana dapat dijatuhkan sesuai dengan kebutuhan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana dan pencabutan hak bebas dalam menentukan lama atau tidaknya pencabutan hak tersebut.

2) Perampasan barang-barang tertentu

Pidana perampasan barang-barang dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dirampas adalah: a) Barang milik terpidana atau orang yang seluruhnya atau sebagian

besar diperoleh dari tindak pidana.

b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana. c) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan

tindak pidana.

d) Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.


(44)

37 3) Pengumuman putusan hakim

Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus

ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan jumlah biaya pengumuman

yang harus ditanggung oleh terpidana. Namun apabila biaya pengumuman itu

tidak dibayar oleh terpidana maka berlakulah ketentuan pidana mengganti untuk


(45)

(46)

39

BAB III

PANDANGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PERKARA PIDANA

DALAM UU NO 13 TAHUN 2006

A. UU NO 13 TAHUN 2006 1. Sejarah Terbentuknya.

Kerberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung kepada alat bukti yang berhasil diungkap atau diketemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.

Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau


(47)

40

menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.44

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum atau keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena hawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dengan undang-undang tersendiri.

Berdasarkan asas persamaan di depan hukum (equality before of law)

yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok

44

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006) cet. Ke-1. h. 18


(48)

41

materi muatan yang diatur dalam undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban meliputi:45

1. Perlindungan dan hak saksi dan korban; 2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana

2. Tujuan pembentukannya

Perlu di tegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK), untuk memberikan perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas dua hal: perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman.

Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi agar tidak dapat digugat secara atau dituntut secara perdata. Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian

atau laporan dengan i‟tikat baik atau yang bersangkutan bukan pelaku tindak pidana itu sendiri. Perlindungan hukum lain berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya.

Semua saksi, pelapor, dan korban memerlukan perlindungan hukum ini. Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh

45


(49)

42

Negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan harta bendanya, termasuk keluarganya.

Karena itu, perlindungan pun harus meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, dan harta benda. Perlindungan semacam ini harus dilakukan terhadap seluruh saksi atau pelapor, termasuk Vincentius Amin Sutanto, sebagai saksi dan pelapor dugaan tindak pidana Asian Agri meski dia terlibat tindak pidana tersendiri.46

3. Landasan hukumnya

Adapun yang menyebabkan adanya landasan hukum ini yang mendasari di bentuknya Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini adalah:

1. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), pasal 1dan 3, dan pasal 7.

2. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi. 4. Peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang tata cara perlindungan

khusus terhadap pelapor dan saksi dan,

5. Peraturan ini ditindak lanjuti dengan peraturan kepala kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005, yang belaku sejak 30 desember 2005.

46Yunus Husein, “


(50)

43

4. Susunan dan isi

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ini terdiri dari 7 bab, dan 46 pasal. Pada bab I ketentuan umum undang-undang ini memuat empat pasal. Pasal ini menjelaskan tentang perlindungan saksi dan korban berasaskan kepada: penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hokum.47

Bab II terdiri dari enam pasal dan di bagi dalam 12 ayat, dimulai dari pasal 5 sampai dengan pasal 10. Dalam pasal ini menerangkan tentang masalah perlindungan dan hak saksi untuk mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiki-sosial. Adapun isi perlindungan yang di jelaskan adalah saksi, korban, dan pelapor tidak dapat di tuntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah di berikannya.48

Bab III terdiri dari 17 pasal dan di bagi dalam 32 ayat, dimulai dari pasal 11 sampai 27. Undang-undang ini menjelaskan tentang pertanggung jawaban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).49

Bab IV terdiri dari 9 pasal dan dibagi dalam 9 ayat, di mulai dari pasal 28 sampai 36. Undang-undang ini menjelaskan tentang syarat pemberian perlindungan dan bantuan, Tata cara pemberian perlindungan.50

47

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Ibid., h. 2 48

Ibid,. h. 3 49

Ibid,.h. 6 50


(51)

44

Bab V terdiri dari 7 pasal dan dibagi dalam 5 ayat, dimulai dari pasal 37 sampai 43. Undang-undang ini menjelaskan tentang sanksi hukuman pidana bahwa setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) huruf a atau hururf d sehingga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 51

Bab VI terdiri dari 1 pasal, yang terdiri dari 4 ayat. Undang-undang ini menjelaskan tentang yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tetap dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan udang-undang ini.

Bab VII terdiri dari 2 pasal, dimulai dari pasal 45 sampai 46. Undang-undang ini menjelaskan tentang LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.

51


(52)

45

B.Kajian Pasal –Pasal tentang perlindungan Hukum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006

1) Pasal (1)

1) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

2) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang di akibatkan oleh suatu tindak pidana. 3) lembaga perlindungan saksi dan korban, yang selanjutnya di singkat LPSK,

adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kkepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang itu.

4) Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau merasa di paksa untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.

5) Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garus lurus keatas atau kebawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang mempunyai tanggungan saksi dan/atau korban.


(53)

46

6) Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib di lksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan Undang-Undang ini.

2. Pasal 5

Dalam pasal 5 seorang saksi dan korban berhak :

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari

orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana;

b. hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. hak untuk mendapatkan nasihat hukum;

d. hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan; e. hak untuk mendapatkan penterjemah;

f. hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat;

g. hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; h. hak untuk mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan; i. hak untuk mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan;

j. hak untuk mendapatkan identitas baru;

k. hak untuk mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi); dan/atau


(54)

47

Hak-hak yang diberikan kepada saksi diatas belum cukup memberikan hak-hak kepada saksi dan korban secara lebih spesifik misalnya :

1. hak untuk memperoleh pendampingan. 2. hak mendapatkan kepastian atas status hukum

3. hak atas jaminan tidak adanya sanksi dari atasan berkenaan dengan keterangan yang diberikan

4. Hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti

5. Hak korban untuk dimintai pendapat pada setiap proses pemeriksaan dan pendapat korban sebagai sarana atau bahan untuk penjatuhan pidana kepada si pelaku.

Hak-hak tersebut sebetulnya merupakan hak yang sangat penting mengingat dalam beberapa kasus saksi dan korban sangat membutuhkan seorang pendamping yang akan memberikan konseling atau dalam korban mengalami trauma dan membutuhkan pihak-pihak yang bisa dipercaya untuk mendampinginya. Adanya pendamping akan membuat saksi menjadi lebih nyaman karena ada orang yang dikenalinya, saksi/korban. lebih percaya diri karena ditemani, adanya dukungan fisik terutama saksi/korban yang sudah tua ataupun lemah, dukungan pendampingan ini juga akan membantu saksi dan korban melewati masa-masa sulit terutama bila saksi/korban mengalama retraumatisasi.

Adanya hak akan pendampingan ini juga memberikan landasan yuridis bagi para pendamping yang selama ini mendampingi saksi/korban dalam memberikan kesaksian dipengadilan. Para pendamping saksi/korban ini tidak diakui dalam sistem hokum pidana kita sehingga kadangkala mendapatkan perlakuan yang tidak


(55)

48

semestinya dan sering dituding sebagai pihak yang memandu saksi dalam memberikan keterangan.

Hak untuk tidak ada sanksi bagi saksi atas kesaksiannya dari atasan saksi harus juga dijamin dalam undang-undang ini. Saksi-saksi yang sering merupakan pihak yang lemah atau tidak mempunyai relasi kekuasaan yang sama dengan terdakwa seringkali menerima resiko pemecatan ataupun resiko lain yang berhubungan dengan pekerjaannya. Saksi-saksi yang rentan semacam ini adalah misalnya saksi-saksi yang melibatkan tindak pidana korporasi atau kasus perburuhan. Saksi lain yang juga rentan atas sanksi atasan adalah saksi dalam kasus pelanggaran HAM berat dimana saksi ini, dari militer ataupun kepolisian, potensial menjadi saksi untuk terdakwa yang merupakan atasannya atau bekas pimpinannya sedangkan saksi masih aktif bertugas dikesatuannya.

Hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti atas saksi korban harus juga dijamin dalam undang-undang ini. Hak ini diberikan kepada korban atas kehilangan pekerjaan akibat tindak pidana yang terjadi pada dirinya, korban kejahatan yang dapat memperolah hak ini adalah korban yang sebelumnya memang telah mempunyai pekerjaan. Sedangkan hak atas pekerjaan pengganti pada saksi juga harus diberikan ketika saksi ikut dalam program perlindungan saksi misalnya jika saksi membutuhkan atau menerima hak relokasi.

Hak mendapatkan kepastian atas status hukum menjadi hak yang perlu dipikirkan untuk diberikan terutama pada saksi-saksi yang mencoba untuk mengungkapkan kasus-kasus kejahatan kepada masyarakat tetapi para saksi tersebut malah sering


(1)

75

tetap mengambil keterangan dari seorang saksi yang tidak mau bersumpah sebelumnya, akan tetapi pernyataan tersebut bukan sebuah kesaksian melainkan hanyalah sebuah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keterangan hakim.

Sebaliknya hukum Islam tidak akan menerima apabila pernyataan saksi tersebut tidak dilandasi dengan sumpah. Dalam hal lembaga yang akan mengurus atau yan bertanggung jawab atas perlindungan saksi, hokum positif memiliki undang-undang yang mengatur untuk lembaga tersebut, yaitu lembaga perlindungan saksi dan korban (undang-Undang pasal 1 ayat (6) “perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya yang sesuai dengan Undang –Undang”.

Dari persamaan dan perbedaan itu semua hokum Islam dan hokum positif bertrujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan keterangan pada sertiap proses peradilan pidana.


(2)

76

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian, akhirnya rumusan masalah dalam penelitian mendapatkan jawabannya.

Penulis mengambil kesimpulan bagaimana pentingnya kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana di Indonesia yaitu sebagai berikut:

a. kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana sangat penting mengingat sering kali aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang di lakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut, yang di sebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan korban.di karenakan seorang saksi dan korban merasa dirinya kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum dan keadilan yang memihak kepada seorang saksi dan korban.

b. Dalam Islam memberikan jaminan perlindungan bagi saksi dan korban terhadap keselamatan jiwanya itu merupakan tujuan dasar hukum Islam (maqasid al-syariah). Penerapan hukum Islam yang tepat dan benar akan menjamin rasa keadilan, rasa keadilan ini tidak hanya berlaku terhadap orang Islam saja, tetapi juga untuk seluruh umat manusia karena Islam ditujukan untuk menyelamatkan umat manusia ( rahmatan lil „alamin)


(3)

77 B.Saran

Berkenaan dengan karya tulis ilmiah (skripsi)ini tulis menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Masyarakat sebagai sobjek hukum harus selalu mematuhi peraturan peraturan yang berlaku sehingga hukum bisa berjalan efektif sebagai mestinya

2. Negara atau pemerintah melalui lembaga perlindungan saksi dan korban harus memperhatikan nasip saksi dan korban sebelum persidangan,sedang dalam proses persidangann ataupun sesudah persidangan.

3. Pejabat penegak hukum khususnya Hakim harus berlaku adil dalam memutuskan masalah dan mendengarkan kesaksian di pengadilan agar tidak terjadi ketimpangan antara yang benar dan yang salah.

4. Bagi para akademisi khususnya di bidang hukum untuk lebih aktif mengadakan penyuluhan kepada masyarakat awam dan mensosialisasikan kepada mereka bagaimana tata cara perlindungan hukum bagi saksi dan korban agar tidak terjadi ketakutan bagi saksi dan korban untuk melaporkan kejahatan tindak pidana.


(4)

78

DAFTAR PUSTAKA

AL-Qur‟an al-Karim

Abbas, Sirojudin, Sejarah dan keagungan Madzhab Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995) Cet Ke-7

Abbas, Sudirman Ahmad, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Banyu Kencana, 2003). Cet. Ke-1

Abul A‟la Maududi, Maulana hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara)

Abu-Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan, Bandung : Ar-Risalah, 1992, cet.1 Ad-Daur, Ahmad, Terjemah – syamsuddin Ramlan, Hukum pembuktian dalam

Islam, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2002, cet ke-1

al-Qardhawy, Yusuf Fiqih daulah dalam perspekrtif al-Qur‟an dan al-Sunah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. Ke-1

Asmawi, Aplikasi masalah dalam perlindungan korban kejahatan menurut hukum islam, (Laporan penelitian Individual, program penelitian DIPA, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007)

Arif Mansyur, Dikdik M. dan Elisatris Gultom S.H., M.H. Urgensi Pelindungan Korban Kejahatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) ed. I,

Ash- Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukunm Acara Islam, Yogyakarta : Al- Ma‟arif, 1964

Al-Bigha, Mustafa Dieeb, Fiqih Sunnah, Surabaya : Insan Amanah, 1424 H Afandi, Ali, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum Pembuktian : Menurut

Undang-Undang Hukum Perdata (PW), Jakarta,: PT Bina Aksara, 1986, cet. ke-3

al-Qadir al- „Audah, Abd al-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut: al-Muassah al- Risalah) Juz ke-2


(5)

79

HAM Berat (jakarta:ELSAM,2005)

Ghozali, Bahri dan Djumadris, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1992), Cet. Ke-1

Kosasi, Ahmat, HAM Dalam perspektif Islam, Menyingkapi Persamaan dan perbedan antara Isalm dan Barat, (Jakarta salemba Diniyah.2003) Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta, Pustaka Bina Harapan), 2006,

cet, ke-1

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia), 1986, cet. ke-1 Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut ajaran Ahlu Sunnah, (Jakarta

Bulan Bintang. 1971)

Hamman, Ibnu syarah Fath al- Qadir, (misr: Mustafa al-Babi al-Hadad, 1970 ) jilid VII

Hartanti, Evi SH. Tindak Pidana Korupsi (Sinar Grafika: 2007), cet. I,

Hussain, Syekh Syaukat Hak asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani Press 1999)

Ibrahim, Muslim Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: P.T Gelora aksara pratama), Cet. Ke-1

Madzkur, Muhammad Salam. Al-qada fi al-islam, (al-qahirah: dar al-Nahdahal- Arabiyah, 1964)

Malik, Abduh Muhammad Zina dan Hukumannya menurut pandangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2003)

Mubarak, Jaih, Sejarah Perkembangan Hukum Islam,( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003)

Muhammad, al-Kahlani, bin Ismail, as-Shon‟ani, Subul as-Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), Cet. 4


(6)

80

Muslich, Ahmad, Wardi, Hukum Pidana Islam, jakarta, Sinar Grafika, 2005 Purwadarmita,W. J. S. kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka,

1976)

Poewardaminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976 Qurtubi, Al, al-Jami‟ al-Ahkam Al-Qur‟an, (al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Arabi,

1967), jilid III

Rusyd, Ibnu bidayatul Mujtahid, jilid 3

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, terj (Bandung : Al-Ma‟arif, 1987) cet ke-2 Shihab, Quraish M. Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet ke-1,

Vol. 1

Umar, al-Rahman, Abdu, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut hukum Islam, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna, 1986), Cet. Ke 1

Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006, cet. ke-1

Waluyo, Bambang SH. Pidana dan pemidanaan, (Sinar Grafika, 2004).

Warson, Ahmad al-Munawir, kamus al-munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997) ed. 2,

KUHP (Jakarta : PT. Rinika Cipta, 2004) KUHAP (Jakarta : PT. Rinika Cipta, 2004)