Tinjauan hukum islam mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan menurut undang-undang No.21 tahun 2007

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang bersifat universal. Ajaran-ajaran dalam Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT semata, melainkan juga menjelaskan soal etika kemanusiaan sebagai dasar relasi antarsesama. Dalam pandangan Islam, seorang muslim yang baik adalah mereka yang sukses membangun hubungan baik dalam dua arah sekaligus. Secara vertikal, membina hubungan dengan Tuhannya sebagai Dzat yang mencipta, sedangkan secara horisontal, ia selalu berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Bukanlah muslim yang baik, yang hanya sibuk dengan ritual peribadatan, tetapi dalam waktu yang bersamaan melakukan tindakan anti kemanusiaan, seperti penindasan, kezaliman, kekerasan, pemerasan, manipulasi, eksploitasi, dan lain-lain. Bagi Islam, keadilan adalah basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Karena itu, Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang, yaitu dengan menolak segala bentuk tirani, eksploitasi, dominasi, dan hegemoni dalam pelbagai aspek kehidupan baik yang berkaitan dengan ekonomi, politik, budaya, gender, dan lain-lain. Al-Qur’an sendiri menyerukan kita agar menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah.1 Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 75, yaitu:

1

Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking: Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Persspektif Hukum Islam, (Cirebon: Fahmina-Institute, 2006), Cet. Ke-1, h. 81-82.


(2)

Artinya:

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.” (Q. S An-Nisaa [4]: 75)

Dengan pemihakan terhadap masyarakat tertindas, Islam menjadi agama yang sangat populer di kalangan masyarakat akar rumput. Gerakan pembebasan Islam itu tidak hanya difokuskan pada keadilan di bidang ekonomi, melainkan juga pada bidang dan kesetaraan gender. Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, Islam juga mengarahkan pada upaya pembebasan perempuan. Kaum perempuan yang sebelumnya diperlakukan seperti barang atau benda dan dapat diwariskan, oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi kedudukan yang sama dengan kaum pria di


(3)

hadapan Tuhan. Islam menegaskan mereka tidak lagi dapat diwariskan, sebaliknya berhak menerima warisan, dan Islam juga melarang penguburan hidup-hidup anak-anak perempuan yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat Arab.2

Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan berbagai isu sosial lainnya. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan fenomena global. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan. Pada tahun 1993 diselenggarakan sebuah konferensi hak asasi manusia di Viena, yang secara resmi mengakui kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu tindak pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini dinyatakan dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam Deklarasi (CEDAW) tersebut tidak hanya mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban negara untuk menanggulangi kekerasan dan melindungi perempuan dari kekerasan tersebut.3

Pendefinisian tentang kekerasan terhadap perempuan tersebut setidaknya memiliki empat ciri. Pertama, kekerasan yang dilakukan terhadap fisik maupun non-fisik (psikis). Kedua, kekerasan dapat dilakukan secara aktif maupun pasif (tidak berbuat). Ketiga, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku

2

Ibid., h. 88-89.

3

Samsidar, dkk., Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan, (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2004), h. 6.


(4)

tersebut merupakan suatu kesengajaan. Keempat, adanya akibat yang ditimbulkan dari kekerasan yang terjadi sehingga merugikan si korban.4

Salah satu prinsip yang dijunjung tinggi dalam Islam adalah penghormatan terhadap kemanusiaan dan kasih sayang. Prinsip ini secara logis kemudian menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama, seperti perlunya berbuat baik, pengharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada tindak pidana perdagangan orang bisa dikatagorikan sebagai suatu kezaliman. Karena dalam perspektif Islam kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa, maupun harga diri seseorang termasuk perlakuan yang buruk, seperti kekerasan, penistaan atau penelantaraan.5 Pengharaman terhadap tindak kezaliman ini dijelaskan Allah dalam Hadis Qudsinya sebagai berikut:

و

ا

ا

يد

اﻮ

ﺎﻄ

Artinya:

“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku,--dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram diantara kamu--,maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Hadis Riwayat Muslim).

Banyak orang yang mengkatagorikan perdagangan orang sebagai bentuk baru dari perbudakan manusia yang diharamkan seluruh komunitas dunia. Perbudakan dalam Islam sangatlah dengan tegas diharamkan, karena selain

4

Tapi Omas Ihromi, dkk., Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, (Bandung : PT. Alumni, 2006), h.267.

5


(5)

bertentangan dengan prinsip kemanusiaan juga bertentangan dengan doktrin agama, yaitu al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70 dinyatakan bahwa “Allah sangat memuliakan anak-anak Adam.” Jika Allah saja sangat menghormati manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya apalagi kita sebagai makhluk yang tingkat kedudukannya setara sebagai makhluk Tuhan. Akan tetapi, memang dalam sejarahnya perbudakan pernah terjadi dalam fase kahidupan manusia. Pada masa peperangan dahulu biasanya orang yang tertangkap dalam peperangan langsung dijadikan sebagai budak. Ketika seseorang menjadi budak, maka ia kehilangan seluruh hak-hak dasarnya sebagai manusia, dan telah kehilangan kemerdekaannya.6

Bagaimanapun juga kehadiran Islam telah membawa para budak dalam keadaan yang lebih baik. Kekuasaan majikan terhadap budaknya terus dikurangi. Para majikan dilarang mempekerjakan budak-budaknya sebagai pelacur demi keuntungan duniawi bagi majikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat An-Nuur ayat 33 sebagai berikut:

6


(6)

Artinya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sehingga Allah SWT memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan mereka menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)sesudah mereka dipaksa.” (Q. S. an-Nuur [24]: 33).

Dari ayat ini sebenarnya dapat diambil satu pemahaman bahwa seseorang dilarang melakukan tindakan penipuan, pemaksaan, dan eksploitasi terhadap perempuan, bahkan terhadap orang yang ada dalam kekuasaannya, seperti anak dan budak-budaknya. Serta dengan ayat ini pula ditegaskan bahwa melacurkan seseorang, tak terkecuali budak dan anak-anaknya sendiri adalah bagian dari kegiatan kriminal sehingga para pelakunya harus dihukum.7

7


(7)

Dalam upaya untuk mengurangi tindak kejahatan perdagangan orang ini perlu dilakukan beberapa langkah yang efektif dalam menghapuskan penindasan terhadap perempuan dan anak. Pertama, memberikan informasi yang berkaitan dengan TKI legal dan berusaha untuk menghentikan perdagangan orang yang membawa korban perempuan dan anak. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan secara layak kepada para pekerja di luar negeri dan menyeleksi secara ketat lembaga yang mempunyai kepentingan rekrutmen. Kedua, meningkatkan aksi yang menyeluruh dari pemerintah, LSM, dan organisasi masyarakat untuk mencegah terjadinya perdagangan orang dengan cara menghentikan tindak kekerasan dan pemaksaan terhadap perempuan serta dilakukan proses penyadaran melalui program konseling dengan metode berpusat pada perempuan peduli perdagangan orang, yang dapat dilakukan oleh orang-orang profesional, sehingga membantu korban perempuan dan anak yang telah masuk perangkap perdagangan orang.8

Sejalan dengan pemikiran di atas, maka pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk mengurangi tindak kejahatan perdagangan orang ini dibuatlah suatu aturan khusus yang mengatur tentang masalah penanggulangan perdagangan orang yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) atau dikenal dengan Undang-undang Anti Trafiking.

Adapun salah satu dasar pemikiran pembentukan undang-undang ini adalah untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat

8


(8)

manusia dengan berupaya untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.9

Negara Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam sangat menyambut baik dengan adanya Undang-undang Anti Trafiking ini. Karena dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan upaya pemberantasan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan secara lebih efektif lagi, disamping diperlukan juga peran serta masyarakat dalam memberikan informasi tentang kejahatan yang terjadi di lingkungannya sehingga terjalin kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Namun, apakah Undang-undang Anti Trafiking ini sudah sejalan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum Islam? Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap perempuan korban perdagangan dalam undang-undang ini? Serta bagaimana pula tata cara pelaksanaannya?

Dari gambaran realitas yang terjadi di atas, maka Penulis tertarik untuk mengangkat wacana tersebut menjadi sebuah skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perdagangan Orang (Trafiking) Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2007”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Pembatasan masalah yang menjadi objek penelitian dan pembahasan ini diperlukan agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu meluas akan tetapi terfokus pada satu masalah yang menjadi akar permasalahan sehingga

9

Tim Fokus Media, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h. 86.


(9)

pembahasan dan analisa permasalahan dapat dilakukan secara lebih mendalam.

Dalam penelitian dan kajian ini, pembahasan permasalahan dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.

Dari pemaparan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi titik berat penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan perdagangan orang?

2. Bagaimana perdagangan orang itu dapat terjadi dan apa saja faktor penyebabnya serta dampak yang dapat ditimbulkan dari adanya perdagangan orang tersebut terhadap korban?

3. Bagaimana Undang-undang Anti Trafiking memberikan perlindungan hukum terhadap korbannya, khususnya kaum perempuan?

4. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang menurut Undang-undang Anti Trafiking?

C. Tujuan Dan Kegunaan

Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulis atau dengan pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut.

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah: 1. Mengetahui gambaran umum tentang perdagangan orang.


(10)

2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan orang dan dampak yang ditimbulkan dari adanya perdagangan orang tersebut bagi korban.

3. Mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap perempuan korban pedagangan orang dalam Undang-undang Anti Trafiking.

4. Mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Undang-undang Anti Trafiking yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi korban perdagangan orang.

Sedangkan manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini dilakukan oleh penulis adalah:

1. Selain dimaksudkan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas terhadap penulis dan pihak lain yang memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan tentang masalah perdagangan orang. 2. Menambah khazanah pengkajian masalah-masalah sosial dalam spektrum

perkembangan ilmu sosiologi dan hukum.

3. Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang semakin marak terjadi khususnya yang menimpa kaum perempuan, sehingga diharapkan masyarakat lebih berhati-hati terhadap penipuan dengan modus menyediakan lapangan pekerjaan terhadap anak perempuan.


(11)

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap kejahatan perdagangan orang yang akhir-akhir ini menjadi pembahasan aktual dan fenomenal di masyarakat memang telah banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai tingkat akademisi yang berbeda, seperti skripsi dengan judul Perdagangan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif yang ditulis oleh Tasmiati. Dalam skripsinya tersebut ia berhasil menjelaskan tentang masalah perdagangan anak dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif Indonesia, dimana ia mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam hukum Islam pelaku perdagangan anak dikenakan hukuman ta’zir.

Sedangkan penelitian lainnya yang berkaitan dengan masalah trafiking adalah skripsi yang ditulis oleh Maria Ulfa, dengan judul Fenomena Trafficking Di Indonesia Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif. Pada dasarnya hasil penelitian kedua ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian pertama dimana dalam kesimpulannya Maria Ulfa pun berpendapat bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam hukum Islam dikenakan sanksi ta’zir. Akan tetapi, masalah perdagangan orang yang menjadi pokok bahasan dalam skripsinya tersebut hanya yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dewasanya saja.

Adapun penelitian lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah buku-buku yang membahas masalah trafiking seperti buku yang diterbitkan oleh Fahmina Institute, Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Nakha’i, KH.


(12)

Husein Muhammad, dan Marzuki Wahid. Secara umum buku tersebut membahas tentang bagaimana trafiking dalam kajian fiqh, perlindungan negara terhadap warganya dan penjelasan-penjelasan atas kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah trafiking dalam pandangan fiqh.

Buku lainnya yang membahas tentang masalah perdagangan orang ini adalah buku yang berisi tentang Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Seri Dokumen kunci 3 dan 5) yang disebarluaskan oleh Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (KOMNAS Perempuan). Buku tersebut berisi tentang laporan-laporan petugas khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan seperti perdagangan orang yang terjadi di berbagai negara, salah satunya Indonesia.

Adapun literatur lainnya yang membahas tentang masalah perdagangan orang ini yaitu buku yang ditulis oleh Sutedjo Yuwono dengan judul Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking In Persons) Di Indonesia. Buku tersebut menjelaskan tentang upaya pemerintah dalam menghapuskan perdagangan orang, pencegahannya, tindakan hukum yang dilakukan terhadap pelaku (trafficker), dan perlindungan serta bantuan kepada korban perdagangan orang.

Walaupun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan masalah perdagangan orang ini sudah banyak, akan tetapi berdasarkan hasil penelusuran yang penulis dapatkan dari penelitian-penelitian tersebut pada intinya belum menyentuh tentang masalah perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan, terlebih lagi saat ini sudah ada undang-undang khusus yang dibuat untuk menangani masalah trafiking ini, yaitu


(13)

Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang membahas masalah perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang menurut undang-undang tersebut dan menganalisanya berdasarkan hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan data, pendekatan dan analisa data dilakukan melalui :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena data yang diperoleh berupa data kualitatif dimana penulis berusaha untuk menggali dan mencermati segala sesuatunya secara ilmiah. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif karena bersifat menggambarkan secara sistematis mengenai fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.10 Penelitian deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara mendalam yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi, dan untuk menentukan solusi apa yang tepat dalam memecahkan permasalahan ynag terjadi.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data dibagi dalam dua kategori yang berbeda berdasarkan tingkat kebutuhannya yaitu :

10

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi,(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke-8, h. 22


(14)

a) Sumber data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan dokumen yang diperlukan dalam hal ini yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO).

b) Sumber data sekunder, yaitu sumber data pendukung dan pelengkap data penelitian yang diperoleh dari literatur-literatur lain yang memiliki relevansinya dengan pembahasan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan melalui penggunaan bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 sebagai rujukan utama dan buku-buku atau literatur-literatur lain.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisa kualitatif. Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh dan disusun lalu kemudian dideskripsikan. Sedangkan hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh deskripsi objek. Penelitian secara general tanpa harus merinci ke dalam secara detailnya.

Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman dan merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi Fakultas Syari’ah Dan Hukum Tahun 2007.


(15)

F. Sistematika Penulisan

Secara sistematis skripsi ini ditulis dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab, yang disusun sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Tinjauan umum tentang perempuan dalam hukum Islam. Menjelaskan tentang kedudukan perempuan dan perlindungannya dalam Islam, hak-hak perempuan, serta tujuan perlindungan hukum terhadap perempuan.

Bab III: Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan (trafiking) dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Bab ini menguraikan tentang pengertian perdagangan orang, korban, proses penyusunan undang-undang tersebut dan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang yang berkaitan dengan perlindungan dari ancaman terhadap saksi dan korban, pemberian restitusi dan rehabilitasi.

Bab IV: Analisis hukum Islam mengnai perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan (trafiking) dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Bab ini menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang yang meliputi perlindungan dari ancaman terhadap saksi dan korban, pemberian restitusi dan rehabilitasi berdasarkan hukum Islam.


(16)

Bab V: Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang penulis berikan dalam skripsi ini.


(17)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEREMPUAN DALAM ISLAM

A. Kedudukan Perempuan Dalam Islam 1. Kondisi Perempuan Sebelum Islam

Perempuan adalah kaum yang berbeda dengan laki-laki. Tetapi keduanya disatukan ke dalam satu kategori, yaitu “manusia.” Dengan kata lain, dari kategori “manusia” itu muncul dua jenis kelamin, dan dari dua jenis kelamin itu muncul individu-individu yang berbeda satu sama lain.11

Pembagian alamiah manusia ke dalam dua jenis kelamin tersebut mengisyaratkan bahwa masing-masing mengemban tugas yang berbeda. Keduanya memiliki karakteristik dan fungsi yang tidak sama serta terdapat kelebihan dan kekurangan yang jika disatukan maka dapat saling

melengkapi.12 Namun, walaupun demikian perempuan sebagai makhluk Allah yang sangat dihargai memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki di hadapan Allah.

Dalam sejarahnya, kondisi perempuan di masa lalu memang sangat menyedihkan dan memprihatinkan, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh belahan dunia. Mereka hampir tidak dapat memiliki hak untuk hidup dengan layak. Tidak ada seorangpun yang berusaha untuk memperjuangkan kehormatan mereka.13 Hal ini seperti terjadi pada

masyarakat Yunani. Perempuan di sana tidak memiliki andil apapun, sehingga mereka dianggap sebagai “godaan setan.” Bahkan salah seorang orator mereka yang sangat terkenal, yaitu Demosthenes mengatakan, “tujuan kita menjadikan pelacur dan gundik-gundik adalah untuk memberikan perhatian terhadap kesehatan jasmani kita sehari-hari. Sedangkan isteri adalah untuk melahirkan anak-anak kita yang sah secara hukum.” Jadi, wanita Yunani yang keluar dari rumah dan naik tahta yang tinggi di dalam masyarakat adalah mereka yang menjadi pelacur.14

Berbeda dengan masyarakat Yunani, dalam masyarakat Yahudi posisi seorang wanita disamakan dengan seorang pembantu, yang sama sekali tidak

11

Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita: Mengupas Keseharian Wanita dari Masalah Klasik Hingga Kontemporer, Terjemah: Ghozi M. et. al., (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h 1-2.

12

Huzaimah Tahido Yanggo, Hak dan Kewajiban Wanita Muslimah Dalam Hukum Islam, (Jakarta: PSW UIN JKT, tt.), h. 19.

13

Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita, h. 7.

14

Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah: Antara Syari’at Islam dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 20-21.


(18)

mendapatkan warisan, jika dalam suatu keluarga itu terdapat anak laki-laki dan apabila suaminya meninggal dunia maka secara otomatis ia menjadi isteri dari saudara laki-lakinya, kecuali jika saudara laki-lakinya itu

membebaskannya atau tidak menikahinya.15

Sementara itu, lain halnya lagi dengan kondisi wanita yang terjadi pada masyarakat Arab Pra-Islam. Bayi perempuan yang dilahirkan dianggap

sebagai bentuk kesedihan, malapetaka dan keburukan sehingga mereka wajib dibunuh bahkan mereka saling mewariskan wanita laksana harta dan barang dagangan.16

Semua ilustrasi di atas merupakan contoh yang menggambarkan bagaimana kondisi wanita di wilayah-wilayah yang tidak di atur oleh hukum Islam dan sebelum Islam datang dimana mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menjalani kehidupannya sebagai seorang manusia.

2. Kedudukan Perempuan Dalam Islam

Pada saat kaum wanita berada dalam penderitaan, cahaya Islam datang bagaikan fajar yang bersinar terang untuk membebaskan hak-hak wanita dari penindasan kaum laki-laki. Islam mengangkat derajat seorang wanita dan memberinya kebebasan, kehormatan serta kepribadian yang independen. Islam juga mengajarkan prinsip kesetaraan antara hak dan kewajiban terhadap laki-laki dan perempuan.17 Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat an-Nisaa ayat 32:

Artinya:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada

15

Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita h. 8.

16

Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah, h. 23-25.

17


(19)

Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. An-Nisaa [4]: 32).

Penghargaan tertinggi Islam terhadap kaum wanita adalah karena untuk pertama kalinya Islam mengangkat derajat wanita dari kutukan “Kesalahan Abadi” setelah dianggap telah menjerumuskan Adam as. untuk memakan buah terlarang.18 Namun, secara perlahan tetapi pasti kehadiran Islam mengubah pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Perempuan yang sebelumnya hanya ditempatkan dalam posisi sebagai “obyek” yang hampir-hampir tidak memiliki hak dan peran sosial, kemudian ditempatkan kembali ke posisi yang selayaknya.19

Perempuan dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dihormati, dijaga oleh risalah Islam dan dimuliakan oleh syari’atnya yang suci.

Sesungguhnya perempuan berada dalam kedudukan yang terhormat, ia memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap peran yang dijalaninya. baik selaku ibu, anak perempuan (remaja atau gadis), isteri, ataupun golongan lainnya dalam masyarakat.20

Salah satu bukti sejarah paling awal dari upaya Islam untuk menjaga hak-hak wanita adalah larangan praktik mengubur anak perempuan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada masa itu, memiliki anak

perempuan merupakan sebuah aib yang sangat terhina. Akan tetapi, kemudian Islam datang dengan mengajarkan prinsip bahwa tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, karena hanya ketakwaanlah yang membedakan keduanya di hadapan Allah.

Bukti lain dapat dilihat dari bagaimana al-Qur’an memposisikan wanita. Dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua, hanya ibu yang disebutkan secara khusus. Misalnya dalam surat Luqman [31] ayat 14 yang dengan jelas menyebut kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua terutama ibu. Hal ini dinyatakan Allah dalam al-Qur’an secara khusus karena ibulah yang mengambil peran sangat penting yang tidak terlihat dalam kehidupan seorang anak, sejak masa kehamilan dan proses bersalin, merawat dan membesarkannya hingga anaknya itu dewasa. Itulah alasan mengapa al-Qur’an menyebutkan ibu lebih banyak daripada ayah.21 Dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan sebagai berikut:“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, dan bertanya, ”Siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?”, Rasulullah menjawab, “ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “kemudian siapa?”, Rasulullah menjawab, “ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Lalu siapa?”, Rasulullah menjawab, “ ibumu.” Dan ketika laki-laki itu kembali menanyakan hal yang sama, Rasulullah menjawab, “lalu ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

18

Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah, h. 27.

19

Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: LKAJ, 1999), h. 15.

20

Abdullah bin Wakil Asy-Syaikh, Wanita dan Tipu Daya Musuh, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 11.

21


(20)

Penyebutan tiga kali nama ibu dalam Hadis di atas, merupakan penegasan bahwa proses reproduksi, yang oleh al-Qur’an dianggap sesuatu yang menyusahkan (wahnan ‘ala wahnin) dan melelahkan (kurhan ‘ala kurhin), harus dihormati, diberi perhatian, dan yang lebih penting, diimbangi dengan perlakuan yang baik terhadap mereka.22

Akhirnya dengan bukti-bukti yang ada tersebut, kita dapat melihat bagaimana Islam meletakkan posisi seorang ibu menjadi sangat terhormat. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi yang artinya adalah,“Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Abu Daud).

B. Perlindungan Terhadap Perempuan Dalam Islam

Untuk menjadi perempuan, dengan jenis kelamin tertentu, seperti adanya rahim dan kelenjar-kelenjar yang secara fisiologis berbeda dari laki-laki adalah sebuah kodrat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, yaitu Allah SWT yang tidak bisa ditolak oleh siapapun di dunia ini. Karena hal tersebut merupakan suatu pemberian (takdir), maka penciptaan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan tidak dianggap sebagai suatu keunggulan atau kelebihan kemanusiaannya yang harus diistimewakan dari satu jenis kelamin yang satu pada jenis kelamin yang lainnya.23

Oleh karena itu, perbedaan apapun yang ada di antara laki-laki dan perempuan tidaklah menunjukan suatu nilai yang inheren. Karena jika tidak demikian, maka kehendak bebas tidak ada artinya.

Menurut Sayid Quthb, Fitrah-lah yang menjadikan laki-laki sebagai laki-laki dan perempuan sebagai perempuan. Tetapi, ia menekankan perbedaan ini tidak memiliki nilai inheren. Namun, lain halnya dengan Al-Zamakhsyari yang berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan bahwa laki-laki “dilebihkan” oleh Allah daripada perempuan dalam hal “kecerdasan, keadaan

22

Faqihuddin Abdul Kodir, Bangga Jadi Perempuan: Perbincangan dari Sisi Kodrat Dalam Islam, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 76.

23


(21)

jasmani, keteguhan hati dan kekuatan fisiknya”, walaupun hal ini tidak dinyatakan dalam al-Qur’an. Yang dikatakan oleh Al-Zamakhsyari ini sama dengan pernyataan Al-‘Aqqad, yaitu, “laki-laki patut diutamakan daripada perempuan.”

Sedangkan Amina Wadud menolak penafsiran yang menetapkan adanya perbedaan inheren antara laki-laki dan perempuan. Karena hal ini dapat memberikan pengaruh negatif dalam kehidupan masyarakat. Penafsiran tersebut berasumsi bahwa laki-laki dianggap sebagai sebuah norma sehingga merupakan manusia yang sempurna, sedangkan perempuan dianggap sebagai kurang manusia, yang memiliki keterbatasan sehingga nilainya lebih kecil dari laki-laki. Jika hal yang demikian terjadi, maka akan memunculkan berbagai stereotip tentang perempuan dan laki-laki yang akan sangat merintangi potensi masing-masing, dan juga adanya pembatasan atas hak-hak perempuan.

Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa setiap individu memiliki nilai inheren yang sama, yang didasarkan pada tiga tahap eksistensi sebagai manusia. Pertama, dalam penciptaan manusia, Al-Qur’an menekankan kesatuan asal seluruh umat manusia. Kedua, terkait dengan perkembangan di dunia dengan adanya potensi untuk berubah, tumbuh, dan berkembang dalam setiap individu. Ketiga, semua aktivitas manusia diberi balasan berdasarkan apa yang telah diupayakannya. 24

Akan tetapi, dalam Islam sendiri penciptaan ini tidak dianggap sebagai suatu kelebihan atau keunggulan. Karena yang menjadi nilai keunggulan dan kelebihan dalam Islam adalah kiprah positif yang disebut dengan taqwa.

24

Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci Dengan Semangat Keadilan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 65-68.


(22)

Penentuan ini merupakan nilai keadilan Islam tersendiri, karena dengan demikian siapapun tanpa memandang jenis kelamin tertentu bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi orang yang unggul dan terbaik di hadapan Islam. Dengan prinsip keadilan ini, kita menjadi bijak dalam melihat peran dan status sosial seseorang, tanpa menilai keunggulannya berdasarkan status sosial yang dimilikinya. Karena perempuan dan laki-laki adalah sama dan setara dalam mengemban tugas kekhalifahan dari Allah.25

Artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: bahwa Aku akan menciptakan khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah, [2]: 30).

Menjadi perempuan harus dibanggakan, disyukuri, dan dirayakan, karena merupakan amanah dari Allah Swt. yang diberikan kepada seseorang. Al-Qur’an dengan sangat tegas dan keras mengkritik orang-orang yang merendahkan dan merasa rendah dengan kehadiran perempuan. Hal ini tercermin dalam surat Al-Nahl [15] ayat 57-59, yang artinya: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) bayi perempuan, mukanya akan hitam karena marah dan geram. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan

25


(23)

menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. ”

Kritik dalam surat al-Nahl terhadap perendahan perempuan tersebut merupakan kritik yang ditujukan terhadap masyarakat yang sering lebih mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Dengan ayat al-Qur’an ini Islam ingin menawarkan perlakuan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan, bukan perlakuan yang berat sebelah, tidak seimbang, dan bahkan diskriminatif.26

Adapun bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan Islam terhadap perempuan, yaitu:27

1. Islam mengakui harkat kemanusiaan perempuan.

Dengan pengakuan ini, maka kedudukan seorang perempuan dalam Islam adalah sejajar dan sekandung dengan laki-laki baik dalam segi kemanusiaannya maupun dalam segi kemuliaannya. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 195: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” Bahkan Nabi SAW pernah berkata, “Kaum perempuan adalah saudari kandung kaum lelaki.”

2. Islam memerintahkan agar perempuan diperlakukan dengan baik, penuh santun dan kasih sayang seperti layaknya perlakuan terhadap seorang gadis

26

Ibid, h. 14.

27

Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Kawinlah Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, Penerjemah: Muhammad Nurdin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), cet. Ke-IV, h. 168-177.


(24)

kecil. Sabda Nabi: “Barang siapa yang mempunyai tanggungan tiga anak perempuan atau tiga saudari kandung, lalu ia bisa mendidik dan memperlakukan mereka dengan baik, serta mampu menikahkan mereka, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud).

3. Perempuan sebagai isteri harus diperlakukan dan digauli dengan baik. Karena Islam menganggap perempuan sebagai tonggak masyarakat dan pondasi yang kokoh. Oleh karena itu, seorang suami tidak dibenarkan untuk bersikap sombong dan berlebihan terhadap isterinya, karena sikap yang demikian sangatlah bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah dan al-Qur’an. Sebab dalam surat an-Nisa [4] ayat 19 dijelaskan: “Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

4. Perempuan sebagai ibu harus dihormati, dimuliakan, dan ditaati.

C. Hak-hak Perempuan Dalam Islam

Setiap manusia berhak atas hak asasinya sebagai manusia dan perlindungan terhadap hak-haknya itu dari undang-undang negara yang didiaminya. Menurut Undang-undang Hak Asasi Manusia, baik perempuan maupun laki-laki berhak atas hak asasi manusianya dan kebebasannya yang fundamental tanpa pandang bulu, jenis kelamin dan ras terlepas dari


(25)

partikularitas (kekhususan, keistimewaan) budaya tertentu, ajaran-ajaran agama dan level-level pembangunan.

Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, bukan pembedaan (discrimination) di antara keduanya. Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Yang pasti bahwa Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Jika dalam masyarakat sebelum datangnya Islam perempuan dianggap seperti “barang” yang hampir-hampir tidak memiliki hak, maka ajaran Islam secara drastis menempatkan kembali posisi perempuan sebagai “manusia” seutuhnya, yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya kaum laki-laki. Dalam al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 32 disebutkan sebagai berikut:

Artinya:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allahsebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala urusan.” (QS. An-Nisaa [4]: 32).


(26)

Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa Islam menghendaki adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Menurut Moh. Yasir Alimi ada beberapa alasan mengapa kita harus memperhatikan hak-hak perempuan, yaitu:

1. Untuk menginformasikan kepada perempuan bahwa mereka mempunyai hak-hak fundamental dan mereka berhak untuk menikmatinya;

2. Untuk membongkar dan menghapuskan pelanggaran hak-hak perempuan berbasis jenis kelamin (sex) atau jender;

3. Untuk membentuk praktek Hak Asasi Manusia baru yang sepenuhnya memperdulikan hak-hak perempuan.28

Nasaruddin Umar dalam bukunya Kodrat Perempuan Dalam Islam, berpendapat bahwa perempuan dalam Islam mempunyai berbagai hak sebagaimana halnya hak yang dimiliki kaum laki-laki. Hak-hak yang dimaksud tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Hak-hak dalam bidang politik

Dalam ayat atau hadis tidak ditemukan adanya larangan kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Akan tetapi justru sebaliknya, banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia politik tersebut.

Salah satu ayat al-Qur’an yang menjelaskan dan menjadi dasar hukum tentang kebolehan bagi perempuan untuk terjun dalam kancah politik adalah surat at-Taubah [9] ayat 71 sebagai berikut:

28

Moh. Yasir Alimi, et. all., Advokasi Hak-hak Perempuan: Membela Hak Mewujudkan Perubahan, (Jakarta: LKIS, 1999), h. 2-3.


(27)

Artinya:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana.”(QS. At-Taubah [9]: 17).

Menurut Dr. Quraish Shihab, sebagaimana ditulis oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya Kodrat Perempuan Dalam Islam, kata auliyaa’ (penolong) dalam ayat di atas, meliputi kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan kata ya’muruuna bi al-ma’ruufi (menyuruh mengerjakan yang ma’ruf) meliputi segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.29

Dalam sejarah Islam, para isteri Nabi terutama Aisyah, telah menjalankan peran politik penting seperti keterlibatannya dalam medan perang. Selain Aisyah juga banyak wanita lainnya yang juga terjun dalam

29


(28)

dunia politik seperti Fathimah binti Rasulullah, Atika binti Yazid ibn Mu’awiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub, al-Khaizaran binti Athak, dan lain sebagainya.30

Dengan adanya bukti-bukti tersebut, maka tidak seorangpun berhak melarang perempuan untuk menekuni dunia politik sehingga mengekang hak politik yang milikinya.

2. Hak dalam memilih pekerjaan

Sebagaimana halnya dalam bidang politik, dalam hal memilih pekerjaan pun perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan tidak ada larangan dalam Islam. Bahkan kaum perempuan diberikan kebebasan untuk bekerja di bidang apa saja yang dihalalkan, baik pekerjaan tersebut dilakukan di dalam atau di luar rumah, di lembaga pemerintahan ataupun di lembaga swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam keadaan terhormat, sopan, dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Pada masa Nabi, hal tersebut dibuktikan dengan kepiawaian Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi, sebagai seorang komisaris perusahaan. Selain Khadijah, juga terdapat Zainab binti Jahsy yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan sebagai penata rias pengantin, isteri Abdullah ibn Mas’ud seorang wiraswastawan yang sukses, al-Syifa’ yang bekerja sebagai seorang sekretaris dan juga pernah ditugaskan oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab

30


(29)

sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah, dan masih banyak lagi perempuan lainnya. Dengan banyaknya perempuan yang aktif dalam bekerja, Aisyah pernah berkata: “Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan kaum laki-laki.” Bahkan dalam satu riwayat, Nabi pernah mengatakan: “Sebaik-baik permainan seorang Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun.”31

3. Hak memperoleh pelajaran

Pada masa Islam klasik, banyak perempuan yang menguasai ilmu pengetahuan penting seperti Aisyah isteri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, al-Syekhah Syuhrah dengan gelarnya fikhr an-Nisaa (kebanggaan kaum perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i, Mu’nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat at-Taimiyah, Zainab (putri sejarawan al-Baghdadi), Rabi’ah al-‘Adawiyah, dan lain-lain. Dengan banyaknya perempuan yang berpendidikan tersebut membuktikan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu adalah perintah Allah. Hal ini dibuktikan dengan diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1 dalam bentuk kalimat perintah (iqra’) yang pada dasarnya memiliki arti perintah untuk membaca, lalu disusul dengan wahyu berikutnya yang merupakan sumpah pertama Allah dalam al-Qur’an yaitu surat al-Qalam [68] ayat 1yang berbunyi: Nuun wa al-qalami wa maa yasthuruun (Nun, demi kalam dan apa yang dituliskannya).

31


(30)

Perintah membaca dalam ayat pertama surat al-‘Alaq tersebut membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam sangatlah penting. Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya ditujukan bagi kaum laki-laki saja, akan tetapi inipun berlaku juga bagi kaum perempuan.

Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam hadis. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mengajari mereka. Hal ini membuktikan bahwa Nabi tidak melarang kaum perempuan untuk belajar dan menuntut ilmu sebagaimana laki-laki, seperti ditegaskan dalam hadis Nabi yang sangat terkenal dan menjadi landasan diwajibkannya menuntut ilmu bagi laki-laki dan perempuan: “Menuntut ilmu pengetahuan difardukan kepada kaum muslim laki-laki dan perempuan.”32

Tidak jauh berbeda dengan Nasaruddin Umar, S.M. Khamaeni juga berpendapat bahwa perempuan memiliki berbagai hak yang sama dengan hak yang dimiliki kaum laki-laki. Hak-hak tersebut menurutnya adalah sebagai berikut:

1. Hak-hak perempuan dalam bidang politik33

Hak-hak politik merupakan hak-hak paling penting yang diperoleh masing-masing individu. Karena dengan hak ini seseorang dapat menjadi lebih efektif baik dalam kehidupan politik, sosial maupun ekonominya. Dengan demikian perempuan juga dapat menentukan peraturan pemerintah, organisasi, dan tatakramanya serta mengambil bagian secara

32

Ibid, h. 33-34.

33

S.M. Khamaeni, Risalah Hak Asasi Wanita, (Jakarta: Al-Huda, 2004), cet. Ke-1, h. 77-79


(31)

langsung dalam arus pelaksanaan hukum dan perundang-undangan, hukum, dan abolisinya.

Adapun hak-hak politik yang dimiliki oleh seorang perempuan ini meliputi hal-hal berikut:

a. Hak memberikan suara (baiat)

Hak memberikan suara (baiat) berarti bahwa perempuan berhak untuk mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Mumtahanah ayat 12:

Artinya:

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya


(32)

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Mumtahanah: 12).

b. Hak berserikat

Kemerdekaan politik yang dimiliki perempuan dalam Islam adalah sama dengan laki-laki yaitu perempuan diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam perkumpulan-perkumpulan dan dalam salat berjama’ah, kecuali bila ia sedang haid. Seorang wanita juga diperbolehkan untuk menjadi khatib dan berkhutbah, mengajar dan menjadi imam bagi perempuan.

c. Hak berperang dan mempertahankan diri

Dalam mempergunakan haknya yang berkaitan dengan perang sebagai salah satu jenis mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan individu, maka seorang perempuan dapat pula ikut serta dalam usahanya mempertahankan dan menyerang yang dilakukan demi untuk mempertahankan wilayah, ideologi, dan diri mereka. Peran serta aktif perempuan dibelakang medan perang merupakan salah satu inovasi Islam.

d. Hak obligasi

Setiap orang dalam Islam memiliki hak suaka politik dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, dan pemerintah diwajibkan untuk menerima penawaran tanggung jawabnya. Hak yang besar dan sensitif ini,yang bisa menjadikan orang yang menawarkan suaka sebagai wakil dari pemerintah, telah diberikan kepada perempuan sejak datangnya Islam.


(33)

Dalam Konvensi Internasional tentang Hak Politik dan Sipil (International Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR), dijelaskan bahwa konvensi ini memberikan jaminan pada setiap orang untuk memiliki hak politik dan sipil yang sama termasuk kebebasan, kesetaraan, dan integritas fisik yang berfokus pada hak-hak kebangsaan, kebebasan berorganisasi, partisipasi politik dan sipil.34 2. Hak-hak ekonomi

Hak-hak ekonomi adalah hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan dalam bidang ekonomi yang kedudukannnya sama dengan laki-laki. Hak-hak ekonomi ini meliputi:

a. Hak kepemilikan

Dalam sejarah yang panjang, kaum perempuan tidak pernah memiliki hak untuk memiliki, justru sebaliknya perempuanlah yang dianggap sebagai milik orang lain. Akan tetapi setelah datangnya Islam, kemerdekaan perempuan dalam kepemilikan, memiliki dan menikmati kekayaannya diakui sebagaimana hak kepemilikan yang dimiliki oleh laki-laki.35 Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat an-Nisaa ayat 32 yang artinya sebagai berikut:“…Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan…”

b. Hak warisan

Sebelum datangnya Islam, banyak kaum perempuan kehilangan haknya atas warisan. Akan tetapi, setelah Islam datang dan

34

Moh. Yasir Alimi, Advokasi Hak-hak Perempuan, h. 44.

35


(34)

tersebar ke seluruh belahan dunia perempuan kembali mendapatkan haknya atas warisan yaitu separuh dari laki-laki. 36

Selain hak-hak yang bersifat umum di atas, terdapat pula hak-hak yang bersifat khusus bagi perempuan, yaitu:37

1. Hak-hak finansial (hak dalam bidang keuangan), meliputi: a. Bagian pernikahan

b. Tunjangan (nafaqoh)

2. Hak-hak spiritual (hak membentuk diri), meliputi: a. Perilaku yang baik

b. Hak untuk kesejahteraan dan pelayanan c. Hak untuk hidup bersama38

D. Tujuan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Islam

Secara global, tujuan syari’ dalam mensyari’atkan hukum ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia seluruhnya, baik di dunia yang fana ini maupun di akhirat yang baqa’ kelak, dengan cara mendatangkan kemanfaatan bagi mereka dan menghindarkan kemafsadatan bagi mereka. Firman Allah dalam surat al-Anbiyaa ayat 107:

Artinya:

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

36

Ibid, h. 76.

37

Ibid, h. 80-82.

38


(35)

Tujuan hukum dalam Islam (maqashid as-syari’ah) itu ada lima, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara kehormatan dan keturunan, memelihara akal, dan memelihara harta. Dalam mewujudkan dan memelihara tujuan-tujuan tersebut, ulama ushul fiqh membaginya dalam beberapa tingkatan sesuai dengan kualitas kebutuhannya.39 Ketiga bagian tersebut adalah:

1. Kebutuhan Ad-Dharuriyah, yaitu kemaslahatan mendasar dalam mewujudkan dan memelihara eksistensi kelima pokok di atas.

2. Kebutuhan Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut di atas.

3. Kebutuhan At-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar manusia di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan makarim al-akhlak.

Adapun hubungan antara perlindungan terhadap perempuan dalam hukum Islam dengan tujuan tersebut di atas termasuk ke dalam tingkat dharuriyah, karena apabila tujuan tersebut terwujud dan terpelihara maka akan tercipta kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.

Diantara tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam (Maqashid asy-Syari’ah) adalah memelihara kehormatan dan harga diri manusia (hifzh al-‘Irdh), memelihara kesucian keturunan dan hak reproduksi (hifzh al-Nasl), dan perlindungan terhadap jiwa (Hifzh al-Nafs). Haramnya zina dan semua

39

Ismail Muhammad Suah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam Dalam Filsafat Hukum Islam, ed. Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Depag RI, 1992), h. 65.


(36)

perilaku yang dalam terminologi modern disebut dengan istilah pelecehan seksual, tidak terlepas dari tujuan-tujuan tersebut.40

Berbagai tindak kekerasan yang selama ini terjadi dan menimpa kaum perempuan merupakan suatu tindak kejahatan yang harus dihapuskan. Karena, kekerasan tersebut pada umumnya banyak yang melanggar hak-hak asasi seorang perempuan, seperti tindak pidana perdagangan orang dimana kaum perempuan banyak yang menjadi korbannya.

Dalam tindak kejahatan ini selain perempuan diperdagangkan layaknya barang, mereka juga sering mendapatkan paksaan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Seperti eksploitasi seksual dimana korban dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja seks. Dalam hal ini mereka tidak dapat menolak, karena jika mereka menolaknya maka mereka akan mendapatkan berbagai macam hukuman, baik berupa pemukulan maupun denda yang harus dibayarkan korban pada para pelaku.41

Secara prinsip, Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti, mencederai, melukai kepada diri sendiri atau bahkan kepada orang lain, baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Kekerasan sebagai suatu tindakan yang menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan, hukumnya adalah haram. Pengharaman ini disebabkan adanya bentuk kezaliman yang dilakukan oleh pelaku pada korban. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah berkata, “Jadilah hamba-hamba Allah

40

Abdul Moqsith Ghozali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Jakarta: Rahima, 2002), h. 120.

41

Jurnal Perempuan, Hukum Kita Sudahkah Melindungi?, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006), h. 53.


(37)

yang bersaudara satu dengan yang lain, karena seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan menzalimi, menipu, atau melecehkannya.”42

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin, melarang kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip kerahmatan yang dimilikinya. Untuk mereduksi kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, maka hukum memperdagangkan perempuan layaknya barang, untuk dijadikan objek eksploitasi seksual adalah haram. Firman Allah dalam surat an-Nuur [24] ayat 33:

42


(38)

Artinya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sehingga Allah SWT memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan mereka menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.” (QS. an-Nuur [24]: 33).

Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa diturunkannya surat an-Nuur ayat 33 tersebut adalah untuk merespon kasus Abdullah bin Ubay. Menurut kisahnya, Ubay memiliki beberapa orang budak perempuan, yaitu Musaikah, Mu’adzah, Umaymah, Umrah, Arwa, dan Qutaylah. Sebagai seorang majikan/tuan, Abdullah bin Ubay sering memaksa budak-budak perempuanya tersebut untuk melacur demi keuntungan finansial semata. Mereka juga sering mendapatkan pukulan jika menolak perintah majikannya tersebut. Diriwayatkan pula bahwa pemaksaan untuk melacur itu sengaja dilakukan oleh majikan untuk mendapatkan keturunan (anak). Hal ini kemudian diadukan oleh Musaikah dan Mu’adzah (ada juga yang menyebutnya Umaymah) kepada Rasulullah SAW. Sebagai suatu bentuk


(39)

pelarangan terhadap peristiwa tersebut, maka turunlah surat an-Nuur ayat 33 ini.43

Konklusi atau kesimpulan yang dapat diambil dari surat an-Nuur ayat 33 tersebut adalah bahwa al-Qur’an dengan tegas mengharamkan seseorang untuk melakukan tindakan penipuan, pemaksaan, dan eksploitasi terhadap perempuan, bahkan terhadap orang yang ada dalam kekuasaannya, seperti anak dan budak. Ayat ini pun menegaskan bahwa melacurkan seseorang, tak terkecuali budak dan anaknya sendiri, adalah bagian dari suatu tindakan kriminal sehingga pelakunya harus dihukum.44

Dengan demikian, kita sebagai umat Nabi Muhammad hendaknya mengikuti teladan beliau yang tidak pernah melakukan kekerasan terhadap siapapun, termasuk perempuan. Karenanya, orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan cara memperdagangkannya untuk tujuan komersial dan meraih keuntungan pribadi tersebut dianggap sebagai orang yang tidak bermoral dan tidak berprikemanusiaan.

43

Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking, h. 66-69.

44


(40)

BAB III

BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007

A. Gambaran Umum Tentang Perdagangan Orang (Trafiking)

1. Pengertian perdagangan orang (trafiking), korban, macam-macam perdagangan orang (trafiking), dan hak-hak korban

Perdagangan orang (trafficking in person) yang dilakukan untuk berbagai tujuan, di Indonesia telah berlangsung sejak dahulu kala, dan sampai saat ini perdagangan orang yang dianggap sebagai suatu bentuk perbudakan modern itu masih tetap berlangsung bahkan semakin meningkat. Landasan bagi perkembangan industri seks ini sudah terbentuk sejak zaman raja-raja Jawa dahulu yaitu dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu laki-laki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, bentuk industri ini menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa, seperti pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang.45

45

Sutedjo Yuwono, Penghapusan Perdagangan Orang (Traffickingin Person)di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2003), h. 1.


(41)

a. Pengertian Perdagangan Orang (Trafiking)

Istilah perdagangan orang atau trafiking secara etimologi, pada dasarnya merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu kata trafficking yang berarti perdagangan orang. Akan tetapi, walaupun demikian belum ada kesepakatan bulat bahwa kata perdagangan tersebut layak untuk manusia atau orang. Karena, yang pantas untuk diperdagangkan hanyalah benda tak bernyawa atau binatang.46

Sedangkan pengertian perdagangan orang secara terminologi dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) yaitu, “segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antardaerah dan antarnegara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak mempunyai pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan utang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jernal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.”47

46

Ibid, h. 1.

47


(42)

Pasal 3 (a) Protokol Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)48, memberikan pengertian perdagangan manusia dengan “kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, penyembunyian atau penerimaan, seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan atau penyalahgunaan kekuasaan atau kerentanan posisi, ataupun pemberian atau penerimaan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk tujuan eksploitasi meliputi minimal menyangkut prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyerupai perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.”49

Sementara itu, pengertian perdagangan perempuan dan anak-anak yang dikeluarkan oleh International Catholic Migration (ICMC) dan American Center for Informational Labor Solidarity (ACILS) adalah “pemindahan perempuan dan anak-anak dari dukungan keluarga mereka atau sistem dukungan lain melalui proses, jalan atau cara dan tujuan dimana persetujuan dari korban menjadi tidak relevan.”50

Kemudian pasal 1 angka 1 Bab I Ketentuan Umum Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

48

Pasal 3 (a) Protokol Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) guna mencegah,

menanggulangi, dan menghukum perdagangan manusia khususnya anak dan perempuan sebagai lampiran/tambahan dari Konvensi PBB melawan kejahatan terorganisasi yang bersifat

transnasional tahun 2000.

49

Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 198-199.

50


(43)

perdagangan orang adalah “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”51

Dalam pengertian di atas, terdapat tiga unsur utama yang menjadi landasan bahwa kejahatan tersebut disebut sebagai memperdagangkan orang, yaitu:

1) Memindahkan orang, baik di dalam maupun di luar batas negara (termasuk perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan);

2) Cara-caranya melawan hukum (termasuk ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut);

3) Tujuannya eksploitasi atau menyebabkan orang tereksploitasi.52

Eksploitasi sendiri didefinisikan dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang Anti Trafiking, sebagai ”tindakan dengan atau tanpa persetujuan

51

Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 3.

52

Salma Safitri Rahayaan, Analisis Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO), dalam Jurnal Perempuan: Hukum Kita Sudahkah Melindungi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2006), h. 33.


(44)

korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak-pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”53

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, terlihat bahwa perdagangan orang merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang sangat kompleks dan mengerikan, karena manusia dijadikan sebagai komoditas, yang dilakukan dengan memindahkannya secara semena-mena, sarat dengan berbagai pelanggaran dan tindak kejahatan serta kesewenang-wenangan dengan tujuan eksploitasi yang merugikan korban, sementara di lain pihak menguntungkan orang lain.54 Perdagangan orang tidak lagi sekadar praktik perbudakan manusia sebagaimana telah terjadi pada masa lalu, tetapi perdagangan orang juga merupakan tindak pelanggaran hak asasi manusia.55

Sedangkan dalam usahanya untuk mencari korban, para pelaku biasanya melakukan berbagai macam cara agar korban terjerat dengan mudah. Cara kerja (modus operandi) yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan perdagangan (trafficker) tersebut tidaklah sama. Biasanya jika pelaku baru kenal dengan korban, maka ia akan menunjukkan sikap yang baik pada korban, seperti menawarkan minuman, atau menawarkan jasa

53

Ibid, h. 33.

54

Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan, h. 199.

55


(45)

dengan mengantarnya pulang. Hal ini dilakukan agar korban tidak merasa curiga terhadap pelaku. Namun, secara perlahan tapi pasti pelaku terus berusaha meyakinkan korbannya bahwa ia tidak memiliki niat jahat sedikitpun terhadapnya.

Sedangkan cara lain yang biasa dilakukan para pelaku adalah dengan mendatangi daerah-daerah pinggiran kota, terutama daerah yang berada di bawah garis kemiskinan guna mencari anak perempuan dan menawarkan lowongan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.

Jika kedua cara tersebut di atas tidak berhasil, maka pelaku berusaha melakukan pendekatan terhadap teman sebaya atau teman dekat korban, yaitu dengan cara memanfaatkan mereka agar korban masuk dalam perangkap pelaku.56

Setelah mengetahui berbagai macam modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku dalam menjerat korbannya, selanjutnya perlu diketahui pula bagaimana pola/proses kejahatan trafiking ini. Pola-pola kejahatan perdagangan orang pada setiap bentuknya adalah sama, yaitu dengan melalui tiga tahap.57 Pertama, pola perekrutan. Dalam pola ini, biasanya para pelaku berusaha merayu korban, baik dengan cara menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan serta akan mendapatkan gaji yang tinggi, atau menipu, atau menjebaknya dengan jerat utang, atau bahkan dengan melakukan ancaman/intimidasi kepada korban. Kedua, pola pengiriman. Para korban yang telah masuk dalam perangkap para pelaku,

56

Lembar Info,Waspadai Sindikat Perdagangan Anak Perempuan, (Jakarta: LBH APIK, tt.), h. 2.

57

Suara APIK, Pentingnya Peraturan tentang Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak Edisi ke-31, 2006, h. 5.


(46)

kemudian di bawa ke tempat transit/tempat persinggahan sementara sebelum mereka sampai pada tempat tujuan utama mereka. Di Indonesia banyak sekali kota-kota yang menjadi tempat transit pelaku sebelum mereka menuju ke negara tujuan utamanya. Medan, misalnya sebagai tempat transit bagi mereka sebelum menuju ke Malaysia. Selain Medan masih banyak lagi kota-kota lainya seperti Batam, Bangka, Nunukan dan lain-lain. Ketiga, pola penyerahterimaan. Ini adalah tahapan terakhir yang dilakukan oleh pelaku. Dalam proses penyerahterimaan antara korban dengan orang yang akan membelinya, biasanya pelaku menempatkan para korban terlebih dahulu di sebuah rumah penampungan untuk menunggu penempatan kerja yang dijanjikan tersebut. Kemudian setelah itu mereka akan dibawa para pelaku ke tempat-tempat yang telah dituju tanpa sepengetahuan korban, misalnya ke tempat-tempat hiburan seperti diskotek atau tempat-tempat lainnya.

b. Korban

Persoalan perdagangan perempuan sangatlah kompleks dan tumpang tindih (overlapping), satu dengan yang lain saling menyangkut persoalan ketenagakerjaan, keimigrasian, kemiskinan, kekerasan, dan kejahatan. Secara kasat mata perempuan sebagai korban (victim) akibat jual beli manusia, terbukti telah mengalami serentetan perlakuan viktimisasi sebagai akibat tindak kriminal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.58

58


(47)

Pentingnya pengertian korban dalam pembahasan ini adalah untuk sekadar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan persepsi dan cara pandang. Korban suatu kejahatan tidaklah hanya dari individu atau orang perorangan saja, tetapi juga bisa berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Lalu, siapakah yang disebut korban itu?

Berbagai pengertian tentang korban telah banyak dikemukakan oleh para ahli dan hasil konvensi-konvensi internasional yang membahas tentang korban kejahatan.

Arif Gosita, dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan mengatakan bahwa korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.” Kata “mereka” tersebut dapat diartikan sebagai individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah. 59

Sedangkan korban menurut Muladi, adalah “orang-orang yang baik secara individual mapun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.”60

59

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2004), cet. ke-III, h. 64.

60

Dikdik M. Arief mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 47.


(48)

Dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime And Abuse of Power, Perserikatan Bangsa-bangsa (1985), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan korban yaitu “orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.”61

Namun, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bab I Ketentuan Umum pasal 1 angka 3, korban adalah “orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”62

Akan tetapi, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 1 angka 2, menyebutkan bahwa yang disebut dengan korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”63

Sementara itu, pengertian korban yang dimaksud dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) pasal 1 angka 3, yaitu “seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak

61

Ibid, h. 44.

62

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG), 2006), h. 82.

63

Undang-Undang republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi Dan Korban, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2006), h. 7.


(49)

pidana perdagangan orang.”64 Kata “seseorang” dalam pasal tersebut merujuk pada siapa saja, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya meliputi orang perorangan saja yang merasakan secara langsung kerugian yang dialaminya, tetapi juga termasuk didalamnya keluarga korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban dalam mengatasi kerugiannya.

Jika dikaitkan dengan keadaan dan statusnya, maka korban dari suatu tindak kejahatan yang terjadi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. Misalnya, pada kasus kecelakaan. Maka yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah pelaku.

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus perselingkuhan dimana korban juga berperan sebagai pelaku.

3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat apa-apa, tetapi dengan sikapnya justru mendorong orang untuk berbuat jahat terhadapnya, sehingga ia menjadi korban.

4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkannya menjadi korban.

5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

64

Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 3.


(50)

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya prostitusi, aborsi, judi, dan lain-lain.65

Sedangkan Stephen Schafer berpendapat bahwa pada dasarnya jika korban dihubungkan dengan peranan dalam peristiwa kejahatan yang menimpanya, maka dalam hal ini ada empat tipe korban. Pertama, orang yang tidak memunyai kesalahan apa-apa, tetapi ia tetap menjadi korban. Dalam hal ini kesalahan ada pada pelaku. Kedua, korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap dirinya. Untuk tipe ini, korban dianggap memiliki andil untuk menimbulkan terjadinya suatu kejahatan sehingga kesalahan terletak pada korban dan pelaku. Ketiga, mereka yang secara biologis dan sosial berpotensi untuk menjadi korban. Misalnya anak-anak, orang cacat (baik fisik atau mental). Korban dalam kelompok ini tidak dapat dipersalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. Keempat, korban yang juga berperan sebagai pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Misalnya pelacuran, perjudian, zina. Pihak yang dipersalahkan dalam hal ini adalah korban yang juga berperan sebagai pelaku.66

Berbagai macam tipologi korban di atas, dapat memberikan penjelasan bahwa korban juga dapat berperan dalam menimbulkan suatu tindak kejahatan yang dapat merugikan dirinya sendiri.

65

Ibid, h. 49-50.

66


(51)

Dalam hal perdagangan orang, korban bukanlah orang yang menyebabkan kerugian atas dirinya sendiri karena perbuatannya, melainkan pada umumnya korban perdagangan (khususnya perempuan) justru terjebak oleh perbuatan para pelaku karena keadaan yang membuatnya tidak dapat menghindar, seperti jeratan utang, yang tidak mampu dilunasinya pada waktu yang telah ditentukan, dan lain-lain.

Menurut penulis, korban kejahatan perdagangan orang ini termasuk dalam kelompok socially weak victims dan biologically weak victims, karena sebagian besar korban perdagangan orang berasal dari golongan masyarakat miskin yang kedudukan sosialnya lemah dan secara biologis pada umumnya korban adalah orang yang dianggap lemah sehingga ia dengan mudah menjadi korban, seperti perempuan dan anak-anak.

c. Macam-macam perdagangan orang

Setelah memperhatikan kasus-kasus yang terungkap di media massa terhadap fenomena perdagangan orang yang dialami korban perempuan dan laki-laki, maka perdagangan orang itu dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

Adapun macam-macam perdagangan orang menurut Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (KOMNAS Perempuan) adalah sebagai berikut:67

1. Perdagangan orang untuk dipekerjakan di jernal (lepas pantai)

67

KOMNAS PEREMPUAN, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Publikasi KOMNAS Perempuan, 2002), h. 137-138.


(52)

Korban perdagangan ini sebagian besar adalah anak laki-laki yang putus sekolah yang berasal dari keluarga miskin yang direkrut melalui calo dengan memberikan uang muka kepada orang tuanya.68

2. Perdagangan orang untuk dipekerjakan sebagai pekerja domestik. Biasanya para pelaku memberikan iming-iming gaji tinggi sebagai pembantu kepada korban yang akan dipekerjakannya. Hal ini lebih mudah dilakukan dikarenakan adanya faktor pendukung, diantaranya kesulitan ekonomi keluarga, putus sekolah, dan lain-lain. Para korban umumnya direkrut oleh pelaku melalui beberapa cara yaitu:69

a. Adopsi

b. Penyaluran melalui yayasan.

c. Pencarian langsung dengan mendatangi desa-desa. 3. Perdagangan orang untuk dipekerjakan sebagai pengemis.

Para korban perdagangan orang dalam kategori ini biasanya didominasi oleh anak-anak desa yang dirayu oleh pelaku dengan alasan akan disekolahkan di kota, atau bahkan oleh orang tuanya sendiri yang dengan sengaja menjadikan mereka pengemis.70

4. Perdagangan orang untuk dipekerjakan sebagai pengedar narkoba. 5. Perdagangan orang untuk dipekerjakan sebagai pekerja di tempat

hiburan atau tempat usaha lain.

6. Perdagangan orang untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks.

Pada jenis perdagangan orang ini pola perekrutannya biasanya dilakukan dengan dua cara. Pertama, para pelaku mendatangi

68

Sutedjo Yuwono, Penghapusan Perdagangan Orang, h. 11.

69

KOMNAS PEREMPUAN, Peta Kekerasan, h. 141.

70


(53)

desa dan menawarkan pekerjaan kepada orang tua anak bahwa ada lowongan kerja di restauran atau pabrik, sementara nantinya mereka dijual ke lokalisasi pelacuran. Kedua,para pelaku melakukan pendekatan personal dan bujuk rayu kepada para remaja yang berada di mal, plaza, atau pusat hiburan, setelah itu mereka dibawa ke suatu tempat dan kemudian dijual.71

7. Perdagangan orang sebagai konsumsi pedofil.

Perdagangan anak untuk konsumsi pedofil ini pertama kali ditemukan di Bali. Jaringan kaum pedofil ini sangat rapi dan terorganisir, bersifat internasional dimana pihak yang satu dengan yang lainnya saling memberi dukungan dalam bisnis mereka. Biasanya mereka merekrut para korbannya dengan terlebih dahulu dimulai dari pencari yang menemukan anak, kemudian menyerahkan pada perantara, dan perantara inilah yang akan membawanya pada pedofil. Tetapi, bila anak akan dijual ke luar negeri maka terlebih dahulu diterima oleh orang lokal barulah kemudian anak itu diserahkan pada pedofil.72

8. Perdagangan orang dalam bentuk ‘perkawinan trans-nasional’ yaitu perkawinan yang diatur antara perempuan Indonesia dengan laki-laki dari negara lain.

Ada dua bentuk perdagangan perempuan lewat perkawinan, yaitu: b. Perkawinan menjadi cara untuk menipu perempuan, kemudian di

salurkan pada tempat pelacuran.

71

KOMNAS PEREMPUAN, Pengalaman Perempuan Indonesia, h. 145.

72


(54)

c. Perkawinan dikomersialkan atau disebut juga dengan istilah istri pesanan.73

9. Perdagangan orang dengan cara adopsi palsu (pengangkatan anak dengan paksa).

Hal ini biasanya terhadap para pengungsi yang terjadi di daerah konflik atau daerah yang terjadi bencana alam.

d. Hak-hak korban perdagangan orang

Apabila kita berbicara mengenai kedudukan korban dalam suatu tindak pidana, maka kita akan menyinggung tentang peranan dan hak korban dalam terjadinya kejahatan sebagai tindak pidana. Karena yang menjadi pertimbangan penentuan hak korban adalah seberapa besar keterlibatan dan tanggung jawab fungsional si korban dalam tindak pidana yang terjadi tersebut.

Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima atau tidak oleh pelaku, hal ini tergantung pada kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.

Secara umum, korban dari suatu kejahatan beserta keluarganya berhak untuk memperoleh ganti rugi, pembinaan dan rehabilitasi, perlindungan dari ancaman pelaku, mendapatkan bantuan hukum, mendapatkan kembali hak miliknya, tetapi bila terjadi pelukaan atas dirinya maka korban berhak mendapatkan perawatan medis. Selain itu, korban juga berhak untuk

73


(55)

mendapatkan informasi tentang pelaku, jika pelaku yang ditahan akan keluar dari penjara atau buron, dan memperoleh informasi tentang penyidikan dari polisi terhadap kejahatan yang menimpanya, serta ia pun berhak untuk merahasiakan identitas dirinya.74

Sedangkan Arif Gosita berpendapat, bahwa pada umumnya setiap korban dari suatu tindak kejahatan berhak untuk mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan pelaku, atau menolak kompensasi tersebut jika korban tidak membutuhkannya, tetapi jika korban meninggal dunia, maka kompensasi tersebut diberikan pada keluarganya. Selain hak atas kompensasi, korban juga berhak untuk memperoleh kembali hak miliknya, menolak untuk menjadi saksi bila keadaan tersebut membahayakan dirinya, mendapatkan perlindungan dari ancaman pelaku, mendapatkan bantuan penasehat hukum, dan juga hak untuk melakukan upaya hukum (rechtmiddelent) seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.75

Sementara itu pasal 5, pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan bahwa korban suatu tindak kejahatan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman atas dirinya, keluarga dan hartanya, mendapatkan informasi tentang perkembangan kasusnya, dan informasi tentang putusan pengadilan. Selain hak-hak tersebut korban juga berhak memperoleh berbagai macam bantuan, baik berupa bantuan hukum, medis, rehabilitasi psiko-sosial, dan kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia

74

Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, h. 53.

75


(1)

tujuan untuk mencapai kemashlahatan di dunia dan di akhirat dapat tercapai dan terwujud. Namun, karena masalah perdagangan orang ini merupakan hal yang baru, maka kejahatan ini masuk dalam kategori tindak pidana ta’zir sehingga dalam penetapan hukumnya semua diserahkan pada kebijakan ulil amri atau pemerintah.

B. Saran

Di akhir pembahasan skripsi ini, penulis akan memberikan beberapa saran yang terkait dengan pembahasan skripsi ini, dengan harapan saran-saran yang penulis berikan tersebut dapat menjadi kontribusi dalam pengembangan pelayanan perjuangan hak-hak asasi korban perdagangan orang, khususnya perempuan.

1. Pemerintah

Hendaknya membuat perbaikan secara menyeluruh untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yang dilakukan tidak hanya pada satu sisi hukum saja, melainkan juga pada aspek lainnya. selain itu, hendaknya pemerintah juga meningkatkan sosialisasi Anti-Trafiking agar tidak banyak korban yang berjatuhan, membentuk lembaga konseling dan lembaga advokasi yang menangani masalah korban perdagangan orang dalam memperjuangkan hak-haknya dengan tanpa dipungut biaya sepeser pun.

2. Masyarakat

Secara bersama-sama memberikan bantuan dan dukungan terhadap korban perdagangan orang baik secara materi maupun moril sehingga korban perdagangan khususnya perempuan, dapat kembali pulih dan tidak putus


(2)

asa sehingga korban bisa menata kembali hidupnya menjadi lebih baik di masa mendatang. Selain itu, perlunya usaha pencegahan yang dilakukan dengan cara meningkatkan kepedulian sosial melalui pemberdayaan manusia dalam hal pendidikan dan lain-lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. Ke-1. Alimi, Moh. Yasir, et. all., Advokasi Hak-hak Perempuan: Membela Hak

Mewujudkan Perubahan, Jakarta: LKIS, 1999.

‘Audah, Abd Al-Qodir. At-Tasyri’ Al-Jinaiyy Al-Islamiyy, Beirut : Dar As-Suras, t.t.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet. ke-1.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971.

Djazuli, H. A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Ekotama, Suryono, dkk. Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi, Kriminologi, dan Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001, Cet. Ke-1.

Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Ghazali, Abdul Moqsith, dkk. Tubuh, Seksualitas, Dan kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Jakarta: RAHIMA, 2002, Cet. Ke-1.

Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983, Cet.ke-2.

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Adjaran Ahlussunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Ihromi, Tapi Omas, dkk. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan,

Bandung: PT. Alumni, 2006.

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.


(4)

______________, Hukum Kita Sudahkah Melindungi?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006.

Khamaeni, S.M., Risalah Hak Asasi Wanita, Jakarta: Al-Huda, 2004, Cet. Ke-1. Kodir, Faqihuddin Abdul, dkk. Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai

Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon: Fahmina, 2006, Cet. Ke-1.

_________________, Bangga Jadi Perempuan: Perbincangan dari Sisi Kodrat Dalam Islam, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

KOMNAS PEREMPUAN, Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Seri Dokumen kunci 3 dan 5), Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002.

_________________, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002,Cet.Ke-1.

Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Disability (Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial) Edisi Ke-2 Terjemahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

_________________, Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Depsos RI, tt.

Kusuma, Hilman Hadi, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1992, Cet. Ke-II.

Lembar Info, Waspadai Sindikat Perdagangan Anak Perempuan, Jakarta: LBH APIK, tt.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Press, 2007. Mujib, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Naqiyah, Najlah. Otonomi Perempuan, Malang: Bayumedia, 2005.

Nurdjaman, Progo. Metode Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan), Jakarta: Balitbang Kementrian Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah, 2000. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Depdiknas,


(5)

Al-Qashir, Fada Abdur Razak, Wanita Muslimah: Antara Syari’at Islam dan Budaya Barat, Yogyakarta: Darussalam, 2004.

Rahayaan, Salma Safitri, Analisis Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO), dalam Jurnal Perempuan: Hukum Kita Sudahkah Melindungi, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2006.

Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-8.

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG), 2006.

Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah Penerjemah: H. A. Ali, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987.

Samsidar, dkk. Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2004.

Al-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Kawinlah Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, Penerjemah: Muhammad Nurdin, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Sihite, Romany, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Suah, Ismail Muhammad, Tujuan dan Ciri Hukum Islam Dalam Filsafat Hukum Islam, ed., Jakarta: Bumi Aksara dan Depag RI, 1992, Cet. Ke-II.

Suara APIK, Pentingnya Peraturan Tentang Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak Edisi ke-31, 2006.

Swara Rahima No. 20 Tahun ke-VI, Islam Menolak Kekerasan Terhadap Perempuan, 2006.

Asy-Syaikh, Abdullah bin Wakil, Wanita dan Tipu Daya Musuh, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Sya’rawi, Muhammad Mutawwali. Fiqh Wanita. Penerjemah: Ghozi M., Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. Ke-2.

Umar, Nasaruddin, Kodrat Perempuan Dalam Islam, Jakarta: LKAJ, 1999.

Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007.


(6)

Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Bandung: Fokusmedia, 2007.

Wadud, Amina, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci Dengan Semangat Keadilan, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006. Yanggo, Huzaimah Tahido, Hak dan Kewajiban Wanita Muslimah Dalam Hukum

Islam, Jakarta: PSW UIN JKT, tt.

________________, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, Cet. Ke-1.

Yuwono, Sutedjo, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking In Persons) Di Indonesia, Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2003.


Dokumen yang terkait

Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

0 7 62

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DI BIDANG KEWARGANEGARAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 DI YOGYAKARTA.

0 3 12

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DI BIDANG KEWARGANEGARAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 DI YOGYAKARTA.

0 2 19

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DI BIDANG KEWARGANEGARAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 DI YOGYAKARTA.

0 3 4

ANALISIS HUKUM MENGENAI PERKAWINAN FASID MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974.

0 0 2

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI RAFA SEORANG ISTRI TERHADAP SUAMI MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974.

0 0 2

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KHUSUSNYA ANAK DAN RELEVANSI TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TRAFFICKING DI SURABAYA.

0 6 69

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 2 122

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN - Raden Intan Repository

0 0 154

STUDI TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA MENURUT KUHP, UNDANG-UNDANG RI NO.21 TAHUN 2007 DAN HUKUM ISLAM

0 0 73