MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (1)

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH SWT, karena dengan
pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan tugas Pendidikam Agama Islam ini.
Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses
pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu yang
telah membantu kami dalam mengerjakan tugas ini. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman yang juga sudah memberi kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan tugas Pendidikam Agama
Islam ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada teman-teman dari
hasil tugas ini. Karena itu kami berharap semoga tugas ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.

Jember, 1 September 2014

Penulis

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….…...... 1
KATA PENGANTAR………………………………………................................ 2
DAFTAR ISI ………………………………….........……………………............. 3
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG …......……………………................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH ....….…………….......………….….................
4
C. TUJUAN …………………………………….......……….................…....
5

BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJMA’ DAN QIYAS………………………................... 6
B.

MACAM-MACAM IJMA’ DAN QIYAS………………..............……..
7


C.

KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS DALAM AGAMA ISLAM.......
13

D. PENTINGNYA IJMA’ DAN QIYAS DALAM AGAMA ISLAM…... 14
BAB III PENUTUP
A . KESIMPULAN ………………………………………………........ 15
B . SARAN …………………………………………............................ 15

3

DAFTAR PUSTAKA …....…………………………………………………...... 16

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki

tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum islam.
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’
dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan
Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu
sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan
ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para
sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika
mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan
berdasarkan hukum yang telah disepakati.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian ijma’ dan qiyas
b. Macam-macam ijma’ dan qiyas
c. Kedudukan ijma’ dan qiyas dalam agama Islam
d. Pentingnya ijma’ dan qiyas dalam agama Islam

4


C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami sumber hukum islam
seperti ijma’ dan qiyas yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan
sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.

5

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJMA’ DAN QIYAS

1) Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah “Kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi..
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau,

apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
2) Pengertian qiyas
 Secara Etimologi (bahasa)
Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan ,membandingkan atau
pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.
 Secara Terminologi (istilah)
Menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

6

 Imam

Syafi’I

mendefinisikan

qiyas


sebagai

upaya

pencarian

(ketetapanhukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah
diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadis.
 Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i juga berkata, “Qiyas adalah suatu
yang dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi
yang tersirat dalam al-Qur’an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran
hakiki yang wajib dijadikan sumber

B. MACAM-MACAM IJMA’ DAN QIYAS
1)

Macam-macam Ijma’

Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
a. Ijma’ Sharih

Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat mereka
masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan).
Artinya

setiap

mujtahid

menyampaikan

ucapan

atau

perbuatan

yang

mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati
salah satunya.

b. Ijma’ Sukuti (diam)

Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para
mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak
pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi
beberapa kriteria berikut :
Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang
dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan

7

ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan
oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan

permasalahannya,

dan


biasanya

dipandang

cukup

untuk

mengemukaka hasil pendapatnya.
Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi,
yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). Sedangkan permasalahan yang
tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’I (pasti), jika
seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat,
sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.
Contoh ijma’ sukuti
Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai
oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat
lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa

tersebut.
Selain macam-macam ijma’ diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’ yang
dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang
melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :
a.

Ijma’ sahabat,

yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Contoh ijma’ sahabat
Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam
atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut urusan agama
dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah.
b.

Ijma’ khulafaur rasyidin,

8

yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun

Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu
hidup.
Contoh ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin
Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini
disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.

c.

Ijma’ syaikhan,

yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.

Ijma’ ahli madinah,

yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki
menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujthahid
Madinah saja sudah merupakan kesimpulan ijma’.
e.

Ijma’ ulama kuffah,

yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi
menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa
sandaran adalah tidak sah.

9

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:

a) ljma`qath`i,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang
lain.
b) ljma`Zhanni,
yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu Zhanni (dugaan), masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda
dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu
yang lain.

2) Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illat yang ada pada asal
dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Qiyas Awlawi (

‫) قياس اولوي‬

yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat
yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul
kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang terdapat dalam
surat al-Isra’ ayat 23.

ْ‫ضى أربكُأ أأ ّل تأ ْعبُ ُدوا إِ ّل إِيّاهُ أوبِ ْال أوالِ أد ْي ِن إِحْ أسانًا إِ ّما يأ ْبلُغ ّأن ِع ْندأكأ ْال ِكبأ أر أأ أح ُدهُ أما أأو‬
‫أوقأ أ‬
ّ ُ‫ِك ألهُ أما فأ أل تأقُلْ لأهُ أما أ‬
‫ف أو أل تأ ْنهأرْ هُ أما أوقُلْ لأهُ أما قأوْ ًل أك ِري ًما‬

10

Artinya : “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “( Q.S. Al Isra’ : 23 )
Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul
dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih
berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.

2. Qiyas Musawi ( ‫) قياس مساوي‬
yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan
bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Contohnya keharaman memakan
harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa’ : 10.

‫ون فِي بُطََُونِ ِه ْم نَََا ًرا‬
َ ُ‫ون أَ ْمََ َوا َل ا ْليَتَََا َمى ظُ ْل ًما إِنَ َمََا يَََأْ ُكل‬
َ ُ‫ين يَََأْ ُكل‬
َ ‫إِنَ الَ ِذ‬
(10) ‫س ِعي ًرا‬
ْ َ ‫سي‬
َ ‫صلَ ْو َن‬
َ ‫َو‬
Yang artinya : Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dari ayat diatas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau
kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta
tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

11

3. Qiyas al-Adna ( ‫) قياس الدأنى‬,
yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok).
Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadhal
(riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini, illah hukumnya
adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan
dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada
apel, apa itu? Apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, illah yang ada pada
apel lebih lemah dibandingkan dengan illah yang ada pada gandum yang menjadi
makanan pokok.

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan
hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :
1. Qiyas Jali,
yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah
atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi
berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan
cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua
orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas
awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut
dengan qiyas awla dan qiyas musawi.
2. Qiyas Khafi,
yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya,
mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan
‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan

12

dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan
menggunakan benda tajam.
C.

KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS

1) Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang
kuat dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam
sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan
dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah:
QS. An-Nisa: 59.

َ ‫سو َل َوأَ ِطي ُعوا‬
‫اَ أَ ِطي ُعوا آ َمنُوا الَ ِذينَ أَيّ َها يَا‬
ُ ‫ِم ْن ُك ْم ام ْم ِر أوأُوْ لِى ال َر‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil
Amri di antara kamu”
Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak
ada atau kurang jelas hukumnya.
2)

Kedudukan Qiyas

Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum)
islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah
kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i
mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.
Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta
memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan
objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada

13

a.

Firman Allah SWT:

‫صا ِر‬
َ َََْ‫لى ْالَ ب‬
ِ ‫فََاعََْتَََبََِ ْيََ ُر ْوا يََآ اُ ْو‬
"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang
yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)
Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu
dengan sesuatu yang lain).
D. Pentingnya Ijma’ dan Qiyas dalam Agama Islam
Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam asSunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila
ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.
Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah AlQur’an dan Sunnah. Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan
pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat:
1. Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai
beberapa segi yang bermacam-macam. Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah
sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan
bagi ijma’.
2. Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karena qiyas
adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash.
3. Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak
memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan
14

persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’. Sebaliknya jika illat
suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak
dapat dijadikan landasan ijma .

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia
merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas
dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan
kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui
hukumnya.
Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan
sebagai hujjah/ sumber hukum.
Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari
beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’
mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.
B. Saran dan Kritikan
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumbersumber Islam (ijma’ dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih

15

terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Prof. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama, Semarang 1994
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan
Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
Drs. H. A. Syafi’i Karim. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan
Pertama 1997., Cetakan Kedua 2001
Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung 1998.

16