Karya tulis ESAI Karya Umar Kayam
2014
PERAN PEMILU TERHADAP MEMBUDAYANYA DEMOKRASI
BAGI PEMUDA DI INDONESIA
Banyak orang mengatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara demokrasi!”. Namun,
apakah kita tahu arti dari demokrasi itu? Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme system
pemerintah suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas Negara untuk
dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut.
Sedangkan pengertian dari budaya demokrasi itu sendiri artinya adalah kebiassan berpikir
dan berperilaku yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai seorang pelajar, saya lebih suka memandang bahwa demokrasi itu adalah hal yang
simple ( sederhana ), tak lebih dari sistem yang menyediakan tempat untuk saling berbagi
pendapat sekaligus untuk memusyawarahkan pendapat-pendapat sehingga dapat mencapai
kesepakatan. Baik itu secara formal maupun informal. Namun, kalau saya perhatikan lebih
detail lagi apalagi dalam paparan politik. Terapan demokrasi itu tidak semudah seperti yang
saya bayangkan melihat tragedi-tragedi yang sedang meraja lela ditanah Indonesia ini.
Karena dari yang saya lihat bahwa masing-masing orang itu mempunyai latar belakang,
tingkat pendidikan, keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga sangat sulit
untuk menyatukan dan menerapkan pendapat-pendapat yang tak jarang pula menimbulkan
konflik dimana-mana.
Jadi, apakah sistemnya yang salah atau kitanya yang belum bisa memahami secara tuntas
akan cara kerja yang benar dari demokrasi. Ataupun karena kita sebagai pelaku dari
demokrasi yang tidak dapan menahan ego masing-masing sehingga semuanya berpendapat
dan bertindak hanya untuk mewujudkan keinginan pribadi atau kelompok kita sendiri. Jika
kita mengulas lebih dalam tentang sempurna atau tidaknya sebuah sistem demokrasi yang
berlangsung ditanah air kita ini. Pasti semua jawabannya “belum sempurna”.
Sebenarnya bangsa Indonesia sudah lama menyatakan bahwa Negara ini telah melakukan
perbaikan-perbaikan terhadap system demokrasi, yang salah satu contohnya dengan memilih
wakil-wakil kita di lembaga legeslatif serta pemimpin-pemimpin kita dari pemilihan kepalakepala dusun yang bersifat formal ataupun informal seperti bupati ataupun walikota hingga
presiden. Seorang pelajar seperti saya berfikir hanya sebatas itukah demokrasi. Selama lima
tahun sekali kita melihat berbagai partai dan calon anggota legeslatif berkampanye sampai
masuk kepemilihan suara untuk dicoblos. Saya juga pernah berpikir “masih adakah budaya
demokrasi yang betul-betul mengarah pada tujuan utama demokrasi atau hanya sekedar
realita belaka yang mana demokrasi sekarang tidak ada kesepadanan yang tersirat
didalamnya!“.
Walaupun sebenarnya peran dalam demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki sebagai pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi untuk meletakkan tokoh idola, bukan system
pemerintahan yang bagus. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin Negara, masa hidupnya
akan jauh lebih pendek dari pada masa hidup suatu system yang teruji mampu membangun
sebuah Negara. Negara demokrasi adalah Negara yang mengutamakan kedaulatan rakyatnya.
Sebenarnya kita dapat melihat semua itu dari nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi
ditanah air. Seperti :
1. Kebebasan menyatakan pendapat
2. Kebebasan berkelompok
3. Kebebasan berpatisipasi
4. Kesetaraan antarwarga
5. Kesetaraan gender
6. Kedaulatan rakyat
7. Rasa percaya
8. Serta kerja sama
Namun apa yang kita dapatkan dari nilai-nilai demokrasi diatas. Kita dapat menjawabnya
dalam lubuk hati yang paling dalam bahwa demokrasi yang kita harapkan tidak sesuai.
Sebagai contoh :
Banda Aceh (ANTARA News) - Sejumlah calon legislatif dan partai politik memprotes
pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 di Aceh karena dinilai terjadi kecurangan.
Indikasi kecurangan yang diprotes itu misalnya saat pencoblosan hingga ke penghitungan
suara di tingkat Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten dan kota, seperti di Aceh
Utara, Sabang, Pidie, dan Aceh Timur.
Rekapitulasi suara melalui sidang pleno KIP di beberapa kabupaten dan kota di Aceh,
termasuk KIP provinsi masih saja diwarnai protes baik dilakukan secara pribadi maupun
partai politik.
Ketua Umum DPP Partai Nasional Aceh (PNA) Irwansyah mengatakan pihaknya menolak
hasil Pemilu Legislatif 2014 karena dinilai sarat pelanggaran dan kecurangan yang
melibatkan pihak penyelenggara pesta demokrasi di daerah itu.
Sementara di Kabupaten Simeuleu, sembilan partai politik nasional dan lokal yakni Partai
Damai Aceh, Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh (partai lokal), PKB, PDI Perjuangan,
PPP, Partai Hanura, Golkar dan PBB juga menolak hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Contoh lain, KIP terpaksa menunda rekapitulasi suara DPR Aceh dari Kabupaten Pidie
disebabkan perbedaan data antara penyelenggara pemilu dan saksi partai.
"Rapat pleno rekapitulasi suara DPR Aceh untuk Kabupaten Pidie ditunda untuk sementara
hingga ada pencocokan data dari saksi dan Bawaslu," kata Robby Syah Putra.
Penundaan itu berawal ketika saksi Partai Nasdem Teuku Banta Syahrial mempermasalahkan
adanya dugaan penggelembungan suara DPR Aceh di Kabupaten Pidie.
Menurut dia, ada perbedaan suara antara data saksi Partai Nasdem dan hasil rekapitulasi KIP
Pidie. Data berbeda itu juga dimiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh.
"Karena itu, dalam rapat pleno ini perlu pencocokan data antara milik Bawaslu, saksi, dan
KIP Pidie. Pencocokan ini untuk memastikan mana yang keliru dan yang keliru ini perlu
diperbaiki," kata Teuku Banta Syahrial.
Sebelumnya, saksi Partai Nasdem pernah menyampaikan keberatannya saat rekapitulasi suara
di KIP Pidie. Keberatan ini juga disampaikan ke KIP Aceh secara tertulis.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Aceh Asqalani menegaskan pihaknya tetap merekomendasikan
pencocokan atau perbaikan rekapitulasi suara DPR Aceh dari KIP Pidie.
"Kami tetap pada keputusan agar rekomendasi pencocokan hasil rekapitulasi suara KIP Pidie
dengan data saksi dan data dari Bawaslu," ujar Asqalani.
Tidak hanya partai politik, namun protes atas tahapan pelaksanaan pemilu juga disampaikan
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga menilai telah terjadi pelanggaran.
Calon anggota DPD asal Aceh, Anwar, melaporkan berbagai kecurangan pemilu ke Bawaslu
provinsi itu. Laporan itu disampaikan melalui kuasa hukumnya yakni Safaruddin.
"Laporan ini kami sampaikan karena banyak kecurangan yang ditemukan klien kami dalam
proses Pemilu Legislatif 9 April 2014," kata Safaruddin.
Ia menyebutkan ada beberapa objek laporan yang disampaikan ke Bawaslu, di antaranya
intervensi pemerintah daerah terhadap hasil pemilu.
Kemudian, ada calon legislatif DPD berkampanye mendompleng partai politik. Padahal,
aturan menegaskan caleg DPR tidak berkampanye terbuka dengan partai politik.
"Tindakan ini melanggar Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 juncto Peraturan KPU Nomor
15 Tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif," kata
Safaruddin.
Begitu juga dengan independensi penyelenggara, kata dia, kliennya menilai tidak netral
karena diduga banyak terjadi penggelembungan suara, surat suara yang sudah dicoblos, serta
berbagai kecurangan lainnya, termasuk politik uang.
"Disayangkan masih ada kecurangan. Masih ada praktik penggelembungan suara, intimidasi,
politik uang, penyalahgunaan A5, bahkan kecurangan dilakukan oleh KPPS," kata Menteri
Politik, Hukum, dan Keamanan BEM Unsyiah Ikhwan Reza.
Masalah kecurangan dalam tahapan pemilu dari masa kampanye, pencoblosan sampai
penghitungan suara itu haruslah segera diusut hingga tuntas, katanya.
"Para pelaku kecurangan harus segera ditindak oleh pihak terkait, bahkan jika terbukti yang
bersangkutan harus didiskualifikasi. Karena sudah berani menipu rakyat, apalagi ketika nanti
sudah duduk di legislatif," kata Ikhwan Reza.
Kepada KIP, ia juga berharap agar lembaga ini benar-benar transparan dalam penghitungan
suara kepada publik. Selama ini, KIP di beberapa kabupaten dan kota terkesan kurang
transparan sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat.
Bawaslu Aceh kini menangani sebanyak 47 pelanggaran Pemilu Legislatif yang terjadi pada
hari pemungutan suara 9 April 2014.
"Sebanyak 47 pelanggaran pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Semua temuan
pelanggaran ini sedang ditindaklanjuti," kata Ketua Bawaslu Aceh Asqalani.
Pelanggaran itu terjadi di 16 dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Pelanggaran terbanyak
berupa pengurangan surat suara dengan 11 kasus.
Kemudian, pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu ada tujuh kasus. Pelanggaran waktu
pembukaan TPS ada lima kasus, kekerasan intimidasi, dan surat suara tertukar atau hilang
masing-masing tiga kasus.
Berikutnya surat suara sudah tercoblos, pelanggaran pergerakan surat suara, pelanggaran
penutupan TPS, pemilih siluman, dan pelanggaran logistik pemilu masing-masing dua kasus.
Kemudian penyalahgunaan surat suara, KPPS tidak disumpah, memilih sebelum waktunya,
pelanggaran terhadap pemilih disabilitas atau penyandang catat, KPPS tidak memberikan
salinan C1, serta pelanggaran alat peraga kampanye masing-masing satu kasus.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil Pemilu Legislatif, mungkin itu bukan
karena mereka kecewa disebabkan tidak terpilih, namun kekecewaan tersebut diperkirakan
juga muncul karena pesta demokrasi itu tidak berjalan seperti diharapkan.
Mungkinkah juga, rumus pemilu jujur, adil dan rahasia belum bisa berlaku di Aceh karena
provinsi tersebut masih menyandang "status transisi" setelah dilanda konflik bersenjata dan
bencana tsunami.
Dari cerita diatas kita dapat mengoreksi realita yang terjadi pada pemilihan legeslatif tahun
ini yang semakin hari semakin meraja rela kecurangan yang ditampilkan. Kemana rasa malu
atas perihal yang telah mereka janjikan dulu dan dimana letak rasa demokrasi. Dari sebuah
stasiun televise saya pernah melihat banyak dilakukannya pemilihan ulang dibeberapa tps
karena diduga adanya kecurangan yang menerkam. Itu semua membuktikan bahwa budaya
demokrasi yang ada diindonesia belum maksimal dalam pencapaian tujuan yang utama.
Pernah juga saya pehatikan dari beberapa partai yang berkampanye sambil mengemukakan
bahwa dirinya adalah yang terbaik walaupun tidak secara langsung. Misalnya dengan
mengungkapkan “ adil dan tanggung jawab adalah suatu hal yang patut untuk ditegakkan
dinegara ini”.
Pernahkan kita sadar dengan apa yang mereka tuahkan adalah janji. Namun, kemana perginya
janji itu ketika mereka sudah terpilih!. Semua tidak sepadan dengan apa yang dijanjikan dan
dilontarkan. Malahan yang kita dapatkan partai tersebutlah yang banyak melakukan
kecurangan. Saya tidak yakin bahwa pesta demokrasi kali ini sesuai dengan harapan pemuda
penerus bangsa apalagi mereka yang sensitif dengan hal-hal seperti itu. Ada rasa kekecewaan
yang menyelubungi hati kami para pemuda Indonesia saat ini melihat tragedi yang terjadi
ditahun 2014 ini.
Bagaimana mau membudayakan demokrasi bagi pemuda jika demokrasi yang berjalan tidak
sesuai dengan harapan kami. Saya sebagai pelajar yang belum terlalu paham dengan
demokrasi secara khusus namun saya yakin dengan pemikiran saya. Bukankah seorang anak
adalah peniru, apalagi jika sudah beranjak remaja bahkan dewasa, dan bukan pula manusia
yang harus menjadi foto kopi orang tuanya.
Landasan utama bagi demokrasi itu dapat mengolah ego dan emosi, baik itu yang berbentuk
keinginan atau ambisi maupun jika berbentuk kekecewaan. Dan, hal ini tidak mungkin
diperoleh secara instan dan mendadak. Pasti semuanya membutuhkan proses dan usaha yang
panjang agar demokarsi bisa membudaya dalam masyarakat atau setidaknya dapat menjadi
bagian dari nilai yang dipegang oleh kita masing-masing.
Jika kita sudah bisa mengolah ego dan ambisi yang kita punya saya yakin kita akan dapat
menjadikan Negara ini lebih terdepan lagi. Dan kita harus membiasakan atau membangkitkan
kembali semangat budaya demokrasi bagi bangsa Indonesia dengan menerapkan nilainilainya. Khususnya bagi kita pemuda Indonesia harus mempraktekkanya langsung ke
lingkup yang lebih kecih dahulu. Namun, kita tidak boleh memaksanya karena mungkin ada
beberapa diantara kita yang sedikit sulit untuk diajak kerja sama tatapi kita harus perlahanlahan mendorongnya dari belakang dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung pasti
lama kelamaan ia akan mengikutinya karena akan membuatnya merasa tentram.
Jadi, janganlah kita hanya bersorak-sorak mengajak seluruh bangsa ini untuk demokrasi
disetiap kali pemilihan umum untuk memilih seorang pemimpin apabila kita belum bisa
memimpin bangsa ini dengan baik. Tanggung jawab seorang pemimpin tidaklah mudah itu
semua bergantung pada kebersihan dan keikhlasan seseorang dalam memimpin negaranya.
Ingatlah kita tetap harus membudayakan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari agar nilai
yang terdapat dalam diri bangsa ini tidak musnah. Semoga kedepan Negara Indonesia ini
menjadi lebih baik tanpa disertai konflik yang begitu menyemakkan.
Dan ingatlah hakikat seorang pemuda itu ialah usia yang penuh dengan cita-cita tinggi dan
darah yang mengalir deras dalam sanubarinya serta niat yang kuat. Yang mana memberi
pengorbanan dan menebus apa yang dicita-citakan. Seperti usia yang menabur jasa, memberi
kesan serta emosional. Dalam hal ini yang boleh dikata demikian adalah pelajar yang
dianggap memiliki intelektualitas yang cukup bagus dan kematangan berpikir yang cukup
luas sekaligus matang. Maksudnya, bila ada sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar dan itu
salah, pelajar dituntut untuk merubahnya sesuai dengan harapan sesungguhnya seperti apa
yang dicita-citakan.
Selanjutya kita sebagai bangsa dari negara demokratis harus mengingat sekali lagi bahwa
“demokrasi
adalah negara pemerintahan rakyat. Luasnya rakyat diberi ruang untuk
berapirasi. Hal yang boleh adalah sebagai rakyat, semua yang hidup berbangsa dan bernegara
punya hak dan kewajiban asasi yang memang akan jadi sejarah selanjutnya dan menjadi
pandangan ke depan kepada anak-cucu atau generasi muda selanjutnya”. Dengan begitu kita
akan mengingat apa yang diperlukan oleh bangsa sekarang contohnya kami sebagai para
pelajar.
Selain itu membudayanya demokrasi dalam kalangan remaja sekarang sangat rentan untuk
dirasakan. Kenapa saya mengatakannya begitu, itu semua bergantung pada seorang
pemimpin. Seharusnya seorang pemimpin itu harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
kuat atas kepercayaan yang telah diterimanya dari rakyat . Bukan menyia-nyiakan semua rasa
kepercayaan itu. Menurut saya pemimpin Indonesia saat ini bisa disebut sebagai pemimpin
yang rakus akan jabatan. Bukan menjalankan tugasnya dengan baik tetapi hanya
menginginkan jabatan untuk kepentingannya sendiri.
Kita dapat melihat seorang bupati misalnya yang mempunyai keluarga yang akan masuk
sebagai calon pns. Keluarganya tersebut dengan mudah masuk dan lulus sebagai pns.
Sedangkan orang yang tidak memiliki orang dalam hanya akan sia-sia. Seharusnya dari hal
itu dapat menimbulkan efek terhadap kepercayaan yang telah ia pegang.
Demokrasi di Indonesia akan mudah membudaya dikalangan manapun. Namun system yang
salahpun bisa dengan mudah membudaya dan akan sering ditiru. Karena napsu yang ada pada
kita itu belum mampu kita seimbangkan. Kita bisa menjadikan pesta demokrasi berjalan
sesuai dengan tujuan utama asalkan dari masing-masing pihak mempunyai rasa tanggung
jawab yang kuat dan dapat mengolah ego dengan baik. Ingatlah allah tidak akan mengubah
kaumnya sebelum kaum itu mengubah dirinya sendiri.
Dari semua yang tertera diatas hanya rasa tanggung jawablah yang menjadi patokan utama
agar demokrasi membudaya dengan baik, ketika system yang dijalankan sudah sesuai pasti
kalangan pemuda itu akan meniru hal yang dianggapnya baik untuk ditiru. Seorang anak
adalah peniru dan seorang anak tidak suka omongan besar namun tidak pasti.
PERAN PEMILU TERHADAP MEMBUDAYANYA DEMOKRASI
BAGI PEMUDA DI INDONESIA
Banyak orang mengatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara demokrasi!”. Namun,
apakah kita tahu arti dari demokrasi itu? Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme system
pemerintah suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas Negara untuk
dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut.
Sedangkan pengertian dari budaya demokrasi itu sendiri artinya adalah kebiassan berpikir
dan berperilaku yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai seorang pelajar, saya lebih suka memandang bahwa demokrasi itu adalah hal yang
simple ( sederhana ), tak lebih dari sistem yang menyediakan tempat untuk saling berbagi
pendapat sekaligus untuk memusyawarahkan pendapat-pendapat sehingga dapat mencapai
kesepakatan. Baik itu secara formal maupun informal. Namun, kalau saya perhatikan lebih
detail lagi apalagi dalam paparan politik. Terapan demokrasi itu tidak semudah seperti yang
saya bayangkan melihat tragedi-tragedi yang sedang meraja lela ditanah Indonesia ini.
Karena dari yang saya lihat bahwa masing-masing orang itu mempunyai latar belakang,
tingkat pendidikan, keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga sangat sulit
untuk menyatukan dan menerapkan pendapat-pendapat yang tak jarang pula menimbulkan
konflik dimana-mana.
Jadi, apakah sistemnya yang salah atau kitanya yang belum bisa memahami secara tuntas
akan cara kerja yang benar dari demokrasi. Ataupun karena kita sebagai pelaku dari
demokrasi yang tidak dapan menahan ego masing-masing sehingga semuanya berpendapat
dan bertindak hanya untuk mewujudkan keinginan pribadi atau kelompok kita sendiri. Jika
kita mengulas lebih dalam tentang sempurna atau tidaknya sebuah sistem demokrasi yang
berlangsung ditanah air kita ini. Pasti semua jawabannya “belum sempurna”.
Sebenarnya bangsa Indonesia sudah lama menyatakan bahwa Negara ini telah melakukan
perbaikan-perbaikan terhadap system demokrasi, yang salah satu contohnya dengan memilih
wakil-wakil kita di lembaga legeslatif serta pemimpin-pemimpin kita dari pemilihan kepalakepala dusun yang bersifat formal ataupun informal seperti bupati ataupun walikota hingga
presiden. Seorang pelajar seperti saya berfikir hanya sebatas itukah demokrasi. Selama lima
tahun sekali kita melihat berbagai partai dan calon anggota legeslatif berkampanye sampai
masuk kepemilihan suara untuk dicoblos. Saya juga pernah berpikir “masih adakah budaya
demokrasi yang betul-betul mengarah pada tujuan utama demokrasi atau hanya sekedar
realita belaka yang mana demokrasi sekarang tidak ada kesepadanan yang tersirat
didalamnya!“.
Walaupun sebenarnya peran dalam demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki sebagai pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi untuk meletakkan tokoh idola, bukan system
pemerintahan yang bagus. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin Negara, masa hidupnya
akan jauh lebih pendek dari pada masa hidup suatu system yang teruji mampu membangun
sebuah Negara. Negara demokrasi adalah Negara yang mengutamakan kedaulatan rakyatnya.
Sebenarnya kita dapat melihat semua itu dari nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi
ditanah air. Seperti :
1. Kebebasan menyatakan pendapat
2. Kebebasan berkelompok
3. Kebebasan berpatisipasi
4. Kesetaraan antarwarga
5. Kesetaraan gender
6. Kedaulatan rakyat
7. Rasa percaya
8. Serta kerja sama
Namun apa yang kita dapatkan dari nilai-nilai demokrasi diatas. Kita dapat menjawabnya
dalam lubuk hati yang paling dalam bahwa demokrasi yang kita harapkan tidak sesuai.
Sebagai contoh :
Banda Aceh (ANTARA News) - Sejumlah calon legislatif dan partai politik memprotes
pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 di Aceh karena dinilai terjadi kecurangan.
Indikasi kecurangan yang diprotes itu misalnya saat pencoblosan hingga ke penghitungan
suara di tingkat Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten dan kota, seperti di Aceh
Utara, Sabang, Pidie, dan Aceh Timur.
Rekapitulasi suara melalui sidang pleno KIP di beberapa kabupaten dan kota di Aceh,
termasuk KIP provinsi masih saja diwarnai protes baik dilakukan secara pribadi maupun
partai politik.
Ketua Umum DPP Partai Nasional Aceh (PNA) Irwansyah mengatakan pihaknya menolak
hasil Pemilu Legislatif 2014 karena dinilai sarat pelanggaran dan kecurangan yang
melibatkan pihak penyelenggara pesta demokrasi di daerah itu.
Sementara di Kabupaten Simeuleu, sembilan partai politik nasional dan lokal yakni Partai
Damai Aceh, Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh (partai lokal), PKB, PDI Perjuangan,
PPP, Partai Hanura, Golkar dan PBB juga menolak hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Contoh lain, KIP terpaksa menunda rekapitulasi suara DPR Aceh dari Kabupaten Pidie
disebabkan perbedaan data antara penyelenggara pemilu dan saksi partai.
"Rapat pleno rekapitulasi suara DPR Aceh untuk Kabupaten Pidie ditunda untuk sementara
hingga ada pencocokan data dari saksi dan Bawaslu," kata Robby Syah Putra.
Penundaan itu berawal ketika saksi Partai Nasdem Teuku Banta Syahrial mempermasalahkan
adanya dugaan penggelembungan suara DPR Aceh di Kabupaten Pidie.
Menurut dia, ada perbedaan suara antara data saksi Partai Nasdem dan hasil rekapitulasi KIP
Pidie. Data berbeda itu juga dimiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh.
"Karena itu, dalam rapat pleno ini perlu pencocokan data antara milik Bawaslu, saksi, dan
KIP Pidie. Pencocokan ini untuk memastikan mana yang keliru dan yang keliru ini perlu
diperbaiki," kata Teuku Banta Syahrial.
Sebelumnya, saksi Partai Nasdem pernah menyampaikan keberatannya saat rekapitulasi suara
di KIP Pidie. Keberatan ini juga disampaikan ke KIP Aceh secara tertulis.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Aceh Asqalani menegaskan pihaknya tetap merekomendasikan
pencocokan atau perbaikan rekapitulasi suara DPR Aceh dari KIP Pidie.
"Kami tetap pada keputusan agar rekomendasi pencocokan hasil rekapitulasi suara KIP Pidie
dengan data saksi dan data dari Bawaslu," ujar Asqalani.
Tidak hanya partai politik, namun protes atas tahapan pelaksanaan pemilu juga disampaikan
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga menilai telah terjadi pelanggaran.
Calon anggota DPD asal Aceh, Anwar, melaporkan berbagai kecurangan pemilu ke Bawaslu
provinsi itu. Laporan itu disampaikan melalui kuasa hukumnya yakni Safaruddin.
"Laporan ini kami sampaikan karena banyak kecurangan yang ditemukan klien kami dalam
proses Pemilu Legislatif 9 April 2014," kata Safaruddin.
Ia menyebutkan ada beberapa objek laporan yang disampaikan ke Bawaslu, di antaranya
intervensi pemerintah daerah terhadap hasil pemilu.
Kemudian, ada calon legislatif DPD berkampanye mendompleng partai politik. Padahal,
aturan menegaskan caleg DPR tidak berkampanye terbuka dengan partai politik.
"Tindakan ini melanggar Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 juncto Peraturan KPU Nomor
15 Tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif," kata
Safaruddin.
Begitu juga dengan independensi penyelenggara, kata dia, kliennya menilai tidak netral
karena diduga banyak terjadi penggelembungan suara, surat suara yang sudah dicoblos, serta
berbagai kecurangan lainnya, termasuk politik uang.
"Disayangkan masih ada kecurangan. Masih ada praktik penggelembungan suara, intimidasi,
politik uang, penyalahgunaan A5, bahkan kecurangan dilakukan oleh KPPS," kata Menteri
Politik, Hukum, dan Keamanan BEM Unsyiah Ikhwan Reza.
Masalah kecurangan dalam tahapan pemilu dari masa kampanye, pencoblosan sampai
penghitungan suara itu haruslah segera diusut hingga tuntas, katanya.
"Para pelaku kecurangan harus segera ditindak oleh pihak terkait, bahkan jika terbukti yang
bersangkutan harus didiskualifikasi. Karena sudah berani menipu rakyat, apalagi ketika nanti
sudah duduk di legislatif," kata Ikhwan Reza.
Kepada KIP, ia juga berharap agar lembaga ini benar-benar transparan dalam penghitungan
suara kepada publik. Selama ini, KIP di beberapa kabupaten dan kota terkesan kurang
transparan sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat.
Bawaslu Aceh kini menangani sebanyak 47 pelanggaran Pemilu Legislatif yang terjadi pada
hari pemungutan suara 9 April 2014.
"Sebanyak 47 pelanggaran pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Semua temuan
pelanggaran ini sedang ditindaklanjuti," kata Ketua Bawaslu Aceh Asqalani.
Pelanggaran itu terjadi di 16 dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Pelanggaran terbanyak
berupa pengurangan surat suara dengan 11 kasus.
Kemudian, pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu ada tujuh kasus. Pelanggaran waktu
pembukaan TPS ada lima kasus, kekerasan intimidasi, dan surat suara tertukar atau hilang
masing-masing tiga kasus.
Berikutnya surat suara sudah tercoblos, pelanggaran pergerakan surat suara, pelanggaran
penutupan TPS, pemilih siluman, dan pelanggaran logistik pemilu masing-masing dua kasus.
Kemudian penyalahgunaan surat suara, KPPS tidak disumpah, memilih sebelum waktunya,
pelanggaran terhadap pemilih disabilitas atau penyandang catat, KPPS tidak memberikan
salinan C1, serta pelanggaran alat peraga kampanye masing-masing satu kasus.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil Pemilu Legislatif, mungkin itu bukan
karena mereka kecewa disebabkan tidak terpilih, namun kekecewaan tersebut diperkirakan
juga muncul karena pesta demokrasi itu tidak berjalan seperti diharapkan.
Mungkinkah juga, rumus pemilu jujur, adil dan rahasia belum bisa berlaku di Aceh karena
provinsi tersebut masih menyandang "status transisi" setelah dilanda konflik bersenjata dan
bencana tsunami.
Dari cerita diatas kita dapat mengoreksi realita yang terjadi pada pemilihan legeslatif tahun
ini yang semakin hari semakin meraja rela kecurangan yang ditampilkan. Kemana rasa malu
atas perihal yang telah mereka janjikan dulu dan dimana letak rasa demokrasi. Dari sebuah
stasiun televise saya pernah melihat banyak dilakukannya pemilihan ulang dibeberapa tps
karena diduga adanya kecurangan yang menerkam. Itu semua membuktikan bahwa budaya
demokrasi yang ada diindonesia belum maksimal dalam pencapaian tujuan yang utama.
Pernah juga saya pehatikan dari beberapa partai yang berkampanye sambil mengemukakan
bahwa dirinya adalah yang terbaik walaupun tidak secara langsung. Misalnya dengan
mengungkapkan “ adil dan tanggung jawab adalah suatu hal yang patut untuk ditegakkan
dinegara ini”.
Pernahkan kita sadar dengan apa yang mereka tuahkan adalah janji. Namun, kemana perginya
janji itu ketika mereka sudah terpilih!. Semua tidak sepadan dengan apa yang dijanjikan dan
dilontarkan. Malahan yang kita dapatkan partai tersebutlah yang banyak melakukan
kecurangan. Saya tidak yakin bahwa pesta demokrasi kali ini sesuai dengan harapan pemuda
penerus bangsa apalagi mereka yang sensitif dengan hal-hal seperti itu. Ada rasa kekecewaan
yang menyelubungi hati kami para pemuda Indonesia saat ini melihat tragedi yang terjadi
ditahun 2014 ini.
Bagaimana mau membudayakan demokrasi bagi pemuda jika demokrasi yang berjalan tidak
sesuai dengan harapan kami. Saya sebagai pelajar yang belum terlalu paham dengan
demokrasi secara khusus namun saya yakin dengan pemikiran saya. Bukankah seorang anak
adalah peniru, apalagi jika sudah beranjak remaja bahkan dewasa, dan bukan pula manusia
yang harus menjadi foto kopi orang tuanya.
Landasan utama bagi demokrasi itu dapat mengolah ego dan emosi, baik itu yang berbentuk
keinginan atau ambisi maupun jika berbentuk kekecewaan. Dan, hal ini tidak mungkin
diperoleh secara instan dan mendadak. Pasti semuanya membutuhkan proses dan usaha yang
panjang agar demokarsi bisa membudaya dalam masyarakat atau setidaknya dapat menjadi
bagian dari nilai yang dipegang oleh kita masing-masing.
Jika kita sudah bisa mengolah ego dan ambisi yang kita punya saya yakin kita akan dapat
menjadikan Negara ini lebih terdepan lagi. Dan kita harus membiasakan atau membangkitkan
kembali semangat budaya demokrasi bagi bangsa Indonesia dengan menerapkan nilainilainya. Khususnya bagi kita pemuda Indonesia harus mempraktekkanya langsung ke
lingkup yang lebih kecih dahulu. Namun, kita tidak boleh memaksanya karena mungkin ada
beberapa diantara kita yang sedikit sulit untuk diajak kerja sama tatapi kita harus perlahanlahan mendorongnya dari belakang dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung pasti
lama kelamaan ia akan mengikutinya karena akan membuatnya merasa tentram.
Jadi, janganlah kita hanya bersorak-sorak mengajak seluruh bangsa ini untuk demokrasi
disetiap kali pemilihan umum untuk memilih seorang pemimpin apabila kita belum bisa
memimpin bangsa ini dengan baik. Tanggung jawab seorang pemimpin tidaklah mudah itu
semua bergantung pada kebersihan dan keikhlasan seseorang dalam memimpin negaranya.
Ingatlah kita tetap harus membudayakan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari agar nilai
yang terdapat dalam diri bangsa ini tidak musnah. Semoga kedepan Negara Indonesia ini
menjadi lebih baik tanpa disertai konflik yang begitu menyemakkan.
Dan ingatlah hakikat seorang pemuda itu ialah usia yang penuh dengan cita-cita tinggi dan
darah yang mengalir deras dalam sanubarinya serta niat yang kuat. Yang mana memberi
pengorbanan dan menebus apa yang dicita-citakan. Seperti usia yang menabur jasa, memberi
kesan serta emosional. Dalam hal ini yang boleh dikata demikian adalah pelajar yang
dianggap memiliki intelektualitas yang cukup bagus dan kematangan berpikir yang cukup
luas sekaligus matang. Maksudnya, bila ada sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar dan itu
salah, pelajar dituntut untuk merubahnya sesuai dengan harapan sesungguhnya seperti apa
yang dicita-citakan.
Selanjutya kita sebagai bangsa dari negara demokratis harus mengingat sekali lagi bahwa
“demokrasi
adalah negara pemerintahan rakyat. Luasnya rakyat diberi ruang untuk
berapirasi. Hal yang boleh adalah sebagai rakyat, semua yang hidup berbangsa dan bernegara
punya hak dan kewajiban asasi yang memang akan jadi sejarah selanjutnya dan menjadi
pandangan ke depan kepada anak-cucu atau generasi muda selanjutnya”. Dengan begitu kita
akan mengingat apa yang diperlukan oleh bangsa sekarang contohnya kami sebagai para
pelajar.
Selain itu membudayanya demokrasi dalam kalangan remaja sekarang sangat rentan untuk
dirasakan. Kenapa saya mengatakannya begitu, itu semua bergantung pada seorang
pemimpin. Seharusnya seorang pemimpin itu harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
kuat atas kepercayaan yang telah diterimanya dari rakyat . Bukan menyia-nyiakan semua rasa
kepercayaan itu. Menurut saya pemimpin Indonesia saat ini bisa disebut sebagai pemimpin
yang rakus akan jabatan. Bukan menjalankan tugasnya dengan baik tetapi hanya
menginginkan jabatan untuk kepentingannya sendiri.
Kita dapat melihat seorang bupati misalnya yang mempunyai keluarga yang akan masuk
sebagai calon pns. Keluarganya tersebut dengan mudah masuk dan lulus sebagai pns.
Sedangkan orang yang tidak memiliki orang dalam hanya akan sia-sia. Seharusnya dari hal
itu dapat menimbulkan efek terhadap kepercayaan yang telah ia pegang.
Demokrasi di Indonesia akan mudah membudaya dikalangan manapun. Namun system yang
salahpun bisa dengan mudah membudaya dan akan sering ditiru. Karena napsu yang ada pada
kita itu belum mampu kita seimbangkan. Kita bisa menjadikan pesta demokrasi berjalan
sesuai dengan tujuan utama asalkan dari masing-masing pihak mempunyai rasa tanggung
jawab yang kuat dan dapat mengolah ego dengan baik. Ingatlah allah tidak akan mengubah
kaumnya sebelum kaum itu mengubah dirinya sendiri.
Dari semua yang tertera diatas hanya rasa tanggung jawablah yang menjadi patokan utama
agar demokrasi membudaya dengan baik, ketika system yang dijalankan sudah sesuai pasti
kalangan pemuda itu akan meniru hal yang dianggapnya baik untuk ditiru. Seorang anak
adalah peniru dan seorang anak tidak suka omongan besar namun tidak pasti.