PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS
RAYMOND SAPTAHARI |1
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN MELALUI PPJB (PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI) LUNAS
YANG DISERTAI KUASA JUAL
Raymond Saptahari
ABSTRACT
PPJB-TB is a preliminary agreement on land and building right transfer between the
seller and the buyer before the real Purchase Contract is signed. The issuance of PP
No.34/2016 causes legal certainty in which PPJB-TB, PPh-Final payable, and the
implementation of tax assessment on PPh in PPJB become the responsibility of a Notary.
PPh-Final payable in PP No.34/2016 has met the principle of justice since it belongs to a
person who has additional income from land and building right transfer or to those who
transfer their land and building through PPJB and/or its addendum. Concerning settled
PPJB-TB, related to its tax, the implementation of Settled PPJB-TB does not become the
object of BPHTB and its exception so that there is legal uncertainty for PPJB as the object
and is regulated on BPHTB in Law No.28/2009 on Regional Tax and Retribution and in the
regulation on PPh in PP No.34/2016.
I. Pendahuluan
Salah satu jenis pajak yang diterapkan yaitu pajak dalam transaksi jual beli tanah.
Perkembangannya pajak ini tentu menjadi perhatian utama dengan melihat fenomena
tumbuhnya aktivitas mengenai kepemilikan maupun peralihan kepemilikan lahan pertanahan
yang diakibatkan pesatnya laju kepadatan penduduk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah penduduk yang terus meningkat1 dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan
selisih perbandingan yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan.
Pajak dalam transaksi jual-beli tanah terbagi atas;
1. Pajak Penjual;
2. Pajak Pembeli.
Pajak penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Dasar hukum pengenaan PPh
terbaru untuk penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas
Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya :
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
1. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
1
Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 15 September 2016 pukul 23.00 WIB.
RAYMOND SAPTAHARI |2
2. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”.
Pajak pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini didasarkan
pada Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Perkembangan dalam jual-beli tanah di samping AJB, ditemui praktik-praktik
terjadinya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (untuk selanjutnya disebut PPJB) sebagai
pengikat tanda jadi transaksi jual beli tersebut. PPJB merupakan kesepakatan antara penjual
untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PPJB dapat
saja terjadi dengan seiring perkembangan harga tanah semakin mahal, sehingga terdapat
kekosongan hukum untuk menutupi kebutuhan masyarakat atas kepastian hukum khususnya
dalam ranah jual beli tanah. Jadi PPJB terjadi karena belum terpenuhinya persyaratan AJB
yang bisa dikarenakan faktor pembayaran belum lunas, sertifikat masih dalam proses
pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang
legal.
PPJB tanah dan bangunan merupakan perjanjian pendahuluan dengan maksud
pemindahan hak atas tanah dan bangunan antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang belum dipenuhi untuk
dilaksanakkan proses selanjutnya yaitu Akta Jual Beli. Unsur-unsur yang belum dipenuhi
pada umumnya adalah :2
1. Belum Lunasnya Pembayaran Harga Tanah dan Bangunan/Secara Berangsur;
2. Sertifikat Tanah sedang dalam proses cek bersih di Badan Pertanahan Nasional
setempat;
3. Masih dalam tahap verifikasi cek bangunan oleh Dispenda setempat;
4. Belum dapat dipenuhi pembayaran pajak oleh para pihak.
Unsur-unsur tersebut menjadi penghalang para pihak untuk dilaksanakan jual-beli pada saat
itu juga.
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli biasanya dapat dibuat dengan 2 (dua) versi,
yaitu:
1. Akta Perjanjian Pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena biasanya
harganya belum lunas (biasa disebut sebagai: PPJB Belum Lunas)
2
Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10
Mei 2017 pukul 10.00 WIB
RAYMOND SAPTAHARI |3
2. Akta Perjanjian Pengikatan Jual beli yang pembayarannya sudah dilakukan secara
LUNAS, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan
PPAT yang berwenang, karena masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih
sedang dalam proses pemecahan sertifikat, masih sedang dalam proses penggabungan
dan berbagai alasan lain yang menyebabkan Akta Jual Beli belum bisa dibuat (biasa
disebut sebagai: PPJB Lunas).
Khusus untuk pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di
dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika
semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-karena sudah terwakilisudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli,
Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Belinya untuk kemudian memproses
balik nama sertifikatnya.
PPJB Lunas yang disertai kuasa jual, tidak hanya dijadikan bentuk perlindungan pada
pembeli, namun juga memberikan kesempatan kepada pembeli untuk mengalihkan tanah
tersebut kepada pihak lain.
Sebagai contoh, proses jual beli yang terjadi adalah A (Pihak Penjual) melakukan
peralihan dengan mengikatkan tanahnya kepada B (Pihak Pembeli) dengan dasar PPJB Lunas
yang disertai kuasa jual, kemudian B mengalihkan tanah yang di beli dari A kepada C (Pihak
lain) dengan dasar kuasa jual yang dimiliki oleh B. Meskipun peralihan yang terjadi antara A
dan B masih PPJB Lunas atau perjanjian awal sebelum dilakukan AJB, tetapi sudah dapat
dikatakan terjadi beralihnya kepemilikan dengan melihat adanya kewenangan B melalui
kuasa jual yang dimilikinya untuk menjual kepada C serta sudah ada pembayaran lunas
penuh yang diminta oleh A.
Apabila pengikatan jual beli antara A dan B diakhiri dengan dibuatnya AJB maka
pengenaan pajak (BPHTB) memang hanya sekali saja, tetapi jika B mengalihkan tanah
tersebut kepada C maka tidak seharusnya pengenaan pajaknya (BPHTB) hanya terjadi sekali
saja, dengan kata lain peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB Lunas yang
disertai kuasa jual mengalihkan/menghilangkan pengenaan pajak atas BPHTB yang
seharusnya ditanggung oleh pemegang hak melalui PPJB. Tidak adanya kuasa jual tersebut,
peralihan jual beli antara A dan C diatas juga dapat terjadi melalui PPJB, dimana terjadi
perubahan pihak pembeli dalam PPJB tersebut. Hal inilah dalam perkembangannya
pengenaan pajak dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya diterbitkan. Peraturan
RAYMOND SAPTAHARI |4
Pemerintah ini merupakan pengganti PP No. 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
PP No. 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang sebelumnya penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas
Tanah dan/atau Bangunan tidak dikenakan.
Adapun perubahan dalam pelaksanaannya yaitu pengenaan PPh atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah dikenakan pada peralihan melalui PPJB
berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, di mana PPJB (pajak penjual) yang sudah dikenakan
PPh Final tetapi berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah tidak dibarengi pengenaan pajak pembeli (BPHTB) yang mengakibatkan tidak
terjadinya insinkronisasi peraturan antara Pajak BPHTB dan PPh. Hal inilah yang mendasari
penelitian ini dilakukan dengan judul “Pengenaan Pajak Atas Pengalihan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Melalui PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) Lunas Yang Disertai
Kuasa Jual”.
Perumusan masalah penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan
Kuasa Jual ?
2. Bagaimana pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan
Kuasa Jual?
3. Apa kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah
dan tanah melalui PPJB?
Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas, maka tujuan
yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan
pajak peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .
2. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan pajak
peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .
3. Untuk mengetahui kendala dalam ketentuan pengenaan pajak peralihan tanah dan
bangunan.
II. Metode Penelitian
RAYMOND SAPTAHARI |5
Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat preskriptif
analisis, dengan mengutamakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier. Data-data tersebut juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari penelitian
lapangan melalui wawancara beberapa notaris di Medan. Analisis terhadap data-data tersebut
dilakukan secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode penalaran deduktif.
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan ketentuan objek pajak penghasilan bersifat final sebagaimana ditentukan
pada Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh yang menyatakan bahwa “Penghasilan dapat dikenai
pajak final apabila penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan;”.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan yang
diterima orang pribadi/badan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian
penghasilan sebagaimana dimasud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, dan sesuai UU Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, maka diterbitkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur
cara yang lebih berdaya guna yaitu dengan mengaitkan pemenuhan kewajiban Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya khusus untuk pembayaran sudah lunas dan
dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual,
dari penjual kepada pembeli. Kuasa Jual tersebut merupakan akta tersendiri dari PPJB yang
telah dibuat.
Pemenuhan kewajiban pajak tersebut pertama kali diatur dengan diputusnya Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
PP Nomor 48 Tahun 1994 diatur bahwa Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang setelah kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan yang
terutang telah dibayar. Dalam hal orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, termasuk
ganti rugi karena pelepasan hak atau penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah, maka
RAYMOND SAPTAHARI |6
pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh
bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran tersebut.
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan dinyatakan dalam Pasal (1) ayat (2) bahwa:
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
PP tersebut dalam perubahannya sampai yang ketiga melalui PP Nomor 71 Tahun
2008 tidak merubah pengalihan-pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang termasuk
dalam objek pajak penghasilan dalam Pasal 1 ayat (2) tersebut. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian
Pengikatan Jual Beli bukanlah merupakan objek pajak penghasilan, di mana praktek PPJB
juga sudah ada dan lama terjadi pada saat itu.
Perkembangannya dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan
pemerintah untuk kepentingan umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta
pemberian perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, PP Nomor 71 Tahun
2008 digantikan oleh PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas
Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya. Terdapat perbedaan redaksi judul diantara
kedua PP tersebut yaitu adanya “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan Beserta Perubahannya” yang menjadi bagian dari pajak penghasilan.
Ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya, yang menyatakan
bahwa:
RAYMOND SAPTAHARI |7
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
Terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.”
Berdasarkan PP tersebut terdapat perluasan objek pajak PHTB yaitu pengenaan terhadap
PPJB-PHTB sebagai objek pajak PPh Final.
Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:
“Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penghasilan dari:
a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
pertama kali ditandatangani; atau
b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya
perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.”
Pasal ini menunjukkan pengenaan PPJB-PHTB tidak terhenti pada pihak penjual, tetapi juga
dapat dikenakan pihak pembeli dalam hal terjadinya perubahan pihak pembeli dalam
perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Pengenaan PPh Final terhadap Pihak Pembeli
berdasarkan pasal 1 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016 akan terus berlanjut kepada Pihak
Pembeli selanjutnya selama PPJB-PHTB tersebut belum disempurnakan menjadi Akta Jual
Beli.
Lahirnya PP Nomor 34 Tahun 2016 terjadi pergeseran dimana Penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun di
luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya
transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.3
PP Nomor 34 Tahun 2016 memberikan kepastian besarnya PPh atas penghasilan dari
PPJB atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sama juga berdasarkan tarif di atas
(PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan) dari jumlah bruto, yaitu:4
a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
3
4
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 2 ayat (3) PP Nomr 34 Tahun 2016
RAYMOND SAPTAHARI |8
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Sedangkan pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau badan yang
merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam PPJB sebelum terjadinya perubahan
atau adendum atas PPJB tersebut.5 Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau
adendum PPJB apabila kepada penjual dibuktikan bahwa kewajiban pelunasan PPh oleh
pembeli (sebelum perubahan PPJB) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat
Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan
Pajak.6 Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum PPJB
atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.7
PPh Final yang sebelumnya tidak terutang dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli melalui PP Nomor 71 Tahun 2008, menjadi
terutang PPh Final dan pembayarannya telah mendapat kepastian hukum melalui Pasal 1 ayat
(1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016. Melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 Pengenaan PPh
Final terhadap PPJB juga telah memberikan kepastian besar tarifnya (berdasarkan Pasal 2
ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016) dan kepastian pelunasannya (Pasal 5 PP Nomor 34
Tahun 2016). Kepastian pengenaan pajak PPJB, pelaksanaanya menjadi tanggung jawab
notaris sebagaimana pembuatan PPJB menjadi kewenangan notaris sesuai pasal 15 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu;
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Pelaksaan PPJB jika dihubungkan dengan ketentuan Pajak Penghasilan maka
berkaitan dengan PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana notaris mempunyai tanggung jawab
untuk tidak melakukan addendum PPJB apabila tidak memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (2)
PP Nomor 34 Tahun 2016 yaitu :
5
6
7
Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016
RAYMOND SAPTAHARI |9
“Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual
beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau basil cetakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah
dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.”
Oleh sebab itu pengenaan PPh Final terhadap peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB telah memenuhi kepastian hukum.
Pemungutan pajak dikenal adanya azas kepastian (certainty). Dikatakan bahwa
kepastian hukum merupakan tujuan setiap undang-undang. pungutan pajak yang tidak
berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat
disebutkan perampokan (taxation without representation is robbery)8, karena itu
Sommerfield menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan
petunjuk pemungutan pajak, advanced rulling, maupun interprestasi hukum yang lain.9 Asas
Certainty (asas kepastian hukum), menurut Adam smith, semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.10
PPJB pada dasarnya merupakan perjanjian antara calon pembeli dan calon penjual
terhadap objek tanah dan/atau bangunan yang dibuat sebelum atau dikeluarkannya Akta Jual
Beli (AJB) yang dibuat di hadapan notaris. Aturan ini untuk mengakomodasi agar pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan pada saat berlakunya PPJB tetap terutang PPh Final.
Setelah berlakunya PP nomor 34 tahun 2016 ini maka ketentuan PPh Final dalam PP Nomor
71 Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi.
Menurut Azas Persamaan, Keadilan dan Kemampuan mengandung arti sebagai
berikut: “Kesamaan (quality) mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang
berada dalam keadan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dengan demikian akan
diharapkan akan tercapai keadilan (equity) diantara pembayar pajak, karena mereka akan
dikenakan pajak berdasarkan kemampuannya dalam membayar pajak (ability to pay) yang
memang berbeda antara seorang Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya”. 11 Menurut asas
ini pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap PPJB dalam PP
Nomor 34 Tahun 2016 (Skema 3) sudah tercermin persamaan, keadilan dan kemampuan.
8
Ilyas, Wirawab B & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat,
2008), hal 5.
9
Ray M. Sommerfeld, An Introduction To Taxation, (London : Harcourt Brace
Javanovich Inc, 1982), hal 1/17.
10
Rochmat Soemitro & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, (Bandung : Refka
Aditama, 2004), hal 35.
11
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, (Jakarta :
Graha Ilmu, 2010) hal 56. (Selanjutnya disebut Marihot Pahala Siahaan III)
RAYMOND SAPTAHARI |10
Para pihak yang menerima penambahan harta/penghasilan akibat dari Pengalihan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli sudah sewajarnya terutang Pajak
Penghasilan. Pengenaan pajak penghasilan tersebut bersifat final, dimana peraturan
sebelumnya PP Nomor 71 Tahun 2008 (Skema.2) pihak pembeli dalam PPJB (Tuan B) yang
menerima uang dengan mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunannya kepada orang lain
(Tuan C) melalui kuasa jual tidak ada terutangnya pajak penghasilan.
Ability to pay PPh Final terhadap Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah dikenakan tarif
pengenaan PPh Final yang ditetapkan berdasarkan pasal 2 ayat (3). Penghasilan yang
diterima oleh Pihak Penjual dari Pihak Pembeli dari peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui PPJB tentu menjadi pemenuhan seseorang memiliki kemampuan
membayar wajib pajak.
Asas Certainty dalam Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan terhadap PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b.
Pembentukan PP Nomor 34 Tahun 2016 menekankan perluasan objek PPh Final terhadap
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu PPJB tanah dan bangunan dalam Pasal 1
ayat (1) huruf b serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan PPJB seperti besaran tarif
maupun pelunasan PPh Final PPJB tanah dan bangunan
Pengenaan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun
2016 menyatakan adanya pembedaan besarnya tarif pajak penghasilan atas penghasilan dari
PPJB tanah dan bangunan beserta perubahannya, di mana besarnya tarif PPh Final atas PPJB
dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang sesungguhnya/seharusnya diterima atau
diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli atas peralihan melalui PPJB tersebut.
Ketentuan tersebut menunjukkan nilai PPh Final atas PPJB dan perubahannya besaran
pajaknya tidak selalu sama yaitu jumlah pajak akan semakin besar apabila setiap nilai
pengalihan PPJB dan perubahannya semakin tinggi juga. Hal ini menunjukkan pegenaan PPh
Final berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Vertikal.
Pengenaan PPh Final berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 juga telah memenuhi
Keadilan Horizontal. Hal tersebut dapat dilihat dalam perbandingan Skema.2 dan Skema.3.
Pengenaan Pajak dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 (Skema.2) menunjukkan tidak ada
pengenaan pajak penghasilan terhadap peralihan melalui Addendum atau Perubahan PPJB, di
mana hanya Tuan A saja yang terutang PPh Final sedangkan Tuan B, Tuan C, dan Tuan D
yang menerima penghasilan dari pengalihan addendum PPJB tersebut tidak dikenakan pajak.
Berbeda halnya pengenaan pajak berdasarkan pasal 1 ayat (1) huruf b dan ayat (3) PP Nomor
RAYMOND SAPTAHARI |11
34 Tahun 2016 pengalihan PPJB dan perubahannya sudah terutang PPh Final. Tuan A dan
Tuan B (Skema.3) terutang atas PPh Final atas penghasilan yang diterima dari pengalihan
tersebut. Kondisi tersebut menunjukkan adanya tambahan penghasilan atas peralihan melalui
PPJB yang sebelumnya tidak dikenakan pajak dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dan menjadi
terutang pajak atas penghasilan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 menunjukkan PP Nomor 34
Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Horizontal.
Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan keadilan dilihat
dari pemenuhan Asas Persamaan, Keadilan, dan Kemampuan, dimana Para pihak yang
menerima penambahan harta/penghasilan (Tuan A, Tuan B, Tuan C, dan Tuan D) akibat dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Skema.3)
terutang Pajak Penghasilan. Tercerminnya keadilan juga dilihat dari terpenuhinya Asas
Kepastian, dimana Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap
PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b, serta terpenuhinya
Keadilan Vertikal maupun Keadilan Horizontal melalui PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana
besarnya tarif PPh Final atas PPJB dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang
sesungguhnya/seharusnya diterima atau diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli
atas peralihan melalui PPJB tersebut dan pengenaan PPh Final terhadap PPJB yang
sebelumnya tidak diatur pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dimana Pihak Penjual
dalam PPJB tanah dan bangunan tidak terutang PPh meskipun sudah menerima uang
peralihan/mengalami penambahan penghasilan dari Pihak Pembeli.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan yang sedang
disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk
melihat adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi
dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan
peraturan yang setara.12
Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk
perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,
12
Novianto M. Hantoro, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta
Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029, diakses pada http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/130881%5B_Konten_%5D-Konten%20C9218.pdf pada tanggal 20 Januari 2017 pukul 20.00 WIB.
RAYMOND SAPTAHARI |12
dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi
muatannya.13
Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan
pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai
bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. 14
Khususnya mengenai pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual beli
tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB) yaitu para pihak diwajibkan menyetorkan kewajiban
pajak masing-masing dengan menyerahkan bukti pembayaran pajak kepada PPAT sebelum
ditandatanganinya Akta Jual Beli (Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 dan Pasal 4 ayat
(2) PP No. 34 Tahun 2016), sepanjang belum dilakukan pembayaran tersebut maka PPAT
dinyatakan tegas dilarang membuat Akta Jual Beli (Pasal 39 ayat (1) huruf g PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Tidak terpenuhinya unsur-unsur/syarat dilakukan
Akta Jual Beli maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli menjadi solusi dan memenuhi kebutuhan
para pihak apabila peralihan hak atas tanah dan bangunan tetap ingin dilaksanakan pada saat
itu juga. Pada praktik peralihan jual beli tanah dan bangunan sehari-hari banyak terdapat
ketidaktahuan para pihak mengenai syarat-syarat apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan
peralihan dengan jual beli khususnya mengenai pajak atas PHTB, baik jenis pajak yang
dikenakan dan cara pembayarannya. Ketidaktahuan para pihak tersebut maka tidak heran
setiap PHTB selalu dibuatkan PPJB terlebih dahulu.
PPJB yang sebelumnya sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada praktiknya
terdapat PPJB Lunas dan PPJB Tidak Lunas. PPJB Lunas yang merupakan telah
terpenuhinya pembayaran yang dimintakan pihak penjual dianggap sudah terjadi peralihan
hak atas tanah dan bangunan, dimana Pihak Pembeli sudah melaksanakan prestasi
sepenuhnya yaitu melunasi pembayaran kepada pihak penjual. Beberapa PPJB tersebut pada
praktiknya juga dibarengi dengan Akta Kuasa Menjual, di mana dengan akta tersebut pihak
pembeli dapat mengalihkan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. 15
Berdasarkan ketentuan pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual
beli tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB), subjek pajak (Wajib Pajak) adalah orang atau
badan berdasarkan perbuatan hukum melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan
(untuk selanjutnya disebut PHTB), dimana PHTB tersebut menjadi objek pajak. Jual beli
sebagai perbuatan hukum terdapat dua pihak yakni, pihak yang mengalihkan dan pihak yang
13
Ibid.
Ibid.
15
Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10
Mei 2017 pukul 10.00 WIB
14
RAYMOND SAPTAHARI |13
menerima/memperoleh dari apa yang dialihkan oleh pihak yang mengalihkan, sehingga
terpenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Terpenuhinya syarat subjektif dan objektif
tersebut dikenakan pajak atas PPh Final PHTB dan BPHTB.
Dasar Hukum Pengenaan BPHTB dapat dilihat dalam UU Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut PDRD).
Objek BPHTB menurut Pasal 85 ayat (1) UU PDRD adalah Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan. Disamping pasal objek BPHTB, dalam UU PDRD juga mengatur
pasal pengecualian tentang Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD yaitu objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
4. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
6. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Selain objek BPHTB dan pengecualiannya, berdasarkan Pasal 90 UU PDRD
menyatakan bahwa terutangnya pajak Bea Perolehan Hak Atas dan/atau Bangunan ditetapkan
untuk :
1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
kantor bidang pertanahan;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
RAYMOND SAPTAHARI |14
8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
9. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
15. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
Pelasanaan BPHTB dalam UU PDRD diatur lebih lanjut melalui peraturan
daerah/kota seperti Kota Binjai dalam Peraturan Daerah (untuk selanjutnya disebut Perda)
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, di mana
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2).
Berdasarkan UU PDRD dan peraturan pelaksana dalam Perda Binjai menunjukkan
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak
termasuk objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1) dan pasal
pengecualian selain objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada
mengatur/menyebutkan PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi
perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan.
Berbeda halnya atas Pengenaan Pajak Penghasilan Final didasarkan pada Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tentang Pajak Penghasilan, penghasilan yang
dikenai bersifat final, meliputi :16
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dari sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;
16
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
RAYMOND SAPTAHARI |15
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
pemerintah.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d
UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut adalah merupakan objek pajak yang dikenai bersifat
Final. Kewajiban pembayaran PPh Final PHTB diatur dengan PP Nomor 34 Tahun 2016
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta
Perubahannya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) point b PP Nomor 34 Tahun 2016 dinyatakan bahwa
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya terutang Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Melihat ketentuan BPHTB dalam UU PDRD yang diatur lebih lanjut dengan Perda
Daerah seperti Perda Binjai dan ketentuan PPh Final dalam UU PPh yang diatur lebih lanjut
melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 tidak terjadi sinkronisasi, di mana PPJB bukanlah objek
dari BPHTB tetapi termasuk dalam objek PPh Final dan UU PDRD dalam pasal
pengecualiannya tidak ada mengatur mengenai PPJB. Oleh sebab itu pengalihan hak atas
tanah dan bangunan melalui PPJB yang disertai kuasa jual berdasarkan pasal 1 ayat (1) PP
No. 34 Tahun 2016 PHTB melalui PPJB sudah terutang pajak PPh Final sedangkan
berdasarkan Perda BPHTB bahwa PPJB tidak termasuk dalam objek BPHTB sesuai Pasal 90
ayat (1) point a UU PDRD dan peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang BPHTB
bahwa terutangnya BPHTB ditetapkan untuk jual beli sejak dibuat dan ditandatanganinya
akta.
PPJB Lunas sebagai bentuk peralihan hak atas tanah dan bangunan sudah dijadikan
objek PPh Final dalam pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016 tetapi bukan
merupakan objek BPHTB dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD serta peraturan
pelasananya dalam Perda Binjai dan dalam pasal pengecualian UU PDRD selain objek
BPHTB tidak ada mengatur mengenai PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan, di mana
BPHTB merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Melihat hal
tersebut terutangnya PPh Final atas peralihan melalui PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 36 Tahun 2008 telah terjadi
RAYMOND SAPTAHARI |16
insinkronisasi dengan UU PDRD serta peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang
BPHTB.
Ada dua jenis cara pengkajian sinkronisasi aturan yaitu: pertama, sinkronisasi
vertikal, mengidentifikasi apakah suatu perundang-undangan tersebut sejalan apabila ditinjau
dari sudut strata atau hierarki peraturan perundangan yang ada. Kedua, sinkronisasi
horisontal, mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat
dan yang mengatur bidang yang sama.17 Pada penelitian ini dapat dilihat adanya
insinkronisasi secara vertikal mengenai PPJB sebagai objek antara ketentuan BPHTB dalam
Peraturan-Peraturan Daerah tentang BPHTB dan Ketentuan Pajak Penghasilan dalam PP
nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan beserta Perubahannya, di mana Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak termasuk
objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1), dimana BPHTB
merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan pasal pengecualian selain
objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada mengatur/menyebutkan PPJB
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi perjanjian pengikatan jual beli
tanah dan bangunan.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya telah mendapat kepastian
hukum melalui Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan jo. Pasal 1 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya, yang sebelumnya
tidak
diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
Rajawali Press, 1990), hal 85.
RAYMOND SAPTAHARI |17
2. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan prinsip keadilan
jika dilihat dari segi keadilan vertikal dan keadilan horizontal serta asas persamaan,
keadian, dan kemampuan, dimana seseorang (Pihak Pembeli dan Pihak Penjual) yang
memiliki penambahan penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB sudah terutang PPh bersifat Final.
3. Kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah dan
bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas tanah dan bangunan adalah
pada saat sudah terutangnya Pajak Penghasilan Final (pajak penjual) tetapi pihak
pembeli belum terutangnya BPHTB (pajak pembeli) sehingga terjadi insinkronisasi
hukum secara vertikal antara Pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016 dan
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah mengenai BPHTB, dimana PPJB merupakan objek PPh
Final dan sebagai bentuk penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 tetapi bukan merupakan objek
BPHTB maupun pengecualiannya..
B. Saran
1. Hendaknya terutangnya PPh F atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya melalui PP Nomor 34 Tahun
2016 dapat disosialisasikan terhadap para pihak yang terkait dengan peralihan melalui
PPJB khususnya notaris sebagai pejabat yang berwenang menandatangai akta
tersebut.
2. Hendaknya Direktorat Pajak melakukan pengawasan/pemeriksaan pajak terkait
pengenaan PPh F PHTB-PPJBTB terhadap pihak-pihak yang terlibat didalamnya
seperti; pihak pembeli dan penjual dalam PPJB dan perubahannya, perantara atau
pedagang (agen properti, investor properti, atau pengembang), dan notaris agar
prinsip keadilan dapat ditegakkan.
3. Hendaknya adanya revisi terhadap Undang-Undang PDRD mengenai BPHTB bahwa
secara tegas PPJB diatur didalamnya agar tidak terjadi kekosongan hukum.
V. Daftar Pustaka
1. Buku
RAYMOND SAPTAHARI |18
Ilyas, wirawan B & Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat, 2008.
Siahaan, Marihot Pahala, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan; Teori dan Praktek,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta : Rajawali Press, 1990
Sommerfeld, Ray M., An Introduction To Taxation, London : Harcourt Brace Javanovich Inc,
1982.
Soemitro, Rochmat & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, Bandung : Refika Aditama,
2004.
2. Artikel/Jurnal/Makalah
Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 15 September 2016 pukul 23.00.
Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta Uji Materi
Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi
Bali
Tahun
2009-2029,
diakses
pada
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/130881-%5B_Konten_
%5D-Konten%20C9218.pdf pada tanggal 20 Januari 2017 pukul 20.00 WIB.
3. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN MELALUI PPJB (PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI) LUNAS
YANG DISERTAI KUASA JUAL
Raymond Saptahari
ABSTRACT
PPJB-TB is a preliminary agreement on land and building right transfer between the
seller and the buyer before the real Purchase Contract is signed. The issuance of PP
No.34/2016 causes legal certainty in which PPJB-TB, PPh-Final payable, and the
implementation of tax assessment on PPh in PPJB become the responsibility of a Notary.
PPh-Final payable in PP No.34/2016 has met the principle of justice since it belongs to a
person who has additional income from land and building right transfer or to those who
transfer their land and building through PPJB and/or its addendum. Concerning settled
PPJB-TB, related to its tax, the implementation of Settled PPJB-TB does not become the
object of BPHTB and its exception so that there is legal uncertainty for PPJB as the object
and is regulated on BPHTB in Law No.28/2009 on Regional Tax and Retribution and in the
regulation on PPh in PP No.34/2016.
I. Pendahuluan
Salah satu jenis pajak yang diterapkan yaitu pajak dalam transaksi jual beli tanah.
Perkembangannya pajak ini tentu menjadi perhatian utama dengan melihat fenomena
tumbuhnya aktivitas mengenai kepemilikan maupun peralihan kepemilikan lahan pertanahan
yang diakibatkan pesatnya laju kepadatan penduduk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah penduduk yang terus meningkat1 dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan
selisih perbandingan yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan.
Pajak dalam transaksi jual-beli tanah terbagi atas;
1. Pajak Penjual;
2. Pajak Pembeli.
Pajak penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Dasar hukum pengenaan PPh
terbaru untuk penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas
Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya :
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
1. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
1
Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 15 September 2016 pukul 23.00 WIB.
RAYMOND SAPTAHARI |2
2. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”.
Pajak pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini didasarkan
pada Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Perkembangan dalam jual-beli tanah di samping AJB, ditemui praktik-praktik
terjadinya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (untuk selanjutnya disebut PPJB) sebagai
pengikat tanda jadi transaksi jual beli tersebut. PPJB merupakan kesepakatan antara penjual
untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PPJB dapat
saja terjadi dengan seiring perkembangan harga tanah semakin mahal, sehingga terdapat
kekosongan hukum untuk menutupi kebutuhan masyarakat atas kepastian hukum khususnya
dalam ranah jual beli tanah. Jadi PPJB terjadi karena belum terpenuhinya persyaratan AJB
yang bisa dikarenakan faktor pembayaran belum lunas, sertifikat masih dalam proses
pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang
legal.
PPJB tanah dan bangunan merupakan perjanjian pendahuluan dengan maksud
pemindahan hak atas tanah dan bangunan antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang belum dipenuhi untuk
dilaksanakkan proses selanjutnya yaitu Akta Jual Beli. Unsur-unsur yang belum dipenuhi
pada umumnya adalah :2
1. Belum Lunasnya Pembayaran Harga Tanah dan Bangunan/Secara Berangsur;
2. Sertifikat Tanah sedang dalam proses cek bersih di Badan Pertanahan Nasional
setempat;
3. Masih dalam tahap verifikasi cek bangunan oleh Dispenda setempat;
4. Belum dapat dipenuhi pembayaran pajak oleh para pihak.
Unsur-unsur tersebut menjadi penghalang para pihak untuk dilaksanakan jual-beli pada saat
itu juga.
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli biasanya dapat dibuat dengan 2 (dua) versi,
yaitu:
1. Akta Perjanjian Pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena biasanya
harganya belum lunas (biasa disebut sebagai: PPJB Belum Lunas)
2
Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10
Mei 2017 pukul 10.00 WIB
RAYMOND SAPTAHARI |3
2. Akta Perjanjian Pengikatan Jual beli yang pembayarannya sudah dilakukan secara
LUNAS, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan
PPAT yang berwenang, karena masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih
sedang dalam proses pemecahan sertifikat, masih sedang dalam proses penggabungan
dan berbagai alasan lain yang menyebabkan Akta Jual Beli belum bisa dibuat (biasa
disebut sebagai: PPJB Lunas).
Khusus untuk pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di
dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika
semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-karena sudah terwakilisudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli,
Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Belinya untuk kemudian memproses
balik nama sertifikatnya.
PPJB Lunas yang disertai kuasa jual, tidak hanya dijadikan bentuk perlindungan pada
pembeli, namun juga memberikan kesempatan kepada pembeli untuk mengalihkan tanah
tersebut kepada pihak lain.
Sebagai contoh, proses jual beli yang terjadi adalah A (Pihak Penjual) melakukan
peralihan dengan mengikatkan tanahnya kepada B (Pihak Pembeli) dengan dasar PPJB Lunas
yang disertai kuasa jual, kemudian B mengalihkan tanah yang di beli dari A kepada C (Pihak
lain) dengan dasar kuasa jual yang dimiliki oleh B. Meskipun peralihan yang terjadi antara A
dan B masih PPJB Lunas atau perjanjian awal sebelum dilakukan AJB, tetapi sudah dapat
dikatakan terjadi beralihnya kepemilikan dengan melihat adanya kewenangan B melalui
kuasa jual yang dimilikinya untuk menjual kepada C serta sudah ada pembayaran lunas
penuh yang diminta oleh A.
Apabila pengikatan jual beli antara A dan B diakhiri dengan dibuatnya AJB maka
pengenaan pajak (BPHTB) memang hanya sekali saja, tetapi jika B mengalihkan tanah
tersebut kepada C maka tidak seharusnya pengenaan pajaknya (BPHTB) hanya terjadi sekali
saja, dengan kata lain peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB Lunas yang
disertai kuasa jual mengalihkan/menghilangkan pengenaan pajak atas BPHTB yang
seharusnya ditanggung oleh pemegang hak melalui PPJB. Tidak adanya kuasa jual tersebut,
peralihan jual beli antara A dan C diatas juga dapat terjadi melalui PPJB, dimana terjadi
perubahan pihak pembeli dalam PPJB tersebut. Hal inilah dalam perkembangannya
pengenaan pajak dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya diterbitkan. Peraturan
RAYMOND SAPTAHARI |4
Pemerintah ini merupakan pengganti PP No. 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
PP No. 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang sebelumnya penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas
Tanah dan/atau Bangunan tidak dikenakan.
Adapun perubahan dalam pelaksanaannya yaitu pengenaan PPh atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah dikenakan pada peralihan melalui PPJB
berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, di mana PPJB (pajak penjual) yang sudah dikenakan
PPh Final tetapi berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah tidak dibarengi pengenaan pajak pembeli (BPHTB) yang mengakibatkan tidak
terjadinya insinkronisasi peraturan antara Pajak BPHTB dan PPh. Hal inilah yang mendasari
penelitian ini dilakukan dengan judul “Pengenaan Pajak Atas Pengalihan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Melalui PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) Lunas Yang Disertai
Kuasa Jual”.
Perumusan masalah penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan
Kuasa Jual ?
2. Bagaimana pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan
Kuasa Jual?
3. Apa kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah
dan tanah melalui PPJB?
Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas, maka tujuan
yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan
pajak peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .
2. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan pajak
peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .
3. Untuk mengetahui kendala dalam ketentuan pengenaan pajak peralihan tanah dan
bangunan.
II. Metode Penelitian
RAYMOND SAPTAHARI |5
Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat preskriptif
analisis, dengan mengutamakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier. Data-data tersebut juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari penelitian
lapangan melalui wawancara beberapa notaris di Medan. Analisis terhadap data-data tersebut
dilakukan secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode penalaran deduktif.
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan ketentuan objek pajak penghasilan bersifat final sebagaimana ditentukan
pada Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh yang menyatakan bahwa “Penghasilan dapat dikenai
pajak final apabila penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan;”.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan yang
diterima orang pribadi/badan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian
penghasilan sebagaimana dimasud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, dan sesuai UU Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, maka diterbitkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur
cara yang lebih berdaya guna yaitu dengan mengaitkan pemenuhan kewajiban Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya khusus untuk pembayaran sudah lunas dan
dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual,
dari penjual kepada pembeli. Kuasa Jual tersebut merupakan akta tersendiri dari PPJB yang
telah dibuat.
Pemenuhan kewajiban pajak tersebut pertama kali diatur dengan diputusnya Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.
PP Nomor 48 Tahun 1994 diatur bahwa Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang setelah kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan yang
terutang telah dibayar. Dalam hal orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, termasuk
ganti rugi karena pelepasan hak atau penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah, maka
RAYMOND SAPTAHARI |6
pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh
bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran tersebut.
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan dinyatakan dalam Pasal (1) ayat (2) bahwa:
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
PP tersebut dalam perubahannya sampai yang ketiga melalui PP Nomor 71 Tahun
2008 tidak merubah pengalihan-pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang termasuk
dalam objek pajak penghasilan dalam Pasal 1 ayat (2) tersebut. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian
Pengikatan Jual Beli bukanlah merupakan objek pajak penghasilan, di mana praktek PPJB
juga sudah ada dan lama terjadi pada saat itu.
Perkembangannya dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan
pemerintah untuk kepentingan umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta
pemberian perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, PP Nomor 71 Tahun
2008 digantikan oleh PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas
Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya. Terdapat perbedaan redaksi judul diantara
kedua PP tersebut yaitu adanya “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan Beserta Perubahannya” yang menjadi bagian dari pajak penghasilan.
Ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya, yang menyatakan
bahwa:
RAYMOND SAPTAHARI |7
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
Terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.”
Berdasarkan PP tersebut terdapat perluasan objek pajak PHTB yaitu pengenaan terhadap
PPJB-PHTB sebagai objek pajak PPh Final.
Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:
“Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penghasilan dari:
a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
pertama kali ditandatangani; atau
b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya
perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.”
Pasal ini menunjukkan pengenaan PPJB-PHTB tidak terhenti pada pihak penjual, tetapi juga
dapat dikenakan pihak pembeli dalam hal terjadinya perubahan pihak pembeli dalam
perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Pengenaan PPh Final terhadap Pihak Pembeli
berdasarkan pasal 1 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016 akan terus berlanjut kepada Pihak
Pembeli selanjutnya selama PPJB-PHTB tersebut belum disempurnakan menjadi Akta Jual
Beli.
Lahirnya PP Nomor 34 Tahun 2016 terjadi pergeseran dimana Penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun di
luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya
transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.3
PP Nomor 34 Tahun 2016 memberikan kepastian besarnya PPh atas penghasilan dari
PPJB atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sama juga berdasarkan tarif di atas
(PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan) dari jumlah bruto, yaitu:4
a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
3
4
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 2 ayat (3) PP Nomr 34 Tahun 2016
RAYMOND SAPTAHARI |8
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Sedangkan pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau badan yang
merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam PPJB sebelum terjadinya perubahan
atau adendum atas PPJB tersebut.5 Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau
adendum PPJB apabila kepada penjual dibuktikan bahwa kewajiban pelunasan PPh oleh
pembeli (sebelum perubahan PPJB) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat
Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan
Pajak.6 Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum PPJB
atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.7
PPh Final yang sebelumnya tidak terutang dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli melalui PP Nomor 71 Tahun 2008, menjadi
terutang PPh Final dan pembayarannya telah mendapat kepastian hukum melalui Pasal 1 ayat
(1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016. Melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 Pengenaan PPh
Final terhadap PPJB juga telah memberikan kepastian besar tarifnya (berdasarkan Pasal 2
ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016) dan kepastian pelunasannya (Pasal 5 PP Nomor 34
Tahun 2016). Kepastian pengenaan pajak PPJB, pelaksanaanya menjadi tanggung jawab
notaris sebagaimana pembuatan PPJB menjadi kewenangan notaris sesuai pasal 15 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu;
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Pelaksaan PPJB jika dihubungkan dengan ketentuan Pajak Penghasilan maka
berkaitan dengan PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana notaris mempunyai tanggung jawab
untuk tidak melakukan addendum PPJB apabila tidak memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (2)
PP Nomor 34 Tahun 2016 yaitu :
5
6
7
Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2016
Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016
RAYMOND SAPTAHARI |9
“Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual
beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau basil cetakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah
dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.”
Oleh sebab itu pengenaan PPh Final terhadap peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB telah memenuhi kepastian hukum.
Pemungutan pajak dikenal adanya azas kepastian (certainty). Dikatakan bahwa
kepastian hukum merupakan tujuan setiap undang-undang. pungutan pajak yang tidak
berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat
disebutkan perampokan (taxation without representation is robbery)8, karena itu
Sommerfield menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan
petunjuk pemungutan pajak, advanced rulling, maupun interprestasi hukum yang lain.9 Asas
Certainty (asas kepastian hukum), menurut Adam smith, semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.10
PPJB pada dasarnya merupakan perjanjian antara calon pembeli dan calon penjual
terhadap objek tanah dan/atau bangunan yang dibuat sebelum atau dikeluarkannya Akta Jual
Beli (AJB) yang dibuat di hadapan notaris. Aturan ini untuk mengakomodasi agar pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan pada saat berlakunya PPJB tetap terutang PPh Final.
Setelah berlakunya PP nomor 34 tahun 2016 ini maka ketentuan PPh Final dalam PP Nomor
71 Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi.
Menurut Azas Persamaan, Keadilan dan Kemampuan mengandung arti sebagai
berikut: “Kesamaan (quality) mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang
berada dalam keadan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dengan demikian akan
diharapkan akan tercapai keadilan (equity) diantara pembayar pajak, karena mereka akan
dikenakan pajak berdasarkan kemampuannya dalam membayar pajak (ability to pay) yang
memang berbeda antara seorang Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya”. 11 Menurut asas
ini pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap PPJB dalam PP
Nomor 34 Tahun 2016 (Skema 3) sudah tercermin persamaan, keadilan dan kemampuan.
8
Ilyas, Wirawab B & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat,
2008), hal 5.
9
Ray M. Sommerfeld, An Introduction To Taxation, (London : Harcourt Brace
Javanovich Inc, 1982), hal 1/17.
10
Rochmat Soemitro & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, (Bandung : Refka
Aditama, 2004), hal 35.
11
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, (Jakarta :
Graha Ilmu, 2010) hal 56. (Selanjutnya disebut Marihot Pahala Siahaan III)
RAYMOND SAPTAHARI |10
Para pihak yang menerima penambahan harta/penghasilan akibat dari Pengalihan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli sudah sewajarnya terutang Pajak
Penghasilan. Pengenaan pajak penghasilan tersebut bersifat final, dimana peraturan
sebelumnya PP Nomor 71 Tahun 2008 (Skema.2) pihak pembeli dalam PPJB (Tuan B) yang
menerima uang dengan mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunannya kepada orang lain
(Tuan C) melalui kuasa jual tidak ada terutangnya pajak penghasilan.
Ability to pay PPh Final terhadap Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah dikenakan tarif
pengenaan PPh Final yang ditetapkan berdasarkan pasal 2 ayat (3). Penghasilan yang
diterima oleh Pihak Penjual dari Pihak Pembeli dari peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui PPJB tentu menjadi pemenuhan seseorang memiliki kemampuan
membayar wajib pajak.
Asas Certainty dalam Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan terhadap PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b.
Pembentukan PP Nomor 34 Tahun 2016 menekankan perluasan objek PPh Final terhadap
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu PPJB tanah dan bangunan dalam Pasal 1
ayat (1) huruf b serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan PPJB seperti besaran tarif
maupun pelunasan PPh Final PPJB tanah dan bangunan
Pengenaan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun
2016 menyatakan adanya pembedaan besarnya tarif pajak penghasilan atas penghasilan dari
PPJB tanah dan bangunan beserta perubahannya, di mana besarnya tarif PPh Final atas PPJB
dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang sesungguhnya/seharusnya diterima atau
diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli atas peralihan melalui PPJB tersebut.
Ketentuan tersebut menunjukkan nilai PPh Final atas PPJB dan perubahannya besaran
pajaknya tidak selalu sama yaitu jumlah pajak akan semakin besar apabila setiap nilai
pengalihan PPJB dan perubahannya semakin tinggi juga. Hal ini menunjukkan pegenaan PPh
Final berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Vertikal.
Pengenaan PPh Final berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 juga telah memenuhi
Keadilan Horizontal. Hal tersebut dapat dilihat dalam perbandingan Skema.2 dan Skema.3.
Pengenaan Pajak dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 (Skema.2) menunjukkan tidak ada
pengenaan pajak penghasilan terhadap peralihan melalui Addendum atau Perubahan PPJB, di
mana hanya Tuan A saja yang terutang PPh Final sedangkan Tuan B, Tuan C, dan Tuan D
yang menerima penghasilan dari pengalihan addendum PPJB tersebut tidak dikenakan pajak.
Berbeda halnya pengenaan pajak berdasarkan pasal 1 ayat (1) huruf b dan ayat (3) PP Nomor
RAYMOND SAPTAHARI |11
34 Tahun 2016 pengalihan PPJB dan perubahannya sudah terutang PPh Final. Tuan A dan
Tuan B (Skema.3) terutang atas PPh Final atas penghasilan yang diterima dari pengalihan
tersebut. Kondisi tersebut menunjukkan adanya tambahan penghasilan atas peralihan melalui
PPJB yang sebelumnya tidak dikenakan pajak dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dan menjadi
terutang pajak atas penghasilan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 menunjukkan PP Nomor 34
Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Horizontal.
Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan keadilan dilihat
dari pemenuhan Asas Persamaan, Keadilan, dan Kemampuan, dimana Para pihak yang
menerima penambahan harta/penghasilan (Tuan A, Tuan B, Tuan C, dan Tuan D) akibat dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Skema.3)
terutang Pajak Penghasilan. Tercerminnya keadilan juga dilihat dari terpenuhinya Asas
Kepastian, dimana Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap
PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b, serta terpenuhinya
Keadilan Vertikal maupun Keadilan Horizontal melalui PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana
besarnya tarif PPh Final atas PPJB dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang
sesungguhnya/seharusnya diterima atau diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli
atas peralihan melalui PPJB tersebut dan pengenaan PPh Final terhadap PPJB yang
sebelumnya tidak diatur pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dimana Pihak Penjual
dalam PPJB tanah dan bangunan tidak terutang PPh meskipun sudah menerima uang
peralihan/mengalami penambahan penghasilan dari Pihak Pembeli.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan yang sedang
disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk
melihat adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi
dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan
peraturan yang setara.12
Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk
perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,
12
Novianto M. Hantoro, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta
Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029, diakses pada http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/130881%5B_Konten_%5D-Konten%20C9218.pdf pada tanggal 20 Januari 2017 pukul 20.00 WIB.
RAYMOND SAPTAHARI |12
dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi
muatannya.13
Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan
pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai
bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. 14
Khususnya mengenai pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual beli
tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB) yaitu para pihak diwajibkan menyetorkan kewajiban
pajak masing-masing dengan menyerahkan bukti pembayaran pajak kepada PPAT sebelum
ditandatanganinya Akta Jual Beli (Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 dan Pasal 4 ayat
(2) PP No. 34 Tahun 2016), sepanjang belum dilakukan pembayaran tersebut maka PPAT
dinyatakan tegas dilarang membuat Akta Jual Beli (Pasal 39 ayat (1) huruf g PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Tidak terpenuhinya unsur-unsur/syarat dilakukan
Akta Jual Beli maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli menjadi solusi dan memenuhi kebutuhan
para pihak apabila peralihan hak atas tanah dan bangunan tetap ingin dilaksanakan pada saat
itu juga. Pada praktik peralihan jual beli tanah dan bangunan sehari-hari banyak terdapat
ketidaktahuan para pihak mengenai syarat-syarat apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan
peralihan dengan jual beli khususnya mengenai pajak atas PHTB, baik jenis pajak yang
dikenakan dan cara pembayarannya. Ketidaktahuan para pihak tersebut maka tidak heran
setiap PHTB selalu dibuatkan PPJB terlebih dahulu.
PPJB yang sebelumnya sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada praktiknya
terdapat PPJB Lunas dan PPJB Tidak Lunas. PPJB Lunas yang merupakan telah
terpenuhinya pembayaran yang dimintakan pihak penjual dianggap sudah terjadi peralihan
hak atas tanah dan bangunan, dimana Pihak Pembeli sudah melaksanakan prestasi
sepenuhnya yaitu melunasi pembayaran kepada pihak penjual. Beberapa PPJB tersebut pada
praktiknya juga dibarengi dengan Akta Kuasa Menjual, di mana dengan akta tersebut pihak
pembeli dapat mengalihkan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. 15
Berdasarkan ketentuan pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual
beli tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB), subjek pajak (Wajib Pajak) adalah orang atau
badan berdasarkan perbuatan hukum melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan
(untuk selanjutnya disebut PHTB), dimana PHTB tersebut menjadi objek pajak. Jual beli
sebagai perbuatan hukum terdapat dua pihak yakni, pihak yang mengalihkan dan pihak yang
13
Ibid.
Ibid.
15
Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10
Mei 2017 pukul 10.00 WIB
14
RAYMOND SAPTAHARI |13
menerima/memperoleh dari apa yang dialihkan oleh pihak yang mengalihkan, sehingga
terpenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Terpenuhinya syarat subjektif dan objektif
tersebut dikenakan pajak atas PPh Final PHTB dan BPHTB.
Dasar Hukum Pengenaan BPHTB dapat dilihat dalam UU Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut PDRD).
Objek BPHTB menurut Pasal 85 ayat (1) UU PDRD adalah Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan. Disamping pasal objek BPHTB, dalam UU PDRD juga mengatur
pasal pengecualian tentang Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD yaitu objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
4. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
6. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Selain objek BPHTB dan pengecualiannya, berdasarkan Pasal 90 UU PDRD
menyatakan bahwa terutangnya pajak Bea Perolehan Hak Atas dan/atau Bangunan ditetapkan
untuk :
1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
kantor bidang pertanahan;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
RAYMOND SAPTAHARI |14
8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
9. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
15. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
Pelasanaan BPHTB dalam UU PDRD diatur lebih lanjut melalui peraturan
daerah/kota seperti Kota Binjai dalam Peraturan Daerah (untuk selanjutnya disebut Perda)
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, di mana
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2).
Berdasarkan UU PDRD dan peraturan pelaksana dalam Perda Binjai menunjukkan
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak
termasuk objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1) dan pasal
pengecualian selain objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada
mengatur/menyebutkan PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi
perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan.
Berbeda halnya atas Pengenaan Pajak Penghasilan Final didasarkan pada Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tentang Pajak Penghasilan, penghasilan yang
dikenai bersifat final, meliputi :16
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dari sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;
16
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
RAYMOND SAPTAHARI |15
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
pemerintah.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d
UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut adalah merupakan objek pajak yang dikenai bersifat
Final. Kewajiban pembayaran PPh Final PHTB diatur dengan PP Nomor 34 Tahun 2016
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta
Perubahannya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) point b PP Nomor 34 Tahun 2016 dinyatakan bahwa
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya terutang Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Melihat ketentuan BPHTB dalam UU PDRD yang diatur lebih lanjut dengan Perda
Daerah seperti Perda Binjai dan ketentuan PPh Final dalam UU PPh yang diatur lebih lanjut
melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 tidak terjadi sinkronisasi, di mana PPJB bukanlah objek
dari BPHTB tetapi termasuk dalam objek PPh Final dan UU PDRD dalam pasal
pengecualiannya tidak ada mengatur mengenai PPJB. Oleh sebab itu pengalihan hak atas
tanah dan bangunan melalui PPJB yang disertai kuasa jual berdasarkan pasal 1 ayat (1) PP
No. 34 Tahun 2016 PHTB melalui PPJB sudah terutang pajak PPh Final sedangkan
berdasarkan Perda BPHTB bahwa PPJB tidak termasuk dalam objek BPHTB sesuai Pasal 90
ayat (1) point a UU PDRD dan peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang BPHTB
bahwa terutangnya BPHTB ditetapkan untuk jual beli sejak dibuat dan ditandatanganinya
akta.
PPJB Lunas sebagai bentuk peralihan hak atas tanah dan bangunan sudah dijadikan
objek PPh Final dalam pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016 tetapi bukan
merupakan objek BPHTB dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD serta peraturan
pelasananya dalam Perda Binjai dan dalam pasal pengecualian UU PDRD selain objek
BPHTB tidak ada mengatur mengenai PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan, di mana
BPHTB merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Melihat hal
tersebut terutangnya PPh Final atas peralihan melalui PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 36 Tahun 2008 telah terjadi
RAYMOND SAPTAHARI |16
insinkronisasi dengan UU PDRD serta peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang
BPHTB.
Ada dua jenis cara pengkajian sinkronisasi aturan yaitu: pertama, sinkronisasi
vertikal, mengidentifikasi apakah suatu perundang-undangan tersebut sejalan apabila ditinjau
dari sudut strata atau hierarki peraturan perundangan yang ada. Kedua, sinkronisasi
horisontal, mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat
dan yang mengatur bidang yang sama.17 Pada penelitian ini dapat dilihat adanya
insinkronisasi secara vertikal mengenai PPJB sebagai objek antara ketentuan BPHTB dalam
Peraturan-Peraturan Daerah tentang BPHTB dan Ketentuan Pajak Penghasilan dalam PP
nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan beserta Perubahannya, di mana Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak termasuk
objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1), dimana BPHTB
merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan pasal pengecualian selain
objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada mengatur/menyebutkan PPJB
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi perjanjian pengikatan jual beli
tanah dan bangunan.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya telah mendapat kepastian
hukum melalui Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan jo. Pasal 1 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya, yang sebelumnya
tidak
diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
Rajawali Press, 1990), hal 85.
RAYMOND SAPTAHARI |17
2. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan prinsip keadilan
jika dilihat dari segi keadilan vertikal dan keadilan horizontal serta asas persamaan,
keadian, dan kemampuan, dimana seseorang (Pihak Pembeli dan Pihak Penjual) yang
memiliki penambahan penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui PPJB sudah terutang PPh bersifat Final.
3. Kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah dan
bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas tanah dan bangunan adalah
pada saat sudah terutangnya Pajak Penghasilan Final (pajak penjual) tetapi pihak
pembeli belum terutangnya BPHTB (pajak pembeli) sehingga terjadi insinkronisasi
hukum secara vertikal antara Pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016 dan
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah mengenai BPHTB, dimana PPJB merupakan objek PPh
Final dan sebagai bentuk penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 tetapi bukan merupakan objek
BPHTB maupun pengecualiannya..
B. Saran
1. Hendaknya terutangnya PPh F atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya melalui PP Nomor 34 Tahun
2016 dapat disosialisasikan terhadap para pihak yang terkait dengan peralihan melalui
PPJB khususnya notaris sebagai pejabat yang berwenang menandatangai akta
tersebut.
2. Hendaknya Direktorat Pajak melakukan pengawasan/pemeriksaan pajak terkait
pengenaan PPh F PHTB-PPJBTB terhadap pihak-pihak yang terlibat didalamnya
seperti; pihak pembeli dan penjual dalam PPJB dan perubahannya, perantara atau
pedagang (agen properti, investor properti, atau pengembang), dan notaris agar
prinsip keadilan dapat ditegakkan.
3. Hendaknya adanya revisi terhadap Undang-Undang PDRD mengenai BPHTB bahwa
secara tegas PPJB diatur didalamnya agar tidak terjadi kekosongan hukum.
V. Daftar Pustaka
1. Buku
RAYMOND SAPTAHARI |18
Ilyas, wirawan B & Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat, 2008.
Siahaan, Marihot Pahala, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan; Teori dan Praktek,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta : Rajawali Press, 1990
Sommerfeld, Ray M., An Introduction To Taxation, London : Harcourt Brace Javanovich Inc,
1982.
Soemitro, Rochmat & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, Bandung : Refika Aditama,
2004.
2. Artikel/Jurnal/Makalah
Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,
http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 15 September 2016 pukul 23.00.
Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta Uji Materi
Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi
Bali
Tahun
2009-2029,
diakses
pada
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/130881-%5B_Konten_
%5D-Konten%20C9218.pdf pada tanggal 20 Januari 2017 pukul 20.00 WIB.
3. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah