penanganan kasus oleh komnas ham

Kasus – kasus ketika lembaga HAM berperan
1. Kasus Tanjuk Priok
a. Kronologi
Pada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang
mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas.
Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat SEOrang mubaligh yang terkenal,
Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik
pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang
kontroversi.
Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara. Pada
tanggal 7 september 1984, SEOrang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu
datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk
mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin, yang
disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak heran jika
kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari
berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya
sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang
menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena

masuk


mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air
comberan.
Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua
orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah,
Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam
sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika
mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua
pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan
disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar
sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa
menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan
membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang
lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus
Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,

selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya
itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini

dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan
membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan
persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi kali ini usahanya tidak berhasil
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan
ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial,
diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini. Dihadapan massa, Amir biki berbicara
dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat
pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk
melakukan demonstrasi.
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak
menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. sebelum massa tiba di tempat yang dituju,
tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa
demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.

Pada saat

pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung
dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya
duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur
dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu

diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah
demonstran. Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan
orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para demonstran yang terluka
berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri,

pada saat yang sama juga mereka

diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan, Dari
atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap
jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang
beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri
berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.

Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam
truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke
rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang
keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.

Setelah para korban diangkut,


datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah
para korban penembakan.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu.
Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas
sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas
Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum
lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan.
Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara...
b. Penyelesaian
Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 – 2004.
Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk
mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang
diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk,
yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa
pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung,
dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan
2 tahun penjara untuk anggotanya2. Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga

telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran
HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara
R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta
telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan
penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut
Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.
2. Kematian Marsinah
Proses Penyelidikan dan Penyidikan

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai
penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse
Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel
Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan
Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun,
kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS
Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun,
karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam
pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT

CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari,
26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang
kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda
Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja
D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing
hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda
Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340
KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke
pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS)
mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang

lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke
Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada

tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari
segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul
tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Temuan Komnas HAM
Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan
tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono
Irsan mengemukakan, agar kasus itu bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak
dengan berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika masalah itu
dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu
dibunuh bukan mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin
terbuka sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada keinginan
menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh
tahun lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian
saat ini adalah masalah pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang

memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya.
Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang
ada adalah orang yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada
solidaritas politik," katanya.
Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan para
terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran
yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik
fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan
ditindak.
3. Konflik Ronghiya
Konflik etnis Rohingya merupakan konflik yang didasari atas perlakuan
diskriminasi karena perbedaan etnis dan agama. Konflik yang kembali mencuat di tahun
2017 tersebut sebenarnya sudah lama terjadi. Myanmar mempunyai 3.3 juta penduduk
yang terdiri dari berbagai etnis, dimana satu pertiga dari penduduk tersebut adalah
golongan minoritas yang secara tradisi mendiami kawasan pinggir bandar yang
bersempadan dengan Thailand, China, India. Semasa masa penjajahan Inggris, perluasan

kawasan pertanian mengakibatkan banyaknya orang Benggali yang masuk dari negara
Jiran sebagai pekerja musiman yang disebut etnis Rohingya, yang mana etnis tersebut
berbicara menggunakan bahasa Rohingya atau Ruaingga. Mereka adalah sekelompok

etnis muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar yang mayoritas
Buddha. Etnis Rohingya Saat ini, ada sekitar 1,1 juta penduduk muslim Rohingya yang
tinggal di kawasan yang oleh dunia Barat dikenal dengan sebutan Burma itu.
Banyaknya buruh islam yang masuk tersebut menjadikan mereka menjadi etnis
tersbesar kedua di Arakan, yang mana hal tersebut menciptakan adanya keberagaman
etnis sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik Muslim Rohingya dengan Budha
Rakhine. Menurut Yegar (2002), orang Islam pertama kali masuk ke Myanmar pada abad
ke-8 M, mereka adalah peniaga dan pedagang Arab yang sekaligus berperan untuk
menyebarkan agama islam dan banyak diantara mereka menetap di Arakan setelah
menikahi wanita asli daerah tersebut. Abu Thalib (2008) menerangkan bahwa konflik
yang melanda kelompok etnis Rohingya di Myanmar merupakan konflik lanjutan dari
tahun 1942, semasa Jepang menyerang Arakan. Pada 4 Januari 1948, Myanmar
mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Tak lama berselang, Undang – Undang
Kewarganegaraan disahkan, yang mana isi dari UU tersebut adalah ketentuan etnis mana
saja yang diakui oleh Myanmar. Namun, menurut laporan International Human Right
Clinic di Yale Law School tahun 2015, etnis Rohingya tidak termasuk 135 dalam etnis
tersebut.
Hal tersebut memungkinkan mereka yang keluarganya tinggal di Myanmar
setidaknya dua generasi untuk mengajukan kartu identitas. Rohingya yang awalnya diberi
identitas atau kewarganegaraan berdasarkan ketentuan generasional dan beberapa orang

Rohingya juga ada yang masuk di parlemen. Namun, setelah kudeta militer 1966 di
Myanmar, keadaan berubah secara drastis bagi Rohingya. Semua warga negara diminta
untuk mendapatkan kartu registrasi nasional. Rohingya, bagaimanapun, hanya diberi
kartu identitas asing, yang membatasi pekerjaan dan kesempatan melanjutkan
pendidikan. Kerajaan Myanmar menganggap etnik Rohingya sebagai pendatang haram
karena mereka tidak mempunyai dokumen kerakyatan yang sah. Diskriminasi etnik
Rohingya bermula saat pemerintah diktaktor Akta Warganegara 1982, tidak mengakuai
etnik Rohingya sebagai warganegara. Hal tersebut dijadikan salah satu alasan bagi aparat
Myanmar untuk tidak melindungi mereka.

Untuk mendapatkan tingkat yang paling dasar yaitu naturalisasi, seseorang harus
punya bukti bahwa keluarganya telah tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948 dan ia
juga harus lancar melafalkan bahasa nasional. Hasilnya, banyak dari penduduk yang idak
dapat memenuhi syarat tersebut, sehingga konsekuensinya, hak mereka untuk belajar,
bekerja, bepergian, menikah, mempraktikkan agama, dan mengakses layanan kesehatan
terus dibatasi, dan mereka juga tidak bisa memberikan suara dalam pemilu.
Menurut Human Right Watch, antara 2012 hingga 2014, sebanyak 300 ribu orang
Rohingya terusir. Menurut pemerintah Myanmar, pengusiran tersebut karena adanya
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan terhadap seorang perempuan Budha pada 25
Mei 2012 di Yanbe.

Menurut Siegfried O. Wolf, seperti dirilis dw.com (31/8/2015), Pemerintah
Myanmar adalah biang kerok atas derita orang – orang Rohingya Myanmar. Orang
Rohingya tersebut dianggap saingan dalam hal sosial politik dan dianggap bukan
pendukung pemerintah yang berkuasa. Jutaan militer Myanmar dianggap secara sengaja
memelihara kebencian terhadap etnis Rohingya untuk mengalihkan sorotan publik
terhadap mereka sehingga dapat menciptakan musuh bersama. Dengan adanya gerakan
kebencian tersebut, maka rakyat Myanmar tidak akan terlalu peduli

pada desakan

demokratis yang datang baik dari dalam maupun luar negri. Untuk mendukung hal
tersebut, dibentuklah kampanye yang menjadikan etnis Rohingya seolah sebagai calon
penguasa baru sumber – sumber ekonomi sehingga penduduk “asli” Myanmar tersebut
akan kehilangan sumber kehidupan.
Menurut data terbaru dari PBB Mei lalu, lebih dari 168 ribu orang Rohingya telah
meninggalkan Myanmar sejak tahun 2012. Pada Oktober 2016, tindakan keras militer
Myanmar terhadap penduduk Rohingya memaksa sekitar 87 ribu orang Rohingya
melarikan diri ke Bangladesh. Tak hanya itu. Banyak orang Rohingya yang
mempertaruhkan nyawa mencoba pergi ke Malaysia dengan kapal melintasi Teluk
Bengala dan Laut Andaman. Antara 2012 – 2015, lebih dari 112 ribu orang melakukan
perjalanan yang menantang maut itu. PBB memperkirakan, ada sebanyak 420 ribu
pengungsi Rohingya di Asia Tenggara. Selain itu, sekitar 120 ribu pengungsi Rohingnya
di negara sendiri.
Pada 25 Agustus 2017, terjadi peristiwa pelik, serangan ke pos – posperbatasan
Rakhine yang menewaskan 77 muslim Rohingya dan 12 pasukan keamanan. Melalui

keterangan resmi yang dikeluarkan sehari sesuai ledakan, Aung San Suu Kyi, kepala
pemerintahan de jure Myanmar, mengatakan kelompok pemberontak Rohingya, Tentara
Pembebas Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army/ARSA), bertanggung
jawab atas tragedi tersebut. Aksi tersebut diabals oleh Tatmadaw (militer Myanmar),
dengan membakar habis wilayah wilayah desa di Rakhine selain memperkossa
perempuan dan membunuh anak – anak. Berdasar citra satelit Human Right Watch,
daerah yang diabakar oleh Tatmadaw lima kali lebih besar dari tahun 2016. Total korban
hingga 28 Agustus mencapai 104 orang.

Sumber :
Yoga Untoro, Peran Asean dalam penanganan pengumgsian pencari suaka yang ada di Indonesia,
Diponogoro Law Journal :
https://ejournal3.undip.ac.id/indek.php/dlr/article/download/12035/11688, vol. 5, no 3. Tahun
2016
Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, Konflik Rohingya di Balik Tameng Prinsip Nonintervensi ASEAN
Hastuti, Sri. Komnas HAM Indonesia Kedudukan dan Perannya dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia. Jurnal Hukum No. 21 Vo. 9 : 103-118

Dokumen yang terkait

WACANA KEBEBASAN PEKERJA PERS DI MEDIA TV (Studi pada kasus Luviana dalam film “DiBalik Frekuensi” karya Ucu Agustin )

0 54 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Penetapan awal bulan qamariyah perspektif masyarakat Desa Wakal: studi kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengeha, Ambon

10 140 105

Keabsahan praktik wakaf (studi kasus daerah Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran KAB.Bekasi-Jawa

1 43 117

Pengaruh sistem informasi akuntansi dan audit sistem informasi terhadap pengendalian internal :(studi kasus pada PT.Telkom, tbk)

34 203 107