Keserasian Sosial Masyarakat Majemuk Di Kelurahan Bandar Set Kecamatan Medan Tembung

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Majemuk
Kemajemukan seringkali menarik perhatian karena dikaitkan dengan masalah
konflik antar kelompok maupun disintegrasi sosial. Sebetulnya kemajemukan
memiliki dinamika dan dimensi-dimensi sosial yang lebih luas secara sosiologis dari
pada sekedar ada tidaknya konflik. Kita perlu mendalami dan memahami dinamika
sosial interaksi (aksi dan reaksi antar aktor yang bersifat tatap muka dan kasat mata)
sampai pola hubungan sosial (social relationship) yang mencakup hubungan hak dan
kewajiban serta hubungan kekuasaan antar aktor yang bersifat mendalam, kompleks
dan tidak kasat mata (hidden).
Tokoh penting yang menggambarkan tentang kemajemukan masyarakat
Hindia Belanda adalah Furnivall (1939). Ciri masyarakat Hindia Belanda pada masa
itu terdiri dari berbagai kelompok etnik yang tinggal bersama dalam suatu wilayah
namun tidak membaur dan masing-masing memiliki suatu perangkat pranata sosial
(sistem keluarga dan kekerabatan, agama, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya)
yang khas secara formal terpisah dan memenuhi kebutuhannya sendiri (self
contained) serta tidak memiliki suatu cita-cita yang sama (common social will). Di
Hindia Belanda, kelompok etnik yang secara sosial-budaya terpisah (tidak membaur)
ini hanya bertemu di pasar untuk melakukan perdagangan dan tukar menukar barang

dan jasa. Integrasi sosial dalam masyarakat yang seperti ini dikendalikan oleh suatu

22 
 

Universitas Sumatera Utara

kekuatan dominan. Hal ini tercermin dalam stratifikasi sosial masyarakat Hindia
Belanda yang terstruktur berdasarkan perbedaan rasial. Bangsa Eropa dan kulit putih
menduduki strata teratas, kemudian ras Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain)
pada posisi kelas menengah dan golongan pribumi yang terdiri dari berbagai
kelompok etnik yang beragam berada pada lapisan kelas bawah. Kondisi ini pada
masa kemerdekaan mengalami perubahan sehingga teori Furnivall tidak relevan lagi,
namun gambaran yang diberikannya tetap penting sebagai latar belakang sejarah.
Walaupun kemajemukan seperti yang digambarkan Furnivall tidak ada lagi
dalam masyarakat Indonesia saat ini, namun bangsa Indonesia tetap merupakan
masyarakat majemuk. Karena itu, kondisi kemajemukan tetap perlu untuk
diperhatikan. Schemerhon (dalam Paulus wirutomo 2012) misalnya, mengajukan
indikator untuk menggambarkan kondisi kemajemukan. Ia mengemukakan adanya 4
macam kemajemukan, yaitu kemajemukan ideologis (adanya perbedaan tentang

kepercayaan atau doctrinal beliefs), kemajemukan politis (banyaknya satuan politik
yang relatif otonom), kemajemukan kultural (banyaknya unit-unit kebudayaan yang
berbeda), dan kemajemukanstruktural (banyaknya kelas sosial dalam stratifikasi).
Jenis kemajemukan yang dikemukakan Schemerhon ini masih relevan untuk
digunakan pada masa kini.
Nasikun (2009:36) menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan
masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan
sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehinggan para
anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu

23 
 

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang
memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Karakteristik yang disebutkan Pierre L. Van den Berghe dalam Nasikun
(2009:40) merupakan sifat-sifat dari masyarakat majemuk
1) Terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok subkebudayaan

yang berbeda satu dengan yang lain.
2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga
yang bersifat nonkomplomenter.
3) Kurang mengembangkan konsensus diantar para anggota-anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4) Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain.
5) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi
6) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari kelompok
etnis yang beragam. Hubungan antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis
lainnya beragam, ada yang cukup harmonis dan ada yang sering diwarnai dengan
konflik. Menurut Abdullah (2001), pola hubungan antar etnis itu ditentukan oleh tiga
corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri.
Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan
batas-batas fisik (physical boundary) yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih
terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris
24 
 


Universitas Sumatera Utara

tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat
dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu
yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari.
Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti sub urban) yang dibuka di berbagai tempat
yang menyebabkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami
redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam
situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egaliter
(Abdullah, 2001: 38).
Perlunya pembahasan tentang kemajemukan sebagai bentuk ideologi yang
mengarah pada kesetaraan sosiokultural berangkat dari persoalan dalam masyarakat
majemuk karena seringnya terjadi gajala dimana kelompok minoritas selalu
didiskriminasi atau dianggap sebagai masyarakat “kelas dua.”Hal ini terlepas apakah
golongan minoritas tersebut didiskriminasi secara legal formal atau ilegal informal
(diskriminasi sosial budaya), seperti yang terjadi di negara Arika Selatan sebelum
direformasi atau pada zaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia.
Ada yang didiskriminasi secara sosial budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah
nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Hal

yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak ialah menempatkan hak-hak
kelompok minoritas yang semula ditempatkan sebagai “warga kelas dua” dalam
struktur sosial yang diubah posisinya menjadi masyarakat majemuk dalam
kesetaraan.

25 
 

Universitas Sumatera Utara

2.2. Integrasi Sosial
Integrasi mengandung dua pengertian, yaitu pengendalian terhadap konflik
dan penyimpangan dalam suatu sistem sosial dan membuat suatu keseluruhan atau
menyatukan unsur-unsur tertentu, khususnya dalam suatu masyarakat yang
beranekaragam atau multikultural. Sedangkan dikatakan intergrasi sosial jika
dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial
atau kemasyarakatan. Dengan bahasa sederhana bahwa integrasi sosial adalah proses
penyesuaian diantara unsur-unsur yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktural, sistem sosial
senantiasa terintegrasi diatas dua landasan berikut. Pertama, suatu masyarakat

senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota
masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua,
masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial ( cross-cutting-affiliation). Setiap konflik yang
terjadi diantara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera
dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting-loyalities) dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Para penganut konflik berpandangan bahwa suatu masyarakat terintegrasi atas
paksaan (coercion) dari suatu kelompok atau satuan sosial yang dominan terhadap
kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial yang lain. Selain itu, suatu masyarakat
dapat terintegrasi karena adanya saling ketergantungan diantara berbagai kelompok
atau satuan sosial tersebut di bidang ekonomi.

26 
 

Universitas Sumatera Utara

2.2.1. Syarat-syarat integrasi sosial
Integrasi sosial akan terbentuk di masyarakat apabila sebagian besar anggota

masyarakat tersebut memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial dari suatu
wilayah atau negara tempat mereka tinggal. Selain itu, sebagian besar masyarakat
tersebut bersepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang dibangun, termasuk
nilai-nilai, norma-norma, dan yang lebih tinggi lagi adalah pranata-pranata sosial
yang berlaku dalam masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan masyarakat
tersebut. Selain itu, karakteristik yang dibentuk sekaligus menandai batas dan corak
masyarakatnya.
Menurut William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff, syarat berhasilnya suatu
integrasi sosial adalah;
1) Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling
mengisi kebutuhan-kebutuhan satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti
kebutuhan fisik berupa sandang dan pangan serta kebutuhan sosialnya
dapat dipenuhi oleh budayanya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini
menyebabkan masyarakat perlu saling menjaga keterikatan antar satu
dengan yang lainnya.
2) Masyrakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama
mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan
dijadikan pedoman dalam berinteraksi satu dengan lainnya. Termasuk
menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya.


27 
 

Universitas Sumatera Utara

3) Norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama dan dijalankan
secara konsisten seta tidak mudah mengalami perubahan sehingga dapat
menjadi aturan baku dalam melangsungkan proses interaksi soisal.
Proses integrasi sosial di dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik
apabila

masyarakat

betul-betul

memperhatikan

faktor-faktor

sosial


yang

mempengaruhi kehidupan sosial mereka dan menentukan arah kehidupan masyarakat
menuju integrasi sosial. Faktor-faktor sosial tersebut antara lain tujuan yang ingin
dicapai bersama, sistem sosial yang mengatur tindakan mereka, dan sistem sanksi
sebagai pengontrol atas tindakan-tindakan mereka. Dan proses integrasi sosial akan
berjalan dengan baik apabila anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil
mengisi kebutuhan satu sama lain dan mencapai konsensus mengenai norma-norma
dan nilai nilai sosial yang konsisten dan tidak berubah-ubah dalam waktu yang
singkat. Sehingga anggota-anggota masyarakat selalu berada dalam keadaan stabil
dan terikat dalam integrasi kelompok.

2.2.2. Bentuk-bentuk Integrasi Sosial
2.2.2.1. Asimilasi
Asimilasi merupakan proses sosial taraf lanjut yang ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara individu atau
kelompok dalam masyarakat. Dalam proses asimilasi juga terdapat usaha-usaha untuk
mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Melalui


28 
 

Universitas Sumatera Utara

asimilasi, seseorang tidak lagi membedakan dirinya dengan anggota masyarakat yang
lainnya. Batas-batas antara kelompok akan hilang dan lebur menjadi satu kesatuan
kelompok. Jadi secara singkat, asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap
yang sama, walau kadangkala bersifat emosional dengan tujuan untuk mencapai
kesatuan (integrasi). Suatu asimilasi akan mudah terjadi apabila didorong oleh faktor
faktor sebagai berikut.
1. Toleransi antara kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sendiri
yang akan tercapai melalui suatu proses yang disebut akomodasi
2. Tiap-tiap individu dan kelompok memiliki kesempatan yang sama dalam
ekonomi, terutama dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa.
Dengan demikian akan terjadi perubahan dalam kedudukan tertentu atas
dasar kemampuan dan jasa-jasanya.
3. Diperlukan sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung
oleh masyarakat lain. Masing-masing pihak mengaku kelemahankelemahan dan kelebihan-kelebihan kebudayaan masing-masing. Hal ini

akan mendekatkan anggota masyarakat yang menjadi anggota kebudayaan
tersebut.
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di masyarakat dengan
memberikan kesempatan pada golongan minoritas untuk memperoleh
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penggunaan fasilitas umum, dan
partisipasi dalam politik.
5. Pengetahuana tentang persamaan-persamaan unsur kebudayaan yang
berlainan akan mendekatkan masyarakat pendukung kebudayaan yang
29 
 

Universitas Sumatera Utara

satu dengan yang lainnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan
prasangka-prasangka semula ( mungin) ada diantara pendukung suatu
kebudayaan tertentu.
6. Perkawinan campuran akan menyatukan dan mengurangi perbedaanperbedaan antara warga dari suatu golongan dengan golongan lain,
misalnya antara golonganminoritas dengan mayoritas.
7. Bila terdapat musuh bersama dari luar, maka proses asimilasi akan
semakin cepat sebab semakin masing-masing kelompok atau golongan
akan mencari jalan untuk bersepakat guna menghadapi musuh bersama
itu.

2.2.2.2. Akulturasi
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila
kelompok sosial dengankebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang
berbeda sehingga unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri.
Proses akulturasi sudah ada sejak dahulu dalam sejarah kebudayaan manusia,
karena manusia selalu melakukan migrasi atau adanya gerak perpindahan dari sukusuku bangsa di muka bumi. Migrasi ini akan menyebabkan pertemuan-pertemuan
antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda.
Akibatnya, setiap individu dalam kelompok-kelompok itu akan dihadapkan dengan
unsur-unsur kebudayaan yang asing baginya. Pertama kali, unsur-unsur baru yang
30 
 

Universitas Sumatera Utara

datang tidak lansung diterima atau diadaptasi begitu saja, tetapi melalui proses
pembelajaran terlebih dahulu. Setelah dilakukan penyesuaian atau adaptasi dengan
dirinya. Apabila mendatangkan manfaat lebih besar, akan diterima. Penerimaan ini
mungkin saja terjadi setelah melalui perubahan-perubahan tertentu (modifikasi)
sesuai dengan keperluan keterampilan dan penyesuaian terhadap struktur masyarakat
yang ada. Kebudayaan asing akan relatif mudah diterima apabila:
1. Tidak ada hambatan geografis, misalnya daerah bergunung yang relatif
sulit dijangkau sehingga kontak dengan masyarakat luar menjadi sukar.
2. Kebudayaan yang datang membawa manfaat yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kebudayaan lama.
3. Adanya persamaan dengan unsur-unsur kebudayaan lama
4. Adanya kesiapan pengetahuan dan keterampilan
5. Kebudayaan itu bersifat kebendaan.
Perubahan yang bersifat akulturasi dapat disebabkan sebagai akibat
directccultural transmission (transmisi kebudayaan lansung), kasus-kasus
nonstruktural seperti ekologi, demografi, (kependudukan), modifikasi
sebagai akibat pergeseran kebudayaan , dan keterlambatan kebudayaan.
Selain itu, suatu akulturasi dapat disebabkan oleh suatu reaksi terhadap
adaptasi bentuk-bentuk kehidupan tradisioanl, semuanya dapat dilihat
sebagai dinamika dalam rangka adaptasi yang selektif terhadap, tarian
sistem nilai, proses integrasi.

31 
 

Universitas Sumatera Utara

2.3. Konflik
Pengertian konflik yang paling sederhana adalah saling memukul (configere).
Tetapi definisi yang sederhana itu tentu belum memadai, karena konflik tidak saja
tampak sebagai pertentangan fisik semata. Secaran sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih atau juga kelompok yang
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya
tidak berdaya. Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu yang terlibat dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.
Soerjono soekanto menyebut konflik sebagai pertentengan atau pertikaian,
yaitu suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menantang pihak lawan disertai dengan ancaman atau kekerasan.
Senada dengan Randall Collins, konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial
sehingga dia tidak menganggap konflik itu baik atau buruk. Collins memandang
setiap orang memiliki sifat sosial (sociable) tetapi juga mudah berkonflik dalam
hubungan sosial mereka. Konflik bisa terjadi dalam hubungan sosial karena
penggunaan kekerasan oleh seseorang atau banyak orang dalam lingkungan
pergaulannya. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan
mungkin terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
32 
 

Universitas Sumatera Utara

Keragaman sosiokultural di dalam suatu bangsa atau negara memiliki
intensitas konflik yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara struktur
sosialnya bersifat homogen. Heterogenitas suatu bangsa sering kali menimbulkan
konflik antar suku, agama, ras, dan antar golongan yang sering diistilahkan konflik
SARA. Selain itu, gejala diferensiasi sosial (penggolongan sosial) jika tidak ditangani
secara bijak akan menimbulkan kerawanan konflik sosial. Akan tetapi, disisi lain
keanekaragaman sosiokultural suatu bangsa juga bisa menjadi kekayaan khazanah
budaya bangsa yang akan menjujung tinggi bangsa di percaturan internasional,
sehingga keanekaragaman sosial budaya berdampak pada keuntungan ekonomis jika
dikelola dengan baik.

2.3.1. Faktor-faktor penyebab suatu konflik sosial
2.3.1.1. Perbedaan individu
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata in dapat menjadi
faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial seseorang
tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

2.3.1.2. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Manusia dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam lingkup yang lebih luas, masing-masing kelompok kebudayaan memiliki nilai-

33 
 

Universitas Sumatera Utara

nilai dan norma-norma sosial yang berbeda ukurannya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Perbedaan inilah yang mendatangkan konflik sosial sebab
kriteria tentang baik buruk, sopan tidaknya, pantas tidaknya, bahkan berguna atau
tidaknya, baik itu benda fisik maupun nonfisik berbeda-beda menurut pola pemikiran
masing-masing yang didasarkan pada latar belakang kebudayaan masing-masing.

2.3.1.3. Perbedaan kepentingan
Manusia memiliki perasaan, pendirian, maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda, oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda pula. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda.

2.3.1.4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak akan menyebabkan konflik sosial.
Misalnya pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai
masyarakat industri.

2.4. Hubungan Antar Kelompok
Hubungan antarkelompok mempunyai berbagai kriteria yang diklasifikasikan
oleh Kinloch. Kriteria pertama yang disebutkan Kinloch terdiri atas ciri fifologis yang
34 
 

Universitas Sumatera Utara

pengelompokannya berdasarkan persamaan jenis kelamin, usia, dan ras. Kriteria
kedua adalah kebudayaan, mencakup kelompok etnik seperti Minang, Aceh, Ambon,
Batak, dan lain-lain. Kriteria ketiga adalah ekonomi, dimana perbedaan terletak
antara mereka yang tidak mempunyai kekuasaan ekonomi dengan mereka yang
punya. Kriteria keempat adalah perilaku, dijumpai pengelompokan berdasarkan cacat
fisik, cacat mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat.
Isu tentang hubungan antar kelompok etnik masih menjadi isu penting
terutama pada masa reformasi ini. Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnik
dipandang memiliki hubungan erat dengan masalah-masalah pembangunan
masyarakat Indonesia. Kecenderungan ini memang tidak saja terjadi dalam konteks
masyarakat Indonesia, namun telah menjadi kecenderungan pada masyarakat dunia.
Namun perlu diingat tidak semua hubungan antar kelompok etnik mengarah
pada konflik. Keberagaman kelompok etnik dan perbedaan budaya yang ada dalam
suatu masyarakat juga dapat menghasilkan hubungan kerja sama, bahkan pembauran
antar kelompok etnik dalam interaksi sehari-hari secara alamiah. Perjuangan melawan
kolonialisme yang terjadi di bumi nusantara merupakan salah satu bukti berbagai
kelompok etnik dapat bersatu dengan tujuan yang sama. Dalam konteks sehari-hari,
kita juga dapat merasakan perbedaan budaya dan keberagaman kelompok etnik tidak
serta merta menjadi halangan dalam berinteraksi. Hal itu justru merupakan potensi
masyarakat

yang

secara

positif

dapat

dikembangkan

sebagai

unsur-unsur

pembentukan identitas masyarakat Indonesia.

35 
 

Universitas Sumatera Utara