Ekspresi Identitas Etnis Melalui Asosiasi Etnis” (Studi kasus organisasi “HIKMA” di Kelurahan Bandar Set , Kecamatan Medan Tembung)

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksionisme Simbolik Dalam Perspektif Mead

Para ilmuwan yang punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Tetapi George Herbert Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori ini. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan ketika ia menjadi Professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasannya berkembang pesat setelah mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interakasionisme simbolik. Penyebaran teori Mead juga melalui interpretasi dan tulisan esai yang dilakukan para mahasiswanya terutama Herbert Blumer. Blumer-lah yang menciptakan istilah interaksionisme simbolik pada tahun 1937 (Goodman, 2003).

Pikiran atau kesadaran muncul dalam proses tindakan. Namun demikian, individu-individu tidak bertindak sebagai organisme yang terasing. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka saling berhubungan dan saling tergantung. Proses komunikasi dan interaksi di mana individu saling mempengaruhi, saling menyesuaikan diri, atau di mana tindakan-tindakan individu saling cocok. Dalam


(2)

pandangan Mead, kelompok idealis dan behaviorisme mengabaikan dimensi sosial ini. Tidak seperti kelompok behavioris, Mead berpendapat bahwa adaptasi individu terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi, yang berlawanan dengan hanya sekedar respon yang bersifat refleksif dari organisme itu terhadap rangsangan dari lingkungan. Dengan alasan ini, Mead berpendapat bahwa posisinya adalah sebagai behaviorisme sosial (Johnson, 1986).

Dalam hal ini setiap identitas individu senantiasa mengalami perubahan karena mereka saling berinteraksi dan saling menyesuaikan diri dengan individu lainnya, sehingga identitas yang telah ada dalam diri seseorang tidak menutup kemungkinan mengalami perubahan. Sesuai dengan pendapat Mead adaptasi individu terhadap dunia luar sesuai interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pada hakikatnya individu mengartikan lingkungan dan dirinya sendiri berkaitan dengan masyarakatnya. Setiap individu yang tinggal di suatu lingkungan masing-masing mempunyai simbol ataupun latar belakang yang berbeda, sehingga menyebabkan adanya perbedaan identitas yang ada dalam diri individunya. Kemudian akhirnya membutuhkan adaptasi individu dengan lingkungan luar ataupun di luar dirinya sendiri.

Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung dengan diri sendiri melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.

Menurut Mead, individu merupakan makhluk yang sensitif, aktif, keberadaan sosialnya memberikan bentuk lingkungannya secara efektif


(3)

sebagaimana lingkungan itu mengkondisikan kesensitifan dan tindakannya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan budak masyarakat. “dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuk individu” (Juhanda, 1995).

Dari perspektif interaksionisme simbolik individu bersifat aktif, reflektif, kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Setiap individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Esensi teori ini adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Interaksionisme simbolik menitikberatkan pada peristiwa mikro dalam kejadian keseharian, yaitu mengadakan terhadap peristiwa interaksi pemahaman yang melibatkan objek dan kejadian yang sedang berlangsung keseharian maupun berlangsung di dalam proses interaksi (Agus Salim : 268).

Dalam teori Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:


(4)

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman, Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.

7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.

Interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis berikut ini yaitu: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik

Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

2. Makna adalah produk interaksi sosial

Karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.


(5)

3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

Dalam hal ini suatu lingkungan sosial yaitu tempat tinggal menunjukkan adanya simbol-simbol tersendiri yang menyebabkan masyarakat yang tinggal diluar lingkungan bisa menginterpretasi melalui simbol-simbol yang ada. Misalnya Kelurahan Bandar Selamat dapat di interpretasi bahwa lingkungan tersebut adalah lingkungan mandailing dengan berbagai simbol identitas masyarakatnya. Identitas yang telah tertanam bagi setiap individu yang tinggal di daerah ini tercermin adanya identitas etnis yang menggambarkan mereka adalah berasal dari etnis Mandailing. Simbol-simbol ataupun identitas dapat berubah dari waktu ke waktu karena hal tersebut merupakan produk proses sosial yang tanamkan melalui sosialisasi. Sehingga perlu adanya strategi untuk mempertahankan identitas etnis yang telah tertanam bagi masyarakat yang tinggal di daerah perantauan. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu membentuk sebuah asosiasi yang berbasis etnis untuk mengekspresikan identitas etnis lewat berbagai media dan simbol-simbol kehidupan budaya. Pengungkapan identitas ini sering dilakukan secara aktif dan sadar seperti memakai pakaian adat, bahasa daerah, marga.

2.2 Kelompok Sosial, Asosiasi dan Institusi dalam Masyarakat

Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama dalam kurun waktu tertentu. Di dalam kehidupan masyarakat membutuhkan orang lain sehingga menimbulkan suatu hal yang disebut interaksi sosial. Kelompok sosial terjadi karena adanya interaksi dan persamaan ciri dalam kelompok itu.


(6)

Berdasarkan teori dalam masyarakat Gemeinschaft menurut Ferdinand Tonnies adalah sebagai berikut:

Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana antar anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang sifatnya alamiah dan kekal. Dasar hubungannya, yaitu rasa cinta dan persatuan batin yang nyata dan organis” (Narwoko, 2010).

Pada penelitian ini terkait Gemeinschaft yaitu Gemeinschaft of place yaitu paguyuban berdasarkan tempat tinggal dan Gemeinschaft by blood yaitu paguyuban berdasarkan ikatan darah atau keturunan contohnya keluarga, kelompok kekerabatan, masyarakat perantauan. Masing-masing kelompok sosial terbentuk ketika masing-masing individu di dalamnya memiliki persamaan karena berada di satu tempat tinggal yang sama ataupun satu keturunan (Syamsudi, 2012).

Setiap kelompok sosial telah mengembangkan pola-pola interaksi yang baik, sehingga dapat menjamin ketertiban interaksi sesama warga. Permasalahan muncul ketika individu-individu tersebut bertemu dengan individu dari kelompok lain yang mempunyai identitas berbeda dengan dirinya.

Kelompok sosial terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri, yang kemudian membentuk pola tersendiri dalam hubungan interaksi sesamanya. Dalam hal ini sebuah kelompok sosial yang dibentuk berdasarkan etnis sehingga membentuk sebuah kelompok etnis (Barth, 1969). Kelompok etnis ini dikenal sebagai suatu populasi yang :

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya


(7)

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Ditinjau dari segi sosial, kelompok etnis dapat dipandang sebagai suatu tatanan sosial. Dari defenisi kelompok etnis di atas yaitu menentukan ciri khasnya sendiri yang dapat dilihat oleh kelompok lain.

“Ciri asal yang bersifat kategoris (Categorical ascription) adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok etnik mana, dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal-usulnya. Kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial terbentuk bila seseorang menggunakan menggunakan identitas etnis dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi” (Barth, 1969).

Dalam pengkategorian seseorang menggunakan identitas etnis perlu dipertimbangkan perbedaan ciri ataupun tanda dan nilai- nilai dasar yang dimilikinya. Tanda atau gejala yang tampak yaitu bentuk budaya yang bersifat membedakan yang biasanya digunakan untuk menentukan identitas seseorang misalnya pakaian, bahasa, dan gaya hidup secara umum. Nilai-nilai dasar misalnya standar moral yang digunakan untuk menilai perilaku seseorang. Dengan masuknya seseorang ke dalam suatu kelompok etnik, ia akan menjadi seseorang dengan identitas dasar tertentu dan ini berarti ia akan dinilai dan menilai dirinya sendiri berdasarkan standar yang relevan dengan identitas dasar tersebut.

Pada dasarnya, kelompok etnik mengacu pada kelompok dengan kesamaan keturunan, sejarah dan identitas budaya seperti kesamaan tradisi, nilai, bahasa, pola perilaku masyarakatnya (Wirutomo, 2012). Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang didudukinya, berbagai cara digunakan untuk mempertahankan kelompok dan identitasnya dengan adanya pengukuhan yang


(8)

terus menerus. Kelompok etnik sebagai suatu populasi yang mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

Kelompok sosial dalam masyarakat adalah kelompok terkecil yang ada dalam kehidupan masyarakat, sehingga diatas kelompok sosial ataupun tingkat selanjutnya yaitu Asosiasi. Asosiasi merupakan sebuah ikatan ataupun organisasi yang terbentuk atas persekutuan antara dua orang atau lebih yang menunjukkan adanya interaksi ataupun hubungan orang perorangan secara formal dan informal.

Dalam hal ini asosiasi yaang terbentuk seperti organisasi sosial yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan yaitu mempererat silaturahmi dan mempertahankan identitas etnis baik tradisi dan adat istiadat yang sudah ada agar tetap lestari. Sehingga untuk mempertahankan identitas etnisnya mereka membentuk suatu organisasi sosial yang berupa ikatan berdasarkan etnis yang dimiliki, seperti ikatan yang dibentuk oleh masyarakat Mandailing di daerah perantauan yaitu berdasarkan nama marga dan nama kampung halaman ataupun daerah asal. Contoh parsadaan magadolok, persatuan keluarga batubara, Ikatan Kelurga Batahan Sekitar (IKKBS), Ikatan Marga Nasution (IKANAS). Dalam hal ini pembentukan asosiasi atau organisasi yang berbasis etnis sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan identitas etnis yang dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan identitas etnis.

Asosiasi-asosiasi yang telah terbentuk dalam masyarakat baik berdasarkan marga, asal daerah, dan nama kampung halaman terhimpun dalam sebuah institusi. Institusi sebuah lembaga sosial yang terbesar dalam kehidupan masyarakat. Institusi sebagai suatu jaringan prose-proses hubungan antar manusia


(9)

dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubugan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.

Dalam penelitian ini institusi yang akan difokuskan yaitu HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) yang dibentuk masyarakat Mandailing khususnya masyarakat yang tinggal di perantauan. HIKMA sebagai lembaga sosial masyarakat yang tebesar diantara perkumpulan-perkumpulan masyarakat Mandailing. Sehingga memiliki misi untuk menhimpun semua perkumpulan-perkumpulan Mandailing yang telah terbentuk dalam masyrakat baik berdasarkan marga, asal daerah dan nama kampung halaman menyatu menjadi satu yaitu Himpunan Keluarga Besar Mandailing. Sehingga masyarakat Mandailing tidak terpecah-pecah, namun bersatu dalam sebuah wadah institusi berbasi etnis yaitu HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing).

Sesuai dengan salah satu tugas HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) yaitu menghimpun keluarga besar Mandailing untuk bersatu dalam rangka melestarikan adat budaya serta mengangkat harkat martabat keluarganya yaitu keluarga besar Mandailing.

2.3 Identitas Etnis

Identitas atau konsep diri didefenisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan tentang dirinya sendiri sebagai objek. Identitas menyangkut seluruh aspek sosial dan budaya, jadi identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial yang dibentuk berdasarkan proses sosialisasi. Singkatnya identitas adalah tentang diri dan sosial, tentang diri kita dan tentang relasi kita dengan orang lain. Identitas


(10)

bukanlah suatu hal yang paten yang kita miliki, melainkan suatu proses yang merupakan hasil dari proses sosial. Dan identitas sebagai produk sosial. Diri (self)

akan mempengaruhi masyarakat melalui perilaku secara individual yang dengan demikian membentuk berbagai kelompok, organisasi, jaringan dan institusi. Menggunakan ide-ide dari interaksionis simbolik dari Geroge Herbert Mead, Jenkins (dalam Anggraheni, 2009) berargumen bahwa identitas terbentuk melalui proses sosialisasi. Melalui proses ini orang belajar untuk membedakan persamaan dan perbedaan signifikan secara sosial antara mereka dengan orang lain. Identitas seseorang selalu dibentuk dalam hubungan dengan orang lain (Anggraheni, 2009).

Dengan menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, suatu fenomena dalam lingkungan sosial akan lebih mudah dipahami melalui defenisi individu atau interpretsi diri sendiri, orang lain dan bahkan situasi melalui identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada lingkungannya, untuk memahami mengapa melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri.

Istilah etnis berasal dari bahasa yunani kuno, ethos yang berarti sejumlah orang berbeda yang tinggal dan bertindak bersama-sama. Identitas etnis merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis (Lubis, 2012). Hal ini menyangkut beberapa dimensi yaitu:

1. Identifikasi diri sendiri

2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebisaan, nilai dan perilaku) 3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etnis tertentu


(11)

Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok. Setiap suku masing-masing memiliki identitas yang berbeda dan kategori kesukuan (etnisitas) sebagai klasifikasi orang-orang dalam konteks identitas umum yang paling dasar (basic most general identity),

yang ditentukan oleh asal dan latar belakang orang itu. Simbol ataupun atribut penting yang pada dasarnya mengidentifikasi etnisitas adalah faktor-faktor primordial seperti bahasa daerah, adat istiadat, nilai-nilai simbolik, agama dan teritorial. Setiap etnis memiliki identitas umum yang paling dasar yang membentuk kesamaan antara orang-orang dalam satu etnis tersebut.

Identitas umum tersebut juga membentuk perbedaan dengan orang-orang di luar etnisnya dan identitas tersebut terlihat sehingga menciptakan sesuatu yang khas dan unik. Identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam, artinya identitas bukanlah suatu hal yang statis, namun pada suatu saat bisa berubah. Sama halnya dengan identitas etnis yang bisa saja mengalami perubahan. Sehingga perlu adanya penguatan kelompok dalam mempertahankan identitas etnis, khususnya masyarakat Mandailing perantauan yang tinggal di Kelurahan Bandar Selamat Kecamatan Medan Tembung.

Setiap etnis memberi identitas kepada sekelompok orang tertentu sehingga mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masing-masing etnis tersebut paling tidak mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing etnis tersebut antara lain sebagai berikut:


(12)

yaitu adanya penggunaan bahasa yang mempunyai aksara tersendiri dari masing-masing etnis.

2. Pakaian dan penampilan

Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda-beda.

3. Makanan

Dalam hal ini termasuk kebiasaan makan, cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya.

4. Waktu dan kesadaran akan waktu

Kesadaran akan waktu berbeda antara etnis yang satu dengan yang lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu.

5. Penghargaan dan pengakuan

Ini merupakan salah satu cara untuk mengamati suatu etnis dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan keberanian.

6. Hubungan-hubungan manusia dan organisasi

Hubungan-hubungan ini mengatur hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekuasaan dan kebijaksanaan


(13)

Berdasarkan suatu sistem nilai yang dianutnya, suatu kelompok etnis menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kepatuhan, atau kebolehan bagi anak-anak.

8. Rasa diri dan ruang kenyamanan yang dimiliki seseorang

Identitas yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh kelompok etnis masing-masing. Beberapa kelompok etnis sangat terstruktur dan formal, sementara kelompok etnis lainnya lebih informal, dan beberapa kelompok etnis sangat tertutup tetapi ada juga budaya yang lebih terbuka dan berubah

9. Proses mental dan belajar

Beberapa etnis menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berfikir dan belajar.

2.4 Strategi Penguatan Identitas Etnis

Setiap etnis yang merantau ke Kota Medan mempunyai kecenderungan untuk mempertahanakan identitasnya seperti dalam penggunaan bahasa daerah apabila berjumpa dengan kelompok etnisnya (Lubis 2012 : 16). Jadi Setiap kelompok etnis membutuhkan usaha untuk mempertahankan identitas etnisnya lewat berbagai media dan simbol-simbol budaya. Identitas etnik tetap dilestarikan seperti penggunaan bahasa daerah ketika berjumpa dengan yang satu etnis dengan dia atau penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari, tetap memakai


(14)

adat istiadatnya di perantauan. Salah satu organisasi etnis yang ada di Kota Medan adalah organisasi Aceh Sepakat dari etnis Aceh.

Dalam penguatan identitas etnis terdapat beberapa strategi yang bisa digunakan untuk dapat mempertahankan identitas etnis di perantauan yaitu :

1. Strategi sosial budaya

Strategi sosial budaya merupakan sebuah cara ataupun usaha dalam mempertahankan identitas etnis melaui aspek sosial dan budaya masyarakat Mandailing perantauan. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gerak migrasi yang telah mempertemukan berbagai kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga terjadi pengenalan mereka dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Sehingga perlu adanya strategi sosial budaya dalam mempertahankan identitas etnis di perantauan. Budaya asal yang tebawa ke Kota Medan menyebabkan dibentuknya kelompok-kelompok sosial atau asosiasi baik itu berdasarkan marga, asal daerah untuk melestarikan budaya asalnya. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara adat seperti siluluton ( upacara duka cita) dan

siriaon (upacara suka cita), prosesi pernikahan adat. Selain budaya terlihat juga dalam hal sosial yaitu upaya memberi pekerjaan bagi migran asal yang masih menganggur di perantauan (Dlt, 2007).

Usman Pelly dalam bukunya yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minagkabau dan Mandailing (1994)

berpendapat bahwa masyarakat yang tinggal di perantauan sangat dipengaruhi oleh suatu “misi budaya” untuk mempertahankan identitas


(15)

etnik dan mengadaptasikan masing-masing budaya tersebut kepada tuntutan-tuntutan lingkungan perkotaan (Armanda, 2007). Penelitian Pelly (1980) dalam Jessica (2012) menunjukkan bahwa “misi budaya” mempengaruhi pekerjaan dan letak permukiman perantau Etnis Mandailing. Misi budaya yang dimaksud adalah adanya seperangkat tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh para perantau. Sebagai contoh etnis Mandailing memiliki misi “membangun kerajaan”, yakni menguasai daerah yang didatanginya sehingga lebih memilih pekerjaan di bidang pemerintahan dan kepegawaian. Maka dengan strategi ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk dapat mempertahankan identitas etnis misalnya dalam hal pekerjaan, pendidikan, tetap menggunakan marga di perantauan, penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan di perantauan dan pelestarian adat budaya Mandailing.

Selain hal tersebut strategi sosial budaya menyangkut nilai-nilai sosial budaya. Karena setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan. ketentutan-ketentuan tersebut didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya sudah menjadi jiwa dari masyarakat tersebut.

Demikian juga halnya dengan Masyarakat Mandailing mempunyai nilai-nilai yang sudah melekat dalam dirinya. Nilai-nilai sosial sebagai falsafah hidup masyarakat Mandailing yang dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat yang sudah ada dalam surat tumbaga holing na so ra sasa yaitu salah satu buku pedoman yang bernama tumbaga holing


(16)

yang tidak pernah hapus yaitu tidak dapat dilihat mata tapi telah tertanam dalam hati artinya tidak tertulis tetapi sudah tertanam dalam jiwa dan kita tetap bisa membacanya. Dalam buku ini termasuk di dalamnya adat istiadat, budaya Etnis Mandailing, nilai sosial seperti poda na lima, Huruf

Tulak-tulak atau aksara Mandailing, dan Dalihan na tolu. 2. Strategi politik

Di masa modern ini hampir dapat dipastikan bahwa tak seorang pun dapat melepaskan diri dari pengaruh politik. Sehingga pertama kali mereka yang kurang berkemampuan mengikatkan diri di dalam kelompok ataupun organisasi (Sanit, 1985). Dalam hal ini ada organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial-ekonomi dan ada pula yang mengkhususkan diri dalam kegiatan politik, dan ada pula kedua kegiatan tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam mengeekspresikan identitas etnis memerlukan sebuah wadah sebagai tempat yang bisa mengatur dan menghimpun masyarakat untuk bisa bersatu.

Dalam penelitian ini peneliti akan melihat organisasi etnis yang ada di Kelurahan Bandar Selamat yaitu Himpunan Keluarga Besar Mandailing (HIKMA). HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) merupakan lembaga yang menghimpun keluarga besar Mandailing, sehingga HIKMA bukan organisasi parsadaan (persatuan) baik marga, asal daerah dan lainnya. Tetapi HIKMA adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis etnis.

Pada penelitian ini Strategi Politik merupakan cara atau usaha yang dilakukan kelompok etnis untuk mempertahankan identitas etnis melalui


(17)

aspek politik. Dalam hal ini bergabung dengan partai politik atau masuk sebagai anggota politik. Di Kota Medan Etnis Mandailing umumnya mendominasi instansi-instansi pemerintahan. Dengan adanya dominasi ini menyebabkan adanya pengakuan dalam seluruh lingkungan pluralis. Sehingga strategi ini menjadi salah satu cara untuk dapat mempertahankan identitasnya. Identitas etnis memainkan peranan penting dalam perpolitikan. Institusi, aktor, dan budaya lokal juga memainkan peran di dalam politik (Klinken, 2007). Sebagai contoh strategi politik ini bisa digunakan yaitu membawa identitas sebagai pendekatan saat kampanye di tengah-tengah pluralitas seperti Kota Medan. Mereka lebih menekankan pada pendekatan kekerabatan, kemargaan dan sejarah keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Ahmad Hidayah Dlt 2007 yang berjudul “Faktor Ekonomi dan Keinginan Berprestasi Masyarakat Padang Lawas Berimigrasi ke Kota Medan” menunjukkan bahwa Meskipun masyarakat Tapanuli Selatan berada di Kota Medan mereka tetap mempertahankan identitas etnis dan budaya asal masih tetap dilestarikan pada masyarakatnya di perantauan. Meskipun mereka telah lama menetap, akan tetapi hubungan kekerabatan mereka masih dijaga dengan baik. mereka senantiasa mendahulukan kelompok kekerabatan mereka, inilah yang menyebabkan mengapa mereka (para migran) selalu berjuang untuk menduduki posisi penting di pemerintahan, BUMN, maupun perusahaan Swasta lainnya. Karena dengan upaya-upaya itu mereka yang telah menetap (migran permanent) dapat membantu dengan memberikan kesempatan bagi kerabat mereka yang masih menganggur untuk


(18)

mendapatkan pekerjaan. Ini meruapakan salah satu strategi politik yang digunakan Etnis Mandailing sehingga walaupun status mereka hanya pendatang tapi mereka bisa menonjol di instansi-instansi pemerintahan Kota Medan.

Dalam masyarakat Toba terdapat konsep politik yang dijadikan sebagai pedoman ataupun cita-cita hidup dalam masyarakat yaitu

hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), hagabeon (anak atau keturunan). Konsep ini digunakan sebagai inspirasi untuk keberhasilan masing-masing masyarakatnya.

Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis konsep-konsep yang terdapat pada masyarakat Mandailing yaitu terdapat 9 nilai utama seperti Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hamajuon, Hasangapon, Hamaraon, Uhum, Pengayoman dan kelola konflik. Dengan adanya konsep tersebut dijadikan sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat Mandailing.


(1)

Berdasarkan suatu sistem nilai yang dianutnya, suatu kelompok etnis menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kepatuhan, atau kebolehan bagi anak-anak.

8. Rasa diri dan ruang kenyamanan yang dimiliki seseorang

Identitas yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh kelompok etnis masing-masing. Beberapa kelompok etnis sangat terstruktur dan formal, sementara kelompok etnis lainnya lebih informal, dan beberapa kelompok etnis sangat tertutup tetapi ada juga budaya yang lebih terbuka dan berubah

9. Proses mental dan belajar

Beberapa etnis menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berfikir dan belajar.

2.4 Strategi Penguatan Identitas Etnis

Setiap etnis yang merantau ke Kota Medan mempunyai kecenderungan untuk mempertahanakan identitasnya seperti dalam penggunaan bahasa daerah apabila berjumpa dengan kelompok etnisnya (Lubis 2012 : 16). Jadi Setiap kelompok etnis membutuhkan usaha untuk mempertahankan identitas etnisnya lewat berbagai media dan simbol-simbol budaya. Identitas etnik tetap dilestarikan seperti penggunaan bahasa daerah ketika berjumpa dengan yang satu etnis dengan dia atau penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari, tetap memakai


(2)

adat istiadatnya di perantauan. Salah satu organisasi etnis yang ada di Kota Medan adalah organisasi Aceh Sepakat dari etnis Aceh.

Dalam penguatan identitas etnis terdapat beberapa strategi yang bisa digunakan untuk dapat mempertahankan identitas etnis di perantauan yaitu :

1. Strategi sosial budaya

Strategi sosial budaya merupakan sebuah cara ataupun usaha dalam mempertahankan identitas etnis melaui aspek sosial dan budaya masyarakat Mandailing perantauan. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gerak migrasi yang telah mempertemukan berbagai kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga terjadi pengenalan mereka dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Sehingga perlu adanya strategi sosial budaya dalam mempertahankan identitas etnis di perantauan. Budaya asal yang tebawa ke Kota Medan menyebabkan dibentuknya kelompok-kelompok sosial atau asosiasi baik itu berdasarkan marga, asal daerah untuk melestarikan budaya asalnya. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara adat seperti siluluton ( upacara duka cita) dan siriaon (upacara suka cita), prosesi pernikahan adat. Selain budaya terlihat juga dalam hal sosial yaitu upaya memberi pekerjaan bagi migran asal yang masih menganggur di perantauan (Dlt, 2007).

Usman Pelly dalam bukunya yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minagkabau dan Mandailing (1994) berpendapat bahwa masyarakat yang tinggal di perantauan sangat dipengaruhi oleh suatu “misi budaya” untuk mempertahankan identitas


(3)

etnik dan mengadaptasikan masing-masing budaya tersebut kepada tuntutan-tuntutan lingkungan perkotaan (Armanda, 2007). Penelitian Pelly

(1980) dalam Jessica (2012) menunjukkan bahwa “misi budaya”

mempengaruhi pekerjaan dan letak permukiman perantau Etnis Mandailing. Misi budaya yang dimaksud adalah adanya seperangkat tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh para perantau. Sebagai contoh

etnis Mandailing memiliki misi “membangun kerajaan”, yakni menguasai

daerah yang didatanginya sehingga lebih memilih pekerjaan di bidang pemerintahan dan kepegawaian. Maka dengan strategi ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk dapat mempertahankan identitas etnis misalnya dalam hal pekerjaan, pendidikan, tetap menggunakan marga di perantauan, penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan di perantauan dan pelestarian adat budaya Mandailing.

Selain hal tersebut strategi sosial budaya menyangkut nilai-nilai sosial budaya. Karena setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan. ketentutan-ketentuan tersebut didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai sosial budaya sudah menjadi jiwa dari masyarakat tersebut.

Demikian juga halnya dengan Masyarakat Mandailing mempunyai nilai-nilai yang sudah melekat dalam dirinya. Nilai-nilai sosial sebagai falsafah hidup masyarakat Mandailing yang dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat yang sudah ada dalam surat tumbaga holing na so ra sasa yaitu salah satu buku pedoman yang bernama tumbaga holing


(4)

yang tidak pernah hapus yaitu tidak dapat dilihat mata tapi telah tertanam dalam hati artinya tidak tertulis tetapi sudah tertanam dalam jiwa dan kita tetap bisa membacanya. Dalam buku ini termasuk di dalamnya adat istiadat, budaya Etnis Mandailing, nilai sosial seperti poda na lima, Huruf Tulak-tulak atau aksara Mandailing, dan Dalihan na tolu.

2. Strategi politik

Di masa modern ini hampir dapat dipastikan bahwa tak seorang pun dapat melepaskan diri dari pengaruh politik. Sehingga pertama kali mereka yang kurang berkemampuan mengikatkan diri di dalam kelompok ataupun organisasi (Sanit, 1985). Dalam hal ini ada organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial-ekonomi dan ada pula yang mengkhususkan diri dalam kegiatan politik, dan ada pula kedua kegiatan tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam mengeekspresikan identitas etnis memerlukan sebuah wadah sebagai tempat yang bisa mengatur dan menghimpun masyarakat untuk bisa bersatu.

Dalam penelitian ini peneliti akan melihat organisasi etnis yang ada di Kelurahan Bandar Selamat yaitu Himpunan Keluarga Besar Mandailing (HIKMA). HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) merupakan lembaga yang menghimpun keluarga besar Mandailing, sehingga HIKMA bukan organisasi parsadaan (persatuan) baik marga, asal daerah dan lainnya. Tetapi HIKMA adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis etnis.

Pada penelitian ini Strategi Politik merupakan cara atau usaha yang dilakukan kelompok etnis untuk mempertahankan identitas etnis melalui


(5)

aspek politik. Dalam hal ini bergabung dengan partai politik atau masuk sebagai anggota politik. Di Kota Medan Etnis Mandailing umumnya mendominasi instansi-instansi pemerintahan. Dengan adanya dominasi ini menyebabkan adanya pengakuan dalam seluruh lingkungan pluralis. Sehingga strategi ini menjadi salah satu cara untuk dapat mempertahankan identitasnya. Identitas etnis memainkan peranan penting dalam perpolitikan. Institusi, aktor, dan budaya lokal juga memainkan peran di dalam politik (Klinken, 2007). Sebagai contoh strategi politik ini bisa digunakan yaitu membawa identitas sebagai pendekatan saat kampanye di tengah-tengah pluralitas seperti Kota Medan. Mereka lebih menekankan pada pendekatan kekerabatan, kemargaan dan sejarah keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Ahmad Hidayah Dlt 2007 yang berjudul “Faktor Ekonomi dan Keinginan Berprestasi Masyarakat Padang Lawas Berimigrasi ke Kota Medan” menunjukkan bahwa Meskipun masyarakat Tapanuli Selatan berada di Kota Medan mereka tetap mempertahankan identitas etnis dan budaya asal masih tetap dilestarikan pada masyarakatnya di perantauan. Meskipun mereka telah lama menetap, akan tetapi hubungan kekerabatan mereka masih dijaga dengan baik. mereka senantiasa mendahulukan kelompok kekerabatan mereka, inilah yang menyebabkan mengapa mereka (para migran) selalu berjuang untuk menduduki posisi penting di pemerintahan, BUMN, maupun perusahaan Swasta lainnya. Karena dengan upaya-upaya itu mereka yang telah menetap (migran permanent) dapat membantu dengan memberikan kesempatan bagi kerabat mereka yang masih menganggur untuk


(6)

mendapatkan pekerjaan. Ini meruapakan salah satu strategi politik yang digunakan Etnis Mandailing sehingga walaupun status mereka hanya pendatang tapi mereka bisa menonjol di instansi-instansi pemerintahan Kota Medan.

Dalam masyarakat Toba terdapat konsep politik yang dijadikan sebagai pedoman ataupun cita-cita hidup dalam masyarakat yaitu hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), hagabeon (anak atau keturunan). Konsep ini digunakan sebagai inspirasi untuk keberhasilan masing-masing masyarakatnya.

Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis konsep-konsep yang terdapat pada masyarakat Mandailing yaitu terdapat 9 nilai utama seperti Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hamajuon, Hasangapon, Hamaraon, Uhum, Pengayoman dan kelola konflik. Dengan adanya konsep tersebut dijadikan sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat Mandailing.