Sistem Pertanian Konservasi Di Sub Das Krueng Sieumpo Aceh

1

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kerusakan

sumberdaya

lahanpertanian

akibat

erosi

merupakan

permasalahan utama pada sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia.
Kerusakan sumberdaya lahan ini telahmenyebabkan kemunduran sifat fisika dan
kimia tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, meningkatnya

kepadatan tanah, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan
air. Kondisi ini akan menyebabkan menurunnya produktivitas tanah yang pada
gilirannya menyebabkan lahan kritis, rusaknya fungsi hidrologis DAS yang
ditandai dengan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, sampai dengan tahun 2008
terdapat 60 daerah aliran sungai berada dalam kondisi sangat kritis dari 460
daerah aliran sungai yang ada di Indonesia. Sub DAS Krueng Sieumpo
merupakan salah satu Sub DAS dari DAS Peusangan yang terdapat di Provinsi
Acehyangdikategorikan kritis prioritas I untuk segera ditangani (Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 284/1999 dan SK Menhut 2010) (Fitri,
2010). Luas Sub DAS Krueng Sieumpo adalah31.290 ha,hulunya berada di
pegunungan Kabupaten Bener Meriah dan bermuara ke Selat Malaka.
Tanaman pangan (padi dan palawija) dan perkebunan (kakao, pinang dan
kelapa sawit) merupakan komoditas unggulan di wilayah DAS Krueng Sieumpo
dan Provinsi Aceh umumnya. Luas tanam tanaman pangan di wilayah DAS
Krueng Sieumpo mencapai 1.879 ha, sedangkan untuk tanaman kelapa sawit

2


mencapai 4.372 ha dan kakao seluas 4.600 ha (BKPM, 2012). Budidaya tanaman
ini dikembangkan di lahan tegalan, sawah irigasi dan tadah hujan, dan area
perkebunan baik milik swasta maupun rakyat. Bahkan dalam kurun waktu 10
tahun terakhir pengembangan tanaman kelapa sawit telah mulai merambah ke
wilayah hutan.Sumberdaya lahan di sub DAS Krueng Sieumpo harus dikelola
dengan tepat karena sebagian adalah lahan marginal, baik dari segi kesuburan
tanah, kedalaman efektif, kemiringan lereng, keberadaan tutupan lahan maupun
sosial ekonomi masyarakat.
Dilihat dari penggunaan lahan, masyarakat setempat masih menggunakan
lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya.
Pengelolaan lahan tersebut tidak menerapkan teknik konservasi, baik dari segi
pola tanam maupun cara bertaninya. Budidaya tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit, pinang dan kakao lebih dominan tersebar pada lahan dengan kemiringan
lereng antara 9 – 45 %, sedangkan tanaman pangan tersebar pada lahan dengan
kemiringan lereng 3 – 15 % dengan pola tanam sejajar arah lereng. Perilaku
masyarakat dalam mengelola lahan pertanian disebabkan belum memadainya
pengetahuan tentang konservasi tanah dan pertimbangan penggunaan lahan hanya
dititik-beratkan pada pertimbangan ekonomi semata.
Akibat pola penggunaan lahan ini, laju erosi tanah pada berbagai macam
penggunaan lahan budidaya mencapai 54,6–1.007,6 ton/ha/tahun (Satriawan dan

Harahap, 2013), masih lebih tinggi dibandingkan dengan erosi toleransi untuk
tanah di wilayah ini 25,1 - 40 ton/ha/tahun (Fitri, 2010). Dampak lain dari
kerusakan lahan ini telah menyebabkan penurunan produktivitas lahan dan

3

berkurangnya daerah resapan air. Produktivitas rata-rata untuk dua komoditas
utama palawija (kedelai dan jagung) di daerah ini sebesar 1,72 ton/ha dan 3,1
ton/ha, sedangkan produksi kelapa sawit 8,3 ton/ha dan kakao 0,2 ton/ha (BKPM,
2012), masih lebih rendah dibandingkan potensi produksi pada lahan yang subur.
Rendahnya produksi ini menyebabkan terganggunya suplai komoditas ini.Halini
bertolak belakang dengan kenyataan bahwa produksi kedelai dan jagung nasional
hanya mampu mencukupi 10% kebutuhan, selebihnya dipenuhi melalui impor.
Demikian juga dengan produksi kakao yang masih sangat rendah. Untuk itu
mengelola lahan marginal dalam pengembangan pertanian di sub DAS Krueng
Sieumpo perlu mendapat sentuhan teknologi konservasi tanah terutama di daerah
hulu. Usaha ini diperlukan karena menyangkut keberlanjutan sistem usahatani di
daerah tersebut dan juga dampak hidrologisnya terhadap kawasan hilir sangat
penting.
Sistem pertanian merupakan tata cara atau skema yang digunakan untuk

melakukan kegiatan pertanian secara lebih baik agar dapat memenuhi kebutuhan
dan memperbaiki kehidupan keluarga atau masyarakat. Pertanian dalam arti luas
adalah kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang utama yaitu
pangan dalam bentuk karbohidrat, protein, vitamin dan gizi, kebutuhan sandang
berupa pakaian serta papan untuk perumahan. Menurut Sinukaban (2010) sektor
pertanian dalam zaman modern ini terdiri atas subsektor tanaman pangan,
tanaman perkebunan, tanaman industry/obat, perikanan, peternakan dan
kehutanan.

4

Tercapaianya tujuan pertanian dapat dicapai dengan menerapkan pertanian
yang merujuk pada konsep pertanian berkelanjutan sehingga sumberdaya
pendukungnya dapat digunakan oleh manusia untuk kehidupannya secara terus
menerus. Syarat utama konsep pertanian berkelanjutan dapat mencapai tujuan di
atas adalah (Sinukaban, 2010): 1) diperolehnya pendapatan yang layak bagi setiap
petani, 2) agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan
sumberdaya, dan 3) dapat diterima dan diterapkan oleh petani dengan
pengetahuan dan sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu konservasi tanah dan
air yang diterapkan untuk pembangunan pertanian melalui pendekatan system

pertanian (agroekosistem) dapat meningkatkan keuntungan petani, memperbaiki
ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan.
Pengelolaan daerah aliran sungai saat ini mulai digunakan sebagai konsep
pengelolaan lahan pertanian berbasis wilayah alami yang dapat mencerminkan
keterkaitan antar faktor pendukung pertanian dalam suatu DAS. Konsep DAS
dalam pengelolaan lahan merupakan wadah pengelolaan DAS dalam skala
lapangan yang digunakan sebagai suatu tempat memperagakan proses partisipatif
dalam pengelolaan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring serta
evaluasi), teknik konservasi tanah dan air, usahatani yang sesuai dengan daya
dukung lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat (Dirjen RLPS, 2009).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan usahatani di sub DAS
Krueng

Sieumpo

dapat

diatasi

dengan


membangun

sistem

pertanian

konservasiyang sesuai dengan kemampuan lahan dengan indikator pendapatan
petani lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi, mengendalikan erosi

5

hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (Etol) melalui
penerapan agroteknologi spesifik lokasi yang dapat diterima dan diterapkan
petani.
1.2.

TujuanPenelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1) menganalisis agroteknologiyang


diterapkan masyarakat disub DASKrueng Sieumpo; 2) menganalisis teknik
konservasi tanah dan air yang dapat mengendalikan erosi dan memberikan
produktivitas yang optimaldi sub DAS Krueng Sieumpo, dan 3) merancang sistem
pertaniankonservasidi sub DAS Krueng Sieumpo.
1.3.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mencakup kajian : a) kondisi usahatani (biofisik lahan, petani,

agroteknologi), b) alternatif teknik konservasi tanah dan air yang dapat
mengendalikan erosi dan memberikan produktivitas yang optimal di sub DAS
Krueng Sieumpo, dan 3) alternatif model sistem pertanian konservasi di sub DAS
Krueng Sieumpo.
1.4.

NoveltyPenelitian
Novelty atau kebaruan penelitian adalah : 1) model penyusunan sistem

pertanian


berkelanjutan

di

sub

DAS

Krueng

Sieumpo.

Indikator

keberlanjutanyang digunakan adalah variabel erosi yang terjadi harus lebih kecil
atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (ETol) sebagai dimensi ekologi
dan pendapatan petani harus sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak
(pendapatan petani ≥ KHL) yang terdiri atas kebutuhan fisik minimal dan
kebutuhan hidup tambahan (pendidikan dan sosial, kesehatan dan rekreasi,


6

asuransi dan tabungan), sebagai indikator keberlanjutan dari dimensi ekonomi; 2)
pengembangan ilmu pengetahuan pertanian berkelanjutan dalam lingkup DAS
yang berbasis pada metode analisis program tujuan ganda (Multiple Goal
Programming).