Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik
Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak ataupun
merasakan. Berbagai teori pemikiran dari karakteristik tumbuh untuk menjelaskan
berbagai kunci karakteristik manusia (Boeree, 2008). Karakteristik adalah cirri-ciri
dari individu yang terdiri dari demografi seperti jenis kelamin, umur serta status
sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya.
Demografi berkaitan dengan struktur penduduk, umur, jenis kelamin dan status
ekonomi sedangkan data kultural mengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan agama,
adat istiadat, penghasilan dan sebagainya.
2.1.1. Golongan Karakteristik Individu
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010), perilaku manusia
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu faktor predisposisi (predisposing factor),
faktor pemungkin (enabling faktor), dan faktor penguat (reinforcing factor). Faktor
predisposisi terdiri dari pengetahuan, tingkah laku, nilai, keyakinan, dan
sosiodemografi. Sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin, status ekonomi,
pendidikan dan lain sebagainya. Faktor pemungkin terdiri dari ketrampilan dan
sarana. Faktor penguat terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan,
termasuk juga disini undang-undang, peraturan peraturan baik dari pemerintah daerah


maupun dari pusat. Berikut beberapa faktor dari golongan karakteristik individu,
antara lain:
1. Umur
Umur adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan. (Depdiknakes, 2012). Umur
yang dimaksud disini adalah umur akseptor KB. Umur mempengaruhi akseptor
dalam penggunaan alat kontrasepsi.
Masa reproduksi sehat yaitu pada umur 20-35 tahun. Pada umur < 20 tahun
alat reproduksi belum matang sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi
akibat penggunaan alat kontrasepsi akan lebih besar (BKKBN, 2014).
Penelitian-penelitian terdahulu sudah banyak mengungkapkan tentang adanya
hubungan umur dengan penggunaan kontrasepsi. Berdasarkan hasil penelitian
Nuraidah (2003) di Kelurahan Pasir Putih menyatakan keinginan untuk menggunakan
kontrasepsi meningkat pada umur 20-35 tahun. Mereka yang berumur tua mempunyai
peluang lebih kecil untuk menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang
muda.
2. Pendidikan
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar, dimana dalam suatu
proses belajar itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan dan perubahan kearah
yang lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat (Notoatmodjo,

2010). Dictionary Of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses
dimana seseorang mengembangkan sifat dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya
didalam masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada

pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga ia dapat memperoleh atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal
(Ihsan, 2005).
Sistem Pendidikan Nasional dalam Nurkolis (2003) mengklasifikasikan
pendidikan menjadi pendidikan formal dan non-formal, jenjang pendidikan formal
terdiri pendidikan dasar (SD), pendidikan menengah (SMP dan SMA), pendidikan
tinggi (Akademi dan universitas) dan jenjang pendidikan non formal seperti kursus
keterampilan Menjahit, memasak dll.
Pendidikan

mempunyai

pengaruh

dalam


hal

pemilihan

kontrasepsi.

Disamping itu pendidikan mempunyai kaitan bermakna positif dengan norma
besarnya keluarga dalam penerimaan KB. Makin tinggi tingkat pendidikan ibu makin
tinggi pula perilaku penerimaannya terhadap KB, dan sebaliknya atau makin tinggi
tingkat pendidikan ibu makin sedikit jumlah anak yang dimiliki dan sebaliknya.
3. Pekerjaan
Menurut Dr. Franz Von Magnis di dalam Anoraga (2009), pekerjaan adalah
kegiatan yang direncanakan. Sedangkan Hegel di dalam Anoraga (2009)
menambahkan bahwa inti pekerjaan adalah kesadaran manusia. Kerja merupakan
sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi, sengaja dilakukan untuk
mendapatkan penghasilan. Kerja dapat juga di artikan sebagai pengeluaran energi
untuk kegiatan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.
Pekerjaan secara langsung maupun tidak langsung juga berpengaruh terhadap
pemilihan maupun keputusan menggunakan kontrasepsi dalam keluarga. Pekerjaan


suami maupun istri dalam suatu keluarga akan berdampak pada sosial ekonomi dalam
keluarga, sehingga keluarga dengan ekonomi yang baik akan lebih memperhatikan
kebutuhan kesehatan pada keluarganya, salah satunya yaitu dengan keikutsertaan berKB. Selain itu wanita yang bekerja akan cenderung memilih menggunakan
kontrasepsi karena wanita pekerja ingin mengatur kehamilannya agar dapat bekerja
lebih baik, tidak hamil dan mempunyai anak dalam waktu tertentu sesuai dengan
yang direncanakan.
4. Pendapatan
Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik barang atau uang dari pihak lain
atau hasil sendiri dengan jumlah uang atau jumlah harga yang berlaku saat ini
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Tingkat penghasilan atau pendapatan adalah
gambaran yang lebih jelas tentang posisi ekonomi keluarga dalam masyarakat yang
merupakan jumlah seluruh penghasilan dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu
penghasilan tinggi dan rendah.
Kondisi lemahnya ekonomi keluarga memengaruhi daya beli termasuk
kemampuan membeli alat dan obat kontrasepsi. Keluarga miskin pada umumnya
mempunyai anggota keluarga yang cukup banyak, kemiskinan menjadikan relatif
tidak memiliki akses dan bersifat pasif dalam berpartisipasi untuk meningkatkan
kualitas diri dan keluarganya (BKKBN, 2014).
5. Jumlah Anak
Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan dan masih hidup. Dalam

hal ini erat kaitannya dengan paritas. Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang

diteliti seseorang wanita (Kamus Besar Indonesia 2012). Berdasarkan pengertian
tersebut maka paritas mempengaruhi pemilihan jenis alat kontrasepsi. Hal ini
dikarenakan akseptor yang mempunyai anak lebih dari empat cenderung mengalami
resiko tinggi persalinan. Apabila terjadi kehamilan tersebut digolongkan dalam
kehamilan resiko tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Mutiara dalam Satyawati (2012) di Wilayah
Indonesia Timur dengan desain Cross Sectional yang memperoleh hasil bahwa ada
hubungan yang bermakna antara jumlah anak masih hidup dengan penggunaan
kontrasepsi. Responden yang memiliki anak 2 orang atau lebih memiliki
kemungkinan sebesar 2,42 kali untuk menggunakan salah satu cara kontrasepsi
dibandingkan dengan yang tidak memiliki anak atau baru memiliki 1 anak.
6. Agama
Menurut Tajdab (1994) menyatakan bahwa agama berasal dari kata a, berarti
tidak dan gama, berarti kacau, kocar-kacir. Jadi, agama artinya tidak kacau, tidak
kocar-kacir, dan/atau teratur. Maka, istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan
kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia. Jadi, agama adalah jalan hidup yang
harus ditempuh oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur

dan mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan.
Agama adalah ajaran atau system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2012). Menurut Saefuddin (1981), menyatakan bahwa agama merupakan
kebutuhan manusia yang paling esensial yang besifat universal. Karena itu, agama
merupakan kesadaran spiritual yang di dalamnya ada satu kenyataan di luar
kenyataan yang nampak ini, yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasihanNya, bimbingan-Nya, serta belaian-Nya, yang secara ontologis tidak bisa diingkari,
walaupun oleh manusia yang mengingkari agama (komunis) sekalipun.
KB secara principal dapat diterima oleh Agama Islam, bahkan KB dengan
maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan
yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari’at Islam yaitu mewujudkan
kemaslahatan bagi umat Nya. Sementara itu agama lain di Indonesia umumnya
mendukung KB. Pandangan iman Kristen Protestan tentang KB, etika social
keputusan ber-KB yang diambil pasangan suami istri adalah tepat, karena mengingat
kegiatan sang istri yang sangat padat dan rencana keselamatan sang buah hati yang
belum ada. Agama Hindu memandang bahwa setiap kelahiran harus membawa
manfaat, untuk itu kelahiran harus diatur jaraknya dengan ber-KB. Sementara Agama
Budha memandang setiap manusia pada dasarnya baik, tidak melarang umatnya berKB demi kesejahteraan keluarga diletakkan dan diwujudkan dalam pemahaman

holistic sesuai dengan kehendak Allah. Untuk mengatur kelahiran anak, suami istri
harus tetap menghormati dan menaati moral katolik. Gereja Katolik hanya menerima
abstinensia dan pantang berkala (hubungan seksual hanya dilakukan pada masa tidak
subur dalam siklus bulanan seorang wanita) sebagai metode keluarga berencana yang

sesuai dengan pandangan gereja dan menolak secara tegas metode KB lainnya
(Proverawati, 2009).
7. Sosial Budaya
Sosio-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan
dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku
manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah-laku kelompok.
Menurut Edward (1871) dalam Tumanggor (2010), kebudayaan merupakan
keseluruhan

yang

kompleks,

yang


di

dalamnya

terkandung

pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus di dapat dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada
masyarakat tanpa kebudayaan. Menurut Tumanggor (2010) sosio budaya adalah
konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi
perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya.
Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya dibagi menjadi dua, yaitu
budaya material dan budaya non material. Budaya material dapat berupa objek seperti

makanan, pakaian, seni, dan benda-benda kepercayaan. Sedangkan budaya non
material mencakup kepercayaan, pengetahuan, nilai, norma, dan sebagainya.

Unsur-unsur yang terkait dalam social budaya meliputi adalah kepercayaan,
nilai, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat.
a. Kepercayaan
Menurut Rousseau yang dikutip Andi (2006), kepercayaan adalah bagian
psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan
harapan positif dari niat atau perilaku orang lain. Sedangkan menurut Robinson yang
di kutip Lendra (2006) kepercayaan adalah harapan seseorang, asumsi-asumsi atau
keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan
atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya.
b. Nilai
Nilai adalah merupakan suatu hal yang nyata yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young
mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa
yang dianggap penting dalam masyarakat. Sedangkan norma adalah kebiasaan umum
yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan
wilayah tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang
berada diluar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka.

Menurut konsep budaya Lainingen (1978-1984) dalam Erni (2012),
karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut :


Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua
budaya yang sama persis.



Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan
kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.



Budaya di isi dan tentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa di sadari.

c. Adat Istiadat
Pengertian adat-istiadat ini, perlu untuk disadari sangat banyak yang
dikemukakan oleh para ahli, bisa dikatakan sebanyak para ahli yang mendefinisikan
tersebut. Adat sendiri secara umum menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang

diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan
begitu luasnya pengertian adat-istiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau bangsa dan
negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu dengan yang lainnya pasti
tidak sama. Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan
merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban,
cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adatistiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.
Mubarak (2012) berpendapat bahwa kebiasaan, adat istiadat, dan perilaku
masyarakat sering kali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola
hidup sehat di masyarakat. Kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Sebagai contoh, ada beberapa daerah yang menganggap mengonsumsi
alcohol berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Namun dalam kesehatan apabila kita
mengonsumsi alcohol secara berlebihan maka akan membahayakan kerja tubuh.

d. Kebiasaan Masyarakat
Di dalam masyarakat, kenyataan keberadaan hukum tidak tertulis atau
kebiasaan diakui sebagai norma hkum yang patut dipatuhi. Dalam praktek
penyelenggaraan negara, hukum tidak tertulis disebut konvensi. Dipatuhinya hukum
tidak tertulis karena adanya kekosongan hukum tertulis yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat/negara. Oleha karena itu, hukum tidak tertulis (kebiasaan) sering
digunakan oleh para hakim untuk memutuskan perkara yang belum pernah diatur di
dalam Undang-Undang.

2.2. Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2010) Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab
itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu
dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu
orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang
seoptimal mungkin.

c. Perlu gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara
serta meningkatkan kesehatan seseorang tetapi sebaliknya makanan dan minuman
dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap
makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau
sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri.
Dalam menentukan reaksi/tindakan sehubungan dengan gejala penyakit yang
dirasakannya, menurut suchman individu berproses melalui tahap-tahap berikut ini:
Tahap pengenalan gejala, tahap asumsi peran sakit ,tahap kontak dengan pelayanan
kesehatan, tahap ketergantungan si sakit, tahap penyembuhan atau rehabilitasi.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi
kesehatannya.

Dengan

perkataan

lain,

bagaimana

seseorang

mengelola

lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau
masyarakatnya.

Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan
sebagainya). Untuk memberikan respon terhadap situasi diluar objek tersebut. Respon
ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan).
Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan
rangsangan.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak
perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam
tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat
non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku
manusia. Lingkungan ini adalah merupakan keadaan masyarakat dan segala budi
daya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terahadap
situasi dan rangsangan dari luar.
2.2.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi
melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ever behavior). Pada dasarnya
pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang
dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui
pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik
secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang
bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat
dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu:
1. Tahu (know)
Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap
sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.
2. Pemahaman (Comprehension)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
telah memahami terhadap objek atau materi atau harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam
konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam
perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip
siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan
dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi
yang ada. Misalnya: dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan
sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini

berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan di atas.
2.2.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial
(Notoatmodjo, 2010).
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon
(secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap
mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dan
sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman
yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah
sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang.
Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan
tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap sesorang dapat berubah dengan

diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta
tekanan dari kelompok sosialnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat
dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Allport dalam Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai
tiga komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (kenyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu
yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan
tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif
terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Ciri-ciri sikap adalah :
1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus atau
kebutuhan akan istirahat.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap
dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat
tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah
senantiasa.
4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki orang (Saifudin, 2010).
Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :
1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat
communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula
menjadi milik bersama.
2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau
binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya.
Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa
dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi
secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai
perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu
yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau
penilaian-penilaian terhadap perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi
terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbanganpertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan
hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan
cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada
dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.
3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan
bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar

sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang
berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia
memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua
pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.
4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian
seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang
mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada obyek-obyek
tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap
sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap sesorang kita harus
mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut dengan mengetahui
keadaan sikap itu kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut
dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Saifudin,
2010).
2.2.3. Tindakan
Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang
memungkinkan (Notoatmodjo, 2010).
Tindakan terdiri dari empat tindakan, yaitu :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat
tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut

2.3. Pengertian Keluarga Berencana
Menurut UU NO 52 tahun 2009 Keluarga Berencana adalah upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui
promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan
keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu
pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak,
dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan cara, alat, dan
obat kontrasepsi.
Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan
yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang

ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisikmateril guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Keluarga berencana dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami isteri
dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung
jawab tentang, usia ideal perkawinan, usia ideal melahirkan, jumlah anak ideal, jarak
kelahiran anak dan penyuluhan kesehatan reproduksi.
Program Keluarga Berencana diselenggarakan oleh pemerintah dengan tujuan
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yang nantinya diharapkan dapat
berkontribusi dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Sesuai dengan hasil
Konferensi Internasional Population and Developtment (ICPD) di Kairo tahun 1994,
serta visi dan misi BKKBN yaitu pendekatan Keluarga Berencana (KB) ke arah
pendekatan kesehatan reproduksi. Program KB dan Kesehatan Reproduksi saat ini
tidak hanya ditujukan untuk penurunan angka kelahiran namun dikaitkan pula pada
dengan tujuan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi, pencegahan,
penanganan masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksual serta menjaga
kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi dan anak. Target pemerintah Indonesia
mengenai kesehatan reproduksi yang akan dicapai sampai pada tahun 2015 yang
terangkum dalam indikasi keberhasilan program Millenium Development Goals
(MDGs) adalah cakupan layanan KB pada pasangan usia subur (PUS) 70%,

penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” mencapai 50%, penurunan kejadian
komplikasi KB serta penurunan angka drop out penggunaan alat kontrasepsi (Dinkes
Banyuwangi, 2012).
Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi wanita merupakan dari konsep hak
asasi manusia. Baik dalam Intenational Conferention of Population and Developtment
(ICPD) 1994 mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan
hak yang paling mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual. Kondisi reproduksi
sehat dapat tercapai bila masyarakat dan negara memberikan penghormatan terhadap
pemenuhan hak-hak reproduksi. Hak reproduksi yang dimaksud adalah hak bagi
setiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menentukan
jumlah,jarak waktu untuk mempunyai keturunan, hak untuk mendapatkan informasi
kesehatan reproduksi dan sarana untuk mewujudkan, hak untuk memperoleh standar
kesehatan reproduksi dan seksual tertinggi, dan hak untuk mengambil untuk
mengambil keputusan tentang reproduksi tanpa diskriminasi, tekanan dan kekerasan.
Setiap tahun, di Indonesia rata-rata mencapai 6 juta – 6,5 juta peserta KB baru,
namun demikian capaian tersebut hanya mampu mempertahankan tingkat
Contraceptive Prevalensi Rate (CPR) karena peserta baru yang diperoleh belum
memberikan kontribusi yang kuat terhadap pencapaian peserta KB Aktif (Dinkes
Banyuwangi, 2012).

2.3.1. Asas, Prinsip dan Tujuan
Pembangunan Keluarga

Perkembangan

Kependudukan

dan

Menurut UU NO 52 tahun 2009, Asas, Prinsip dan Tujuan Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga adalah sebagai berikut:
a.

Asas
Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berasaskan norma

agama, perikemanusiaan, keseimbangan, dan manfaat.
b.

Prinsip
Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berdasarkan prinsip

pembangunan kependudukan yang terdiri atas:
1) Kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan;
2) Pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam pembangunan sosial budaya,
ekonomi, dan lingkungan hidup;
3) Partisipasi semua pihak dan gotong royong;
4) Perlindungan dan pemberdayaan terhadap keluarga sebagai unit terkecil dalam
masyarakat;
5) Kesamaan hak dan kewajiban antara pendatang dan penduduk setempat;
6) Perlindungan terhadap budaya dan identitas penduduk lokal; dan
7) Keadilan dan kesetaraan gender.

c. Tujuan
1) Perkembangan

kependudukan

bertujuan

untuk

mewujudkan

keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran
penduduk dengan lingkungan hidup.
2) Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar
dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
2.3.2. Keluarga Berencana (UU No. 52 Tahun 2009)
Untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas,
Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan
program keluarga berencana. Kebijakan keluarga berencana dilaksanakan untuk
membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan
mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang:
a. Usia ideal perkawinan
b. Usia ideal untuk melahirkan;
c. Jumlah ideal anak;
d. Jarak ideal kelahiran anak; dan
e. Penyuluhan kesehatan reproduksi.
f. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak;
g. Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan
keluarga berencana dan kesehatan reproduksi;

h. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana;
dan
i. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak
kehamilan.
Kebijakan keluarga berencana mengandung pengertian bahwa dengan alasan
apapun promosi aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang. Kebijakan keluarga
berencana dilakukan melalui upaya:
a. Peningkatan keterpaduan dan peran serta masyarakat;
b. Pembinaan keluarga; dan
c. Pengaturan kehamilan dengan memperhatikan agama, kondisi perkembangan
sosial ekonomi dan budaya, serta tata nilai yang hidup dalam masyarakat.
Upaya – upaya tersebut dilaksanakan disertai dengan komunikasi, informasi
dan edukasi. Kebijakan keluarga berencana diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara:
a. Menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri
dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan
norma agama;
b. Menyeimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan;
c. Menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang efek
samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi, termasuk manfaatnya dalam

pencegahan penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan tubuh dan
infeksi menular karena hubungan seksual;
d. Meningkatkan

keamanan,

keterjangkauan,

jaminan

kerahasiaan,

serta

ketersediaan alat, obat dan cara kontrasepsi yang bermutu tinggi;
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia petugas keluarga berencana;
f. Menyediakan pelayanan ulang dan penanganan efek samping dan komplikasi
pemakaian alat kontrasepsi;
g. Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi esensial di tingkat primer dan
komprehensif pada tingkat rujukan;
h. Melakukan promosi pentingnya air susu ibu serta menyusui secara ekslusif untuk
mencegah kehamilan 6 (enam) bulan pasca kelahiran, meningkatkan derajat
kesehatan ibu, bayi dan anak; dan
i. Melalui pemberian informasi tentang pencegahan terjadinya ketidakmampuan
pasangan untuk mempunyai anak setelah 12 (dua belas) bulan tanpa
menggunakan alat pengaturan kehamilan bagi pasangan suami isteri.
2.3.3. Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi
Sesuai dengan UU Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, membawa perubahan pada visi
dan misi Program KB Nasional. Visi “Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera” menjadi Visi baru, yaitu “Keluarga Berkualitas 2015” suatu keluarga yang
sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan kedepan,

bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misi
yang diemban oleh Program KB Nasional untuk mencapai visi baru tersebut adalah :
1) Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas,
2) Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan
ketahanan keluarga,
3) Meningkatkan kualitas pelayanan kb dan kesehatan reproduksi,
4) Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi,
5) Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender melalui program kb, dan
6) Mempersiapkan sdm berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai
dengan lanjut usia.
7) Menyediakan data dan informasi keluarga berskala mikro untuk pengelolaan
pembangunan, khususnya menyangkut upaya pemberdayaan keluarga miskin.
Visi dan misi yang baru ini memberikan gambaran yang jelas bahwa Program
KB Nasional mencakup aspek Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi,
Kesejahteraan Keluarga dan Pemberdayaan Keluarga. Secara operasional visi dan
misi baru dijabarkan dalam berbagai kegiatan, dimulai dengan pengembangan
kebijakan di tingkat pusat. Pada pelaksanaan di lapangan diharapkan secara teknis
operasional perubahan paradigma, perubahan visi dan misi, perubahan strategi
Program KB Nasional, dapat diterapkan, dilaksanakan dan dimantapkan melalui
berbagai kegiatan operasional dengan tetap mempertimbangkan keberhasilan maupun
kendala yang ditemukan pada pelaksanaan.

2.3.4. Kegiatan Program Keluarga Berencana
a. Program pemberdayaan keluarga
Program

Pemberdayaan

Keluarga

diarahkan

untuk

meningkatkan

kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Keberhasilan program ini ditandai oleh
menurunnya jumlah keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya,
meningkatnya jumlah keluarga yang dapat mengakses informasi dan sumber daya
ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya, meningkatnya kemampuan
keluarga dalam pengasuhan anak dan menurunnya disharmoni dan tindak kekerasan
dalam keluarga. Untuk mencapai sasara kinerja tersebut dilaksanakan kegiatan
program Peningkatan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga yang bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan minat, semangat serta ketrampilan keluarga dalam
bidang usaha ekonomi produktif, melalui upaya perluasan dan cakupan program dan
sekaligus meningkatkan kualitas UPPKS, melalui upaya, Pembinaan kelompok
UPPKS, bertujuan untuk terselenggaranya kemandirian kelompok UPPKS, sebagai
kelompok usaha ekonomi produktif yang beranggotakan keluarga (istri) akseptor KB
dalam usaha mereka untuk meningkatkan pendapatan keluarga, pembinaan
permodalan skim Kukesra dan Kukesra Mandiri, sebagai bagian usaha, fasilitasi
keluarga dalam mengakses permodalan, perluasan cakupan informasi dan akses
sumberdaya ekonomi khususnya terhadap, keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I,
yang meliputi usaha fasilitasi akses pemasaran produksi hasil kelompok usaha
ekonomi produktif keluarga ke pasar. Dilakukan melalui kerjasama dengan pihak
BUMN dan swasta.

b. Program keluarga berencana
Program Keluarga Berencana bertujuan untuk memenuhi permintaan
pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas serta mengendalikan angka
kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan
keluarga-keluarga kecil berkualitas. Pelaksanaan Program Keluarga Berencana yang
akan dilaksanakan pada tahun 2002 ini, mencakup perlindungan hak-hak reproduksi
dalam penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria,
penanggulangan masalah-masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu,
bayi dan anak.
1) Perlindungan Hak-hak Reproduksi, mencakup pengambilan keputusan tentang
proses reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaaan dan kekerasan, seperti
hak-hak azasi manusia pada umumnya.
2) Penyelenggaraan Jaminan dan Pelayanan KB, diarahkan untuk memaksimalkan
akses dan kualitas pelayanan KB & KR. Setiap pelayanan KB & KR baik yang
diselenggarakan melalui jalur pemerintah maupun swasta dan LSOM.
3) Peningkatan Partisipasi Pria, bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan
kualitas pelayanan informasi dan pelayanan KB & KR yang lebih berwawasan
kesetaraan dan keadilan gender.
4) Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, bertujuan untuk meningkatkan
penanggulangan

masalah

kesehatan

reproduksi

melalui

penanggulangan

HIV/AIDS, Penyakit Menular Seksual serta pningkatan kesehatan seksual dan
penanggulangan keluarga infertile (tidak subur).

5) Upaya Peningkatan Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi Dan Anak, dimaksudkan
sebagai salah satu upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu, bayi
dan anak. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan
perilaku keluarga tentang perencanaan kehamilan.
c. Program penguatan kelembagaan dan jaringan KB
1) Pengembangan Kegiatan Advokasi, Komunikasi, Informasi dan Edukasi,
diarahkan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dalam membuat dan
memyempurnakan kebijakan publik yang berkaitan dengan program KB
Nasional, agar setiap keputusan, peraturan, perundang-undangan dalam bentuk
kebijakan publik dapat menguntungkan dan mendukung terhadap upaya
mewujudkan keluarga berkualitas.
2) Peningkatan Institusi dan Peranserta Masyarakat, Peningkatan institusi dan
peranserta masyarakat diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
terwujudnya keluarga berkualitas melalui peningkatan kepedulian, peranserta
masyarakat dan kemandirian dalam Program KB Nasional.
3) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, kegiatan guna menunjang peningkatan
kinerja operasional program melalui kegiatan penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan (termasuk pengarua utaman gender dalam program KB
nasional.
4) Pengelolaan Keuangan dan Perencanaan Anggaran, Pengelolaan Keuangan dan
Perencanaan Anggaran, diarahkan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan
program KB & KR dan KS & PK dengan memfokuskan pada usaha-usaha

terselenggaranya pengelolaan keuangan, inventarisasi kekayaan negara dan
penyusunan serta perencanaan program KB Nasional secara searah, terkendali
dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai peraturan perundang-undangan.
5) Pencatatan

dan

Pelaporan

Program

KB

Nasional,

termasuk

kegiatan

pengembangan cakupan jaringan dan sistem teknologi informasi keluarga
sejahtera.

2.4. Puskesmas
Menurut Departemen Kesehatan RI (2013), Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) merupakan suatu organisasi kesehatan fungsional yang menjadi pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di
samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau
kota (UPTD). Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis
operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana
tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
Puskesmas

hanya

akan

bertanggung

jawab

untuk

sebagian

upaya

pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota sesuai tdengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja
puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila disatu kecamatan terdapat lebih
dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah keja dibagi antar puskesmas

dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa, kelurahan, RW), dan
masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung
kepada dinas kesehatan kabupaten/ kota.
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan
sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui
penbangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup didalam lingkungan dengan
perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya.
2.4.1. Fungsi Puskesmas
Fungsi pokok utama yang diemban puskesmas dalam melaksanakan
Pelayanan Kesehatan Dasar ( PKD) kepada seluruh target/ sasaran masyarakat di
wilayah kerjanya yaitu:
1) Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah
kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di
samping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari
penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan

pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
2) Pusat Pemberdayaan Masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar per orangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan
kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif
dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan, termasuk sumber pembiayaannya
serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan. Pemberdayaan per orangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan
dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat
setempat.
3) Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi:
(1) Pelayanan Kesehatan Perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
(private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan
kesehatan per orangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan. Untuk puskesmas
tertentu ditambah dengan rawat inap.

(2) Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
(public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain adalah promosi
kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi,
peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta
berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
Dalam melaksanakan fungsinya, puskesmas menempuh langkah-langkah
antara lain:
a) Mengumpulkan informasi keadaan lingkungan geografis, demografis, morbiditas,
sosio budaya dan sosio ekonomi penduduk serta keadaan infra struktur untuk
melakukan analisis situasi dan menetapkan situasi serta menetapkan diagnosis
masalah masyarakat di wilayah kerjanya.
b) Berdasarkan hasil diagnosis masalah masyarakat, menyusun rencana kerja sesuai
dengan kebijaksanaan dan petunjuk yang diberikan dari Dinas Kesehatan Daerah
Tingkat II sebagai atasannya.
c) Memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada masyarakat dengan
memperhatikan kebutuhannya, mutu pelayanan dan kepuasan masyarakat yang
dilayaninya.

2.5. Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang baik harus memiliki berbagai persyaratan pokok.
Syarat pokok yang dimaksud adalah :
1. Tersedia dan berkesinambungan
Pelayanan kesehatan harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat
berkesinambungan

(continous).

Artinya

semua

jenis

pelayanan

kesehatan

yangdibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam
masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima dan wajar
Pelayanan kesehatan harus dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta
bersifat wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan
dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
3. Mudah dicapai
Pelayanan kesehatan harus mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat.
Pengertian ketercapaian yang dimaksud di sini terutama dari sudut lokasi. Dengan
demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan
distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.
4. Mudah dijangkau
Pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat.
Pengertian keterjangkauan dimaksud disini terutama dari sudut biaya. Untuk dapat
mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya kesehatan
tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5. Bermutu
Pelayanan kesehatan harus bermutu (quality), pengertian mutu yang dimaksud
di sini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan dimana di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan,
dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar
yang telah ditentukan.
2.5.1. Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Andersen mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan ke dalam tiga kategori utama, yaitu :
1. Karakteristik predisposisi (predisposing characteristics)
Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap
individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang
berbeda-beda yang disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke
dalam tiga kelompok :
a. Ciri-ciri demografi, seperti : jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.
b. Struktur sosial, seperti : tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, ras, agama, dan
sebagainya.
c. Kepercayaan kesehatan (health belief), seperti keyakinan penyembuhan penyakit.
2. Karakteristik kemampuan (enabling characteristics)
Karakteristik kemampuan adalah sebagai keadaan atau kondisi yang membuat
seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya
terhadap pelayanan kesehatan. Anderson membaginya ke dalam 2 golongan, yaitu :

a. Sumber daya keluarga, seperti : penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam
asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa, dan pengetahuan tentang informasi
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
b. Sumber daya masyarakat, seperti : jumlah sarana pelayanan kesehatan yang ada,
jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dalam wilayah tersebut, rasio penduduk
terhad

Dokumen yang terkait

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

1 49 94

Faktor-faktor Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur menjadi Akseptor KB di Desa Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

6 62 58

Respon Pasangan Usia Subur Terhadap Program Keluarga Berencana Gratis Di Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

1 30 90

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 18

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 2

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

3 6 9

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015 Chapter III VI

0 0 44

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 3

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 41

UNMED NEED KELUARGA BERENCANA PADA PASANGAN USIA SUBUR DI KECAMATAN PADANG BARAT TAHUN 2015

0 0 6