PENERAPAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLO

PENERAPAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SENJATA
NUKLIR DI KOREA UTARA DITINJAU DARI TEORI BUDAYA
STRATEGIS

UJIAN AKHIR SEMESTER
KEPEMIMPINAN STRATEGIS

Oleh:
Annisaa Mutiara Damayanti Ariohudoyo
(120150102001)

FAKULTAS STRATEGI PERTAHANAN
PROGRAM STUDI PEPERANGAN ASIMETRIS
UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
2016

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................1
BAB II TEORI & FAKTA KOREA UTARA........................................................4

2.1 TEORI BUDAYA STRATEGIS.........................................................................4
2.2 PEMBANGUNAN KEMAMPUAN PERSENJATAAN NUKLIR KOREA UTARA...........6
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................12
3.1 KEBIJAKAN NUKLIR KOREA UTARA DILIHAT DARI PERSPEKTIF BUDAYA
STRATEGIS....................................................................................................12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............................................................16
4.1 KESIMPULAN...........................................................................................16
4.2 Saran....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................18

i

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Korea merupakan negara yang terletak di semenanjung kawasan asia
timur laut. Negara ini memiliki posisi yang strategis secara geograis sehingga
dianggap memiliki peran yang penting sebagai penghubung antar negaranegara di wilayah Timur Tengah dengan negara-negara di wilayah Asia.
Korea juga dekat dengan 3 negara besar, yaitu Rusia, Jepang dan Cina

(Mas’oed M, 2003). Justinjojo (2011) pernah menyatakan bahwa Korea
pernah menjadi bagian dari wilayah Kekaisaran Jepang mulai dar tahun 1910
hingga

tahun

1945.

Saat

Jepang

menemui

kekalahannya,

Jepang

menyerahkan Korea ke negara-negara sekutu seperti Amerika Serikat dan
Uni Soviet yang menjadi titik awal dimana wilayah Korea terbagi menjadi dua,

yaitu Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) (Ferawati, 2007).
Korea Utara (Korut) merupakan salah satu negara yang menganut
paham komunisme yang secara turun temurun diwariskan hingga masa
pemerintahan Kim Jong Un. Negara ini merupakan satu-satunya negara yang
dinilai tidak memiliki prinsip mengenai kebijakan kepemilikan senjata nuklir
yang dimilikinya. Senjata nuklir sebenarnya telah banyak menimbulkan
permasalahan di bidang militer yang pada akhirnya berkembang menjadi
permasalahan politik dan ekonomi. Nuklir dapat berbentuk seperti peluru
kendali yang memiliki kemampuan untuk terbang ribuan kilometer yang lebih
familiar disebut dengan peluru kendali antar benua. Hal ini memperlihatkan
bahwa peluru kendali jarak jauh memiliki kemampuan daya jangkau yang
1

cukup jauh, ditambah lagi dengan kemampuan merusaknya yang sangat
masif (Nasution, 1989).
Pada

masa

pemerintahan


Kim

Jong

Il,

Korut

berhasil

untuk

mengembangkan berbagai macam senjata yang berkaitan dengan nuklir yang
berbasis plutonium. Korut dengan sengaja memproduksi plutonium dalam
rangka melakukan pengembangan teknologi nuklir. (Mas’oed, 2003). Pada
tahun 2002, Kim Jong Il memberikan pernyataan bahwa negara yang
dipimpinnya sudah memiliki senjata nuklir sejak tahun 1994. Kim Jong Il
berasumsi bahwa produksi nuklir itu diperlukan dalam rangka untuk
meningkatkan kualitan pertahanan negaranya karena ia mengetahui bahwa

Amerika Serikat sendiri pun telah memiliki senjata nuklirnya di Korea Selatan
(Kompas, 2002). Bulan Juli 2009, Korut juga telah mengadakan percobaan
terhadap senjata nuklirnya melalui misil-misil yang hingga saat ini dianggap
sebagai ancaman yag serius bagi Amerika Serikat dan sekutunya.
Korut mengembangkan senjata nuklir melalui teknik-teknik tertentu yang
dapat menghasilkan ledakan yang besar dan berpotensi untuk dijadikan
sumber tenaga listrik. Kepemilikan nuklir oleh Korut sangat dikhawatirkan oleh
negara-negara adidaya yang akhirnya melakukan suatu peluncuran senjata
nuklir maka negara-negara lain mengadakan pertemuan untuk membuat
perjanjian mengenai senjata nuklir.
Dalam kurun

waktu tertentu, Korut telah beberapa kali melakukan

kesepakatan mengenai kepemilikan nuklir dengan Amerika Serikat serta
negara-negara lainnya di dunia. Tetapi, Korut seakan-akan tidak memiliki
komitmen terhadap perjanjian tersebut, seperti pada perjanjiannya dengan
Amerika Serikat dimana Korut melanggarnya pada tahun 2002. Selain itu,
pada tahun 2005, Korut melakukan perjanjian nuklir dimana Korut harus
menghentikan upayanya dalam mengembangkan senjata nuklir yang pada

2

akhirnya dilanggar juga. Hal yang sama juga terjadi pada perjanjian NPT
(Non –Proliferation Treaty). Korut mundur dari perjanjian tersebut dan kembali
untuk mengembangkan teknologi senjata nuklirnya (New York Times, 2012).
Alasan Korut untuk mundur dari perjanjian tersebut ialah karena selama Korut
bergabung, Amerika Serikat terus memberikan tekanan untuk menghentikan
upaya pengembangan teknologi senjata nuklir di Korut.
Media massa di Korut seakan-akan kekurangan sumber untuk
melakukan pemberitaan mengenai kebijakan keamanan yang direncanakan
oleh pemerintahan Korut, sehingga sulit untuk diselidiki mengenai apa saja
kebijakan yang akan diambil oleh presiden Korut, yaitu Kim Jong Un dalam
menjaga negaranya untuk tetap siap dalam menghadapi perang kapan pun
saja. Negara-negara yang anti terhadap gaya pemerintahan komunis pun
merasa terancam dengan tertutupnya Korut ini, terutama mengenai
pengembangan

senjata

nuklirnya.


Kebijakan

pengembangan senjata nuklir ini pertama kali

keamanan

mengenai

diusung oleh presiden

terdahulu, yang merupakan ayah dari Kim Jong Un, yaitu Kim Jong Il yang
membuat Korut dinilai sebagai negara yang provokatif dan tertutup kepada
media intrnasional yang menjadikan Kim Jong Il dibenci oleh negara-negara
seperti Amerika Serikat hingga negara-negara Eropa.
Dalam essay ini, Penulis akan mencoba untuk memaparkan mengenai
kebijakan pengembangan teknologi senjata nuklir di Korea Utara serta
dampaknya bagi Indonesia. Penulis akan menggunakan teori mengenai
Budaya Strategis sebagai pisau analisis terhadap penentuan kebijakan nuklir
di Korea Utara ini.


3

BAB II
TEORI BUDAYA STRATEGIS & FAKTA KOREA UTARA

2.1 Teori Budaya Strategis
Konsep mengenai budaya strategis sangat berkaitan dengan kajian
keamanan modern. Menurut Jack Snyder, tiap elit memiliki budaya strategis
yang unik yang juga berkaitan dengan masalah keamanan militer yang
merupakan sebuah bentuk nyata dari apa yang diinginkan oleh masyarakat
luas serta disosioalisasikan dalam bentuk pemikiran strategis tertentu.
Sosialisasi tersebut kemudian menghasilkan sejumlah keyakinan, sikap dan
pola perilaku yang berkaitan dengan strategi keamanan tertentu sehingga
suatu

strategi

keamanan


tersebut

lebih

condong

kepada

budaya

dibandingkan dengan suatu kebijakan semata (Snyder, 1977). Berbicara
mengenai kebijakan itu sendiri, menurut Nasution (1989), kebijakan
merupakan suatu arah tindakan yang direncanakan untuk mencapai suatu
tujuan.
Menurut Colin Gray, budaya strategis merupakan pola pikir dan
tindakan yang berkaitan dengan kekuatan yang berasal dari persepsi
pengalaman historis nasional, aspirasi suatu negara tentang perilaku yang
seharusnya dilakukan dalam hubungannya dengan kepentingan nasionalnya
dan budaya serta hidup bangsanya (Gray, 1981). Budaya strategis
memberikan kesempatan dalam melakukan pembahasan mengenai strategi

apa saja yang harus digunakan. Selain itu, budaya strategis juga bertindak
sebagai penentu gaya kebijakan strategis tertentu. Dengan demikian, gaya
dari

suatu

pemerintahan

tertentu

merupakan

sebagai

bentuk

dari

pengaplikasian budaya strategis suatu negara, sehingga hal ini lah yang
4


membuat perbedaan antara gaya suatu negara dengan nengara lainnya.
(Gray, 1981).
Dapat diartikan bahwa budaya strategis merupakan segala sesuatu
yang menentukan mengenai cara-cara dalam melakukan perumusan
kebijakan strategis terhadap permasalahan-permasalahan tertentu. Budaya
Strategis dapat diartikan sebagai tolak ukur kebijakan yang diambil oleh suatu
negara dalam menjaga kepentingan nasionalnya maupun kepentingan
bersama dengan negara-negara lainnya di dunia.
Menurut Anwar, terdapat 3 aspek untuk melihat sumber budaya
strategis yang baik, yaitu melalui melalui aspek historis, geografis serta politis.
Aspek historis dapat menilai pola perilaku suatu bangsa dan negara melalui
pengalamannya di masa lampau. Sedangkan dari aspek geografis, dapat
menilai bagaimana suatu bangsa mengandalkan sumber daya alamnya
maupun kondisi geografis negaranya, serta memanfaatkan sumber daya
manusianya itu sendiri yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas
kemananan dan pertahanan negara itu sendiri. Yang terakhir,melalui aspek
politis, dimana berkaitan dengan sistem pemerintahan suatu negara yang
menentukan bagaimana sebuah kebijakan diberlakukan secara sah di negara
tersebut. Selain itu, aspek ini juga berkaitan mengenai perbaikan-perbaikan
terhadap sistem politik suatu negara (Anwar, 1995).
Dalam mengaplikasikan budaya strategis juga dapat dilihat melalui 5
tolak ukur. Tolak ukur yang pertama ialah melalui ideologi suatu negara.
Ideologi merupakan salah satu budaya strategis. Tolak ukur yang kedua ialah
melalui kebijakan politik luar negeri suatu negara. Ketiga, melalui cara-cara
penyelesaian konflik suatu negara. Keempat, melalui perkembangan
ekonominya dan yang terakhir ialah dengan melihat bentuk dari doktrin
pertahanannya (Anwar, 1995).
5

Dapat disintesakan bahwa teori budaya strategis merupakan sebuah
teori dimana suatu negara memiliki cara-caranya sendiri berdasarkan aspekaspek historis, geografis, ekonomi maupun politik dalam upaya penentuan
kebijakan pertahanan untuk negara tersebut. Oleh karena pembuatan
kebijakan yang berdasarkan ke-4 aspek tersebut sudah pasti berbeda dari
satu negara dengan negara lainnya, maka kebijakan yang dihasilkan pun
akan bersifat identik.

2.3 Pembangunan Kemampuan Persenjataan Nuklir Korea Utara
Korut memulai mencari masalah mengenai nuklir dimulai pada tahun
1953, dimana krisis ini juga turut melibatkan Amerika Serikat, Uni Soviet dan
juga negara-negara di Asia Timur karena pada saat itu Korut sedang dalam
usahanya mengkolonialisasi Korsel. Amerika Serikat telah berusaha dengan
sekuat tenaga untuk menghentikan invasi Korut ke Korsel hingga pada
akhirnya muncul suatu isu mengenai penggunaan senjata nuklir. Pada tahun
yang sama, Korut dan Cina menemukan akhir dari permasalah antara
keduanya dengan melakukan gencatan senjata yang tetap saja kurang
memuaskan bagi semua pihak.
Selama konflik tersebut berlangsung, sebanyak 400.000 angkatan
bersenjata Amerika Serikat telah menjadi korban, disusul dengan jatuhnya 2
juta angkatan bersenjata Korut dan Cina, dan yang paling menyedihkan
adalah dengan jatuhnya lebih dari 3 juta penduduk sipil dari Korsel (Perry,
2006). Ulah Amerika Serikat yang mengancam Korut dengan mengunakan
senjata

nuklir

ini

ternyata

memberikan

mengembangkan senjata nuklir.

6

inspirasi

bagi

Korut

untuk

Program pengembangan teknologi senjata nuklir di Korut dimulai pada
than 1956 saat Korut menandatangani perjanjian dengan Uni Soviet dalam
sebuah kerjasama penggunaan secara damai mengenai energy nuklir. Dalam
kegiatan tersebut, Korut mulai mengirimkan delegasi-delegasinya untuk
menimba ilmu mengenai pengetahuan nuklir melalui program Moscow yang
bertujuan untuk melatih ilmuwan-ilmuwan dari negara yang memiliki ideologi
yang sama, yaitu komunis (Uk Heo, 2008).
Selanjutnya, Korut mendirikan Akademi Militer yang bernama Hamhung
pada tahun 1965 untuk memberikan pendidikan bagi para tentaranya dalam
mempelajari pengembangan rudal

(Perry, 2006). Uni Soviet juga ikut

membantu Korut dalam mengembangkan teknologi rudalnya dengan
mengizinkan Korut membuat sebuah reactor nuklir yang sama dengan model
milik Uni Soviet dalam rangka penelitian. Tetapi kegiatan ini masih dipandang
sebagai kegiatan yang biasa saja sehingga negara-negara lainnya tidak
memberikan reaksi apapun terhadap kegiatan ini.
Dengan dimilikinya fasilitas untuk mengembangkan teknologi nuklir ini,
maka Korut bisa memproduksi Plutonium dan mulai secara perlahan menjadi
ahli di bidang pembangunan nuklir sehingga presiden Korut saat itu, Kim Il
Sung, membuat kebijakan untuk mengembangkan senjata nuklir (Bermudez,
1999). Korut selalu beranggapan bahwa dengan adanya senjata nuklir, maka
Korut akan menjadi negara yang lebih kuat dari Korsel serta dapat
memberikan dampak penggentar bagi Amerika Serikat. Selain itu, dengan
dimilikinya senjata nuklir, maka ketergantungan Korut atas Uni Soviet dan
Cina dapat dikurangi. Senjata nuklir juga secara tidak langsung memberikan
keamanan bagi Korut, mengingat bahwa Korut tidak bergabung dalam
komunitas internasional manapun (Kuhn, 2010).
7

Pada tahun 1960, Korut mengembangkan kemampuan militernya
dengan mengorientasikan doktrin dan struktur militernya menjadi ofensif (Ahn,
1990). Terdapat alasan-alasan politik dan keamanan yang membuat Korut
mengembangkan kemampuannya dalam teknologi nuklir dan rudalnya, yang
diantaranya adalah dengan adanya campur tangan dari Amerika Serikat
dalam perang di Korea yang menghalangi tujuan utama Kim Il Sung dalam
menyatukan wilayah Korut dan Korsel. Kim Il Sung memiliki asumsi bahwa
nuklir merupakan senjata yang memiliki efek deterrence yang besar bagi
Amerika Serikat. Selain itu, kerjasama antara Korut, Uni Soviet dan Cina yang
tidak stabil membuat Kim Il Sung meragukan komitmen Moscow dan Beijing
dalam usahanya membantu perkembangan Korut serta membantu Korut
dalam melakukan perang-perang selanjutnya (nti.org, 2009).
Kim Il Sung memiliki suatu ideologi untuk Korut yang dinilai cukup unik.
Ideologi tersebut dinamakan sebagai “juche” yang berarti kepercayaan diri
yang secara lebih dalam dipahami sebagai kemandirian dalam memenuhi
kebutuhan tanpa harus menerima bantuan ataupun bergantung dengan
negara lain. Disamping itu, Kim Il Sung juga merancang Empat Garis Besar
Militer untuk memperkuat pertahanan negaranya, yaitu (fas.org, 2000):
a) Mempersenjatai semua warga negara
b) Memperkuat seluruh negeri
c) Melatih seluruh pasukan angkatan darat untuk menjadi kader
tentara
d) Melakukan modernisasi terhadap semua pasukan angkatan darat
beserta doktrinnya, dan memperbaharui taktik berdasarkan prinsip
juche untuk pertahanan nasionalnya.
8

Pada tahun 1970-an, Korut mengembangkan sebuah laboratorium
radiokimia yang dibangun berkat bantuan dari Uni Soviet yang menjadikan
program rudal dan nuklir Korut menjadi proyek yang memiliki skala prioritas
utama di negara tersebut (Guoliang, 2005). Selang 12 tahun kemudian, Korut
akhirnya membangun fasilitas nuklir berjenis reaktor yang memiliki daya
hingga 50 MW. Korut menyatakan bahwa fasilitas tersebut dibangun dalam
rangka kemajuan pembangunan sipil. Tetapi, pada kenyataannya ialah pabrik
pembuatan bahan plutonium juga ternyata berada di tempat yang sama
sehingga plutonium tersebut bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan
senjata nuklir (Uk Heo, 2008). Pada tahun 1986, Korut melakukan operasi
fasilitas penyulingan uranium dan transformasi material nuklir, disusul dengan
pembangunan pabrik tenaga nuklir berdaya 200MW (Perry, 2006).
Presiden Korut masa itu, Kim Il Sung akhirnya wafat pada tahun 1994
dan segera digantikan oleh putranya yang bernama Kim Jong Il yang
langsung mengubah kebijakannya yang mengutamakan kekayaan dan
kekuatan yang luar biasa bagi Korut (Kuhn, 2010). Pada masa pemerintahan
Kim Jong Il, Korut mulai berurusan dengan perjanjian-perjanjian mengenai
nuklir yang diantaranya ialah mengenai penyelidikan dan inspeksi tentang
kepemilikan senjata nuklir beserta bahan bakunya, serta keikutsertaan Korut
dalam menandatangani perjanjian NPT.
Partisipasi Korut dalam perjanjian NPT tidak berlangsung lama karena
adanya tekanan-tekanan dari Amerika Serikat untuk melakukan inspeksi yang
lebih mendalam yang selalu ditolak oleh Korut yang membuat Amerika Serikat
merencanakan untuk mengambil langkah tegas dengan menghancurkan
seluruh fasilitas serta bahan baku nuklir di Korut yang akhirnya dibatalkan
atas dasar resiko bahwa hal tersebut akan memicu terjadinya perang.
9

Pada tahun 1998, Korut telah memiliki rancangan desain untuk misilmisil jarak jauh yang bisa menjangkau Amerika Serikat dan Jepang. Program
misil ini akhinya memberikan ancaman yang cukup serius bagi kedua negara
tersebut. Korut berani untuk melakukan percobaan dengan meluncurkan
salah satu misilnya yang menjangkau melewati Jepang dan akhirnya
mendarat di wilayah teritorial Hawaii, tepatnya di wilayah Samudera Pasifik
(Perry, 2006). Kemudian pada tahun 1994 hingga tahun 2002, plutonium yang
diproduksi Korut telah diatur oleh kesepakatan negara-negara lainnya, tetapi
Korut terkesan nakal mengenai hal tersebut.
Setelah kesepakatan tersebut habis masa berlakunya, Korut mulai
kembali untuk meningkatkan penyimpanan bahan plutonum dan melakukan
percobaan nuklir lagi yang memancing reaksi negatif dari penjuru dunia.
Tahun 2006, Korut juga melakukan kembali percobaan nuklirnya sebanyak 6
rudal, yang beberapa diantaranya merupakan rudal jarak jauh yang akhirnya
dijatuhi sanksi oleh Dewan Keamanan PBB. Sanksi tersebut berupa larangan
kegiatan ekspor impor bahan baku rudal Korut. Korut bersikeras untuk
melakukan percobaan dan mengabaikan sanksi yang dijatuhi oleh DK PBB
(Uk Heo, 2007).
Pada percobaan nuklir yang selanjutnya, DK PBB mengeluarkan sanksi
yang kedua, yaitu berupa sanksi keuangan dan senjata yang meminta Korut
untuk menyerahkan dan menghancurkan seluruh senjata nuklir, WMD, dan
rudal balistik (Uk Heo, 2008). Pada bulan April 2009, diperkirakan bahwa
Korut memiliki 40 hingga 50 kilogram plutonium, 5 hingga 10 senjata nuklir,
dan telah memproduksi 75 kilogram HEU yang dapat memproduksi 3 senjata
HEU tiap tahun (Wolfsthal, 2003). Masyarakat internasional menilai bahwa
tindakan yang selalu dilakukan oleh Korut ini merupakan tindakan yang bodoh
karena pada umumnya, secara finansial Korut masih bergantung pada
10

perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara-negara yang
secara langsung mengecam setiap percobaan misil nuklir yang dilakukan oleh
Korut.

11

BAB III
KEBIJAKAN NUKLIR KOREA UTARA DILIHAT DARI PERSPEKTIF
BUDAYA STRATEGIS

Korut merupakan salah satu negara yang bergantung pada sumber
pertanian, yang pada akhirnya saat kondisi alam membuat perkembangan di
bidang pertanian terganggu, maka saat itu lah kestabilan bagi Korut juga
terganggu. Kemudian, Kim Jong Il membuat suatu kebijakan di bidang
ekonomi dan militer. Beliau membuat struktur konstitusional baru yaitu
dengan membuat angkatan bersenjata dengan jumlah yang cukup banyak
untuk melindungi pemerintahan serta melindungi dirinya sendiri (Harrison,
2002).
Korut memiliki senjata aktif rudal nuklir dan balistik yang telah
dilaporkan pada Dewan Keamanan PBB pada bulan Juli 2006 hingga bulan
Juni 2009. Menurut pemerintah Korut, kebijakan mengenai kepemilikan
senjata nuklir ini dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang baik
walaupun soal ketahanan pangan, masih bergantung dengan negara lainnya,
seperti Amerika Serikat. Pada tahun 1990, pemerintah Korut mulai melakukan
kegiatan perdagangan dan barter, serta nilai mata uang Korut pun harus
dapat digunakan untuk pembelian segala komoditas perdagangan. Oleh
karena itu, Korut memulai kerjasamanya dengan negara-negara lain (KBS
World, 2006).
Tujuan dari dikembangkannya teknologi senjata nuklir di Korut sudah
menjadi suatu permasalahan bagi dunia internasional, ditambah lagi pada
saat Korut mulai mundur dari perjanjian NPT pada tahun 2003. Korut memiliki
pola pikir bahwa senjata nuklir yang dimilikinya merupakan salah satu dari
12

elemen dalam mendukung pertahanan negaranya untuk menghindari maupun
memberikan efek penggentar terhadap ancaman-ancaman konvensional dari
negara-negara lain. Secara ekonomi, Korut memiliki perkembangan ekonomi
yang cukup stagnan dan terkadang kondisinya menurun tiap tahunnya.
Dengan keadaan perekonomian yang demikian, maka Korut juga menilai
bahwa upaya pengembangan senjata nuklir memakan biaya yang lebih
murah dibandingkan dengan membeli atau membangun sejumlah kekuatan
dalam bentuk tank-tank artileri maupun melatih tentara.
Ditinjau melalui teori budaya strategis, Korut sebagai negara yang
tertutup dan memiliki ideologi komunis yang mengembangkan persenjataan
nuklir merupakan suatu bentuk keputusan yang dibuat oleh presiden
terdahulu yaitu Kim Jong Il serta diteruskan oleh anaknya Kim Jong Un
sebagai bentuk manifestasi budaya strategis Korut. Dilihat dari aspek
ekonomi, berdasarkan fakta dimana kondisi perekonomian Korut yang tidak
terlalu mendukung kesejahteraan bagi penduduknya, lebih memilih untuk
menyesuaikan keadaan tersebut dengan kebijakan pertahanan yang akan
dibuat di masa itu.
Korut menanggap bahwa biaya dalam mengembangkan teknologi nuklir
jauh lebih murah dibandingkan dengan mengembangan persenjataan artileri.
Secara geografis pun, menyadari bahwa bahkan salah satu musuh bebuyutan
Korut berada di sebelah negara itu sendiri, yaitu Korea Selatan, membuat
Korut harus memberikan efek penggentar sebagai bagian dari upaya menjaga
stabilitas keamanan negaranya. Dari aspek politis, mengetahui bahwa
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat menentang tindakan Korut
yang mengundurkan diri dari perjanjian NPT juga menjadikan kebijakan untuk
mengembangkan nuklir sebagai pilihan kebijakan yang harus diterapkan di
Korut.
13

Pada

masa

pemerintahan

Kim

Jong

Un,

kebijakan

mengenai

pengembangan teknologi nuklir sebagai salah satu senjata dalam mendukung
pertahanan negara tetap didukung. Hal ini juga dapat ditinjau berdasarkan
kapabilitas bertempur dimana Kim Jong Un tetap menggunakan senjata nuklir
untuk menunjukkan kapabilitas militernya dalam rangka kesiapan dalam
bertempur. Dengan banyaknya negara-negara yang kontra dengan Korut,
maka senjata nuklir ini juga bisa digunakan untuk memberikan dampak yang
sangat besar sehingga tepat digunakan demi menunjang kemampuan
offensive maupun defensive. Korut juga masih menganut doktrin pertahanan
yang terbagi menjadi 2, yatu “Kangsong Taeguk” yang memiliki arti pemikiran
mengenai urgensi dalam membangun negara yang kuat dan sejahtera, serta
“Songun Chongchi” yang berarti keutamaan kekuatan militer (Sagan, 19961997)
Jika menelusuri lagi lebih jauh ke gaya pemerintahan Korut yang
notabene komunis. maka struktur militer Korut pun secara penuh dikontrol
oleh rezim otoriter yang sangat memberikan peluang untuk menggunakan
senjata nuklir.Penetapan kebijakan pertahanan mengenai pengembangan
teknologi senjata nuklir juga berkaitan dengan keinginan Korut untuk memiliki
suatu pengaruh dan juga memiliki bargaining power di kawasannya.
Hal ini terbukti dengan berpengaruhnya kebijakan-kebijakan Korut
kepada negara tetangganya yaitu Korsel. Korsel sebagai negara yang
bertetangga dengan Korut serta memiliki latar belakang sejarah yang kuat
dengannya, dengan adanya kebijakan nuklir tersebut sangat mempengaruhi
dan mengancam keamanan nasional bagi negara Korsel. Dengan demikian,
setiap perkembangan yang didapatkan oleh Korut yang berkaitan dengan
perkembangan teknologi senjata nuklir, pasti akan memberikan pengaruh
14

terhadap pembuatan kebijakan serta tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan pertahanan Korsel.
Sejauh yang Penulis ketahui, kebijakan mengenai pengembangan
teknologi senjata nuklir di Korut ini tidak berdampak serius bagi Indonesia.
Hal ini disebabkan karena secara hubungan internasional, Indonesia dan
Korut tidak memiliki hubungan yang begitu buruk seperti hubungan Korut
dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Selama Indonesia tidak memiliki
masalah yang serius bagi Korut, maka kecil kemungkinannya bahwa
Indonesia akan terkena dampak yang serius dari kepemilikan senjata nuklir
oleh Korut.
Hal yang mungkin harus dicegah adalah dengan terus mengawasi
wilayah territorial Indonesia, baik laut, darat maupun udara jika sewaktuwaktu Korut melakukan percobaannya terhadap senjata nuklir yang
melibatkan wilayah territorial Indonesia secara diam-diam. Dalam kasus yang
demikian, apabila Indonesia tidak memiliki efek penggentar bagi Korut, maka
bukan hal yang tidak mungkin jika pada akhirnya Korut akan bertindak
seenaknya terhadap Indonesia, karena berdasarkan fakta-fakta yang telah di
paparkan sebelumnya, bahkan Korut pun tidak memperdulikan sanksi yang
dijatuhkan oleh Dewan Keamanan PBB saat itu.

15

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
disimpulkan

analisis

bahwa

yang

tindakan

telah
Korut

dipaparkan
dalam

sebelumnya,

menerapkan

bisa

kebijakan

pengembangan teknologi senjata nuklir merupakan salah satu bentuk
manifestasi dari budaya strategis Korut. Berdasarkan teori budaya strategis,
secara historis terlihat bahwa Korut merupakan negara yang pernah dijajah
oleh negara-negara adidaya, serta hingga sekarang pun Korut masih
mempunyai permasalahan dengan Korsel yang bekerjasama dengan Amerika
Serikat. Selain itu, Korut juga secara geografis merupakan negara yang
cukup strategis, bahkan bagi Cina, Korut merupakan halaman depan baginya.
Dengan Kondisi perekonomian Korut yang dinilai sangat jauh dari mapan,
maka bukan hal yang aneh jika Korut mengembangkan teknologi senjata
nuklir untuk menjaga sistem pertahanan negaranya.
Secara politis juga Korut tidak memiliki sahabat baik, sehingga Korut
harus selalu waspada terhadap kondisi apapun yang mungkin akan
memberikan kerugian bagi Korut. Maka, senjata nuklir ini lah satu-satunya
alat bagi Korut untuk memberikan efek penggentar bagi negara-negara
lainnya di dunia, termasuk musuh bebuyutannya, Amerika Serikat. Maka
selama Korut masih bersikukuh untuk menjadikan negaranya sebagai negara
yang berpaham komunis, tertutup dan tidak terlalu berkembang, besar
kemungkinannya bahwa selama itu juga kebijakan mengenai pengembangan
teknologi senjata nuklirnya akan terus dilanjutkan demi menjaga pertahanan
dan keamanan negara Korut.

16

5.2 Saran
Dalam menghadapi perkembangan teknologi nuklir yang sudah
semakin marak dilakukan oleh beberapa negara di dunia, termasuk
Korut, maka tidak ada salahnya Indonesia, yang secara geografis
merupakan negara yang sangat menggiurkan bagi negara-negara
adidaya untuk turut serta dalam mengembangkan teknologi nuklirnya.
Selama ini Indonesia masih terus ‘dijajah’ oleh negara lain, baik secara
politik maupun secara geografi. Negara lain menilai bahwa Indonesia
belum memberikan ancaman yang sangat berarti apabila mereka
hingga saat ini terus memanfaatkan keadaan politik dan geografinya
untuk kepentingan negara mereka.
Dengan dikuasainya teknologi nuklir oleh Indonesia, maka
kemungkinan besar negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat,
negara Uni Eropa, Cina maupun Rusia akan lebih memberikan rasa
hormatnya kepada Indonesia. Selama ini, nuklir dipandang sebagai
sesuatu yang dapat mengangkat derajat suatu negara untuk bisa dilihat
dan disegani oleh negara-negara lainnya. Oleh karena itu, ada baiknya
juga jika Indonesia turut mengembangkan teknologi nuklir dengan tetap
mengikuti aturan-aturan hukum internasional yang mengikat Indonesia.

17

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, B.-J. (1990). Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur. Masalah
Keamanan Asia: CSIS, 159.
Anwar, D. F. (1995). Indonesia's Strategic Culture: Ketahanan Nasional,
Wawasan Nusantara, dan Hamkamrata. Australia-Asia Papers,
Lemhanas, 198-240.
Bermudez, J. S. (1999). A History of Ballistic Missile Development in the
DPRK. Occasiional Paper No.2, 2.
fas.org. (2000, March 3). Doctrine-North Korea. Retrieved August 9, 2016,
from FAS.org.
Ferawati, A. (n.d.). Kebijakan Kim Jong Il Terhadap Pengembangan Nuklir Di
Korea Utara Tahun 1998-2008. 2.
Gray, C. S. (1981). National Style in Strategy: The American Example.
International Security, 22.
Guoliang, G. (2005). Missile Proliferation and Missile Defense in North-East
Asia. North-East Asia Security, 36.
Harrison, S. S. (2002). Korean Endgame: A Strategy For Reunivication and
Us Disengagement. USA: Princeton University Press.
KBS World. (2006). Korean Nuclear. Retrieved 8 9, 2016, from Korean
Broadcasting
System:
http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm
Kuhn, J. (2010). Global Security Issues in North Korea. Multilateralism in
Northeast Asia, 38.
M, M. (2003). Masyarakat Politik dan Pemerintahan Korea: Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nasution, D. (1989). Ilmu Hubungan Internasional: Teori dan Sistem. Jakarta:
Rajawali.
18

New York Times. (2012, 4 10). North Korea. Retrieved August 9, 2016, from
nytimes.com:
http://topics.nytimes.com/top/news/international/countriesandterritories/n
orthkorea/index.html
nti.org. (2009). Missile Overview. Retrieved 8 9, 2016, from Nuclear Threat
Initiative: http://www.nti.org/e_research/profiles/NK/Missile
Perry, W. J. (2006). Proliferation on the Peninsula: Five North Korean Nuclear
Crises. Annals of the American Academy of Political Science Vol. 607,
80.
Sagan, S. D. (1996-1997). Why Do States Build Nuclear Weapon?: Three
Models in Search of A Bomb. International Security, Vol 21, No. 3, 498.
Snyder, J. (1977). Soviet Strategic Culture: Implications for Limited Nuclear
Operation. Santa Monica: RAND, 8.
Uk Heo, J.-Y. W. (2007). South Korea's Response: Democracy, Identity, and
Strategy. New York: MacMillan.
Uk Heo, J.-Y. W. (2008). The North Korean Nuclear Crisis: Motives, Progress,
and Prospects. Korea Observer Vol. 39 No. 4, 490.
Wolfsthal, J. B. (2003). Estimates of North Korea's Unchecked Nuclear
Weapon Production Potential. Nautilus Institute for Security and
Sustainability, No. 38, 88.

19