perlu nya sistem pemilu yang efektif ser

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai.
Tak terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang. Partai telah diyakini sebagai
komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis.
Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi
secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai
negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi dalam banyak kasus terutama di
negara berkembang keberadaan partai justru telah menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif,
inefisien, bahkan tidak jarang menimbulkan chaos. Lain halnya di negara maju (developed countries)
sistem kepartaian di negara ini sudah mapan, terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau
beberapa partai seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang
cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi
banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada
masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi
kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975.
Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu
membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu
sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet. Meskipun

partai politik sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tetapi pemilu di Indonesia baru dilaksanakan
pada tahun 1955. Pada masa itu digunakan sistem multi partai dan sistem perwakilan berimbang atau
proporsional. Dalam prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan friksi. Terbukti dari tidak
bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering terjadi konflik. Kondisi ini menjadikan
pemerintah pada waktu itu tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan
reformasi dan dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer
kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu selanjutnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana analisa saudara terhadap model pemilu yang Efektif dan Efisien?
2. Bagaimana analisa saudara terhadap upaya mengatasi perilaku kader partai yang pragmatis
dan mengutamakan kepentingan kelompoknya sehingga mampu mengurangi perilaku KKN.
3. Bagaimana analisa saudara terhadap situasi politik lokal ketika dilakukan pemilukada secara
serentak.
C. TUJUAN PENULISAN
1

1. Mendeskripsikan model pemilu yang efektif dan efisien
2. Mendeskripsikan upaya mengatasi perilaku kader partai yang pragmatis sehingga mampu
mengurangi perilaku KKN
3. Mendeskripsikan situasi lokal tentang pemilukada secara serentak


2

BAB II
1. MODEL PEMILU YANG EFEKTIF DAN EFISIEN
A. Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan
warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode
berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi
di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih
juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.
Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri
dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya:


Sistem hak pilih



Sistem pembagian daerah pemilihan.




Sistem pemilihan



Sistem pencalonan.

Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang berbeda-beda dan
memiliki cirikhas masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada dua prinsip
pokok, yaitu:
a. Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama.
Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam
mengeluarkan satu suara di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
b. Sistem pemilihan Organis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup
bersama-sama dalam beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekuuanpersekutuan inilah yang diutamakan menjadi pengendali hak pilih.


3

B. Tujuan Pemilu
Secara umum tujuan pemilu adalah
1. Melaksanakan kedaulatan rakyat
2. Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat
3. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dilembaga legislatif serta memilih
presiden dan wakil presiden
4. Melaksanakan pergantian personil pemerintahan secara aman, damai dan tertib
5. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional
C. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Bangsa

Indonesia

telah

menyelenggarakan


pemilihan

umum

sejak

zaman

kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang
vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan
umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha
untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.
6. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun
1955). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua
untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada
pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional.
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, Tidak
ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan

intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik.
Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai.
Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti
tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan
konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
7. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan
untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik
4

menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan
umum.
8. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa
merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk
mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik
dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partaipartai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi

dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan
stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan programprogramnya, terutama di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum,
Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian.
Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara
partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan
Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu
tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara
terbanyak selalu diraih Golkar.
9. Zaman Reformasi (1998- Sekarang)
Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang
bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak
mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada
pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48
partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini
disebabkan telah diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU no
3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti
pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi

DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu
selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.

5

B. Pentingnya Pemilu
Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret
keiktsertaan(partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem &
penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui
penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar
mewujudkan pemerintahan demokratis.
Pemilu sangatlah penting bagi sebuah negara, dikarenakan:


Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.



Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.




Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.



Pemilu

merupakan

sarana

untuk

melakukan

penggantian

pemimpin


secara konstitusional.
C. Asas-asas Pemilu
1. Langsung
Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara
langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada
perantara.
2. Umum
Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg memenuhi
persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan,
pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain.
3. Bebas
Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih
pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk
membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
4. Rahasia
6

Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan
pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

5. Jujur
Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga
bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Adil
Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

E. Pemilu Sistem Distrik dan Proporsional
Sistem perwakilan distrik (satu dapil untuk satu wakil).
Di dalam sistem distrik sebuah daerah kecil menentukan satu wakil tunggal berdasarkan
suara terbanyak, sistem distrik memiliki karakteristik, antara lain :


first past the post : sistem yang menerapkan single memberdistrict dan pemilihan yang
berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak.



the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai dasar untuk
menentukan pemenang pemilu. ini dijalankan untuk memperoleh pemenang yang
mendapatkan suara mayoritas.



the alternative vote : sama dengan first past the post bedanya adalah para pemilih
diberikan otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking
terhadap calon-calon yang ada.



block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang
terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.

Kelebihan Sistem Distrik


Sistem ini mendorong terjadinya integrasi antar partai, karena kursi kekuasaan yang
diperebutkan hanya satu.

7



Perpecahan partai dan pembentukan partai baru dapat dihambat, bahkan dapat
mendorong penyederhanaan partai secara alami.



Distrik merupakan daerah kecil, karena itu wakil terpilih dapat dikenali dengan baik
oleh komunitasnya, dan hubungan dengan pemilihnya menjadi lebih akrab.



Bagi partai besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas di parlemen.



Jumlah partai yang terbatas membuat stabilitas politik mudah diciptakan

Kelemahan Sistem Distrik


Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di partai, hal
ini menyebabkan partai besar lebih berkuasa.



Partai kecil dan minoritas merugi karena sistem ini membuat banyak suara terbuang.



Sistem ini kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan pluralis.



Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya daripada
kepentingan nasional.

Sistem Proposional ( satu dapil memilih beberapa wakil )
Sistem yang melihat pada jumlah penduduk yang merupakan peserta pemilih. Berbeda
dengan sistem distrik, wakil dengan pemilih kurang dekat karena wakil dipilih melalui tanda
gambar kertas suara saja. Sistem proporsional banyak diterapkan oleh negara multipartai,
seperti Italia, Indonesia, Swedia, dan Belanda.
Sistem ini juga dinamakan perwakilan berimbang ataupun multi member constituenty.
ada dua jenis sistem di dalam sistem proporsional, yaitu ;


list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar
calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai
didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.



the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan
preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.

8

Kelebihan Sistem Proposional


Dipandang lebih mewakili suara rakyat sebab perolehan suara partai sama dengan
persentase kursinya di parlemen.



Setiap suara dihitung & tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil & minoritas
memiliki kesempatan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat
mewakili masyarakat majemuk(pluralis).

Kelemahan Sistem Proposional


Sistem proporsional tidak begitu mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai
yang terus bertambah menghalangi integrasi partai.



Wakil rakyat kurang dekat dengan pemilihnya, tapi lebih dekat dengan partainya. Hal
ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di
parlemen.



Banyaknya partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk
menjadi partai mayoritas.

Perbedaan utama antara sistem proporsional & distrik adalah bahwa cara penghitungan suara
dapat memunculkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masingmasing partai politik.
F. Analisa Pemilihan Umum 2014
Pemiihan Umum tahun 2014 sudah semakin dekat yang sesuai rencana akan
dilaksanakan pada tanggal 9 April dan 9 Juli 2014, dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan
Pemilu dengan memilih calon legislatif baik di tingkat DPR, DPD, maupun DPRD yag
kemudian dilanjutkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sistem pemilu adalah seperangkat aturan yang mengatur cara pemilih memberikan
pilihan dan mentransfer suara menjadi kursi. Sistem Pemilu menjadi sangat penting karena,
mempengaruhi hasil pemilu, mempengaruhi sistem kepartaian, mempengaruhi perilaku
politik masyarakat dan mempengaruhi stabilitas politik dan pada pemilu kali ini sistem yang
digunakan masih pada sistem pemilu proporsional, selain itu sebagaimana telah direncanakan
9

sejak tahun 2012 bahwa sistem pemilu pada tahun 2014 ini akan menggunakan electronic
voting (e-voting). Electroninc voting atau e-voting adalah proses pemungutan suara dan
penghitungan suara yang menggunakan perangkat elektronik atau teknologi informasi.
Tujuan penggunaan e-voting tidak saja untuk mempercepat proses pemungutan dan
penghitungan suara, tetapi yang lebih penitng adalah untuk menjaga otentisitas atau keaslian
suara pemilih, sekaligus menjaga akurasi penghitungan suara.
Sistem Proporsional
Sistem proporsional ini pada dasarnya bertujuan untuk mengimbangkan atau
memproporsionalkan antara suara sah yang diperoleh pada pemungutan suara yang kemudian
dikonversi menjadi kursi, Sistem ini sendiri sejatinya telah diaplikasikan sejak Pemilu tahun
1971, termasuk dimana terjadi suatu rekayasa perolehan suara melalui Golongan Karya yang
pada saat itu (sampai tahun 1999) sehingga menjadi golongan mayoritas. Sebagai
perbandingan, pada Pemilu 2004, jumlah suara yang diperoleh Partai Golkar adalah
24.480.757 (21,58%) atau jika dikonversi menjadi 128 kursi (23,30%) dan perolehan PDI-P
yaitu 21.026.629 (18,53%) atau 109 kursi (19,80%).18 Pada saat itu, ketentuan ambang batas
(Presidential Threshold) adalah 15% jumlah kursi di DPR atau 20 % dari jumlah suara sah
nasional Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden:
(4) Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurangkurangnya15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh
persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Mengaca pada pasal tersebut, maka ada ketentuan yang melunak dengan penambahan
kata substitusi `atau`, selain itu juga ada ketentuan bahwa partai politik yang tidak mencapai
nilai 15% dan 20% dapat menggabung partainya sehingga diperoleh ekuivalen yang melebihi
ketentuan angka tersebut (koalisi).
Dalam tataran pemilu, sebagaimana disebutkan oleh David M. Farrel, 19 bahwa sistem
proporsional tidak dapat se-ortodoks dengan mengacu secara statis pada konsep Thomas
Hare, Victor d`Hondt, Eduard Hagenbach-Bischoff, maupun A. Saint-Lague, menurut Farrel
terdapat ciri pada tipe Proportional Representation (PR), yaitu: setiap distrik berwakil
majemuk atau terdapat lebih dari satu calon, setiap partai politik menyajikan daftar kandidat
yang melebihi jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan, pemilih memilih
salah satu kandidat, partai memperoleh kursi sebanding dengan suara yang diperoleh, dan
10

kandidat atau calon yang telah melebihi ambang batas (threshold) dapat mewakili. Pada
pemaparan Farrel tersebut bahwa dapat diambil konklusi bahwa Indonesia kerap menerapkan
sistem pemilu proporsional dengan varian Proportional Representation (PR) yang juga dipilih
guna adaptasi dengan sistem demokrasi dan heterogenitas di masyarakat.
Teknik yang digunakan dalam Pemilu di Indonesia lebih condong pada Teknik Kuota
dengan varian baik Hare maupun Droop.
Kuota Hare (HQ)
HQ= v/s

Kuota Droop (DQ)
DQ= v/ (s+1)

v= jumlah total suara yang sah;

v= jumlah total suara yang sah;

s= jumlah kursi yang disediakan tiap

s= jumlah kursi yang disediakan tiap

daerah daerah
Resiko Pemilihan Suatu Sistem Pemilu
Pada lingkup sistem proporsionalitas, disebutkan oleh Will Kymlicka bahwa sistem
tersebut memiliki problem yang besar dalam masyarakat heterogen atau majemuk, sebagai
contoh bahwa di Amerika Serikat, warga dengan penutur Bahasa Spanyol memiliki berjumlah
8%, namun hanya memegang 0,8% jumlah kursi. Sedangkan di Kanada, warga Aborigin
berjumlah 3,4% dari jumlah penduduk, namun hanya memegang 1% kursi legislatif, hal
tersebut mendeskripsikan bahwa terdapat kesenjangan yang nyata antara jumlah penduduk
dengan jumlah kursi yang diperoleh.
Selain itu resiko dalam suatu sistem pemilu adalah disproporsionalitas yang dapat
juga terjadi pada sistem pemilu proporsional, semakin menyempit daerah pemilihan maka
semakin besar tingkat diaproporsionalitasnya, begitu pun sebaliknya, dalam disproporsional
terjadi suatu pengerdilan dari partai politik kecil atau minoritas terutama pada tingkat pemilu
nasional, sehingga meskipun suaranya tinggi di daerah, namun tidak dapat berbicara lebih
pada kancah nasional. Contoh Partai Matahari Bangsa yang dalam Pemilu anggota DPRD
Kabupaten Pesisir Selatan memperoleh 4.699 suara atau 2,4% dari total suara tetapi tidak
dapat mengikuti Pemilu nasional seperti pemilihan anggota DPR-RI karena terbentur sistem
parliamentary threshold.
Gallagher (1991-index least-squares) menyebutkan bahwa salah satu rumus untuk
melihat tingkat disproporsionalitas yaitu:
11

Lsq= √

½ Σ (V-S)2

Keterangan:
Lsq = indeks disproporsionalitas
V = prosentase suara partai
S = prosentase perolehan kursi
Resiko lain lagi yaitu berkaitan dengan pembentukan kabinet dimana partai atau
gabungan partai yang mayoritas dapat memonopoli bahkan menyingkirkan suara dari partai
atau gabungan partai lain yag lebih sedikit dari segi kuantitas atau bargain politik.
Keuntungan Pemilihan Sistem Proporsional
1. Secara historis telah dilaksanakan di Indonesia sejak Pemilu 1971, 1977, 1982,
1987,1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009 sehingga kelemahan dan kelebihan lebih
mudah untuk diantisipasi oleh penyelenggara pemilu;
2. Sistem proporsional menjamin keberadaan partai-partai minoritas meski peluang
untuk terjadinya ketimpangan perolehan suara diantara partai mayoritas dengan
minoritas juga akan tinggi, sebagai contoh pada Pemilihan Umum hari ini, Rabu 9
April 2014 dalam hitung cepat Litbang Kompas (http://www.kompas.com/) sampai
dengan pukul 18.15 WIB disebutkan bahwa PDI-P memperoleh 19,21% suara
dikomparasi dengan PKPI yang memperoleh 0,87% suara.

12

2. MENGATASI

PRILAKU

MENGUTAMAKAN

KADER

PARTAI

KEPENTINGAN

YANG

KELOMPOK

PRAKMATIS

DAN

SEHINGGA MAMPU

MENGURANGI PERILAKU KKN
A. Sistem Seleksi dan Kompetisi Kandidat
Sistem seleksi dan kompetisi untuk jabatan bupati, walikota, gubernur hingga presiden
merupakan suatu mekanisme partai dalam menentukan kandidat partai yang berbasis
elektoral. Dalam rangka ini, rekrutmen (pencalonan) politik adalah sebagai sarana merekrut
dan menyeleksi masyarakat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui pemilu.
Pada umumnya, terdapat dua pola sistem seleksi kandidat. Pertama, inklusif (terbuka) bagi
siapapun dapat mencalonkan melalui partai politik dengan memenuhi syarat ringan (eligible).
Jadi, tidak ada keharusan menjadi anggota partai tersebut, ataupun kesamaan ideologi.
Kedua, pola eksklusif (tertutup), terdapat sejumlah syarat yang membatasi hak pemilih untuk
ikut serta dalam seleksi kandidat. Misalnya, ada syarat khusus bagi kandidat yang ikut
diseleksi. Sebagai contoh, kader yang dapat diseleksi harus memenuhi syarat yakni selama 3
tahun berturut-turut menjadi anggota partai dan mempunyai visi dan misi yang sejalan
dengan ideologi dan garis perjuangan partai. Singkat kata, semakin inklusif proses seleksi
kandidat, maka semakin demokratis. Sebaliknya, semakin eksklusif seleksi kandidat semakin
tidak demokratis seleksi itu—tidak transparan dan hanya internal elit saja sebagai penyeleksi
ataupun penentuan kandidat (Rahat dan Hazan, 2006: 110).
Terkait perekrutan kandidat secara inklusif (terbuka), meski syarat dari internal partai
cukup ringan, namun ada dua faktor yang cukup menentukan terekrutnya anggota luar
menjadi kandidat. Sebagaimana menurut Rahat dan Hazan: Pertama, syarat keterjaminan
terpilihnya kandidat tersebut (tingkat elektabilitas). Dalam kerangka politik lokal, proses
seleksi kandidat terletak pada rekam jejak seorang figur. Rekam jejak dan popularitas ini
sangat menentukan dapat diterimanya seseorang oleh masyarakat. Prestasi seorang Bupati
misalnya, ditimbang melalui neraca rasionalitas, untuk menentukan apakah bisa dianggap
telah mencapai hasil yang dijanjikan atau tidak. Karena itulah, dalam kultur pragmatis,
elektabilitas incumbent akan sangat tinggi. Elektabilitas ini akan mujarab dan menjangkau
lintas-kelompok, etnis, agama, dan seterusnya, karena hal-hal yang bersifat konsep dan
ideologis telah diabaikan melalui kompromi dan toleransi.
Kedua, faktor biaya. Pertimbangan penentu dalam perekrutan kandidat orang luar adalah
dari segi biaya. Hal ini karena keikutsertaan dalam pilkada membutuhkan banyak biaya.
13

Kebutuhan dana yang inheren dalam pilkada. Dana sebagai alat peraga dalam kampanye
(kaos, poster, rontek, spanduk, baliho, iklan di media massa). Faktor uang menjadi penting
bila kandidat ingin dapat dukungan dari sebuah partai harus memberi sejumlah uang, dengan
berbagai istilah seperti sumbangan, pembinaan, dan sebagainya. Situasi ini akan muncul
terutama sekali jika kandidat yang dimunculkan partai berasal dar luar partai. Namun, hal ini
juga bisa terjadi kemungkinan dari kader partai yang harus menyetor sejumlah uang ke partai
(Pamungkas, 2010; 3). Sementara itu, uang juga diperlukan untuk memikat pemilih. Pemilih
melihat uang dalam pilkada sebagai insentif bagi mereka atas pilihan yang mereka berikan.
Pemilih akan memberikan dukungan suara ketika mereka menerima kompensasi uang dari
kandidat. Pemilih tidak melihat peristiwa itu sebagai pragmatisme tetapi lebih pada
mekanisme barter yang disepakati tanpa harus melihat itu sebagai sesuatu yang buruk.
B. Faktor-Faktor Penting dalam Pemenangan Kompetisi
Pemilu kepala daerah yang berbasis kompetisi merupakan momentum tepat bagi partai
manapun untuk memenangkan kandidatnya. Atas persoalan ini menjadi faktor penting dalam
keputusan penentuan calon bupati dan wakil bupati sebagai kandidat yang potensial bagi
partai. Pertama, dari segi penguasaan birokrasi yang berarti dapat melibatkan birokrasi secara
langsung maupun terselubung untuk mendukung pemenangan. Kedua, dalam segi penentuan
kebijakan dalam aspek kepentingan umum dalam menciptakan pembangunan ekonomi,
sosial, budaya, dan politik dalam masyarakat.
C. Analisis Simultan terhadap Domain Internal dan Eksternal dalam Kader Partai
Hubungan logis antara seleksi internal dan eksternal dalam rekrutmen kepala daerah
adalah berdasarkan standar normatif kandidasi untuk mengisi jabatan kepala daerah
(AD/ART partai). Ketika kandidat terekrut dari nilai rasional yang berbeda dengan common
values, maka menjadi tindakan pragmatisme karena tidak dikawal dengan idealisme sejak
awal.
Saat ini uang telah dirasionalisasi sebagai istilah take and give—suatu keharusan dalam
bergeraknya mesin politik di masyarakat. Oleh karena nya, tidak mengherankan jika akan
dijumpai lebih banyak peran uang dalam proses politik lokal. Pertama, dalam hal kaderisasi
di internal partai. Kedua, orang luar dalam proses seleksi kandidasi untuk mengisi jabatan
kepala daerah yang berbasis persaingan. Keduanya adalah alur pragmatisme yang telah
menjadi sebuah siklus yang utuh: bersumber dari masyarakat yang plural dan pragmatis, lalu
14

dikapitalisasi oleh partai politik menjadi faktor pemenangan pemilu menuju kekuasaan, dan
diterima kembali oleh masyarakat melalui politik transaksional, yakni diperolehnya
pemimpin yang kompatibel dengan keinginan masyarakat.
Dalam pilkada, uang dapat dikonversi dari satu bentuk ke bentuk yang lain dengan cepat.
Dalam pilkada, uang dapat dipertukarkan dengan cepat menjadi baliho, spanduk, rontek dan
iklan. Tim kampanye dapat terbentuk dengan cepat, jumlah uang yang banyak dan merata.
Selain itu, uang juga dapat dikonversi menjadi berbagai fasilitas pendukung kampanye dan
menyewa konsultan politik secara profesional. Uang bekerja sangat masif, sehingga siapa
yang akumulasi uangnya banyak, dapat mengkonversinya dalam berbagai bentuk keperluan
pilkada. Dengan kata lain, uang menjadi penghubung antara aktor aktor yang berinteraksi
dalam pilkada, yaitu partai, kandidat, dan pemilih.
Dengan begitu uang diperagakan secara berbeda yakni (1) Partai; uang sebagai
kompensasi dukungan partai pengusung dan partai pendukung terhadap pencalonan kandidat
dan uang untuk menggerakkan mesin partai, (2) Popularitas Kandidat; uang sebagai alat
untuk pembiayaan kampanye dan mendongkrak popularitas, (3) Pemilih; uang adalah insentif
untuk memilih seorang kandidat.
Umumnya kandidat yang muncul saat ini ialah orang yang tidak populer atau tidak
memiliki aspektibiltasyang baik dimasyarakat, sehingga kompensasi atas hal itu membuat
kandidat mengambil jalan pintas dengan politik uang sebagai alat mendekatkan kandidat
kepada masyarakat.

15

3. SITUASI

POLITIK

LOKAL

KETIKA

DILAKUKAN

PEMILUKADA SERENTAK
A. Pengertian Politik Lokal
Politik lokal merupakan semua kegiatan politik yang berada pada level lokal, dalam
hal ini diantaranya kota, kabupaten dan desa. Politik lokal berkaitan dengan politik seperti
halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun pemilihan kepala daerah.
Dalam politik lokal , pemerintah nasional tidak dapat berperan secara penuh, karena politik
lokal cakupannya berada dibawah tingkat nasional. Hal ini terjadi karena dalam setiap tatanan
lokal sudah memiliki peraturan dan kebijakan daerah masing-masing.
Politik lokal dapat diartikan sebagai pasar lokal yang menyediakan pelayanan publik,
pemerintahan lokal juga dianggap sebagai penyedia layanan yang baik bagi masyarakatnya
karena lebih dapat mengerti kebutuhan rakyatnya. Politik lokal lebih memperhatikan hak-hak
rakyat kecil, karena politik lokal menggunakan pendekatan grass-root sehingga rakyat kecil
menjadi sebuah prioritas.
B. Sejarah Politik Lokal di Indonesia
Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial,
desentralisasi kekuasaan, dan administrasi pemerintahan itu sendiri. Bahkan jauh kebelakang,
ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya seantero nusantara, para bangsawan
mempergunakan politik lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Dengan itu
politik lokal bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa Indonesia.
Sejarah politik lokal Indonesia terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu :
penjajahan kolonial Belanda; penjajahan kolonial Jepang ; pasca kemerdekaan 1945 :
Republik Indonesia Serikat tahun 1948-1949; demokrasi parlementer; demokrasi terpimpin;
Orde Baru; dan Pasca Orde Baru.
C. Pengertian Pemilukada
Pemilihan kepala daerah atau yang biasa disebut PILKADA atau PEMILUKADA
dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi
syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang antara lain Gubernur dan wakil gubernur untuk
provinsi, Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, serta Wali kota dan wakil wali kota untuk
kota.
16

Dalam penyelenggaraan PILKADA telah diatur dalam Undang-Undang berikut adalah
Dasar Hukum Penyelenggaraan PILKADA yang antara lain adalah :
1. Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 17 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan
Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
3.
4.
5.
6.
7.

PP Pengganti UU Nomor 3 tentang PERPU NO 3 TAHUN 2005
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
UU RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pengertian pemilukada
UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Adapun Partai Politik/Gabungan Partai Politik yang berhak mengusung pasangan calon
dan syarat dukungan calon perseorangan pada Pemilukada adalah sebagai berikut:
1) Partai Politik/Gabungan Partai Politik
a) Pasal 59 Ayat (2) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Partai
politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen)
dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
b) Pasal 6 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis
Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah:
(1) Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang
memiliki kursi di DPRD, penghitungan dilakukan dengan cara
menjumlahkan perolehan kursi gabungan partai politik sehingga diperoleh
jumlah kursi paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi
DPRD.
(2) Dalam hal hasil penjumlahan kursi partai politik atau gabungan partai
politik yang memiliki kursi di DPRD tidak mencukupi 15% (lima belas
perseratus) dari jumlah kursi DPRD, maka penghitungan dilakukan
berdasarkan perolehan suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus)
dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD dan DPRD terakhir di daerah yang bersangkutan.
(3) Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang
memiliki kursi di DPRD dengan partai politik yang tidak memiliki kursi di
DPRD, penghitungan dilakukan dengan cara menjumlahkan perolehan
suara sah gabungan partai politik sehingga diperoleh jumlah suara sah
paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara
sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD yang bersangkutan.
(4) Dalam hal bakal pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik yang
tidak memiliki kursi di DPRD, penghitungan suara sah dilakukan dengan
17

cara menjumlahkan perolehan suara sah gabungan partai politik sehingga
diperoleh jumlah suara sah paling sedikit 15% (lima belas perseratus) dari
akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD
yang bersangkutan.
2) Calon Perseorangan
a) Pasal 59 Ayat (2b) huruf d UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah:“kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen)”.
b) Pasal 59 Ayat (2d) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Jumlah
dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b) tersebar di lebih
dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud”.
c) Pasal 59 Ayat (2e) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah:
“Dukungan dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.

18

BAB III
PENUTUP
Dengan mencari tahu solusi bagi pemilu yang efektif dan evisien dapat diterapkan
sistem pelaksanaan proporsional , karena hal tersebut dapat memberikan transparansi dalam
kegiatan pemilukada di Indonesia tanpa harus menghilangkan budaya demokrasi yang sudah
ada sampai saat ini.
Melalui sistem proporsional ,suara sah yang diperoleh pada pemungutan suara yang
kemudian dikonversi menjadi kursi, jadi hal tersebut dapat memberikan kesempatankesempatan pada partai-partai yang memperoleh suara minoritas.
Terkait prilaku kader partai yang mementingkan keutamaan kelompok dapat
dilakukan perbaikan perekrutan dengan melihat sejarah calon yakni, prestasi kerja dalam
kehidupan bermasyarakat

maupun organisasi-organisasi

pemerintah

maupun lokal,

menjauhkan kader partai dari politik uang dengan membatasi nya dengan 30 % dana dari
calon itu sendiri dan 70% dari partai politik, hal ini sebagai pengorbanan sebuah partai untuk
memberikan kader terbaik nya dalam menaikan nama-nama dalam keikut sertaan pemilu baik
tingkat daerah kab/kota, provinsi hingga tingkat pusat. Kemudian dari pada itu faktor
penunjang lainnya ialah sebuah kebijakan yang berkualitas yang mampu memberikan
gambaran umum dari rencana kepemimpinan kandidat yang maju di pemilukada. Hal-hal
tersebut mampu meningkatkan kwalitas kandidat dan bukan hanya sekedar kepemilikan
popularitas dari kandidat-kandidat yang siap maju berkompetisi dalam pemilukada di tiaptiap daerah khususnya di Indonesia.
Setelahnya dari pada itu pelaksanaan pemilu kada serentak mampu memberikan
dampak yang baik pada perpolitikan di Indonesia , hal ini di karenakan partai-partai politik
yang ada mesti mempersiapkan kader-kader yang lebih banyak sehingga mengurangi
diskriminatif pada salah satu orang saja yang telah gagal di suatu daerah tertentu kemudian
mencoba keberuntungannya kembali di daerah lain , maka hal ini lebih memungkinkan
adanya penyegaran terhadap kandidat-kandidat yang akan maju dalam kompetisi pemilukada,
ini dikarenakan akan adanya ruang yang lebih luas serta leluasa untuk diisi oleh para pemudapemuda yang berkarakter.

19