T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik Maluku merupakan rangkaian peristiwa kelam yang telah
menjadi catatan tragis dan memilukan dalam sejarah anak negeri Seribu Pulau.
Konflik komunal yang terjadi di wilayah Maluku tersebut mewujud dalam aksiaksi kekerasan kolektif dengan menggunakan simbol-simbol Agama. Disebut
rangkaian persitiwa kelam karena konflik Maluku bukanlah sebuah catatan gelap
yang terjadi hanya sekali, melainkan dalam beberapa periode, antara lain :
Periode pertama tahun 1999-2002. Periode ini ditandai dengan
perkelahian jalanan yang meluas pada konflik antar kelompok dan semakin
menyebar menjadi konflik masal di kota Ambon pada pertengahan tahun 1999.
Konflik tersebut mulai merambat ke seluruh kepulauan Maluku pada bulan Maret
tahun 2000. Akibat konflik tersebut, Pemerintah Maluku mulai mengambil
kebijakan untuk memperlakukan darurat sipil di seluruh daerah Maluku dan
Maluku Utara. Meskipun darurat sipil telah diberlakukan, namun eskalasi konflik
semakin memanas dengan munculnya stigmatisasi Republik Maluku Selatan
(RMS) yang disematkan kepada orang Kristen dan Gereja Protestan Maluku
(GPM) secara institusi. Meredahnya konflik pada periode pertama ini terjadi di
tahun 2002, seiring dilakukannya proses perdamaian yang dikenal dengan
perjanjian damai Malino II pada 11 Februari 2002, bertempat di pegunungan
Malino Sulawesi Selatan. Perjanjian damai tersebut dipimpin langsung oleh
Pemerintah pusat Republik Indonesia. Kesepakatan dalam perjanjian Malino ini
ternyata tidak serta merta mengakhiri konflik Maluku, karena konflik masih terus
berlangsung, meskipun terjadi dalam skala yang kecil. Namun demikian,
kesepakatan Malino telah menjadi dasar (starting point) rekonsialiasi untuk
semua pihak yang berproses bagi perdamaian yang lebih luas di Maluku.
Periode kedua tahun 2004-2005. Periode ini telah mengaitkan konflik
Maluku dengan isu Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang mengusung ideologi
lama Republik Maluku Selatan untuk pengembalian kedaulatan Maluku. FKM
menjelma sebagai hantu April, karena sosoknya sangat ditakuti menjelang bulan
April. Laksana sosok hantu yang bergentayangan dalam lakon film horror,
demikian pun dengan FKM yang sangat menakutkan karena menstimulisasi dan
memaksa orang untuk bersembunyi karena diikuti oleh sang pemburu hantu.
Kehadiran FKM telah memprovokasi masyarakat Maluku untuk tampil di pentas
konflik dengan terbuka.
1
Periode ketiga tahun 2011. Konflik Maluku kembali muncul pada periode
ketiga dengan isu kematian seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen seorang
warga Muslim akibat kecelakaan di wilayah Kristen, Gunung Nona. Ia dikatakan
mengalami kematian karena dibunuh. Kejadian ini turut memanaskan situasi
masyarakat Maluku, khusus di Kota Ambon. Masyarakat Islam dan Kristen yang
terpengaruh dengan isu yang disebarkan, saling melakukan pelemparan, bahkan
pembakaran dan pembunuhan. Sekalipun kondisi ini tidak berlangsung lama,
tetapi turut menjadi catatan kelam dalam perjalanan konflik masyarakat Maluku.
Kenyataan konflik di atas hendak menunjukkan bahwa kehidupan
masyarakat di Maluku masih sangat rentan dengan konflik. Ketika ada sedikit
gesekan, maka konflik itu dapat terjadi kapan saja. Hal ini kemudian
memunculkan pertanyaan dasar? Apakah yang sesungguhnya menjadi
latarbelakang dibalik kerentanan konflik Maluku atau faktor apakah yang
menjadi latarbelakang sehingga Maluku menjadi daerah yang rentan dengan
konflik? Sejumlah pendekatan perdamaian sudah diupayakan baik itu berupa
pendatanganan perjanjian Malino II, hingga pada pembangunan gong perdamaian
di wilayah Maluku, tetapi konflik tetap saja dimungkinkan terjadi di wilayah
Maluku. Begitu pula sejumlah upaya melalui pendekatan Sosial-budaya yakni
Pela-Gandong, Lavur-Ngabal, serta masohi, dan sebagainya, dinilai belum mampu
menempatkan Maluku pada kondisi damai secara utuh. Hal yang sama terjadi pula
dengan pendekatan dialog antar umat beragama yang hanya menghadirkan
perdamian secara temporal (sesaat).
Segregasi yang terjadi pada masyarakat Maluku bukanlah sebuah
kenyataan yang baru saja muncul, melainkan sudah hadir sebagai warisan sosial
pada masa kolonial. Tiga penguasa kolonial diantaranya, segregasi pola portugis,
pola VOC, dan pola Hindia-Belanda yang mempunyai kesamaan aspek dalam
kebijaksanaan segregasinya, yaitu fisik kewilayahan, di mana masyarakat dipisahpisahkan berdasarkan tempat tinggalnya menurut perbedaan warna kulit, agama,
dan kultural. Berdasarkank salah satu dari tiga aspek itu pula, pemerintah kolonial
mengondisikan masyarakat ke dalam dua varian kelompok, yaitu Kelompok
Keyakinan Dominan (KKD) dan Kelompok Keyakinan Minoritas (KKM).1
Berdasarkan hal demikian, maka dapat dikatakan bahwa penyebab konflik
Maluku bukan karena sebuah luapan emosional dari umat beragama atau
runtuhnya sistem sosial –budaya, melainkan lebih kepada menguatnya jalur
segregasi dibalik rangkaian konflik Maluku. Pada masa prakonflik pemetaan
ruang kehidupan masyarakat Ambon dapat digambarkan pada tabel berikut ini:
1
Muh, Saerozi, Politik Agama dalam Era Plualisme, (Yogyakarta : Tiara Wacana 2004), hlm 54
2
Tabel 1.12
Menguatnya Jalur Segregasi Pasca Konflik Maluku
Komunitas
Islam
Kristen
Pasar
Rumah Sakit
pasar
Batumerah
Mardika dan
pasar
Lama/belakang
Ambon Plaza,
sebagai pasar
komunitas
Muslim
RS Al-Fatah,
AlMuqadam,
RS Al-Aqsa
sebagai RS
komunitas
Muslim
pasar Passo,
pasar Tagalaya,
dan pasar Batu
Meja sebagai
pasar komunitas
Kristen
RS GPM,
Bakti
Rahayu,
RSU Dr
Haulusi,
Ottokuick
sebagai RS
komunitas
Kristen.
Kantor
Polisi
Kantor
Polres
Ambon
sebagai
kantor
alternatif
bagi Polisi
yang
beragama
Islam
Kantor Media
Massa
kantor TVRI
alternatif di
kompleks PBB
Jl.
Jend.Sudirman
untuk
karyawan
Muslim;
Kantor
Polda
Maluku
sebagai
kantor
alternatif
Polisi
yang
beragama
Kristen
Kantor TVRI
Gunung Nona
yang hanya bisa
digunakan
karyawan
beragama
Kristen
Pemuki-man
Batumerah,
Kebun
Cengkeh,
Galunggung,
Waihaong,
Silale, Talake
Passo,
Halong,
Galala,
Belakang
Soya, Karang
Panjang, Batu
Meja, Batu
Gajah,
Batugantung,
Kudamati,
Benteng,
Gunung
Nona,
Airsalobar
Jalur
Transportasi
Batumerah,
kebun
Cengkeh,
Galunggung
Waihaong/
Tanah lapang
Kecil, Laut:
Batumerah
/Mardika
Poka/Rumah
Tiga, Laha
sebagai jalur
transportasi
komunitas
Muslim
Jalur
Kudamati,
Air Salobar,
Batugajah,
Laut: Gudang
Arang
Halong, dll
sebagai jalur
komunitas
Kristen;
Pemetaan seperti ini tidak hanya terjadi dipusat kota, Maluku, melainkan
juga dirasakan hampir di seluruh wilayah Maluku pascakonflik. Oleh sebab itu,
untuk menyelesaikan konflik Maluku secara utuh, maka jalur-jalur segregasi
tersebut hendaknya diubah dengan cara menciptakan sebuah ruang bersama
sebagai ruang yang mempertemukan komunitas Islam dan komunitas Kristen bagi
perdamaian Maluku.
2
Tamrin Amal Tomagola, dkk,Format Ulang Birokrasi Kota Ambon, (Makasar : Ininnawa 2007 ),
hlm 16-17
3
Di tengah-tengah kenyataan segregasi masyarakat yang tercipta karena
konflik, muncul sebuah lifestyle baru yang dapat dijadikan sebagai model dalam
upaya menciptakan ruang bersama yang selama ini menjadi kekurangan dalam
proses rekonsiliasi bagi masyarakat Maluku. Hal dimaksud adalah pemanfaatan
media sosial sebagai model perdamaian, khususnya oleh komunitas muda-mudi di
Maluku. Melalui media sosial, telah tercipta sebuah ruang bersama yang
menghubungkan antara komunitas Islam dan Kristen di Maluku, sebagai model
alternatif perdamaian di tengah-tengah pemetaan ruang geografis masyarakat
Maluku yang segregatif.
Kemunculan pendekatan media sosial sebagai sebuah ruang bersama,
telah menyuarakan perdamaian, serta menyatukan perspektif, bahkan
mengorbitkan titik perdamaian Maluku secara utuh terhadap kedua komunitas
(Islam dan Kristen) yang berkonflik di Maluku. Media sosial menjadi ruang
bersama yang memunculkan seruan perdamaian, bahkan karya-karya perdamaian
berupa puisi, lagu, pantun dan sebagainya yang digunakan oleh beberapa
komunitas, seperti: Rumah Beta, MHC (Molucca Hip-Hop Community), Baronda
Ambon, Maluku Satudarah, dan lain sebagainya.
Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang
menjadi masalah dalam penelitian akan dikaji menjadi beberapa pertanyaanpertanyaan penting:
1. Apa pengaruh Segregasi sebagai ancaman konflik masyarakat Maluku?
2. Bagaimana media sosial sebagai ruang bersama dalam pendekatan
penyelesaian konflik?
3. Sejauh mana peran dan fungsi komunitas muda-mudi di Maluku lewat
pemanfaatan media sosial sebagai pejuang perdamaian Maluku?
Pembatasan Masalah
Penelitian ini hanya menilik peran komunitas muda-mudi yang
menggunakan media sosial dengan karya-karya perdamaian untuk Maluku. Media
sosial yang diteliti adalah Facebook dengan mengedepankan beberapa fitur, yakni
status atau upload (pesan, dokumen, arsip), komentar, dan foto, gambar serta
video.
4
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengaruh Segregasi sebagai ancaman konflik masyarakat
Maluku?
2. Menganalisa Media Sosial sebagai ruang bersama dalam pendekatan
penyelesaian konflik?
3. Memahami peran dan fungsi komunitas muda-mudi di Maluku lewat
pemanfaatan media sosial sebagai pejuang perdamaian Maluku?
Manfaat Penulisan
Manfaat Teoritis
Penelitian ini merupakan refleksi anak Maluku mengenai kenyataan
segregasi yang memetakan ruang kehidupan masyarakat Maluku dan menjadi
sumber konflik di Maluku. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
mengembangkan wawasan berpikir dan pengetahuan yang baik mengenai media
sosial sebagai ruang bersama yang menyuarakan, menjaga, memberitakan serta
membangun perdamaian secara utuh bagi Maluku.
Manfaat Praktis
Maluku sebagai daerah rentan konflik dapat memudahkan terjadinya
perpecahan di kalangan masyarakat dalam waktu kapan pun. Salah satu ancaman
terbesar daripadanya adalah pola segregasi yang melekat dalam kehidupan
masyarakat Maluku. Pola segregasi ini bukan sebuah kenyataan baru, melainkan
sebuah warisan kolonialisme, di mana segregasi telah memetakan ruang bersama
dalam kehidupan masyarakat Maluku yang terpetakan secara agama. Karena itu,
penempatan media sosial sebagai ruang bersama yang dimanfaatkan oleh
komunitas muda-mudi diharapkan dapat menjadi sebuah modal dasar
membangun perdamaian Maluku di masa kini dan masa depan. Melalui media
sosial, pola segregasi dapat teratasi dan nilai-nilai bersama dapat ditumbuhkan
untuk membangun hubungan kekeluargaan bagi Maluku yang lebih baik.
Konsep Yang digunakan
Penelitian berjudul “Media Sosial Sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi Dalam Mengantisipasi Ancaman Pascakonflik Ambon Akibat Segregasi”
mengunakan beberapa konsep sebagai berikut :
5
1
Segregasi
Segregasi dapat dimaknai sebagai terkotak-kotaknya masyarakat
berdasarkan identitas kelompok, misalnya etnisitas, agama, asal geografis, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur-unsur
pemisah yang umum ditemui dalam sosiokultural masyarakat, baik
yang sebelumnya mengalami konflik dan kekerasan maupun tidak.3
2
Padroado
Merupakan kebijakan politik segregasi yang dimiliki oleh
pemerintah kolonial Portugis bukan semata dalam bidang
pemerintahan, melainkan juga dalam bidang kerohanian yakni
agama.4
3
Devide et Impera
Merupakan Kebijakaan Politik Segregasi yang dimiliki oleh
Pemerintah Hindia-Belanda dalam proses memetakan stuktur
masyarakat demi kepentingan kolonial. Devide et Impera merupakan
wujud dari strategi pecah-belah pemerintah Hindia-Belanda untuk
mengamputasi gerakan-gerakan perlawanan masyarakat bumi putra.5
4
Media Sosial
Merupakan ruang bersama yang terhubung secara online melalui
internet sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi.6
5
Ruang Publik
Merupakan ruang yang memperantarai masyarakat sipil dengan
Negara, di mana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana
“opini publik” dibangun.7
Sistematika Penulisan
Tesis ini dimulai dengan Bab I sebagai pendahuluan. Dalam bab ini
didahulukan dengan latar belakang yang menjadi alasan ketertarikan peneliti
melakukan penelitian ini. Dalam bab ini juga peneliti mengajukan pertanyaan
penelitian yang menjadi dasar bagi peneliti ketika melakukan kajian di lapangan.
Selanjutanya peneliti mengajukan tujuan dan manfaat dari penelitian yang
merupakan hal-hal yang peneliti harapkan dapat dicapai dalam penelitian yang
dilakukan
Selanjutnya dalam bab II berisikan pendekatan teoritis yang terkait
dengan Segregasi sebagai batasan Ruang dan ancaman konflik Maluku, serta
Mohammad Hasan Ansori, dkk. Segregasi, Kekerasan dan Kebijakan Rekonstruksi Pasca Konflik di
AmbonProgram Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan, (Depok : The habibie Center 2014), lm 6
4 David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah
(Jakarta BPK Gunung Mulia, 1997) Hlm 355
5 Budi Rajab, “Pluralitas Masyarakat Indonesia Suatu Tinjauan Umum”, dalam Prisma. 6 Juni 1993,
hlm 3.
6 Evi Lavina Dwitang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Karisma Publishing Grup, 2012)
7 Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publicatin Ltd, 380
3
6
Media sosial sebagai ruang bersama yang dimanfaatkan oleh komunitas mudamudi.
Kemudian pada Bab III akan digambarkan konstruksi pola relasi
masyarakat Ambon di masa pra konflik. Hal demikian dinilai penting, karena
melalui konstruksi tersebut dapat dilihat secara jelas gambaran relasi dan
segregasi yang telah kuat menghiasi masyarakat Ambon sebelum dan
pascakonflik.
Bab IV berisikan tentang metode penelitian yang memakai jenis
pendekatan deskritif, dimana akan dijelaskan oleh peneliti dalam hal melihat
proses dari komunitas muda-mudi di Ambon yang akan diteliti, dan juga teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti. Selain itu juga, dalam bab ini
dibahas mengenai proses analisis data hingga menjadi sebuah karya ilmiah.
Bab V dalam tesis ini penulis menguraikan tentang latarbelakang, tujuan
serta pola pengembangan proses relasi Komunitas Muda-Mudi dalam membangun
jaringan.
Bab VI dalam tesis ini akan menguraikan tentang data empirik yang
didapatkan. Kemudian penulis menganalisa temuan penelitian berupa data peran
dan fungsi media sosial sebagai ruang bersama, serta karya komunitas muda-mudi
di Ambon dalam menyuarakan perdamaian. Proses analisa dimaksud, memiliki
keterhubungan dengan teori sebagaimana disebutkan pada Bab II.
Bab VII atau bab terakhir adalah kesimpulan, yang intinya menarik
keseluruhan isi tesis dan juga saran penelitian lanjutan yang dapat ditarik dari
penelitian mengenai “Media Sosial Sebagai Ruang Publik Komunitas Muda-Mudi
Dalam Mengantisipasi Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi”, yakni
implikasi-implikasi teoritik yang berkaitan dengan hasil penelitian dan sejumlah
saran yang diharapkan menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait.
7
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik Maluku merupakan rangkaian peristiwa kelam yang telah
menjadi catatan tragis dan memilukan dalam sejarah anak negeri Seribu Pulau.
Konflik komunal yang terjadi di wilayah Maluku tersebut mewujud dalam aksiaksi kekerasan kolektif dengan menggunakan simbol-simbol Agama. Disebut
rangkaian persitiwa kelam karena konflik Maluku bukanlah sebuah catatan gelap
yang terjadi hanya sekali, melainkan dalam beberapa periode, antara lain :
Periode pertama tahun 1999-2002. Periode ini ditandai dengan
perkelahian jalanan yang meluas pada konflik antar kelompok dan semakin
menyebar menjadi konflik masal di kota Ambon pada pertengahan tahun 1999.
Konflik tersebut mulai merambat ke seluruh kepulauan Maluku pada bulan Maret
tahun 2000. Akibat konflik tersebut, Pemerintah Maluku mulai mengambil
kebijakan untuk memperlakukan darurat sipil di seluruh daerah Maluku dan
Maluku Utara. Meskipun darurat sipil telah diberlakukan, namun eskalasi konflik
semakin memanas dengan munculnya stigmatisasi Republik Maluku Selatan
(RMS) yang disematkan kepada orang Kristen dan Gereja Protestan Maluku
(GPM) secara institusi. Meredahnya konflik pada periode pertama ini terjadi di
tahun 2002, seiring dilakukannya proses perdamaian yang dikenal dengan
perjanjian damai Malino II pada 11 Februari 2002, bertempat di pegunungan
Malino Sulawesi Selatan. Perjanjian damai tersebut dipimpin langsung oleh
Pemerintah pusat Republik Indonesia. Kesepakatan dalam perjanjian Malino ini
ternyata tidak serta merta mengakhiri konflik Maluku, karena konflik masih terus
berlangsung, meskipun terjadi dalam skala yang kecil. Namun demikian,
kesepakatan Malino telah menjadi dasar (starting point) rekonsialiasi untuk
semua pihak yang berproses bagi perdamaian yang lebih luas di Maluku.
Periode kedua tahun 2004-2005. Periode ini telah mengaitkan konflik
Maluku dengan isu Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang mengusung ideologi
lama Republik Maluku Selatan untuk pengembalian kedaulatan Maluku. FKM
menjelma sebagai hantu April, karena sosoknya sangat ditakuti menjelang bulan
April. Laksana sosok hantu yang bergentayangan dalam lakon film horror,
demikian pun dengan FKM yang sangat menakutkan karena menstimulisasi dan
memaksa orang untuk bersembunyi karena diikuti oleh sang pemburu hantu.
Kehadiran FKM telah memprovokasi masyarakat Maluku untuk tampil di pentas
konflik dengan terbuka.
1
Periode ketiga tahun 2011. Konflik Maluku kembali muncul pada periode
ketiga dengan isu kematian seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen seorang
warga Muslim akibat kecelakaan di wilayah Kristen, Gunung Nona. Ia dikatakan
mengalami kematian karena dibunuh. Kejadian ini turut memanaskan situasi
masyarakat Maluku, khusus di Kota Ambon. Masyarakat Islam dan Kristen yang
terpengaruh dengan isu yang disebarkan, saling melakukan pelemparan, bahkan
pembakaran dan pembunuhan. Sekalipun kondisi ini tidak berlangsung lama,
tetapi turut menjadi catatan kelam dalam perjalanan konflik masyarakat Maluku.
Kenyataan konflik di atas hendak menunjukkan bahwa kehidupan
masyarakat di Maluku masih sangat rentan dengan konflik. Ketika ada sedikit
gesekan, maka konflik itu dapat terjadi kapan saja. Hal ini kemudian
memunculkan pertanyaan dasar? Apakah yang sesungguhnya menjadi
latarbelakang dibalik kerentanan konflik Maluku atau faktor apakah yang
menjadi latarbelakang sehingga Maluku menjadi daerah yang rentan dengan
konflik? Sejumlah pendekatan perdamaian sudah diupayakan baik itu berupa
pendatanganan perjanjian Malino II, hingga pada pembangunan gong perdamaian
di wilayah Maluku, tetapi konflik tetap saja dimungkinkan terjadi di wilayah
Maluku. Begitu pula sejumlah upaya melalui pendekatan Sosial-budaya yakni
Pela-Gandong, Lavur-Ngabal, serta masohi, dan sebagainya, dinilai belum mampu
menempatkan Maluku pada kondisi damai secara utuh. Hal yang sama terjadi pula
dengan pendekatan dialog antar umat beragama yang hanya menghadirkan
perdamian secara temporal (sesaat).
Segregasi yang terjadi pada masyarakat Maluku bukanlah sebuah
kenyataan yang baru saja muncul, melainkan sudah hadir sebagai warisan sosial
pada masa kolonial. Tiga penguasa kolonial diantaranya, segregasi pola portugis,
pola VOC, dan pola Hindia-Belanda yang mempunyai kesamaan aspek dalam
kebijaksanaan segregasinya, yaitu fisik kewilayahan, di mana masyarakat dipisahpisahkan berdasarkan tempat tinggalnya menurut perbedaan warna kulit, agama,
dan kultural. Berdasarkank salah satu dari tiga aspek itu pula, pemerintah kolonial
mengondisikan masyarakat ke dalam dua varian kelompok, yaitu Kelompok
Keyakinan Dominan (KKD) dan Kelompok Keyakinan Minoritas (KKM).1
Berdasarkan hal demikian, maka dapat dikatakan bahwa penyebab konflik
Maluku bukan karena sebuah luapan emosional dari umat beragama atau
runtuhnya sistem sosial –budaya, melainkan lebih kepada menguatnya jalur
segregasi dibalik rangkaian konflik Maluku. Pada masa prakonflik pemetaan
ruang kehidupan masyarakat Ambon dapat digambarkan pada tabel berikut ini:
1
Muh, Saerozi, Politik Agama dalam Era Plualisme, (Yogyakarta : Tiara Wacana 2004), hlm 54
2
Tabel 1.12
Menguatnya Jalur Segregasi Pasca Konflik Maluku
Komunitas
Islam
Kristen
Pasar
Rumah Sakit
pasar
Batumerah
Mardika dan
pasar
Lama/belakang
Ambon Plaza,
sebagai pasar
komunitas
Muslim
RS Al-Fatah,
AlMuqadam,
RS Al-Aqsa
sebagai RS
komunitas
Muslim
pasar Passo,
pasar Tagalaya,
dan pasar Batu
Meja sebagai
pasar komunitas
Kristen
RS GPM,
Bakti
Rahayu,
RSU Dr
Haulusi,
Ottokuick
sebagai RS
komunitas
Kristen.
Kantor
Polisi
Kantor
Polres
Ambon
sebagai
kantor
alternatif
bagi Polisi
yang
beragama
Islam
Kantor Media
Massa
kantor TVRI
alternatif di
kompleks PBB
Jl.
Jend.Sudirman
untuk
karyawan
Muslim;
Kantor
Polda
Maluku
sebagai
kantor
alternatif
Polisi
yang
beragama
Kristen
Kantor TVRI
Gunung Nona
yang hanya bisa
digunakan
karyawan
beragama
Kristen
Pemuki-man
Batumerah,
Kebun
Cengkeh,
Galunggung,
Waihaong,
Silale, Talake
Passo,
Halong,
Galala,
Belakang
Soya, Karang
Panjang, Batu
Meja, Batu
Gajah,
Batugantung,
Kudamati,
Benteng,
Gunung
Nona,
Airsalobar
Jalur
Transportasi
Batumerah,
kebun
Cengkeh,
Galunggung
Waihaong/
Tanah lapang
Kecil, Laut:
Batumerah
/Mardika
Poka/Rumah
Tiga, Laha
sebagai jalur
transportasi
komunitas
Muslim
Jalur
Kudamati,
Air Salobar,
Batugajah,
Laut: Gudang
Arang
Halong, dll
sebagai jalur
komunitas
Kristen;
Pemetaan seperti ini tidak hanya terjadi dipusat kota, Maluku, melainkan
juga dirasakan hampir di seluruh wilayah Maluku pascakonflik. Oleh sebab itu,
untuk menyelesaikan konflik Maluku secara utuh, maka jalur-jalur segregasi
tersebut hendaknya diubah dengan cara menciptakan sebuah ruang bersama
sebagai ruang yang mempertemukan komunitas Islam dan komunitas Kristen bagi
perdamaian Maluku.
2
Tamrin Amal Tomagola, dkk,Format Ulang Birokrasi Kota Ambon, (Makasar : Ininnawa 2007 ),
hlm 16-17
3
Di tengah-tengah kenyataan segregasi masyarakat yang tercipta karena
konflik, muncul sebuah lifestyle baru yang dapat dijadikan sebagai model dalam
upaya menciptakan ruang bersama yang selama ini menjadi kekurangan dalam
proses rekonsiliasi bagi masyarakat Maluku. Hal dimaksud adalah pemanfaatan
media sosial sebagai model perdamaian, khususnya oleh komunitas muda-mudi di
Maluku. Melalui media sosial, telah tercipta sebuah ruang bersama yang
menghubungkan antara komunitas Islam dan Kristen di Maluku, sebagai model
alternatif perdamaian di tengah-tengah pemetaan ruang geografis masyarakat
Maluku yang segregatif.
Kemunculan pendekatan media sosial sebagai sebuah ruang bersama,
telah menyuarakan perdamaian, serta menyatukan perspektif, bahkan
mengorbitkan titik perdamaian Maluku secara utuh terhadap kedua komunitas
(Islam dan Kristen) yang berkonflik di Maluku. Media sosial menjadi ruang
bersama yang memunculkan seruan perdamaian, bahkan karya-karya perdamaian
berupa puisi, lagu, pantun dan sebagainya yang digunakan oleh beberapa
komunitas, seperti: Rumah Beta, MHC (Molucca Hip-Hop Community), Baronda
Ambon, Maluku Satudarah, dan lain sebagainya.
Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka yang
menjadi masalah dalam penelitian akan dikaji menjadi beberapa pertanyaanpertanyaan penting:
1. Apa pengaruh Segregasi sebagai ancaman konflik masyarakat Maluku?
2. Bagaimana media sosial sebagai ruang bersama dalam pendekatan
penyelesaian konflik?
3. Sejauh mana peran dan fungsi komunitas muda-mudi di Maluku lewat
pemanfaatan media sosial sebagai pejuang perdamaian Maluku?
Pembatasan Masalah
Penelitian ini hanya menilik peran komunitas muda-mudi yang
menggunakan media sosial dengan karya-karya perdamaian untuk Maluku. Media
sosial yang diteliti adalah Facebook dengan mengedepankan beberapa fitur, yakni
status atau upload (pesan, dokumen, arsip), komentar, dan foto, gambar serta
video.
4
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengaruh Segregasi sebagai ancaman konflik masyarakat
Maluku?
2. Menganalisa Media Sosial sebagai ruang bersama dalam pendekatan
penyelesaian konflik?
3. Memahami peran dan fungsi komunitas muda-mudi di Maluku lewat
pemanfaatan media sosial sebagai pejuang perdamaian Maluku?
Manfaat Penulisan
Manfaat Teoritis
Penelitian ini merupakan refleksi anak Maluku mengenai kenyataan
segregasi yang memetakan ruang kehidupan masyarakat Maluku dan menjadi
sumber konflik di Maluku. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
mengembangkan wawasan berpikir dan pengetahuan yang baik mengenai media
sosial sebagai ruang bersama yang menyuarakan, menjaga, memberitakan serta
membangun perdamaian secara utuh bagi Maluku.
Manfaat Praktis
Maluku sebagai daerah rentan konflik dapat memudahkan terjadinya
perpecahan di kalangan masyarakat dalam waktu kapan pun. Salah satu ancaman
terbesar daripadanya adalah pola segregasi yang melekat dalam kehidupan
masyarakat Maluku. Pola segregasi ini bukan sebuah kenyataan baru, melainkan
sebuah warisan kolonialisme, di mana segregasi telah memetakan ruang bersama
dalam kehidupan masyarakat Maluku yang terpetakan secara agama. Karena itu,
penempatan media sosial sebagai ruang bersama yang dimanfaatkan oleh
komunitas muda-mudi diharapkan dapat menjadi sebuah modal dasar
membangun perdamaian Maluku di masa kini dan masa depan. Melalui media
sosial, pola segregasi dapat teratasi dan nilai-nilai bersama dapat ditumbuhkan
untuk membangun hubungan kekeluargaan bagi Maluku yang lebih baik.
Konsep Yang digunakan
Penelitian berjudul “Media Sosial Sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi Dalam Mengantisipasi Ancaman Pascakonflik Ambon Akibat Segregasi”
mengunakan beberapa konsep sebagai berikut :
5
1
Segregasi
Segregasi dapat dimaknai sebagai terkotak-kotaknya masyarakat
berdasarkan identitas kelompok, misalnya etnisitas, agama, asal geografis, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur-unsur
pemisah yang umum ditemui dalam sosiokultural masyarakat, baik
yang sebelumnya mengalami konflik dan kekerasan maupun tidak.3
2
Padroado
Merupakan kebijakan politik segregasi yang dimiliki oleh
pemerintah kolonial Portugis bukan semata dalam bidang
pemerintahan, melainkan juga dalam bidang kerohanian yakni
agama.4
3
Devide et Impera
Merupakan Kebijakaan Politik Segregasi yang dimiliki oleh
Pemerintah Hindia-Belanda dalam proses memetakan stuktur
masyarakat demi kepentingan kolonial. Devide et Impera merupakan
wujud dari strategi pecah-belah pemerintah Hindia-Belanda untuk
mengamputasi gerakan-gerakan perlawanan masyarakat bumi putra.5
4
Media Sosial
Merupakan ruang bersama yang terhubung secara online melalui
internet sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi.6
5
Ruang Publik
Merupakan ruang yang memperantarai masyarakat sipil dengan
Negara, di mana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana
“opini publik” dibangun.7
Sistematika Penulisan
Tesis ini dimulai dengan Bab I sebagai pendahuluan. Dalam bab ini
didahulukan dengan latar belakang yang menjadi alasan ketertarikan peneliti
melakukan penelitian ini. Dalam bab ini juga peneliti mengajukan pertanyaan
penelitian yang menjadi dasar bagi peneliti ketika melakukan kajian di lapangan.
Selanjutanya peneliti mengajukan tujuan dan manfaat dari penelitian yang
merupakan hal-hal yang peneliti harapkan dapat dicapai dalam penelitian yang
dilakukan
Selanjutnya dalam bab II berisikan pendekatan teoritis yang terkait
dengan Segregasi sebagai batasan Ruang dan ancaman konflik Maluku, serta
Mohammad Hasan Ansori, dkk. Segregasi, Kekerasan dan Kebijakan Rekonstruksi Pasca Konflik di
AmbonProgram Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan, (Depok : The habibie Center 2014), lm 6
4 David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah
(Jakarta BPK Gunung Mulia, 1997) Hlm 355
5 Budi Rajab, “Pluralitas Masyarakat Indonesia Suatu Tinjauan Umum”, dalam Prisma. 6 Juni 1993,
hlm 3.
6 Evi Lavina Dwitang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Karisma Publishing Grup, 2012)
7 Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publicatin Ltd, 380
3
6
Media sosial sebagai ruang bersama yang dimanfaatkan oleh komunitas mudamudi.
Kemudian pada Bab III akan digambarkan konstruksi pola relasi
masyarakat Ambon di masa pra konflik. Hal demikian dinilai penting, karena
melalui konstruksi tersebut dapat dilihat secara jelas gambaran relasi dan
segregasi yang telah kuat menghiasi masyarakat Ambon sebelum dan
pascakonflik.
Bab IV berisikan tentang metode penelitian yang memakai jenis
pendekatan deskritif, dimana akan dijelaskan oleh peneliti dalam hal melihat
proses dari komunitas muda-mudi di Ambon yang akan diteliti, dan juga teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti. Selain itu juga, dalam bab ini
dibahas mengenai proses analisis data hingga menjadi sebuah karya ilmiah.
Bab V dalam tesis ini penulis menguraikan tentang latarbelakang, tujuan
serta pola pengembangan proses relasi Komunitas Muda-Mudi dalam membangun
jaringan.
Bab VI dalam tesis ini akan menguraikan tentang data empirik yang
didapatkan. Kemudian penulis menganalisa temuan penelitian berupa data peran
dan fungsi media sosial sebagai ruang bersama, serta karya komunitas muda-mudi
di Ambon dalam menyuarakan perdamaian. Proses analisa dimaksud, memiliki
keterhubungan dengan teori sebagaimana disebutkan pada Bab II.
Bab VII atau bab terakhir adalah kesimpulan, yang intinya menarik
keseluruhan isi tesis dan juga saran penelitian lanjutan yang dapat ditarik dari
penelitian mengenai “Media Sosial Sebagai Ruang Publik Komunitas Muda-Mudi
Dalam Mengantisipasi Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi”, yakni
implikasi-implikasi teoritik yang berkaitan dengan hasil penelitian dan sejumlah
saran yang diharapkan menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait.
7