Gambaran Ekspresi Reseptor Estrogen Beta (ER-β) pada Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Angiofibroma Nasofaring Juvenile
2.1.1 Anatomi nasofaring
Nasofaring merupakan bagian faring paling atas yang terletak di
belakang rongga hidung dan memanjang dari basis kranii hingga palatum
molle (Dhingra & Dhingra 2010).
Nasofaring

berbentuk

seperti

kubus

dimana

bagian

anterior


berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi. Bagian atap nasofaring dibentuk oleh basiosfenoid dan
basiocciput. Bagian posterior, dinding nasofaring melengkung ke supero#
anterior dan terletak di bawah os spenoid. Pada bagian lateral nasofaring
terdapat orificium tuba eustachius dimana bagian orificium ini dibatasi oleh
bagian superior dan posterior torus tubarius, sehingga perluasan tumor ke
lateral akan menyebabkan gangguan pendengaran (Dhingra & Dhingra
2010).

Gambar 2.1.1. Nasofaring disebut juga epifaring merupakan bagian superior dari faring. Batas#
batas nasofaring merupakan daerah perluasan angiofibroma nasofaring juvenile. Batas anterior
adalah rongga hidung dan tepi posterior septum nasi melalui koana, batas superior adalah sinus
sfenoid, batas lateral adalah orificium tuba eustachius dan batas inferior adalah palatum mole
(Netter 2006)

4

Universitas Sumatera Utara


Nasofaring mendapat suplai darah dari cabang arteri karotis eksterna
yaitu arteri faringeal asendens dan desendens, arteri sfenopalatina dan
arteri maksilaris eksterna. Nasofaring mendapatkan persarafan dari
pleksus faringeus yaitu dari n. glossofaringeus, n. vagus, gangglion
servikalis dan cabang pertama n. trigeminus (Dhingra & Dhingra 2010).

2.1.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan tumor fibrovaskuler
nasofaring yang secara histopatologi adalah jinak akan tetapi memiliki
kemampuan mendestruksi jaringan sekitarnya yang banyak menyerang
laki#laki muda usia 5#25 tahun (Atalar, Solak & Muderris 2006).

2.1.3 Epidemiologi
ANJ berkaitan dengan usia dan jenis kelamin dimana ANJ sering
mengenai laki#laki muda dan remaja yaitu dari umur 9#23 tahun sebanyak
98#100% (Boghani et al 2013). Kejadian ANJ mewakili 0,05% dari tumor
kepala dan leher. Insidensi ANJ berkisar antara 1: 5.000 # 60.000 pasien
Telinga Hidung Tenggorokan (Atalar, Solak & Muderris 2006; Nicolai,
Schreiber & Bolzoni 2012).
Anggreani et al. (2011) di RSCM Jakarta dalam penelitiannya

menemukan 56 angiofibroma nasofaring pada periode Februari 2001
sampai Oktober 2008 di bagian THT FKUI/RSCM, yang semuanya laki#
laki dengan usia antara 9#23 tahun (Anggreani et al. 2011).

2.1.4

Etiologi

Sampai saat ini etiologi tumor ANJ masih belum jelas, berbagai macam
teori banyak diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal,
yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah
dinding posterolateral atap rongga hidung (Roezin, Daid & Musa 2007).
Teori lain yang menjelaskan penyebab angiofibroma nasofaring antara
lain : a. Angiofibroma muncul dari periosteum tulang yang berkembang

Universitas Sumatera Utara

dari lamina oksipital embrio, b. Angiofibroma merupakan bentuk lain dari
hemangioma, c. Angiofibroma merupakan tipe respon jaringan ikat dari
periosteum nasofaring terhadap hamartoma ektopik jaringan vaskular,

mungkin dari tipe konka inferior, d. Angiofibroma merupakan jenis spesifik
fibromatosis (Antonio et al. 2005).
Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan
sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.
Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor
ANJ dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau
remaja laki#laki. Itulah sebabnya tumor ANJ disebut juga dengan
angiofibroma nasofaring belia (Roezin, Daid & Musa 2007).
Terlepas dari laporan penelitian tentang gangguan hormon pada
penderita ANJ dan dijumpainya reseptor androgen atau estrogen pada
massa tumor serta peran hormon tersebut dalam perkembangan dan
regresi tumor, namun keterlibatan hormonal sebagai penyebab terjadinya
ANJ masih tetap menjadi bahan perdebatan. Oleh karena itu penyelidikan
ke arah ketidakseimbangan genetik mulai dikembangkan sebagai salah
satu etiologi angiofibroma (Nicolai, Schreiber & Bolzoni 2012).

2.1.5 Patogenesis
Hingga saat ini patogenesis ANJ juga belum diketahui dengan jelas.
Untuk menjelaskan kecenderungan penderita laki#laki dan respon tumor
terhadap estrogen, muncul hipotesa bahwa ANJ merupakan sebuah tumor

tergantung pada testosteron yang berasal dari nidus fibrovaskular di
nasofaring dalam keadaan tidak aktif (dormant) sampai pada waktu
mulainya pubertas. Pada masa ini, bersamaan dengan peningkatan kadar
testosteron, tumor bertumbuh dan menimbulkan gejala. Estrogen
berperan sebagai antagonis dengan menghambat pelepasan hormon
pertumbuhan dari hipofise sehingga menyebabkan penurunan produksi
testosteron dan kemudian mengurangi ukuran tumor (Antonio et al. 2005).

Universitas Sumatera Utara

Ciri umum ANJ adalah tumor yang kaya akan pembuluh darah. Oleh
karena itu timbul dugaan adanya partisipasi faktor pertumbuhan
angiogenik (angiogenic growth factor) yang dihasilkan oleh sel#sel tumor
ANJ itu sendiri dan adanya kerjasama dengan reseptor androgen,
berperan penting terhadap pertumbuhan pembuluh darah dan proliferasi
sel tumor, ikut serta dalam proses patogenesis tumor walaupun
mekanismenya belum dapat dijelaskan secara pasti. Yang termasuk faktor
pertumbuhan angiogenik tersebut adalah vascular endothelial growth

factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), transorming growth

factor β1 (TGF β1), platelet derived growth factor (PDGF), insulin like
growth factor (IGFs) dan

nerve growth factor (NGF) (Gleeson 2008;

Coutinho, Brentani & Nagai 2008).
Beberapa penelitian lain menunjukkan sejumlah perubahan kromosom
pada pasien ANJ. Penambahan pada kromosom 4,6,8 dan X serta
kehilangan kromosom 17, 22 dan Y merupakan kelainan kromosom yang
sering ditemukan (Nicolai, Schreiber & Bolzoni 2012). Perubahan yang
terjadi pada kromosom#kromosom tersebut diduga meningkatkan aktivitas
gen yang mengatur pertumbuhan dan differensiasi sel (oncogen) dan
mengurangi aktivitas gen yang menghambat pertumbuhan (tumor

suppresor genes). Akan tetapi gen mana yang akan menjadi target
penambahan atau kehilangan kromosom sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dengan pasti (Coutinho, Brentani & Nagai 2008).
Kecenderungan peningkatan prevalensi ANJ pada pasien dengan

familial adenomatous polyposis (FAP) diduga berkaitan dengan patologis

yaitu perubahan gen β#catenin. Protein APC (Adenomatous polyposis coli)
dapat mengatur kadar β#catenin yang berperan dalam adhesi sel#sel dan
pada Wnt signaling pathway sebagai aktivator transkripsi. Akumulasi inti
sel pada mutasi β#catenin membuktikan bahwa APC/ jalur β#catenin
terlibat dalam patogenesis ANJ. Lebih lanjut β#catenin juga berperan
sebagai koaktivator reseptor androgen dan akibatnya meningkatkan
sensitivitas androgen tumor, yang bisa menjelaskan kenapa angiofibroma

Universitas Sumatera Utara

nasofaring berkembang pada laki#laki remaja (Nicolai, Schreiber & Bolzoni
2012).

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
rinoskopi anterior dan endoskopi hidung ditambah dengan pemeriksaan
radiologi (Panda, Gupta, Sharma 2012 & Gupta; Gleeson 2008). CT scan
dan MRI sangat membantu untuk menunjukkan lokasi lesi, perluasan
intrakranial atau infratemporal dan membedakan tumor dengan organ
penting sekitarnya (Panda, Gupta, Sharma 2012 & Gupta; Gleeson 2008).

Gejala klinis yang khas untuk ANJ adalah sumbatan hidung unilateral
yang progresif (80#90%) disertai dengan rinorea dan epistaksis berulang
(45#60%). Apabila gejala klinis di atas mengenai remaja laki#laki, maka
dapat dicurigai sebagai ANJ (Nicolai, Schreiber & Bolzoni 2012). Gejala
dan tanda dapat dirasakan dan diketahui oleh penderita setelah massa
tumor berkembang beberapa bulan bahkan bertahun#tahun. Terkadang
ada keterlambatan 6#7 bulan antara serangan awal gejala sampai
penderita mencari pengobatan (Gleeson, 2008). Sakit kepala (25%) dan
nyeri wajah terjadi akibat sekunder dari sumbatan sinus paranasal.
Gangguan fungsi tuba Eusthacius dapat menyebabkan otitis media
unilateral. Perluasan tumor ke rongga sinonasal dapat mengakibatkan
rinosinusitis kronis. Perluasan ke rongga orbita menyebabkan proptosis
dan gangguan visus. Pipi bengkak, gangguan neurologis dan gangguan
penciuman juga dapat terjadi (Nicolai, Schreiber & Bolzoni 2012; Gleeson
2008).
Dari pemeriksaan rinoskopi anterior terdapat akumulasi sekret di
rongga hidung yang dapat mengaburkan pemeriksaan massa tumor. Dari
pemeriksaan endoskopi dapat terlihat massa besar dan bulat di belakang
konka media mengisi koana dan nasofaring, dengan permukaan halus,
dan tanda hipervaskularisasi yang jelas. Pada stadium lebih lanjut, tumor


Universitas Sumatera Utara

mendorong palatum mole ke arah inferior (Nicolai, Schreiber & Bolzoni
2012).
Pemeriksaan penunjang CT scan merupakan pemeriksaan pre#operatif
untuk melihat perluasan tumor, destruksi tulang, foramen dan fissure basis
kranii yang melebar dan invasi tulang sfenoid. CT scan dilakukan dengan
potongan aksial dan koronal tipis. Padas pemeriksaan MRI dapat
membedakan antara tumor dan jaringan lunak sekitarnya. Dengan MRI,
ANJ tampak seperti massa heterogen dengan tanda hampa yang sesuai
dengan tumor kaya pembuluh darah (Atalar, Solak & Muderris 2006).
Diagnosis ANJ dikonfirmasi melalui angiografi. Pemeriksaan angiografi
bertujuan menilai sumber pembuluh darah tumor sekaligus sebagai terapi,
karena embolisasi sumber pembuluh darah tumor dapat dilakukan pada
waktu yang bersamaan. Gambaran khas ANJ pada angiografi adalah
adanya gambaran “Tumor Blush” dan tidak adanya “venous filling”. Suplai
darah utama terhadap tumor adalah dari arteri maksilaris interna ipsilateral
dengan tambahan dari cabang arteri karotis interna atau arteri karotis
eksterna kontralateral (Panda, Gupta & Sarma 2012).

Biopsi melalui kavum nasi merupakan kontraindikasi karena dapat
menyebabkan

perdarahan

yang

sulit

dihentikan.

Pemeriksaan

histopatologi jaringan tumor paska operasi dilakukan untuk memastikan
jenis jaringan sebagai suatu angiofibroma (Gleeson 2008).

2.1.7 Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi, angiofibroma terdiri dari campuran
pembuluh darah dan jaringan stroma fibrosa. Jaringan stroma dibentuk
oleh sel#sel gemuk yang berbentuk spindle atau stellata dengan jumlah

kolagen yang bervariasi. Kandungan jaringan stroma inilah yang membuat
tumor terkadang sangat keras dan yang lain relatif lunak. Di antara
jaringan stroma terdapat pembuluh darah dengan ukuran dan bentuk
variasi. Pembuluh darah dilapisi sel endotel dan sedikit atau tanpa lapisan

Universitas Sumatera Utara

otot polos/serat elastik sehingga perdarahan masif bisa terjadi pada
penderita ANJ (Fatih, Ari & Yuca 2010; Gleeson 2008).

2.1.8 Stadium
Stadium ANJ ditetapkan berdasarkan perluasan tumor yang ditentukan
dari CT scan. Ada beberapa sistem penetapan stadium ANJ dan yang
paling sering dipakai adalah stadium menurut Fisch (Alecio, Fabiano &
Ramina 2011).
a.

Menurut Fisch (Bareto et.al 2013)
Tumor terbatas pada nasofaring, destruksi tulang tak berarti atau
terbatas pada foramen sfenopalatina.
II Tumor menginvasi fossa pterigopalatina atau sinus maksilaris,
etmoidalis atau sfenoidalis dengan destruksi tulang.
III Tumor menginvasi fossa infratemporal dan regio orbita
A. Tanpa keterlibatan intrakranial
B. Dengan keterlibatan ekstradural intrakranial parasellar
IV Tumor intradural intrakranial
A. Tanpa infiltrasi sinus kavernous, fossa hipofise atau
khiasma optikum
B. Dengan infiltrasi sinus kavernosa, fossa hipofise atau
khiasma optikum
I

b.

Menurut Radkowski (Alecio, Fabiano & Ramina 2011)
Ia
Ib
IIa
IIb
IIc
IIIa
IIIb

Terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
Meliputi nares posterior dan/atau nasofaring dengan
keterlibatan minimal salah satu sinus paranasal
Perluasan minimal ke arah lateral ke fossa pterigomaksila
Menempati penuh fossa pterigomaksila dengan atau tanpa
menimbulkan erosi tulang#tulang orbita
Perluasan ke arah fossa infratemporal atau perluasan ke arah
posterior yaitu lamina pterigoid
Erosi dasar tengkorak (fossa kranial media/dasar pterigoid) –
perluasan intrakranial minimal
Perluasan intrakranial ekstensif dengan atau tanpa perluasan
ke sinus kavernosus

Universitas Sumatera Utara

c.

Menurut Andrews (Alecio, Fabiano & Ramina 2011)
I
II
IIIa
IIIb
IVa
IVb

d.

Menurut Chandler (Kolegium 2008; Alecio, Fabiano & Ramina 2011)
I
II
III

IV
e.

Tumor terbatas pada kavum nasi dan nasofaring
Tumor meluas ke fossa pterigoidpalatina, sinus maksilaris,
sinus sfenoidalis, atau sinus etmoidalis
Perluasan ke orbita atau fossa infratemporal, tanpa perluasan
intrakranial
Stadium IIIa dengan keterlibatan sedikit ekstradural
intrakranial (paraselar)
Perluasan ekstradural intrakranial yang banyak atau perluasan
intradural
Perluasan ke sinus kavernous, hipofise atau kiasma optikum

Tumor terbatas pada nasofaring
Tumor meluas ke kavum nasi atau sinus sfenoidalis
Tumor meluas ke dalam sinus maksilaris, sinus etmoidalis,
fossa pterigopalatina dan fossa infratemporalis. Perluasan ke
orbita atau fossa infratemporal, tanpa perluasan intrakranial
Tumor meluas ke intrakranial

Menurut Modifikasi Sessions (Alecio, Fabiano & Ramina 2011)
IA
IB
IIA
IIB
IIC
IIIA
IIIB

Tumor terbatas pada hidung dan/atau nasofaring
Tumor meluas ke ≥ 1 sinus
Perluasan minimal ke fossa pterigomaksila
Mengisi penuh fossa pterigomaksila dengan atau tanpa erosi
tulang orbita
Meliputi fossa infratemporal dengan atau tanpa pipi atau ke
posterior ke lamina pterigoid
Erosi basis kranii – intrakranial minimal
Erosi basis kranii – intrakranial luas dengan atau tanpa sinus
kavernosa

2.1.9 Diagnosis banding
Berbagai penyakit yang memiliki gejala dan tanda yang mirip ANJ
antara lain : polip antrokoanal, polip sinonasal, neurofibroma, hipertrofi
adenoid, kista nasofaring, granuloma piogenik, chordoma dan tumor

Universitas Sumatera Utara

ganas seperti karsinoma nasofaring, limfoma atau rhabdomyosarcoma
(Fatih, Ari & Yuca 2010).

2.1.10 Penatalaksanaan
a. Embolisasi
Tindakan embolisasi sebelum operasi ANJ masih kontroversial.
Sebagian ahli bedah menganggap penting, tetapi yang lain berpandangan
kurang tepat atau sebetulnya tidak setuju. Hal ini dikarenakan pada tumor
ukuran kecil dengan suplai darah bisa diprediksi, perdarahan dapat
dikontrol dengan mudah saat operasi. Dalam kasus ini embolisasi tidak
diperlukan. Akan tetapi pada tumor ukuran besar yang memperoleh aliran
darah dari berbagai pembuluh darah lain seperti dari cabang arteri karotis
eksterna dan interna, embolisasi diperlukan (Gleeson 2008).
Umumnya embolisasi dilakukan 24#48 jam sebelum operasi. Tranbahuy
et.al dalam penelitiannya seperti yang dikutip oleh Panda, Gupta & Sarma
(2005) melaporkan

pemakaian campuran cyanocrylate, lipiodal dan

tepung tungsten melalui penyuntikan secara perlahan dari intranasal atau
melalui perkutaneus lateral (Panda, Gupta & Sarma 2012). Zat lain yang
dipakai untuk embolisasi adalah partikel alkohol polyvinil, microcoils dan
Gelfoam (Risley, Mann & Jones 2012). Embolisasi bertujuan mengurangi
vaskularisasi tumor, mengurangi kehilangan darah saat operasi dan
memperpendek waktu operasi (Parikh & Hennemeyer 2014). Akan tetapi
beberapa penelitian melaporkan bahwa embolisasi turut meningkatkan
angka kekambuhan. Hal ini dikarenakan pada tumor yang lebih besar,
embolisasi dapat menyebabkan massa tumor menyusut ke dalam tulang
yang sulit dijangkau saat operasi dan menjadi massa residu. Komplikasi
embolisasi dapat mengakibatkan stroke dan kebutaan. Komplikasi
tersebut dapat terjadi akibat migrasi partikel#partikel ke dalam arteri
serebri media dan arteri optalmika. Namun komplikasi ini sangat jarang
dan tidah melebihi keuntungan embolisasi yang diperoleh (Parikh &
Hennemeyer 2014).

Universitas Sumatera Utara

b. Pembedahan
Penatalaksanaan gold standar ANJ adalah pembedahan. Pendekatan
operasi terbuka merupakan pilihan sebelum teknik operasi endoskopi
berkembang.

Pemilihan

pendekatan

operasi

ditentukan

setelah

pemeriksaan radiologi yaitu berdasarkan perluasan tumor, suplai darah,
dan ada atau tidaknya perluasan intrakranial (Panda, Gupta & Sarma,
2012).
Kombinasi

pendekatan

intrakranial

dan

ekstrakranial

mungkin

diperlukan. Pemilihan pendekatan operasi tergantung pada kemampuan
pemaparan yang cukup baik dari massa tumor dan jaringan sekitarnya,
mampu mengendalikan perdarahan, tidak mengganggu pertumbuhan
tulang

kraniofasial

terutama

pada

penderita

lebih

muda,

tidak

meninggalkan luka parut atau deformitas wajah jika mungkin dan
kemampuan operator (Persky & Manolidis, 2014).
Pendekatan teknik operasi angiofibroma antara lain : transpalatal,
rinotomi lateral, degloving midfacial, transmaksilaris, pendekatan Denker,
fossa infratemporalis dan kombinasi operasi terbuka dengan teknik
endoskopi (Dhingra & Dhingra, 2010).

c. Radioterapi
Pemberian radioterapi ditujukan pada tumor ANJ yang tidak dapat
direseksi dengan pembedahan oleh karena perluasan ke intrakranial.
Radioterapi juga diberikan bila setelah operasi masih ada tumor yang
tertinggal (Panda, Gupta & Sarma, 2012). Dosis radiasi 30#55Gy. Dengan
radiasi, terjadi regresi tumor walau sangat lambat. Dengan kata lain
ukuran tumor berkurang namun sisa tumor tetap ada (Gleeson, 2008).
Berbagai komplikasi radiasi pada penderita ANJ mengakibatkan
retardasi mental, panhypopituitarism, nekrosis lobus temporalis, katarak,
dan keratopati yang terjadi dalam 10#15 tahun paska operasi (Gleeson,
2008). Pada pasien yang lebih muda efek radiasi dapat mengganggu
pertumbuhan wajah (Panda, Gupta & Sarma, 2012).

Universitas Sumatera Utara

d. Terapi Hormonal
Terapi

hormonal

telah

dikembangkan

sebagai

terapi

adjuvant.

Beberapa penelitian telah melaporkan penambahan ukuran tumor ANJ
dengan pemberian testosteron dan penyusutan setelah pemberian terapi
estrogen.

Flutamide

methyl n propanamide

merupakan

androgen antagonist (NSAA) oral, yang dapat

non#steroid

menekan kadar

gonadotropin atau testosteron. Gates et.al mengamati reduksi ukuran
tumor sampai 44% setelah mendapat pengobatan hormonal selama 6
minggu. Rekomendasi terbaru, flutamide diberikan selama 6 minggu
sebagai terapi adjuvan pada pasien post#pubertas. Bertujuan untuk
menyusutkan volume tumor dan memudahkan eksisi tumor (Panda, Gupta
& Sarma 2012).
Thakar et al. (2011) di India dalam penelitiannya mengenai pemberian
terapi Flutamide pada penderita ANJ selama 6 minggu sebelum operasi
menunjukkan regresi tumor parsial dari jaringan sekitarnya sehingga
memudahkan pembedahan dan mengurangi angka kesakitan. Respon
paling tinggi ditunjukkan oleh penderita setelah pubertas dibandingkan
sebelum pubertas (Thakar et al. 2011).

2.1.11 Komplikasi
Komplikasi ANJ yang paling sering adalah kekambuhan. Kekambuhan
terjadi pada 25% pasien tanpa memperhatikan metode pendekatan
operasinya. Hal ini dikarenakan eksisi tumor yang tidak sempurna.
Komplikasi lain yang bisa terjadi antara lain krusta hidung, fistel oronasal,
dura terpapar, perdarahan sinus kavernosus, meningitis, anosmia dan
jaringan parut (Panda, Gupta & Sarma 2012).

2.1.12 Kekambuhan
Angka kekambuhan terjadi lebih tinggi pada pasien yang lebih muda
dan stadium yang lebih tinggi. Untuk mengurangi kekambuhan ini

Universitas Sumatera Utara

diperlukan diagnosa dini dan penatalaksanaan yang lebih baik (Moorthy,
Ranagatha, Abdul, Madhira & Kolloju 2010).
Persky

&

Manolidis

(2014)

dalam

penelitiannya

menyebutkan

kekambuhan ANJ berhubungan dengan perluasan tumor ke fossa
infratemporal, sinus sfenoidalis, dasar dari pterigoid, sinus cavernosus
foramen lacerum dan intrakranial (Persky & Manolidis, 2014).

2.1.13 Prognosis
Prognosis lebih baik bila diagnosis ANJ lebih dini dan tidak dijumpai
perluasan ke intrakranial (Fatih, Ari & Yuka, 2010). Regresi spontan bisa
terjadi akan tetapi sangatlah jarang. Angka kekambuhan berkisar 6% #
60%. Kekambuhan dapat terjadi pada 3#4 bulan setelah pembedahan
(Atalar, Solak & Muderris, 2006).

2.2 Hormon Estrogen
Hormon estrogen merupakan hormon steroid kelamin. Hormon ini
mempunyai struktur kimia berintikan steroid dan secara fisiologik sebagian
besar diproduksi oleh kelenjar endokrin sistem reproduksi wanita. Pria
juga memproduksi estrogen tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit (Suherman
2007; Sherwood 2011).

2.2.1 Biosintesis
Estrogen disintesis dari androstenedion dan testosteron secara
langsung dengan bantuan enzim aromatase melalui 3 langkah proses
aromatisasi cincin A. Aktivitas ini dilakukan diberbagai sel yaitu di
granulosa ovarium, sel Sertoli dan kelenjar Leydig testis, stroma jaringan
adiposa, sinsitiotropoblas plasenta, tulang dan beberapa tempat di otak
(Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Sumber utama estrogen pada wanita berasal dari ovarium dan pada
wanita menopause berasal dari stroma jaringan adiposa dan dehydeo

epiandosterone dari korteks adrenal. Pada pria, estrogen diproduksi oleh

Universitas Sumatera Utara

testis dan di luar testis. Di luar testis, estrogen dihasilkan dari hasil
aromatisasi C19 steroid (di sirkulasi) dan berasal dari androstenedion dan

dehidroepiandrosteron (dari korteks adrenal), yang merupakan estrogen
paling banyak di sirkulasi (Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Estrogen dapat dihasilkan dari androgen melalui proses aromarisasi
atau dari hidrolisis estrogen terkonjugasi. Estrogen juga dapat dihasilkan
dari androgen melalui proses aromatisasi sistem saraf pusat dan jaringan
lain dan efek kerja estrogen tampak di dekat tempat hormon tersebut
diproduksi (Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).

2.2.2 Fisiologis
Estrogen sangat penting peranannya pada perubahan bentuk dan
fungsi tubuh pada masa pubertas anak perempuan menjadi bentuk tubuh
yang karakteristik untuk wanita dewasa yaitu fungsi seks sekunder.
Estrogen berperan pada pembentukan kontur tubuh, skelet dan tulang
panjang pada masa pubertas dan diakhiri dengan fusi epifisis serta
pertumbuhan rambut aksila dan pubis (Loose & Stancel 2006; Suherman
2007).
Estrogen juga memiliki peran penting dalam perkembangan laki#laki.
Pada anak laki#laki defisiensi estrogen dapat menyebabkan kecepatan
pertumbuhan pubertas berkurang dan maturasi skletal dan penutupan
epifisis lambat sehingga pertumbuhan linier berlanjut sampai dewasa
(Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Pada wanita, siklus haid diatur oleh sistem neuroendokrin hipotalamus#
hipofisis#ovarium. Suatu osilator neuronal di hipotalamus secara periodik
akan menginduksi pengeluaran gonadotropin releasing hormone (GnRH)
ke pembuluh portal hipotalamus#hipofisis yang akan merangsang sekresi

luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari
hipofisis anterior. Kedua hormon ini mengatur pertumbuhan dan
pematangan folikel graaf di ovarium dan ovarium menghasilkan produksi
estrogen dan progesteron. Bila kadar estrogen dan progesteron

Universitas Sumatera Utara

meningkat, akan menghambat sekresi hormon hipotalamus dan hipofisis
(Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Pada laki#laki, testosteron berfungsi untuk mengatur aksis hipotalamus#
hipofisis#testis pada level hipotalamus dan hipofisis dan negatif feedback
dimediasi oleh estrogen yang dibentuk melalui aromatisasi (Loose &
Stancel

2006).

Gonadotrophin releasing

hormone

(GnRH)

dari

hipotalamus disekresikan ke hipotalamus anterior sehingga hipofisis
mensekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone
(LH) ke sirkulasi sistemik. LH berperan terutama pada sel Leydig testis
untuk menghasilkan hormon testosteron sedangkan FSH berperan
terutama di sel Sertoli testis sehingga melepaskan androgen binding

protein dan hormon inhibin. LH juga memicu sintesis komplek aromatase
yang bertanggung jawab mengubah testosteron menjadi estradiol. Pada
akhirnya, testosteron dapat menghambat sekresi LH menggunakan
mekanisme negative feedback pada level hipofisis dan hipotalamus. Pada
waktu bersamaan inhibin dan estradiol menekan sekresi FSH melalui
mekanisme yang sama. Sehingga kadar hormon LH, FSH dan hormon
androgen relatif konstan (Gambar 2) (Pocock & Richards 2006).

Gambar 2.2.2 Hubungan antara sekresi hormon hipotalamus, hipofisi dan testis.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Efek metabolik
Estrogen mempunyai efek metabolik dan dapat mempengaruhi banyak
jaringan pada manusia. Secara umum estrogen mempunyai efek terhadap
pembentukan tulang, metabolisme lemak dan protein serum serta
terhadap faktor koagulasi (Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Pada pembentukan tulang efek estrogen sangat menguntungkan,
karena mengurangi proses resorbsi kalsium tulang. Tulang secara terus#
menerus

mengalami

remodeling

karena

adanya

osteoklas

yang

menyebabkan resorbsi dan osteoblas yang membentuk tulang. Osteoklas
dan osteoblas mempunyai ER#α dan ER#β serta reseptor androgen dan
progesteron. Hormon estrogen menginduksi apoptosis osteoklas dan
mengantagonis efek osteoklastogenik dan pro#osteoklastik hormon
paratiroid dan interleukin#6. Efek utama estrogen adalah menurunkan
jumlah dan aktivitas osteoklas, menyebabkan pertumbuhan tulang dan
penutupan epifisis pada wanita dan pria (Loose & Stancel 2006;
Suherman 2007).
Efek estrogen terhadap metabolisme lemak secara umum, yaitu
meningkatkan trigliserida dan sedikit menurunkan kolesterol total plasma.
Akan tetapi efek yang penting, yaitu meningkatkan high density lipoprotein
(HDL) dan menurunkan low density lipoprotein (LDL). Dalam hal ini
perubahan dalam metabolisme lemak tersebut berhubungan dengan
timbulnya penyakit kardiovaskular (Loose & Stancel 2006; Suherman
2007).
Secara umum efek estrogen dapat mempengaruhi produksi dan
aktivitas berbagai protein tubuh yaitu meningkatkan cortisol binding

globulin (CBG), thyroxine binding globulin (TBG) dan sex steroid binding
globulin (SSBG), transferin, substrat renin dan fibrinogen yang dalam hal
ini dapat berikatan baik dengan hormon estrogen maupun androgen dan
menentukan kadar hormon tersebut dalam darah (Loose & Stancel 2006;
Suherman 2007).

Universitas Sumatera Utara

Estrogen sedikit meningkatkan faktor koagulasi VII dan XII dan
menurunkan faktor#faktor antikoagulasi protein C, protein S dan
antitrombin III (Loose & Stancel 2006; Suherman 2007).
Estrogen juga menginduksi pertumbuhan sel endotel dan menghambat
proliferasi sel otot polos pembuluh darah (Loose & Stancel 2006;
Suherman 2007).

2.2.4 Reseptor estrogen
Reseptor estrogen adalah reseptor hormon steroid yang pertama kali
dikenali, merupakan anggota dari superfamili protein inti dan merupakan
reseptor intraselular yang berfungsi sebagai regulator transkripsi yang
tergantung hormon. Reseptor estrogen ini menjalankan fungsinya melalui
aktiviasi kedua reseptornya, yaitu reseptor estrogen α (ER#α) dan reseptor
estrogen β (ER#β) (Jensen 2005; Montag, Tretiakova & Richardson 2006;
Morani, Warner & Gustafsson 2008). ER#α dan ER#β terletak pada lokus
kromatin yang berbeda, yaitu pada 6q25.1 untuk ER#α dan 14q23.2 untuk
ER#β (Montag, Tretiakova & Richardson 2006). ER#α dan ER#β juga
mempunyai distribusi jaringan yang berbeda. ER#α kebanyakan ditemukan
di traktus reproduksi wanita (khususnya di uterus, vagina dan ovarium),
kelenjar payudara, hipotalamus serta sel endotel dan otot polos pada
dinding pembuluh darah. Sementara ER#β banyak ditemukan paling
banyak di prostat dan ovarium dan dengan jumlah lebih sedikit juga
ditemukan di paru, otak dan sel endotel pembuluh darah (Loose & Stancel
2006). Pada jaringan tersebut di atas ER#β terlibat dalam proses fisiologi
yang penting seperti pada differensiasi sel, pembentukan matriks
ekstraselular serta hubungan antara sel epitel dan stroma. Pada jaringan
yang mengandung kedua reseptor, yaitu ER#α dan ER#β, tampaknya
memiliki efek yang saling berlawanan satu sama lain. Pada uterus dan
kelenjar payudara, tampaknya ER#α memiliki fungsi meningkatkan
proliferasi, sedangkan ER#β dapat meningkatkan proses apoptosis
(Morani, Warner & Gustafsson 2008). Pada keadaan hiperplasia kelenjar

Universitas Sumatera Utara

payudara, kehilangan ER#β atau rasio perbandingan ER#β/ER#α rendah,
dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Begitu juga yang
terjadi pada prostat, ER#β tampaknya dapat menghambat proliferasi dan
kehilangan ER#β dapat mengakibatkan terjadinya kanker prostat dan high

grade dysplasia prostat

(Montag, Tretiakova & Richardson 2006).

Secara umum reseptor hormon estrogen memiliki struktur yang serupa
dengan reseptor hormon steroid yang lain, terdiri dari sejumlah domain
fungsional bebas. Semua reseptor estrogen tersusun dari :1) domain N

terminal (A/B) yang mengandung daerah transaktivasi AF#1, 2) DNA
binding domain (DBD), 3)daerah hinge yang fleksibel (D) dan 4)C terminal
ligand binding domain (LBD,E) yang mengandung daerah transaktivasi
AF#2. Khususnya pada reseptor estrogen α (ER#α) memiliki domain
tambahan yaitu domain F C terminal (White & Parker 1998; Griekspoor et
al. 2007).

Gambar 2.2.4. Struktur reseptor hormon steroid (White & Parker 1998).

2.2.5 Mekanisme kerja
Hormon estrogen mencapai sel targetnya melalui darah dalam
keadaan berikatan dengan protein pembawa. Karena sifatnya yang
lipofilik, maka hormon ini dapat melewati membran sel dengan mekanisme
difusi sederhana. Molekul lipofilik ini setelah berdifusi lewat membran
plasma

kemudian

berikatan

dengan

resptornya,

yang

kemudian

dilepaskan dari heat shock protein dan ditranslokasikan ke dalam inti sel.
Disana terjadi dimerisasi reseptor dan akan berikatan di sebuah daerah
spesifik pada DNA yang disebut hormone responsive element (HRE) dan

Universitas Sumatera Utara

dengan

bantuan

protein

koregulator

terjadilah

proses

transkripsi

(Griekspoor 2007) sehingga afinitas dan kecepatan pengikatannya pada
DNA meningkat. Reseptor estrogen akan terikat estrogen response

element (EREs) di gen target (Suherman 2007).

2.2.6 Farmakokinetik
Berbagai jenis estrogen dapat diberikan oral, parenteral, transdermal
ataupun topikal. Karena sifat lipofiliknya, absorbsi per oral adalah baik.
Umumnya etinilestradiol, conjugated estrogen, ester estron, dietilstilbestrol
diberikan secara oral. Estradiol oral diabsorbsi dengan cepat dan lengkap
dan mengalami metabolisme di hepar (Suherman 2007).
Di dalam darah, sebagian besar hormon estrogen terikat kuat dengan

sex steroid binding globulin (SSBG), sebagian lagi berikatan kuat dengan
albumin dan sebagian kecil terdapat dalam keadaan bebas (Suherman
2007).

2.2.7 Efek samping
Efek samping estrogen yang paling sering timbul adalah mual, muntah,
rasa kembung, edema dan berat badan bertambah. Kadang#kadang
disertai pusing, kloasma kulit wajah, peningkatan tekanan darah dan
trombosis (Suherman 2007).
Pada penderita ANJ yang diberikan terapi estrogen sebelum operasi
dapat timbul efek samping berupa feminisasi (Gleeson, 2008;Thakar et al
2011).

2.3 Peran Hormon Estrogen Terhadap ANJ
Sampai saat ini mekanisme hormon estrogen dapat mempengaruhi
terjadinya ANJ belum dapat dipastikan. Rigg & Orlandi membuktikan
bahwa testosteron eksogen dapat memicu kekambuhan tumor ANJ kapan
saja, bahkan puluhan tahun setelah pengobatan defenitif (Rigg & Orlandi
2010). Sementara efek estrogen terhadap ANJ dilaporkan dapat

Universitas Sumatera Utara

menginduksi regresi tumor preoperasi sehingga mengurangi kehilangan
darah saat operasi. Secara histopatologi pasca operasi, dimana
sebelumnya mendapat terapi estrogen menunjukkan perubahan pada
struktur pembuluh darah dan stroma dengan sklerotik pada jaringan
tumornya (Schick et al. 2014). Belum jelas apakah efek estrogen terjadi
akibat penekanan langsung terhadap tumor atau sekunder penurunan
kadar gonadotropin dan testosteron (Thakar et al. 2011).
Seperti yang diketahui bahwa estrogen merupakan antiandrogen alami
yang memiliki peran antagonis terhadap testosteron. Pemberian estrogen
pada pasien ANJ dapat menekan sekresi gonadotropin dari hipofisis dan
pada akhirnya menekan sekresi testosteron (Loose & Stancel 2006)
Walaupun mekanisme kerja pemberian estrogen pada ANJ belum
diketahui dengan jelas, namun beberapa ahli telah melakukan penelitian
mengenai keberadaan reseptor estrogen pada ANJ sehubungan dengan
berkurangnya

ukuran

tumor

setelah

pemberian

terapi

tersebut.

Pemeriksaan untuk menentukan keberadaan reseptor estrogen telah
secara rutin dilakukan sejak tahun 1970, meskipun metode yang
digunakan terus mengalami perubahan. Pada awalnya pemeriksaan
dilakukan berdasarkan metode ligand binding, radioligand binding atau

fluorescent hormone binding. Akan tetapi pada tahun 1980, metode#
metode tersebut digantikan dengan metode yang menggunakan antibodi
monoklonal

atau

poliklonal

dan

dikenal

dengan

pemeriksaan

imunohistokimia (Coutinho, Brentani & Nagai 2008)
John et al. seperti yang dikutip Coutinho, Brentani & Nagai (2008),
melaporkan hasil penelitiannya mengenai keberadaan reseptor estrogen
pada 6 kasus ANJ dengan menggunakan metode binding assay, namun
ternyata tidak terdeteksi adanya reseptor estrogen pada semua kasus.
Lee at al. menggunakan metode binding assay terhadap 8 kasus ANJ,
tidak menemukan reseptor estrogen maupun progesteron akan tetapi 3
kasus positif terhadap reseptor androgen. Antonelli et.al terhadap 5 kasus
ANJ, tidak menemukan reseptor estrogen maupun progesteron namun

Universitas Sumatera Utara

positif kuat terhadap reseptor androgen, sehingga menduga bahwa ANJ
kemungkinan suatu tumor tergantung androgen (Coutinho, Brentani &
Nagai 2008).
Hwang et al. seperti yang dikutip Coutinho, Brentani & Nagai (2008)
memperoleh bukti langsung mengenai keberadaan reseptor androgen
pada 18 dari 24 kasus ANJ dengan menggunakan pemeriksaan
imunohistokimia. Pada pemeriksaan ini didapatkan reseptor androgen
terdapat pada stroma dan sel endotel pembuluh darah. Untuk reseptor
estrogen tidak ditemukan sama sekali pada semua kasus dan hanya pada
2 kasus saja reseptor progesteron ditemukan (Coutinho, Brentani &
Nagai).
Gatalica (1998) dalam penelitiannya terhadap reseptor estrogen,
progesteron dan androgen pada 8 kasus ANJ dengan menggunakan
antibodi monoklonal, ternyata tidak dijumpai reseptor estrogen maupun
progesteron. Sedangkan pada semua kasus terdapat ekspresi reseptor
androgen dengan jumlah yang sangat sedikit, yaitu kurang dari 5% jika
dibandingkan dengan kontrolnya yaitu adenokarsinoma prostat dan
hiperplasia prostat jinak (Gatalica 1998).
Saylam et al. (2005) di Universitas Of Hacettepe, meneliti 27 pasien
ANJ yang seluruhnya berjenis kelamin laki#laki dengan rentang usia
antara 10 hingga 34 tahun mengenai keberadaan reseptor estrogen dan
progesteron dengan menggunakan antibodi monoklonal. Dua dari 27
pasien menunjukkan adanya ekspesi reseptor estrogen, sementara 9 dari
27 pasien menunjukkan adanya ekspresi reseptor progesteron. Ekspresi
reseptor estrogen dan progesteron yang rendah pada penelitian ini kurang
mendukung indikasi adanya pengaruh hormon kelamin pada ANJ (Saylam
et.al 2005).
Penelitian Montag, Tretiakova & Richardson (2006) di Chicago Amerika
Serikat

tentang

keberadaan

reseptor

hormon

steroid

pada

ANJ

menggunakan antibodi monoklonal untuk pemeriksaan ER#α dan antibodi
poliklonal untuk pemeriksaan ER#β pada 13 kasus angiofibroma

Universitas Sumatera Utara

nasofaring. Hasil yang diperoleh adalah semua kasus positif untuk ER#β
yang terdapat pada stroma dan sel endotel pembuluh darah, namun tidak
didapatkan adanya ekspresi ER#α dan reseptor progesteron pada semua
kasus. Sementara pada 5 kasus menunjukkan ekspresi reseptor androgen
yang positif lemah dan terutama terdapat pada stroma. Penemuan ini
membuktikan bahwa memang terdapat ekspresi reseptor estrogen β pada
ANJ sehingga dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai
pemberian terapi hormonal pada tumor ini (Montag, Tretiakova &
Richardson 2006).
Anggreani et al. (2011) di RS Cipto Mangunkusumo melaporkan
penelitian terhadap 27 kasus ANJ. Hasilnya didapati ekspresi ER#β pada
ANJ sebesar 100%. Berdasarkan intensitas pewarnaan terhadap ER#β
didapatkan 18,5%

mempunyai intensitas

pewarnaan kuat,

29,6%

menunjukkan intensitas pewarnaan yang sedang dan 51,9% memiliki
intensitas pewarnaan yang lemah. Tiga koma tujuh persen termasuk
kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER#β kurang dari
25%, 3,7% termasuk kelompok dengan jumlah sel 25#50%, dan 92,6%
termasuk kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER#β
>50% (Anggreani et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
(#)
Hipotalamus

(#)
(#)

Estrogen

GnRH (+)

Hipofisis

(+)

(#)

FSH & LH (+)

Testis

Usia Pubertas

Testosteron

Testosteron berikatan
dengan Sex Steroid
Binding Protein

Testosteron
bebas

(+)

Reseptor
Androgen
(+)

(?)
Reseptor Estrogen

(?)

Nidus
Fibrovaskular
(#)

Genetik

Onkogen
Tumor Supressor Gen

(+)

Proliferasi

Angiogenic
Growth Factor

ANJ

Angiogenesis

Gambar 2.4. Kerangka teori penelitian.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

`
Reseptor Estrogen Beta
# Ekspresi
# Intensitas
# Jumlah sel

ANJ

Genetik

#
#

Jenis Kelamin
Umur

Reseptor Androgen

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.5. Kerangka konsep penelitian.

Universitas Sumatera Utara