Ekspresi Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik.

(1)

EKSPRESI PEROKSISOME PROLIFERATOR ACTIVATOR RESEPTOR GAMMA

(PPARγ) PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

DI RSUP H. ADAM MALIK.

TESIS

Oleh:

FLORA ARMANTI

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2013


(2)

EKSPRESI PEROKSISOME PROLIFERATOR ACTIVATOR RESEPTOR GAMMA

(PPARγ) PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

DI RSUP H. ADAM MALIK.

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh : FLORA ARMANTI

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2013


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera, saya sampaikan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Ekspresi Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ) pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Ida Sjailandrawati, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing serta dr. Putri Ch. Eyanoer, MSEpid, Ph.D sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(5)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, dr T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni,Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked (ORL-HNS), KL, dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M. Ked HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr.


(6)

Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Asman R Karo-Karo, MM dan Ibunda R. br Sembiring, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Tuhan agar dengan umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan Engkau memberkati kedua orang tua kami.

Yang tercinta Ayah mertua Ir.Terang M Sebayang dan Ibu mertua I br Bangun. Ayah dan Ibu mertua yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada suamiku tercinta Roy Alexander Sebayang, ST serta buah hati kami yang amat kusayang Primakasa Arlexta Sebayang, tiada kata yang lebih indah yang dapat ibunda ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya dan doa kepada ibunda sehingga dengan penyertaan Tuhan akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada adinda, dr. Fadli Armanto karo, dr. Fitri Armanti karo-karo dan Ferni armanti karo-karo-karo-karo serta kakak dan adik ipar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.


(7)

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Oktober 2013 Penulis

Flora Armanti


(8)

EKSPRESI PEROKSISOME PROLIFERATOR ACTIVATOR RESEPTORGAMMA (PPARγ) PADA PENDERITA KARSINOMA

NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK ABSTRAK

Pendahuluan : Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang umumnya diketahui pada keadaan stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena gejala dini yang tidak khas dan juga letaknya yang tersembunyi sehingga penderita sering tidak memperhatikannya. Berdasarkan profil kesehatan 2007 oleh Departemen Kesehatan, KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita selama periode tersebut. (PPARγ) merupakan anggota dari family nuklear reseptor dengan beragam fungsi biologis yang mencakup mediasi diferensiasi adiposit, pengaturan aktivitas monosit, makrofag, anti-inflamasi dan penghambatan proliferasi sel tumor. Data lain menunjukkan bahwa PPARγ bisa berperan sebagai gen supressor tumor

Tujuan : Untuk mengetahui ekspresi PPARγ pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan secara

cross sectional. Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2012.

Hasil Penelitian : Sebanyak 30 sampel KNF diperiksa ekspresi PPARγ dengan immunohistokimia. Penderita KNF paling banyak ditemukan pada laki-laki (70,0%), kelompok umur 41-60 tahun (63,3%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma (53,3%). Dengan menggunakan

Fisher’s exact test ditemukan hubungan yang signifikan antara kelenjar getah bening dan ekspresi PPARγ (p=0,031) juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stadium dan ekspresi PPARγ (p= 0,028). Namun tidak ditemukan adanya hubungan antara ukuran tumor primer dan ekspresi PPARγ (p=0,160).

Kesimpulan: PPAR adalah nuklear reseptor yang paling sering berhubungan dengan kanker karsinoma sel skuamous kepala dan leher. Overekspresi PPARγ terlihat pada kanker skuamous sel karsinoma kepala dan leher. Tidak menemukan hubungan signifikan antara ekspresi PPARγ pada frekuensi tumor primer (T) dan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Ditemukan hubungan signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok stadium klinis karsinoma nasofaring p=0,028. Ditemukan hubungan ekspresi PPARγ dengan ukuran kelenjar getah bening dari karsinoma nasofaring p=0,031.


(9)

Kata Kunci : Karsinoma Nasofaring, PPARγ, Ekspresi, RSUP H. Adam Malik.

PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATED RECEPTOR GAMMA

ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL

(PPARγ) EXPRESSIONS IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA PATIENTS AT

ABSTRACT

Introduction : Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignant tumor commonly detected in advanced stages due to the untypical early symptoms and its hidden site often remains unnoticed. According to the Health Profile 2007, Department of Health, NPC is one of the 10 most common cancers in indonesia from 2004 to 2006 and the number of patients continuously increase during that period. PPARγ is a member of the nuclear receptor family with diverse biological functions that include adipocytes differentiation, monocytes and macrophages regulation, anti-inflammatory and inhibition of tumor cell proliferation. Other data suggest that PPARγ may act as a tumor suppressor gene.

Objective : To find out the PPARγ expressions in nasopharyngeal carcinoma patients at Adam Malik General Hospital

Method : Descriptive study with cross sectional approach. The study was conducted at Adam Malik General Hospital and Department of Anatomic Pathology, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, from June 2012 until December 2012.

Results : PPARγ expressions of 30 NPC samples examined by Immunohistochemistry method. NPC patients most commonly found in men (70.0%), 41-60 years age group (63.3%) and non-keratinizing squamous cell carcinoma type (53.3%). Fisher's exact test found a significant association between lymph nodes and PPARγ expression (p = 0.031) and also a significant relationship between the stage and the expression of PPARγ (p = 0.028), yet no relationship found between the size of the primary tumor and the expression of PPARγ (p = 0.160).

Conclusions: PPAR nuclear receptors are most frequently associated with cancer squamous cell carcinoma of the head and neck. PPARγ overexpression seen in cancer is squamous cell carcinoma of the head and neck. Found no significant relationship between the expression of PPARγ in the frequency of the primary tumor (T) and histopathological types of nasopharyngeal carcinoma. Found a significant relationship between the expression of PPARγ with clinical stage nasopharyngeal


(10)

carcinoma group p = 0.028. PPARγ expression was found relationship with the size of lymph nodes from nasopharyngeal carcinoma p = 0.031.

Keywords : nasopharyngeal carcinoma, PPARγ, expression, Adam Malik General Hospital


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Karsinoma Nasofaring 4

2.2. Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR) 11

2.3. Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ) 13

2.4. Peran PPARγ Pada Kanker 16

2.5. Kerangka Konsep 18

Bab 3. Metode Penelitian 3.1. Jenis Penelitian 19

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian 19

3.3. Populasi, Sampel dan Tekhnik Pengambilan Sampel 19

3.4. Variabel Penelitian 20

3.5. Definisi Operasional 20

3.6. Bahan Penelitian 23

3.7. Instrumen Penelitian 23

3.8. Prosedur Kerja Pewarnaan Immunohistokimia PPARγ 24

3.9. Kerangka Kerja 26

3.10. Cara Pengumpulan Data 26

3.11. Cara Analisis Data 26


(12)

Bab 4. Hasil Penelitian

4.1. Distribusi Frekuensi Umur Berdasarkan Karsinoma

Nasofaring 27

4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Berdasarkan Karsinoma

Nasofaring 28

4.3. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Berdasarkan

Karsinoma Nasofaring 28

4.4. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring

Berdasarkan Ekspresi PPARγ 29

4.5. Distribusi Frekuensi Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring

Berdasarkan Ekspresi PPARγ 30

4.6. Distribusi Frekuensi Metastasis Kelenjar Getah Bening (N)

Karsinoma Nasofaring Berdasarkan PPARγ 31 4.7. Distribusi Frekuensi Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

Berdasarkan Ekspresi PPARγ 32

Bab 5. Pembahasan

5.1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan

Umur 33

5.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan

Jenis Kelamin 34

5.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan

Tipe Histopatologi 35

5.4. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi PPARγ 36 5.5. Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Karsinoma

Nasofaring Berdasarkan Ekspresi PPARγ 36 5.6. Distribusi Frekuensi Ukuran Kelenjar Getah Bening (N)

Karsinoma Nasofaring Berdasarkan PPARγ 37 5.7. Distribusi Frekuensi Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

Berdasarkan Ekspresi PPARγ 38


(13)

Bab 6. Kesimpulan dan saran

6.1. Kesimpulan 40

6.2. Saran 41

Daftar Pustaka 42

PERSONALIA PENELITIAN 46

LAMPIRAN 48


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Umur Berdasarkan Karsinoma Nasofaring

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Berdasarkan Karsinoma

Nasofaring

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Berdasarkan Karsinoma Nasofaring

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi PPARγ

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi PPARγ

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Metastasis Kelenjar Getah Bening (N) Karsinoma Nasofaring Berdasarkan PPARγ

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi PPARγ


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi nasofaring

Gambar 2.2. Histopatologi karsinoma nasofaring

Gambar 2.3. Skema pengobatan KNF berdasarkan NCCN 2010 Gambar 2.4. Skema Represantasi dari Domain Struktural PPAR Gambar 2.5. Mekanisme Transkipsi Gen dari PPARγ

Gambar 2.6. Mekanisme kerja ligan pada Nuklear Reseptor


(16)

EKSPRESI PEROKSISOME PROLIFERATOR ACTIVATOR RESEPTORGAMMA (PPARγ) PADA PENDERITA KARSINOMA

NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK ABSTRAK

Pendahuluan : Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang umumnya diketahui pada keadaan stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena gejala dini yang tidak khas dan juga letaknya yang tersembunyi sehingga penderita sering tidak memperhatikannya. Berdasarkan profil kesehatan 2007 oleh Departemen Kesehatan, KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita selama periode tersebut. (PPARγ) merupakan anggota dari family nuklear reseptor dengan beragam fungsi biologis yang mencakup mediasi diferensiasi adiposit, pengaturan aktivitas monosit, makrofag, anti-inflamasi dan penghambatan proliferasi sel tumor. Data lain menunjukkan bahwa PPARγ bisa berperan sebagai gen supressor tumor

Tujuan : Untuk mengetahui ekspresi PPARγ pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan secara

cross sectional. Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2012.

Hasil Penelitian : Sebanyak 30 sampel KNF diperiksa ekspresi PPARγ dengan immunohistokimia. Penderita KNF paling banyak ditemukan pada laki-laki (70,0%), kelompok umur 41-60 tahun (63,3%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma (53,3%). Dengan menggunakan

Fisher’s exact test ditemukan hubungan yang signifikan antara kelenjar getah bening dan ekspresi PPARγ (p=0,031) juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stadium dan ekspresi PPARγ (p= 0,028). Namun tidak ditemukan adanya hubungan antara ukuran tumor primer dan ekspresi PPARγ (p=0,160).

Kesimpulan: PPAR adalah nuklear reseptor yang paling sering berhubungan dengan kanker karsinoma sel skuamous kepala dan leher. Overekspresi PPARγ terlihat pada kanker skuamous sel karsinoma kepala dan leher. Tidak menemukan hubungan signifikan antara ekspresi PPARγ pada frekuensi tumor primer (T) dan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Ditemukan hubungan signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok stadium klinis karsinoma nasofaring p=0,028. Ditemukan hubungan ekspresi PPARγ dengan ukuran kelenjar getah bening dari karsinoma nasofaring p=0,031.


(17)

Kata Kunci : Karsinoma Nasofaring, PPARγ, Ekspresi, RSUP H. Adam Malik.

PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATED RECEPTOR GAMMA

ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL

(PPARγ) EXPRESSIONS IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA PATIENTS AT

ABSTRACT

Introduction : Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignant tumor commonly detected in advanced stages due to the untypical early symptoms and its hidden site often remains unnoticed. According to the Health Profile 2007, Department of Health, NPC is one of the 10 most common cancers in indonesia from 2004 to 2006 and the number of patients continuously increase during that period. PPARγ is a member of the nuclear receptor family with diverse biological functions that include adipocytes differentiation, monocytes and macrophages regulation, anti-inflammatory and inhibition of tumor cell proliferation. Other data suggest that PPARγ may act as a tumor suppressor gene.

Objective : To find out the PPARγ expressions in nasopharyngeal carcinoma patients at Adam Malik General Hospital

Method : Descriptive study with cross sectional approach. The study was conducted at Adam Malik General Hospital and Department of Anatomic Pathology, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, from June 2012 until December 2012.

Results : PPARγ expressions of 30 NPC samples examined by Immunohistochemistry method. NPC patients most commonly found in men (70.0%), 41-60 years age group (63.3%) and non-keratinizing squamous cell carcinoma type (53.3%). Fisher's exact test found a significant association between lymph nodes and PPARγ expression (p = 0.031) and also a significant relationship between the stage and the expression of PPARγ (p = 0.028), yet no relationship found between the size of the primary tumor and the expression of PPARγ (p = 0.160).

Conclusions: PPAR nuclear receptors are most frequently associated with cancer squamous cell carcinoma of the head and neck. PPARγ overexpression seen in cancer is squamous cell carcinoma of the head and neck. Found no significant relationship between the expression of PPARγ in the frequency of the primary tumor (T) and histopathological types of nasopharyngeal carcinoma. Found a significant relationship between the expression of PPARγ with clinical stage nasopharyngeal


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang umumnya diketahui pada keadaan stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena gejala dini yang tidak khas dan juga letaknya yang tersembunyi sehingga penderita sering tidak memperhatikannya. Diagnosis dini dari penyakit ini sangat menentukan prognosis penderita (Farhat, 2009).

Populasi karsinoma nasofaring pada umumnya dijumpai di Cina Selatan, Asia Tenggara, Kutub Utara, Timur Tengah dan di bagian Afrika namun jarang dilaporkan di negara-negara bagian Barat dan Jepang (Hsien et al, 2009). Prevalensi tertinggi dari karsinoma nasofaring terdapat di Cina Selatan dengan angka kejadian rata-rata 15-50 per 100.000 (X Xu et al, 2009). KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia, yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, getah bening dan kulit (Fachiroh et al, 2004).

Diagnosis KNF dapat ditegakkan melalui anamnese, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang terdiri dari endoskopi, biopsi, CT Scan dan pemeriksaan imunohistokimia (Brennan, 2005). Salah satu pemeriksaan imunohistokimia adalah pemeriksaan Nuklear Reseptor (NR). Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR) adalah nuklear reseptor yang paling sering berhubungan dengan kanker karsinoma sel skuamous kepala dan leher. Saat ini diketahui ada tiga isoform PPAR yang telah diidentifikasikan yaitu Peroxisome Proliferator Activated Receptor alfa (PPARα), Peroxisome Proliferator Activated Receptor beta (PPARβ),


(19)

Peroxisome Proliferator Activated Receptor gamma (PPARγ) (Li Yi Ming et al, 2003).

Beberapa Nuklear Reseptor (NR) termasuk di dalamnya PPAR berkaitan dengan kanker kepala dan leher. Dalam uji klinis tampak gambaran nuklear resptor berfungsi dalam menerangkan suatu prognostik dan terapi pada kanker. Target utama pada Nuklear Reseptor (NR) berpotensi dalam pengembangan antikanker. (Andrea Schweitzer et al, 2009).

Pada kanker skuamous sel karsinoma kepala dan leher juga terlihat adanya overekspresi pada PPARγ (Shirley, 2009).

Di bidang gastroenterology banyak dijumpai overekspresi PPARγ terutama pada kanker colon. Hal ini menyebabkan banyak peneliti yang memfokuskan diri pada permasalahan tersebut sehingga menyebabkan sampai sekarang masih sesuatu hal yang kontroversial (Li yi Ming et al, 2003).

Sampai saat ini di RSUP H. Adam Malik Medan belum ada data mengenai ekspresi PPARγ pada karsinoma nasofaring, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu bagaimana ekspresi PPARγ pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum


(20)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur.

b. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin.

c. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi.

d. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan tipe histopatologi karsinoma nasofaring.

e. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan tumor primer (T) karsinoma nasofaring.

f. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan metastasis kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring. g. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan

stadium klinis karsinoma nasofaring.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

a. Memberikan informasi mengenai ekspresi PPARγ pada karsinoma nasofaring di RSUP. H. Adam Malik Medan.

b. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan PPARγ pada karsinoma nasofaring.

c. Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam usaha pengembangan terapi terhadap karsinoma nasofaring dalam mengoptimalkan efek terapi dasar karsinoma nasofaring.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring

Nasofaring merupakan bagian faring yang terletak paling atas oleh karena itu disebut juga dengan epifaring. Nasofaring secara anatomis terletak di bagian belakang dari rongga hidung dan mempunyai batas mulai dari dasar tengkorak sampai ke palatum mole. Atap nasofaring dibentuk oleh basis sphenoid dan basis oksipital, dinding posterior di bentuk oleh vertebra, dasar nasofaring di bentuk oleh palatum mole, dinding depan di bentuk oleh koana, serta dinding lateral dimana ditemukan muara tuba eustachius (Dhingra, 2007).

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (Shirley, 2009)

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamous yang tumbuh dari epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring ini dapat tumbuh pada berbagai sisi nasofaring namun lebih sering terlihat pada fossa Rosenmuller (Hsien et al, 2009). Faktor resiko untuk terjadinya KNF


(22)

adalah infeksi Epstein Barr Virus (EBV), selain daripada itu ikan asin, asupan alkohol, merokok dan makanan cepat saji, terutama pada masa anak-anak, juga menunjukkan hubungan dengan tingginya rata-rata kejadian KNF (Randall, 2009).

Nasofaring merupakan daerah yang sulit untuk diperiksa oleh dokter umum sehingga karsinoma nasofaring sering terlambat untuk di diagnosis jika dibandingkan dengan keganasan lainnya pada kepala dan leher. Oleh karena itu karsinoma nasofaring cenderung ditemukan pada stadium lanjut (Randall, 2009).

Insiden KNF tetap tinggi di antara orang-orang Cina yang berimigrasi ke negara-negara Asia dibandingkan dengan orang Cina yang bermigrasi ke negara-negara Barat. Dilaporkan orang-orang Cina di Los Angeles 6,5 kasus per 100.000 laki-laki dan 3,7 kasus per 100.000 perempuan, dibandingkan pada orang Cina yang bermigrasi ke Singapura 18,1 kasus per 100.000 laki-laki dan 7,4 kasus per 100.000 perempuan. Insident KNF ada juga dilaporkan orang kaukasia di Hawai terdapat 0,7 per 100.000 laki-laki dan 0,9 per 100.000 perempuan, disisi lain orang Cina yang tinggal di Hawai terdapat 8,9 kasus dari 100.000 laki-laki dan 3,7 kasus per 100.000 perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik, etnis dan lingkungan mungkin memainkan peranan dalam etiologi penyakit (Hsien et al, 2009).

Dilaporkan insiden KNF di United Kingdom 0,25 per 100.000 usia 0-14 tahun, 0,1 per 100.000 usia 0-9 tahun dan 0,8 per 100.000 usia 10-14 tahun. Insiden KNF di Inggris 1-2 per 100.000 usia 15-19 tahun (Brennan, 2005)

Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003)

.


(23)

Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan tumor menjadi 3 kelompok, yaitu (Fachiroh et al, 2004; Randall, 2009; William, 2006):

Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (keratinizing squamous cell carcinoma)

Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (non keratinizing squamous cell carcinoma)

Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)

Squamous cell carcinoma KNF


(24)

Undifferentiated carcinoma KNF

Gambar 2.2. Histopatologi karsinoma nasofaring

Untuk jenis KNF yang non keratinizing yaitu WHO tipe 2 dan 3 bersifat radiosensitif sehingga radioterapi menjadi pengobatan utama. Pada tumor stadium lanjut terdapat angka yang tinggi pada metastase regional dan jauh yang akan membutuhkan kombinasi radioterapi dengan kemoterapi. Kemoterapi dapat meningkatkan efek radioterapi melalui pemberian bahan radiosensitif pada jaringan tumor dan dapat menurunkan mikrometastase sistemik (Randall, 2009).

Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:

Tumor Primer (T)

Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terbukti adanya tumor primer Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal


(25)

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

KGB Regional (N)

Nx KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastase ke KGB regional

N1 Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau

pada fossa supraklavicular: N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular

Metastase Jauh (M)

M0 Tanpa metastase jauh M1 Metastase jauh

Kelompok stadium :

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T1 N1 M0

T2 N0 M0

T2 N1 M0

III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0


(26)

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB setiap T N3 M0

IVC setiap T setiap N M1

Penatalaksanaan 1. Radioterapi

Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Guigay et al. 2006; Wei, 2006).

Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Wei, 2006).

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif (Mould & Tai, 2002; Zakifman & Harryanto, 2002). Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan bahwa pengunaan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi meningkatkan overall survival apabila dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Kemoterapi berfungsi sebagai


(27)

radiosensitisizer dan membantu dalam mengurangi metastase jauh (Mould & Tai, 2002; Wei, 2006).

3. Pembedahan

Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu, pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al. 2008).

National Comprehensive Cancer Network (2010) mempublikasikan suatu petunjuk praktis klinis penanganan KNF sebagai berikut :


(28)

2.2. Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR)

Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR) pertama kali dikloning dari hati tikus pada tahun 1990 sebagai nuclear reseptor dan berpengaruh pada banyak senyawa sintesis yang disebut peroxisome proliferator (PP). Pengaruh dari peroxisome proliferator ini baik dalam ukuran dan jumlahnya dapat melakukan berbagai fungsi metabolisme seperti derived respirasi peroksida, beta oksidasi asam lemak dan metabolisme kolesterol dalam sel. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa PPAR dapat menekan pertumbuhan kanker pada manusia baik secara apoptosis dan induksi diferensiasi. PPAR adalah faktor transkripsi yang diaktifkan oleh ikatan spesifik dan juga mempunyai peranan penting dalam sinyal sel (Jiri et al, 2002).

Terdapat 3 (tiga) subtipe dari family hormon nuklear reseptor ini yang dikenal, yakni PPAR-α, PPAR-β dan PPAR-γ yang ketiganya menunjukkan pola ekspresi jaringan yang spesifik berdasarkan pola fungsi biologis serta memiliki fitur struktural dan fungsional yang mirip. PPAR α banyak terdapat dalam sel hepatosit primer sebagai pengatur ekspresi protein yang terlibat dalam metabolisme asam lemak. PPAR β adalah salah satu subtype yang paling luas penyebarannya dan sering diekspresikan pada kadar yang tinggi (Li Yi Ming et al, 2003). PPAR γ paling dominan terdapat di jaringan lemak dimana PPARγ ini memainkan peranan penting dalam mengatur differensiasi sel lemak (Li Yi Ming et al, 2003; Tracey, 2003). Kemampuan PPARγ untuk mengatur differensiasi, proliferasi, apoptosis sel yang menginspirasi beberapa peneliti untuk mengetahui penggunaan agonis PPARγ sebagai bahan atau obat kemoterapi. PPARγ ekspresinya tinggi pada liposarkoma dan beberapa variasi tumor lainnya termasuk payudara, paru, kolon serta kanker kepala dan leher (Philip, 2003; Qing HE et al, 2009).


(29)

Tabel 1: Klasifikasi superfamily Nuklear Reseptor (NR) dalam subfamily (Shirley, 2009).

Subfamily Full Name Subfamily members (Trivial abbeaviation)

Subfamily 1 Thyroid hormone receptor - like receptors

Peroxisome proliferator-activated Peroxisome Proliferator-reseptor

Activated

Reseptor α,β,√,γ Receptor (PPAR)

Retinoic Acid Receptors Retinoic Acid Receptor ( RAR ) α,β,γ Retinoid acid receptor-related Retinoid acid receptor-related orphan receptor orphan receptors (ROR) α,β,γ

Rev-ErbA Rev-ErbA (EAR1) α,β

Thyroid hormone receptors Thyroid hormone receptor (TR) α,β Liver X receptor-like receptors Liver X receptor (LXR) α,β ;

Farnesoid X receptor (FXR) Vitamin D receptor-like receptors Vitamin D receptor (VDR);

Pregnane X receptor (PXR);

Constitutive androstane receptor (CAR) Subfamily 2 Retinoid X receptor-like receptors

Hepatocyte nuclear factor - 4 Hepatocyte nuclear factor-4 (HNF-4) α,γ Retinoid X receptors Retinoid X receptor (RXR) α,β,γ

Subgroups Testicular receptors Testicular receptor 2,4 (TR2/4) Tailless-like receptors Human homologue of the

Drosophila tailless Gene (TLX); Photoreceptor cell-spesific nuclear Receptor (PNR)

Chicken ovalbumin upstream Chicken ovalbumin upstream Promoter-transcription factor-like Promoter-transcription factor

Reseptor (COUP-TF) I, II; V-erbA-related (EAR2) Subfamily 3 Estrogen receptor-like receptors

Estrogen receptors Estrogen receptor (ER) α,β

Subgroups Estrogen related receptors Estrogen-related receptor (ERR) α,β,γ 3-Ketosteroid receptors Androgen receptor (AR);

Progesterone Receptor (PR); Glucocorticoid receptor (GR); Mineralocorticoid receptor(MR) Subfamiliy 4 Nerve growth factor IB-like receptors

Nerve Growth factor IB/Nuclear Nerve Growth factor IB (NGF-IB); Nuclear Receptor related/Neuron-derived receptor related 1 (NURR1); Neuron-derived Orphan receptor orphan receptor 1 (NOR1)

Subfamily 5 Steroidogenic factor-like receptors Steroidogenic factor/Liver receptor Steroidogenic factor 1 (SF1); Homolog Liver receptor homologue-1 (LHR1) Subfamily 6 Germ Cell Nuclear factor-like receptors

Germ cell nuclear factor Germ Cell nuclear factor (GCNF) Subfamily 0 Miscellaneous receptors

Dosage-sensitive sex reversal, Dosage-sensitive sex reversal, adrenal Adrenal hypoplasia critical region/ hypoplasia critical region, on

Small heterodimer partner chromosome X, gene 1 (DAX); Smal heterodimer partner (SHP)


(30)

Pada prinsipnya stuktur PPAR mempunyai empat domain fungsional yang telah diidentifikasikan yaitu ujung N, DNA Binding Domain (DBD), domain D, Ligand Binding Domain (LBD) atau ujung C (Horvai et al , 2008).

NH2-terminal DBD LBD C-terminal

AF-1 Hinge AF-2 Gambar 2.4. Skema Represantasi dari Domain Struktural PPAR

Domain N-terminal A/B berisikan ligan independent yang memiliki fungsi aktivasi 1 (AF-1) yang bertanggung jawab untuk fosforilasi PPAR. DNA pengikat Domain (DBD = DNA Binding Domain) atau domain C berfungsi untuk mempromosikan pengikatan PPAR terhadap respon Proliferator Peroksisome Elemen (PPRE) di daerah promotor dari gen target. Domain D adalah domain docking untuk kofaktor sedangkan Domain E/F atau disebut Ligan Binding Domain (LBD) adalah domain yang bertanggung jawab atas kekhususan ligan dan aktivasi pengikatan PPAR terhadap PPRE, yang akan meningkatkan ekspresi dari gen yang ditargetkan (Horvai et al , 2008; Schweitzer, 2009).

2.3. Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ)

Peroksisome proliferator activator reseptor gamma (PPARγ) adalah anggota dari family nuklear reseptor dengan beragam fungsi biologis yang mencakup mediasi diferensiasi adiposit, pengaturan aktivitas monosit, makrofag, anti-inflamasi dan penghambatan proliferasi sel tumor (Li Yi Ming et al, 2003; Tracey, 2003). PPARγ juga ditemukan terekspresi dalam beberapa karsinoma, sehingga menimbulkan dugaan bahwa memiliki peranan dalam diferensiasi garis sel kanker dan dalam


(31)

regulasi siklus sel (H Philip, 2003; Qing HE et al, 2009). Pada karsinoma sel skuamous kepala dan leher terlihat adanya overekspresi pada PPARγ. Dimana PPARγ akan merangsang apoptosis dan menghambat invasi sel tumor pada karsinoma sel skuamous. Jika PPARγ meningkat maka apoptosis juga meningkat terutama pada tumor stadium dini (Qing HE et al, 2009; Horvai et al, 2008)

PPARγ pertama kali diidentifikasi sebagai komponen dari suatu adipocyte differentiation-dependent regulatory factor (ARF6) yang mengikat ke sel lemak spesifik dari asam lemak adipocyte mengikat protein (AP2) gen (Lim Chui Hun,. 2007).

PPARγ, seperti PPAR lainnya, membentuk heterodimer dengan anggota subfamily reseptor nuklear yang lain, yakni reseptor retinoic X (RXR), yang merupakan reseptor untuk asam 9-cis-retinoic. Setelah heterodimerisasi dengan RXR, PPARγ mengikat unsur proliferator peroksisom reseptor elemen (PPRE) yang terdapat pada DNA target kemudian pada gilirannya akan mengatur transkripsi gen dan menimbulkan efek biologik. Namun target gen yang memperantarai aktivitas anti kanker dengan aktivitas PPARγ mekanismenya masih belum jelas (Shirley, 2009; Lim Chui Hun, 2007).


(32)

PPARγ berperan sebagai faktor transkripsi setelah membentuk heterodimer dengan retinoid x reseptor (RXR) kemudian diaktifkan oleh ikatan dengan ligan spesifik (Shirley, 2009). Ligan yang berbeda mempunyai kemampuan untuk mengambil protein coaktivator yang berbeda dan akan menimbulkan efek biologi yang berbeda juga. Yang termasuk ligan alami salah satunya yaitu prostaglandin J2(PG-J2) dan sintesis yaitu thiazolinediones (TZD). Keduanya adalah ligan PPARγ dengan aktivitas agonis anti-proliferasi yang telah diidentifikasi. Yang termasuk dalam ligan sintetik TZD adalah rosiglitazone (Avandia), pioglitazone (Actos), dan troglitazone (Rezulin) (Tracey et al, 2003; H Philip, 2003). Ligan sintetik yang baru yaitu Triterpinoid (2-cyano-3, 12-divoaleana-1,9-diene-28oic acid) dapat merangsang diferensiasi dan dapat menghambat proliferasi dari berbagai sel kanker dan mempunyai aktivitas anti peradangan. Asam retinoid trans juga telah digunakan sebagai ligan PPARγ untuk mencegah recurren kanker karsinoma sel skuamous kepala dan leher (Tracey et al, 2003; H Philip, 2003; NG Nikitakis et al, 2002).


(33)

Cara kerja ligan pada nuklear reseptor yang terdapat di sitoplasma. Ligan alami atau ligan sintetik berdifusi melewati membran sel dan berikatan pada nuklear reseptor. Pengikatan ligan pada nuklear reseptor disitoplasma mencetuskan perubahan. Ligan mengaktifkan heterodimer nuklear reseptor kemudian masuk kedalam nukleus yang mengambil protein coaktivator dan RNA polimerase kemudian berikatan di DNA hormon reseptor elemen (HRE) dan mengaktifkan transkripsi gen dan menyebabkan timbul efek biologis (Schweitzer et al, 2009).

2.4. Peran PPARγ pada Kanker

Nuklear reseptor memodulasi atau merangsang proliferasi, apoptosis, invasi dan migrasi. PPAR dapat menekan pertumbuhan sel kanker pada manusia. Dengan adanya mutasi pada PPARγ akan mengakibatkan hilangnya ikatan ligan. Ini menunjukkan bahwa pentingnya PPARγ fungsional yang normal untuk pertumbuhan sel-sel manusia. Salah satu mekanismenya adalah upregulasi tumor oleh agonis PPARγ. Secara keseluruhan ligan PPARγ (agonis) telah dinyatakan sebagai antikanker yang potensial dan dapat berfungsi sebagai dasar yang rasional dalam terapi beberapa tumor atau dalam kemopreventif. Data lain menunjukkan bahwa PPARγ bisa berperan sebagai gen supressor tumor. PPARγ juga berperanan sebagai faktor transkripsi setelah membentuk heterodimer dengan RXR dan berikatan dengan elemen spesifik. Penelitian ini telah didukung pada in vitro seperti liposarcoma, kanker ovarium, kanker payudara, kanker prostat, kanker kandung kemih, beberapa jenis limfoma B, erytroleukemia, kanker paru-paru, kanker lambung. Oleh karenanya pada saat ini nuklear reseptor lebih diminati sebagai target terapi (Shirley, 2009; Schweitzer et al, 2009).


(34)

(35)

2.5. Kerangka Konsep

= Variabel penelitian

Epitel Nasofaring

Genetik

Lingkungan

Infeksi EBV

Karsinoma nasofaring - Jenis kelamin

- Umur

- Histopatologi - Ukuran tumor (T)

- Ukuran kelanjar getah bening Leher (N) - Stadium


(36)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan secara

cross sectional. Dalam penelitian ini tidak memberikan perlakuan terhadap variabel, namun hanya melihat ekspresi imunohistokimia PPARγ. Pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali dan pada satu saat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2012.

3.3. Populasi, Sampel dan Tekhnik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah penderita yang didiagnosis KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan hasil biopsi histopatologi yang berobat ke Divisi Onkologi-Bedah Kepala Leher Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Kriteria Populasi

1. Penderita yang didiagnosis KNF, baik laki-laki maupun perempuan dengan keadaan umum baik

2. Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan radioterapi, kemoterapi dan kombinasi keduanya.


(37)

3. Hasil pemeriksaan biopsi histopatologi dari Departemen Patologi Anatomi FK USU pada periode Januari 2011 sampai dengan Mei 2012.

4. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent.

3.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah total populasi penelitian. 3.3.3 Tekhnik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan cara non probability consecutive sampling

3.4 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah : 1. Karsinoma nasofaring

2. Umur

3. Jenis Kelamin 4. Tipe histopatologi 5. Tumor primer (T)

6. Ukuran kelenjar getah bening (N) 7. Stadium klinis

8. Ekspresi PPARγ.

3.5 Definisi Operasional

1. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofaring yang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan dinilai berdasarkan kriteria WHO.


(38)

2. Jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki dengan perempuan secara biologis sejak lahir, yang akan menjadi identitas responden:

a. Laki-laki b. Perempuan

3. Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungannya berdasarkan kalender masehi. Umur penderita karsinoma nasofaring dikelompokkan atas:

a. 20 tahun b. 21-40 tahun c. 41-60 tahun d. > 60 tahun

4. Tipe histopatologi karsinoma nasofaring adalah jenis dari suatu tumor ganas yang sediaanya diambil dari jaringan nasofaring dan dilihat di bawah mikroskop oleh ahli patologi antomi yang hasil pemeriksaannya berdasarkan kriteria WHO:

Tipe 1 : Keratinizing Squamous cell carcinoma Tipe 2 : Non keratinizing squamous cell carcinoma

Tipe 3 : Undifferentiated carcinoma

5. Tumor primer (T) karsinoma nasofaring adalah besar dan perluasan tumor primer sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur : 1, 2, 3, 4

T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal


(39)

T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

6. Ukuran kelenjar getah bening leher (N) adalah ukuran kelenjar getah bening leher sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur: 0,1,2,3

N0 : Tidak ada metastase ke KGB regional

N1 : Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3 : Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavicular.

7. Stadium karsinoma nasofaring adalah penentuan stadium penyakit berdasarkan klasifikasi AJCC tahun 2010 yang dikelompokkan menjadi: I, II, III, IV.

8. Ekspresi PPARγ.adalah pemeriksaan imunohistokimia yang pada pewarnaan coklat pada sitoplasma dan membran sel. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas (Tan & Putti, 2005).

Hasil ukur skor immunoreaktif: Ekspresi PPARγ negatif: 0-3

Ekspresi PPARγ positif / overekspresi: 4-9


(40)

3.6 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan nasofaring dalam bentuk blok parafin dengan pulasan hematoksilin eosin yang telah didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring. Bahan ini diperiksa secara immunohistokimia dengan menilai immunoreaktivitas antibodi PPARγ.

0 : berarti negatif Skor luas dinilai :

1 : pewarnaan positif < 10% jumlah sel 2 : pewarnaan positif 10-50% jumlah sel 3 : pewarnaan positif > 50% jumlah sel

0 : berarti negatif

Skor intensitas dihitung :

1 : lemah 2 : sedang 3 : kuat

Untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih dinilai positif atau overekspresi PPARγ.

Hasil ukur : 0 - 9

3.7 Instrumen Penelitian

Penelitian ini membutuhkan beberapa peralatan dan reagen sebagai berikut:

a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita b. Formulir persetujuan ikut penelitian


(41)

c. Reagen untuk pemeriksaan histopatologi

Formalin 10%, blok parafin, aqua destillata, hematoxyllin-eosin. d. Reagen untuk pemeriksaan immunohistokimia

Xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, H202

e. Alat untuk biopsi

0,5% dalam methanol, Phosphat Buffer Saline (PBS), antibodi PPARγ, antibodi sekunder, Envision, Choromogen Diamino Benzidine (DAB). Lathium Carbonat jenuh, Tris EBTA, Hematoxylin, aqua destillata.

Blakesley nasal foscep lurus/bengkok, endoskopi kaku, 4 mm, 00

f. Alat untuk pemeriksaan immunohistokimia .

Sistem visualisasi immunohistokimia (Envision kit), mesin pemotong jaringan (microtome), silanized slide.

3.8 Prosedur Kerja Pewarnaan Immunohistokimia PPARγ.

1. Deparafinisasi slide (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @ 5 menit 2. Rehidrasi (Alkohol absolute, Alk 96%, Alk 80%,

Alk 70%)

@ 4 menit

3. Cuci dengan air mengalir 5 menit

4. Masukkan slide ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval: set up Preheat 65°C, Running time 98°C selama 15 menit.

± 1 jam

5. Pap Pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4

5 menit

6. Blocking dengan peroxidase block 5-10 menit 7. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit 8. Blocking dengan Normal horse Serum (NHS) 3% 15 menit 9. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit

10. Inkubasi dengan Antibodi PPARγ dengan 1 jam


(42)

pengenceran 1:40

11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4/Tween 20

5 menit

12. Dako Real Envision Rabbit/Mouse 30 menit

13. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4/Tween 20

5-10 menit

14. DAB+Substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20 µL DAB : 1000 µL substrat (tahan 5 hari di suhu 2-8°C setelah di-mix)

5 menit

15. Cuci dengan air mengalir 10 menit

16. Counterstain dengan Hematoxylin 3 menit

17. Cuci dengan air mengalir 5 menit

18. Lithium carbonat (5% dlm aqua) 2 menit

19. Cuci dengan air mengalir 5 menit

20. Dehidrasi (Alk 80%, Alk 96%, Alk Abs) @5 menit 21. Clearing (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @5 menit

22. Mounting + cover glass


(43)

3.9 Kerangka Kerja

KARSINOMA NASOFARING

IMMUNOHISTOKIMIA PPAR-γ

Gambar 2.5 Kerangka kerja

3.10 Cara Pengumpulan Data

Data diambil dari hasil pemeriksaan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia di Departemen Patologi Anatomi FK USU.

3.11 Cara Analisis Data

Data yang telah terkumpul dideskripsikan untuk menjelaskan distribusi frekuensi umur, jenis kelamin dan tipe histopatologi pada KNF. Untuk menilai kebermaknaan antara variabel yang diteliti, maka dilakukan uji chi square. Keseluruhan data dipresentasikan dalam bentuk tabel dan grafik.

NEGATIF 0 -3

POSITIF/OVEREKSPRESI 4 - 9


(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan sampel penelitian berasal dari jaringan nasofaring serta dilakukan pemeriksaan histopatologi dan immunohistokimia PPARγ pada Departemen Patologi Anatomi FK USU. Data penelitian ini merupakan seluruh kasus karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria populasi.

4.1. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur

UMUR (tahun) n %

≤ 20 1 3,3

21-40 5 16,7

41-60 19 63,3

> 60 5 16,7

TOTAL 30 100

Pada tabel di atas dapat dilihat proporsi tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun yaitu 19 orang (63,3%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun yaitu 1 orang (3.3%). Umur termuda adalah 16 tahun dan tertua berumur 71 tahun dengan rerata umur 48.3 tahun.

27


(45)

4.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan tabel di atas diketahui proporsi penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 21 orang (70,0%) sedang jenis kelamin perempuan 9 orang (30,0%).

4.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe Histopatologi

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi

KARAKTERISTIK HISTOPATOLOGI n %

Keratinizing squamous cell carcinoma Non keratinizing squamous cell carcinoma Undifferentiated carcinoma

1 16 13

3,3 53,3 43,4

TOTAL 30 100 %

Berdasarkan tabel di atas diketahui proporsi tipe histopatologi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan kelompok terendah adalah tipe keratinizing

JENIS KELAMIN n %

Laki – laki 21 70,0

Perempuan 9 30,0

TOTAL 30 100


(46)

squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (3,3%).

4.4. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan tipe histopatologi karsinoma nasofaring.

TIPE HISTOPATOLOGI

EKSPRESI PPARγ Negatif Overekspresi

n % n %

Keratinizing squamous cell carcinoma 0 0,0 1 5,9

Non keratinizing squamous cell carcinoma 6 46,2 10 58,8

Undifferentiated carcinoma 7 53,8 6 35,3

TOTAL 13 100,0 17 100,0

Proporsi overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%), diikuti tipe histopatologi

differentiated carcinoma sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara tipe histopatologi dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,456.

p=0,456


(47)

4.5. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.5. Distribusi ekspresi PPARγ berdasarkan frekuensi tumor primer (T) karsinoma nasofaring.

UKURAN TUMOR PRIMER (T)

EKSPRESI PPARγ

Negatif Overekspresi

n % n %

1 2 3 4

3 23,1 4 23,5

4 30,8 1 5,9

1 7,7 6 35,3

5 38,5 6 35,3

TOTAL 13 100,0 17 100,0

P=0,160

Proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3 dan T4 yaitu masing-masing sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%), dan terendah ditemukan pada ukuran tumor primer T2 yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (5,9%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara tumor primer dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,160.


(48)

4.6. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Metastasis Kelenjar Getah Bening (N) Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan metastasis kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring.

KELENJAR GETAH BENING (N)

EKSPRESI PPARγ

Negatif Overekspresi

n % n %

0 1 2 3

1 7,7 0 0,0

4 30,8 4 23,5

6 46,2 2 11,8

2 15,4 11 64,7

TOTAL 13 100,0 17 100,0

P=0,031

Penelitian ini menunjukkan proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%) dan terendah ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N0 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara kelenjar getah bening karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,031.


(49)

4.7. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.7. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan stadium klinis karsinoma nasofaring.

STADIUM KLINIS

EKSPRESI PPARγ

Negatif Overekspresi

n % n %

I II III IV

0 0,0 0 0,0

3 23,1 0 0,0

4 30,8 2 11,8

6 46,2 15 88,2

TOTAL 13 100,0 17 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%), dan terendah ditemukan pada stadium 1 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%). Dari uji dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara stadium klinis karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,028.

P=0,028


(50)

BAB 5

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian histopatologi dan imunohistokimia PPARγ terhadap penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 dengan sampel merupakan penderita yang berobat periode Januari 2011 sampai dengan April 2012 yaitu sebanyak 30 sampel dan akan dijabarkan seperti dibawah ini.

5.1. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur

Pada penelitian ini ditemukan distribusi frekuensi tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun (63,3%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun (3.3%). Umur termuda adalah 16 tahun dan tertua berumur 71 tahun dengan rerata umur 48.3 tahun.

Kelompok umur 41-60 tahun merupakan kelompok umur yang memiliki angka kejadian penderita karsinoma nasofaring yang cukup tinggi, hal ini terlihat pada beberapa penelitian lain di Indonesia seperti yang didapat oleh Puspitasari (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2006-2010 dengan kelompok umur terbanyak pada usia 51-60 tahun sebanyak 89 kasus (26,5%) dari 335 kasus. Penelitian lain yang dilakukan di luar negeri menjumpai hal yang sama, menurut National Cancer Registry (2003) mencatat kasus penderita kanker nasofaring tertinggi ditemukan pada kelompok dari usia 40-49 sebesar 347 (36,3%) kasus dari 1.125

Demikian juga dengan Pua et al. (2008) di Malaysia mendapatkan presentase tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun sebesar 12 penderita (28%) dari 225 kasus.

kasus.


(51)

Hal ini disebabkan karena sistem mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik dan penurunan daya tahan tubuh pada usia lebih dari 40 tahun. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al. 2007)

5.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin

Penelitian ini menemukan bahwa jenis kelamin penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah laki-laki sebanyak 21 orang (70,0%) dengan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2.7:1.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Puspitasari (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan 2.7:1. Penelitian lain juga mendapatkan hasil yang sama seperti Anusha et al. (2012) yaitu ditemukannya penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada laki-laki dengan rata-rata 70%. Menurut National Cancer Registry (2003), karsinoma nasofaring yang paling umum adalah pada

Hampir semua penelitian penderita KNF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan pada perempuan diduga ada hubungan dengan kebiasaan hidup dan pekerjaan dimana laki-laki lebih sering terpapar dengan karsinogen penyebab KNF seperti paparan uap, asap debu dan gas kimia, paparan formaldehid di tempat kerja dapat meningkatkan risiko KNF (Chang & Adami, 2006). Selain itu, mengkonsumsi minuman beralkohol dan

laki-laki sebesar 70,8% di Cina.


(52)

merokok juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF (Yunardi, 2010 Ellen T. Chang et al 2006).

5.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe Histopatologi

Penelitian ini menemukan tipe histopatologi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan tipe histopatologi terendah adalah tipe

keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring. (3,3%).

Hal ini senada dengan yang di laporkan oleh Cao et al (2006) yaitu 97,6% dari 1.142 kasus KNF di Guangdong merupakan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, 1,7% tipe undifferentiated carcinoma dan 0,5% merupakan tipe

keratinizing squamous cell carcinoma. (Wei et al. 2011).

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang mendapatkan jenis histopatologi terbanyak di Singapore oleh Charles Gullo et al (2008) yang menemukan tipe terbanyak adalah undifferentiated carcinoma dengan nilai rata-rata WHO tipe 3 (55%) diikuti dengan tipe keratinizing squamous cell carcinoma WHO tipe 1 (25%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma sebesar WHO tipe 2. (20%).

Karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Mediterania. (Abdullah et al 2011)


(53)

5.4. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Tipe Berdasarkan Histopatologi Karsinoma Nasofaring

Pada penelitian ini kami temukan nilai overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%) diikuti tipe histopatologi undifferentiated carcinoma sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%). Jika dilihat dari distribusi overekspresi PPARγ berdasarkan tipe histopatologi dapat kita temukan overekspresi PPARγ banyak dijumpai pada tipe histopatologi yang berkaitan dengan inflamasi, namun dengan uji Chi-Square menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring (p=0,456).

5.5. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Ukuran Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring

PPARγ ini ditemukan dapat terekspresi dalam beberapa jenis tumor, sehingga menimbulkan dugaan bahwa PPARγ memiliki peranan didalam diferensiasi garis sel kanker dan dalam regulasi siklus sel. Pada karsinoma sel skuamous kepala dan leher terlihat adanya overekspresi pada PPARγ.

Overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T4 yaitu sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%) dan terendah ditemukan pada ukuran tumor primer T2 yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (5,9%) dengan nilai p=0,160.

Apabila kita melihat pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat tumor dengan PPARγ.

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukunyadzi et al (2003) pada penderita karsinoma duktus saliva


(54)

yang menemukan bahwa tingkat ekspresi PPARγ dijumpai pada semua tingkatan ukuran tumor primer namun tidak menemukan hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer. Ekspresi PPARγ pada karsinoma duktus saliva timbul dari reseptor androgen yang merupakan salah satu dari hormone nuclear reseptor.

Galusca et al (2004) pada karsinoma tiroid papilari dimana mereka menemukan peningkatan level PPARγ sejalan dengan peningkatan ukuran tumor primer tetapi tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara level PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Lacroix et al (2004) pada penelitian terhadap karsinoma tiroid folikular dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan ekspresi PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer.

5.6. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Ukuran Kelenjar Getah Bening (N) Karsinoma Nasofaring

Pada penelitian ini kami lakukan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara kelenjar getah bening karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,031. Kami menemukan overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%) dan N2 sebanyak 2 (11,8%), sedangkan pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N1 sebanyak 4 (23,5%). dan N0 sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%).

Jika kita melihat tabel distribusi frekuensi ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ, dapat kita simpulkan bahwa ditemukan hubungan yang signifikan


(55)

antara ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Galusca et al (2004) pada penelitian terhadap karsinoma tiroid papilari dimana dijumpai hubungan yang signifikan antara ukuran kelenjar getah bening karsinoma tiroid papilari berdasarkan ekspresi PPARγ (p<0,05). Ukuran kelenjar getah bening karsinoma tiroid papilari terhadap ekspresi PPARγ berhubungan dengan siklus sel.

Tetapi berbeda dengan penelitian Lacroix et al (2004) terhadap karsinoma tyroid folikular menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan ekspresi PPARγ dengan penyebaran kelenjar getah bening.

5.7. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring.

Penelitian ini menemukan peningkatan overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%), dan terendah ditemukan pada stadium 1 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%).

Peningkatan overekspresi PPARγ pada penelitian ini semakin meningkat sejalan dengan peningkatan stadium klinis dan kemudian kami lakukan uji dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara stadium klinis karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok stadium klinis karsinoma nasofaring dengan nilai p=0,028.

Hal ini serupa dengan penelitian Youssef J & Badr M (2011) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan karsinoma kandung kemih pada peningkatan kelompok stadium klinis. Peningkatan ekspresi PPARγ


(56)

berhubungan dengan aktifitas sel diferensiasi dan kanker lain pada traktus urinary.

Hal yang sama juga ditemukan oleh Ogino et al (2009) pada penelitian terhadap karsinoma kolorektal juga menemukan adanya hubungan yang signifikan pada kelompok stadium klinis dengan ekspresi PPARγ (p=0,0054).

Namun hal ini berbeda dengan penelitian Mukunyadzi et al (2003) pada penelitian terhadap karsinoma duktus salivary menemukan peningkatan kadar PPARγ sejalan dengan peningkatan stadium klinis namun tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kadar PPARγ dengan kelompok stadium klinis.


(57)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur terbanyak adalah 41-60 tahun sebanyak 19 orang (63,3%). 2. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis

kelamin terbanyak dijumpai pada laki-laki sebanyak 21 orang (70,0%).

3. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi terbanyak pada Non Keratininzing Squmous Cell Carcinoma sebanyak 16 jaringan (53.3%).

4. Distribusi frekuensi tipe histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%).

5. Distribusi frekuensi tumor primer (T) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3 dan T4 yaitu masing-masing sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%).

6. Distribusi frekuensi kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring berdasarkan PPARγ terbanyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%).

7. Distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak ditemukan pada


(58)

stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%).

8. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan ukuran kelenjar getah bening dan stadium klinis dari karsinoma nasofaring.

9. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi PPARγ dengan tipe histopatologi dan kelompok ukuran tumor primer.

6.2 Saran

1. Perlu diadakan penelitian yang lebih jauh lagi terhadap peranan PPARγ dalam pertumbuhan dan perkembangan tumor terutama pada karsinoma nasofaring sebagai salah satu jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada kepala dan leher.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan pembanding/kontrol untuk

mengetahui hubungan ekspresi PPARγ terhadap

klinikopatologis KNF dalam kaitannya mengetahui peranan PPARγ pada proses KNF.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek pemberian antiinflamasi sebagai terapi tambahan pada KNF dilihat dari ekspresi PPARγ.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan hubungan ekspresi PPARγ dengan karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah terapi dengan merujuk kepada hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah E.N, Ameera A.M, Eman H. Khalifa, Lamyaa A.M. EL Hassan, M.E. Ibrahim, K.M. Hamad , A.M. El Hassan. (2011) Nasopharyngeal Cancer in Sudan: Epidemiology, Clinical and Histological Characteristics. Clinical Medicine Insights: Ear, Nose and Throat. 2011:4 5–11.

Brennan B. (2005). Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Encyclopedia, pp.1-5

Chang ET dan Adami HO. 2006. The enigmatic epidemiology of NPC.Cancer Epidemiol Biomarkers Prev (15): 1765-77.

Farhat. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Dalam: Majalah Kedokteran Nusantara, Volume 42, Maret 2009. pp.59-65.

Fachiroh J, Schoten T, Hariwiyanto B. (2004) Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses In: Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of Indonesian, Chinese and Europen Subject. The Journal of Infectious Diseases. Vol.190 (1), pp.53-62.

Galusca B, Dumollard JM, Chambonniere ML, Germain N, Prades JM, Peoch M, Estour B. 2004. Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma Immunohistochemical Expression In Human Papillary Thyroid Carcinoma Tissues. Possible Relationship To Lymp Node Metastasis. Anticancer Research, 24: 1993-1998. Horvai E A, Schaefer T J, Nakakura K E, and Odonnell R J. (2008).

Immunostaining for peroxisome proliferator gamma distinguishes dedidefferentiated liposarc.

H Philip Koeffler. (2003). Peroxisome Proliferator-Activated Reseptor Gamma And Cancers. aacrjournals, pp. 9:1-9.

Hsien Y C, Abdullah MS, Telesinghe P U, Ramasamy R. (2009). Nasopharyngeal In Brunei Darussalam: Low Incidence Among The Chinese and An Evaluation of Antibodies to Epstein-Barr Virus Antigens as Biomarkers. Singapore Med J , 50(4) pp.371.

Jiri Ehrmann Jr, Nicol Vavrusova, Yrjo Collan, Zdenek Kolar. (2002). Peroxisome Proliferator-Activated Receptors (PPARs) In Health And Disease. Biomed , 146(2) pp. 11-14.


(60)

Lim Chui Hun. (2007). Differential Regulation Of Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPARG) By Cytokines In Murine Macrophage J774.2 Cell Line: Elucidation Of Signal Transduction Pathways Of Tumour Necrosis Factor Alpha (TNFA) In Regulating Macrophage PPARG Gene Expression. Malaysia: Universiti Sains Malaysia.

Li Yi Ming, Deng Hua, Zhao Ming Jia, Dai Dong, Tan Xiao Yu. (2003). Peroxisome Proliferator -Activated Receptor Gamma Ligands Inhibit Cell Growth And Induce Apoptosis In Human Liver Cancer BEL-7402 Cells. Word J Gastroenterol , 9(8) pp. 1683-1688

Lacroix L, Mian C, Barrier T, Talbot M, Caillou B, Schlumberger M, Jean-Michel Bidart (2004). PAX8 and peroxisome proliferator-activated receptor gamma 1 gene expression status in benign and malignant thyroid tissues. European Journal of Endocrinology, pp. 151 367– 374.

Lutan R. 2003. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI. Bali pp.16

Mukunyadzi P, Ai L, Portilla D, Barnes EL, Fan CY. 2003. Expression Of Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma In Salivary Duct Carcinoma: Immunohistochemical Analysis Of 15 Cases. The United States and Canadian Academy of Pathology, 16 (12): 1218-1223.

NG Nikitakis, H Siavash, C Hebert, MA Reynolds, AW Hamburger and JJ Sauk. (2002). 15-PGJ2, but not Thiazolidinediones, Inhibits Cell Growth, Induces Apoptosis And Causes Downregulation Of Stat3 in Human Oral SCCa Cells. British Journal of Cancer , 87 pp. 1396-1403.

Ogino S, Shima K, Baba Y, Nosho K, Irahara N, Kure S, Chen L, Toyoda S, Gregory J, Wang L, Edward L, Giovannucci, Fuchs CS. (2009). Colorectal Cancer Expression of Peroxisome Proliferator-Activated Receptor γ (PPARG, PPARgamma) Is Associated With Good Prognosis. Clinical Alimentary Tract. pp. 136: 1242-1250. Puspitasari. 2011. Gambaran penderita karsinoma nasofaring di RSUP H.

Adam Malik Medan tahun 2006-2010. Tesis. Medan: FK USU. Qing HE, Jie CHEN, Han-Liang LIN, Pin-Jin HU, Min-Hu CHEN. (2009).

Expression Of Peroxisome Proliferator-Activated Receptor g, E-Cadherin And Matrix Metalloproteinases-2 In Gastric Carcinoma


(61)

And Lymph Node Metastases . Chinese Medical Journal , 120(17) pp. 1498-1504.

Randall L. Plant, M. (2009). Neoplasm of the Nasopharynx. Philladelpia. pp.1081-1089.

Schweitzer A, Shirley K, & Roland H Stauber. (2009). Nuklear Reseptor In Head and Neck Cancer Current Knowledge and Perspective.

International Journal of Cancer, pp. 126: 801-809.

Shirley K K. (2009). Prognostik and Therapeutic Potential of Nuclear Receptors in Head and Neck Squamous Cell Carsinomas. Journal of Ancology, pp.1-1

Titcomb C P, MD. High Incidence Of Nasopharyngeal Carcinoma In Asia. (2001). Journal Of Insurance Medicine. pp. 33: 235-238.

Tracey L, Bonfield, Carol F, Farver, Barbara P Barna, Anagha Maluar, Susamma Abraham, Baisakhi Raychaudhuri, Mani S Kavuru and Mary Jane Thomassen. (2003). Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Gamma Is Deficient In Alveolar Macrophages From Patients With Alveolar Proteinosis. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology , 29 pp. 677-682.

Wei, W.I. (2006) ‘Nasopharyngeal Cancer’ In : Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. (eds) Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp. 1657-1671.

William W I. (2006). Nasopharyngeal Cancer (4th ed.). (B. J. Bailey, Jonas. J. T, & Shawn. N. D, Eds.) Newlands: Lippincott Williams & Wilkins. pp.1658-1671.

X Xu, G Yuan, W Liu, Y Zhang, W Chen. (2009). Expression Of Cathepsin L In Nasopharyngeal Carcinoma And Its Clinical Significance.

Experimental Oncology , 31 pp.102-105.

Y Noorizan, MBBCh, Y K Chew, MBBS, A Khir, MS, S Brito-Mutunayagam, MS. (2008). Nasopharyngeal Carcinoma: Recognizing it Early In Chidren With Otitis Media With Effusion.

Med J Malaysia , 63(3) pp. 261-262.

Youssef J and Bard M. 2011. Peroxisome Proliferator Activated Receptor And Cancer: Challenges And Opportunities. British Journal Of Pharmacology, 164: 68-82.


(62)

PERSONALIA PENELITIAN 1. Peneliti utama

a. Nama lengkap : dr. Flora Armanti b. Pangkat/Gol : Penata Muda/IIIb

c. NIP : 198306232010012008

d. Jabatan : PPDS THT-KL FK USU e. Jabatan Struktural : -

f. Fakultas : Kedokteran

g. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara h. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL i. Waktu yang disediakan : 11 jam / Minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing

a. Nama lengkap : dr. Farhat, M.ked (ORL-HNS), SpTHT-KL (K)

b. Pangkat/Gol : III d ( Lektor Kepala)

c. NIP : 19700316200212 1 002

d. Jabatan : Staf Divisi Onkologi THT-KL FK USU e. Jabatan Struktural : Staf Ahli Dekan FK USU

f. Fakultas : Kedokteran

g. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara h. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL i. Waktu yang disediakan : 5 jam / Minggu


(63)

3. Anggota Peneliti / Pembimbing

a. Nama lengkap : dr. Ida Sjailandrawati, SpTHT-KL b. Pangkat/Gol : Pembina Tk I/IVb

c. NIP : 195206031979122001

a. Jabatan : Staf Divisi Faringolaringologi THT-KL d. Jabatan Struktural : -

e. Fakultas : Kedokteran

f. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara g. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL h. Waktu yang disediakan : 5 jam / Minggu

4. Konsultan Metodologi Penelitian : dr. Putri Ch. Eyanoer, MSEpid. Ph.D


(64)

LAMPIRAN 1

LEMBARAN PENJELASAN

EKSPRESI PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATED RECEPTOR GAMMA PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

Bapak/Ibu yang terhormat, nama saya dr. Flora Armanti, Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk tesis saya yang berjudul Ekspresi Peroxisome Proliferative Activated Reseptor Gamma pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan, atau dengan istilah lain apakah ditemukan peningkatan enzim Peroxisome Proliferative Activated Reseptor Gamma (suatu zat kimia dari tubuh) dan apakah ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit pada penderita penyakit tumor ganas nasofaring (di bagian belakang hidung) seperti yang Bapak/Ibu derita

Dalam penelitian ini Bapak/Ibu akan menjalani pemeriksaan jaringan (biopsi) yang diambil dari belakang hidung untuk memastikan diagnosis dan jenis kanker bagian belakang hidung, sebab dari gejala dan tanda hasil pemeriksaan THT yang kami lakukan, Anda diduga menderita kanker tersebut. Pada saat yang bersamaan jaringan yang telah diambil tadi kami lakukan pemeriksaan satu zat yang berpengaruh terhadap perjalanan keparahan kanker tersebut. Jika jumlah zat tersebut meningkat merupakan pertanda bahwa keadaan penyakit Anda lebih buruk dan ketahanan hidup lebih rendah.

Untuk melengkapi penelitian saya maka saya harus mewawancarai Bapak/Ibu. Sebelum memulai wawancara, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu atas kesediaannya


(1)

Crosstabs

Jenis histopatologi * Ekspresi

PPARγ

Crosstab

Ekspresi

PPARγ

Negatif (0 -3) Tipe_histopatologi Keratinizing squamous cell

carcinoma

Count 0

% within Ekspresi PPARγ .0% Non keratinizing squamous cell

carcinoma

Count 6

% within Ekspresi PPARγ 46.2%

Undifferentiated carcinoma Count 7

% within Ekspresi PPARγ 53.8%

Total Count 13

% within Ekspresi PPARγ 100.0%

Crosstab

Ekspresi PPARγ

Overekspresi (4-9) Total Tipe_histopatologi Keratinizing squamous cell

carcinoma

Count 1 1

% within Ekspresi PPARγ 5.9% 3.3% Non keratinizing squamous cell

carcinoma

Count 10 16

% within Ekspresi PPARγ 58.8% 53.3%

Undifferentiated carcinoma Count 6 13

% within Ekspresi PPARγ 35.3% 43.3%

Total Count 17 30


(2)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.572a 2 .456

Likelihood Ratio 1.939 2 .379

Linear-by-Linear Association 1.386 1 .239

N of Valid Cases 30

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,43.

Kelompok Ukuran Tumor primer (T) * Ekspresi

PPARγ

Crosstab

Ekspresi_ PPARγ

Negatif (0 -3) Overekspresi (4-9) Total

Tumor primer (T) 1 Count 3 4 7

% within Ekspresi PPARγ 23.1% 23.5% 23.3%

2 Count 4 1 5

% within Ekspresi PPARγ 30.8% 5.9% 16.7%

3 Count 1 6 7

% within Ekspresi PPARγ 7.7% 35.3% 23.3%

4 Count 5 6 11

% within Ekspresi PPARγ 38.5% 35.3% 36.7%

Total Count 13 17 30

% within Ekspresi PPARγ 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 5.164a 3 .160

Likelihood Ratio 5.589 3 .133

Linear-by-Linear Association .221 1 .638

N of Valid Cases 30


(3)

Kelompok Kelenjar getah bening leher (N) * Ekspresi

PPARγ

Crosstab

Ekspresi PPARγ

Negatif (0 -3) Overekspresi (4-9)

Kelenjar getah bening (N) 0 Count 1 0

% within Ekspresi PPARγ 7.7% .0%

1 Count 4 4

% within Ekspresi PPARγ 30.8% 23.5%

2 Count 6 2

% within Ekspresi PPARγ 46.2% 11.8%

3 Count 2 11

% within Ekspresi PPARγ 15.4% 64.7%

Total Count 13 17

% within Ekspresi PPARγ 100.0% 100.0%

Crosstab

Total

Kelenjar getah bening (N) 0 Count 1

% within Ekspresi PPARγ 3.3%

1 Count 8

% within Ekspresi PPARγ 26.7%

2 Count 8

% within Ekspresi PPARγ 26.7%

3 Count 13

% within Ekspresi PPARγ 43.3%

Total Count 30


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 8.855a 3 .031

Likelihood Ratio 9.804 3 .020

Linear-by-Linear Association 4.477 1 .034

N of Valid Cases 30

a. 6 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,43.

Kelompok Stadium * Ekspresi

PPARγ

Crosstab

Ekspresi PPARγ

Negatif (0 -3) Overekspresi (4-9) Total

Stadium II Count 3 0 3

% within Ekspresi PPARγ 23.1% .0% 10.0%

III Count 4 2 6

% within Ekspresi PPARγ 30.8% 11.8% 20.0%

IV Count 6 15 21

% within Ekspresi PPARγ 46.2% 88.2% 70.0%

Total Count 13 17 30

% within Ekspresi PPARγ 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.117a 2 .028

Likelihood Ratio 8.288 2 .016

Linear-by-Linear Association 6.871 1 .009


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.117a 2 .028

Likelihood Ratio 8.288 2 .016

Linear-by-Linear Association 6.871 1 .009

N of Valid Cases 30

a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,30.


(6)

LAMPIRAN 6

CURICULUM VITAE

I.

IDENTITAS

1. Nama

: dr. Flora Armanti

2. Tempat/ Tanggal lahir

: Mardinding / 23 Juni 1983

3. Alamat

: Jln. Pembangunan USU No. 120

Medan

4. No Telp/ HP

: 061-8218078/08126325856

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1989 - 1995

: SD Negeri 4 Kabanjahe

2. 1995 - 1998

: SMP Negeri 1 Kabanjahe

3. 1998 - 2001

: SMA Negeri 1 Kabanjahe

4. 2001 - 2008

: Fakultas Kedokteran USU Medan

5. 2010 - Sekarang

: PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2008 - 2012

: Anggota IDI Medan,

Sumatera Utara

2. 2010 - sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL

Cabang SUMUT


Dokumen yang terkait

Ekspresi p38 Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

1 87 87

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 16

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 4

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 1 18

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan Chapter III VI

0 0 22

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 7

Efek Pemberian Kemoradioterapi Konkuren Terhadap Ekspresi Peroxisome Proliferatif Aktivator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 27

2.1. Karsinoma Nasofaring - Ekspresi Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik.

0 0 15

Ekspresi Peroksisome Proliferator Activator Reseptor Gamma (PPARγ) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik.

0 1 15