Pengaruh Hardiness terhadap Employee Engagement pada PNS Kementerian Pekerjaan Umum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesuksesan organisasi bisa dinilai saat terpenuhinya tujuan yang
dimiliki. Dalam pemenuhan tujuan tersebut ada tugas-tugas yang harus
diselesaikan, penyelesaian tugas tersebut membutuhkan koordinasi pada
sumber daya dalam organisasi, seperti sumber daya manusia atau alam.
(Yusup, 2012). Oleh karena itu, Kesuksesan organisasi berkaitan erat dengan
sumber daya manusianya. Semakin baik kinerja sumber daya manusianya
maka semakin besar kemungkinan organisasi tersebut sukses. Seorang Chief
Executive Officer (CEO) perusahaan pemenang Most Admired Knowledge
Enterprise (MAKE) juga menyebutkan bahwa kesuksesan organisasi juga
ditentukan oleh orang-orang di dalamnya (dunamis.co.id, 2011).
Hal ini juga berlaku pada organisasi pemerintahan. Organisasi
pemerintahan juga harus memiliki sumber daya yang baik untuk mencapai visi
dan misi organisasinya. Sumber daya manusia pada organisasi pemerintahan
disebut pegawai negeri sipil atau disingkat dengan PNS.
Namun ada kesenjangan yang terjadi pada kenyataannya. Sebuah
survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultantcy pada
tahun 2013 mengatakan bahwa kinerja PNS yang berada di Indonesia
menempati urutan yang terburuk se-Asia setelah India (asiarisk.com, 2013).

Kinerja pegawai negeri sipil Indonesia masih tertinggal jauh di bawah China,
India, dan Jepang (news.viva.co.id, 2015). Indeks prestasi pegawai negeri sipil

1
Universitas Sumatera Utara

Singapura mencapai skor 90 kemudian diikuti oleh Malaysia dengan skor 80,
sedangkan Indonesia hanya mendapatkan skor 40 (news.viva.co.id, 2015).
Selain survei yang telah dilakukan, buruknya kinerja PNS juga dinilai
oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Referensi Birokrasi (PANRB). Kinerja PNS semakin menurun padahal anggaran yang dikeluarkan terus
meningkat setiap tahun. Kinerja yang buruk tersebut, seperti PNS yang malas,
kinerja yang rendah, dan tidak disiplin. Menteri PAN-RB berencana akan
melakukan rasionalisasi pada 1 juta pegawai negeri sipil karena banyaknya
keluhan mengenai buruknya birokrasi dan pelayanan. (cnnindonesia.com,
2016).
Perilaku malas, kinerja yang rendah, moral rendah, kurang berenergi,
penurunan inovasi dan tidak disiplin merupakan gambaran dari karyawan
yang memiliki engagement yang rendah atau disebut juga dengan disengaged
(Pech dan Slade, 2006). Kahn juga menyebutkan bahwa personal
disengagement merujuk pada perilaku melepaskan diri dari peran kerja mereka

sehingga kinerja pada peran mereka akan menurun. Hal ini disebabkan oleh
penarikan diri karyawan dari peran mereka secara fisik, kognitif, dan emosi
(Kahn, dalam Saks, 2006).
Wellins dan Concelman (dalam Heikkeri, 2010) menambahkan
gambaran karyawan yang disengaged dengan tidak antusias, tidak mau
mengeluarkan usaha, dan tidak tertarik pada organisasinya atau peran yang
dimilikinya. Karyawan yang disengaged merasa tidak terhubung dengan
organisasinya sehingga kinerja dan loyalitas menurun untuk perusahaan atau

2
Universitas Sumatera Utara

organisasi (Gallup Organization, 2001). Lalu, Gallup Organization (2006)
juga menambahkan bahwa karyawan yang disengaged biasanya juga tidak
bahagia saat bekerja. Emosi negatif tersebut akan berdampak pada karyawan
lain yang engaged sehingga menurunkan performa tim.
Disengagement tidak hanya berdampak negatif bagi perusahaan atau
organisasi, tetapi juga berdampak negatif bagi karyawan. Menurut Robinson
(2010) kecemasan dan depresi akan dialami oleh karyawan yang
disengagement. Robinson juga melanjutkan bahwa pegawai yang engaged

mengerti tentang konteks bisnis dan bekerja dengan rekan yang lain guna
untuk meningkatkan kinerja sehingga menguntungkan perusahaan (Robinson,
dalam Robertson dan Cooper, 2009). Saks (2006) juga menambahkan
perasaan tidak puas, tidak berkomitmen, dan memiliki keinginan untuk keluar
sering dirasakan oleh karyawan yang disengaged dari perusahaan. Selain itu,
karyawan

yang

mengalami

penurunan

engagement

juga

merasakan

peningkatkan kelelahan, sinisme, dan penurunan profesionalisme dalam

bekerja yang akan mengarah pada gejala burnout (Maslach dan Leiter, dalam
Freeney dan Tiernan, 2006)
Sebaliknya, saat karyawan memiliki tingkat engagement yang tinggi,
ada banyak keuntungan yang bisa didapat. Menurut Schaufeli dan Bakker
(2002), karyawan yang engaged akan lebih berenergi. Kemudian, karyawan
yang lebih engaged akan memiliki pengalaman bekerja yang positif sehingga
meningkatkan lingkungan kerja yang lebih positif (Bakker dan Demerouti,
2008).

3
Universitas Sumatera Utara

Hasil lain dari employee engagement yang mendukung kebutuhan
organisasi adalah pegawai yang lebih produktif, lebih berkeinginan untuk
memberikan usahanya bagi pekerjaannya, keuntungan, aman (Shuck dan
Wollard, 2010), sejahtera atau well-being dan jarang untuk turnover (Brunetto,
Teo, Shacklock, dan Farr-Wharton, 2012), jarang absen, menurunnya burnout,
meningkatkan kinerja karyawan, serta mengurangi intensi karyawan untuk
meninggalkan organisasi (Greenberg, dalam Sundaray, 2011). Sundaray
(2011) juga berpendapat bahwa employee engagement bisa memprediksi

karyawan, kesuksesan organisasi, dan kinerja finansial.
Para

ahli

banyak

memberikan

penjelasan

mengenai

konsep

engagement atau employee engagement. Robinson (dalam Robertson &
Cooper, 2010) mendefinisikan engagement sebagai sikap positif yang dimiliki
karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai dalam organisasi tersebut. Hasil
dari penelitian tentang perkembangan employee engagement oleh Shuck dan
Wollard (2010) menunjukkan bahwa employee engagement berakar pada

psikologi dari pegawainya dan dapat diobservasi melalui perilaku dan pegawai
yang menentukan apakah dia berkeinginan untuk engaged atau tidak.
Menurut Maslach dan Leiter (dalam Freeney dan Tiernan, 2006),
pegawai yang engaged ditunjukkan dengan orang yang memiliki beban kerja
berkelanjutan, memiliki rasa kontrol terhadap pilihannya, merasa telah
mendapat pengakuan dan reward yang setimpal, mempersepsikan organisasi
adil, melihat pekerjaan mereka bermakna, dan mendapat dukungan sosial di
tempat kerja. Lebih lanjut lagi, Schaufeli dan Bakker (2004) menjelaskan

4
Universitas Sumatera Utara

mengenai karakteristik employee engagement yang ditunjukkan dengan
vigour, dedication, dan absorption. Vigour dikarakteristikkan dengan perilaku
yang memberikan usaha pada pekerjaannya. Dedication ditunjukkan dengan
keterlibatan dalam pekerjaan dan diikuti dengan perasaan bangga dan
inspirasi. Absorption adalah ketika seorang karyawan tidak menyadari durasi
dia bekerja karena tenggelam dalam pekerjaannya.
Menurut Chandani, Mehta, Mall, dan Khokhar (2016), ada beberapa
faktor yang bisa berpengaruh pada employee engagement. Pertama,

perkembangan karir, organisasi dengan pegawai yang tingkat engagednya
tinggi

akan

menyediakan

sarana

untuk

meningkatkan

kemampuan,

pengetahuan, dan potensi mereka karena pegawai akan cenderung untuk
mendedikasikan

diri


mereka

pada

perusahaan

yang

memperhatikan

perkembangan karir pegawainya. Kedua, manajemen talenta yang efektif,
manajemen yang baik yang terdiri dari perencanaana karir, dukungan
organisasi, dan dorongan bisa meningkatkan employee engagement pegawai.
Ketiga, kepemimpinan, kepemimpinan yang baik akan mempengaruhi
hubungan antara atasan dan bawahan dan akan berpengaruh pada tingkat
engagement pegawai. Keempat, kejelasan nilai, aturan, dan praktik dari
perusahaan, kejelasan nilai akan membantu meningkatkan engagement.
Kelima, faktor kepribadian, pegawai dengan extraversion yang tinggi dan
neuroticisim yang rendah cenderung lebih engaged, dan lain-lain.
Simmons (dalam Arora dan Ardhikari, 2013) mengatakan bahwa

penelitian sekarang mulai melihat kepribadian sebagai salah satu penyebab

5
Universitas Sumatera Utara

meningkatnya engagement pegawai. Menurut Arora dan Ardhikari (2013),
mendapatkan

pegawai

yang

engaged

terhadap

organisasi

akan


menguntungkan bagi perusahaan sehingga perusahaan penting untuk mencari
pegawai dengan kepribadian yang sesuai dengan organisasi. Kepribadian juga
mempengaruhi bagaimana persepsi pegawai tentang pekerjaan dan lingkungan
kerja mereka yang nantinya akan mempengaruhi tingkat engagement mereka
(Kular, Gatenby, Rees, Emma Soane, dan Truss, 2008).
Macey dan Schneider (2008) mengatakan bahwa kepribadian yang
proactive, autolelic, conscientiousness, dan trait-trait yang positive-affectivity
mengarah pada perkembangan employee engagement. Kepribadian proactive
dikarakteristikkan dengan kecenderungan untuk mengontrol lingkungan kerja.
Kepribadian proactive dijelaskan bisa mempengaruhi kinerja seseorang.
Menurut Chant (dalam Macey dan Schneider, 2008) kepribadian ini
berhubungan dengan kesuksesan. Lalu, kepribadian autolelic merujuk pada
orang yang engaged dalam pekerjaan karena keinginan bukan karena hadiah
tertentu

yang

akan

didapatnya.


Selanjutnya,

conscientiousness

dikarakteristikkan dengan pekerja keras, ambisius, percaya diri, dan menjadi
sumber daya. Terakhir, positive-affectivity dihubungkan dengan perasaan
antusias, gigih, semangat, dan kesenangan. Wildermuth dan Pauken (dalam
Heikkeri, 2010) mengatakan bahwa kepribadian dari karyawan bisa
berdampak pada engagement mereka.
Selain itu, perbedaan karakteristik psikologis pada tiap individu juga
mempengaruhi kemampuan mereka untuk engaged atau disengaged. Beberapa

6
Universitas Sumatera Utara

karakteristik

psikologis

memiliki

peranan

dalam

menghasilkan

meaningfulness (kebermaknaan) dalam bekerja (Kahn, dalam Agrawal, 2015).
Kahn (dalam Britt, Adler, dan Bartone, 2001) juga menambahkan bahwa
pencarian kebermaknaan dalam situasi-situasi yang penuh tekanan disebut
juga dengan hardiness.
Menurut Kobasa (dalam Sansone, Wiebe, dan Morgan, 1999), konsep
hardiness berkembang melalui stres dan coping untuk menjelaskan perbedaan
individu dalam resilensi terhadap stres. Menurut Maddi (2013), hardiness
adalah kumpulan pola dan strategi untuk membantu mengubah keadaan yang
menekan menjadi keadaan yang berpotensi untuk bertumbuh. Kobasa (dalam
Shepperd & Kashani, 1991) mengatakan ada beberapa dimensi hardiness yaitu
commitment untuk dirinya dan pekerjaannya, control kemampuan untuk
mengontrol pengalamannya dan hasilnya, dan challenge melihat tantangan
sebagai kesempatan untuk berkembang daripada melihatnya sebagai ancaman.
Semakin tinggi challenge, commitment, dan control seseorang maka semakin
tinggi pula hardiness orang tersebut.
Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga adalah
salah satu kementerian yang ada di Republik Indonesia. Kementerian ini
berfokus pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, irigasi, dan
lain-lain. Kegiatan yang dilakukan sehari-hari adalah membangun jalan dan
koneksi di berbagai tempat, pengecekan keadaan jalan, pengembangan,
perbaikan, dan lain-lain yang memudahkan masyarakat untuk mengakses
berbagai tempat. Tidak semua PNS Kementerian PU bekerja di lapangan.

7
Universitas Sumatera Utara

Beberapa ada yang bekerja di kantor untuk mengatur keuangan, tata usaha,
dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, para PNS yang bekerja
tidak hanya berinteraksi dengan sesama mereka saja, tetapi juga kepada
perusahaan atau lembaga lain dan masyarakat sekitar. Banyak tantangan yang
bisa dihadapi oleh para PNS, seperti saat masyarakat menolak memberikan
lahannya untuk pelebaran jalan, atau penyelesaian infrastruktur dalam batas
waktu yang ditentukan, dan lain-lain. PNS menganggap bahwa permasalahan
yang mereka hadapi saat bekerja sebagai pelajaran karena bisa saja
permasalahan tersebut muncul lagi di masa depan. Saat menghadapi hal-hal
tersebut para karyawan tetap berusaha mengingat pekerjaan mereka adalah
untuk negara dan kesejahteraan orang banyak.
Berdasarkan wawanacara dan observasi tersebut, peneliti tertarik untuk
meneliti pengaruh hardiness, terhadap employee engagement pada PNS
Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Bina Marga BBPJN-II

1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh antara hardiness dengan employee engagement?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk melihat pengaruh antara hardiness dengan employee engagement.

8
Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan referensi dan
menambah pengetahuan mengenai employee engagement khususnya pada
bidang psikologi industri dan organisasi serta memberikan pertimbangan
bagi peneliti lain untuk meneliti lebih dalam lagi mengenai employee
engagement.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan bisa memberikan informasi kepada
Kementerian

Pekerjaan

Umum

BBPJN-II

mengenai

pengaruh

hardiness terhadap employee engagement sehingga dapat memberi
masukan kepada Kementerian Pekerjaan Umum BBPJN-II.
b. Hasil penelitian juga diharapkan mampu memberikan tingkatan
hardiness dan employee engagement PNS pada Kementerian Pekerjaan
Umum BBPJN-II sehingga bisa menjadi referensi bagi perusahaan.

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I: Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah yang hendak dibahas, perumusan masalah,
tuj7uan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

9
Universitas Sumatera Utara

BAB II: Landasan Teori
Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan.
Memuat landasan teori mengenai hardiness dan employee engagement.
BAB III: Metode Penelitian
Berisikan metode-metode dasar dalam penelitian yaitu: identifikasi variabel,
definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang
digunakan, metode pengambilan data dan metode analisis data.
BAB IV: Analisa Data dan Pembahasan
Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran subjek hasil uji asumsi, hasil
penelitian, hasil analisa tambahan, dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V: Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dan saran yang telah dilakukan
pada penelitian ini.

10
Universitas Sumatera Utara