Pengaruh organizational Justice terhadap Employee Engagement.

(1)

PENGARUH

ORGANIZATIONAL JUSTICE

TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Disusun Oleh: Octaviani Elga Fernandez

129114076

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

i

PENGARUH

ORGANIZATIONAL JUSTICE

TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Disusun Oleh: Octaviani Elga Fernandez

129114076

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(3)

(4)

(5)

iv

HALAMAN MOTTO

Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang,tetapi engkau akan

mengertinya kelak.

-Yohanes 13:7-

she knew the power of her mind. So she programmed it for success

.”

-Carrie Green-

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan

ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar

menyadarinya.

-Mazmur 14: 139-

Aku menanam,

Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi

pertumbuhan.

Karena itu yang penting bukanlah yang menanam

atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan

-Korintus 3:6-7-


(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh perasaan bahagia dan terharu, hasil usaha dan karya ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu ada untuk menguatkan saya

My father in heaven yang sampai bulan april tahun 2016 kemaren setiap hari selalu tanya skripsi sudah sampai mana nona? Nona targetnya kapan kelar? Harus serius yah

nona!

Mama ewit sayang yang selalu memberikan dukungan, semangat dan yang terpenting doa yang terus mengalir setiap saat. Terimakasih banyak mama sudah sangat sabar

menunggu.

Tak lupa juga kakak dan adik tercinta, Edman dan Rista, terimakasih bro sis sudah menjadi partner yang mengerti dan selalu memberi semangat, yaa walaupun terkadang caranya suka nyindir.

Terimakasih banyak kesayangan ega yang selalu ada. Kalian luar biasa!


(7)

(8)

vii

Pengaruh Organizational Justice terhadap Employee Engagement

Octaviani Elga Fernandez

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh organizational justice terhadap employee engagement

pada karyawan. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebas adalah organizational justice yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu distributif justice, prosedural justice dan interactional justice. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis. Hipotesis yang pertama, distributif justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Kedua, prosedural justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap

employee engagement. Ketiga, interactional justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 159 orang. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Colquitt (2001) untuk

organizational justice dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah sebesar 0.828 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients(β) sebesar 0,262 untuk hubungan antara distributif justice dan employee engagement, 0.247 untuk hubungan antara prosedural justice dan employee engagement dan 0,430 untuk hubungan antara interactional justice dan employee engagement. Artinya terdapat pengaruh positif dan signifikan pada organizational justice dan employee engagement. Maka, semakin tinggi

organizational justice, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya semakin rendah

organizational justice, semakin rendah pula employee engagement.

Kata kunci: organizational justice, dimensi organizational justice, distributif justice, prosedural justice, interactional justice, employee engagement


(9)

viii

The Influence of Organizational Justice toward Employee

Engagement

Octaviani Elga Fernandez ABSTRACT

This research discussed the influences of organizational justice toward employee engagement. The dependent variable in this research is employee engagement which contains of 3 dimensions, such as distributive justice, procedural justice and interactional justice. This research has three hypotheses. The first hypotheses isdistributive justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The second isprocedural justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The third is interactional justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The subjects of this research are 159 people. The measurement tools used for this research are the scale that has been adapted from Colquitt (2001) for organizational justice and Saks (2006) for employee engagement.Thescale reliability in this research is 0.828 for organizational justice and 0.758 for employee engagement.In this research, multiple regression analysis is used in doing hypothesis trial. The result of the analysis shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized coefficients

(β) is 0.262 for the relationship between distributive justice and employee engagement, 0.247for

the relationship betweenprocedural justice and employee engagement and 0.430 for the relationship between interactional justice and employee engagement. It means there is a positive influence between organizational justice and employee engagement. Thus, the higher the organizational justice, the higher employee engagement will be. Conversely, the lower organizational justice, the lower the employee engagement will be.

Key words: organizational justice, dimensi onorganizational justice, distributive justice, procedural justice, interactional justice, employee engagement.


(10)

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih, pertolongan, dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Ratri Sunar A., M. Si. Selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

4. Bapak Minta Istana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skrispi atas kesediaan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih karena bapak tidak pernah lelah mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kewajiban saya dan selalu meyakinkan saya untuk bisa menyelesaikan skripsi meskipun banyak sekali rintangan yang saya temui. Terimasih sudah sangat sabar membaca skripsi saya. Sekali lagi terimakasih banyak pak. 5. Segenap Dosen Psikologi yang telah mendidik, memberikan

pengetahuan, dan inspirasi selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(12)

xi

6. Saks yang mengembangkan skala Organizational Engagement dan Jason A. Colquitt yang mengembangkan skala Organizational Justice dan telah memberikan ijin untuk melakukan proses adaptasi skala ke dalam Bahasa Indonesia.

7. Khusus buat Papa Jeji Fernandez (alm), terimakasih banyak pah  aahh tidak jadi merangkai kata ah, papa tau apa yang ega rasakan sekarang! Maaf dan terimakasih banyak pah 

8. Mama Hedwi Lagur, terimakasih banyak atas pengertian, kesabaran waktu menunggu, dukungan dalam bentuk jasmani maupun rohani,

“sindiran” pembangkit semangat, doa yang tak henti mengalir, cinta yang tulus tak berkesudahan. Saya percaya Tuhan begitu menyayangi mama dan saya yakin Tuhan akan memberikan kebahagiaan berkat kasih yang melimpah yang tak terhingga untuk mama yang sungguh luar biasa.

9. Mama, kakak No, Uncuk, papa Gus, papa Markus, mama Iyah dan mama Erna yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa yang tidak pernah berhenti. Terimakasih kalian selalu menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah saya dan kalian tidak pernah berhenti untuk memberi saya dukungan yang pasti membuat saya semakin kuat. 10.Etock Nasa, ‘rona tungku’ kesayangan yang selalu membantu

menerjemahkan ketika penulis kesulitan untuk menerjemahkan Bahasa Inggris dalam proses pengerjaan skripsi ini.


(13)

xii

11.Seluruh keluarga besar Fernandez dan Lagur yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam doa untuk kesuksesan penulis.

12.Jerry Mardani. You did too much. I can’t describe it in words. Thankyou for everything!

13.Nona, Kak Gue, Ajeng, Awrina, Risca, Moka, GM, Igan, para anggota Geng MITOS yang lebih sering mengatakan hal mitos daripada kebenaran. Terima kasih kalian selalu ada dan selalu tahan banting menghadapi penulis yang sangat annoying ini.

14.Nona dan kak Gue, tim pengawas yang luar biasa. Terima kasih kalian berdua selalu mendengarkan keluh kesah penulis. Terima kasih selalu menyempatkan waktu untuk menangani berbagai macam kagalauan penulis serta saling mendukung untuk memberikan yang terbaik dalam mengerjakan skripsi.

15.Imel nona ambon manise memang sudah jalannya kau lebih cepat selesai jadi leptop kau bisa saya pakai. Terimakasih melzz sudah meminjamkan leptop sampai selama ini & membuat beban saya berkurang karena leptop saya yang selalu eror.

16.Kak Gue, Cik Silvi, Nata, Pras, Leo, Sakti. Terima kasih atas lelucon dan gosip sebelum atau sesudah maupun ketika sedang bimbingan yang membantu mengurangi rasa gugup karena bimbingan. Terima kasih karena mau bertukar pikiran dan saling mendukung untuk kemajuan pengerjaan skripsi.


(14)

(15)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II : LANDASAN TEORI ... 11

A. Employee Engagement ... 11

1. Definisi Employee Engagement ... 11

2. Aspek-aspek Employee Engagement ... .14

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Employee Engagement 15

B. Organizational Justice ... 20


(16)

xv

2. Dimensi Organizational Justice ... 22

3. Dampak dari Organizational Justice ... 28

C. Dinamika Hubungan Organizational Justice dengan Employee Engagement ... 29

D. Kerangka Pemikiran ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Variabel Penelitian ... 41

C. Devinisi Operasional ... 41

1. Organizational Justice ... 41

2. Employee Engagement ... 42

D. Subjek Penelitian ... 43

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44

a. Skala Organizational Justice ... 45

b. Skala Engagement ... 46

F. .. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47

1. Validitas Alat Ukur ... 47

2. Seleksi Aitem Skala ... 48

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 49

a. Skala Organizational Justice ... 50

b. Skala Engagement ... 50

G. Metode Analisis Data ... 51

1. Uji Asumsi ... 51

a. Uji Normalitas ... 52


(17)

xvi

c. Uji Heteroskedasitas... 53

2. Uji Hipotesis ... 53

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Deskripsi Penelitian ... 55

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55

2. Deskripsi Data Penelitian ... 57

C. Analisis Data Penelitian ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

a. Uji Normalitas ... 59

b. Uji Heteroskedasitas... 60

c. Uji Linearitas ... 62

2. Uji Hipotesis ... 62

D. Pembahasan ... 67

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Keterbatasan Penelitian dan Saran Untuk Penelitian Selanjutnya ... 73

C. Saran ... 75

1. Bagi Perawat Rumah Sakit ... 75

2. Bagi Rumah Sakit ... 76

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pemberian Skor pada Skala Organizational Justice 45

Tabel 2 Cetak sebaran Skala organizational justice sebelum seleksi item 45

Tabel 3 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement 46

Tabel 4 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement sebelum seleksi

item 47

Tabel 5 Reliabilitas Skala Organizational Justice 50

Tabel 6 Reliabilitas Skala Employee Engagement 51

Tabel 7Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin 55 Tabel 8Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja di rumah sakit 56 Tabel 9 Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia 56 Tabel 10 Deskripsi Statistik Data Penelitian 58

Tabel 11 Uji Normalitas Residu 60

Tabel 12 Uji Glejser Heteroskedasitas 61

Tabel 13 Hasil Uji Linearitas 62


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Reliabilitas Skala 86

Lampiran 2 Uji t 87

Lampiran 3 Uji Normalitas Residu 89

Lampiran 4 Uji Heteroskedastisitas 90

Lampiran 5 Uji Linearitas 92


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

When people are financially invested, they want a return. When

people are emotionally invested, they want to contribute”,(Simon Sinek). Ketika karyawan terlibat penuh dalam organisasi, maka karyawan tersebut memberikan kontribusi yang sangat bermakna bagi organisasi. Employee engagement adalah perasaan keterlibatan secara emosional antara karyawan dengan pekerjaan dan organisasi, serta motivasi karyawan untuk memberikan kemampuan terbaiknya demi membantu kesuksesan perusahaan melalui tindakan nyata (McLeod, 2009). Hal ini dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuan jangka panjang sehingga perusahaan tersebut dapat unggul dalam berkompetisi dengan perusahaaan lain (Little, 2006).

Hasil survei oleh AON Hewitt (2011) menunjukkan tingkat keterlibatan karyawan yang rendah terhadap perusahaan, padahal hal ini merupakan salah satu aspek penting untuk mencapai kesuksesan perusahaan tersebut. Survei AON Hewitt (2011) menunjukkan bahwakrisis ekonomi yang dimulai pada tahun 2008 mengakibatkan adanya penurunan indeks engagement dari 72% menjadi 56% pada tahun 2010. Pada survei AON Hewitt (2013), tingkat engagement pada karyawan tergolong rendah terutama di Asia dan menunjukkan rendahnya tingkat keterlibatan


(21)

karyawan di banyak negara. Karyawan yang tergolong highly engage di Indonesia hanya sebesar 15%. Sementara itu, 52% karyawan di Amerika dan 68% di Cina dilaporkan memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaanya (Gallup, 2013). Oleh karena itu, salah satu solusi yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah

meningkatkan employee engagement (MacLeod & Clarke, 2009).

Employee engagement memiliki dampak positif terhadap perusahaan, misalnya PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Unit Costumer Service yang menjadi ujung tombak perusahaan dalam melakukan bisnis. Mereka menjual produk perusahaan kepada pelanggan dan memastikan tetap menjadi pilihan pelanggan dari tahun ke tahun. Tren penjualan speedy terus mengalami kenaikan dari bulan ke bulan dan terus mengalami kenaikan. Penjualan bulan Februari mengalami kenaikan sebesar 8,64% dari bulan Januari. Bagitu pula dengan bulan berikutnya yang mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 9,68% (April), 4,41% (Mei) dan 8,31% (Juni). Menurut Alex J. Sinaga, selaku direktur PT. Telekomunikasi Indonesia, employee engagement dapat meningkatkan kinerja karyawan dan kinerja karyawan yang tinggi menandakan adanya indikasi tingkat engagement di lingkungan perusahaan tergolong tinggi. Kinerja karyawan di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Unit Costumer Service tergolong antara baik dan baik sekali, khususnya pada tahun 2010, kinerja karyawan tergolong sangat baik dan menunjukkan kinerja karyawan yang mencapai lebih dari target mereka. Hal ini kemudian diperkuat dengan tingkat


(22)

absensi perusahaan yang cukup rendah. Tingkat absensi hanya kisaran 3% dari jumlah keseluruhan (kompas.com 2016).

Keterlibatan karyawan juga bermanfaat sebagai sarana dalam meningkatkan kinerja (Bakker & Demerouti, 2008). Ketika karyawan terlibat dalam organisasi, maka mereka akan lebih produktif, memiliki tingkat absensi yang rendah, dan siap bekerja lebih keras untuk perusahaan (Buchanan, 2004; Harter, 2006). Keterlibatan pada karyawan juga dapat mengurangi burnout, karena karyawan terlibat dengan aktivitas kerja dan mereka mampu menyelesaikan tugas (Schaufeli et al., 2008). Oleh karena itu, banyak perusahaan berusaha untuk mempertahankan karyawan yang berpotensi agar mereka terlibat dalam perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas perusahaan (Peffer, 2005). Fenomena di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk, para karyawan dinilai dapat terlibat dalam organisasi dan menunjukkan kinerja yang baik sehingga meningkatkan omset perusahaan. Hal ini terlihat dari karyawan yang bekerja lebih keras dalam menyelesaikan tugas mereka. Selain itu, karyawan juga memiliki tingkat absensi yang tergolong rendah.

Hallberg dan Schaufeli (2006) menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan karyawan pada perusahaan menyebabkan karyawan cenderung mudah merasa lelah, emosi tidak stabil, gejala depresi, gangguan tidur, dan cenderung mengalami gejala burnout. Hasil meta-analisis Robertson Cooper (2001) menunjukkan bahwa karyawan yang tidak terlibat dalam suatu perusahaan cenderung akan mengalami gejala


(23)

burnout dengan alasan yang bermacam-macam atau bahkan tanpa memberikan alasan yang jelas.

Smulder (2006) menyatakan bahwa beberapa pekerjaan yang menuntut keterikatan kerja yang tinggi diantaranya guru, entrepreneur, dan perawat. Beberapa pekerjaan tersebut memiliki kesamaan, yaitu pekerjaan yang melibatkan kualitas pelayanan sebagai modal utamanya. Namun, rasio antara perawat dengan pasien yang dirawatnya tidak seimbang. WHO menetapkan standar rasio ideal perawat dengan pasien adalah 1: 200, sedangkan WHO mencatat rasio antara perawat dengan pasien di Indonesia masih jauh dari standar WHO, yaitu sebesar 1: 375. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan perawat sebagai subjek penelitian.

Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit yang berperan penting dalam penyelenggaraan pelayanan. Perawat harus berada di sekitar pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan perawatan pasien selama 24 jam (Gunarsa, 1995). Andriani (2004) mengungkapkan tugas utama perawat dalam membantu kesembuhan pasien adalah memulihkan kondisi kesehatan bahkan menyelamatkan pasien dari kematian. Oleh karena itu, profesi perawat dituntut agar memiliki keterlibatan secara emosional sehingga perawat dapat bekerja dengan sungguh-sungguh. Disamping itu, perawat yang berkualitas adalah perawat terlibat pada pekerjaannya untuk melayani pasien dan dapat memberikan energi positif


(24)

(Bakker, 2002). Hal ini mengurangi kelelahan dalam bekerja sehingga perawat bekerja tanpa adanya paksaan (Schaufeli & Bakker, 2003).

Employee engagement dipengaruhi 5 faktor yaitu kepemimpinan, iklim organisasi, kompensasi, pelatihan, dan team work (Anitha, 2014 & Maslach et al. 2001). Xanthopoulouet (2009) juga menemukan bahwa "suasana kerja" atau iklim organisasi berpengaruh pada keterlibatan. Macey dan Schneider (2008) juga menyatakan bahwa keterlibatan tergolong sebagai perilaku adaptif. Perilaku manusia terbentuk dari lingkungannya. Hal ini juga terjadi pada keterlibatan kerja yang tergolong sebagai perilaku adaptif. Keterlibatan kerja tersebentuk dari lingkungan kerja. Lingkungan kerja sendiri sering sekali dikaitkan dengan iklim organsiasi.

Iklim organisasi memiliki karakteristik yang khas dan bersifat relatif tetap pada setiap organisasi, dan kekhasannya itu yang membedakannya dengan organisasi lain. Iklim organisasi meliputi sistem penggajian, disiplin kerja dan proses pengambilan keputusan (Sheridan & Radmacher, 1992), budaya kerja yang mencakup rasa memiliki, konsultasi, dan komunikasi (Gibson, 1994). Iklim organisasi yang baik dapat diciptakan melalui manajemen sumber daya manusia dengan memberikan fasilitas yang memadai dan memperlakukan karyawan dengan adil dalam organisasi (Konovsky 2000).

Berbagai macam kasus tentang keadilan organisasi juga sudah banyak muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas keputusan yang telah


(25)

dihasilkan oleh pihak manajemen yang dirasakan tidak adil oleh karyawan, di antaranya tuntutan UMR (prosentase kasus 21,98 %), hak cuti (18,68 %), PHK (13,19%) dan lain sebagainya. Kemudian ada juga tuntutan yang bersifat non-Normatif yaitu kenaikan upah (23,67%), tunjangan sembako (4,52%) dan lain sebagainya (http://www.epsikologi.com). Dikemukakan juga bahwa dalam suatu perusahaan ada seseorang yang berpendapatan puluhan bahkan ratusan juta rupiah dalam sebulan, sementara ada sekelompok pekerja yang hanya diberi upah sekitar Rp 5.000,00 per hari (Tim Prisma, 1992).

Greenberg (1987) mendefinisikan keadilan organisasi sebagai pandangan karyawan mengenai keadilan atau ketidakadilan dalam organisasi, serta menggambarkan dan menjelaskan peran keadilan sebagai pertimbangan karyawan untuk bekerja dalam suatu organisasi. Setiap peristiwa, tindakan atau keputusan dinilai adil atau tidak berdasarkan keyakinan individu tentang keputusan, nilai individu atau sistem norma, serta yang berkaitan dengan keyakinan individu (Bies, 1987). Cropanzano

(2007) membahas keadilan organisasi sebagai perekat yang

memungkinkan karyawan untuk bekerja sama dalam organisasi. Keadilan dalam organisasi memungkinkan karyawan untuk mempertahankan rasa hormat dan kepercayaan pada sebuah organisasi. Bahkan ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik, karyawan akan tetap melakukan yang terbaik (Brockner & Wiesenfeld, 1996). Contoh keadilan dalam organisasi adalah penghargaan terhadap karyawan karena karyawan berhasil menyelesaikan


(26)

tugas. Hal ini membuat karyawan merasa bahagia dan bangga terhadap kinerja yang telah mereka capai (Krehbiel & Cropanzano, 2000).

Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi karyawan mengenai keadilan organisasi berkaitan dengan hasil secara fisik dan kesehatan mental (Robbins, 2012), kinerja dan kepuasan kerja (Colquitt, 2001) sehingga mempengaruhi keterikatan (Heponiemi, Manderbacka, Vanska & Elovainio, 2013). Selain itu, prosedur yang adil dapat menumbuhkan kerjasama sehingga mengurangi efek negatif yang dapat merugikan organisasi (Cropanzano, 2007).

Dampak negatif ketidakadilan dalam organisasi, misalnya ketika karyawan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, maka akan ada kemarahan dan kebencian, bahkan hal ini akan mendorong tindakan balas dendam (Greenberg, 1996). Ketidakadilan dalam organisasi juga dapat memicu adanya protes dan pemberontakan (Rahardjo, 1994), sabotase kerja (Seabright, & Schminke, 2002) dan kecurangan (Greenberg, 1993). Selain itu, ketidakadilan dalam organisasi akan menimbulkan gejala stres pada karyawan (Cropanzano, Goldman, & Benson, 2005). Oleh karena itu, keadilan organisasi diperlukan dalam menjalankan kehidupan organisasi dan menggerakkan roda organisasi.

Menurut Colquit (2001), keadilan organisasi terdiri dari tiga dimensi yaitu (a) Keadilan distributif (persepsi alokasi); (b) Keadilan prosedural (persepsi terhadap proses dan aturan dalam pembuatan keputusan); (c) Keadilan interaksionals (hubungan interaksi dalam


(27)

organisasi). Keadilan distributif dibutuhkan karena berkaitan dengan pemberian penghargaan diantara individu seperti gaji dan intensif lainnya (Robbin & Judge, 2007). Keadilan distributif terjadi apabila karyawan merasa bahwa usaha dan imbalan yang diterima sebanding dengan rasio karyawan lain (Greenberg & Baron, 2003).

Keadilan prosedural dilihat sebagai keadilan dari proses bagaimana keputusan organisasi dibuat. Ketika anggota organisasi diberi kesempatan untuk lebih banyak terlibat dalam pembuatan keputusan, maka anggota organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan dalam pembuatan keputusan tersebut (Robbin & Judge, 2007). Hal ini yang mempengaruhi mereka semakin kuat dalam mengenal organisasi dan melibatkan diri dalam organisasi (Grennberg & Baron, 2003).

Keadilan Interaksional menggambarkan interaksi interpesonal saat menegakkan prosedur/aturan dalam membagikan hasil (Colquitt, 2001) serta keadilan yang dirasakan dalam pemberian penjelasan dan informasi terkait penghargaan kepada individu (Colquitt, 2011). Hal ini dibutuhkan karena karyawan pada masa kini mengharapkan adanya komunikasi yang baik dan saling menghormati antar karyawan atau dengan atasan dan bawahan.

Hasil penelitian Ghosh dan Sinha (2014), mengungkapkan bahwa keadilan distributif dan keadilan interaksional adalah yang paling kuat dan paling diutamakan daripada keadilan prosedural dalam menentukan employee engagement. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Saks


(28)

(2006) menjelaskan bahwa keadilan distributif dan prosedural menjadi prediktor terbentuknya employee engagement dalam organisasi. Sementara itu hasil penelitian Saks (2006) tidak memberikan bukti bahwa keadilan distributif memprediksi baik job engagement maupun organizational engagement. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Kumar (2012) menemukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan distributif justice, prosedural justice dan interactional justice terhadap employee engagement. Perbedaan hasil penelitian ini menjadi alasan peneliti melakukan penelitian kembali dengan variabel yang sama.

Penelitian tentang keadilan organisasi secara konsisten menemukan keterkaitan antara keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Keadilan organisasi telah dianggap bermanfaat bagi organisasi, khususnya di negara-negara berkembang dengan banyak tantangan sosial, politik dan ekonomi (Cropanzano 2007). Selain itu, proses yang adil mengarahkan pada pelaksanaan strategi untuk mengurangi efek negatif yang dapat merugikan organisasi (Folger & Cropanzano, 2007). Leung dan Stephan (2001) juga berpendapat bahwa penelitian tentang keadilan organisasi harus dilakukan diluar budaya Barat agar dapat dikembangkan dan digeneralisasikan secara universal. Dengan demikian, peneliti ingin melihat pengaruh antara employee engagement dengan organizational justice.


(29)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh distributif justice, prosedural justice dan interactional justice terhadap employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh distributif justice, prosedural justice dan interactional justice terhadap employee engagement.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu sekaligus digunakan sebagai referensi untuk penelitian lain, terutama di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya dalam hal hubungan keadilan yang dirasakan individu dengan keterlibatan karyawan terhadap perusahaan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan gambaran bagi perusahaan mengenai kualitas perlakuan yang adil terhadap karyawan dan memberikan gambaran kepada perusahaan sejauh mana karyawan mereka merasa terlibat dalam organisasi. Jika hipotesis ini terbukti, perusahaan nantinya dapat berupaya untuk meningkatkan kualitas perlakuan yang adil pada karyawan sehingga dapat meningkatkan keterlibatan karyawan di tempat kerja.


(30)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Keterlibatan karyawan telah menjadi topik yang popular dalam meningkatkan kinerja sumber daya manusia (Shuck & Wollard, 2010). Sejak tahun 1990-an, keterlibatan karyawan telah menarik minat pebisnis dan para konsultan, serta mulai dikembangkan dalam bidang akademik. Selain itu, literatur keterlibatan kerja menunjukkan perubahan dan perkembangan konsep dari waktu ke waktu.

Kahn (1990) dianggap sebagai penemu teori dasar keterikatan kerja karyawan dalam bidang akademik. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak studi mulai melihat faktor dan konsekuensi keterlibatan karyawan. Saks (2006) menemukan perbedaan antara dua jenis keterlibatan, yaitu job engagement dan organization engagement. Saks menyatakan bahwa kedua jenis keterlibatan karyawan tersebut memiliki keterkaitan, tetapi terbentuk dari konstruksi yang berbeda.

Keterlibatan karyawan berasal dari konsep akademik dan empiris yaitu commitment dan Organizational Citizen Behaviour (OCB) (Rafferty, 2005). Karyawan yang terlibat penuh dan dapat melaksanakan setiap tugas, serta melakukan hal baik dengan emosi positif dapat berpengaruh pada kinerja (Bakker & Demerouti, 2008). Saks (2006) berpendapat bahwa salah satu cara individu untuk


(31)

membalas jasa organisasi adalah dengan tingkat keterlibatan karyawan pada perusahaan. Dengan kata lain, karyawan akan memilih untuk melibatkan diri dalam merespon sumber daya yang mereka terima dari organisasi. Karyawan akan memberikan hal yang lebih besar dari peran mereka masing-masing. Karyawan lebih mungkin untuk terlibat dan memberikan sumber daya yang lebih serta bermanfaat bagi perusahaan. Saks (2006) berpendapat bahwa komitmen organisasi berbeda dari keterlibatan, karena komitmen organisasi menunjukkan sikap yang mengikat karyawan terhadap organisasi dimana mereka berada, sedangkan engagement bukan sikap karena engagement melihat seberapa karyawan memiliki perhatian dan keterlibatan pada pekerjaan dan perannya (Margaretha & Saragih, 2013).

Saks mengacu pada definisi Kahn (1990) dan sepakat mengenai keterikatan karyawan yang terdiri dari kognitif, emosional, dan perilaku. Menurut Kahn (1990) keterikatan karyawan dapat dipahami sebagai peran kognitif, emosional dan fisik yang ditandai dengan vigor, dedication, dan absorption.

Kahn (1990) menyatakan bahwa keterlibatan adalah keadaan dimana karyawan dapat menjalankan peran mereka masing-masing, menyesuaikan diri dan memiliki motivasi yang tinggi dalam meningkatkan kinerja. Selain itu, karyawan yang terikat secara kognitif dan emosional terhadap organisasi dapat menimbulkan kepuasan kerja sehingga karyawan dapat bekerja lebih produktif. Menurut Robinson,


(32)

Perryman dan Hayday (2004), keterlibatan karyawan adalah sikap positif karyawan yang berisi nilai-nilai organisasi. Keterlibatan karyawan memiliki energi positif yang efektif untuk melakukan kegiatan dalam pekerjaan agar bisa menangani tuntutan pekerjaan. Schmidt (2004) menyatakan bahwa keterlibatan kerja dapat memunculkan kepuasaan dan komitmen bersama. Selain itu, Nelson dan Simmons (2003) berpendapat bahwa keterlibatan karyawan adalah situasi ketika karyawan merasakan adanya emosi positif terhadap pekerjaan mereka, membentuk pribadi, serta mempertimbangkan dan mengelola beban kerja, dan memiliki harapan tentang masa depan dari pekerjaan mereka.

Saks (2006) kemudian membuat kesimpulan tentang definisi dari employee engagement. Employee Engagement didefinisikan sebagai emosi dan komitmen karyawan terhadap organisasi atau sejumlah usaha yang diperlihatkan oleh karyawan pada pekerjaan mereka, serta keterlibatan karyawan terhadap organisasi dan nilai di dalamnya.

Gebauer dan Lowman (2009) menggambarkan keterlibatan karyawan sebagai hubungan yang mendalam dan luas dengan perusahaan, serta kesediaan melampaui apa yang diharapkan untuk membantu keberhasilan perusahaan. Maslach dan Leiter (1997) mengkonsepkan keterlibatan sebagai lawan dari burnout, yakni


(33)

karyawan merasa energik, terlibat, dan efektif dibandingkan merasa lelah, sinisme, dan tidak efektif.

Adapun jenis-jenis employee engagement yang dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah Job Engagement. Job engagement adalah keterlibatan yang ditandai dengan energi, keterlibatan, dan hal yang bertentangan langsung dengan dimensi burnout. Selain itu, Job engagement dapat membangun motivasi yang positif yang ditandai dengan semangat dan dedikasi terhadap tujuan perusahaan (Schaufeli et al. 2002 & Bakker, 2010).

Kemudian jenis employee engagement yang kedua adalah Organizational Engagement yang lebih luas menjelaskan mengenai keterlibatan karyawan dengan organisasi dan tujuan organisasi. Saks (2006) menjelaskan organizational engagement adalah keterlibatan karyawan dalam organisasi dan adanya perasaan bangga, serta menjadi bagian dari organisasi. Keterikatan kerja berfokus pada keterlibatan karyawan terhadap organisasi dan tujuannya untuk kesejahteraan dan kesehatan karyawan.

2. Aspek Employee Engagement

Robertson dan Cooper (2009) telah melengkapi penjelasan Schaufeli tentang kondisi positif di tempat kerja yang ditandai dengan karakteristik vigor, dedication, dan absorption. Karakteristik dari kondisi positif di tempat kerja tersebut juga disebut sebagai aspek dari


(34)

employee engagement. Vigor ditandai dengan tingginya energi serta ketahanan mental saat bekerja, upaya yang dilakukan pada pekerjaan, dan ketekunan saat menghadapi kesulitan. Dedication ditandai dengan perasaan bermakna, antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan. Aspek yang terakhir dari engagement adalah absorption. Absorption (penyerapan) ditandai dengan konsentrasi penuh dan kesenangan individu dalam bekerja, dimana waktu berlalu dengan cepat dan individu sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaan tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Dilihat dari tahap perkembangan, employee engagement dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni:

a. Lingkungan Kerja

Studi oleh Khan (2010) menunjukkan bahwa keterlibatan karyawan adalah hasil dari berbagai aspek di tempat kerja. Deci

dan Ryan (1987) menetapkan bahwa manajemen yang

meningkatkan lingkungan kerja dapat mendukung untuk

menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan dan perasaan karyawan. Hal ini merupakan kunci penentu dalam keterikatan karyawan. Lingkungan yang terbuka dan mendukung sangat penting untuk karyawan sehingga membuat karyawan merasa nyaman di tempat kerja sehingga karyawan dapat terlibat pada


(35)

interpersonal yang mendukung dapat mempromosikan keterlibatan karyawan.

b. Kepemimpinan

Kepemimpinan yang efektif dan dukungan dari atasan dapat memberikan motivasi bagi karyawan agar terlibat dalam organsasi. Kahn (1990) menemukan bahwa hubungan interpersonal yang mendukung dapat membentuk keterlibatan karyawan.

c. Kompensasi

Kompensasi yang menarik terdiri dari gaji, bonus dan finansial lainnya. Ketika karyawan menerima penghargaan dan pengakuan atas kinerjanya maka keterikatan cenderung semakin tinggi.

Ada juga beberapa faktor lain yang membentuk employee engagement seperti Job Characterictic, Perceived Organizational Support, Perceived Supervisor Support, Reward dan Recognition, Distributive dan Procedural Justice. Hasil penelitian Saks (2006), ArunKumar & Renugadevi (2013), Kahn dan Ramzan (2013) memiliki kesamaan dalam menjelaskan faktor yang mempengaruhi pembentukan keterlibatan karyawan yaitu:

a. Job Characterictic menurut saks (2006) adalah

pemaknaan pekerjaan secara psikologis melibatkan

pencapaian peran baik yang selama ini telah dijalankan oleh individu. Pemaknaan pekerjaan secara psikologis dapat dicapai dari karakteristik tugas yang menantang, bervariasi,


(36)

memungkinkan individu memakai keterampilan yang berbeda, keleluasaan individu, dan kesempatan berkontribusi secara penting. Pekerjaan yang memiliki karakteristik baik, dapat membawa individu ke dalam pekerjaan tersebut sehingga individu menjadi lebih engage.

Penelitian ArunKumar dan Renugadevi (2013) dan Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) kemudian menambahkan bahwa Job Characteristic; pemaknaan pekerjaan secara psikologis dari individu dapat dicapai dari karakteristik tugas,

dimana tugas tersebut memberikan pekerjaan yang

menantang, beraneka ragam, memungkinkan karyawan untuk menggunakan keterampilan yang berbeda dari biasanya, kebijaksanaan, dan kesempatan untuk berkontribusi.

b. Kemudian Saks (2006) menjelaskan bahwa Perceived

Organizational Support dan Perceived Supervisor Support: Psychologycal Safety mencakup rasa mampu dan mau bekerja pada peran tanpa diikuti oleh konsekuensi negatif. Semua aspek penting dari keamanan atau keselamatan berasal dari banyaknya kepedulian dan dukungan terhadap karyawan dari pihak organisasi, maupun atasan terhadap bawahan secara langsung. Selain itu ditemukan juga support dan trusting interpersonal relationship dapat mendukung psychologycal Safety. Karyawan yang merasa aman di


(37)

lingkungan kerjanya ditandai dengan openness dan supportiveness. Lingkungan sekitar yang mendukung memungkinkan anggota untuk bereksperimen dan mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal.

Sedangkan Penelitian Arun Kumar dan Renugadevi (2013) dan Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) menambahkan bahwa Perceived Organizational and Supervisor Support; dua variabel ini memungkinkan menangkap dukungan secara sosial baik dari lingkup organisasi maupun dari atasan. Dasar dari penelitian Perceived Organizational Support adalah teori pertukaran sosial, dimana karyawan memiliki kewajiban untuk merespon dengan keterlibatan yang lebih tinggi terhadap organisasi ketika karyawan mendapatkan dukungan yang sama dari pihak organisasi. Perceived Supervisor Support merupakan prediktor penting dari keterlibatan karyawan. Bahkan kurangnya dukungan atasan berdampak pada burnout dalam organisasi.Ketika karyawan memiliki persepsi yang tinggi tentang keadilan dalam organisasi, mereka lebih mungkin merasa wajib bersikap adil dalam melakukan peran mereka dengan memberikan lebih dari diri mereka sendiri melalui tingkat yang lebih besar dari keterlibatan itu sendiri.


(38)

May et al. (dalam Brunetto, 2012) juga menyebutkan bahwa anteseden dari keterlibatan karyawan adalah hubungan yang efektif antara pimpinan dan rekan kerja, penghargaan, pemberian tugas yang menarik, ketersediaan sumber daya dalam menunjang pekerjaan dari karyawan itu sendiri.

c. Reward dan Recognition (Penghargaan dan Pengakuan) dalam penelitian Khan (dalam Saks, 2006) menyatakan bahwa individu terlibat dalam organisasi secara berbeda-beda tergantung persepsi mereka tentang manfaat apa yang akan diterima. Selain itu, individu dapat terlibat dalam organisasi disebabkan karena feedback eksternal dan pengakuan dalam pekerjaan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan karyawan menjadi engage di tempat kerja adalah saat mereka dihargai dan diakui dalam peran yang mereka lakukan ketika karyawan menerima penghargaan dan pengakuan dari organisasi sehingga karyawan akan merasa berkewajiban untuk lebih terlibat seperti yang dikatakan teori timbal balik.

Penelitian ArunKumar dan Renugadevi (2013) dan Rasheed, Kahn, dan Ramzan (2013) juga menjelaskan tentang Reward and Recognition yang seharusnya diberikan organisasi terhadap karyawan. Kurangnya penghargaan dan


(39)

pengakuan dari pihak organisasi terhadap karyawan dapat menyebabkan kelelahan di tempat kerja.

d. Distributive dan Prosedural Justice, menurut Saks (2006), salah satu hal yang penting dalam organisasi adalah pendistribusian reward, serta prosedur yang tepat untuk mengalokasikan reward tersebut. Pandangan karyawan tentang keadilan mendistribusi reward dalam perusahaan memiliki pengaruh terhadap engagement karyawan. Dengan kata lain, ketika karyawan memiliki pandangan yang baik terhadap keadilan organisasi, mereka lebih mungkin merasa wajib untuk terlibat pada organisasi tersebut. Arun Kumar & Renugadevi (2013), serta Rasheed, Kahn, & Ramzan (2013), penting bagi organisasi untuk membuat strategi untuk mendistribusikan reward secara adil. Organizational justice berhubungan dengan kecenderungan yang positif terhadap organisasi, seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja.

B. Organizational Justice

1. Definisi Organizational Justice

Istilah "Keadilan Organisasi" diciptakan oleh Wendell French pada tahun 1964. Umumnya istilah keadilan organisasi digunakan oleh organizational psychologists yang mengacu pada keadilan, kejujuran


(40)

dan cara yang etis dalam memperlakukan karyawan dalam organisasi (Cropanzano, 1993) dan didasarkan pada pandangan mengenai keadilan (Adams, 1965). Konsep keadilan organisasi awalnya diciptakan oleh Greenberg pada tahun 1980 (Greenberg,1997) dan umumnya terdiri dari tiga komponen yang berbeda yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Bowen, 1999).

Keadilan organisasi adalah cara karyawan diperlakukan oleh organisasi dengan adil, merata dan sejalan dengan standar yang diharapkan dari segi moral dan etika (Cropanzano, 2007). Keadilan organisasi mengarah pada sesuatu yang adil, jujur dan cara yang etis dalam memperlakukan karyawan (Cropanzano, 1993). Keadilan organisasi berkaitan dengan cara-cara di mana karyawan menentukan apakah mereka telah diperlakukan dengan adil dalam pekerjaan mereka (Moorman, 1991).

Lawler (2005) menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil, maka akan menimbulkan kecemburuan antar karyawan dan mereka akan melakukan perlawanan dalam bentuk protes atau melakukan kecurangan. Menurut Arens (2008), kecurangan dan kinerja yang menurun dari karyawan terjadi karena adanya motivasi untuk melakukan kecurangan. Hal ini terjadi selain karena kondisi kerja yang buruk, tetapi juga karena karyawan diperlakukan secara tidak adil dalam pekerjaan. Oleh karena itu, dibutuhkan


(41)

perlakuan yang adil dalam sebuah organisasi agar dapat mencapai visi dan misi bersama. Bila keadilan pada karyawan terpenuhi dengan baik, maka produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat dan mengurangi motivasi untuk melakukan tindakan yang merugikan perusahaan sehingga mendorong tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai peran dan tempat kerja mereka masing-masing yang mengarah pada suatu perlakuan dan keputusan yang adil dengan menerapkan nilai-nilai inti dalam organisasi serta menentukan cara-cara agar diperlakukan adil.

2. Dimensi Organizational Justice

Konseptualisasi keadilan organisasi telah diperluas dan dipisahkan ke dalam bentuk keadilan distributif, prosedural, dan interaksional (Colquitt, 2001).

a. Keadilan Distributif

Dimensi ini disarankan oleh Adams (1965) yang didasarkan pada gagasan bahwa perilaku sosial dikondisikan oleh hasil distribusi, seperti dalam mengambil keputusan perekrutan dan penilaian kinerja. Moorman (1993) mengatakan bahwa keadilan distributif adalah sejauh mana imbalan dialokasikan dengan cara yang adil. Hal ini mengacu pada keadilan yang dirasakan dari keputusan yang berhubungan dengan distribusi hasil, seperti gaji


(42)

(Colquitt, 2001). Keadilan distribusi dikatakan ada apabila distribusi hasil tersebut bermanfaat untuk memenuhi harapan karyawan (Chou, 2009).

Munchinsky (2005) mengatakan bahwa keadilan distributif mengacu pada keadilan yang berkaitan dengan pembagian hasil, berupa pembagian gaji, beban kerja, promosi, dan hukuman. Keadilan distributif adalah persepsi karyawan tentang hasil keputusan (seperti gaji, reward dan promosi) dalam kaitannya dengan kontribusi yang diberikan (Colquitt, 2001).

Homans (dalam Furhman, 2002) mengatakan bahwa hasil yang didapat individu harus sesuai dengan konstribusi yang diberikan. Furhman (2002) mengungkapkan bahwa sebenarnya bukan perbandingan hasil konstribusi yang didapat individu dengan rekan kerjanya. Ketika individu merasa bahwa rekan kerjanya mendapat imbalan lebih besar dari dirinya, sementara konstribusi yang diberikan untuk mereka sama, persepsi tentang ketidakadilan muncul. Keadilan distributif merupakan keadilan yang dirasakan dari hasil dan dapat menentukan persepsi karyawan tentang hasil tertentu seperti upah atau promosi. Semua orang harus diperlakukan dengan layak dan sama. Mereka yang diperlakukan berbeda bisa dikatakan mendapatkan perlakuan yang tidak layak.


(43)

Selanjutnya, menurut Colquitt (2001), keadilan distributif dinilai melalui tiga perspektif. Perspektif ini merupakan tambahan dari pandangan sebelumnya yaitu yang pertama equity dimana hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang diberikan atau keseimbangan antara outcome yang diterima seseorang dengan input yang orang berikan (Deutcsh dalam

Colquitt, 2001). Kedua, equality, dimana semua orang

mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil. Dan yang terakhir adalah need, seperti pengalokasian hasil yang ideal sesuai dengan kebutuhan individu.

Inti dari keadilan distributif adalah pengalokasian hasil. Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa isu utama dari keadilan distributif berkaitan dengan imbalin/gaji yang didapatkan pegawai. Persepsi karyawan tentang keadilan pendistribusian sumber daya organisasi dengan memperhatikan beberapa aturan distributif, yang merupakan hasil dari keputusan alokasi, misalnya standar gaji.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif adalah persepsi karyawan mengenai keseimbangan antara seluruh hal yang diterima karyawan dari perusahaan (outcome) dibandingkan dengan seluruh hal yang diberikan karyawan kepada perusahaan (input).


(44)

b.Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural menekankan pentingnya proses

pengambilan keputusan. Dimensi ini mengacu pada persepsi karyawan tentang aturan yang adil dan prosedur yang digunakan untuk menentukan hasil yang karyawan terima di tempat kerja (Suliman & Kathairi, 2013). Keadilan prosedural mengacu pada sejauh mana pengaruh keputusan yang adil dan akurat serta sesuai dengan etika. Fokus utama pada keadilan prosedural ini guna menciptakan kerangka kerja untuk memproses masalah. Keadilan prosedural terkait dengan persepsi keadilan yang digunakan untuk memberikan hasil dari keseluruhan proses (Colquitt,2001). Cropanzano (1998) mendefinisikan keadilan prosedural sebagai isu-isu keadilan mengenai metode, mekanisme, dan proses yang digunakan untuk menentukan hasil. Ketika karyawan memiliki pandangan bahwa proses pengambilan keputusan prosedur akurat, konsisten, objektif dan bisa dikoreksi, maka karyawan memandang proses dalam menjalankan sistem termasuk dalam kriteria yang adil (Colquitt, 2006).

Colquitt dan Leventhal 2001, mengidentifikasikan enam aturan pokok dalam keadilan prosedural. Bila setiap aturan ini dapat dipenuhi, suatu prosedur dapat dikatakan adil. Enam aturan yang dimaksud adalah pertama, prosedur yang adil harus konsisten dari satu orang ke orang yang lain maupun dari waktu


(45)

ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama. Aturan yang kedua adalah minimalisasi bias, yaitu mengesampingkan kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya, dalam upaya minimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun pemihakan harus di hindarkan. Aturan yang ke empat yaitu informasi yang akurat berdasarkan fakta. Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting perlu ditegakkannya keadilan. Aturan kelima adalah representatif. Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Terakhir, prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Dengan demikian, meskipun berbagai hal diatas terpenuhi, bila substansinya tidak memenuhi standar etika dan moral, tidak bisa dikatakan adil.

Disamping enam aturan pokok dalam prosedur yang adil tersebut, Leventhal (dalam Lind & Tyle, 1988) dan Colquitt (2011) juga menyatakan perlunya komponen untuk menengakkan dan menjaga keadilan prosedural. Komponen-komponen tersebut adalah ada agen yang berfungsi mengumpulkan informasi dan membuat keputusan, ada aturan yang jelas dan kriteria yang baku. Ada pula tindakan nyata untuk mengumpulkan dan menanyakan informasi, serta ada struktur dan hirarki keputusan. Selain itu,


(46)

keputusan yang dibuat selalu disampaikan secara terbuka kepada semua pihak yang bersangkutan. Prosedur selalu dijaga agar tetap terstandar melalui pengawasan dan pemberian sanksi bila ada penyimpangan.

Berdasarkan uraian tersebut, keadilan prosedural adalah persepsi karyawan mengenai adil atau tidaknya peraturan atau prosedur yang digunakan dalam organisasi atau perusahaan untuk mengambil keputusan.

c. Keadilan Interaksional

Hal ini mengacu pada bagaimana karyawan diperlakukan selama pelaksanaan proses organisasi yang berfokus pada dinamika antar pribadi dalam hal komunikasi. Keadilan interaksional disebut juga hubungan timbal balik atau komunikasi antara atasan dan bawahan dengan melihat kualitas interpersonal pada karyawan dalam suatu organisasi, dengan harapan adanya kebenaran dan rasa hormat dalam komunikasi. Karyawan juga mengevaluasi atau menilai apakah mereka diperlakukan oleh orang lain, termasuk rekan-rekan dan supervisor dengan hormat dan bermartabat (Crow, 2012). Keadilan interaksional mengacu pada proses kualitas dan pengolahan hubungan interpersonal pada setiap individu (Bies & Moag, 1986).

Keadilan interaksional adalah sebuah konsep yang


(47)

organisasi, seperti menghargai dan saling menghormati satu sama lain dalam organisasi.

Menurut Colquitt (2001), keadilan interkasional dapat dibagi dalam dua aspek yang spesifik yaitu keadilan interpersonal yang mencerminkan sejauh mana seseorang diperlakukan dengan sopan, bermartabat, dan rasa hormat oleh pihak otoritas dalam melaksanakan prosedur atau menentukan hasil (Greenberg, 1993). Aspek yang kedua adalah keadilan informasi yangberfokus pada penjelasan mengenai alasan suatu prosedur dilakukan dengan cara t tertentu atau alasan mengapa hasil didistribusikan dengan cara tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut, keadilan interaksional disebut juga hubungan timbal balik atau komunikasi antara atasan dan bawahan dengan melihat kualitas interpersonal pada karyawan dalam suatu organisasi, dengan harapan adanya kebenaran dan rasa hormat dalam komunikasi.

3. Dampak Organizational Justice

Jika karyawan memiliki persepsi yang baik mengenai keadilan organisasi dan mereka merasa bahwa mereka diperlakukan secara adil, maka mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat keterlibatan pada organisasi (Saks, 2006). Beberapa studi menunjukkan peningkatan rasa keadilan di antara karyawan memiliki dampak positif pada berbagai


(48)

aspek perilaku organisasi, seperti kepuasan kerja (McCain, 2010), komitmen organisasi (Kathairi, 2013), kepercayaan organisasional (McLean, 2009), perilaku warga organisasi (Orlowska, 2011) dan kinerja karyawan (Suliman & Kathairi, 2013).

Colquitt, (2001) mejelaskan bahwa keadilan organisasi menunjukkan berbagai dimensi keadilan berdampak pada sikap dan perilaku yang penting, termasuk kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepercayaan, dan kinerja. Cropanzano, Prehar, dan Chen (2002) juga berpendapat bahwa keadilan meningkatkan prestasi kerja karyawan dalam organisasi. Karyawan yang merasa diperlakukan adil cenderung ingin tampil lebih baik sebagai bentuk timbal balik (Gaudet, Trambley & Doucet, 2014). Keadilan Organisasi mempengaruhi apa yang karyawan percaya tentang organisasi secara keseluruhan, ketika proses internal dianggap bagus, maka karyawan lebih memberikan loyalitas yang besar dan memiliki kemauan untuk berperilaku yang terbaik demi kepentingan organisasi (Cropanzano, Bowen & Gilliland, 2007). Bowen, Gilliland dan Folger (1999) mengemukakan keadilan organisasi memiliki dampak positif pada organisasi perilaku kewarganegaraan, loyalitas dan kepuasan karyawan.

C. Dinamika antara Organizational Justice dan Employee Engagement

Persepsi terhadap keadilan distributif, keadilan procedural dan keadilan interaksional dipandang sebagai sumber yang berperan dalam


(49)

meningkatkan keterlibatan karyawan karena memiliki peran masing-masing dalam mencapai tujuan organisasi (Demerouti, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Kumar (2006) menemukan bahwa pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada keadilan dapat menumbuhkan persepsi pada karyawan bahwa organisasi memberikan dukungan sehingga meningkatkan keterlibatan karyawan.

Jika karyawan memiliki keyakinan yang rendah terhadap keadilan organisasi maka karyawan tersebut cenderung melepaskan diri dari pekerjaan mereka (Biswas, 2013). Sebaliknya, ketika karyawan memiliki keyakinan yang tinggi terhadap keadilan dalam organisasi, maka karyawan cenderung merasa memiliki kewajiban untuk berperan aktif, dan lebih terlibat dalam organisasi (Cropanzano & Mitchell, 2005). Maslach (2001) juga menyatakan bahwa jika karyawan memiliki persepsi positif terhadap keadilan organisasi maka employee engagement akan meningkat.

Menurut Maslach dan Leiter (1997) karyawan yang memiliki level engage tinggi akan merasa energik, tidak memunculkan tanda-tanda burnout seperti kelelahan, cynicism dan tidak efektif. Para karyawan akan lebih berenergi dan memiliki hubungan yang efektif dengan segala aktivitas kerja serta melihat diri memiliki kemampuan dalam menyelesaikan persoalan di tempat kerja.

Hal ini bisa terjadi karena karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Saks (2006) serta Arun Kumar dan Renugadevi (2013) memiliki penjelasan yang serupa kenapa karyawan dapat menjadi terlibat terhadap


(50)

perusahaan. Menurut mereka hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang menantang karyawan untuk berusaha sebaik mungkin dan memberikan keleluasaan bagi karyawan untuk bebas berekspresi menyelesaikan tugas tersebut. Selain itu Perceived Organizational Support dan Perceived Supervisor Support juga mempengaruhi keterlibatan karyawan. Dua hal tersebut dipercaya mempengaruhi keterlibatan karyawan sebab dukungan yang baik dari pihak atasan maupun organisasi dapat menimbulkan keyakinan bahwa karyawan tersebut memiliki dukungan yang kuat untuk melakukan tugas organisasi. Selain itu, Reward dan Recognition, yaitu penghargaan dan pengakuan dalam bentuk apapun terhadap karyawan membuat karyawan tersebut semakin engage terhadap organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi menghargai segala jerih payah karyawan untuk perusahaan. Faktor yang terakhir adalah distributive dan procedural justice dimana faktor yang terakhir ini membahas tentang bagaimana karyawan memandang keadilan yang diberikan oleh organisasi. Keadilan yang diterima oleh karyawan dan pendistribusian penghargaan secara tepat akan meningkatkan keterlibatan karyawan terhadap organisasi.

Ketika seluruh faktor tersebut saling mendukung maka terciptalah keterlibatan karyawan di dalam organisasi tempat bekerja. Arun Kumar dan Renugadevi (2013) memaparkan bahwa keterlibatan karyawan berdampak penting bagi kelangsungan organisasi maupun karyawan itu sendiri.


(51)

Dalam penelitian ini, hal yang akan diteliti adalah pengaruh antara tiga dimensi organizational justice dengan employee engagement, yaitu 1) distributif justice dengan employee engagement, 2) prosedural justice dengan employee engagement, dan 3) interactional justice dengan employee engagement.

Gupta dan Kumar (2012) meneliti bahwa distributif justice sebagai

penentu yang signifikan dalam membentuk employee engagement.

Keadilan distributif dikatakan adil apabila distribusi hasil seperti kompensasi, manfaat dan lainnya memenuhi harapan karyawan, kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh sesuai dengan kontribusi yang diberikan (Simpson & Kaminski, 2007; Chou, 2009). Furhman (2002) mengungkapkan bahwa sebenarnya bukan perbandingan hasil konstribusi yang didapat individu dengan rekan kerjanya, melainkan ketika individu merasa bahwa rekan kerjanya mendapat imbalan lebih besar dari dirinya, sementara konstribusi yang mereka berikan sama besarnya. Hal ini menimbulkan persepsi tentang ketidakadilan muncul. Hal ini sesuai dengan tiga perspektif Colquitt (2001), yaitu equity dimana hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang diberikan sehingga individu merasa dihargai, puas terhadap kebijakan organiasasi dan akan lebih terikat pada organisasi. Kedua, equality, dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil yang diinginkan sehingga setiap individu selalu berusaha untuk mendapatkan kesempatan tersebut dan yang terakhir


(52)

adalah need, dimanaindividu memperoleh hasil yang ideal sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, penilaian karyawan terhadap keadilan distributif akan memicu hal kognitif, afektif, perilaku (Cohen-Charash & Spector, 2001). Oleh karena itu, Persepsi keadilan distibutif yang tidak adil dapat menyebabkan karyawan menunjukkan prestasi kerja yang rendah, kurang menerima masukan untuk menyelesaikan tugas mereka, tidak terlibat dalam organisasi dan mengalami stress (Greenberg, 1990 & Cropanzano, 2007). Selain itu, hal ini akan mempengaruhi emosi individu yang memunculkan kemarahan, ketidakbahagiaan dan akan memunculkan perilaku penurunan kinerja sehingga karyawan tidak terlibat pada organisasi (Cohen-Charash & Spector, 2001). Sebaliknya, keadilan distributif yang tinggi dapat membuat karyawan merasa tidak dirugikan sehingga bisa mendapatkan hasil kerja yang memuaskan dan meningkatkan keterlibatan kerja (Near,1993).

Saks (2006) mengidentifikasi bahwa secara empiris terdapat hubungan positif antara keadilan prosedural dan keterlibatan organisasi. Cropanzano (1998) mengatakan keadilan prosedural sebagai isu-isu keadilan mengenai metode, mekanisme, dan proses yang digunakan untuk menentukan hasil. Ketika karyawan memiliki pandangan bahwa proses pengambilan keputusan prosedur akurat, konsisten, objektif dan bisa dikoreksi, maka karyawan memandang proses dalam menjalankan sistem termasuk dalam kriteria yang adil (Colquitt, 2006). Hal ini berpengaruh terhadap employee engagement. Keadilan prosedural yang dirasakan


(53)

karyawan dapat membuat karyawan merasa bangga sebagai anggota atau bagian dari organisasi tersebut (Tyler & Blader, 2003). Kebanggaan sebagai anggota organisasi akan mempegaruhi Employee Engagement karena karyawan akan memandang kesuksesan organisasi adalah kesuksesannya (Mael & Ashforth 1992). Berbagai penelitian lain (Woodruffe, 2005 & Rama Devi, 2009) telah menekankan pentingnya kebijakan dan prosedur yang terbaik bagi organisasi agar mendukung pengaturan kerja yang fleksibel dan lingkungan organisasi yang baik sehingga terbentuk karyawan yang mau terlibat dalam organisasi. Kahn (1990) mengatakan proses mengambil keputusan yang adil membuat karyawan terikat dan merasa puas dengan organisasi. Thibaut dan Walker (1975) mengatakan bahwa kepuasan karyawan terhadap keadilan prosedural dalam organisasi akan membuat karyawan termotivasi untuk bekerja sama dan berkomitmen dalam organisasi untuk meningkatkan employee engagement. Ketika keadilan prosedural tinggi, maka karyawan akan memberikan reaksi yang positif terhadap supervisor (Folger & Cropanzano, 1998) dan dengan adanya persepsi positif dari keadilan prosedural ini maka dapat meningkatkan keterlibatan karyawan pada perusahaan (Maslach, 2001). Ketika keadilan prosedural rendah, karyawan cenderung untuk menarik dan melepaskan diri dari peran pada pekerjaan mereka. Selain itu, kurangnya keadilan prosedural dapat membuat karyawan mengalami kelelahan dan memiliki pandangan yang negatif.


(54)

Keadilan prosedural merupakan salah satu kondisi kerja yang sangat berpengaruh terhadap keterlibatan karyawan (Maslach, 2001).

Gupta dan Kumar (2012) meneliti bahwa keadilan interaksional sebagai penentu yang signifikan dari keterlibatan karyawan. Karyawan yang merasa dihargai dan dihormati serta dinilai memiliki nilai sosial yang baik dan dapat mengelola diri dengan baik terhadap proses dalam organisasi dapat membuat karyawan merasa berguna dan cenderung ingin terlibat lebih dengan organisasi (Crow, 2012). Colquitt (2001) mengatakan bahwa keadilan interaksional sebagai faktor utama yang berhubungan dengan suasana lingkungan kerja dalam memperkuat hubungan antara pemimpin atau supervisor dan meningkatkan keterlibatan karyawan pada organisasi. Para pemimpin yang bersikap obyektif dan beretika merupakan aspek penting dari keadilan interaksional sehingga memunculkan pandangan terhadap dukungan sosial antar karyawan, maupun karyawan dan atasan, dan hal ini menjadi faktor dari keterikatan karyawan (Schaufeli & Bakker, 2004). Hal ini membuat adanya perasaan positif yang dapat merangsang karyawan untuk membalas dengan terlibat penuh pada organisasi bahkan menjalankan pekerjaan diluar peran mereka (Nasurdin & Khuan, 2011). Menurut Folger (1993) ketika komunikasi yang terjalin antar karyawan dengan atasan tidak berjalan dengan baik maka karyawan akan merespon dengan negatif dan tidak terlibat dalam organisasi apalagi ketika sudah merugikan pihak lain dan atasan juga menunjukkan perilaku


(55)

yang buruk. Hal ini membuat keadilan interaksioanl cenderung rendah dan karyawan cenderung tidak engage.

D. Kerangka Pemikiran

Skema 1

Distributif Justice memilki pengaruh terhadap Employee Engagement

Distributif Justice

Tinggi Rendah

Kompensasi, manfaat dan lainnya memenuhi harapan karyawan, adanya kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil yang di inginkan dan individu memperoleh hasil yang ideal.

Kompensasi, manfaat dan lainnya tidak memenuhi harapan karyawan, tidak adanya kesesuaian antara usaha karyawan dalam bekerja dan hasil yang diperoleh. Semua karyawan tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil yang di inginkan dan karyawan tidak memperoleh hasil yang ideal.

Prestasi kerja yang baik, menerima masukan untuk menyelesaikan tugas, terlibat dalam organisasi dan tidak mengalami stress. karyawan akan merasa bahagia dan puas bekerja diperusahaan.

Karyawan engage

Prestasi kerja yang rendah, kurang menerima masukan untuk menyelesaikan tugas mereka, kurang terlibat dalam organisasi dan mengalami stress. karyawan akan merasa marah, tidak bahagia, dan tidak puas bekerja di perusahaan.


(56)

Skema II

Prosedural Justice memilki pengaruh terhadap Employee Engagement

Prosedural Justice

Tinggi Rendah

Proses pengambilan keputusan prosedur akurat, konsisten, dan objektif membuat karyawan merasa bangga dan puas menjadi bagian dari organisasi

Proses pengambilan keputusan prosedur tidak akurat, konsisten, dan objektif membuat karyawan tidak merasa bangga dan puas menjadi bagian dari organisasi.

Karyawan memandang kesuksesan organisasi sebagai kesuksesan karyawan juga. Karyawan memiliki persepsi dan memberikan reaksi positif terhadap supervisor sehingga karyawan termotivasi untuk bekerja sama dan berkomitmen dalam organisasi.

Karyawan engage

Karyawan tidak memandang kesuksesan organisasi sebagai kesuksesannya. Karyawan memiliki reaksi negatif terhadap supervisor sehingga karyawan tidak termotivasi untuk bekerja sama atau berkomitmen


(57)

Skema III

Interactional Justice memiliki pengaruh terhadap Employee Engagement

Interactional Justice

Tinggi Rendah

Interaksi antara atasan dan bawahan berjalan dengan baik serta atasan menunjukan perilaku yang baik terhadap karyawan dan memunculkan energi positif

Interaksi antara atasan dan bawahan tidak berjalan dengan baik serta atasan menunjukan perilaku yang buruk dan memunculkan energi negatif.

Karyawan merasa dihargai, dihormati, dan memunculkan pandangan dan perasaan positif terhadap dukungan social antar karyawan, maupun karyawan dan atasan.

Karyawan engage

Karyawan merasa tidak dihargai, dihormati, dan memunculkan pandangan dan perasaan negatif terhadap dukungan social antar karyawan, maupun karyawan dan atasan.


(58)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah

H1. Distributif justice memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Employee Engagement

H2. Prosedural justice memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Employee Engagement

H3. Interactional justice memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Employee Engagement


(59)

40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sample tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2013). Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survei. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2009).

Penelitian kuantitatif dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode eksperimen dan metode survei. Namun metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode survei. Penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel (Sugiyono, 2010). Jenis survei ini mengukur variabel yang sama hanya satu kali pada sejumlah kelompok partisipan dengan satu atau lebih karakteristik pokok yang berbeda (Supratiknya, 2015). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti yaitu employee engagement dan organizational justice.


(60)

B. Variabel Independen

Variabel Bebas : Organizational Justice. Variabel Tergantung : Employee Engagement.

C. Definisi Operasional

1. Organizational Justice

Organizational justice adalah persepsi, tanggapan atau pandangan terhadap peran keadilan yang berhubungan langsung dengan rumah sakit. Hal ini mengacu pada sejauh mana persepsi perawat melihat peristiwa organisasi sebagai sesuatu yang adil dalam memperoleh hasil, proses mencapai hasil tersebut serta interaksi yang terjadi di

tempat kerja. Variabel organizational justice akan diukur

menggunakan skala yang mencakup tiga dimensi organizational justice yaitu distributive justice, procedural justice dan interactional justice.

Keadilan distributif adalah persepsi karyawan mengenai

keseimbangan antara seluruh hal yang diterima karyawan dari perusahaan (outcome) dibandingkan dengan seluruh hal yang diberikan karyawan kepada perusahaan (input). Keadilan prosedural adalah persepsi karyawan mengenai adil atau tidaknya peraturan atau prosedur yang digunakan dalam organisasi atau perusahaan untuk mengambil keputusan. Keadilan interaksional disebut juga hubungan timbal balik atau komunikasi antara atasan dan bawahan dengan


(61)

melihat kualitas interpersonal pada karyawan dalam suatu organisasi, dengan harapan adanya kebenaran dan rasa hormat dalam komunikasi.

Variabel Organizational Justice diukur menggunakan skala yang melibatkan penilaian evaluatif karyawan terhadap organisasinya. Penilaian evaluatif tersebut dituangkan dalam 20 pernyataan yang menggambarkan ke tiga dimensi yang ada pada organizational justice.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek pada setiap skala tiga dimensi Organizational Justice yang diperoleh subjek menandakan bahwa semakin tinggi juga dimensi Organizational Justice yang dimiliki subjek tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor pada skala dimensi Organisational Justice yang diperoleh subjek, menandakan bahwa semakin rendah juga Organizational Justice yang dimiliki subjek.

2. Employee Engagement

Employee engagement didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan, keyakinan terhadap kemampuan, semangat, sikap positif serta bentuk ekspresi diri dalam menjalankan peran para perawat di tempat kerja. Variabel employee engagement akan diukur menggunakan skala yang mencakup ketiga aspek employee engagement, yaitu semangat (Vigor) ditandai dengan tingginya energi serta ketahanan mental saat bekerja, dedikasi (Dedication) ditandai dengan perasaan antusias, serta penghayatan (Absorption) ditandai dengan konsentrasi penuh individu dalam bekerja.


(62)

Semakin tinggi skor pada skala Organizational Employee Engagement yang diperoleh subjek menandakan bahwa semakin tinggi juga Organisational Employee Engagement yang dimiliki subjek tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor total pada skala Organisational Employee Engagement yang diperoleh subjek, menandakan bahwa semakin rendah juga Organizational Employee Engagement yang dimiliki subjek tersebut.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah perawat rumah sakit umum dan swasta di daerah Sragen, Jawa Tengah. Rumah sakit ini dipilih karena memudahkan peneliti secara admisitrasi perijinan untuk mengambil data dan menyebarkan kuisioner. Selain itu, pemilihan subjek perawat dalam penelitian ini berdasarkan penelitian yang telah dijelaskan oleh Smulder (2006) pada bab sebelumnya.

Proses pemilihan sampel penelitian menggunakan teknik convenience sampling yaitu mengambil sample berdasarkan kemudahan memperoleh subjek penelitian (McMilan, 2006). Dalam penelitian ini subjek yang gunakan adalah perawat pada rumah sakit Negeri dan Swasta. Subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu perawat yang telah bekerja selama minimal satu tahun. Subjek dengan kriteria tersebut dianggap sudah mengenal perusahaan sehingga mampu menilai keadilan


(63)

dalam organisasi dan dapat menunjukkan keterlibatan subjek terhadap organisasi.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode penyebaran skala (kuesioner). Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang responden ketahui (Arikunto, 2002). Jenis skala yang diberikan yaitu skala likert,dimana subjek diminta untuk memilih salah satu jawaban dari lima pilihan jawaban yang tersedia. Jenis skala likert digunakan pada kedua variabel dalam penelitian ini. Cara pemberian skor terhadap pilihan jawaban tersebut berkisar 1 sampai 5. Pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 1, Tidak Setujut (TS) diberi nilai 2, Ragu-ragu (R) diberi nilai 3, Setuju (S) diberi nilai 4, Sangat Setuju (SS) diberi nilai 5.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu skala organizational justice dan skala employee engagement. Skala organizational justice terdiri dari 20 item yang mencakup tiga dimensi yaitu distributive justice, procedural justice dan interactional justice. Pemilihan skala ini berdasarkan reliabilitas dari penelitian sebelumnya yakni dimensi keadilan distributif sebesar α= 0,86, dimensi keadilan prosedural sebesar α= 0,90 dan dimensi keadilan interaksional sebesar α= 0,80. Reliabilitas tersebut dinilai tinggi sehingga terpercaya untuk mengukur variabel Organizational Justice perawat. Subjek diminta


(64)

memilih satu jawaban dari lima pilihan jawaban yang tersedia. Variasi pilihan jawaban yang dipakai peneliti dapat dilihat pada tabel 1, sebagai berikut:

Tabel 1

Pemberian Skor pada Skala Organizational Justice

Respon Item Favorable Nilai Respon

Sangat Tidak Setuju (STS) 1

Tidak Setuju (TS) 2

Netral (N) 3

Setuju (S) 4

Sangat setuju (SS) 5

Rancangan item yang dibuat peneliti untuk skala organizational jusice dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2

Cetak sebaran Skala organizational justice sebelum Seleksi Item

Dimensi Favorable Jumlah

Distributive justice 1,2,3,4 4 item Procedural justice 9,10,11,12,13,14,15, 7 item Interactional justice 5,6,7,8,16,17,28,29,20 9 item

Total 20 item

Variabel Organizational Justice (OJ) dalam penelitian ini akan diukur menggunakan kuesioner yang diadaptasi oleh peneliti dengan menggunakan 20 item yang telah dibuat oleh Colquit (2001).

Skala employee engagement terdiri dari 6 item yang mencakup 3 aspek yaitu semangat, dedikasi dan penyerapan. Subjek diminta memilih


(1)

3.3 Uji Normalitas Residu Interactional Justice

─ Engagement

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

RES_IJ

N

159

Normal Parameters

a

Mean

.0000000

Std. Deviation

2.246953

10

Most Extreme Differences Absolute

.098

Positive

.081

Negative

-.098

Kolmogorov-Smirnov Z

1.231

Asymp. Sig. (2-tailed)

.097

a. Test distribution is Normal.

Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas

4.1

Uji Heteroskedastisitas Distributif Justice

─ En

gagement

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

14.001

1.069

13.102

.000

DJ

.578

.084

.483

6.903

.000


(2)

4.2

Uji Heteroskedastisitas Prosedural Justice

─ Engagement

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

15.845

1.870

8.471

.000

PJ

.308

.105

.227

2.925

.004

a. Dependent Variable: EE

4.3

Uji Heteroskedastisitas Interactional Justice

─ Engagement

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

-3.343

.691

-4.838

.000

IJ

.240

.032

.510

7.430

.000


(3)

Lampiran 5. Uji Linearitas

5.1

Uji Linearitas Distributif Justice ─ Engagement

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

EE * DJ

Between Groups

(Combined) 291,970 9 32,441 8,155 ,000

Linearity 205,989 1 205,989 51,782 ,000 Deviation from

Linearity 85,980 8 10,748 2,702 ,008

Within Groups 592,722 149 3,978

Total 884,692 158

5.2

Uji Linearitas Prosedural Justice ─ Engagement

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

EE * PJ

Between Groups

(Combined) 247,315 8 30,914 7,275 ,000

Linearity 179,969 1 179,969 42,354 ,000 Deviation from

Linearity 67,345 7 9,621 2,264 ,032

Within Groups 637,377 150 4,249


(4)

5.3

Uji Linearitas Interactional Justice

─ Engagement

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

EE * IJ

Between Groups

(Combined) 480,763 12 40,064 14,481 ,000

Linearity 329,768 1 329,768 119,19

5 ,000 Deviation from

Linearity 150,996 11 13,727 4,962 ,000

Within Groups 403,928 146 2,767


(5)

vii

Pengaruh Organizational Justice terhadap Employee Engagement

Octaviani Elga Fernandez

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh organizational justice terhadap employee engagement pada karyawan. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah employee engagement, sedangkan variabel bebas adalah organizational justice yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu distributif justice, prosedural justice dan interactional justice. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis. Hipotesis yang pertama, distributif justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Kedua, prosedural justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Ketiga, interactional justice memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 159 orang. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Colquitt (2001) untuk organizational justice dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah sebesar 0.828 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0,262 untuk hubungan antara distributif justice dan employee engagement, 0.247 untuk hubungan antara prosedural justice dan employee engagement dan 0,430 untuk hubungan antara interactional justice dan employee engagement. Artinya terdapat pengaruh positif dan signifikan pada organizational justice dan employee engagement. Maka, semakin tinggi organizational justice, semakin tinggi pula employee engagement. Sebaliknya semakin rendah organizational justice, semakin rendah pula employee engagement.

Kata kunci: organizational justice, dimensi organizational justice, distributif justice, prosedural justice, interactional justice, employee engagement


(6)

viii

The Influence of Organizational Justice toward Employee

Engagement

Octaviani Elga Fernandez

ABSTRACT

This research discussed the influences of organizational justice toward employee engagement. The dependent variable in this research is employee engagement which contains of 3 dimensions, such as distributive justice, procedural justice and interactional justice. This research has three hypotheses. The first hypotheses isdistributive justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The second isprocedural justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The third is interactional justice. It has a significant positive influence toward employee engagement. The subjects of this research are 159 people. The measurement tools used for this research are the scale that has been adapted from Colquitt (2001) for organizational justice and Saks (2006) for employee engagement.Thescale reliability in this research is 0.828 for organizational justice and 0.758 for employee engagement.In this research, multiple regression analysis is used in doing hypothesis trial. The result of the analysis shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized coefficients (β) is 0.262 for the relationship between distributive justice and employee engagement, 0.247for the relationship betweenprocedural justice and employee engagement and 0.430 for the relationship between interactional justice and employee engagement. It means there is a positive influence between organizational justice and employee engagement. Thus, the higher the organizational justice, the higher employee engagement will be. Conversely, the lower organizational justice, the lower the employee engagement will be.

Key words: organizational justice, dimensi onorganizational justice, distributive justice, procedural justice, interactional justice, employee engagement.