Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Chapter III V
BAB III
PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT
SAKAI DI KECAMATAN MANDAU
A. Pengertian Hukum Waris Islam
Pengertian waris ialah berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun atau
hak-hak syariyah128. Pendapat lain juga mengemukakan bahwa arti waris dalam
hukum Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti peninggalan-peninggalan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia 129. Hukum waris juga dinamakan
Faraidh yang artinya pembagian tertentu. Lafadz Faraidh merupakan jama’ (bentuk
plural) dari lafadz Faridhah yang mengandung arti Mafrudhah, yang sama artinya
dengan Muqaddarah yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas130.
Sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa definisi yakni
sebagai berikut :131
1. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak
bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima
warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris,
128
Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995, hal. 49
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya, Bandung,
1987, hal 84
130
Amir Syarifudin, Op. Cit., hal 5
131
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris, Senayan Abadi
Publishing, Jakarta Selatan, 2004, hal 12
129
65
Universitas Sumatera Utara
66
dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya,
sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).
2. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait
dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari
harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
3. Disebut juga dengan fiqh al-mawarits dan tata cara menghitung harta waris yang
ditinggalkan.
4. Kaidah-kaidah fiqih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli
waris dari harta peninggalan.
5. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengethaui ahli waris yang
dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.
Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang
dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak
menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara
membaginya. Definisi tersebut menekankan dari segi orang yang mewaris, orang
yang tidak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli
waris, serta cara membagikan warisan kepada ahli waris132.
Adapun sumber-sumber Hukum Ilmu Faraidh adalah Al Qur’an, Hadist Nabi
saw., dan ijma para ulama133.
132
Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal 1
133
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 14
Universitas Sumatera Utara
67
1. Al Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama, Al Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang
memuat tentang Hukum waris. Ketiga ayat tersebut dalam Surat An Nisaa’ yaitu :
1) Surat An Nisaa’ ayat 11 yang mengandung beberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak lakilaki dengan seorang anak perempuan, yaitu 2:1
(2) Mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari
dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan
(3) Mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari
harta peninggalan
(4) Mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seperenam dari harta
peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak
(5) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu
bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai saudara dan anak, maka
perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan
(6) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu
bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak, tetapi mepunyai saudara
maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan
(7) Pelaksaan pembagian harta warisan yang dimaksud sesudah dibayarkan
wasiat dan utang pewaris134.
2) Surat An Nisaa’ ayat 12 yang mengandung beberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Duda karena kematian istri mendapat pembagian seperdua dari harta
peninggalan istrinya kalau istrinya tidak meninggalkan anak
(2) Duda karena kematian istri mendapat pembagian seperempat dari harta
peninggalan istrinya kalau istrinya meninggalkan anak
(3) Janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat harta
suaminya kalau suami meninggalkan anak.
(4) Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah ( kalalah)
sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh seperenam
(5) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah
(kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara-saudara yang jumlahnya
lebih dari dua orang, maka bereka bersekutu atau berbagi sama rata atas
sepertiga dari harta peninggalan
134
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal 21
Universitas Sumatera Utara
68
(6) Pelaksanaan pembagian harta warisan dilakukan sesudah dibayarkan
wasiat dan utang-utang pewaris
(7) Pembagian wasiat dan pembayaran utang pewaris tidak boleh
mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris135
3) Surat An Nisaa’ ayat 176 yang mengandung ebberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenani kalalah) ,
katakanlah bahwa Allah memebri fatwa kepada kamu mengenai arti
kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dinia yang tidak ada baginya
anak atau mawali anaknya
(2) Kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara
perempuan, maka bagi saudara perempuan mendapat bagian seperdua dari
harta peninggalan saudaranya
(3) Kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua
orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka duapertiga
dari harta peninggalan
(4) Kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri
atas laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua bagian saudara perempuan
(5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak
keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila
terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah menegtahu segalanya 136.
2. Sunnah Nabi saw
Ada beberapa hadist yang menerangkan tentang pembagian harta waris
antara lain Ibnu Abbas r. a meriwayatkan bahwa Nabi saw, bersabda :
“berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya,
yang lebih butane adalah orang laki-laki” (HR Bujhari dan Muslim)137
3. Ijma’
Para sahabat tabi’in generasi pascasahabat, dan tabi’it tabi’in, generasi
pasca tabi’in telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada
135
Ibid, hal 24
Ibid, hal 29
137
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 19
136
Universitas Sumatera Utara
69
seorang pun yang menyalahi ijma tersebut 138.
1. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun warismewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut 139 :
1) Harta peninggalan (mauruts)
Harta peninggalan adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit
yang akan dipusakai oleh ahli waris setelah diambil untuk biayabiaya perawatan,
melunasi hutang dan melaksanakan wasiat140. Harta peninggalan yaitu apa-apa
yang ditingalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara mutlak,
yakni segala sesuatu yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun
hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Disamping harta benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun
bukan kebendaan yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak
menarik hasil sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan si mayit, barangbarang yang telah dibeli oleh si mayit sewaktu masih hidup yang telah dibayar,
tapi barangnya sudah diterima dan lain-lain.
2) Pewaris atau orang yang meninggalkan harta benda (Al-muwarrits)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
138
Ibid, hal 20
Rachmad Budiono, Op.Cit, hal 9-10
140
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990, hal 313
139
Universitas Sumatera Utara
70
waris dan harta peninggalan. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan
mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun
pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematian141.
3) Ahli waris (waarist)
Dalam kompilasi Hukum Islam pengertian ahli waris adalah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris142.
1) Anak
Kedudukan anak sebagai ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan
ditentukan bagiannya masing-masihng dalam garis Al Qur’an Surat An Nisaa’
ayat 11143.
2) Ibu – Ayah
Kedudukan orang tua sebagai ahli waris, baik ibu maupun ayah telah
ditentukan bagiannya masing-masing sebagai ahli waris dalam 3 (tiga) garis
hukum Al Qur’an Surat An Nisaa ’ ayat 11144
3) Duda dan Janda
Duda (suami yang istrinya meninggal) dan janda (istri yang suami meninggal)
telah ditentukan bagiannya masing-masing sebagai ahli waris dalam garis Hukum
141
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 46
Ibid, hal 47
143
Ibid
144
Ibid, hal 48
142
Universitas Sumatera Utara
71
Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 12145.
4) Saudara
Seorang saudara baik sendirian maupun bersama beberapa orang saudara telah
ditentukan bagiannya masing-masing sebagai seorang ahli waris dalam hukum
Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 12 dan ayat 17146.
5) Ahli waris pengganti
Seorang anak atau lebih dari seorang, baik laki-laki maupun oerempuan yang
menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris, pewarisnya
ditentikan dalam garis Hukum Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 33 147.
Ketiga rukun di atas berkaitan antara satu dengan yang lainnya, ketiganya
harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, perwarisan tidak mungkin
terjadi manakalah salah satu di antara ketiga unsur di atas tidak ada.
2. Syarat-Syarat Mewarisi Dalam Islam
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki
harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang
ditinggalkannya. Pengertian tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti
kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya atau orang
yang bakal menggantinya tidak berwujud disaat penggantian terjadi. Apalagi diantara
145
Ibid, hal 49
Ibid
147
Ibid, hal 50
146
Universitas Sumatera Utara
72
keduanya terdapat hal-hal yang menjadi sebuah penghalang. Oleh karena karena itu
pusaka mempusakai itu memerlukan syarat-syarat tertentu sebagai berikut 148:
1) Meninggalnya Pewaris
Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti
keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang). Kematian seorang
muwarits itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Mati haqiqy (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berwujud padanya, baik kematian itu disaksikan dengan
pengujian, seperti tatkala sesorang disaksikan meninggal, atau dengan
pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas
kematian seseorang149.
b. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian yang
disebabkan oleh putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis
kematian si mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya,
tidak dikenal domisilinya, dan tidak pula diketahui hidup dan matinya 150
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu kematian yang bukan haqiqi
dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat151.
148
Ali, Mohammad Daud dan Haji, Op. Cit, hal. 322
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 29
150
Ibid, hal 30
151
Ibid
149
Universitas Sumatera Utara
73
2) Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam
kandungan, Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian
muwarrits, baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi
harta peninggalannya.
3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan,
Meskipun dua syarat waris mewarisi itu telah ada pada muwarits dan warrits,
namun
salah
seorang dari
mereka
tidak dapat
mewariskan harta
peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peningalan dari yang
lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang
dapat menjadikan tidak mendapatkannya warisan, yakni: perbudakan,
pembunuhan, perbedaan agama, perbedaan negara.
3. Sebab-sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam
Seseorang dapat mewarisi harta peninggalan pewaris karena 3 (tiga) hal, yaitu
sebab hubungan kerabat atau nasab, perkawinan, wala ’ (memerdekakan budak) dan
hubungan sesama Islam152 :
1) Hubungan Kekerabatan atau Nasab
Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturohim atau kekerabatan
antara keduanya, yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran. Ditinjau
152
Ibid, hal 33
Universitas Sumatera Utara
74
dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang
mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
a. Furu’ yaitu anak turun (cabang) dari si mati.
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia
melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak
turunnya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.
Terkadang, faktor nasab menjadi sebab seseorang dapat mewarisi harta
peninggalan dari dua jalur, seperti anak laki-laki mewarisi bersama ayahnya,
saudara laki-laki mewarisi bersama saudara laki-lakinya153. Faktor nasab pun
dapat menjadi sebab seseorang mewarisi harta peninggalan dari satu jalur seperti
anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah mewarisi bersama saudara
perempuan ayah154.
2) Perkawinan
Yang dimaksud perkawinan disini ialah akad nikah yang sah yang terjadi
diantara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Jika seorang suami
meninggal dunia, maka istrinya atau jandanya mewarisi harta peninggalan
suaminya. Demikian juga sebaliknya jika seorang istri meniggal dunia, maka
153
154
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 35
Ibid
Universitas Sumatera Utara
75
suaminya mewarisi harta istrinya. Menurut Amir Syarifudin, berlakunya
hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan 155:
Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Dalam
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa
perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya. Pasal
tersebut menjelaskan bahwasanya perkawinan orang-orang yang beragama Islam
dianggap sah apabila menurut hukum Islam perkawinan tersebut sah. Pengertian
sah menurut istilah hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan
rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalang. Dengan demikian
nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun
syarat perkawinan serta telah terlepas dari segala halangan perkawinan.
Ketentuan kedua berkenaan dengan hubungan kewarisan disebabkan oleh
hubungan perkawinan ialah bahwa suami dan istri masih terikat dalam tali
perkawinan disaat salah satu pihak meninggal dunia. Seorang perempuan yang
sedang menjalani iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala
akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin karena hubungan kelamin telah
berakhir dengan adanya perceraian. Dengan demikian seorang istri masih bisa
menerima warisan meskipun perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan
masih berada dalam masa iddah.
3) Hubungan Wala’
Wala’ merupakan hubungan hukmiah yaitu suatu hubungan yang ditetapkan
155
Amir Syarifudin, Op. Cit., hal 175-176
Universitas Sumatera Utara
76
oleh hukum Islam karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup
merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Jika
seorang tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang
disebut wala’ul ‘itqi. Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi
ahli waris dari budak yang dimerdekakannya, dengan syarat budak tersebut tidak
mempunyai ahli waris sama sekali baik karena hubungan kekerabatan maupun
karena perkawinan156.
Hubungan wala’ tersebut sebagai imbalan dan sebagai perangsang agar
orang pada waktu itu memerdekakan budak, Rasulullah memberikan hak wala’
kepada yang memerdekakan itu sesuai dengan hadits Nabi yang bunyinya; “Hak
wala’ adalah untuk orang yang memerdekakan”. Akan tetapi, pada masa sekarang
ini sebab kewarisan karena wala' sudah tidak berlaku lagi. Tidak berlakunya
hubungan tersebut dikarenakan pada masa sekarang ini secara umum perbudakan
sudah tidak ada lagi.
4) Hubungan Sesama Islam
Hubungan Islam di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia
tidak memiliki ahli waris, maka harta warisanya itu diserahkan kepada
perbendaharaan umum atau yang disebut baitulmaal yang akan digunakan oleh
umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli
waris itu diwarisi oleh umat islam.
156
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op. Cit, hal 43
Universitas Sumatera Utara
77
4. Halangan Mewarisi atau Hilangnya Hak Waris-Mewarisi Dalam Islam
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun
karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris. Hal-hal yang
menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang
mewarisi adalah sebagai berikut157 :
1) Perbudakan
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang
tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan
kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta
milik tuanya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia
sendiri dan segala harta yang ada padanya adalah milik tuanya.
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris – mewarisi ditinjau dari
dua sisi, yaitu karena budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari ahli
warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab ketika
ia mewarisi harta peninggalan, niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah
tuannya, sedangkan budak tersebut merupakan orang asing yang bukan
anggota keluarganya 158.
2) Pembunuhan
157
Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 75
158
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 52
Universitas Sumatera Utara
78
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain
secara langsung atau tidak langsung. Alasan yang mendasari seseorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh akrena
terkadang, pembunuh memiliki tendensi mempercepat kematian orang yang
akan mewariskan, sehingga dia dapat mewarisi harta peninggalannya 159.
Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya menjadi
penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
Berdasarkan hadist nabi: “Barang siapa membunuh seorang korban maka ia
tidak dapat mewarisnya, walaupun si korban tidak mempunyai ahli waris
selain dirinya daninya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya maka
tidak ada hak mewarisi bagi pembunuhnya”. (HR. Imam Ahmad)
3) Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.
Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan agama Islam)
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi harta peninggalan
keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak
kejahatan besar yang telah memutuskan syariat Islam, sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 217: “Barang siapa yang murtad di antara
159
Ibid, hal 57
Universitas Sumatera Utara
79
kamu dari agamanya lalu dia mati dalam keadaan kekafiran maka mereka
itulah yang sia-sia amalanya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya”.
4) Berlainan Negara
Ciri-ciri negara adalah mempunyai kepala negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud
berlainan negara adalah berlainan unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga
kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya,
berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.
5. Golongan Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris dari segi haknya dapat digolongkan menjadi :
1) Dzawil Furud
Dzawil Furud adalah ahli waris yang mendapatkan bagian yang telah
ditetapkan secara jelas dan pasti serta telah ditetapkan bagiannya masingmasing ahli waris160. Ahli waris yang telah ditentukan bagiannya dalam alQur‟an diantaranya terdapat dalam surat An-Nisaa ayat 11. Ayat ini
mengandung beberapa garis kewarisan Islam antara lain:
a. Perolehan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,
yaitu dua berbanding satu (2:1)
b. Perolehan dua orang anak perempuan atau lebih, mereka mendapat 2/3
dari harta peninggalan.
160
Harijah Damis, Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai, Al-Itqon, Jakarta,
2012, hal 90
Universitas Sumatera Utara
80
c. Perolehan seorang anak perempuan, yaitu ½ dari harta peninggalan.
d. Perolehan ibu dan bapak, masing-masing mendapat 1/6 dari harta
warisan jika pewaris memiliki anak.
e. Besarnya perolehan ibu jika pewaris tidak memiliki anak dan saudara
adalah 1/3 dari harta warisan.
f. Besarnya bagian ibu jika pewaris tidak mempunyai anak, tetapi
memiliki saudara maka perolehan ibu adalah 1/6 dari harta warisan.
g. Suami mendapat ½ bagian dari harta peniggalan istrinya, jika istri tidak
mempunyai anak.
h. Suami memperoleh ¼ bagian dari harta warisan jika istri memiliki anak.
i. Istri memperoleh ¼ bagian dari harta peninggalan suami jika suami tidak
memiliki anak
j. Istri memperoleh 1/8 bagian dari harta peninggalan suami jika suami
memiliki anak
k. Saudara perempuan atau saudara laki-laki masing-masing memperoleh 1/6
dari harta warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
l. Baik saudara laki-laki atau saudara perempuan yang berjumlah lebih dari
dua orang, mereka mewaris bersama-sama mendapat 1/3 bagian jika
pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
m. Pelaksanaan pembagian harta warisan sesudah dibayarkan wasiat dan
utang-utang pewaris161.
2) Ashabah
Kelompok ahli waris asabah adalah ahli waris yang tidak ditentukan
bagiannya, kadangkala mendapat bagian sisa harta setelah diambil alih oleh
ahli waris yang mempunyai bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an
dan hadits. Kelompok ahli waris asabah terbagi atas 3 tingkatan antara lain 162:
a. Ashabah bin-nafsi, yaitu kelompok ahli waris yang berhak menerima
seluruh harta warisan atau sisa harta dengan sendirinya tanpa dukungan
ahli waris yang lain. Kelompok ini terdiri dari laki-laki dengan urutan
sebagai berikut:
161
162
Ibid, hal 90-92
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 254
Universitas Sumatera Utara
81
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki (dari garis laki-laki)
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara kandung laki-laki
f) Saudara laki-laki se-ayah
g) Anak laki-laki dari saudara kandung
h) Anak saudara laki-lai se-ayah
i) Paman kandung
j) Paman se-ayah
k) Anak laki-laki paman kandung
l) Anak laki-laki paman se-ayah163
b. Ashabah bil Ghair , yaitu ahli waris yang mulanya bukan ahli waris asabah
karena dia perempuan, tetapi karena didampingi ahli waris laki-laki, dia
menjadi ashabah164. Adapun ahli waris yang termasuk kelompok ini
adalah:
a) Anak perempuan apabila bersama dengan anak laki-laki
b) Cucu perempuan bila bersama cucu laki-laki
c) Saudara perempan sekandung bila bersama saudara laki-laki
sekandung
d) Saudara perempuan se-ayah bila bersama saudara laki-laki seayah165
c. Ashabah ma’al Ghair, yaitu ahli waris yang semula tidak termasuk
kelompok ashabah, namun karena ahli waris tertentu bersamanya yang
juga
tidak
termasuk
kelompok
asabah,
sedangkan
orang
yang
menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah. Yang
163
Ibid, hal 255
Harijah Damis, Op. Cit, hal 103
165
Ibid
164
Universitas Sumatera Utara
82
termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan sekandung atau se-ayah
apabila bersama dengan anak perempuan.
Ashabah ma’al Ghair ini hanya ada dua, yang berasal dari ash-habul
furudh, yakni sebagai berikut :
1) Seseorang saudara perempuan kandung atau lebih, yang ada bersama
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki , atau ada
bersama mereka berdua.
2) Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih yang ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau ada bersama
mereka berdua166.
B. Pelaksanaan Waris Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau
Menurut Hukum Adat, pewarisan merupakan suatu proses peralihan atau
pengoperan harta warisan dari pewaris kepala ahli waris. Proses pewarisan ini dapat
terjadi pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi pada waktu
orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu dimulai pada waktu
orang tua (pewaris) masih hidup dengan cara pemberian dan kemudian apabila masih
ada sisa harta yang belum diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia.
166
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 266
Universitas Sumatera Utara
83
Menurut masyarakat Sakai, pewarisan merupakan berpindahnya kepemilikan
harta bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan pemberian orang tua yang sudah
meninggal dunia kepada keturunannya yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan
hidup keturunan yang ditinggalkan167.
Tabel 5
Sistem Pewarisan
No
Sistem Pewarisan
Responden
n = 15
1
Hukum Waris Islam (faraidh)
15
2
Hukum Waris Adat
0
Jumlah
15
Dari tabel diatas seluruh responden yang tersebar di Kecamatan Mandau
memilih Hukum waris Islam dalam melakukan pembagian warisannya. Dapat terlihat
bahwa masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau khususnya responden sudah mulai
meletakkan Hukum Islam diatas Hukum Adat, khususnya masalah kewarisan.
Tabel 6
Alasan Pemilihan Sistem Pewarisan
No
1
2
3
Alasan pemilihan sistem pewarisan
Hukum Islam telah jelas mengaturnya dan pembagiannya adil
Hukum Adat karena mengikuti kebiasaan yang telah ada
sebelumnya
Hukum Islam mengikuti amanat dari pewaris
Jumlah
167
Responden
n =15
13
0
2
15
Hasil wawancara dengan Muslim, Masyarakat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
84
Alasan pemilihan sistem pewaris yang ditanyakan kepada responden terlihat
pada tabel diatas yaitu 13 orang responden memilih Hukum Islam telah jelas
mengaturnya dan dirasakan adil oleh para ahli waris. Disamping itu adapun alasan
lain yaitu 2 orang responden memilih Hukum Islam sebagai sistem pewarisannya
dikarenakan mengikuti amanat dari pewaris itu sendiri yang menginginkan bahwa
harta warisannya harus dibagikan secara waris Islam. Responden menolak untuk
menggunakan sistem waris adat, karena menurut responden Hukum Islam adalah
Hukum yang digunakan untuk mengatur masalah pembagian warisan untuk
masyarakat Sakai yang beragama Islam, dengan mengenyampingkan Hukum adat.
Tabel 7
Bagian Ahli Waris
No
Bagian yang diperoleh oleh Ahli Waris
Responden
n = 15
1
2:1
10
2
1:1
5
Jumlah
15
Dalam pembagian warisan yang dilakukan pewaris, 10 responden mendapat
bagian waris 2:1 sesuai dengan hukum waris islam yaitu laki-laki mendapat 2 bagian
sedangkan perempuan mendapat 1 bagian. Sebagaimana yang tertuang dalam Al
Qur’an Surat An Nisaa ayat 11 yang artinya Allah mensyari'atkan bagimu tentang
Universitas Sumatera Utara
85
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Sedangkan sisanya 5 orang responden memilih 1:1 hal ini karena
menurut responden terasa lebih adil dan disetujui oleh para ahli waris lainnya 168.
Responden merasa tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
dalam kedudukan ahli waris, karena menurut pendapat responden, anak-anak pewaris
maupun laki-laki dan perempuan sama-sama ikut merawat orang tuanya ketika sakit
serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sehingga cukup adil dengan
pembagian warisan 1:1 untuk anak laki-laki dan perempuan.
168
Hasil wawancara dengan Nurlela, Masyarakat Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agutsus
2015
Universitas Sumatera Utara
86
Tabel 8
Jenis Harta Yang Diwariskan
No
Jenis Harta Warisan
Responden
n = 15
1
Ladang
6
2
Rumah
4
3
Emas
2
4
Sepeda Motor
3
Jumlah
15
Ada beberapa jenis harta warisan yang didapatkan oleh responden, yaitu 6
orang responden mendapat ladang sebagai warisan yang diterima dari pewaris dan 4
orang responden mendapat rumah sebagai warisan yang diterima dari pewaris,
sedangkan 5 orang responden lain menerima emas maupun sepeda motor sebagai
warisan yang diterima dari pewaris. Pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau,
khususnya para responden, melakukan pembagian warisan berupa barang maupun
benda baik bergerak maupun tidak bergerak, masyarakat Sakai tidak mengerti tentang
Boedel warisan yang terdapat pada sistem Hukum waris Islam maupun sistem waris
Perdata. Ini dikarenakan tidak adanya penyuluhan dari Pengadilan Agama setempat
tentang sistem waris Hukum Islam kepada masyarakat Sakai di kecamatan Mandau,
sehingga masyarakat Mandau khususnya responden tidak mengerti tentang boedel
warisan itu sendiri. Penyebab lain pembagian waris berbentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak adalah mengikuti kebiasaan dari leluhur masyarakat Sakai itu sendiri,
sehingga untuk keturunan selanjutnya, pembagian warisan dengan bentuk benda
Universitas Sumatera Utara
87
bergerak maupun tidak bergerak menjadi pedoman dalam bentuk warisan yang
dibagikan oleh masyarakat Sakai.
Tabel 9
Keberadaan Harta Pusako dalam Warisan
No
Keberadaan Harta Pusako dalam warisan
Responden
n = 15
1
Ada
6
2
Tidak
9
Jumlah
15
Dari 15 orang responden yang mengisi kuesioner ada 6 responden yang
mempunyai Harta Pusako dalam warisannya. Sedangkan 9 orang responden lainnya
tidak mempunyai Harta Pusako dalam warisannya. Harta pusako yang masuk ke
dalam warisan responden adalah keris dan konjouw yang diwarisi oleh kemanakan
laki-laki pewaris. Harta pusako tersebut masih di wariskan secara adat oleh sebagian
responden yang dalam warisannya masih terdapat harta pusako.
Tabel 10
Pemisahan Harta Pusako dan Harta Pencaharian
Dalam Pembagian Waris
No
pemisahan harta pusako dan harta
Responden
pencahariaan dalam pembagian waris
n = 15
1
Setuju
13
2
Tidak Setuju
0
3
Tidak Tahu
2
Jumlah
15
Universitas Sumatera Utara
88
13 orang responden menyetujui adanya pemisahan antara harta pusako dan
harta pencahariaan dalam pembagian warisannya, karena responden masih
menghormati adat istiadat dari nenek moyang mereka, serta menjaga kelestarian adat
untuk keturunan mereka kelak169. Walaupun responden menganut agama Islam dan
menggunakan sistem waris Islam, tetapi responden masih ingin melestarikan adatnya,
salah satu cara yang digunakan adalah masih mengikuti sistem pewarisan harta
pusako untuk kemanakan laki-laki pewaris, dengan harapan harta pusako tersebut
nantinya akan tetap diturunkan secara adat. Disamping itu responden merasa
pewarisan Harta Pusako dapat mempererat tali silaturahmi dengan kerabat.
Sementara 2 orang responden menyatakan tidak tahu dan tidak peduli dengan
pemisahan harta pusako dengan harta pencaharian. Alasan responden adalah Harta
Pusako hanyalah bersifat simbolik, sehingga responden merasa dilakukan atau tidak
dilakukannya pewarisan Harta Pusako bukanlah suatu masalah.
Tabel 11
Sengketa Waris dalam Pembagian harta warisan
No
Sengketa waris dalam pembagian harta
Responden
warisan
n = 15
1
Tidak terjadi Sengketa
10
2
Sengketa
5
Jumlah
169
15
Hasil wawancara dengan Sutarman, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
89
Hukum waris yang responden gunakan menunjukkan bahwa 10 orang
responden menyatakan bahwa hukum waris yang digunakan dalam pembagian waris
berlangsung secara damai, tanpa sengketa dan mencapai kesepakatan. Para ahli waris
merasa puas dan menerima bagiannya masing-masing, karena menurut para ahli waris
pembagian sudah mengikuti sistem waris Islam, sehingga apa yang sudah ditentukan
oleh Al-Quran sudah tentu benar bagian dan pelaksanaanya 170. Sedangkan untuk 5
orang responden menyatakan bahwa hukum waris islam yang digunakan tidak
mencapai sepakat sehingga menyebabkan adanya sengketa dan harus melakukan
musyawarah secara kekeluargaan untuk memecahkan perselisihan antara ahli waris
sampai tercapai kata sepakat. Perselisihan yang terjadi diantara para ahli waris
biasanya dikarenakan salah satu ahli waris tidak puas dengan bagiannya dan meminta
bagian lebih171. Maka perselisihan akan di selesaikan dengan cara yang disepakati
bersama oleh para ahli waris tersebut.
Kesadaran masyarakat Sakai di kecamatan Mandau terhadap kewarisan dapat
dikategorikan cukup. Responden yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa para responden memiliki kesadaran yang cukup dalam melaksanakan
pembagian warisan, baik secara Islam maupun secara musyawarah kekeluargaan.
Responden yang dipilih dalam penelitian beragama Islam yang telah
melaksanakan waris dengan sistem waris Islam, akan tetapi ada sebagian responden
yang membagikan harta warisan sesuai dengan aturan yang telah hidup dalam
170
Hasil wawancara dengan M. Yatim, Ketua Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agustus
171
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
2015
Universitas Sumatera Utara
90
lingkungan adat masyarakat Sakai muslim, dimana aturan tersebut dianggap baku
oleh sebagian masyarakat Sakai muslim di Kecamatan Mandau.
Responden yang memilih sistem waris Islam dalam melaksanakan pembagian
warisan memandang bahwa hukum Islam telas cukup jelas mengatur masalah
kewarisan dalam Al Quran. Responden yang masih menggunakan pembagian warisan
sesuai kewarisan adat mengemukakan alasan menghargai dan melestarikan adat
kebiasaan yang telah ada.
Melalui wawancara yang telah dilakukan, para responden telah mengetahui
adanya perbedaan diantara sistem waris Islam dengan sistem waris adat Sakai,
dimana terjadi perbedaan antara ahli waris yang diatur dalam Al Quran dengan ahli
waris menurut adat Sakai itu sendiri. Akan tetapi untuk pembagian harta warisan,
para responden yang dalam hal ini menggunakan sistem waris Islam tidak seluruhnya
melaksanaan pembagian harta warisan dengan bagian yang telah ditentukan oleh AlQuran. Sebagian dari responden tetap mengikuti pembagian harta warisan secara
adat.
Sikap responden yang memilih hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum
yang mengatur masalah waris tidak menunjukkan sikap yang konsisten, karena fakta
yang ditemukan adanya pertentangan antara pilihan dengan sikap responden itu
sendiri. Para responden sebagai masyarakat muslim seharusnya memahami dengan
benar tentang hukum kewarisan Islam dan tunduk kepada sistem hukum waris Islam.
Hal ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
91
Sakai muslim terhadap sistem waris Islam itu sendiri. Masyarakat Sakai muslim
umumnya hanya mengetahui ahli waris yang diatur dalam hukum Islam sedangkan
untuk pembagian warisan, masyarakat Sakai muslim masih bertumpu kepada
pembagian secara adat.
Fakta yang ditemukan dari hasil penelitian ini bahwa masyarakat Sakai
muslim di Kecamatan Mandau menganut dualisme hukum kewarisan. Di satu pihak
ada sebagian responden yang benar-benar menggunakan sistem waris Islam dan ada
yang menggunakan sistem pewarisan yang telah hidup di lingkungan masyarakat
Sakai muslim, yang telah dianggap baku oleh sebagian masyarakat Sakai muslim.
Terjadinya dualisme hukum kewarisan ini menyebabkan terbukanya peluang
terjadinya penyimpangan pelaksanaan Hukum kewarisan Islam yaitu tidak
terlaksananya hukum sistem kewarisan Islam dengan sempurna.
Dualisme sistem pewarisan dapat dilihat dari porsi pembagian harta warisan,
yaitu disatu pihak anak laki-laki mendapat dua bagian harta warisan, sedangkan untuk
anak perempuan mendapat satu bagian sesuai yang telah diatur dalam Al Quran,
sedangkan di pihak lain ditemukan bahwa warisan seorang anak laki-laki sama
dengan bagian warisan seorang anak perempuan172.
Pelaksanaan pembagian warisan tidak dilakukan secara menyeluruh oleh
masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau. Salah satu penyebab tidak terlaksananya
pembagian warisan pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau adalah pewaris
172
Hasil wawancara dengan M. Yatim, Ketua Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agustus
2015
Universitas Sumatera Utara
92
meninggalkan harta warisan yang sedikit, yang jika dilakukan pembagian, maka
bagian yang didapatkan oleh ahli waris tidaklah seberapa, sehingga para ahli waris
sepakat untuk menggunakan harta warisan tersebut secara bersama-sama173. Alasan
lain tidak terlaksananya pembagian warisan pada sebagian masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau karena para ahli waris ingin menjaga tali silaturahmi sehingga
para ahli waris memutuskan untuk tidak membagi harta warisan orang tuanya, karena
menurut para ahli waris tersebut pembagian warisan dapat menimbulkan sengketa
yang dapat merusak tali silaturahmi174, sehingga para ahli waris sepakat untuk tidak
membagi warisan tersebut dan menggunakan harta warisan itu bersama-sama.
C. Proses Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Sakai
Proses pewarisan adat merupakan suatu perbuatan para ahli waris secara
bersama-sama, diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama
daripada para ahli waris. Dalam proses pewarisan, harta dibagi-bagi antara para ahli
waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, didalam suasana ramah
tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.
Hukum adat tidak menetapkan sistem atau cara tertentu dalam hal pembagian
harta warisan, karena bisa dilaksanakan secara tulisan atau lisan 175. Pembagian harta
warisan ini dalam masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ini dipakai sistem
pewarisan kombinasi antara sistem individual dengan sistem kolektif, harta warisan
173
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
175
Ibid, hal 181
174
Universitas Sumatera Utara
93
yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli warisnya ini merupakan milik perorangan,
sedangkan terhadap harta warisan yang tak terbagi-bagikan ini merupakan milik
bersama.
Dalam adat Sakai harta warisan si mati yang merupakan kepala keluarga
diberikan seluruhnya kepada kemanakannya. Harta warisan yang mutlak seluruhnya
harus diberikan kepada kemanakan si mati dinamakan “pusako” (harta pusaka) yang
terdiri atas senjata perhiasan, dan peralatan berharga lainnya.
Orang Sakai pada dasarnya menganut prinsip pembagian warisan harta pusaka
secara matrilineal, dimana hubungan mamak-kemanakan yang pada dasarnya adalah
prinsip hubungan matrilineal melalui garis ibu menjadi prinsip hubungan langsung
laki-laki dengan laki-laki. Setelah kemerdekaan Indonesia bila si mati adalah kepala
keluarga (suami), maka separuh warisan dari si mati diberikan kepada kemanakan
laki-laki dari saudara kandung perempuan, dan separuhnya lagi diberikan kepada
anak-anak kandungnya. Warisan yang terutama harus dibagi dua tersebut dinamakan
“pusako”. Hal yang sama juga berlaku bagi “ pusako” yang dimiliki istri yang
meninggal. Sedangkan hak atas ladang yang sedang dikerjakan adalah hak anak-anak
kandung dan istri.
Proses pewarisan menurut Hukum adat melalui dua tahap yaitu tahap
regenerasi harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup dan tahap regenerasi harta
kekayaan pada waktu pewaris sudah meninggal dunia. Prinsip tahap regenerasi inilah
yang merupakan ciri pokok yang essensial dalam Hukum waris adat.
Universitas Sumatera Utara
94
Timbulnya dua tahap regenerasi ini terjadi karena harta keluarga yang terdiri
dari harta asal suami, harta sal isteri dan harta bersama merupakan dasar materiil bagi
kehidupan keluarga. Harta itu yang nantinya akan disediakan pula unrtuk dasar
materil bagi kehidupan keturunan keluarga itu. Oleh karena itu keturunan (anak)
merupakan hal penting dalam kehidupan keluarga dan merupakan salah satu tujuan
utama dalam perkawinan, yaitu untuk meneruskan keturunan, sehingga kematian
pewaris tidak begitu berpengaruh pada peralihan dan pengoperan harta warisan. Oleh
karena itu pada masyarakat yang warganya beragama Islam, seharusnya proses
pewarisan yang pada masyarakat tersebut adalah tahap regenerasi harta warisan
setelah pewaris meninggal dunia. Namun pada kenyataannya yang terjadi pada
masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ada beberapa responden yang menyatakan
proses pewarisan berlangsung pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup.
Selanjutnya untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Pembagian harta warisan masyarakat Sakai dilakukan para ahli waris
bersama-sama, dengan diselenggarakan secara mufakat atau atas kehendak bersama
dari para ahli waris176. Proses pembagian harta warisan yang dibagi antara para ahli
waris biasanya berjalan secara rukun dan bersifat kekeluargaan.
Pada dasarnya pembagian harta warisan masyarakat Sakai menganut sistem
individual dan kolektif, sistem individual yang dimaksud adalah bahwa harta warisan
itu akan dibagikan pemiliknya dan penguasaannya kepada masing-masing ahli waris
176
Hasil wawancara dengan Rahmat, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
95
sebagai bagian yang ia terima dari haknya sebagai ahli waris. Harta warisan yang
dapat dibagikan secara individual adalah semua harta peninggalan pewaris, kecuali
harta pusako yang sifat atau fungsinya tidak terbagi. Terhadap harta pusako itu tetap
dimiliki secara bersama-sama diantara para ahli waris. Harta yang menurut sifatnya
tidak terbagi itu adalah harta pusako yang mempunyai kekuatan magis, seperti keris,
tombak, pedang dan benda pusaka lain. Sedangkan harta pusako yang menurut
fungsinya tidak dapat dibagi adalah rumah asal atau rumah pusaka yang disertai
dengan sebidang kebun atau sebidang sawah. Adapun latar belakang dari harta
tersebut tidak dibagi menurut fungsinya, fungsi dari rumah adat itu adalah sebagai
tempat para kerabat berkumpul dan musyawarah untuk membicarakan kepentingan
para kerabat yang bersangkutan, sedangkan fungsi kebun dan sawah yang menyertai
rumah pusaka itu adalah sebagai lahan cadangan untuk lapangan penghidupan bagi
kerabat pewaris, jika sewaktu-waktu usahanya mengalami kemunduran, maka lahan
cadangan tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh kerabat pewaris.
Proses pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sakai
di Kecamatan Mandau adalah sebagai berikut :
1. Proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia
Pewarisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia dilakukan oleh
karena pewaris ingin melakukan secara langsung pembagian hartanya untuk
keturunannya sehingga pewaris dapat berlaku adil kepada para ahli warisnya 177.
177
Hasil wawancara dengan dengan Hermanto, Masyarakat Desa Bumbung, Tanggal 01
Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
96
Proses pewarisan dilakukan secara kekeluargaan yang hanya dihadiri oleh pewaris
dan ahli waris.
2. Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia
Sama halnya dengan Hukum waris Islam yang menganut asas akibat kematian
semata yang menyatakan bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang
lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup, begitu pula
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau. Proses
pewarisan setelah pewaris meninggal dunia dilakukan secara kekeluargaan dan
dihadiri oleh ninik mamak soko dan para ahli waris untuk membagi harta warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris.
Pertama sekali yang dibicarakan adalah semua biaya yang dikeluarkan mulai
dari pewaris meninggal, biaya penguburan, hutang, dan biaya pengobatan bila yang
meninggal terserang penyakit sebelumnya. Biaya-biaya tersebut menjasi tanggung
jawab ahli waris sepenuhnya, dan pembayarannya dapat dilakukan dengn menjual
harta warisan. Apabila haarta warisan yang ada tidak cukup untuk membayar hutang
tersebut, maka hutang itu menjadi tanggung jawab ahli waris khususnya anak tertua
dari pewaris.
Mengenai porsi bagian yang diterima ahli waris dalam pembagian harta
warisan pada masyarakat Sakai, sulit dihitung jumlahnya dengan rupiah, karena
perhitungan pembagian warisan adalah berdasarkan jumlah bendanya, bukan harga
Universitas Sumatera Utara
97
bendaanya. Hal ini disebabkan karena adanya kebiasaan turun temurun tentang sistem
pewarisan ini, yaitu membagi warisan secara jumlah bendanya bukan secara harga
bendanya dan seluruh masyarakat Sakai masih menggunakan sistem pembagian waris
ini.
Adapun pembagian waris yang dilakukan di Kecamatan Mandau sebagai
berikut :
Tabel 12
Proses Pembagian Waris
No
Proses Pembagian Waris
Responden
n =15
1
Sebelum Pewaris meninggal dunia
7
2
Setelah pewaris meninggal dunia
3
3
Sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia
5
Jumlah
15
Sebanyak 7 orang responden melakukan pembagian waris sebelum pewaris
meninggal dunia. Alasan pewaris membagikan warisannya sebelum pewaris
meninggal dunia salah satunya adalah menghindari resiko timbulnya perselisihan
diantara para ahli waris yang dapat menimbulkan putusnya hubungan kekeluargaan di
kemudian hari. Pembagian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia yang
dilakukan oleh pewaris sendiri adalah cara yang paling dominan dilakukan.
Sementara 3 orang responden melakukan pewarisan setelah pewaris meninggal dunia,
hal ini disebabkan karena dan sisanya 5 orang responden melakukan pewarisan
sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia. Pewarisan yang dilakukan sebelum
Universitas Sumatera Utara
98
dan sesudah warisan maksudnya adalah sebagian warisan telah dibagi ketika pewaris
masih hidup, sementara sisanya dibagi setelah pewaris meninggal dunia.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masyarakat Sakai cenderung melakukan
pembagian waris ketika pewaris masih hidup. Menghindari perselisihan adalah salah
satu alasan paling dominan yang mendorong pewaris melakukan pembagian harta
warisan ketika pewaris masih hidup. Dengan melakukan pembagian harta warisan
yang dilakukan sendiri oleh pewaris, maka pewari merasa pembagian telah dilakukan
secara adil. Hal ini terus berlanjut dari waktu ke waktu mengikuti kebiasaan dari
orang tua mereka.
Harta warisan yang ditinggalkan orang tua masyarakat Sakai muslim di lokasi
penelitian disebut dengan istilah harta pusako (harta peninggalan). Harta pusako yaitu
semua harta benda yang diperoleh pewaris baik sebagai warisan, hadiah juga hasil
pencaharian sendiri yang diperoleh sebelum perkawinan, sedangkan harta
pencaharian adalah harta benda yang diperoleh pewaris selama perkawinan. Harta
pusako yang terdapat pada masyarakat Sakai terdiri dari Harta pusako tinggi dan
harta pusako rendah178. Harta pusako tinggi dapat berupa Konjouw, keris, rumah adat
dan gelar batin, yang mana harta pusako tinggi ini masih diwariskan kepada
kemanakan laki-laki si pewaris. Sementara Harta pusako rendah dapat berupa ladang
maupun emas, harta ini dalam prakteknya dapat dibagikan untuk anak/keturunan
pewaris sesuai dengan kesepakatan para ahli waris dan kehendak si pewaris.
178
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT
SAKAI DI KECAMATAN MANDAU
1. Sengketa Harta Warisan diantara para Ahli Waris
Sengketa dalam pembagian warisan diantara para ahli waris timbul
dikarenakan adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan
menuntut bagiannya atas harta warisan. Salah satu faktor yang menyebabkan
sengketa terjadi adalah faktor ekonomi yang merupakan faktor utama dari timbulnya
masalah dalam pembagian warisan.
Sebagai contoh kasus yang pernah terjadi di Desa Petani Kecamatan Mandau
yang diselesaikan secara kekeluargaan dan secara adat kasus yang disengketakan
antara YSF (anak laki-laki) dan NS (anak perempuan)179 sebelum orang tuanya
meninggal, pewaris meninggalkan warisan harta peninggalannya berupa satu bidang
ladang sebuah rumah, emas dan sebuah sepeda motor maka cara pembagiannya
masing-masing saudara YSF mendapat sebidang ladang dan sebuah sepeda motor
sedangkan NS mendapat sebuah rumah dan emas yang ditinggalkan oleh orang
tuanya. Tetapi YSF tidak menerima bagian warisan peninggalan orang tuanya
karena YSF menginginkan sebidang ladang dan sebuah rumah menjadi bagian
warisan untuknya. Sedangkan amanat orang tuanya YSF mendapat sebidang ladang
dan sebuah sepeda motor s
PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT
SAKAI DI KECAMATAN MANDAU
A. Pengertian Hukum Waris Islam
Pengertian waris ialah berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun atau
hak-hak syariyah128. Pendapat lain juga mengemukakan bahwa arti waris dalam
hukum Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti peninggalan-peninggalan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia 129. Hukum waris juga dinamakan
Faraidh yang artinya pembagian tertentu. Lafadz Faraidh merupakan jama’ (bentuk
plural) dari lafadz Faridhah yang mengandung arti Mafrudhah, yang sama artinya
dengan Muqaddarah yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas130.
Sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa definisi yakni
sebagai berikut :131
1. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak
bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima
warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris,
128
Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995, hal. 49
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya, Bandung,
1987, hal 84
130
Amir Syarifudin, Op. Cit., hal 5
131
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris, Senayan Abadi
Publishing, Jakarta Selatan, 2004, hal 12
129
65
Universitas Sumatera Utara
66
dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya,
sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).
2. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait
dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari
harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
3. Disebut juga dengan fiqh al-mawarits dan tata cara menghitung harta waris yang
ditinggalkan.
4. Kaidah-kaidah fiqih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli
waris dari harta peninggalan.
5. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengethaui ahli waris yang
dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.
Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang
dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak
menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara
membaginya. Definisi tersebut menekankan dari segi orang yang mewaris, orang
yang tidak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli
waris, serta cara membagikan warisan kepada ahli waris132.
Adapun sumber-sumber Hukum Ilmu Faraidh adalah Al Qur’an, Hadist Nabi
saw., dan ijma para ulama133.
132
Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal 1
133
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 14
Universitas Sumatera Utara
67
1. Al Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama, Al Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang
memuat tentang Hukum waris. Ketiga ayat tersebut dalam Surat An Nisaa’ yaitu :
1) Surat An Nisaa’ ayat 11 yang mengandung beberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak lakilaki dengan seorang anak perempuan, yaitu 2:1
(2) Mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari
dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan
(3) Mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari
harta peninggalan
(4) Mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seperenam dari harta
peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak
(5) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu
bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai saudara dan anak, maka
perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan
(6) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu
bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak, tetapi mepunyai saudara
maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan
(7) Pelaksaan pembagian harta warisan yang dimaksud sesudah dibayarkan
wasiat dan utang pewaris134.
2) Surat An Nisaa’ ayat 12 yang mengandung beberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Duda karena kematian istri mendapat pembagian seperdua dari harta
peninggalan istrinya kalau istrinya tidak meninggalkan anak
(2) Duda karena kematian istri mendapat pembagian seperempat dari harta
peninggalan istrinya kalau istrinya meninggalkan anak
(3) Janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat harta
suaminya kalau suami meninggalkan anak.
(4) Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah ( kalalah)
sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh seperenam
(5) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah
(kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara-saudara yang jumlahnya
lebih dari dua orang, maka bereka bersekutu atau berbagi sama rata atas
sepertiga dari harta peninggalan
134
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia , Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal 21
Universitas Sumatera Utara
68
(6) Pelaksanaan pembagian harta warisan dilakukan sesudah dibayarkan
wasiat dan utang-utang pewaris
(7) Pembagian wasiat dan pembayaran utang pewaris tidak boleh
mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris135
3) Surat An Nisaa’ ayat 176 yang mengandung ebberapa garis Hukum kewarisan
Islam diantaranya :
(1) Mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenani kalalah) ,
katakanlah bahwa Allah memebri fatwa kepada kamu mengenai arti
kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dinia yang tidak ada baginya
anak atau mawali anaknya
(2) Kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara
perempuan, maka bagi saudara perempuan mendapat bagian seperdua dari
harta peninggalan saudaranya
(3) Kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua
orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka duapertiga
dari harta peninggalan
(4) Kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri
atas laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua bagian saudara perempuan
(5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak
keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila
terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah menegtahu segalanya 136.
2. Sunnah Nabi saw
Ada beberapa hadist yang menerangkan tentang pembagian harta waris
antara lain Ibnu Abbas r. a meriwayatkan bahwa Nabi saw, bersabda :
“berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya,
yang lebih butane adalah orang laki-laki” (HR Bujhari dan Muslim)137
3. Ijma’
Para sahabat tabi’in generasi pascasahabat, dan tabi’it tabi’in, generasi
pasca tabi’in telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada
135
Ibid, hal 24
Ibid, hal 29
137
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 19
136
Universitas Sumatera Utara
69
seorang pun yang menyalahi ijma tersebut 138.
1. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun warismewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut 139 :
1) Harta peninggalan (mauruts)
Harta peninggalan adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit
yang akan dipusakai oleh ahli waris setelah diambil untuk biayabiaya perawatan,
melunasi hutang dan melaksanakan wasiat140. Harta peninggalan yaitu apa-apa
yang ditingalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara mutlak,
yakni segala sesuatu yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun
hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Disamping harta benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun
bukan kebendaan yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak
menarik hasil sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan si mayit, barangbarang yang telah dibeli oleh si mayit sewaktu masih hidup yang telah dibayar,
tapi barangnya sudah diterima dan lain-lain.
2) Pewaris atau orang yang meninggalkan harta benda (Al-muwarrits)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
138
Ibid, hal 20
Rachmad Budiono, Op.Cit, hal 9-10
140
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990, hal 313
139
Universitas Sumatera Utara
70
waris dan harta peninggalan. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan
mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun
pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematian141.
3) Ahli waris (waarist)
Dalam kompilasi Hukum Islam pengertian ahli waris adalah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris142.
1) Anak
Kedudukan anak sebagai ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan
ditentukan bagiannya masing-masihng dalam garis Al Qur’an Surat An Nisaa’
ayat 11143.
2) Ibu – Ayah
Kedudukan orang tua sebagai ahli waris, baik ibu maupun ayah telah
ditentukan bagiannya masing-masing sebagai ahli waris dalam 3 (tiga) garis
hukum Al Qur’an Surat An Nisaa ’ ayat 11144
3) Duda dan Janda
Duda (suami yang istrinya meninggal) dan janda (istri yang suami meninggal)
telah ditentukan bagiannya masing-masing sebagai ahli waris dalam garis Hukum
141
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 46
Ibid, hal 47
143
Ibid
144
Ibid, hal 48
142
Universitas Sumatera Utara
71
Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 12145.
4) Saudara
Seorang saudara baik sendirian maupun bersama beberapa orang saudara telah
ditentukan bagiannya masing-masing sebagai seorang ahli waris dalam hukum
Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 12 dan ayat 17146.
5) Ahli waris pengganti
Seorang anak atau lebih dari seorang, baik laki-laki maupun oerempuan yang
menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris, pewarisnya
ditentikan dalam garis Hukum Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 33 147.
Ketiga rukun di atas berkaitan antara satu dengan yang lainnya, ketiganya
harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, perwarisan tidak mungkin
terjadi manakalah salah satu di antara ketiga unsur di atas tidak ada.
2. Syarat-Syarat Mewarisi Dalam Islam
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki
harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang
ditinggalkannya. Pengertian tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti
kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya atau orang
yang bakal menggantinya tidak berwujud disaat penggantian terjadi. Apalagi diantara
145
Ibid, hal 49
Ibid
147
Ibid, hal 50
146
Universitas Sumatera Utara
72
keduanya terdapat hal-hal yang menjadi sebuah penghalang. Oleh karena karena itu
pusaka mempusakai itu memerlukan syarat-syarat tertentu sebagai berikut 148:
1) Meninggalnya Pewaris
Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti
keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang). Kematian seorang
muwarits itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Mati haqiqy (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berwujud padanya, baik kematian itu disaksikan dengan
pengujian, seperti tatkala sesorang disaksikan meninggal, atau dengan
pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas
kematian seseorang149.
b. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian yang
disebabkan oleh putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis
kematian si mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya,
tidak dikenal domisilinya, dan tidak pula diketahui hidup dan matinya 150
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu kematian yang bukan haqiqi
dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat151.
148
Ali, Mohammad Daud dan Haji, Op. Cit, hal. 322
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 29
150
Ibid, hal 30
151
Ibid
149
Universitas Sumatera Utara
73
2) Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam
kandungan, Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian
muwarrits, baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi
harta peninggalannya.
3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan,
Meskipun dua syarat waris mewarisi itu telah ada pada muwarits dan warrits,
namun
salah
seorang dari
mereka
tidak dapat
mewariskan harta
peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peningalan dari yang
lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang
dapat menjadikan tidak mendapatkannya warisan, yakni: perbudakan,
pembunuhan, perbedaan agama, perbedaan negara.
3. Sebab-sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam
Seseorang dapat mewarisi harta peninggalan pewaris karena 3 (tiga) hal, yaitu
sebab hubungan kerabat atau nasab, perkawinan, wala ’ (memerdekakan budak) dan
hubungan sesama Islam152 :
1) Hubungan Kekerabatan atau Nasab
Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturohim atau kekerabatan
antara keduanya, yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran. Ditinjau
152
Ibid, hal 33
Universitas Sumatera Utara
74
dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang
mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
a. Furu’ yaitu anak turun (cabang) dari si mati.
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia
melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak
turunnya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.
Terkadang, faktor nasab menjadi sebab seseorang dapat mewarisi harta
peninggalan dari dua jalur, seperti anak laki-laki mewarisi bersama ayahnya,
saudara laki-laki mewarisi bersama saudara laki-lakinya153. Faktor nasab pun
dapat menjadi sebab seseorang mewarisi harta peninggalan dari satu jalur seperti
anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah mewarisi bersama saudara
perempuan ayah154.
2) Perkawinan
Yang dimaksud perkawinan disini ialah akad nikah yang sah yang terjadi
diantara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Jika seorang suami
meninggal dunia, maka istrinya atau jandanya mewarisi harta peninggalan
suaminya. Demikian juga sebaliknya jika seorang istri meniggal dunia, maka
153
154
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 35
Ibid
Universitas Sumatera Utara
75
suaminya mewarisi harta istrinya. Menurut Amir Syarifudin, berlakunya
hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan 155:
Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Dalam
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa
perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya. Pasal
tersebut menjelaskan bahwasanya perkawinan orang-orang yang beragama Islam
dianggap sah apabila menurut hukum Islam perkawinan tersebut sah. Pengertian
sah menurut istilah hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan
rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalang. Dengan demikian
nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun
syarat perkawinan serta telah terlepas dari segala halangan perkawinan.
Ketentuan kedua berkenaan dengan hubungan kewarisan disebabkan oleh
hubungan perkawinan ialah bahwa suami dan istri masih terikat dalam tali
perkawinan disaat salah satu pihak meninggal dunia. Seorang perempuan yang
sedang menjalani iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala
akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin karena hubungan kelamin telah
berakhir dengan adanya perceraian. Dengan demikian seorang istri masih bisa
menerima warisan meskipun perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan
masih berada dalam masa iddah.
3) Hubungan Wala’
Wala’ merupakan hubungan hukmiah yaitu suatu hubungan yang ditetapkan
155
Amir Syarifudin, Op. Cit., hal 175-176
Universitas Sumatera Utara
76
oleh hukum Islam karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup
merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Jika
seorang tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang
disebut wala’ul ‘itqi. Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi
ahli waris dari budak yang dimerdekakannya, dengan syarat budak tersebut tidak
mempunyai ahli waris sama sekali baik karena hubungan kekerabatan maupun
karena perkawinan156.
Hubungan wala’ tersebut sebagai imbalan dan sebagai perangsang agar
orang pada waktu itu memerdekakan budak, Rasulullah memberikan hak wala’
kepada yang memerdekakan itu sesuai dengan hadits Nabi yang bunyinya; “Hak
wala’ adalah untuk orang yang memerdekakan”. Akan tetapi, pada masa sekarang
ini sebab kewarisan karena wala' sudah tidak berlaku lagi. Tidak berlakunya
hubungan tersebut dikarenakan pada masa sekarang ini secara umum perbudakan
sudah tidak ada lagi.
4) Hubungan Sesama Islam
Hubungan Islam di sini terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia
tidak memiliki ahli waris, maka harta warisanya itu diserahkan kepada
perbendaharaan umum atau yang disebut baitulmaal yang akan digunakan oleh
umat Islam. Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli
waris itu diwarisi oleh umat islam.
156
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op. Cit, hal 43
Universitas Sumatera Utara
77
4. Halangan Mewarisi atau Hilangnya Hak Waris-Mewarisi Dalam Islam
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun
karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris. Hal-hal yang
menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang
mewarisi adalah sebagai berikut157 :
1) Perbudakan
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang
tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan
kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta
milik tuanya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia
sendiri dan segala harta yang ada padanya adalah milik tuanya.
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris – mewarisi ditinjau dari
dua sisi, yaitu karena budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari ahli
warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab ketika
ia mewarisi harta peninggalan, niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah
tuannya, sedangkan budak tersebut merupakan orang asing yang bukan
anggota keluarganya 158.
2) Pembunuhan
157
Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 75
158
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 52
Universitas Sumatera Utara
78
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain
secara langsung atau tidak langsung. Alasan yang mendasari seseorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh akrena
terkadang, pembunuh memiliki tendensi mempercepat kematian orang yang
akan mewariskan, sehingga dia dapat mewarisi harta peninggalannya 159.
Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya menjadi
penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
Berdasarkan hadist nabi: “Barang siapa membunuh seorang korban maka ia
tidak dapat mewarisnya, walaupun si korban tidak mempunyai ahli waris
selain dirinya daninya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya maka
tidak ada hak mewarisi bagi pembunuhnya”. (HR. Imam Ahmad)
3) Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.
Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan agama Islam)
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi harta peninggalan
keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak
kejahatan besar yang telah memutuskan syariat Islam, sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 217: “Barang siapa yang murtad di antara
159
Ibid, hal 57
Universitas Sumatera Utara
79
kamu dari agamanya lalu dia mati dalam keadaan kekafiran maka mereka
itulah yang sia-sia amalanya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya”.
4) Berlainan Negara
Ciri-ciri negara adalah mempunyai kepala negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud
berlainan negara adalah berlainan unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga
kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya,
berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.
5. Golongan Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris dari segi haknya dapat digolongkan menjadi :
1) Dzawil Furud
Dzawil Furud adalah ahli waris yang mendapatkan bagian yang telah
ditetapkan secara jelas dan pasti serta telah ditetapkan bagiannya masingmasing ahli waris160. Ahli waris yang telah ditentukan bagiannya dalam alQur‟an diantaranya terdapat dalam surat An-Nisaa ayat 11. Ayat ini
mengandung beberapa garis kewarisan Islam antara lain:
a. Perolehan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,
yaitu dua berbanding satu (2:1)
b. Perolehan dua orang anak perempuan atau lebih, mereka mendapat 2/3
dari harta peninggalan.
160
Harijah Damis, Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai, Al-Itqon, Jakarta,
2012, hal 90
Universitas Sumatera Utara
80
c. Perolehan seorang anak perempuan, yaitu ½ dari harta peninggalan.
d. Perolehan ibu dan bapak, masing-masing mendapat 1/6 dari harta
warisan jika pewaris memiliki anak.
e. Besarnya perolehan ibu jika pewaris tidak memiliki anak dan saudara
adalah 1/3 dari harta warisan.
f. Besarnya bagian ibu jika pewaris tidak mempunyai anak, tetapi
memiliki saudara maka perolehan ibu adalah 1/6 dari harta warisan.
g. Suami mendapat ½ bagian dari harta peniggalan istrinya, jika istri tidak
mempunyai anak.
h. Suami memperoleh ¼ bagian dari harta warisan jika istri memiliki anak.
i. Istri memperoleh ¼ bagian dari harta peninggalan suami jika suami tidak
memiliki anak
j. Istri memperoleh 1/8 bagian dari harta peninggalan suami jika suami
memiliki anak
k. Saudara perempuan atau saudara laki-laki masing-masing memperoleh 1/6
dari harta warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
l. Baik saudara laki-laki atau saudara perempuan yang berjumlah lebih dari
dua orang, mereka mewaris bersama-sama mendapat 1/3 bagian jika
pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
m. Pelaksanaan pembagian harta warisan sesudah dibayarkan wasiat dan
utang-utang pewaris161.
2) Ashabah
Kelompok ahli waris asabah adalah ahli waris yang tidak ditentukan
bagiannya, kadangkala mendapat bagian sisa harta setelah diambil alih oleh
ahli waris yang mempunyai bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an
dan hadits. Kelompok ahli waris asabah terbagi atas 3 tingkatan antara lain 162:
a. Ashabah bin-nafsi, yaitu kelompok ahli waris yang berhak menerima
seluruh harta warisan atau sisa harta dengan sendirinya tanpa dukungan
ahli waris yang lain. Kelompok ini terdiri dari laki-laki dengan urutan
sebagai berikut:
161
162
Ibid, hal 90-92
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 254
Universitas Sumatera Utara
81
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki (dari garis laki-laki)
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara kandung laki-laki
f) Saudara laki-laki se-ayah
g) Anak laki-laki dari saudara kandung
h) Anak saudara laki-lai se-ayah
i) Paman kandung
j) Paman se-ayah
k) Anak laki-laki paman kandung
l) Anak laki-laki paman se-ayah163
b. Ashabah bil Ghair , yaitu ahli waris yang mulanya bukan ahli waris asabah
karena dia perempuan, tetapi karena didampingi ahli waris laki-laki, dia
menjadi ashabah164. Adapun ahli waris yang termasuk kelompok ini
adalah:
a) Anak perempuan apabila bersama dengan anak laki-laki
b) Cucu perempuan bila bersama cucu laki-laki
c) Saudara perempan sekandung bila bersama saudara laki-laki
sekandung
d) Saudara perempuan se-ayah bila bersama saudara laki-laki seayah165
c. Ashabah ma’al Ghair, yaitu ahli waris yang semula tidak termasuk
kelompok ashabah, namun karena ahli waris tertentu bersamanya yang
juga
tidak
termasuk
kelompok
asabah,
sedangkan
orang
yang
menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah. Yang
163
Ibid, hal 255
Harijah Damis, Op. Cit, hal 103
165
Ibid
164
Universitas Sumatera Utara
82
termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan sekandung atau se-ayah
apabila bersama dengan anak perempuan.
Ashabah ma’al Ghair ini hanya ada dua, yang berasal dari ash-habul
furudh, yakni sebagai berikut :
1) Seseorang saudara perempuan kandung atau lebih, yang ada bersama
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki , atau ada
bersama mereka berdua.
2) Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih yang ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau ada bersama
mereka berdua166.
B. Pelaksanaan Waris Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau
Menurut Hukum Adat, pewarisan merupakan suatu proses peralihan atau
pengoperan harta warisan dari pewaris kepala ahli waris. Proses pewarisan ini dapat
terjadi pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup atau dapat pula terjadi pada waktu
orang tua (pewaris) sudah meninggal dunia. Proses pewarisan itu dimulai pada waktu
orang tua (pewaris) masih hidup dengan cara pemberian dan kemudian apabila masih
ada sisa harta yang belum diberikan, dilanjutkan setelah pewaris meninggal dunia.
166
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hal 266
Universitas Sumatera Utara
83
Menurut masyarakat Sakai, pewarisan merupakan berpindahnya kepemilikan
harta bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan pemberian orang tua yang sudah
meninggal dunia kepada keturunannya yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan
hidup keturunan yang ditinggalkan167.
Tabel 5
Sistem Pewarisan
No
Sistem Pewarisan
Responden
n = 15
1
Hukum Waris Islam (faraidh)
15
2
Hukum Waris Adat
0
Jumlah
15
Dari tabel diatas seluruh responden yang tersebar di Kecamatan Mandau
memilih Hukum waris Islam dalam melakukan pembagian warisannya. Dapat terlihat
bahwa masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau khususnya responden sudah mulai
meletakkan Hukum Islam diatas Hukum Adat, khususnya masalah kewarisan.
Tabel 6
Alasan Pemilihan Sistem Pewarisan
No
1
2
3
Alasan pemilihan sistem pewarisan
Hukum Islam telah jelas mengaturnya dan pembagiannya adil
Hukum Adat karena mengikuti kebiasaan yang telah ada
sebelumnya
Hukum Islam mengikuti amanat dari pewaris
Jumlah
167
Responden
n =15
13
0
2
15
Hasil wawancara dengan Muslim, Masyarakat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
84
Alasan pemilihan sistem pewaris yang ditanyakan kepada responden terlihat
pada tabel diatas yaitu 13 orang responden memilih Hukum Islam telah jelas
mengaturnya dan dirasakan adil oleh para ahli waris. Disamping itu adapun alasan
lain yaitu 2 orang responden memilih Hukum Islam sebagai sistem pewarisannya
dikarenakan mengikuti amanat dari pewaris itu sendiri yang menginginkan bahwa
harta warisannya harus dibagikan secara waris Islam. Responden menolak untuk
menggunakan sistem waris adat, karena menurut responden Hukum Islam adalah
Hukum yang digunakan untuk mengatur masalah pembagian warisan untuk
masyarakat Sakai yang beragama Islam, dengan mengenyampingkan Hukum adat.
Tabel 7
Bagian Ahli Waris
No
Bagian yang diperoleh oleh Ahli Waris
Responden
n = 15
1
2:1
10
2
1:1
5
Jumlah
15
Dalam pembagian warisan yang dilakukan pewaris, 10 responden mendapat
bagian waris 2:1 sesuai dengan hukum waris islam yaitu laki-laki mendapat 2 bagian
sedangkan perempuan mendapat 1 bagian. Sebagaimana yang tertuang dalam Al
Qur’an Surat An Nisaa ayat 11 yang artinya Allah mensyari'atkan bagimu tentang
Universitas Sumatera Utara
85
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Sedangkan sisanya 5 orang responden memilih 1:1 hal ini karena
menurut responden terasa lebih adil dan disetujui oleh para ahli waris lainnya 168.
Responden merasa tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
dalam kedudukan ahli waris, karena menurut pendapat responden, anak-anak pewaris
maupun laki-laki dan perempuan sama-sama ikut merawat orang tuanya ketika sakit
serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sehingga cukup adil dengan
pembagian warisan 1:1 untuk anak laki-laki dan perempuan.
168
Hasil wawancara dengan Nurlela, Masyarakat Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agutsus
2015
Universitas Sumatera Utara
86
Tabel 8
Jenis Harta Yang Diwariskan
No
Jenis Harta Warisan
Responden
n = 15
1
Ladang
6
2
Rumah
4
3
Emas
2
4
Sepeda Motor
3
Jumlah
15
Ada beberapa jenis harta warisan yang didapatkan oleh responden, yaitu 6
orang responden mendapat ladang sebagai warisan yang diterima dari pewaris dan 4
orang responden mendapat rumah sebagai warisan yang diterima dari pewaris,
sedangkan 5 orang responden lain menerima emas maupun sepeda motor sebagai
warisan yang diterima dari pewaris. Pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau,
khususnya para responden, melakukan pembagian warisan berupa barang maupun
benda baik bergerak maupun tidak bergerak, masyarakat Sakai tidak mengerti tentang
Boedel warisan yang terdapat pada sistem Hukum waris Islam maupun sistem waris
Perdata. Ini dikarenakan tidak adanya penyuluhan dari Pengadilan Agama setempat
tentang sistem waris Hukum Islam kepada masyarakat Sakai di kecamatan Mandau,
sehingga masyarakat Mandau khususnya responden tidak mengerti tentang boedel
warisan itu sendiri. Penyebab lain pembagian waris berbentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak adalah mengikuti kebiasaan dari leluhur masyarakat Sakai itu sendiri,
sehingga untuk keturunan selanjutnya, pembagian warisan dengan bentuk benda
Universitas Sumatera Utara
87
bergerak maupun tidak bergerak menjadi pedoman dalam bentuk warisan yang
dibagikan oleh masyarakat Sakai.
Tabel 9
Keberadaan Harta Pusako dalam Warisan
No
Keberadaan Harta Pusako dalam warisan
Responden
n = 15
1
Ada
6
2
Tidak
9
Jumlah
15
Dari 15 orang responden yang mengisi kuesioner ada 6 responden yang
mempunyai Harta Pusako dalam warisannya. Sedangkan 9 orang responden lainnya
tidak mempunyai Harta Pusako dalam warisannya. Harta pusako yang masuk ke
dalam warisan responden adalah keris dan konjouw yang diwarisi oleh kemanakan
laki-laki pewaris. Harta pusako tersebut masih di wariskan secara adat oleh sebagian
responden yang dalam warisannya masih terdapat harta pusako.
Tabel 10
Pemisahan Harta Pusako dan Harta Pencaharian
Dalam Pembagian Waris
No
pemisahan harta pusako dan harta
Responden
pencahariaan dalam pembagian waris
n = 15
1
Setuju
13
2
Tidak Setuju
0
3
Tidak Tahu
2
Jumlah
15
Universitas Sumatera Utara
88
13 orang responden menyetujui adanya pemisahan antara harta pusako dan
harta pencahariaan dalam pembagian warisannya, karena responden masih
menghormati adat istiadat dari nenek moyang mereka, serta menjaga kelestarian adat
untuk keturunan mereka kelak169. Walaupun responden menganut agama Islam dan
menggunakan sistem waris Islam, tetapi responden masih ingin melestarikan adatnya,
salah satu cara yang digunakan adalah masih mengikuti sistem pewarisan harta
pusako untuk kemanakan laki-laki pewaris, dengan harapan harta pusako tersebut
nantinya akan tetap diturunkan secara adat. Disamping itu responden merasa
pewarisan Harta Pusako dapat mempererat tali silaturahmi dengan kerabat.
Sementara 2 orang responden menyatakan tidak tahu dan tidak peduli dengan
pemisahan harta pusako dengan harta pencaharian. Alasan responden adalah Harta
Pusako hanyalah bersifat simbolik, sehingga responden merasa dilakukan atau tidak
dilakukannya pewarisan Harta Pusako bukanlah suatu masalah.
Tabel 11
Sengketa Waris dalam Pembagian harta warisan
No
Sengketa waris dalam pembagian harta
Responden
warisan
n = 15
1
Tidak terjadi Sengketa
10
2
Sengketa
5
Jumlah
169
15
Hasil wawancara dengan Sutarman, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
89
Hukum waris yang responden gunakan menunjukkan bahwa 10 orang
responden menyatakan bahwa hukum waris yang digunakan dalam pembagian waris
berlangsung secara damai, tanpa sengketa dan mencapai kesepakatan. Para ahli waris
merasa puas dan menerima bagiannya masing-masing, karena menurut para ahli waris
pembagian sudah mengikuti sistem waris Islam, sehingga apa yang sudah ditentukan
oleh Al-Quran sudah tentu benar bagian dan pelaksanaanya 170. Sedangkan untuk 5
orang responden menyatakan bahwa hukum waris islam yang digunakan tidak
mencapai sepakat sehingga menyebabkan adanya sengketa dan harus melakukan
musyawarah secara kekeluargaan untuk memecahkan perselisihan antara ahli waris
sampai tercapai kata sepakat. Perselisihan yang terjadi diantara para ahli waris
biasanya dikarenakan salah satu ahli waris tidak puas dengan bagiannya dan meminta
bagian lebih171. Maka perselisihan akan di selesaikan dengan cara yang disepakati
bersama oleh para ahli waris tersebut.
Kesadaran masyarakat Sakai di kecamatan Mandau terhadap kewarisan dapat
dikategorikan cukup. Responden yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa para responden memiliki kesadaran yang cukup dalam melaksanakan
pembagian warisan, baik secara Islam maupun secara musyawarah kekeluargaan.
Responden yang dipilih dalam penelitian beragama Islam yang telah
melaksanakan waris dengan sistem waris Islam, akan tetapi ada sebagian responden
yang membagikan harta warisan sesuai dengan aturan yang telah hidup dalam
170
Hasil wawancara dengan M. Yatim, Ketua Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agustus
171
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
2015
Universitas Sumatera Utara
90
lingkungan adat masyarakat Sakai muslim, dimana aturan tersebut dianggap baku
oleh sebagian masyarakat Sakai muslim di Kecamatan Mandau.
Responden yang memilih sistem waris Islam dalam melaksanakan pembagian
warisan memandang bahwa hukum Islam telas cukup jelas mengatur masalah
kewarisan dalam Al Quran. Responden yang masih menggunakan pembagian warisan
sesuai kewarisan adat mengemukakan alasan menghargai dan melestarikan adat
kebiasaan yang telah ada.
Melalui wawancara yang telah dilakukan, para responden telah mengetahui
adanya perbedaan diantara sistem waris Islam dengan sistem waris adat Sakai,
dimana terjadi perbedaan antara ahli waris yang diatur dalam Al Quran dengan ahli
waris menurut adat Sakai itu sendiri. Akan tetapi untuk pembagian harta warisan,
para responden yang dalam hal ini menggunakan sistem waris Islam tidak seluruhnya
melaksanaan pembagian harta warisan dengan bagian yang telah ditentukan oleh AlQuran. Sebagian dari responden tetap mengikuti pembagian harta warisan secara
adat.
Sikap responden yang memilih hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum
yang mengatur masalah waris tidak menunjukkan sikap yang konsisten, karena fakta
yang ditemukan adanya pertentangan antara pilihan dengan sikap responden itu
sendiri. Para responden sebagai masyarakat muslim seharusnya memahami dengan
benar tentang hukum kewarisan Islam dan tunduk kepada sistem hukum waris Islam.
Hal ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
91
Sakai muslim terhadap sistem waris Islam itu sendiri. Masyarakat Sakai muslim
umumnya hanya mengetahui ahli waris yang diatur dalam hukum Islam sedangkan
untuk pembagian warisan, masyarakat Sakai muslim masih bertumpu kepada
pembagian secara adat.
Fakta yang ditemukan dari hasil penelitian ini bahwa masyarakat Sakai
muslim di Kecamatan Mandau menganut dualisme hukum kewarisan. Di satu pihak
ada sebagian responden yang benar-benar menggunakan sistem waris Islam dan ada
yang menggunakan sistem pewarisan yang telah hidup di lingkungan masyarakat
Sakai muslim, yang telah dianggap baku oleh sebagian masyarakat Sakai muslim.
Terjadinya dualisme hukum kewarisan ini menyebabkan terbukanya peluang
terjadinya penyimpangan pelaksanaan Hukum kewarisan Islam yaitu tidak
terlaksananya hukum sistem kewarisan Islam dengan sempurna.
Dualisme sistem pewarisan dapat dilihat dari porsi pembagian harta warisan,
yaitu disatu pihak anak laki-laki mendapat dua bagian harta warisan, sedangkan untuk
anak perempuan mendapat satu bagian sesuai yang telah diatur dalam Al Quran,
sedangkan di pihak lain ditemukan bahwa warisan seorang anak laki-laki sama
dengan bagian warisan seorang anak perempuan172.
Pelaksanaan pembagian warisan tidak dilakukan secara menyeluruh oleh
masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau. Salah satu penyebab tidak terlaksananya
pembagian warisan pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau adalah pewaris
172
Hasil wawancara dengan M. Yatim, Ketua Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 01 Agustus
2015
Universitas Sumatera Utara
92
meninggalkan harta warisan yang sedikit, yang jika dilakukan pembagian, maka
bagian yang didapatkan oleh ahli waris tidaklah seberapa, sehingga para ahli waris
sepakat untuk menggunakan harta warisan tersebut secara bersama-sama173. Alasan
lain tidak terlaksananya pembagian warisan pada sebagian masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau karena para ahli waris ingin menjaga tali silaturahmi sehingga
para ahli waris memutuskan untuk tidak membagi harta warisan orang tuanya, karena
menurut para ahli waris tersebut pembagian warisan dapat menimbulkan sengketa
yang dapat merusak tali silaturahmi174, sehingga para ahli waris sepakat untuk tidak
membagi warisan tersebut dan menggunakan harta warisan itu bersama-sama.
C. Proses Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Sakai
Proses pewarisan adat merupakan suatu perbuatan para ahli waris secara
bersama-sama, diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama
daripada para ahli waris. Dalam proses pewarisan, harta dibagi-bagi antara para ahli
waris, maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun, didalam suasana ramah
tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.
Hukum adat tidak menetapkan sistem atau cara tertentu dalam hal pembagian
harta warisan, karena bisa dilaksanakan secara tulisan atau lisan 175. Pembagian harta
warisan ini dalam masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ini dipakai sistem
pewarisan kombinasi antara sistem individual dengan sistem kolektif, harta warisan
173
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
175
Ibid, hal 181
174
Universitas Sumatera Utara
93
yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli warisnya ini merupakan milik perorangan,
sedangkan terhadap harta warisan yang tak terbagi-bagikan ini merupakan milik
bersama.
Dalam adat Sakai harta warisan si mati yang merupakan kepala keluarga
diberikan seluruhnya kepada kemanakannya. Harta warisan yang mutlak seluruhnya
harus diberikan kepada kemanakan si mati dinamakan “pusako” (harta pusaka) yang
terdiri atas senjata perhiasan, dan peralatan berharga lainnya.
Orang Sakai pada dasarnya menganut prinsip pembagian warisan harta pusaka
secara matrilineal, dimana hubungan mamak-kemanakan yang pada dasarnya adalah
prinsip hubungan matrilineal melalui garis ibu menjadi prinsip hubungan langsung
laki-laki dengan laki-laki. Setelah kemerdekaan Indonesia bila si mati adalah kepala
keluarga (suami), maka separuh warisan dari si mati diberikan kepada kemanakan
laki-laki dari saudara kandung perempuan, dan separuhnya lagi diberikan kepada
anak-anak kandungnya. Warisan yang terutama harus dibagi dua tersebut dinamakan
“pusako”. Hal yang sama juga berlaku bagi “ pusako” yang dimiliki istri yang
meninggal. Sedangkan hak atas ladang yang sedang dikerjakan adalah hak anak-anak
kandung dan istri.
Proses pewarisan menurut Hukum adat melalui dua tahap yaitu tahap
regenerasi harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup dan tahap regenerasi harta
kekayaan pada waktu pewaris sudah meninggal dunia. Prinsip tahap regenerasi inilah
yang merupakan ciri pokok yang essensial dalam Hukum waris adat.
Universitas Sumatera Utara
94
Timbulnya dua tahap regenerasi ini terjadi karena harta keluarga yang terdiri
dari harta asal suami, harta sal isteri dan harta bersama merupakan dasar materiil bagi
kehidupan keluarga. Harta itu yang nantinya akan disediakan pula unrtuk dasar
materil bagi kehidupan keturunan keluarga itu. Oleh karena itu keturunan (anak)
merupakan hal penting dalam kehidupan keluarga dan merupakan salah satu tujuan
utama dalam perkawinan, yaitu untuk meneruskan keturunan, sehingga kematian
pewaris tidak begitu berpengaruh pada peralihan dan pengoperan harta warisan. Oleh
karena itu pada masyarakat yang warganya beragama Islam, seharusnya proses
pewarisan yang pada masyarakat tersebut adalah tahap regenerasi harta warisan
setelah pewaris meninggal dunia. Namun pada kenyataannya yang terjadi pada
masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ada beberapa responden yang menyatakan
proses pewarisan berlangsung pada waktu orang tua (pewaris) masih hidup.
Selanjutnya untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Pembagian harta warisan masyarakat Sakai dilakukan para ahli waris
bersama-sama, dengan diselenggarakan secara mufakat atau atas kehendak bersama
dari para ahli waris176. Proses pembagian harta warisan yang dibagi antara para ahli
waris biasanya berjalan secara rukun dan bersifat kekeluargaan.
Pada dasarnya pembagian harta warisan masyarakat Sakai menganut sistem
individual dan kolektif, sistem individual yang dimaksud adalah bahwa harta warisan
itu akan dibagikan pemiliknya dan penguasaannya kepada masing-masing ahli waris
176
Hasil wawancara dengan Rahmat, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
95
sebagai bagian yang ia terima dari haknya sebagai ahli waris. Harta warisan yang
dapat dibagikan secara individual adalah semua harta peninggalan pewaris, kecuali
harta pusako yang sifat atau fungsinya tidak terbagi. Terhadap harta pusako itu tetap
dimiliki secara bersama-sama diantara para ahli waris. Harta yang menurut sifatnya
tidak terbagi itu adalah harta pusako yang mempunyai kekuatan magis, seperti keris,
tombak, pedang dan benda pusaka lain. Sedangkan harta pusako yang menurut
fungsinya tidak dapat dibagi adalah rumah asal atau rumah pusaka yang disertai
dengan sebidang kebun atau sebidang sawah. Adapun latar belakang dari harta
tersebut tidak dibagi menurut fungsinya, fungsi dari rumah adat itu adalah sebagai
tempat para kerabat berkumpul dan musyawarah untuk membicarakan kepentingan
para kerabat yang bersangkutan, sedangkan fungsi kebun dan sawah yang menyertai
rumah pusaka itu adalah sebagai lahan cadangan untuk lapangan penghidupan bagi
kerabat pewaris, jika sewaktu-waktu usahanya mengalami kemunduran, maka lahan
cadangan tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh kerabat pewaris.
Proses pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sakai
di Kecamatan Mandau adalah sebagai berikut :
1. Proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia
Pewarisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia dilakukan oleh
karena pewaris ingin melakukan secara langsung pembagian hartanya untuk
keturunannya sehingga pewaris dapat berlaku adil kepada para ahli warisnya 177.
177
Hasil wawancara dengan dengan Hermanto, Masyarakat Desa Bumbung, Tanggal 01
Agustus 2015
Universitas Sumatera Utara
96
Proses pewarisan dilakukan secara kekeluargaan yang hanya dihadiri oleh pewaris
dan ahli waris.
2. Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia
Sama halnya dengan Hukum waris Islam yang menganut asas akibat kematian
semata yang menyatakan bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang
lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup, begitu pula
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau. Proses
pewarisan setelah pewaris meninggal dunia dilakukan secara kekeluargaan dan
dihadiri oleh ninik mamak soko dan para ahli waris untuk membagi harta warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris.
Pertama sekali yang dibicarakan adalah semua biaya yang dikeluarkan mulai
dari pewaris meninggal, biaya penguburan, hutang, dan biaya pengobatan bila yang
meninggal terserang penyakit sebelumnya. Biaya-biaya tersebut menjasi tanggung
jawab ahli waris sepenuhnya, dan pembayarannya dapat dilakukan dengn menjual
harta warisan. Apabila haarta warisan yang ada tidak cukup untuk membayar hutang
tersebut, maka hutang itu menjadi tanggung jawab ahli waris khususnya anak tertua
dari pewaris.
Mengenai porsi bagian yang diterima ahli waris dalam pembagian harta
warisan pada masyarakat Sakai, sulit dihitung jumlahnya dengan rupiah, karena
perhitungan pembagian warisan adalah berdasarkan jumlah bendanya, bukan harga
Universitas Sumatera Utara
97
bendaanya. Hal ini disebabkan karena adanya kebiasaan turun temurun tentang sistem
pewarisan ini, yaitu membagi warisan secara jumlah bendanya bukan secara harga
bendanya dan seluruh masyarakat Sakai masih menggunakan sistem pembagian waris
ini.
Adapun pembagian waris yang dilakukan di Kecamatan Mandau sebagai
berikut :
Tabel 12
Proses Pembagian Waris
No
Proses Pembagian Waris
Responden
n =15
1
Sebelum Pewaris meninggal dunia
7
2
Setelah pewaris meninggal dunia
3
3
Sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia
5
Jumlah
15
Sebanyak 7 orang responden melakukan pembagian waris sebelum pewaris
meninggal dunia. Alasan pewaris membagikan warisannya sebelum pewaris
meninggal dunia salah satunya adalah menghindari resiko timbulnya perselisihan
diantara para ahli waris yang dapat menimbulkan putusnya hubungan kekeluargaan di
kemudian hari. Pembagian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia yang
dilakukan oleh pewaris sendiri adalah cara yang paling dominan dilakukan.
Sementara 3 orang responden melakukan pewarisan setelah pewaris meninggal dunia,
hal ini disebabkan karena dan sisanya 5 orang responden melakukan pewarisan
sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia. Pewarisan yang dilakukan sebelum
Universitas Sumatera Utara
98
dan sesudah warisan maksudnya adalah sebagian warisan telah dibagi ketika pewaris
masih hidup, sementara sisanya dibagi setelah pewaris meninggal dunia.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masyarakat Sakai cenderung melakukan
pembagian waris ketika pewaris masih hidup. Menghindari perselisihan adalah salah
satu alasan paling dominan yang mendorong pewaris melakukan pembagian harta
warisan ketika pewaris masih hidup. Dengan melakukan pembagian harta warisan
yang dilakukan sendiri oleh pewaris, maka pewari merasa pembagian telah dilakukan
secara adil. Hal ini terus berlanjut dari waktu ke waktu mengikuti kebiasaan dari
orang tua mereka.
Harta warisan yang ditinggalkan orang tua masyarakat Sakai muslim di lokasi
penelitian disebut dengan istilah harta pusako (harta peninggalan). Harta pusako yaitu
semua harta benda yang diperoleh pewaris baik sebagai warisan, hadiah juga hasil
pencaharian sendiri yang diperoleh sebelum perkawinan, sedangkan harta
pencaharian adalah harta benda yang diperoleh pewaris selama perkawinan. Harta
pusako yang terdapat pada masyarakat Sakai terdiri dari Harta pusako tinggi dan
harta pusako rendah178. Harta pusako tinggi dapat berupa Konjouw, keris, rumah adat
dan gelar batin, yang mana harta pusako tinggi ini masih diwariskan kepada
kemanakan laki-laki si pewaris. Sementara Harta pusako rendah dapat berupa ladang
maupun emas, harta ini dalam prakteknya dapat dibagikan untuk anak/keturunan
pewaris sesuai dengan kesepakatan para ahli waris dan kehendak si pewaris.
178
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT
SAKAI DI KECAMATAN MANDAU
1. Sengketa Harta Warisan diantara para Ahli Waris
Sengketa dalam pembagian warisan diantara para ahli waris timbul
dikarenakan adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan
menuntut bagiannya atas harta warisan. Salah satu faktor yang menyebabkan
sengketa terjadi adalah faktor ekonomi yang merupakan faktor utama dari timbulnya
masalah dalam pembagian warisan.
Sebagai contoh kasus yang pernah terjadi di Desa Petani Kecamatan Mandau
yang diselesaikan secara kekeluargaan dan secara adat kasus yang disengketakan
antara YSF (anak laki-laki) dan NS (anak perempuan)179 sebelum orang tuanya
meninggal, pewaris meninggalkan warisan harta peninggalannya berupa satu bidang
ladang sebuah rumah, emas dan sebuah sepeda motor maka cara pembagiannya
masing-masing saudara YSF mendapat sebidang ladang dan sebuah sepeda motor
sedangkan NS mendapat sebuah rumah dan emas yang ditinggalkan oleh orang
tuanya. Tetapi YSF tidak menerima bagian warisan peninggalan orang tuanya
karena YSF menginginkan sebidang ladang dan sebuah rumah menjadi bagian
warisan untuknya. Sedangkan amanat orang tuanya YSF mendapat sebidang ladang
dan sebuah sepeda motor s