Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

BAB II
PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT MENJADI HUKUM WARIS ISLAM
PADA MASYARAKAT SAKAI DI KECAMATAN MANDAU

A. Gambaran Umum Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau
Menurut silsilahnya asal-usul Orang Sakai berasal dari Pagaruyuang pada
sekitar abad ke 14 Masehi ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib di
hulu sungai Rokan70. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan Gasib dan kemudian
di hancurkan oleh kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutanhutan sekitar daerah sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak
sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang Orang Sakai 71.
Komunitas adat Terpencil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat Indonesia dan sering dianggap rendah oleh masyarakat dan selalu
dijauhkan dari kelompok-kelompok lain. Salah satu kelompok yang termasuk ke
dalam Komunitas Adat Terpencil ini adalah Orang Sakai. Kata “Sakai” sendiri
merupakan nama suatu suku bangsa di tanah Melayu dan dapat juga di artikan
sebagai orang bawahan atau hamba sahaya.
Pada masa penjajahan sebagian besar daerah Bengkalis berada dalam
lingkungan pemerintahan Kerajaan Siak, kecuali Pulau Bengkalis yang merupakan
daerah jajahan langsung pemerintah Hindia Belanda. Kekuasaan pemerintah Kerajaan
Siak berakhir tahun 1942.
70

71

Isjoni, Op. Cit, hal 7
Parsudi, Op. Cit, hal 72-73

29

Universitas Sumatera Utara

30

Salah satu kelompok atau komunitas dari masyarakat terpencil ini adalah
orang Sakai. “Sakai” merupakan nama salah satu suku bangsa di tanah melayu dan
dapat juga diartikan sebagi orang bawahan atau hamba sahaya. Orang Sakai pada
dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan
sosial atau relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini dianggap tidak maju dan
kuat memegang tradisi.
Mengenai kata Sakai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan
kata Sakai sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito yang
tidak berbahasa Melayu, disamping diartikan pula sebagai orang bawahan (yang

diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu
nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi
sungai tersebut, maka mereka disebut orang atau Suku Sakai 72.
Orang Sakai pada dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal
oleh proses perubahan sosial atau relatif terbelakang kehidupannya 73. Kelompok ini
dianggap tidak maju dan kuat memegang tradisi. Suku Sakai diartikan sebagai suku
anak air ikan, karena sumber penghidupannya adalah dipinggiran air serta menangkap
ikan. Menurutnya lagi Sakai adalah suku atau manusia kebal (sakai=badak=kebal),
sedangkan menurut orang Sakai sendiri, Sakai adalah suku orang batin74. Dalam
uraian mengenai asal muasal Orang Sakai tercakup sejarah asal muasal orang Sakai
tercakup adanya Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.
72

Ibid
Isjoni, Op. Cit, hal 2
74
Ibid, hal 4-5
73

Universitas Sumatera Utara


31

a. Perbatinan Lima
Negeri Pagaruyung sangat padat penduduknya. Raja berusaha mencari
wilayah-wilayah pemukiman baru untuk menampung kepadatan penduduknya. Yang
dipilih adalah wilayah-wilayah di sebelah timur Pagaruyung karena tampaknya masih
kosong penduduk dan hanya dipenuhi rimba belantara. Sebuah rombongan yang
jumlahnya 190 orang terdiri dari 189 orang janda dan seorang hulubalang atau
prajurit laki-laki sebagai kepalanya dikirim oleh raja untuk berangkat ke arah timur.
Mereka menembus hutan rimba belantara dan akhirnya mereka sampai di tepi sebuah
anak sungai yang mereka namakan sungai Biduando, yang artinya sungai dari
rombongan 189 orang janda yang dipimpin oleh seorang kepala rombongan (bidu =
kepala rombongan, dan Ando = janda). Nama Biduondo kemudian berubah menjadi
Mandau.
Setelah rombongan 190 orang tersebut untuk beberapa lamanya tinggal di
tepi sungai Mandau, mereka menyimpulkan bahwa wilayah di sekitar sungai tersebut
layak untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru. Rombongan tersebut kemudian
kembali pulang ke Pagaruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung
kemudian mengirim lagi rombongan perintis yang terdiri atas tiga orang hulubalang

atau prajurit, yaitu Sutan Janggut, Sutan Harimau dan Sutan Rimbo.
Setelah rombongan 190 orang tersebut untuk beberapa lamanya tinggal di tepi
sungai Mandau, mereka menyimpulkan bahwa wilayah di sekitar sungai tersebut
layak untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru. Rombongan tersebut kemudian
kembali pulang ke Pagaruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung
kemudian mengirim lagi rombongan perintis yang terdiri atas tiga orang hulubalang
atau prajurit, yaitu Sutan Janggut, Sutan Harimau dan Sutan Rimbo.
Perjalanan tiga orang ini berlangsung selama beberapa tahun. Setelah beberapa
tahun dalam perjalanan mereka bukannya sampai ke wilayah Mandau tetapi tiba di
Kunto Bessalam (Kunto Darussalam). Mereka menyerahkan diri kepada raja Kunto
Bessalam, dan setelah beberapa lamanya tinggal di kerajaan tersebut mereka diangkat
sebagai hulubalang raja. Pada waktu itu raja Kunto Bessalam bercita-cita menjadikan
negerinya sebagai sebuah kerajaan yang besar, kemudian diputuskan oleh raja Kunto
untuk mencari tambahan penduduk dengan cara mendatangkan penduduk baru dari
Mentawai karena menurut keterangan yang mereka peroleh penduduk Mentawai
jumlahnya berlebihan. Sutan Janggut, Sutan Harimau, dan Sutan Rimbo diutus oleh
raja untuk mencari tambahan penduduk. Rombongan tiga orang ini setelah tiba di
Mentawai menyerahkan emas, perak, dan intan berlian kepada kepala kampung
Mentawai sebagai pembawaran atas orang yang mereka butuhkan. Oleh raja Kunto
Bessalam mereka dijadikan penduduk dengan kewajiban bekerja secara rodi bersama

dengan penduduk aslinya dalam membangun kota Kunto Bessalam. Yang dibangun
adalah istana, benteng, jalan-jalan dan saluruan-saluran air. Setelah berjalan selama
sepuluh tahun pembangunan tersebut selesai dikerjakan, dan kerajaan kunto Bessalam
menjadi besar. Raja Kunto Bessalam mengalihkan kegiatan pembangunan ke
kerajaan Rokan Kanan dan Kiri yang berkerabat dan bersahabat dengannya, dengan

Universitas Sumatera Utara

32

mengirimkan beberapa keluarga yang dipimpin oleh Sutan Janggut dan Sutan Rimbo
untuk bekerja disitu. Tetapi sebelum pekerjaan pembangunan dilaksanakan dengan
baik, Sutan Janggut dan Sutan Rimbo bersama dengan lima keluarga yang telah
melarikan diri dari kerajaan Rokan kanan dan Kiri masuk ke hutan. Sebabnya adalah
Raja Rokan Kanan dan Kiri sangat kejam. Pembangunan kerajaan Rokan Kanan dan
Kiri berjalan terus, setelah sepuluh tahun kerajaan ini menjadi besar dan jaya seperti
kerajaan Kunto Bessalam. Keluarga-keluarga pekerja yang ditinggalkan oleh
rombongan yang melarikan diri sebagian dari mereka tetap menjadi penduduk kota
Rokan Kanan dan Kiri. Dan sebagian lainnya tinggal di pedesaan yang berdekatan
dengan Rokan Kanan dan Kiri (di desa Sintung dan beberapa desa lainnya). Sehingga

sebenarnya mereka seasal dengan lima keluarga yang melarikan diri, yang menjadi
nenek moyang orang Sakai di Mandau.
Rombongan yang melarikan diri dibawah pimpinan Sutan Janggut dan Sutan
Rimbo itu berjalan ke arah wilayah Mandau. Setelah beberapa tahun mengembara
dihutan-hutan mereka sampai di tepi sungai Syam-syam, di hulu sungai Mandau, dan
merupakan salah satu anak sungai Mandau. Mereka berjalan terus ke arah hulu sungai
dan akhirnya tiba di wilayah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Dalam wilayah ini
terdapat bekas-bekas pemukiman yang menurut dugaan mereka adalah bekas-bekas
rombongan pertama yang berjumlah 190 orang. Setelah tinggal untuk beberapa
lamanya di tempat tersebut rombongan ini meneruskan perjalanan dan tibalah mereka
di hulu sungai Penaso. Mereka tinggal untuk sementara di hulu sungai tersebut dan di
sini sutan Rimbo meninggal dunia. Rombongan ini kemudian menuju ke arah
Mandau, dan dalam perjalanan menuju Mandau sutan Janggut pergi secara diam-diam
meninggalkan rombongan tersebut. Rombongan tiba di desa Mandau dan
menyerahkan diri kepada kepala desa (penghulu) Mandau yang bernama Takim. Desa
Mandau ini sekarang bernama desa Beringin yang penduduknya adalah orang
Melayu75.
Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau rombongan yang berjumlah
lima keluarga ini memohon untuk diberi tanah/hutan bagi mereka menetap dan hidup,
karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagaruyung ataupun ke Kunto

Bessalam. Oleh kepala desa Mandau masing-masing keluarga diberi hak ulayat atas
tanah-tanah dan hutan-hutan yang berada di daerah:
1. Daerah sekitar Minas
2. Daerah sekitar hulu Sungai Penaso
3. Daerah sekitar hulu sungai Beringin
4. Daerah sekitar sungai Belutu
5. Daerah sekitar sungai Ebon di Tengganau76.
Rombongan yang terdiri atas lima keluarga ini kemudian beranak pinak di
masing-masing wilayah tempat hidup mereka. Masing-masing tempat pemukiman
tersebut dinamakan perbatinan (dukuh) yang dipimpin oleh seorang kepala
75
76

Ibid, hal 25
Ibid, hal 77

Universitas Sumatera Utara

33


perbatinan atau batin. Karena jumlah penduduk masing-masing perbatinan tersebut
bertambah besar, dan karena adanya usaha penyeragaman administrasi yang
dilakukan oleh pemerintah kerajaan Siak dalam usaha mempermudah penarikan
pajak, maka masing-masing perbatinan tersebut dijadikan kepenghuluan atau desa
dan dikepalai oleh seorang batin atau kepala desa. Desa-desa atau kepenghuluankepenghuluan Orang Sakai yang tergolong dalam Perbatinan Lima tersebut adalah:
1) Desa Minas. Desa ini masih ada dan sebagaian besar warganya adalah Orang
Sakai
2) Desa Penaso. Desa ini sudah tidak ada lagi semenjak tahun 1982, karena jumlah
penduduknya hanya 8 keluarga, Penaso dijadikan sebuah Rukun Kampung dari
desa Muara Basung. Sebagian penduduknya menjadi warga pemukiman
masyarakat terasing yang dibangun di Sialang Rimbun dan di Kandis, dan
sebagian lainnya tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas ladang yang
mereka kerjakan di sekitar daerah Sialang Rimbun dan Balai Pungut, dan masih
sebagian lainnya tinggal dalam kelompok-kelompok kecil rumah sederhana yang
dibangun di sepanjang jalan raya antara kota Duri dan Minas.
3) Desa Beringin Sakai. Pada masa sekarang desa ini sudah tidak ada lagi karena
seluruh warganya dipimpin oleh kepala desa dan telah berpindah ke pemukiman
masyarakat terasing di Sialang Rimbun, sebagian lainnya di pemukiman
masyarakat terasing di Kandis dan di Bulu Kasap.
4) Desa Tengganou, desa ini masih ada dan sebagian warganya adalah orang sakai 77.

b. Perbatin Delapan
Beberapa lama setelah keberangkatan rombongan terakhir meninggalkan
Pagaruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi penduduknya. Mencari nafkah
dirasakan sulit dan kehidupan dirasakan berat oleh sebagian dari warga masyarakat.
Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja. Sebuah rombongan yang terdiri atas
suami-istri, dan seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama
batin pada suatu malam meninggalkan Pagaruyung dan bertujuan membuka daerah
baru untuk tempat pemukiman.
Setelah beberapa lamanya dalam perjalanan akhirnya sampailah mereka ke
hulu sungai Syam-syam, di Mandau. Di wilayah tersebut mereka berkeliling sampai
ke daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Tanahnya datar dan digenani air. Di
tempat terakhir ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya. Mereka membuat
ladang, rumah, menempa besi untuk mrmbuat peralatan berbagai alat pertanian dan
rumah tangga. Beberapa waktu lamanya kemudian dan istri dari keluarga yang
menjadi anggota rombongan tersebut mengandung. Dalam mengidamnya sang istri
meminta kepada sang suaminya untuk mencari bayi rusa jantan yang masih ada
dalam kandungan. Tetapi yang didengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang
dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sang suami pergi berburu dan tidak pernah
kembali karena tidak pernah menemukan ada pelanduk jantan yang mengandung
77


Ibid

Universitas Sumatera Utara

34

untuk memenuhi permintaan nyidamnya sang istri. Karena dia telah berjanji tidak
akan memenuhi istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan nyidamnya. Setelah
itu rombongan 12 orang perempuan yang dipimpin oleh batin sangkar bermaksud
meninggalkan tempat tersebut mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri
tidak mau turut dan rombongan tersebut tidak dapat lagi ditahan oleh sang istri untuk
menunggu kedatangan sang suami. Rombongan 12 orang berangkat dan sang istri
melahirkan bayi laki-laki. Setelah bayi tersebut besar, kedua anak-beranak tersebut
kembali ke pagaruyung melaporkan apa yang telah mereka lakukan dan memohon
ampun kepada raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung mengirim lagi serombongan lakilaki dan keluarga untuk memenuhi rombongan yang dipimpin oleh Batin Sangkar 78.
Batin yang dipimpin oleh Batin Sangkar akhirnya, setelah merambah hutan
belantara dan rawa-rawa, sampailah mereka didaerah Petani. Setelah menetap di
Petani untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memutuskan untuk mencegah
rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemungkiman yang letaknya saling

berdekatan. Mereka membuka hutan di tepat-tempat pemukiman baru yaitu:
1. Petani
2. Sebanga/Duri km, 13
3. Air Jamban Duri
4. Pinggir
5. Semunai
6. Syam-Syam
7. Kandis
8. Balai makam79.
Setelah delapan tempat pemukiman tesebut selesai dibangun, kebetulan
datang rombongan yang terakhir dari Pagaruyung yang dikirim oleh Batin Sangkar,
keluarga-keluarga tersebut dibagi rata penempatan tempat tinggal di delapan buah
tempat pemukiman tersebut dalam rombongan pendatang tersebut telah diangkat
sebagai pembantunya. Oleh batin Sangkar pembantunya tersebut disuruhnya pergi ke
kota Siak Sri Indrapura untuk menghadap kepada raja Siak dan memohon izin untuk
dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak
pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan wilayahnya 80.
Jadi dari sejarah asal muasal orang sakai khususnya sejarah terbentuknya
perbatinan lima dan perbatin delapan, dapat dilihat bahwa orang sakai menurut
penelitian ini mereka berasal dari Minangkabau (Pagaruyung dan Mentawai). Dan
mereka adalah orang belian (setengah budak). Yang menarik untuk diperhatikan
78

Parsudi Suparlan, Op. Cit hal 78
Isjoni, Op. Cit hal 27
80
Ibid
79

Universitas Sumatera Utara

35

adalah unsur perempuan yang mayoritas dan dominan dalam legenda asal-muasal
tersebut. Ciri-ciri ini tampak dalam sistem pembagian warisan. Dan ciri pembagian
sistem kemasyarakatan orang sakai adalah paruh dua, yaitu perbatinan lima dan
perbatinan delapan.

B. Identitas dan Sifat-Sifat Orang Sakai
Orang Sakai sebagai komunitas adat terpencil dalam kehidupan sehari-hari
hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Mereka masih mempertahankan
tradisi leluhur dan hidup bertoleransi. Pada saatnya nanti baik langsung maupun tidak
langsung mereka akan menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi akibat
modernisasi, yang lambat laun tradisi leluhur akan berganti dengan modern. Ada
beberapa aspek tertentu yang masih dipertahankan.
Orang Sakai oleh masyarakat sekelilingnya diberikan kesempatan dan peluang
baik untuk diasimiliasi dengan masyarakat lainnya, misalnya pembangunan
pemukiman yang berdekatan dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan
perkawinan, mempekerjakan pada perusahaan, dan lokasi transmigrasi dalam suatu
kawasan wilayah kecamatan.
Sebagaimana dilihat oleh suku bangsa dari golongan sosial lainnya dan yang
juga diakui secara eksplisit maupun implicit oleh Orang Sakai sendiri, identitas Sakai
selalu dikaitkan dengan mata pencaharian dan taraf kehidupan sosial-ekonomi
mereka. Mata pencaharian Orang Sakai mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

36

1. Berladang
Dalam kehidupan tradisional mereka setiap orang Sakai atau setiap
keluarga Sakai mempunyai sebidang tanah, karena hanya dari lading itulah
mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Ladang adalah
kehidupan Orang Sakai dan rumah-rumah mereka dibangun diatas ladang mereka
masing-masing. Sebuah ladang biasanya dibangun oleh sebuah keluarga atau
dibangun dengan secara bergotong royong atau saling bantu membantu di antara
dua keluarga sampai dengan lima keluarga yang ladang-ladang mereka akan
dibangun secara berdekatan. Pembuatan ladang dilakukan dengan melalui
tahapan-tahapan :
a. Memilih tempat untuk membuat ladang
b. Menebang dan menebas pepohonan dan semak belukar
c. Menugal atau menanam benih81
2. Menanam ubi manggalo
Orang sakai dalam kegiatan mata pencaharian dalam budaya tradisional
mereka di samping berladang mereka juga menanam ubi manggalo ( Ubi beracun
). Ubi ini biasanya ditanam di lain dari lokasi ladang. Ubi manggalo ditanam
setelah berumur 1-2 tahun baru dapat dimakan langsung karena mengandung
racun. Untuk mengkonsumsi ubi ini maka orang sakai melakukan beberapa cara
untuk menghilangkan racun tersebut dengan cara disimpan. Ubi manggola tidak
boleh disimpan selama 1-2 hari, setelah ubi dicabut langsung dicuci disungai atau
rawa. Ubi manggalo yang sudah bersih kulitnya dari kotoran lalu ditaruh di dalam
keranjang anyaman lalau ubi ini di rendam selama 3 hari 3 malam. Setelah di
rendam, ubi ini diparut oleh pihak wanita sehingga halus, lalu ubi yang telah
halus ini di masukan kedalam goni untuk memeras atau membuang air yang
terdapat dalam ubi tersebut. Racun yang terdapatt pada ubi ini pun hilang
dikarenakan air yang terkandung pada ubi ini telah diperas. Lalu ubi manggalo ini
dimasukan kedalam kuali yang diletakan di atas api secara maksimal. Dengan
menggunakan sebuah sendok kayu besar dan panjang parutan ubi manggalo di
adukan dan diratakan sampai hasil parutan menjadi kering. Orang sakai
menyebutkan proses ini dengan ” Menyangga “82.
Proses terakhir yang dilakukan suku sakai adalah menyimpan ubi yang
telah kering tersebut karena ubi ini tidak memiliki racun lagi. Hasil ini disebut
dengan ” Manggalo Mersik “. Manggalo mersik mirip dengan kerak nasi,
berbutir-butir atau bergumpal-gumpal kecil.manggalo mersik dapat juga di
gunakan sebagai makanan pokok suku sakai, biasanya manggalo mersik ini di
sajikan dengan lauk pauk seperti gulai ikan, sayur-sayuran dan berbagai macam
makanan lainnya83.

81

Parsudi Suparlan, Op. Cit hal 94
Ibid, hal 109
83
Ibid
82

Universitas Sumatera Utara

37

3. Berburu Hewan dan Menangkap Ikan
Berburu atau mencari ikan merupakan mata pencaharian asli suku sakai,
sedangkan berladang dipengaruhi oleh pada masa kesultanan siak. Pengertian
berburu oleh orang sakai bukanlah kegiatan yang membunuh hewan tetapi mereka
melakukan dengan menjerat alat buruan mereka yaitu konjouw. Konjouw adalah
tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantramantra hewan. Hewan yang mereka sering buru adalah kera, babi hutan, kijang,
dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk kebutuhan hidup
sehari-hari biasanya mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu,
orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan
adalah dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan
menggunakan tangguk, suku sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawarawa atau di sungai-sungai kecil mereka menangkap ikan dengan menggunakan
lukah dan jarring, orang-orang sakai pada masa lalunya memasang lukah dari
jarring pada sore hari menjelang malam dan pada pagi hari dapat dilihat hasil
tangkapannya. Pada biasanya ikan yang mereka tangkap langsung mereka goreng.
Jika jumlah tangkapannya relatif banyak maka sebagian dari ikan itu untuk dijual
kepada orang lain, bahkan suku sakai biasanya membarter ikan tangkapan dengan
barang yang mereka perlukan84.
Orang Sakai pada masa kini hanya bisa mengerjakan apa yang dikerjakan oleh
nenek moyang mereka, yaitu berladang, mengambil hasil hutan dan mencarikan
disungai. Hanya saja pekerjaan mereka ini tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
karena hutan sudah dibuat perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan dan
Hak Guna Usaha, dan sudah habis ditebang untuk memnuhi kebutuhan pabrik
kertas85. Selain itu juga habis karena terjadinya penebangan liar.
Seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai
punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri
perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra
ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang
84
85

Ibid, hal 120
Isjoni, Op. Cit, hal 40

Universitas Sumatera Utara

38

baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia.
Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara
usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani
Ladang sebagai salah satu mata pencaharian orang Sakai yang sudah
berkurang terjual kepada Perusahaan di bidang minyak bumi, hal ini terjadi sejak
tahun 1950. Perusahaan-perusahaan tersebut memberi kepedulian khusus terhadap
orang Sakai antara lain di bidang pendidikan, pelatihan, kebudayaan, pertanian,
peribadatan, olah raga , industri kecil, kesehatan/sanitasi, pariwisata, pelestarian
lingkungan, pembinaan suku terasing (komunitas adat terpencil), perhubungan dan
rekreasi maupun hiburan86. Kepedulian lain yang diberikan oleh pihak perusahaan
adalah pemberian bibit ikan dan karet, pengembangan kerajinan, pembangunan
gedung sekolah, honor guru-guru yang mengajar di sekolah oemukiman,
pembangunan jalan dan jembatan, anak asuh bagi anak yang masih
sekolah dan fasilitas kesehatan87.
Secara tradisional rumah orang Sakai dibangun di ladang, biasanya dibangun
di tengah-tengah ladang, yaitu tempat yang agak lebih tinggi dari bagian-bagian lain
dari ladang tersebut, tetapi letaknya berdekatan atau tidak terlalu jauh dari mata air
atau air mengalir yang ada di ladang tersebut. Rumah Orang Sakai tidak berjendela,
mempunyai satu pintu masuk yang hanya ditutup dari dalam dengan menggunakan
palang kayu, tanpa engsel atau gerendel pintu. Untuk naik ke rumah dan turun ke
86
87

Ibid,hal 41-42
Ibid

Universitas Sumatera Utara

39

tanah dari rumah digunakan sebuah tangga yang terbuat dari kayu gelondongan.
Tangga ini dapat dinaik turunkan oleh pemilik rumah baik dimalam hari atau pada
sewaktu suami tidak ada dirumah, sehingga tamu laki-laki yang mengetahui bahwa
suami tidak ada dirumah pantang masuk ke dalam rumah.
Dari sudut tempat tinggal, dapat dibedakan Sakai Luar dan Sakai Dalam.
Sakai Dalam merupakan warga Sakai yang masih hidup setengah menetap dalam
rimba belantara, mata pencaharian mereka tradisional seperti berburu, menangkap
ikan dan mengambil hasil hutan88. Sakai Luar adalah warga yang mendiami
perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak Melayu dan suku
lainnya89. Warga Sakai Luar inilah yang telah maju, yang sebagian besar adalah
pemeluk agama Islam. Di antara mereka sudah ada yang menjadi guru dan pegawai
negeri lainnya, bahkan juga sudah memasuki perguruan tinggi.
Tokoh atau pemimpin Sakai yang paling menentukan adalah Batin. Batin
memimpin suatu perkampungan yang merupakan pemimpin formal dalam suku yang
mengatur dan mengemudikan masyarakat dengan azas adat. Karena itu Batin menjadi
pusat kehidupan dan mitos suku. Batin juga merangkap sebagai Bomo. Bomo juga
merupakan tokoh yang khas dalam kehidupan masyarakat, sebab Bomo sudah
memainkan peranan penting dalam hubungan dengan makhluk gaib, sehingga amat
menentukan jalan pikiran masyarakat. Pada Bomo-lah bertumpu alam pikiran
animism sehingga bomo mempunyai peranan yang besar dalam berbagai tradisi yang
88
89

Hasil wawancara dengan Bapak Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Isjoni, Op. Cit, hal 24

Universitas Sumatera Utara

40

bersangkutan dengan alam ataupun makhluk halus90.
Taraf kehidupan orang Sakai sudah mulai meningkat secara bertahap. Usahausaha yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia terhadap orang Sakai adalah
menjadikan

mereka

sebagian

dari

masyarakat

Indonesia

dengan

cara

memasyarakatkan dan membebaskan dari keterasingan atau isolasi. Mereka diberi
tambahan pendidikan dan pengetahuan keterampilan dalam pertanian.
Menurut kebudayaan orang Sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja
kecuali dengan orang yang digolongkan sebagai anggota keluarganya. Perkawinan
antara paman dengan kemanakan juga dilarang kalau si kemanakan tersebut adalah
kemanakan menurut garis paralel.
Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya hanya
dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan seorang
janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu untuk
menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih dari satu
istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan siapa saja
kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya
diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun
hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat,
biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis. Ketika kedua belah pihak
merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius,
maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis.
90

Ibid, hal 25

Universitas Sumatera Utara

41

Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua
bulan setelah prosesi lamaran. Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak
calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Adapun bahan
untuk melamar yaitu :
1. Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, seprai, bantal,
guling serta kelambu
2. gelang dan cincin yang terbuat dari perak
3. radio atau tape recorder91
Sebagaimana yang lazim berlaku dalam masyarakat manapun, si gadis sudah
memberi tahu akan kedatangan utusan dari keluarga si bujang, sehingga pada waktu
si utusan atau perempuan tua itu datang orangtua si gadis sebenarnya sudah
mengetahui maksud kedatangannya dan sudah menyetujuinya.
Kemudian akan dilaksanakan upacara perkawinan, adapun bahan-bahan untuk
melaksanakan upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
1) Sebuah mata uang riyal/ jika pada lamaran tidak wajib namun untuk mas
kawin ini wajib
2) Baju sepersalinan lengkap;
3) Sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari;
4) Sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak; dan
5) Sejumlah mata uang yang sudah dalam satuan rupiah tergantung
kesepakatan92.
91

Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal. 180

Universitas Sumatera Utara

42

Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah batin.
Tata Pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila
memenuhi tahapan-tahapan berikut:
1) Prosesi Lamaran
Lamaran dilakukan oleh seorang batin, perempuan tua yang dipercaya oleh
orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga. Lalu batin
memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang
lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan.
2) Penyerahan Mas Kawin
Penyerahan mas kawin merupakan tahap awal dari upacara dan dilakukan
dirumah batin dan tempat dilangsungkannya perkawinan.
3) Upacara Pengesahan Perkawinan
Upacara ini dilakukan di rumah batin setelah selesai menyerahkan mas kawin.
Agar status perkawinan tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas
pencatatan sipil dari Kantor Urusan Agama setempat. Agar secara administratif sudah
dianggap sah dan terdaftar dan diakui pemerintah.
4) Pesta Perkawinan
Setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang
betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta
berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman93.
92
93

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

43

Pada masa sekarang suku Sakai melakukan perkawinan dengan cara pihak
laki-laki mendatangi ninik mamak soko pihak perempuan untuk memberitahu niat
meminang kemanakannya. Apabila ninik mamak soko menyetujui maksud
kedatangan pihak laki-laki maka kemudian pihak laki-laki akan mendatangi rumah
pihak perempuan untuk menemui keluarganya. Pihak keluarga perempuan dalam hal
ini telah diberitahukan dahulu oleh ninik mamak soko akan tujuan dan maksud
kedatangan pihak laki-laki. Setelah mendapat persetujuan dari ninik mamak soko dan
orang tua pihak perempuan, maka akan dilakukan pertemuan antara pihak laki-laki,
ninik mamak soko pihak perempuan, orang tua perempuan dan Ketua adat serta
disaksikan oleh kepala desa dan kerabat kedua belah pihak94. Pertemuan ini bertujuan
untuk mempertemukan kedua belah pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
dengan ketua adat. Dalam pertemuan ini ketua adat akan menanyakan suku dari
masing-masing pihak. Adapun perkawinan tidak dapat dilakukan apabila kedua belah
pihak masih dalam satu suku yang sama, misalnya suku Sakai Domo dengan Sakai
Domo. Apabila kedua belah pihak bukan merupakan suku Sakai yang tidak serumpun
maka perkawinan dapat dilakukan95.
Perkawinan di Kecamatan Mandau juga sering dilakukan antar suku, jika
terjadi perkawinan berbeda suku, misalnya Suku Sakai dengan Suku lain diluar Sakai
seperti Melayu, Jawa, Minang, Batak, atau lain sebagainya, maka adat yang
digunakan adalah adat si pihak wanita. Jika si wanita adalah orang Sakai dan si pria
94
95

Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015

Universitas Sumatera Utara

44

berasal dari Melayu, maka adat dan kebudayaan yang digunakan adalah adat Sakai,
dan tidak ada pencampuran kebudayaan diantara keduanya. Begitupun sebaliknya,
jika pihak si wanita Suku nya Melayu dan pihak pria lah yang orang asli Sakai, maka
si pria mau tidak mau harus mengikuti tradisi dan kebudayaan si wanita. Kemudian
pertemuan ini akan diakhiri dengan acara makan bersama.
Masyarakat Sakai menggunakan sistem matrilineal dimana garis keturunan
menurut kepada pihak ibu. Jadi jika si perempuan yang berasal dari Sakai, maka
pihak laki-laki harus mengikuti ketentuan-ketentuan perkawinan yang ada di Sakai,
begitupun sebaliknya. Jika laki-laki yang berasal dari Sakai, maka laki-laki Sakai
tersebut harus mengikuti prosesi perkawinan pada suku si perempuan. Dalam hal ini
tidak ada pencampuran kebudayaan.
Tujuan dari perkawinan yang dilakukan pada masyarakat Sakai, pada prinsipnya
adalah untuk membentuk keluarga dan memperoleh keturunan. Perkawinan bukan hanya
menyangkut tentang suami istri, akan tetapi juga kepentingan keluarga pihak suami dan
keluarga pihak istri. Khususnya setelah kelahiran anak-anak dari perkawinan ini maka
ikatan antara kedua keluarga tersebut menjadi erat.

C. Hukum Waris Adat Pada Masyarakarat Sakai di Kecamatan Mandau
Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial dari seseorang yang dapat

Universitas Sumatera Utara

45

diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses
pengalihannya 96.
Istilah waris didalam hukum waris adat diambil dari bahasa Arab yang telah
menjadi bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan hukum waris adat adalah hukum
kewarisan yang berlaku dikalangan masyarakat Indonesia yang tidak bersumber pada
peraturan. Perumusan tersebut berdasar atas pengertian hukum adat yang
dikemukakan Djojodigono, yang menyatakan Hukum Adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan, sebagai pengecualian hukum waris Islam
yang berlaku di suatu daerah di Indonesia meskipun tidak berdasar peraturan, tidak
disebut sebagai hukum adat.
Dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat para ahli hukum adat tentang hukum
waris adat. Definisi hukum waris adat, menurut pendapat beberapa sarjana dan ahli
hukum adalah :
1. Menurut Hilman Hadikusuma
“ Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan
ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
pemilikannya dan pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum
penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya ” 97
2. Menurut Iman Sudiyat :
“Hukum Waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan
96

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung,
Jakarta, 1988, Hal. 161
97
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 1999,hal. 7

Universitas Sumatera Utara

46

harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.” 98
3. Menurut Teer Haar menyatakan bahwa:
“…….hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.” 99
Hal yang penting dalam masalah warisan adalah bahwa pengertian waris itu
memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan unsur mutlak,
yakni:
a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan
sehingga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan
seorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat
lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan itu berada.
b. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu, kemudian menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai di
mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris.
c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu sehingga menimbulkan
persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu,
dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan
si ahli waris bersama-sama berada100.
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Proses ini
telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup dan tidak menjadi “akut” oleh karena
orang tua meninggal dunia. Meninggalnya orang tua merupakan peristiwa penting
98

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 151
Teer Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, JB Groningen Jakarta, 1950, hal 197
100
Soerojo Wignyodipoero, Op. Cit hal. 161

99

Universitas Sumatera Utara

47

bagi proses itu, tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut, dimana proses berjalan terus menerus hingga
angkatan baru yang akan mencar dan mentasnya anak-anak. Ini merupakan keluarga
baru yang mempunyai dasar kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari
harta peninggalan orang tuanya sebagai fundamen. Keluarga mempunyai harta benda
yang terdiri dari barang-barang asal suami, barang-barang asal istri serta barangbarang suami istri sepanjang perkawinan. Segala barang tersebut merupakan dasar
materiil bagi kehidupan dan akan disediakan untuk kehidupan keturunan dari
keluarga itu.
Dalam hal sifat kekeluargaan Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai
sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah
berlaku sejak dulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen 101. Sistem
keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum
adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu :
1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan
melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-laki terus ke
atas. Patrilineal terdapat di daerah adat orang Batak, orang Bali dan orang
Ambon102.
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam
101

Hilman Adikusuma, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu,
dan Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 23
102
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 25

Universitas Sumatera Utara

48

pewarisan (Minangkabau, Enggano dan Timor).
3. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi). suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari
mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan
yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral103.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia ini
pada prinsipnya terdapat masyarakat yang susunannya berlandaskan pada tiga macam
garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan
bapak-ibu. Pada masyarakat yang menganut garis keturunan bapak-ibu hubungan
anak dengan sanak keluarga baik dari pihak bapak maupun pihak ibu sama eratnya
dan hubungan hukum terhadap kedua belah pihak berlaku sama. Hal ini berbeda
dengan persekutuan yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal) dan garis
keturunan ibu (matrilineal), hubungan anak dengan keluarga kedua belah pihak tidak
sama deratnya, derajatnya dan pentingnya. Pada masyarakat yang matrilineal,
hubungan kekeluargaan dengan pihak ibu jauh lebih erat dan lebih penting,
sedangkan pada masyarakat yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak
terlihat dekat/erat dan dianggap lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.
Masyarakat suku sakai menerapkan Sistem kewarisan matrilineal yaitu dititik
beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah
103

Soerojo Wignyodipoero, Op. Cit, hal. 109

Universitas Sumatera Utara

49

kedudukan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan
ibunya, sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada
isteri. Sebagian warisan juga diberikan kepada kemanakan perempuan dari saudara
perempuan pewaris. Kemudian sistem waris masyarakat Sakai beradaptasi dari
peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak yang mengharuskan dilakukannya
pembagian warisan menurut garis laki-laki oleh Orang sakai104. Sehingga setelah
diberlakukannya peraturan Kerajaan Siak tersebut sistem kewarisan berubah menjadi
Parental Matrilineal.

D. Ahli waris dalam Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau
Pengertian ahli waris disini adalah orang atau orang-orang yang berhak
meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada
asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi
dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai. Pada masyarakat adat Sakai,
apabila si mati yang merupakan kepala keluarga meninggalkan harta warisan, maka
harta warisan tersebut diberikan seluruhnya kepada anak perempuan dan
kemanakannya105. Kemanakan yang dimaksud adalah anak perempuan dari saudara
perempuan si mati. Kemudian sistem waris masyarakat Sakai beradaptasi dari
peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak yang mengharuskan dilakukannya
pembagian warisan menurut garis laki-laki oleh Orang sakai106. Ahli waris orang

104

Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 192
Ibid
106
Ibid
105

Universitas Sumatera Utara

50

Sakai kemudian berubah menjadi anak laki-laki, anak perempuan dan kemanakan
laki-laki dari saudari perempuan si mati. Anak si mati mendapat separuh dari warisan,
sedangkan separuh lagi diberikan kepada kemanakan laki-laki dari saudara kandung
perempuan107.
Pada masa sekarang, yang menjadi ahli waris Orang Sakai secara adat adalah
anak laki-laki, anak perempuan dan kemanakan laki-laki dari saudari perempuan108.
Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama untuk harta
pencaharian. Sedangkan kemanakan laki-laki dari saudari perempuan kandung
mendapat harta pusako yang terdiri dari keris, konjouw dan gelar Batin109. Selain itu
Orang Sakai yang tidak menikah maupun yang telah menikah tetapi tidak mempunyai
keturunan, maka harta pencaharian akan turun kepada kedua orang tuanya, apabila
kedua orang tua tidak ada lagi, maka harta pencaharian akan jatuh kepada saudaranya
yang perempuan dan untuk selanjutnya kepada kemanakannya110.
Berbicara tentang sistem kewarisan, tidaklah dapat dilepaskan dari sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia.
Apalagi masyarakat hukum Adat yang ada di Indonesia, memeluk agama yang
berbeda-beda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai bentuk
kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda-beda pula.

107

Ibid hal 193
Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
109
Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
110
Hasil Wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
108

Universitas Sumatera Utara

51

Sistem kewarisan yang ada dalam masyarakat-masyarakat adat di Indonesia di
kenal ada 3 (tiga) jenis:
1. Sistem kewarisan individual adalah sistem pewarisan dimana setiap waris
mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan
pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian
harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada
sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain seperti dalam
masyarakat bilateral di Jawa.
2. Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan
ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam bidang hukum di mana harta
tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya di
antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagikan pemakainya saja
kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja).
3. Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta peninggalan diwarisi keseluruhannya
atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak
laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan dimana terdapat
hak mayorat anak perempuan yang tertua111.
Masing-masing sistem tersebut tidak mutlak berlaku pada suatu susunan
kekerabatan tertentu, tetapi juga bisa berlaku dua atau tiga sistem sekaligus, karena
tergantung harta peninggalannya, keadaan ahli waris dan sebagainya.
Sistem kewarisan pada Orang Sakai dahulunya adalah individual kolektif,
dimana harta warisan yang diberikan kepada anak si mati dimiliki secara individual
sedangkan sebagian harta warisan yang diberikan si mati kepada kemanakannya
dikuasai secara bersama-sama, biasanya berupa tanah yang kemudian dikerjakan atau
diolah secara bersama-sama, dan nantinya akan dilanjutkan untuk diwarisi kepada
keturunan selanjutnya secara kolektif. Akan tetapi dengan masuknya agama Islam,
perlahan sistem kolektif mulai memudar, dimana tanah yang tadinya dikuasai secara
111

Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal 165

Universitas Sumatera Utara

52

kolektif oleh sebagian para ahli waris, beralih menjadi harta warisan yang dapat
dibagi secara individual untuk para ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anak
pewaris. Hal ini terjadi karena masyarakat Sakai yang sudah banyak menganut agama
Islam, dan mengikuti sistem waris Islam yang menganut sistem Individual 112.
Pecahnya penguasaan harta warisan yang tadinya kolektif menjadi individual tidak
terlepas dari adanya kesepakatan para pihak. Sehingga pada masa sekarang, harta
pusako yang masih di kuasai secara mayorat adalah keris, konjouw dan batin113.
Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk
pelbagai kepentingan, yaitu perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian
wasiat114. Dilingkungan masyarakat adat yang asas pewarisannya individual, apabila
pewaris wafat maka para ahli waris berhak atas bagian warisannya. Disamping itu,
ada warisan yang tidak dapat dibagikan penguasaan atau kepemilikannya

karena

sifat benda, keadaan dan gunanya tidak dapat dibagi dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama yaitu sebagai berikut115 :
1. Harta Asal atau Harta Bawaan

Harta asal atau harta bawaan adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan
dimiliki oleh pewaris sejak pertama masuk kedalam perkawinan dan

112

Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015
Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani , Tanggal 31 Juli 2015
114
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, Gadjah Mada University Press, 2012, hal 25
115
Anandasasmita, Komar, Pokok-pokok Hukum Waris, IMNO Unpad, Bandung, 1984, hal.
156
113

Universitas Sumatera Utara

53

kemungkinan bertambah sampai akhir hayatnya. Harta bawaan dapat berarti harta
bawaan dari suami maupun isteri, karena masing-masing suami dan isteri
membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan berdiri
sendiri. Harta asal itu terdiri dari :
a. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi
Biasanya berupa benda pusaka peninggalan turun-temurun dari leluhur dan
merupakan milik bersama keluarga. Dalam hal ini masyarakat Sakai memiliki
harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yang dinamakan dengan harta
pusako, yang berbentuk keris, konjouw, rumah adat dan gelar batin. Harta
pusako ini dinamakan harta pusako tinggi yang hanya bisa digunakan sebagai
hak pakai dan diwariskan oleh kemanakan pewaris, begitu juga setrusnya
untuk keturunan berikutnya.
b. Harta peninggalan yang dapat terbagi
Akibat adanya perubahan-perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan
keluarga serumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu karena
melemahnya pengaruh kekerabatan, maka dimungkinkan untuk terjadinya
pembagian, bukan saja terbatas pembagian hak pakai, tetapi juga pembagian
hak miliknya menjadi perseorangan. Terbaginya harta peninggalan dapat
terjadi ketika pewaris masih hidup atau sesudah wafat. Ketika pewaris masih
hidup terdapat pemberian dari sebagian harta yang akan ditinggalkan pewaris
kepada ahli waris untuk menjadi bekal kehidupan para ahli waris selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

54

Dalam masyarakat Sakai Harta yang dapat dibagi adalah Harta Pusako rendah
berbentuk ladang maupun rumah, harta ini dapat dibagikan kepada ahli waris yaitu
keturunan/anak dari pewaris. Harta pusako rendah dapat dibagi sebagai hak milik
kepada keturunan/anak pewaris sesuai dengan kesepakatan para ahli waris.
2. Harta Pencaharian

Harta Pencarian adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan
berlangsung berupa hasil kerja suami ataupun isteri. Sesuai dengan Hukum adat
dan Hukum Islam, pada dasarnya berpindahnya berpindahnya dari tangan yang
meninggal dunia terhadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan
dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang
dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran
lain yang disebabkan oleh meninggalnya orang yang meninggalkan warisan 116.

F. Penyebab Terjadinya Pergeseran Hukum Waris Adat Sakai Menjadi
Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau
Kewarisan dalam Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau, dari hasil
wawancara dengan responden yang didapat pada zaman dahulu waris Sakai menganut
sistem Matrilineal. Akan tetapi sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat
tertentu dalam perkembangannya dapat mengalami perubahan-perubahan. Menurut
Van Dijk dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Adat Indonesia” yang
116

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2000,

hal 16

Universitas Sumatera Utara

55

diterjemahkan oleh Mr. A. Soehardi dinyatakan bahwa perubahan hukum adat dapat
terjadi karena pengaruh kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti.
Perubahan peraturan hukum adat tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba,
mengingat sifat adat istiadat yang suci dan sudah berlaku sejak dahulu kala. Peraturan
hukum adat diterapkan dan diperkenalkan oleh pemangku adat terlebih dahulu pada
situasi-situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian tidak akan
disadari adanya pergantian. Sifat hukum adat yang tidak tertulis mengakibatkan
hukum adat sanggup untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru.
Pengaruh faktor peraturan perundang-undangan terhadap hukum perkawinan
dan hukum keluarga yang menimbulkan kebutuhan akan pendapat baru dalam
bidang-bidang hukum adat. Salah satu perubahan dalam hukum adat, yakni pada pola
pembagian waris. Banyak masyarakat yang awalnya menganut sistem kekerabatan
patrilineal atau matrilineal, dalam perkembangannya melakukan pembagian waris
dengan hak yang sama antara perempuan dengan laki-laki. Pembagian tersebut
dikenal dalam hukum waris adat masyarakat parental. Masyarakat yang menganut
sistem kekerabatan parental pun mengalami perubahan, misalnya pada luas sempitnya
ruang lingkup ahli waris. Hal ini yang terjadi dalam masyarakat Sakai di Kecamatan
Mandau, dimana masyarakat yang awalnya menganut sistem kekerabatan matrilineal,
dalam perkembangannya mengalami perubahan sistem kewarisan mengikuti sistem
waris Islam yang menganut sistem bilateral. Maka dalam penentuan ahli waris

Universitas Sumatera Utara

56

masyarakat Sakai terdapat pergeseran, yaitu anak laki-laki merupakan salah satu ahli
waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.
Faktor keturunan tidak lagi menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam
pembagian harta peninggalan sehingga terjadi perubahan struktur orang-orang yang
berstatus ahli waris dan bukan ahli waris117. Dalam hal pengalihan harta peninggalan
terjadi variasi. Harta tersebut dialihkan kepada ahli waris atau kepada anggota rumah
tangga (keluarga) lain yang bukan ahli waris118.
Masyarakat adat suku Sakai telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat tersebut ternyata diikuti pula oleh
perkembangan akan kebutuhan hukum. Artinya bahwa dalam masyarakat tersebut telah
mengalami pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-nilai hukumnya. Dalam hal ini
pergeseran tersebut telah terjadi dalam kedudukan Ahli waris dan harta warisan.
Sebelumnya laki-laki dianggap berkedudukan di bawah kaum perempuan karena sistem
kekerabatan yang be