Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang mempunyai berbagai
suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya
Hukum waris adat yang dianut oleh masing-masing kepercayaan yang berbeda-beda
dan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda pula1.
Diantara bentuk-bentuk atau sistem kekerabatan dan sistem keturunan yang terdapat di
Indonesia, yaitu sistem keturunan patrilinial, matrilineal dan sistem keturunan parental
atau bilateral, serta ada pula beberapa sistem kewarisan, yaitu: sistem individu, kolektif,
mayorat,kewarisan Islam dan kewarisan barat.
Sistem kehidupan masyarakat banyak ditentukan oleh sistem kekeluargaan
yang bermula dari bentuk perkawinan. Bentuk kekeluargaan itu berpengaruh terhadap
pemikiran dan cara pemilikan atas harta serta cara penyelesaian peralihan harta. Hal ini
Nampak pada praktik pembagian kewarisan hampir di seluruh daerah Nusantara salah
satunya adalah sistem kewarisan yang dilaksanakan oleh masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau.
Menurut Moszkowski dan kemudian yang dikutip oleh Loeb, orang Sakai
adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang


1

Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Sumur, Bandung,
1979,hal 11-12

1

Universitas Sumatera Utara

2

bermigrasi pada sekitar abad ke-14 di daerah Riau2. Ras Veddoid sendiri mempunyai
ciri-ciri tinggi badan antara 153-158 cm untuk laki-lakinya. Mereka berkulit coklat
tetapi lebih terang3. Rambut mereka berombak, rambut hitam yang kasar, mempunyai
tonjolan mata yang menonjol, dan dahi yang mencekung, hidung mereka pesek, muka
kasar, dan dagu yang mencekung. Mulut mereka besar dengan bibir yang tipis. Orang
Sakai hidup dalam wilayah Kabupaten Bengkalis4. Jumlah Orang Sakai terbanyak
adalah yang berada dalam wilayah Kecamatan Mandau5.
Orang Sakai sebagai komunitas masyarakat terpencil dalam kehidupan seharihari hidup berdampingan dengan masyarakat lain, mereka masih mempertahankan
tradisi leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi mereka telah mulai menyesuaikan

dengan perubahan yang terjadi akibat modernisasi, karena warga Sakai oleh
masyarakat sekitar telah diberikan kesempatan dan peluang untuk diasimilasikan
dengan masyarakat lainnya. Misalnya pembangunan pemukiman yang berdekatan
dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan perkawinan, mempekerjakan
pada perusahaan serta telah mengenyam bangku pendidikan6.
Pemukiman masyarakat Sakai sudah mulai mengalami kemajuan, rumah-rumah
mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, rotan, atau bambu dan beratapkan rumbia akan
tetapi mereka sudah ada yang memiliki rumah yang terbuat dari batu dan telah beratapkan
2

Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal 72
3
Orang Kubu Dalam Kaca Mata Edwin Loeb, 19 Desember 2008,
http://etnobudaya.net/2008/12/19/orang-kubu-dalam-kaca-mata-edwin-loeb/, diakses pada tanggal 28
April 2015
4
Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 69
5
Ibid

6
Isjoni, Orang Sakai Dewasa Ini, Unri Press, Pekanbaru, 2005, hal 19

Universitas Sumatera Utara

3

seng. Mereka juga sudah mengenal kendaraan bermotor sebagai alat transportasi7.
Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting
dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam
berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompokkelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan
ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga 8.
Orang Sakai menganut agama yang diselimuti oleh keyakinan pada animisme,
kekuatan magi, dan tenung9. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah memeluk
agama Islam tetapi agama asli mereka tetap mereka yakini10. Mereka percaya bahwa
lingkungan hidup dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu”, dimana
Antu itu ada yang baik dan ada yang jahat11.
Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan
menurut garis keturunan ibu/perempuan. Sistem kekerabatan ini lebih mengutamakan
kedudukan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan

ibunya, sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada
isteri. Oleh sebab itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki
anak perempuan, maka seolah-olah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian
bukan berarti anak laki-laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki-laki membantu
orang tua meringankan beban hidup keluarga.
7

Ibid, hal 21
Ibid, hal. 34.
9
Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 194
10
Ibid
11
Ibid, hal 196
8

Universitas Sumatera Utara

4


Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam
berhadapan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, dipelihara dan ditaati sebagai
sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Oleh karena itu, proses penerimaan
hukum kewarisan Islam sebagai hukum bersama-sama dengan sistem hukum kewarisan
adat suku Sakai mengatur kewarisan masyarakat tersebut, yang kemudian lambat laun
hukum kewarisan Sakai dalam hal tertentu digeser posisinya oleh hukum kewarisan
Islam bagi mereka yang menganut agama Islam.
Tabel I
Tabel Penduduk Menurut Agama Tahun 2012
Provinsi Riau
Sumber : Kementerian Agama Riau 2012

Agama
No

Kabupaten/Kota

Islam


Kristen

Katolik

Hindu

Buddha

Khong
hucu

Jumlah

1

Kota Pekanbaru

631,504

52,520


37,608

4,431

26,326

202

752,591

2

Kab. Bengkalis

442,889

37,857

8,868


282

39,991

31

529,918

3

Kab. Kampar

665,323

63.557

6.689

88


523

-

736.225

4

Kab. Indragiri Hulu

499,786

11,050

8,977

2,931

9,253


-

531,997

5

Kab. Indragiri Hilir

660,009

4,073

2,571

2,161

4,661

194


673,669

6

Kota Dumai

222,904

96,539

1,590

2,879

8,211

313

332,436

7

Kab. Pelalawan

302,604

22,244

7,674

360

1,317

700

334,899

8

Kab. Rokan Hilir

426,255

26,654

19,590

3,157

13,543

-

489,199

9

Kab Rokan Hulu

415,304

25,564

5,215

31

236

-

446,350

10

Kab. Siak

337,074

57,403

5,703

282

4,343

140

404,945

11

Kab. Kuantan Singingi

325,856

499

1,020

44

126

-

327,545

12

Kepulauan Meranti

156,947

1,850

311

770

36,185

1,774

197,837

5,086,455

401,810

105,816

17,416

144,715

3,354

5,759,566

Jumlah

Sumber : Kementerian Agama Riau 2012

Universitas Sumatera Utara

5

Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 12. Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari Pasal 171 sampai
dengan Pasal 193.
Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk hukum kewarisan secara
nasional yang dapat mengatur pewarisan secara nasional, sehingga dalam hukum
kewarisan di Indonesia dapat menggunakan berbagai macam sistem pewarisan antara
lain: sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut
hukum adat dan sistem kewarisan menurut hukum Islam 13. Ketiga sistem ini semua
berlaku dikalangan masyarakat hukum di Indonesia. Para pihak dapat memilih hukum
apa yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan
mencerminkan rasa keadilan. Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut
Faraidh dalam literatur Hukum Islam adalah satu bagian dari keseluruhan Hukum
Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang
yang masih hidup14 Harta Peninggalan dari seorang Pewaris yang beragama Islam,
pembagiannya wajib menggunakan Hukum Waris Islam (faraidh)15. Kewajiban ini
dapat dikaji dalam Al-Qur’an surat Al Maidah dan surat An Nisaa’ 16.
12

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2011, hal 54
13
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, hal 12
14
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004, hal 16
15
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil Dengan Metode Perhitungan Mudah
Dan Praktis, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal 2-3
16
Ibid

Universitas Sumatera Utara

6

Surat Al Maidah Ayat 44 yang artinya 17 “Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang kafir”. Surat Al Maidah Ayat 45 yang artinya 18 “Barang siapa yang tidak
memutus perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang dzalim.” Surat Al Maidah Ayat 46 yang artinya 19 “Barang siapa yang
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
termasuk orang-orang yang fasik.” Surat An Nisaa Ayat 14 yang artinya20 “Dan
barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya dan
baginya siksa yang menghinakan.”
Menurut syariat, faraidh didefinisikan sebagai hukum yang mengatur pembagian
harta waris, yang berdasarkan ketentuan Allah swt dan Rasulullah saw, karena langsung
bersumber dari Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan Maha Tahu kebutuhan
manusia, maka hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khusunya kaum muslimin
untuk menentangnya ataupun mengubahnya dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah
swt. dan Rasulullah saw tentang pembagian harta waris tersebut21.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al
Qur’an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW

17

Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1971, hal 95
Ibid, hal 96
19
Ibid
20
Ibid, hal 67
21
Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, Nusantara
Publisher, Jakarta, 2009, hal 1
18

Universitas Sumatera Utara

7

dan Hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang didiamkan Rasul22.
Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist-Hadist Rasul dasar hukum kewarisan itu ada yang
secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi
pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber Hukum kewarisan
itu dalam surat An-Nisa; disamping sunah-sunah lainnya sebagai pembantu23.
Hukum kewarisan sebagai pernyataan tekstual yang tercantum dalam AlQur’an dan Sunnah itu berlaku secara universal bagi seluruh umat Islam dan
mengandung nilai-nilai yang bersifat abadi24. Al-Qur’an dan Sunnah dipandang telah
mencukupi sebagai sumber legislasi yang memberi pedoman hukum yang berkenaan
dengan kehidupan pribadi dan sosial muslimin, khususnya dalam bidang kewarisan 25.
Kehidupan manusia yang dinamik membutuhkan Hukum yang bisa berubah dengan
perubahan kondisi sosial budaya, menghadapi perubahan sosial budaya yang
demikian, maka diperlukan usaha dengan mencurahkan segala kemampuan berfikir
guna mengeluarkan Hukum syari’at dan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, inilah
yang dinamakan dengan Ijtihad26. Hasil Ijtihad inilah yang dijadikan sumber oleh
kaum muslimin dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam
Al-Quran dan Sunnah, khususnya persoalan yang berkaitan dengan kewarisan27.

22

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HUkum Kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal 45
23
Ibid, hal 35
24
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Pustaka Jaya, Jakarta,
1995, hal 1-2
25
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hal 16
26
Ibid
27
Ibid

Universitas Sumatera Utara

8

Tujuan dari Hukum Kewarisan Islam adalah mengatur cara-cara membagi
harta peninggalan agar dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik. Oleh
karena itu harta peninggalan adalah hak milik dari yang meninggal baik yang ia
dapatkan sendiri, secara perseorangan atau pemberian secara sah dari orang lain atau
warisan turun temurun. Harta tersebut menurut Islam adalah urusan keluarga ahli
waris tidak dapat dicamputi oleh orang luar.
Hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri,
berbeda dengan Hukum kewarisan lain28. Berbagai asas Hukum ini memperlihatkan
bentuk karakteristik dari Hukum kewarisan Islam itu, sistem kewarisan Islam
memiliki asas yang menjadi pedoman, antara lain29 :
1. Asas Ijbari
Hukum kewarisan Islam didasarkan kepada asas ijbari dalam pengertian
bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya kepada orang-orang yang
dikehendakinya 30. Asas Ijbari dalam Hukum kewarisan Islam mengandung arti
bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada
kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya 31. Hal ini berarti
peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah tanpa tergantung kepada
28

Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 19
Ibid
30
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2006, hal 207
31
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 17-18
29

Universitas Sumatera Utara

9

kehendak ahli waris atau pewaris. Ahli waris langsung menerima kenyataan
pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam Hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak
atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan
dari kerabat keturunan perempuan32. Dalam Al Qur’an7 surat An Nisaa’
dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapatkan warisan dari pihak
ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang anak perempuan berhak
menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya 33.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti
bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan34. Masingmasing ahli waris menerima bagiannnya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Pembagian secara individual ini didasarkan pada ketentuan bahwa
setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menjalankan hak dan
kewajibannya. Dengan demikian, harta waris yang telah dibagi sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan menjadi milik ahli waris secara individual.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam Hukum kewarisan Islam berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan
32

Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 54
Ibid
34
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 21
33

Universitas Sumatera Utara

10

dalam melaksanakan kewajiban35. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an
surat An Nisaa’ ayat 7, yakni bahwa anak laki-laki demikian juga anak
perempuan ada bagian harta dari peninggalan ibu bapaknya. Kata keadilan yang
berasal dari bahasa Arab yaitu “al-adl” berarti keadaan yang terdapat di dalam
jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Mengenai hak-hak ahli waris
seperti anak laki-laki dan anak perempuan dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat
11, hak bapak dan ibu juga terdapat pada ayat tersebut, hak suami dan isteri
terdapat dalam ayat 12, hak saudara laki-laki dan saudara perempuan terdapat
pada ayat 12 ayat 176 surat An Nisaa’. Dari ayat-ayat tersebut terdapat dua
bentuk bagian yang diperoleh laki-laki dan perempuan yaitu:
(a) Laki-laki mendapat jumlah yang sama dengan perempuan seperti ibu dan
bapak sama-sama mendapat seperenam apabila pewaris meninggalkan anak
sebagaimana tersebut dalam ayat 11 surat An Nisaa’, begitu pula saudara
laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam
kasus pewaris kalalah sebagaimana tersebut pada ayat 12 surat An Nisaa’.
(b) Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak yaitu dua kali lipat dari bagian
perempuan dalam kasus yang sama, yaitu antara anak laki dan anak
perempuan dalam ayat 11 surat An-Nisa dan antara saudara laki-laki dan
saudara perempuan dalam ayat 176 surat An-Nisa dalam kasus yang
terpisah. Duda mendapat dua kali lipat dari bagian janda yaitu seperdua

35

Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 57

Universitas Sumatera Utara

11

untuk duda jika isteri tidak meningglkan anak, sementara janda hanya
mendapat seperempat bagian jika suami tidak meninggalkan anak.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang
mempunyai harta meninggal dunia36. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta
masih hidup37.Dengan demikian, harta seseorang tidak dapat beralih selama
pemilik harta (warisan) yang bersangkutan masih hidup. Jika ada peralihan harta
kepada ahli waris, misalnya kepada anak dari orang tuanya, maka dalam hukum
Islam hal itu disebut dengan hibah.
Ada perbedaan dalam hal pembagian harta warisan dari si mati yang berlaku
pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan yang berlaku sekarang 38.
Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia harta warisan si mati yang
merupakan milik kepala keluarga diberikan seluruhnya kemanakannya, yang mutlak
seluruhnya harus diberikan kepada kemanakan si mati dinamakan pusako (harta
pusaka) yang terdiri atas senjata, perhiasan, dan peralatan berharga lainnya 39. Pada
zaman sekarang bila yang mati adalah kepala keluarga (suami) maka separuh warisan
dari si mati diberikan kepada kemanakan laki-laki anak dari saudara kandung

36

Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 28
Ibid
38
Ibid
39
Ibid, hal 196
37

Universitas Sumatera Utara

12

perempuan, dan separuhya lagi di berikan kepada anak-anak kandungnya40. Warisan
yang terutama harus dibagi dua tersebut dinamakan pusako, hal yang sama juga berlaku
bagi pusako yang dimiliki istri yang meninggal41.
Dalam adat Sakai yang menarik keturunannya secara Matrilineal memang
bertolak belakang dengan garis keturunan menurut Islam yang Bilateral. Demikian
pula dengan hukum kewarisannya yang dalam masyarakat Sakai yang dilakukan
secara kolektif sedangkan hukum Islam melakukannya secara Individual.
Salah satu contoh sengketa waris yang terjadi di Desa Petani adalah YSF
(anak laki-laki) dan NS (anak perempuan). Sebelum orang tua mereka meninggal,
orang tua mereka meninggalkan warisan harta peninggalannya berupa satu bidang
ladang sebuah rumah, emas dan sebuah sepeda motor. YSF hanya mendapat sebidang
ladang dan sebuah sepeda motor, sedangkan NS mendapat sebuah rumah dan emas.
Tetapi YSF menolak untuk menerima porsi bagian warisan yang telah ditentukan
untuknya. Penyelesaian sengketa waris ini dimusyawarahkan melalui Ketua Adat42.
Dalam hal ini Ketua Adat memberi keputusan bahwa harta warisan pewaris dibagi
sesuai dengan waris Islam, sehingga dengan demikian para pihak wajib mematuhi
keputusan Ketua Adat43.

40

Ibid, hal 192-193
Ibid
42
Hasil Wawancara dengan Suibri, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 10 Mei 2015
43
Hasil Wawancara dengan Suibri, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 10 Mei 2015
41

Universitas Sumatera Utara

13

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka akan dilakukan
penelitian tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Hukum Waris Islam pada masyarakat
Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah adalah
sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi pergeseran Hukum waris adat menjadi Hukum waris Islam pada
masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ?
2. Bagaimana pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan
Mandau ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa harta warisan pada masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap
ketiga permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab bergesernya Hukum waris adat menjadi Hukum
waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa harta warisan pada masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau.

Universitas Sumatera Utara

14

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah
maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang Hukum
Waris terutama tentang pelaksanaan hukum waris Islam pada Masyarakat Sakai di
Kecamatan Mandau.
2. Secara Praktis
Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan kepada
masyarakat adat muslin Sakai, praktisi, ketua adat Sakai, dan pihak-pihak terkait lainnya.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan
Universitas Sumatera Utara khususnya dilingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan
judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang
berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain :
1) Farida Hanum, Nim 027011018, dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris Islam
Dalam Lingkungan Adat Mandailing Godang (Studi Pada Mandailing Godang
Kabupaten Madina).
Rumusan Masalah :

Universitas Sumatera Utara

15

1. Bagaimana pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing
Godang ?
2. Apa sajakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Hukum waris Islam
pada masyarakat Madailing Godang ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa masalah harta warisan pada masyarakat
Mandailing Godang ?
2) Adi Fitra, Nim 107011062, dengan judul Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap
Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Gayo (Studi di Kabupaten Aceh Tengah).
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada
masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ?
2. Bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah ?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah
titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ?
3) Mika Lestari, Nim 117011027, dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris Islam
pada Masyarakat Batak Toba (Studi di Kota Medan).
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Batak Toba di
Kota Medan ?

Universitas Sumatera Utara

16

2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di
kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di Kota Medan ?
4) Indamayasari, Nim 137011033, dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Penerima
Hibah Yang Melebihi Ketentuan Dalam Hukum Waris Islam (Studi Kasus Putusan
No. 85 K/AG/2010).
Rumusan Masalah :
1. Mengapa Kompilasi Hukum Islam memberikan pembatasan dalam pemberian
hibah ?
2. Bagaimana akibat hukum hibah yang melebihi ketentuan di dalam Fiqih dan
Kompilasi Hukum Islam ?
3.

Apakah yang menjadi pertimbangan Hukum hakim terhadap kasus hibah yang
melebihi ketentuan HUkum Islam di Pengadilan Agama Medan Nomor
616/Pdt.G/PA-Mdn ?

5) Fatma Yulia, 2008, Universitas Gajah Mada, dengan judul Pandangan Masyarakat
Suku Sakai Terhadap Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat di Kecamatan
Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau
Rumusan Masalah :
Bagaimana pandangan masyarakat suku Sakai luar terhadap sistem pewarisan
menurut Hukum adat di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau ?

Universitas Sumatera Utara

17

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Secara khusus,
teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha
menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan
sebab-akibat yang terjadi44. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu
kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak
biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Receptie Exit.
Menurut Hazairin, bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai
sebagian dari perkara imannya45. Selanjutnya Hazairin menyatakan bahwa46
Persoalan lain yang sangat mengganggu dan menentang iman orang Islam ialah
“Teori Receptie” yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda untuk merintangi
kemajuan Islam di Indonesia. Menurut teori receptie itu hukum Islam bukanlah
hukum, hukum Islam itu baru boleh diakui sebagai hukum jika hukum Islam itu telah
menjadi Hukum adat. Tergantunglah kepada kesediaan masyarakat adat penduduk
setempat untuk menjadikan Hukum Islam yang bukan Hukum itu menjadi Hukum
44

Sardar Zainuddin, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Mizan, Bandung, 1996, hal 43
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta, 1974, hal 101
46
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1982, hal 7-8

45

Universitas Sumatera Utara

18

adat. Teori receptie, yang telah menjadi darah daging kaum yurist Indonesia yang
dididik di zaman Kolonial baik di Jakarta (Batavia) maupun di Leiden, adalah
sebenarnya teori iblis, yang menentang iman orang Islam, menentang Allah,
menentang Al-Qur’an, menentang sunnah Rasul.
Pada akhirnya tentang keberadaan dan berlakunya teori receptie ini setelah
Indonesia merdeka, Hazairin mengemukakan sebagai berikut: Bahwa teori receptie, baik
sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisch
Staatsregeling sebagai konstitusi Belanda telah lama mati,

yaitu terhapus dengan

berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia47. Jadi, menurut
Hazairin, teori Receptie, yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bagi orang
Islam kalau sudah diterima dan menjadi bagian dari hukum adatnya, sebagaimana
dikemukakan oleh C.Snouck Hurgronje, adalah teori iblis (syetan) dan telah mati, artinya
telah hapus atau harus dinyatakan hapus dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah
yang dimaksud dengan teori Receptie Exit.
Teori ini menyebutkan bahwa hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum
jika sudah diterima oleh hukum adat48. Hukum Adat pada masyarakat Sakai telah
mengalami pergeseran akibat masuknya Agama Islam. Hal ini dapat terlihat dalam
kehidupan masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau yang mayoritas telah memeluk

47

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tintamas,
Jakarta, 1975, hal 8
48
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2006, hal 298

Universitas Sumatera Utara

19

agama Islam, dimana Hukum Islam tersebut telah diberlakukan oleh sebagian
masyarakat Sakai dalam pelaksanaan Waris.
Sebagian besar masyarakat Sakai mengikuti hukum Islam yang bersumber dari AlQuran dan Hadist, karena mayoritas Suku Sakai beragama Islam. Banyak masyarakat
Sakai yang menggunakan hukum Islam untuk membagi warisan. Hal ini pernah dijelaskan
dalam teori Receptio in Complexu yang mengungkapkan bahwa adat-istiadat dan hukum
adat suatu golongan hukum masyarakat adalah receptio (penerimaan) seluruhnya dari
agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum adat suatu golongan masyarakat
adalah penerimaan secara bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat
itu. Dalam hal ini, Suku Sakai secara mayoritas beragama Islam dan menggunakan hukum
Islam untuk membagi warisannya.
Menurut teori Receptie Exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus
didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum adat. Pemahaman demikian lebih
dipertegas lagi antara lain dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974,
tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2
ayat 1), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
Selain itu, didalam penelitian ini digunakan teori pendukung, yaitu teori
keadilan. Berbicara tentang keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli,
salah satunya adalah Plato49. Dalam mengartikan keadilan Plato sangat dipengaruhi
oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis,
49

Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal 91

Universitas Sumatera Utara

20

dengan berbagai organisme sosial, setiap warga Negara harus melakukan tugasnya
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya 50.
Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip
keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata setuju, tetapi benar-benar merupakan jelamaan
kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian
prinsip keadilan tersebut51. Masalah keadilan muncul ketika ketika individu-individu yang
berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus
mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah
keadilan52. Sehingga penyelesaian sengketa waris pada masyarakat Sakai akan
menimbulkan keadilan bagi para pihak, baik secara adat maupun secara Islam.
2. Konsepsi
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus
yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan
diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.53
Adapun uraian dari konsep atau istilah yang digunakan dalam penulisan ini
agat terlaksana sesuai dengan tujuan yang akan ditentukan diantaranya adalah :
a. Hukum Kewarisan adalah adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing54.

50

Ibid, hal 91-92
Ibid
52
Ibid
53
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 132
51

Universitas Sumatera Utara

21

b. Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan
yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh
beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik
dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat55.
c. Ahli Waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan
(nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris56.
d. Harta Waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat57.
e. Sistem Kekerabatan Matrilineal adalah Sistem Kekerabatan yang berdasarkan
pertalian keturunan melalui keibuan yang menarik garis keturunannya dari pihak
ibu terus keatas58.
f. Sistem Kekerabatan Parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan
pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya melalui
pihak ayah dan pihak ibu ke atas59
g. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang
dihimpun. KHI di Indonesia merupakan langkah awal dalam kodifikasi hukum islam

54

Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006, hal 107
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 85
56
Ibid, hal 47
57
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006, hal 107
58
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 26
59
Ibid, hal 27
55

Universitas Sumatera Utara

22

dibidang muamalah yang berlaku yuridiksi Peradilan Agama bagi warga Negara
Indonesia yang beragama Islam. KHI berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh
Peradilan Agama di Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal
10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tertanggal 22 Juni
199160.
h. Masyarakat

Sakai

adalah

sekelompok orang campuran

Vedoid

dengan

Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14, dan menganggap bahwa mereka
datang dari negeri Pagaruyung61.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang akan
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara menyeluruh tentang masalah dan
sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis sehingga dapat lebih mudah
dipahami dan disimpulkan.
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dilakukan melalui pendekatan Yuridis Empiris. Pendekatan
yuridis dilihat dari segi perundang-undangan, peraturan-peraturan serta norma hukum
yang relevan. Sedangkan pendekatan empiris menekankan pemelitian bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke lapangan62.

60

Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006
Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 72
62
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Judimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1990, hal 40
61

Universitas Sumatera Utara

23

Penelitian ini digunakan karena data-data yang dibutuhkan berupa hasil wawancara
dengan para informan.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis,
sebab Kecamatan Mandau banyak dihuni oleh masyarakat adat Sakai yang telah
beragama Islam. Kecamatan Mandau terdiri dari 15 desa, sehingga akan diambil 3
Desa sebagai sampel yaitu, Desa Petani, Desa Kesumbo Ampai, dan Desa Bumbung.
4. Populasi dan Teknik Sampling
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau
seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti63. Populasi atau Universe adalah
seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau
seluruh unit yang akan diteliti64. Populasi biasanya sangat besar dan sangat luas,
maka kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu. Dalam suatu
penelitian sebenarnya tidak perlu meneliti semua obyek atau semua individu atau
semua kejadian atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan gambaran yang
tepat dan benar mengenai keadaan populasi tersebut, maka cukup diambil sebagian
saja untuk dapat diteliti sebagai sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Sakai muslim yang
tinggal di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis yang terdiri dari 15 Desa yaitu :
1. Desa Harapan Baru
2. Desa Sebangar
63
64

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 44.
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 172

Universitas Sumatera Utara

24

3. Desa Balai Makam
4. Desa Petani
5. Desa Bumbung
6. Desa Kesumbo Ampai
7. Desa Tambusai Batangdui
8. Desa Simpang Padang
9. Desa Pematang Obo
10. Desa Air Kulim
11. Desa Buluh Manis
12. Desa Bathin Betuah
13. Desa Boncah Mahang
14. Desa Pamesi
15. Desa Bathin Sebonga 65
Dari 15 Desa tersebut akan diambil 3 Desa sebagai sampel, dan dari setiap Desa
akan diambil 5 Orang sebagai responden.
Tabel 2
Sampel Desa dan Responden
No

Sampel Desa

Responden

1

Desa Petani

5 Orang

2

Desa Kesumbo Ampai

5 Orang

3

Desa Bumbung

5 Orang

JUMLAH

15 Orang

Alasan pemilihan 3 desa tersebut sebagai sampel adalah karena sebagian
Orang sakai di desa tersebut mayoritas memeluk agama Islam 66. Kemudian dari tiap
desa diambil masing-masing lima kepala keluarga sebagai responden. Pertimbangan
dalam pemilihan para responden adalah, Orang sakai yang merupakan penetap lama,

65

Situs Resmi Pemerintahan Kabupaten Bengkalis Government Of Bengkalis Refency, Selasa
03 Februari 2015, http://www.bengkaliskab.go.id/statis-18-kecamatan-mandau.html, diakses pada
tanggal 20 April 2015
66
Hasil Wawancara dengan Suibri, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 20 April 2015

Universitas Sumatera Utara

25

yang telah memeluk agama Islam dalam waktu yang lama, dan telah menggunakan
waris Islam dalam menyelesaikan warisannya.
Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive
Sampel. Mardalis dalam bukunya mengemukakan bahwa 67 Penggunaan teknik
Purposive Sampel mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan sengaja, cara
penggunaan sampel ini diantara populasi sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Penggunaan teknik ini
senantiasa berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri tertentu yang telah
didapat dari populasi sebelumnya.
5.

Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Selain itu

digunakan juga data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum, yaitu :
a.

Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif)68.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari : Al-Qur’an dan Hadist.
b.

Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan

hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum,
makalah, media cetak dan elektronik.
c.

Bahan Hukum Tersier
67

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 1989, hal

68

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 47

58

Universitas Sumatera Utara

26

Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam
penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah dan internet serta bahan-bahan
diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan
2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah semua literatur yang
berhubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh
dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundangundangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
2. Studi Lapangan
Data atau materi pokok dalam penelitian diperoleh langsung melalui
penelitian dengan penyebaran kuesioner dan wawancara secara bebas dan terbuka
dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan terhadap 1 (satu)
orang Kepala Desa, 2 (dua) orang Ketua Adat dan 1 (satu) orang Pemuka Agama di
Kecamatan Mandau sebagai Informan.
7. Alat Pengumpul Data
Alat Pengumpul Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara

27

a. Studi Dokumen, yang akan dilakukan dengan kegiatan penelusuran peraturan
perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari sistem hukum yang
dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi 69.
b. Wawancara , yaitu dengan menemui secara langsung pihak-pihak yang terkait
dalam penelitian ini seperti 1 (satu) orang Kepala Desa, 2 (dua) Orang Ketua Adat
dan 1 (satu) Orang Pemuka Agama di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.
c. Kuesioner, yaitu memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan kepada
responden, yaitu masyarakat sakai yang beragama Islam.
8. Analisis Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul secara lengkap dan disusun
secara sistematis, selanjutnya akan dianalisis. Dalam penelitian ini penulis memilih
metode analisis data secara kualitatif yaitu analisis berupa kalimat dan uraian.
Dimana terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap data yang diperoleh selama
penelitian, kemudian dianalisi dengan teori yang melandasinya untuk mencari dan
menemukan hubungan/relevansi antara data yang diperoleh, kemudian ditarik
kesimpulannya dengan menggunakan metode induktif mengenai pelaksanaan Hukum
waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.

69

Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 109

Universitas Sumatera Utara