Analisis Perilaku Konsumen Produk Organik di Provinsi Sumatera Utara

18

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produk Organik
Saat ini, keamanan pangan adalah menerima perhatian lebih daripada
sebelumnya oleh pemerintah dan pembuat kebijakan, profesional kesehatan,
industri makanan, masyarakat biomedis, dan masyarakat (Magkos Arvaniti,
Zampelas, 2006). Keamanan makanan menjadi salah satu yang penting untuk
makanan. Ketakutan terhadap kualitas makanan telah meningkat beberapa tahun
belakang ini yang mencakup pembelian makanan dan aspek-aspek pertanian
(Buzby, 2001). Timbulnya kesadaran konsumen terhadap dampak negatif dari
produk yang tidak ramah lingkungan akan berpengaruh pada pasar (Lanasier,
2002).
Makanan organik tidak saja merujuk hanya pada makanan itu sendiri,
tetapi juga bagaimana itu makanan tersebut diproduksi. Makanan berlabel organik
harus memenuhi atau melebihi peraturan Program Organik Nasional (NOP).
Makanan tersebut harus tumbuh dan diproses menggunakan metode pertanian
organik yang mendaur ulang sumber daya dan mempromosikan keanekaragaman
hayati. Tanaman harus ditumbuhkan tanpa menggunakan pestisida sintetik, gen
buatan, pupuk berbasis petroleum dan limbah berbasis pupuk. Ternak organik

harus memiliki akses ke luar rumah dan tidak diberi antibiotik atau hormon
pertumbuhan. Metode produksi organik menekankan penggunaan sumber daya
terbaharui, konservasi tanah dan air (Food Marketing Institut, 2007).
Di Indonesia untuk sebuah produk makanan dapat dikatakan organik,
produser makanan tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, termasuk

18

19

penggunaan pupuk sintetis atau penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan
serta memfokuskan pada daur ulang dan penggunaan kembali bahan – bahan
pengolahan jika dimungkinkan. Produk organik harus diregulasi dimana regulator
mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur produk/pangan organik di
Indonesia. Oleh karena pengawasan produk tersebut diserahkan kepada lembaga
independen yaitu Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO). Pelaksanaan
tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang mempunyai tugas menetapkan akreditasi
dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem
akreditasi dan sertifikasi (http://www.kan.or.id/?page_id=331&lang=id). Otoritas

Kompeten Pangan Organik (OKPO) berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 380/Kpts/OT.130/10/2005 berada di Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran hasil Pertanian (PPHP), dan Dirjen PPHP sebagai Ketua OKPO.
OKPO bertugas menetapkan kebijakan tentang pengaturan, pengawasan dan
pembinaan sistem pangan organik. Bersama stakeholder terkait, OKPO
menginisiasi peninjauan kembali Standar Nasional Indonesia (SNI) sistem pangan
organik (SNI 01-6729-2002) sebagai acuan bagi produsen yang ingin bertani
secara organik dan ingin mendapatkan pengakuan formal melalui sertifikasi.
(http://epetani.deptan.go.id

/berita/memantau-gaung-gerakan-go-organik-2010-

220)
Berbagai kendala yang dihadapi pertanian organik antara lain: 1) belum
ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2)
perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang
benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga

20


petani

enggan

memproduksi

komoditas

tersebut

(http://www.litbang.

deptan.go.id).

2.1.1. Ciri-ciri Produk Organik
Salah satu cara untuk mengetahui apakah bahan makanan segar di pasar
merupakan makanan organik atau organic food yaitu dengan melihat label yang
dapat dilihat pada daftar komposisi pada kemasan, kedua, melalui sertifikasi
organik yang mungkin dikeluarkan oleh beberapa lembaga berwenang dari luar
negeri atau Bio-cert dan ketiga lihat ciri-ciri produk organik seperti sayur dan

buah biasanya berpenampilan tak sempurna. Kadang ditemukan beberapa lubang
bekas gigitan ulat dan berwarna lebih tajam. Untuk buah, biasanya berwarna lebih
menonjol dan tak mengkilat. Mengkilat adalah tanda buah itu sudah di-wax atau
dilapisi lilin agar awet selama penyimpanan. (http://www.organic indonesia.org
Diunduh tanggal 12 April 2013). Bila hasil produk organik tidak diberi label
organik, tentu sulit bagi orang awam untuk membedakannya dengan produk yang
nonorganik. Untuk itu, konsumen memang harus lebih mengandalkan perbedaan
fisik produk makanan organik dengan yang bukan organik.
Lubang-lubang di antara lembar daun sayuran biasanya disebabkan
pertanian organik tak menggunakan pestisida untuk mengatasi hama. Namun,
meski terdapat lubang-lubang, penampilan sayuran hijau organik umumnya
berwarna lebih menarik, tajam, dan segar. Rasa yang dihasilkan pun berbeda
dengan produk pertanian biasa. Sejumlah konsumen produk organik pun
mengakui rasa wortel organik lebih lezat dan tak berbau. Bahkan, ketika diolah
menjadi jus, wortel akan terasa lebih nikmat. Sedangkan beras organik yang

21

dimasak menjadi nasi, juga akan lebih tahan lama dan tak mudah basi. Hal ini
sangat berbeda dengan makanan bukan organik karena memakai zat tambahan

agar kelihatan lebih segar. Ada tujuh ribu jenis bahan tambahan yang secara resmi
boleh digunakan dalam makanan nonorganik untuk membuatnya tidak mudah
layu, agar warnanya lebih cerah, terasa lebih manis, lebih renyah atau sekedar
agar sedikit lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh produsennya tanpa
menggunakan zat-zat itu. Sebenarnya bahan tambahan itu tidak diperlukan dan
bahkan merugikan. Bahan-bahan tambahan itu kebanyakan mengandung zat yang
bisa memicu kanker dan bisa menyebabkan kerusakan (http://pranaindonesia.
wordpress.com. Diunduh tanggal 12 Desember 2015).

2.1.2. Manfaat Makanan Organik
Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa buah-buahan, sayur mayur
dan kacang-kacangan yang ditanam secara organik lebih banyak mengandung zat
nutrisi, termasuk vitamin C, zat besi, magnesium dan fosfor, dan sangat sedikit
mengandung nitrat dan endapan pestisida dibandingkan dengan tumbuhan yang
ditanam dengan menggunakan pestisida dan pupuk sintetis. Orang yang
mengkonsumsinya akan bertambah sehat, karena makanannya lebih banyak
mengandung nutrisi, dan kurang kandungan zat yang membahayakan kesehatan.
Lingkungan yang digunakan untuk pertanian organik ternyata juga lebih
menyehatkan dan tidak merusak ekosistem karena tidak dicemari oleh zat kimiawi
(Willer et al., 2011. Banyak orang yang sadar bahwa makanan yang ditumbuhkan

berdasarkan prinsip organik terbebas dari herbisida dan pestisida berbahaya. Fakta
menunjukkan bahwa makanan organik memiliki manfaat kesehatan yang

22

signifikan karena tidak memiliki residu kimia dan patogen serta nilai-nilai gizi
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan makanan konvensional. (Andre,
2004).
Cranfield, Henson, dan Holliday. (2009) mengungkapkan manfaat yang
diperoleh paling tinggi dari pertanian organik yaitu alam karena alam tidak
terkena dampak dari paparan bahan kimia pertanian serta memperbaiki kualitas
makanan yang diproduksi. Selanjutnya pertanian organik, memberi dampak
ekonomi, dengan biaya yang lebih rendah dan profitabilitas yang lebih tinggi.
Anderson, Wachenheim, dan Lesch, (2006) yang meneliti makanan organik dan
hasil rekayasa bioteknologi menunjukkan bahwa produksi organik telah
meningkat secara dramatis selama dekade terakhir. Penelitian ini menunjukan
proses organik dan produk memberi kontribusi kesehatan, lingkungan, etika, dan
risiko. Makanan organik dianggap sebagai sehat dan aman. Lebih lanjut menurut
Crinnion (2010) menjelaskan secara spesifik makanan organik ternyata memiliki
vitamin C yang lebih tinggi, zat besi, magnisium, dan fosfor dibandingkan dengan

makanan non organik untuk makanan yang sama, dengan tingkat residu pestisida
dan nitrat yang lebih rendah serta menghasilkan antioksidan yang lebih tinggi.
Selanjutnya Crinnion mengungkapkan, dalam studi in vitro pada buah-buahan dan
sayuran makanan organik, secara konsisten menunjukkan bahwa makanan organik
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar, penekan ampuh pada senyawa
beracun, dan menghambat proliferasi sel kanker tertentu.
Manfaat bagi makanan organik juga dapat dilihat dari segi ekonomi.
Sebuah survei dilakukan pada bulan Agustus 2007 di Sumatera Utara dan dari
Mei sampai Juni 2008 di Jawa Barat, pertanian organik dapat berkontribusi pada

23

pendapatan petani yang lebih tinggi. Tanaman pangan organik tidak hanya soal
produksi, tetapi juga masalah pemasaran atau menjual produk organik. (Jahro,
2010),
Manfaat yang diperoleh dalam mengkonsumsi pangan organik adalah
untuk kesehatan (Chakrabarti, 2010)

makanan organik mengandung zat


antioksidan dan serat yang penting serta kadar nitrat lebih rendah yang dapat
mengurangi tekanan darah, mengurangi resiko penyakit jantung dan stroke,
penangkal kanker dan demensia (pikun) serta untuk menjaga kesehatan
pencernaan karena mampu mengikat zat racun, kolesterol, dan kelebihan lemak
sehingga dapat mencegah berkembangnya sumber penyakit. Produk organik jauh
lebih menyehatkan karena tidak ada racun yang menempel sehingga vitamin dan
mineral dapat optimal diserap tubuh. Tampilan produknya juga lebih segar dan
tahan lama dan di samping itu, produk organik sangat aman dimakan langsung
dan terasa lebih manis karena tidak menggunakan unsur kimia dalam
pengembangannya. Produk organik juga ramah terhadap lingkungan dan produk
organik tidak merusak dan mengganggu keberlanjutan komponen lingkungan
yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, dan manusia.

2.2. Model Ekonomi Perilaku Konsumen
Teori konsumen mengenal dua macam pendekatan, yaitu pendekatan
utilitas kardinal (cardinal utility approach) dan pendekatan utilitas ordinal
(ordinal utility approach). Model Utilitas Kardinal merupakan, asumsi tentang
utilitas suatu barang sangat sulit diterapkan dimana rasionalitas konsumen
terpengaruh oleh sikap emosional konsumen, seperti; pengaruh iklan, lingkungan,


24

gengsi, dan konsumen memutuskan membeli produk jika harga dan manfaat
produk sama atau sebanding serta atribut suatu barang sebagian dapat diukur
dengan kualitas dan harga produk. Teori utilitas kardinal dengan asumsi yang
telah disebutkan, mencoba menganalisis ekuilibirium atau keseimbangan
konsumen (equilibirium of consumen) antara marginal utilitas seorang konsumen
dengan tingkat harga barang yang berlaku di pasar (Reksoprayitno, 2000)
Kajian Teori mikro ekonomi juga dapat menjelaskan perilaku konsumen
dengan tingkat permintaan terhadap komoditas untuk konsumsi individu dengan
menggunakan Rational Choice Theory, juga dikenal sebagai Choice Theory atau
Rational Action Theory (Becker, dan Murphy, 2001),

teori ini merupakan

kerangka kerja untuk memahami pemodelan perilaku sosial dan ekonomi serta
sebagai paradigma teoritis utama mikroekonomi. Secara luas digunakan sebagai
asumsi tentang perilaku individu dalam model mikroekonomi. Menurut Green,
(2002) Rational Choice Theory adalah sama dengan rasionalitas instrumental,
yang melibatkan mencari biaya yang paling efektif berarti untuk mencapai tujuan

tertentu tanpa merefleksikan kelayakan tujuan itu. Ide dasar dari rational choice
theory adalah bahwa pola-pola perilaku dalam masyarakat mencerminkan pilihan
yang dibuat oleh individu ketika mereka mencoba untuk memaksimalkan manfaat
dan meminimalkan biaya mereka. Dengan kata lain, orang membuat keputusan
tentang bagaimana mereka harus bertindak dengan membandingkan biaya dan
manfaat dari program yang berbeda dari tindakan. Akibatnya, pola-pola perilaku
dalam masyarakat akan mengembangkan hasil dari pilihan-pilihan. Namun, teori
konsumsi tidak dapat menjelaskan perilaku konsumen dalam membeli produk dan

25

juga tidak dapat menjelaskan bagaimana sebuah niat untuk membeli produk
barang dan jasa (Green, 2002)
Teori perilaku konsumen juga dapat dilihat dari motivasi. Motivasi adalah
keadaan yang diaktivasi atau digerakkan dimana seseorang mengarahkan perilaku
berdasarkan tujuan, hal ini termasuk dorongan, keinginan, dan hasrat (Mowen et
al.,

2002).


Motivasi

konsumen

yang

membangkitkan

kekuatan

yang

mengakitivasi perilaku dan memberikan maksud dan arah kepada perilaku
tersebut karena kepribadian mencerminkan respons umum bagi individu untuk
berbagai situasi berulang. Motivasi adalah penyebal munculnya perilaku. Motif
adalah membangun mewakili kekuatan batin tidak teramati yang merangsang dan
mendorong respon perilaku dan memberikan arahan khusus untuk respon tersebut.
(Hawkins, Best and Coney, 1986). Motif merupakan dorongan kebutuhan dalam
diri konsumen yang perlu dipenuhi agar konsumen

dapat menyesuaikan diri

terhadap lingkungannya (Mangkunegara, 2009)
Upaya lain yang terkenal untuk membangun model integratif untuk
tindakan konsumen adalah The Motivation-Opportunity-Abilities Model (MOA),
model

yang diusulkan

oleh

Olander

dan

Thøgersen

(Siemsen,

Roth,

Balasubramanian, 2007). Para penulis mengakui bahwa konsistensi antara sikap
dan perilaku hanya dapat diharapkan dalam kondisi kontrol yang dikehendaki.
Mereka menunjuk perbaikan dalam kekuatan prediktif dicapai dengan
memasukkan sebuah 'kemampuan' konsep dan konsep memfasilitasi kondisi atau
'kesempatan' untuk melakukan perilaku ke dalam model. Komponen Motivasi dari
model MOA dikenali sebagai versi sederhana dari Theory of Reasoned Action
(TRA). Namun, dalam teori tersebut menyarankan beberapa kemungkinan lain di

26

sini, termasuk penggunaan bagian motivasi dari model Triandis 'atau penyisipan
Norm-Activation model dari Schwartz (Steg et al., 2010). Fitur struktural penting
dari model MOA adalah upaya untuk mengintegrasikan motivasi, faktor kebiasaan
dan kontekstual menjadi model tunggal perilaku prolingkungan. Aplikasi dari
kerangka MOA termasuk penggunaannya untuk menggambarkan upaya oleh
rumah tangga untuk mengurangi konsumsi energi. (Jackson, 2005)

2.3. Perilaku Konsumen
Analisis konsumen banyak menggunakan prinsip-prinsip perilaku yang
biasanya diperoleh dari kegiatan eksperimental untuk menafsirkan perilaku
konsumsi manusia. Ilmu perilaku konsumen ada di persimpangan antara ilmu
psikologi dan ekonomi, serta ilmu pemasaran. Kajian terhadap perilaku konsumen
adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip perilaku dengan menggunakan
landasan teoritis dan empiris, untuk menafsirkan perilaku konsumen seperti
perilaku pembelian, menabung, pemlihan merek, adaptasi, inovasi, dan perilaku
konsumsi (Mowen et al., 2002).
Tujuan penelitian perilaku konsumen adalah untuk mendapatkan model
yang sesuai dan bermanfaat untuk mengembangkan teori perilaku konsumen dan
mengembangkan

apa

yang

telah

diketahui

oleh

konsumen.

Menurut

Mangkunnegaran (2009) fungsi model perilaku konsumen adalah sebagai
deskripsi, prediksi, penjelasan dan pengendalian perilaku konsumen dimana
model perilaku konsumen harus mampu untuk mempersatukan interelasi antara
sikap, kepribadian, peranan sosial, struktur sosial, dan harus konsisten serta dapat
diuji. Penelitian perilaku akan menimbulkan persoalan filosofis dan metodologis

27

yang hanya dapat dijelaskan secara akademis dengan menggunakan 'analisis
eksperimental perilaku' atau ”analisis perilaku”. Selain itu, pendekatan yang biasa
digunakan dalam penelitian konsumen dan pemasaran untuk menjelaskan dan
memprediksi perilaku konsumen banyak menggunakan pendekatan-pendekatan
kognitif melalui lingkup dan prosedur tertentu (Foxall, 2001).
Menurut Engel et al. (2001) consumer behavior adalah suatu aktivitas
yang secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang produk
dan jasa, termasuk pengambilan keputusan yang mendahului atau mengikuti
tindakan

ini.

Perilaku

konsumen

memfokuskan

untuk

memahami

dan

memprediksi perilaku konsumen dan menemukan penyebab dampak hubungan
dari kegiatan yang persuasif sedangkan menurut American Marketing Association
perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi,
perilaku dan kejadian di sekitar kita di mana melakukan aspek pertukaran dalam
hidup

mereka

(http://www.marketingpower.com/Community/ARC/Pages/

Teaching /Media/ConsumerBehavior.aspx).
Menurut Peter dan Olson, (1996) ada tiga aspek dalam perilaku konsumen:
(1) perilaku konsumen adalah dinamis,

(2) perilaku konsumen melibatkan

interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar (3) hal
yang melibatkan pertukaran. Perilaku konsumen tidak terbatas hanya pada
pembelian tapi juga pasca pembelian seperti yang dikemukakan oleh Hawkins, et
al. (2004) pascapembelian proses evaluasi secara langsung dipengaruhi oleh jenis
sebelumnya dalam proses pengambilan keputusan. Keterlibatan pembelian sering
disebut sebagai "tingkat kepedulian atau kepentingan dalam pembelian" situasi,

28

dan ini menentukan seberapa luas konsumen mencari informasi dalam membuat
keputusan pembelian.
Model Perilaku konsumen seperti Model Engel, Kollat, dan Blackwell
(EKB) menggambarkan dengan jelas bagaimana seseorang melakukan pembelian,
mulai timbulnya kebutuhan sampai akhir pembelian yaitu penilaian setelah
pembelian. Model ini didasarkan pada proses pengambilan keputusan konsumen.
Tahap dasar dari proses pembelian menurut model ini adalah

motivasi,

pengamatan, dan proses belajar. Kemudian diteruskan dengan pengaruh dari
kepribadian, sikap dan perubahan sikap bekerja bersama pengaruh aspek sosial
dan kebudayaan setelah itu sampailah pada tahap proses pengambilankan
keputusan konsumen. Enggel, et al. (2001) mengatakan bahwa mempelajari
perilaku konsumen adalah hampir sama dengan mempelajari perilaku manusia.
Model ini mempunyai persamaan dengan model Howard dan Seth, baik dalam
ruang lingkup sudut pandang dan tujuan.
Model EKB membedakan tipe-tipe perilaku konsumen atas dasar situasi
yang dihadapinya, apakah pilihan membeli berlangsung secara rutin atau pada
saat tertentu saja. Hal ini merupakan pengembangan dari teori Howard dan Seth
mengenai situasi pemecahan masalah secara automatis. Komponen dasar model
EKB adalah stimulus, proses informasi, proses pengambilan keputusan,

dan

pengaruh lingkungan eksternal. (Mangkunegaran, 2009)

2.4. Konsumen Hijau (Green Consumer)
Banyak penelitian yang sudah dilakukan terhadap lingkungan, tapi belum
begitu banyak

penelitian yang menghubungkan peran konsumen terhadap

29

pembelian produk hijau umumnya produk organik khususnya. Penelitian yang
dimaksud untuk mencari

hubungan

antara perilaku konsumen terhadap

pembelian produk hijau dan maksud pembelian serta hubungan antara sikap,
norma, maksud pembelian produk organik. Sudah banyak penelitian terhadap
konsumen organik di Amerika dan Eropa, dan saat ini penelitian terhadap
konsumen organik sudah mulai banyak dilakukan di negara-negara Asia.
Konsumen hijau didefinisikan sebagai perilaku pembelian, secara sadar memiliki
dampak netral atau positif terhadap bumi, lingkungannya dan penghuninya
(Anderson dan Cunningham, 1972).
Penelitian Webster (1975) juga melihat peran sosial pada lingkungan,
Webster mengungkapkan konsumen yang sadar sosial dapat dibedakan oleh
berbagai kepribadian, sikap, dan variabel sosial ekonomi, meskipun hubungan
agak lemah. Ukuran tanggung jawab sosial tradisional tidak memiliki hubungan
dengan perilaku konsumen sadar sosial. Kajian Brooker (1976) yang
mengembangkan penelitian Webster bahwa kepribadian yang dimiliki individu
menunjukkan perilaku konsumen yang sadar sosial. Ditemukan bahwa individuindividu ini dapat dicirikan sebagai "aktualisasi diri" dari

Maslow. Temuan

diperluas oleh Webster (1975), mengungkapkan bukti bahwa pendekatan holistik
untuk pengukuran kepribadian adalah mungkin dalam penelitian konsumen.
Dengan demikian sejak awal 1970-an pada dasarnya konsumen sudah sadar sosial
dalam melakukan pembelian.
Robert (1997) juga meneliti hubungan antara keprihatinan lingkungan
dengan perilaku konsumen dengan kesadaran ekologi dimana pemahaman akan
lingkungan merupakan perilaku konsumen yang bertanggung jawab. Dari kajian

30

ini dilihat berdasarkan tingkat responden mengenai ekologi dan perilaku
konsumen sadar sosial. Setiap segmen memiliki karakteristik sikap dan demografi
yang unik. Ukuran dan profil dari setiap segmen memiliki implikasi penting untuk
teori pemasaran dan praktek. Sebelumnya perilaku konsumen organik juga diteliti
oleh Sparks dan Shepherd (1992) tentang identitas diri dan teori perilaku serta
peran konsumen dalam mengidentifikasikan diri dengan "Konsumerisme Hijau".
Penelitian ini dilanjutkan dengan penelitian konsumen organik dilakukan oleh
Shepperd et al. (2005) yang mengungkapkan, tentang apa yang mempengaruhi
konsumen dalam keputusan mereka untuk membeli atau mengkonsumsi makanan
organik, terutama berkaitan dengan makanan organik segar.
Teori perilaku konsumen belum menjadi suatu bidang yang ilmu
tersendiri dan masih menggunakan teori-teori dari ilmu psikologi (Mowen et al.,
2001). Pelopor utama yang mengungkapkan pentingnya memuaskan konsumen
bukan produksi barang diungkapkan oleh Levitt (1964) mengungkapkan bahwa
proses industri dimulai dari konsumen bukan dari hak paten maupun produksi,
bahan baku ataupun ketrampilan. Dalam studi Levitt, pada titik tertentu, setiap
industri dapat dianggap sebagai industri didasarkan pada superioritas produknya.
Tapi beberapa kasus, industri telah jatuh menjadi perusahaan yang salah urus.
Perusahaan lebih fokus pada menjual, bukan pemasaran. Disinilah letak
kesalahan, karena menjual berfokus pada kebutuhan penjual, sementara
pemasaran berkonsentrasi pada kebutuhan pembeli. Levitt berpendapat bahwa
industri yang bangkrut dan industri yang sekarat menunjukkan terjadi siklus
pembusukan yang tidak terdeteksi. Bagi perusahaan untuk memastikan evolusi
terus, mereka harus menentukan industri mereka secara luas untuk mengambil

31

keuntungan dari peluang pertumbuhan. Perusahaan harus memastikan dan
bertindak pada kebutuhan pelanggan mereka dan keinginan, bukan bersandar pada
umur panjang perusahaan. Singkatnya cara terbaik bagi perusahaan untuk menjadi
beruntung adalah memahami pelanggan. Sebuah perusahaan harus menganggap
bukan sebagai hanya produksi barang atau jasa tetapi sebagai melakukan hal-hal
yang akan membuat orang ingin membeli suatu produk.
Kemudian Levitt (1983) mengemukakan istilah marketing imagination.
Marketing imagination memberikan pemaham pelanggan, masalah konsumen,
dan sarana untuk menangkap perhatian mereka dan perilaku mereka. Dengan
menegaskan bahwa orang tidak membeli barang tapi membeli solusi untuk
penyelesaian masalah. Marketing imagination membuat lompatan terinspirasi
menjadi jelas dan bermakna.
Dalam perkembangan teori perilaku konsumen, Howard dan Sheth
menemukan model yang integratif untuk perilaku konsumen/pembeli (Sheth,
1985).

Hal ini adalah yang pertama kali memperkenalkan perbedaan antara

perilaku pemecahan masalah, keterbatasan dalam pemecahan masalah dan
perilaku respon otomatis. Sebuah elaborasi lebih bermakna dimana variabel
memperlihatkan perilaku konsumen dan hubungan antara variabel. Variabel input
dari model Howard dan Seth terdiri atas informasi tentang atribut suatu produk
atau merek (yaitu kualitas, harga, kekhasan, layanan, ketersediaan). Keunggulan
utama dan kekuatan teori ini terletak pada variabel telah dikaitkan dalam
hubungan kerja untuk menutupi sebagian besar aspek keputusan pembelian dan
pemanfaatan yang efektif dari kontribusi dari ilmu perilaku. (Sheth, 1982)

32

Penelitan perilaku konsumen juga dilihat dari aspek pertukaran antara
konsumen dan produsen. Penelitian Bagozzi (1974) memperluas pengembangan
dari teori perilaku konsumen Bogazzi melihat teori perilaku konsumen dari aspek
pertukaran. Bagozzi menemukan tiga konsep yang luas untuk pertukaran model
yaitu memperluas pertukaran gagasan, mengevaluasi ulang hubungan antara
makna pertukaran, dan melihat pemasaran sosial dalam konsepsi memperluas
pertukaran. Dalam tulisan yang berbeda Bagozi (1975) juga mengungkapkan
model pertukaran serta memodifikasi dan memperluas yang mencakup skema
teoritis untuk menafsirkan perilaku pemasaran. Sistem pertukaran tersebut terdiri
dari satu set aktor sosial, hubungannya satu sama lain, dan variabel endogen dan
eksogen yang mempengaruhi perilaku aktor sosial. Untuk model pertukaran ini
dikemukakan juga oleh Bristow dan Mowen (1998) yang menyebutkan
pendekatan untuk mengembangkan sebuah model sumber daya pertukaran
kebutuhan konsumen dan tindakan serta memberikan bukti dari dimensi yang
mendasari model dan keandalan skala internal.
Pada tahun 1980-an perkembangan teori perilaku konsumen terus
berkembang dengan tulisan

Mowen (1988)

yang mengungkapkan

bahwa

perilaku pembelian konsumen dapat dilihat dari tiga perspektif pembuatan
keputusan, pengalaman, dan pengaruh perilaku. Perspektif pengambilan
keputusan menyatakan bahwa membeli merupakan hasil perilaku dari konsumen
yang terlibat dalam tugas pemecahan masalah di mana mereka bergerak melalui
serangkaian tahapan. Perspektif pengalaman mengungkapkan bahwa melakukan
pembelian dalam rangka menciptakan perasaan, pengalaman, dan emosi bukan
untuk memecahkan masalah.

33

Pada teori di atas konsumen seolah-olah konstan dalam konsumsi produkproduk tertentu namun konsumen juga dapat mengalami perubahan dalam
perilaku konsumsi. Dalam "mencari perubahan" fenomena oleh konsumen perlu
"penjelasan proses" dan juga perlu dukungan empiris. Fenomena seperti telah juga
dijelaskan secara singkat oleh beberapa teori konsumen. Pengembangan perilaku
konsumen juga dilakukan dalam sebuah penelitian di laboratorium oleh
Mittelstaedt (1969) tentang perilaku konsumen, bahwa

keputusan konsumen

untuk membeli cenderung diulang sesuai dengan prediksi yang dihasilkan dari
teori kognitif disonance. Mittelstaedt (1969) menggunakan pendekatan berbagai
pendekatan diantaranya sikap, dan perubahan perilaku.
Theory of Reasoned Actiion (TRA) adalah kerangka teori yang
dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) untuk memahami, menjelaskan,
memprediksi, dan mempengaruhi perilaku manusia. Theory of Reasoned Actiion
(TRA) secara luas diterapkan untuk menjelaskan perilaku pembelian tertentu.
Perilaku individu ditentukan oleh niat individu terhadap perilaku. Variabel
keyakinan, sikap, norma subyektif, dan niat digunakan dalam Theory of Reasoned
Actiion (TRA) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tentang perilaku.
Kemampuan prediksi dari model memiliki dukungan luas dalam bidang ilmu
pemasaran dan psikologis sosial (Sheppard et al., 1988).
Theory of Reasoned Actiion (TRA) memungkinkan peneliti untuk lebih
memahami bagaimana dan dalam situasi apa individu membuat dan melaksanakan
keputusan yang berkaitan dengan perilaku pemilihan produk makanan karena
telah lama diketahui bahwa pengetahuan gizi saja tidak selalu mengarah pada
aktualisasi dalam perilaku yang mungkin bermanfaat bagi kesehatan dan

34

kesejahteraan, harus dulu melihat sikap dan nilai yang mempengaruhi pemilihan
produk makanan. (Schlenker, 2001).
Ajzen (1991) juga mengembangkan Theory of Planned Behavior (TPB)
yang merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Actiion (TRA). Secara
garis besar, teori ini ditemukan didukung oleh bukti empiris. Niat untuk perilaku
dari berbagai jenis dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi dari sikap terhadap
perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. Persepsi kontrol
perilaku, menjelaskan varian yang cukup besar dalam perilaku aktual. Sikap,
norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan berhubungan dengan
perilaku normatif yang menonjol dan kontrol keyakinan tentang perilaku, namun
sifat yang tepat dari hubungan ini masih belum pasti. Seperti dalam Theory of
Reasoned Actiion (TRA), faktor sentral dalam teori perilaku yang direncanakan
adalah niat individu untuk melakukan perilaku tertentu. Niat diasumsikan
menangkap faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku, hal ini merupakan
indikasi seberapa keras orang bersedia untuk mencoba, berapa banyak dari upaya
mereka merencanakan untuk melakukan perilaku tersebut. Namun Ajzen juga
mangalami kesulitan dalam penerapan teori TPB. Terlepas dari kenyataan bahwa
TPB telah digunakan dengan sukses, beberapa masalah yang sering muncul yaitu
bagaimana membangun kontrol perilaku yang dirasakan harus diukur dan apa sifat
keseluruhan kontrol perilaku yang dirasakan. Ajzen membahas masalah ini
dengan menyatakan bahwa konsep kontrol perilaku yang dirasakan harus
menangkap kepercayaan seseorang bahwa ia mampu melakukan perilaku tersebut
(Ajzen, 1991).

35

Dalam perkembangan teori konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal dan eksternal. Kotler et al., (2008) juga mengungkapkan faktor-faktor
utama yang mempengaruhi perilaku antara lain adalah faktor budaya, faktor
sosial, faktor pribadi dan faktor psikologis. Budaya merupakan salah satu penentu
keinginan dan perilaku seseorang yang paling mendasar dan sesungguhnya
seluruh masyarakat memiliki stratifikasi sosial, kelas sosial menunjukkan pilihan
terhadap produk dengan merek yang berbeda-beda. Keputusan pembelian juga
dipengaruhi oleh karakteristik/ciri-ciri pribadinya, terutama yang berpengaruh
adalah umur dan tahapan dalam siklus hidup pembeli, pekerjaannya, keadaan
ekonominya, gaya hidupnya, pribadi, dan konsep jati dirinya. Pilihan membeli
seseorang juga akan dipengaruhi faktor psikologis utama, yaitu : motivasi,
persepsi, proses belajar, dan kepercayaan dengan sikap. Selanjutnya ada tiga
faktor (Essael, 1987) yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen
yaitu

faktor individual konsumen yang meliputi pendidikan dan penghasilan

konsumen; pengaruh lingkungan, dan strategi pemasaran.
Perubahan sosial ekonomi mempengaruhi perilaku konsumen dalam
membeli, baik

untuk kebutuhan primer maupun sekunder. Perubahan sosial

ekonomi meliputi

pendapatan dan tingkat pendidikan yang merupakan

karakteristik pembeli. Terdapat korelasi langsung antara tingkat pendidikan,
pendapatan dan kemampuan membeli seseorang. Pendidikan secara langsung
berkaitan dengan kemampuan membeli karena terdapat korelasi yang kuat antara
pendidikan dan pendapatan. Pendidikan mempengaruhi konsumen dalam
membuat

keputusan,

konsumen

yang pendidikannya

tinggi

mempunyai

36

pandangan yang berbeda terhadap alternatif merek dan harga dibandingkan
dengan konsumen berpendidikan yang lebih rendah. (Tedjakusuma, et al., 2011).
Pada dasarnya

perkembangan teori perilaku konsumen banyak

menggunakan pendekatan psikologis. Pendekatan psikologis adalah pendekatan
yang didasari pada afeksi, kognisi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan ini
bertujuan mengembangkan teori dan metode untuk menjelaskan perilaku dan
pembuatan keputusan konsumen. Afeksi memberi penilaian positif atau negatif,
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang menggambarkan kepuasan, dan
suasana hati. Sementara kognisi menggambarkan proses mental dan struktur
pengetahuan yang dilibatkan dalam tanggapan seorang terhadap lingkungannya.
Pendekatan psikologis studi dapat dilakukan melalui eksperimen dan survey untuk
menguji coba teori dan mencari pemahaman tentang bagaimana seorang
konsumen memproses informasi, membuat keputusan, serta pengaruh lingkungan
sosial terhadap perilaku konsumen (Peter, dan Olson, 1996).
Penelitian perilaku konsumen juga menyangkut aspek kepercayaan
(belief), norma, kemauan untuk beradaptasi yang diteliti oleh Jansson, Marell,
Nordlund (2010). Kim (2011) meneliti tentang kolektivitas, nilai personal,
perilaku terhadap sikap dengan efektivitas konsumen sebagai variabel moderating
ternyata berpengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen di Korea Selatan.
Sikap konsumen juga berpengaruh terhadap perilaku pembelian (Manakota, 2007)

37

2.5. The Theory of Reasoned Action (TRA)
The theory of reasoned action (TRA), dikembangkan oleh Ajzen dan
Fishbein (1975), berasal dari penelitian sebelumnya yang dimulai sebagai teori
sikap dan perilaku. Teori ini muncul berawal dari rasa frustrasi dengan teori-teori
sikap dan perilaku tradisional yang banyak yang menemukan hubungan yang
lemah antara sikap dan kinerja perilaku kehendak. Penerapan kunci dari
The Theory of Reasoned Action (TRA) adalah kemampuan untuk prediksi niat
perilaku, yang mencakup prediksi sikap dan prediksi perilaku. The Theory of
Reasoned Action (TRA) dapat menggambarkan niat perilaku dan dengan
perilaku tersebut memungkinkan untuk penjelasan faktor pembatas pada pengaruh
sikap. Lebih lanjut, Ajzen dan Fishnein mengemukakan bahwa niat melakukan
atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar yaitu
pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan berhubungan
dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya
mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat dilakukan atau
tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi The Theory of Reasoned Action
(TRA) ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari
keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan Norma subjektif
berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs) (Ramdhani., 2007). Dengan
demikian komponen The Theory of Reasoned Action (TRA)

memiliki tiga

konstruksi umum: niat perilaku (Behavior intent), sikap (attitude), dan norma
subyektif (subjuntive norm). Secara matematis TRA menunjukkan bahwa niat
perilaku seseorang tergantung pada sikap seseorang tentang perilaku dan norma
subjektif (BI = A + SN). Miller (2005) mendefinisikan masing-masing dari tiga

38

komponen yaitu: (1) Sikap yaitu sekumpulan dari keyakinan tentang perilaku
tertentu ditimbang dengan evaluasi dari kepercayaan. (2) Norma subyektif :
melihat pengaruh orang di lingkungan sosial seseorang; (3) Perilaku niat: fungsi
dari kedua sikap terhadap perilaku dan norma subjektif terhadap perilaku, yang
telah ditemukan untuk memprediksi perilaku aktual.
The Theory of Reasoned Action (TRA) menggunakan dua unsur, sikap
dan norma-norma (atau harapan orang lain), untuk memprediksi niat perilaku.
Artinya, setiap kali sikap seseorang melakukan satu hal tetapi norma-norma yang
relevan menyarankan kita harus melakukan sesuatu yang lain, kedua faktor
tersebut yang mempengaruhi niat perilaku kita atau terjadi kesamaan antara nilai
sikap dan norma subjektif. Sikap memiliki dua komponen. Ajzen dan Fishbein
menyebut

evaluasi

dan

kekuatan

keyakinan.

Komponen

kedua

yang

mempengaruhi niat perilaku, norma subyektif, juga memiliki dua komponen:
keyakinan normatif (apa yang saya pikir orang lain ingin atau mengharapkan saya
untuk melakukan) dan motivasi untuk memenuhi (betapa pentingnya bagi saya
untuk melakukan apa yang saya pikir orang lain harapkan). Dalam bentuk yang
paling sederhana, TRA dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut:

39

Beliefs

Attitude

Evaluation

Behavior
Intention

Behavior

Normative
belief
Subjective
norm

Motivation to
comply

Gambar 2.1. Model Theory of Reasoned Action (Ajzen dan Fishbein, 1975)
Keterangan :
BI = maksud perilaku
(AB) = seseorang melakukan sikap terhadap perilaku
W = bobot yang diperoleh secara empiris
SN = norma subyektif seseorang terkait dengan melakukan perilaku

Penggunaan The Theory of Reasoned Action (TRA) harus berpedoman
pada asumsi-asumsi yang telah digariskan oleh Ajzen dan Fishbein yaitu :
Perilaku manusia berada di bawah kendali sukarela dari individu, orang-orang
berpikir tentang konsekuensi dan implikasi dari perilaku tindakan mereka

40

memutuskan apakah atau tidak untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, niat
harus sangat berkorelasi dengan perilaku. Pada teori ini belum memasukkan
aspek-aspek yang mempengaruhi sikap dan norma subjektif sehingga theory ini
banyak diperluas oleh beberapa peneliti. Shepperd, et al. (1988) menemukan
efektivitas dari model Fishbein dan Ajzen dan memiliki kekuatan untuk prediksi
utilitas model serta mampu prediksi utilitas di seluruh kondisi dan model ini
sangat baik dalam memprediksi tujuan-tujuan dan memprediksi aktivitas-aktivitas
yang melibatkan proses pemilihan diantara alternatif-alternatif.
Beberapa penelitian tentang perilaku konsumen hijau juga menggunakan
The Theory of Reasoned Action (TRA) antara lain Coleman, Bahnan, Kelkar, dan
Curry (2011) yang menerapkan The Theory of Reasoned Action (TRA) untuk tren
konsumen hijau. Studi ini mencakup survei diinformasikan oleh Theory of
Reasoned Action (TRA) untuk menunjukkan bagaimana sikap dan keyakinan
mempengaruhi niat dan perilaku. Penelitian Soonthonsmai, Gardiner, dan Gareth
(2000) dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA) dengan metode
analisis regresi berganda menunjukkan bahwa norma subjektif memainkan peran
utama niat untuk membeli produk hijau, dan niat adalah prediktor utama dari
pembelian aktual. Theory of Reasoned Action (TRA)

juga digunakan untuk

meneliti perilaku konsumen organik. Gotschi et al. (2010) menggunakan
The Theory of Reasoned Action (TRA) dengan menggunakan analisis diskriminan
untuk mengeksplorasi hubungan dari sejumlah variabel dan faktor yang
mempengaruhi perilaku belanja siswa sekolah tinggi Wina 'saat berbelanja produk
organik.

41

2.5.1. Attitdte
Sikap memiliki peranan yang penting dalam perilaku konsumen dalam
memutuskan merek yang akan dibelinya, pada akhirnya konsumen akan memilih
produk mana yang akan memberi keuntungan yang terbanyak. Secara tradisional
sikap menurut

Engel

et al., (2001) membaginya atas cognitive component

(Beliefs), affective component (Feelings) dan cognitive component (Behavior
intention). Untuk produk-produk tertentu sikap bergantung pada kepercayaan
(beliefs) dan perasaan (feeling) sikap akan menghasilkan behavior intention dan
behavior. Penggunaan kata sikap yang mengacu pada afeksi atau reaksi evaluatif
umum yang merupakan hal yang biasa dalam penelitian konsumen. Mengingat
kepercayaan merupakan pengetahuan kognitif tentang sebuah objek. Maka norma
subjektif merupakan tanggapan perasaan atau afektif tentang objek (Mowen et al.,
2002).
Dengan mempelajari konsumen, bisnis dapat memperoleh pemahaman
lebih baik tentang peran persepsi dalam perilaku konsumen. Perusahaan dapat
meningkatkan strategi pemasaran ketika mereka memiliki pemahaman yang kuat
tentang psikologi, tentang bagaimana konsumen merasa, berpikir dan alasan
keputusan pembelian. Mengetahui bagaimana konsumen dipengaruhi oleh
lingkungan mereka, kemampuan dan persepsi mereka terhadap suatu produk dapat
membantu perusahaan untuk lebih efektif mencapai konsumen. Persepsi orang
tentang sesuatu sangat bervariasi setiap orang,

masing-masing membentuk

pendapat individu tentang yang diterima. Individu terus-menerus menerima pesan
melalui panca indra: sentuhan, rasa, bau, penglihatan dan suara.

42

Sikap dibentuk oleh kepercayaan konsumen. Kepercayaan konsumen
adalah semua pengetahunan yang dimiliki oleh konsumen dan semua kesimpulan
yang dibuat konsumen tentang objek, atribut dan manfaatnya produk tertentu.
Objek dapat berupa produk, orang, perusahaan, dan segala sesuatu di mana
seseorang memiliki kepercayaan dan sikap kepercayaan konsumen dapat
berbentuk, kepercayaan berupa atribut-obyek,

atribut - manfaat dan objek -

manfaat (Mowen et al., 2002). Kepercayaan atribut - obyek adalah pengetahuan
tentang sebuah objek yang memiliki atribut khusus. Kepercayaan atribut – objek
menghubungkan sebuah atribut dengan objek. Kepercayaan atribut - manfaat
yaitu seorang yakin dengan membeli barang akan menyelesaikan masalahmasalah kebutuhan yang dihadapinya. Kepercayaan objek - manfaat yaitu
menghubungkan antara objek dengan manfaat yang melihat seberapa jauh objek
tersebut dapat menyelesaikan masalah (Mowen et al., 2002).
Young, Hwang, McDonald dan Oates (2008) membuat sikap model
pembelian konsumen hijau dikembangkan dan kriteria keberhasilan untuk
menutup kesenjangan antara nilai-nilai dan perilaku hijau konsumen insentif dan
label akan membantu konsumen dalam menentukan sikap terhadap produk
organik.
Penelitian perilaku konsumen juga menyangkut aspek kepercayaan
(belief), norma, kemauan untuk beradaptasi (Jansson, et al., 2010; Tsikiridu, et
al., 2007) mengidentifikasi sikap konsumen dan perilaku terhadap produk organik
dengan menggunakan kuota sampling untuk mengeksplorasi sikap dan perilaku
konsumen terhadap produk makanan Yunani organik. Tarkiainen et al., (2005)
bahwa sikap positif terhadap produk organik mempengaruhi pembentukan sikap

43

orang di sekitar mereka. Penelitian telah menemukan bahwa hubungan yang
signifikan antara norma subyektif dan sikap organik. Pengetahuan juga dapat
mempengaruhi seseorang dalam membeli produk organik.

2.5.2. Subjective Norm
Norma subyektif menurut Ajzen dan Fishbein (1975) merupakan persepsi
seseorang terhadap adanya tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak
menampilkan tingkah laku dan sebagai kepercayaan seseorang individu atau
kelompok tertentu menyetujui atau untuk menampilkan tingkah laku tertentu.
Dengan kata lain norma subjektif merupakan persepsi seseorang terhadap adanya
tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku. Norma
subjektif memotivasi orang untuk memenuhi suatu harapan dan akan mendukung
kemungkinan seseorang bertingkah laku sesuai harapan tersebut (Ajzen dan
Fisbein, 1991).
Norma subyektif ditentukan oleh total

keyakinan normatif mengenai

harapan seseorang terhadap orang lain. Secara khusus, kekuatan masing-masing
keyakinan normatif dihitung dengan motivasi untuk memenuhi dengan referen
yang dimaksud (Miller, 2005). The Theory of Reasoned Action (TRA) dan analisis
diskriminan digunakan untuk mengeksplorasi hubungan dari sejumlah variabel
dan bidang kompleks faktor yang mempengaruhi perilaku belanja produk organik
dimana pembelian produk organik membantu membentuk norma-norma sosial
dan membentuk perilaku. sikap (Gotschi, et al., 2000).

44

2.5.3. Behavior Intention
Menurut The Theory of Reasooned Action (TRA), perilaku manusia
dituntun oleh dua macam pertimbangan: keyakinan tentang kemungkinan hasil
dari perilaku dan evaluasi dari hasil, keyakinan tentang harapan normatif orang
lain dan motivasi untuk mematuhi harapan-harapan (norma keyakinan), dan
keyakinan tentang adanya faktor yang dapat memfasilitasi atau menghambat
kinerja dari perilaku dan kekuatan yang dirasakan dari faktor-faktor (keyakinan
kontrol). Keyakinan perilaku menghasilkan sikap menguntungkan atau tidak
menguntungkan terhadap perilaku tersebut; normatif keyakinan mengakibatkan
tekanan sosial yang dirasakan atau norma subjektif, dan keyakinan kontrol
menimbulkan untuk mengendalikan perilaku yang dirasakan. Dalam kombinasi,
sikap terhadap perilaku, norma subyektif akan mengarah pada pembentukan niat
perilaku (Intention behavior ). Sebagai suatu teori, semakin besar sikap dan norma
subjektif, maka semakin kuat niat seseorang untuk melakukan perilaku yang
bersangkutan. Akhirnya orang diharapkan untuk melaksanakan niat mereka ketika
kesempatan muncul. Niat demikian diasumsikan anteseden langsung dari perilaku
(Ajzen, 1985). Sebuah argumen berlawanan terhadap hubungan yang tinggi antara
niat perilaku dan perilaku yang sebenarnya juga telah ditemukan, namun dari
berbagai hasil dari beberapa studi menunjukkan bahwa, karena keterbatasan
mendalam, niat perilaku tidak selalu mengarah pada perilaku aktual karena niat
perilaku tidak dapat menjadi penentu eksklusif (Ajzen, 1985).
Sikap telah menjadi fokus dari mayoritas penelitian perilaku konsumen
pada produk hijau dan organik. Pada dasarnya sikap sudah masuk dalam
penelitian-penelitian bidang lingkungan (McCarty dan Shrum, 2001). Penelitian

45

perilaku konsumen yang menyangkut sikap banyak menggunakan Theory of
Reasoned Action (TRA) yang diperkenalkan oleh Fishbein dan Ajzen. Dengan
teori ini para peneliti perilaku konsumen hijau juga menggunakan teori ini untuk
meneliti tentang sikap konsumen hijau. Beberapa penelitian yang menggunakan
TRA seperti yang dilakukan oleh Colemen et al. (2011) yang meneliti penerapkan
Theory of

Reasoned Action (TRA) untuk tren konsumen hijau. Temuan

menunjukkan perbedaan dalam perilaku konsumen hijau dan non-hijau antara
siswa dan responden dewasa. Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa niat
mempengaruhi perilaku konsumen hijau. Temuan menunjukkan bagaimana
nuansa terjadi antara ukuran sikap, norma subyektif, dan niat.
Sikap konsumen diungkapkan oleh

Roddy, Cowan, dan Hutchinson

(1996). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelompok konsumen pada
segmen pasar dan sikap mereka terhadap makanan secara umum dan produk
organik pada khususnya. Dalam penelitian Shepherd, Magnusso, dan Sjödén
(2005), studi tentang adanya ketidak cocokan orang yang mengganggap
pentingnya produk organik dengan konsumen yang membeli atau mengkonsumsi
makanan organik, terutama berkaitan dengan makanan organik segar. Ini
menunjukkan perbedaan antara sikap dan perilaku dengan orang-orang yang
berminat terhadap makanan organik dimana penelitian ini menggunakan analisis
faktor untuk analisis datanya. Penelitian Soonthonsmai, et al.

(2000)

menggunakan The Theory of Reasoned Action (TRA) dengan metode analisis
regresi berganda menunjukkan bahwa norma subjektif memainkan peran utama
niat untuk membeli produk hijau. Gotschi et al. (2010) memakai The Theory of

46

Reasoned Action (TRA) menggunakan analisis diskriminan untuk digunakan
dalam mengeksplorasi hubungan dari sejumlah variabel.

2.5.4. Behavior to buy
Konsumen bisa saja memiliki sikap, norma, karakteristik dan persepsi
yang terhadap produk organik. Namun yang selalu menjadi kendala adalah
kemauan untuk membeli produk tersebut. Berdasarkan penelitian Grigoryan dan
Uruytan (2007) willingess to pay bergantung pada variabel gender, umur
pendapatan bulanan, dan pendidikan, dalam membeli makanan organik. Wier dan
Caverley (2002) sebelumnya mengidentifikasi tipe konsumen yang mau
membayar yaitu berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan karakteristik demografi
sesorang serta potensi untuk memperluas permintaan makanan organik. Kemauan
untuk membayar produk organik juga dapat dijelaskan pada studi Millock,
Hansen, Wier dan Anderson (2002) yang mengungkapkan bahwa konsumen mau
membeli produk organik selain kondisi sosial ekonomi dan karakteristik
demografi juga disebabkan oleh adanya label dan sertifikasi produksi makanan
organik.
Penelitia Balderjan, (1988)

mendukung hubungan attitude-behavioral

yang berkaitan dengan produk hijau untuk memprediksi pola konsumsi yang
berwawasan lingkungan,

Hasil penelitian Chiou (1998) menunjukkan bahwa

variabel sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku ternyata mampu
memprediksi niat untuk membeli ketika konsumen memiliki berbagai tingkat
pengetahuan produk tertentu.

47

Thorgersen (1999 ) mengungkapkan norma-norma pribadi dalam memilih
kemasan dan produk ramah lingkungan dan norma pribadi adalah prediktor yang
signifikan

dalam

konsumen hijau

memilih produk

ramah lingkungan. Penelitian tentang

dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA)

dilakukan oleh Soonthonsmai et al. (2000) yang melakukan penelitian pengaruh
sikap konsumen, keyakinan pada niat, dan perilaku pembelian produk hijau di
Thailand dengan melakukan modifikasi

pada variabel perilaku pembelian,

variabel demografi dan pengetahuan kedalam model.

2.6. Variabel Eksogen yang Mempengaruhi
Ajzen (1985) mendeskripsikan niat sebagai motivasi seseorang secara
sadar dalam rencana atau keputusannya

menggunakan suatu usaha dalam

melaksanakan suatu perilaku yang spesifik. Secara sederhana didefinisikan
sebagai keinginan untuk melakukan sesuatu tindakan. Ajzen dan Fishbien (1975)
berpendirian bahwa sebagian besar perilaku manusia mampu diprediksi
berdasarkan niat. Niat, sikap dan norma subjektiif juga dipengaruhi oleh variabelvariabel sebagai berikut:

2.6.1. Demografi (Umur dan Pendidikan)
Demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan
manusia. Meliputi di dalamnya ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta
bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian,
migrasi, serta penuaan. Analisis kependudukan dapat merujuk masyarakat secara
keseluruhan

atau

kelompok

tertentu

yang

didasarkan

kriteria

seperti

48

kewarganegaraan, agama, atau etnisitas tertentu (http://id.wikipedia.org/wiki/
Demografi). Demografi merupakan aspek yang paling sering digunakan dalam
penelitian perilaku konsumen. Demografi juga sering dijadikan variabel dalam
penelitian konsumen organik. Penelitian do Paco dan Raposo (2009)
menggambarkan bahwa konsumen yang membeli produk hijau berbeda signifikan
dibandingkan dengan konsumen konvensional lainya. Zepeda dan Jinghau (2007)
melihat ada hubungan karateristik demografi terhadap kepercayaan makanan
organik. Konsumen

organik di Costa Rica lebih banyak yang berumur

pertengahan, berpendapatan tinggi, dan berpendidikan tinggi (Gonzalez, 2009).
Konsumen yang berusia tua lebih sadar akan produk hijau (Singh, 2011). Dalam
penelitian Rimal, et al. (2008) menunjukkan konsumen yang lebih tua ternyata
membeli lebih sedikit produk organik dibandingkan dengan usia yang muda di
Inggris.

2.6.2. Pendapatan
Para peneliti telah menemukan bahwa sikap konsumen dan niat beli adalah
prediktor

penting

dalam

pembelian, mereka

telah

mengabaikan

peran

keterjangkauan yang seharusnya penting (Gonzalez, 2009). Natoni (1998)
meneliti peran persepsi keterjangkauan dalam memprediksi niat pembelian dan
pembelian aktual. Temuan penelitian ini

menunjukkan bahwa, persepsi

keterjangkauan meningkatkan prediksi niat pembelian. Menurut Smith, et al.
(2009), pendapatan sampai batas tertentu, mempengaruhi pembelian konsumen
produk organik dan permintaan untuk produk segar organik dapat terus
berkembang seiring dengan kenaikan pendapatan rumah.

49

2.6.3. Pengetahuan lingkungan
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009, Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan

semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Dalam penelitian Manafi, et al. (2011) memperlihatkan bahwa persepsi
konsumen organik sangat dipengaruhi oleh pengetahuan lingkungan. Dengan
indikator keprihatianan terhadap lingkungan dan kesadaran tentang kesehatan
yang dapat mempengaruhi perhatian pembelian terhadap produk organik (Salleh,
Ali, Harun, Jalil, dan Shaharudin. 2010). de Paco et al. (2008), dan Bui (2005),
melihat pengetahuan lingkung