Partai Politik Lokal Aceh (Studi Etnografi Antropologi Politik Tentang Kekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Partai politik (Parpol) adalah wadah bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara konstitusional. Hal ini merupakan perwujudan dari azas demokrasi yang dianut negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan dan melaksanakan roda pemerintahannya. Keberadaan Parpol sebagai salah satu sendi dalam Negara Demokrasi, seperti Indonesia, merupakan sesuatu yang mutlak dan cukup penting untuk mengelola hak dan kewajiban setiap warga negara.

Parpol merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan Parpol merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara (Budiardjo, 2008: 397).

Dalam konteks Demokrasi di Republik Indonesia, selain Parpol yang bersifat Nasional saat ini, 2014, seperti Partai Golkar, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan dan Pembangunan Indonesia (PKPI) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), juga ikut berpartisipasi Partai Lokal (Parlok), yang berasal dari Provinsi Aceh dalam setiap Pemilihan Umum (PEMILU)


(2)

baik itu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahkan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Eksistensi Parlok Aceh ini diakui secara resmi dan sah, sejalan dengan penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di ibukota Finladia, yaitu Helsinki. Penandatangan bersejarah ini, menjadi titik awal berdirinya Parlok di Provinsi Aceh sebagai perwujudan diberikannya kewenangan untuk hidup mandiri, terutama di bidang kehidupan berpolitik. Dari sisi Politik, kewenangan untuk mendirikan Parlok Aceh tercantum dalam MoU yang berbunyi antara lain:

Poin 1.2.1. sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatangan nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akanmemfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR.Pelaksanaan kesepahaman ini yang tepat akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

Sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut, diperlukan peraturan yang sifatnya lebih teknis untuk operasional. Demi keperluan ini kemudian lahir PP Nomor 22 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Peraturan mengenai Parlok ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari penandatangan MoU antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 (Arifin, 2011: 58).

Seiring dengan lahirnya PP Nomor 22 tahun 2007 tersebut, muncul hiphoria politik pada masyarakat Aceh. Ini ditandai dengan mendaftarnya 14 Parlok ke Kanwil Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia di Banda Aceh, yaitu: 1.Partai Rakyat Aceh (PRA) 2.Partai Darussalam (PD) 3.Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA)


(3)

4.Partai Daulat Atjeh (PDA) 5.Partai Lokal Aceh (PLA) 6.Partai Aceh Meudaulat (PAM) 7.Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA) 8.Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM) 9.Partai Suara Independen Rakyat Aceh (PSIRA) 10.Partai Bersatu Atjeh (PBA) 11.Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS) 12.Partai Generasi Atjeh Beusaboh dan Taqwa (GABTHAT). Sedangkan dua Parlok dinyatakan gugur adalah Partai Serambi Persada Nusantara dan Partai Nahdhatul Ummah Aceh (lihat Arifin, 2011: 92).

Kemudian setelah lolos verifikasi administrasi, ke-12 Parlok ini akan diverifikasi lagi secara faktual oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) – sebutan untuk Komisi Pemilihan Umum di Aceh. Setelah verifikasi faktual yang lolos tinggal 6 Parlok saja, diantaranya adalah: 1.Partai Rakyat Aceh 2. Partai Daulat Atjeh 3.Partai Suara Independen Rakyat Aceh 4.Partai Gerakan Aceh Mandiri, yang awalnya bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka dan akhirnya berubah jadi Partai Aceh 5.Partai Bersatu Atjeh 6. Partai Aceh Aman Seujahtera. Untuk Partai Aceh memang mengalami perubahan nama dan kepanjangannya, yang pertama Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM) menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Kemudian karena suasana dan kondisi kurang kondusif mengingat nama GAM dicap oleh Pemerintah RI berbau separatis, maka kemudian berganti nama menjadi Partai Aceh (lihat Arifin 2011: 93-98).

Selanjutnya (dalam Arifin 2011: 100-101) disebutkan, kemenangan Partai Politik Lokal Aceh pada pemilihan legislatif 2009, berhasil merebut 33 kursi dari 69 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) atau menang 46,91 persen, unggul di 14 (dari 23 Kabupaten/Kota). Menurut para peneliti, keberadaan Partai Aceh dianggap sebagai wakil dari seluruh masyarakat Aceh. Faktor kemenangan Partai Aceh lainnya adalah karena, partai tersebut didukung infrastruktur yang cukup baik


(4)

dengan jaringan yang mengakar hingga ke grass root (akar rumput), menggunakan organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA), yaitu sebuah organisasi yang menghimpun para mantan combatant atau pejuang GAM. Hal inilah yang membedakan Partai Aceh dengan Parlok lainnya.

Untuk wilayah Aceh Tamiang, Partai Aceh unggul dengan suara terbanyak 29.228 suara dari 12 Kecamatan yang ada di Aceh Tamiang. Walaupun tidak mendominasi suara secara mutlak, mengingat jumlah total suara 165.520 suara dengan perincian 83.031 suara laki-laki dan 82.489 suara perempuan, namun perolehan suara Parta Aceh terbanyak dibandingkan suara Partai Nasional (Parnas) maupun Parlok lainnya.

Akan tetapi untuk Pilkada Kabupaten Aceh Tamiang, Partai Aceh sebagai Parlok terkuat mengalami kekalahan dalam mengusung calon mereka menjadi Bupati Aceh Tamiang. Pilkada yang dilakukan pada tahun 2012 kemarin, Hamdan Sati sebagai Calon Bupati (Cabup) dari Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Keadilan Sejahtra(PKS), Partai Bersatu Aceh(PBA), Partai Bintang Reformasi(PBR) menang dan memperoleh suara terbanyak. Tentu ini menjadi catatan tersendiri dan ketertarikan penulis untuk mengkaji mengapa Partai Aceh sampai mengalami kekalahan, padahal dalam Pileg 2009 dan 2014 mereka unggul dibandingkan suara dari partai lainnya, apakah itu dari Parnas dan Parlok. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka kalah di wilayah yang nota bene adalah dalam kawasan teritorial Aceh. Apalagi Partai Aceh adalah partai lokal yang dianggap merupakan refresentatif masyarakat Aceh.

Selain itu, sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.


(5)

Memang Aceh mempunyai hak istimewa sesuai dengan sejarah yang mereka ukir dalam mendukung Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Prestasi ini menjadikan posisi tawar daerah dengan julukan Serambi Mekah tersebut kuat di tingkat nasional terbukti dengan direstuinya Parlok hanya ada di Provinsi Aceh saja.

Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk melakukan penelitian lapangan guna mengungkapkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai suatu kajian dari disiplin ilmu Antropologi dengan metode etnografi dalam menguraikan persoalan-persoalan kegagalan Partai Aceh dalam Pilkada di Kabupaten Aceh Tamiang.

1.2. Tinjauan Pustaka

Secara etimologis kata partai dapat ditelusuri jejaknya dari bahasa Latin, yaitu partire, yang bermakna “membagi” atau “memilah” atau juga bisa disejajarkan dengan kata benda “part” dalam bahasa Inggris bermakna bagian. Apabila “part” dikembangkan menjadi kata kerja berubah jadi “to participate”, yang berarti turut ambil bagian. Dengan pengertian tersebut, partai bisa dipahami sebagai “bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan” (Damsar, 2012: 245).

Sementara itu, menurut Damsar ( 2012: 10) politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, negara kota. Dari polis berkembang konsep polites yang bermakna warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Dari penjelasan etimologis terebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (Negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau kita lanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun Yunani, maka politik dapat dipahami sebagai


(6)

suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam negara (kota).

Menurut Damsar (2012: 245) jika disandingkan antara makna partai dan politik secara etimologis, maka partai politik dipahami sebagai bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict danresolution conflict), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Dalam bukunya Party and Party Systems: A Framework for Analysis, Sartori memberi pengertian partai politik sebagai “kelompok politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, dan mampu menempatkan, melalui pemilihan umum, para calon untuk duduk dalam legislatif dan pemerintahan (dalam Damsar, 2012: 246).

Miriam Budiardjo dalam buku Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, membuat batasan partai politik sebagai “suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksankan kebijakan-kebijakan mereka” (dalam Damsar, 2012: 246).

Dari pendapat dua ahli tersebut, Damsar (2012: 246) menyimpulkan bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisasi, ditandai dengan adanya visi, misi, tujuan, platform, program dan agenda, serta mengikuti pemilihan umum untuk meraih kekuasaan atau jabatan legislatif dan eksekutif.


(7)

Sejalan dengan itu, Balandier (1986: 234-235) mengatakan bahwa partai politik adalah alat utama modernisasi, karena sifatnya sebagai inisiatif elit modernis, karena organisasinya, yang memberinya kontak lebih erat dengan komunitas ketimbang yang dimiliki oleh administrasi, dan akhirnya, karena fungsi dan tujuannya, dalam berbagai bidang, menjadi kekuatan motivator di belakang pembangunan ekonomi.

Di Indonesia, sebuah istilah spesifik aliran, merujuk kepada berbagai tendensi sosial yang terjadi, yang harus disalurkan secara itu. Meskipun partai-partai mempergunakan berbagai perangkat modernitas yang nyata, berbagai media informasi massa dan persuasi, mereka telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan bahasa dan simbol tradisional, atas apa mereka berkeinginan untuk bertindak. Mereka terkena ketidakpastian kultural, pada masa awalnya, dan bahkan sering berkelanjutan setelah itu. Dengan menghidupkan kembali simbol-simbol lama dan efektif itu, mereka pun mengorganisir upacara-upacara kehidupan politik (terkadang memasukkan elemen-elemen ritusnya sekalian), untuk membuatnya menjadi suci, mereka pun memberi para pemimpinnya suatu wajah ganda, atau mencampurkan suatu kepribadian heroik atasnya (kalau perlu dengan menempatkannya pada urutan para pahlawan rakyat), dan akhirnya, mereka pun mempergunakan cara-cara tradisional untuk memaksakan keanggotaan partai, serta dalam membangun kewenangan para agen mereka (Balandier, 1986: 236).

Anggapan-anggapan di belakang struktur politik seperti itu oleh Mac Iver (1965) disebut “mitos masyarakat”. Ideologi “mitos”, itulah yang menyebabkan orang-orang mempercayainya tunduk kepada penguasa dan kepada beban yang diletakkannya serta peraturan permainannya. Inilah yang menyebabkan alat-alat pemerintahan dapat berjalan lancar (Claessen, 1987: 60).


(8)

Menurut sejarahnya, Parpol lahir pertama kali di Eropa Barat dari dua kekuatan, yakni dari parlemen dalam bentuk kelompok-kelompok elitis yang didirikan untuk mempertahankan kedudukan raja, dan yang kedua, dari Parpol yang lahir dari luar parlemen yang bersandar pada ideologi atau pandangan hidup tertentu, seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan semacamnya. Dalam pada itu, di negara-negara jajahan pada umumnya Parpol dibentuk sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan (Cangara, 2009: 208).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2007, Bab I Pasal 1berbunyi: (1) Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum (2) Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, bangsa, dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota (dalam Arifin, 2011: 60-61).

Dalam konteks Parlok ini, keberadaan Parlok di beberapa negara di dunia, ternyata telah lebih dahulu hadir jika dibandingkan dengan Indonesia. Latar belakang lahirnya Parlok itu pun berbeda-beda alasan terbentuknya antar satu negara dengan negara lainnya. Seperti di Republik Rakyat China tepatnya di Hongkong dan Tibet, Inggris Raya tepatnya di Skotlandia, Denmark tepatnya di Gugusan Kepulauan Faroe dan Greenland, Malaysia tepatnya di Sabah dan Serawak, Palestina, Papua New Guinea tepatnya di Bougainville di Kepulauan Melanesia, Kanada, khususnya di


(9)

Provinsi Quebec, Amerika Serikat yang terdapat di negara-negara bagian (state) dan Puerto Rico (Arifin, 2011: 72-83).

Hal menarik dan unik tentang Parpol ditemukan dalam perpolitikan di Negara Jiran Malaysia. Malaysia menganut sistem multi partai, dengan tekanan pada oposisi yang kuat dan jelas. Satu ciri khas dalam budaya politik Malaysia adalah dengan dibentuknya Partai Politik berdasarkan ras dan atau etnisitas, tergambar pada Partai UMNO yang berafiliasi pada Suku Melayu, MIC berafiliasi pada ras keturunan India dan MCA berafiliasi pada ras keturunan China. Ketiga Parpol ini, sekarang berada pada partai pemerintahan yang sedang berkuasa.. Dalam penelitian yang melibatkan peneliti dari 3 negara, yaitu Singapura, Malaysia dan Indonesia, ditemukan bahwa politik multikulturalisme tentang kewarganegaraan di ketiga negara tersebut, yang masyarakatnya bersifat majemuk bertumpu pada etnoreligius (lihat Hefner, 2007).

Politik identitas etnis juga mewarnai Indonesia tepatnya berada di Kota Pontianak, Provinsi Kalimanatan Barat. Dalam beberapa kasus, mengalami pergolakan yang cukup keras bahkan memicu aksi kekerasan. Ini terjadi pada tingkat kabupaten muncul beragam konflik.

Politik lokal di Kalimanatan Barat mennujukkan warna etnis yang sangat mencoclok sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Beberapa diantaranya membawa konflik, seperti kekerasan yang terjadi tahun 1997 dan 1999. Sejak pertengahan tahun 1990-an pertentangan telah berkembang antara dua kelompok etnis yang paling besar, Dayak dan Melayu dalam hal pengangkatan pejabat untuk posisi strategis. Ketegangan dalam kepentingan politis semakin meningkat di akhir pemerintahan Orde Baru, melibatkan gerakan massa yang kadang disertai dengan kekerasan. Walaupun demikian, etnisitas di Kalimantan Barat juga berlangsung dengan cara yang damai, terutama setelah tahun 2000. Namun, bisa dikatakan politik


(10)

“berbagi kekuasaan” antar etnis yang diterapkan di tingkat Kabupaten telah sukses menghilang pemicu kekerasan sehingga bisa mencegah terulangnya konflik yang terjadi pada tahun 1997 dan 1999 (Nordholt, 2014: 461).

Sepanjang sejarah Kalimantan Barat pasca kemerdekaan, kecuali selama Orde Baru, politik etnis identik dengan politik elite Dayak. Orang Dayak adalah satu-satunya segmen masyarakat Kalimantan Barat yang sering terlibat menggunakan sentimen etnis. Sebagian besar dari mereka menghendaki representasi lebih besar dalam birokrasi yang diakibatkan oleh sejarah panjang marjinalisasi terhadap mereka. Para elite Melayu lebih cenderung menghindari mobilisasi massa namun terlibat dalam politik internal birokrat, ketika mereka mempunyai pengaruh yang lebih baik. Akhir Orde Baru menyaksikan bangkitnya kembali politik etnis. Elite-elite Dayak, yang mulai menggugat rezim pada pertengahan tahun 1990-an, adalah pihak pertama yang memanfaatkan kesempatan yang disodorkan oleh reformasi di 1998. Lewat politik demonstrasi massanya, elite Dayak dan beberapa organisasi etnis mampu menekan pemerintah untuk memilih dua Bupati Dayak. Elite Melayu yang terancam oleh bangkitnya politik Dayak, akhirnya membentuk sebuah organisasi etnis pada tahun 1997. Setelah konflik antara orang Melayu dan Madura pada tahun 1999, orang Melayu mulai menjawab tantangan yang disodorkan oleh orang Dayak. (Nordholt, 2014: 489).

Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting dalam politik Kalimantan Barat, tetapi dengan cara-cara yang lebih damai. Tren sejak tahun 1999 menunjukkan bahwa politisasi etnis yang tinggi antara orang Dayak dan Melayu tidak berakibat pada konflik etnis diantara mereka. Politik etnis yang sekarang dimainkan secara sadar baik oleh orang Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah


(11)

kekerasan etnis lebih jauh, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil dan demokratis di Kalimantan Barat ( Nordhotl, 2014: 490)

Boleh jadi politik identitas etnis, juga dialami dalam pertarungan Pilkada di Kabupaten Aceh Tamiang, mengingat Kota Kuala Simpang umumnya dan kecamatan-kecamatan yang ada dihuni oleh multi etnis. Dari pegamatan penulis, persentase etnis bersifat multi. Artinya tidak ada suku yang begitu dominan terutama dalam jumlahnya. Satu yang menjadi catatan penting bahwa memang Kabupaten Aceh Tamiang berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Suku asli di Aceh Tamiang adalah Melayu Tamiang. Mereka secara etnis berkaitan dengan Suku Melayu di Kabupaten Langkat. Mereka hanya dipisahkan oleh batas administrasi saja.

1.3. Rumusan Masalah

Untuk mengkaji Parlok Aceh, dalam hal ini adalah Partai Aceh (PA), maka disusun suatu rumusan masalah berdasarkan dari latar belakang masalah, yaitu bagaimana proses Partai Aceh mengalami kekalahan dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Aceh Tamiang? Ada pun rumusan masalah itu, dijabarkan melalui 3 pertanyaan penelitian, antara lain:

1. Bagaimana sejarah terbentuknya Partai Aceh di Kabupaten Aceh Tamiang? 2. Faktor-faktor apa saja penyebab kekalahan Partai Aceh dalam Pilkada di Aceh

Tamiang?

3. Faktor apakah paling dominan penyebab kekalahan Partai Aceh dalam Pilkada di Aceh Tamiang?


(12)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian

Dalam penelitian tentang Partai Aceh di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai antara lain:

1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Partai Aceh di Kabupaten Aceh Tamiang.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kekalahan Partai Aceh dalam Pilkada di Aceh Tamiang.

3. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan penyebab kekalahan Partai Aceh dalam Pilkada di Aceh Tamiang.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Sementara itu, manfaat penelitian lapangan yang hendak diperoleh tentang kajian Partai Lokal Aceh ini adalah:

1. Secara personal terutama kepada penulis adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam menyelesaikan perkuliahan sebagai tugas akhir atau ujian komprehensif pada Departemen Antropologi, Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Secara akademis diharapkan dapat menambah referensi atau literatur bagi mahasiswa terutama mahasiswa Departemen Antropologi Sosial mengenai kajian Antropologi Politik sebagai spesialisasi Antropologi Sosial.

3. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan keilmuwan bagi pengembangan ilmu Antropologi itu sendiri dan kemajuan ilmu-ilmu sosial dalam rangka menambah teoritasi ilmu secara lebih detail dan mendalam, khususnya tentang partai politik dikaji dari sudut pandang Antropologi.


(13)

1.5. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah pembahasan mengenai latar belakang masalah dari penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yang berisi teori dan konsep yang mendukung penelitian ini. Selanjutnya pembahasan rumusan masalah yang disusul dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dua bagian terakhir adalah pembahasan mengenai sistematika penulisan dan metode penelitian yang berisi tentang pengalaman penelitian.

Pada bab kedua berisi hal-hal yang menyangkut kondisi umum Kabupaten Aceh Tamiang, seperti sejarah, proses pemekaran, dll.

Pada bab ketiga berisi tentang sejarah partai aceh, Selain itu bab ini juga berisi tentang psikologi masyarakat aceh berdasarkan sejarahnya.

Pada bab keempat akan dibahas hal-hal mengenai faktor penyebab kekalahan Partai Aceh di Kabupaten Aceh Tamiang di tinjau dari kacamata Antropologi.

Bab terakhir atau bab kelima berisi tentang kesimpulan yang bisa diambil dari bab-bab sebelumnya mengenai Partai Aceh Kabupaten Aceh Tamiang. Bab ini juga berisi saran-saran yang diperlukan dan diharapkan bisa menjadi masukan bagi para pihak yang berkepentingan terhadap penulisan skripsi ini.

1.6. Metode Penelitian

Kajian Antropologi mempunyai ciri khas tersendiri, yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Perbedaan ini tergambar dari metode penelitian Antropologi yang bersifat deskriptif kualitatif. Kekuatan metode penelitian Antropologi adalah berada pada kualitas data yang diperoleh dan analisa data yang dihasilkan. Metode


(14)

Penelitian dalam Antropologi sering disebut juga dengan Metode Penelitian Kualitatif.

Dalam hal ini, kita dapat membedakan antara tiga jenis penelitian menurut Selitiz et al, 1962: 50-53 dan Hyman, 1960: 66 (dalam Koentjaraningrat, 1990: 29) yaitu 1. Penelitian yang bersifat menjelajah, bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala itu, dengan maksud untuk merumuskan masalahnya secara lebih terperinci atau untuk mengembangkan hipotesa. Dalam hal ini masalahnya sangat terbuka dan belum ada hipotesa. 2. Penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin belum, tergantung dari sedikit-banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan. 3. Penelitian yang bersifat menerangkan, bertujuan menguji hipotesa-hipotesa tentang adanya hubungan sebab-akibat antara berbagai variabel yang diteliti. Dalam hal ini dengan sendirinya sudah ada hipotesa. Dari ketiga jenis penelitian tersebut, maka dalam penelitian tentang Partai Politik Aceh ini, penulis memilih jenis penelitian yang kedua, yakni penelitian yang bersifat deskriptif.

Penelitian yang bersifat deskriptif, memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, keadaan, gejala atau mpok tertentu. Ada kalanya penelitian demikian bertolak dari beberapa hipotesa tertentu, ada kalanya tidak. Sering kali juga arah penelitiannya dibantu oleh adanya hasil penelitian sebelumnya. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, sehingga akhirnya dapat membantu dalam


(15)

pembentukan teori baru atau memperkuat teori lama. Dalam hal penelitian semacam ini masalahnya sudah terang, akan tetapi langkah yang terpenting adalah penegasan dari konsep-konsep relevan (Koentjaraningrat, 1990: 30).

Dalam penelitian ini, metode yang dipergunakan adalah metode etnografi, yang biasa dipakai para antropolog mengkaji kebudayaan manusia dan masyarakat. Menurut Spradley (1997: 12) metode etnografi yaitu mendeskripsikan sebuah kebudayaan dengan cara mempelajari masyarakatnya dan belajar dari masyarakat. Untuk itu, penulis akan mendeskripsikan dalam penelitian ini, bagaimana Partai Aceh mengalami kekalahan ketika mengusung calon bupati (Cabup) dalam Pilkada di Aceh Tamiang dengan berusaha belajar dan tinggal bersama komunitas masyarakat Aceh Tamiang untuk mendapatkan data sebanyak mungkin. Hal ini bukan menjadi persoalan berarti, mengingat penulis adalah penduduk asli karena lahir dan tinggal di daerah Aceh Tamiang, tepatnya di Kota Kuala Simpang sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang (KAT).

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 1997: 3). Pendapat Spradley ini, tentu menjadi masukan kepada penulis agar mampu memisahkan diri sebagai seorang peneliti di satu sisi dan di sisi lain menjadi anggota masyarakat yang diteliti, dalam hal ini menjadi anggota masyarakat Kota Kuala Simpang.

“Konsep-konsep pengalaman dekat” yang diperoleh peneliti selama pengamatannya sebagai orang yang terlibat dalam kehidupan sosial komunitas selama berlangsungnya pertemuan-pertemuan wawancara yang berulang kali dan diskusi-diskusi dengan para informannya yang berlangsung lama, harus ditransfer menjadi “konsep-konsep pengalaman jauh” yang digunakan untuk tujuan-tujuan ilmiahnya,


(16)

hal mana memang merupakan hakekat pemahaman, terutama dalam berbagai disiplin ilmu seperti Antropologi (Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson, 1985: 86).

Selanjutnya Van Maanen (1996: 263) menjelaskan”when used as a method, ethnography typically refers to fieldwork (alternatively, participant-observation) conducted by a single investigator who ‘lives with andlives like’ those who are studied usually for a year or more”. Artinya “ketika digunakan sebagai sebuah metode, etnografi biasanya mengacu pada kerja lapangan (alternatifnya, partisipasi observasi) yang dilakukan oleh peneliti tunggal yang tinggal bersama dan hidup seperti mereka yang dipelajari, biasanya selama setahun atau lebih”.

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian tentang Parpol lokal ini, dilakukan dengan 2 cara yaitu mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dengan informan serta membuat foto-foto dokumentasi terhadap objek yang berkaitan dengan penelitian. Dalam hal ini, objek dokumentasi bisa berasal dari foto informan itu sendiri, foto kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Aceh Tamiang atau kantor-kantor yang berkaitan dengan Pilkada, dan juga foto-foto kegiatan wawancara serta objek-objek lainnya. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari kantor-kantor Pemerintahan Aceh Tamiang, seperti Kantor Bupati, Kantor Kesbanglinmas, Kantor Bappeda, juga data-data dari Kantor KPU Aceh Tamiang dan data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, media cetak maupun elektronik serta sumber dari internet.

1.6.1. Pengumpulan Data Primer

Untuk mengumpulkan data primer penelitian, tentu membina hubungan baik dengan informan sangat diperlukan. Hal ini menjadi faktor utama yang penting


(17)

dilakukan. Kedekatan dan komunikasi yang dinamis dengan informan, membantu kita untuk menggali sebanyak mungkin informasi yang diperlukan untuk melengkapi dan menjawab permasalahan penelitian yang disusun sebelumnya. Dalam Antropologi, kemampuan membina hubungan baik antara peneliti dengan informan agar informan mau menjawab dengan lancer, memberikan informasi sebanyak-banyaknya, bersikap kooperatif disebut dengan rapport.

Dalam penelitian etnografi tentang Parlok Aceh ini, penulis menggunakan dua metode pengumpulan data primer, antara lain:

1.Observasi Partisipasi (Pengamatan Terlibat)

Usaha pengamatan atau observasi yang cermat, dapat dianggap merupakan salah satu cara penelitian ilmiah yang paling sesuai bagi para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu sosial di negara-negara yang belum dapat mengembangkan prasarana penelitian yang memerlukan biaya amat banyak. Banyak sekali kenyataan yang dapat dan perlu diteliti, tapi biasanya anggaran dan tenaga ahli sangat terbatas sehingga haruslah digunakan cara penelitian yang dapat menghasilkan pengetahuan yang sesuai dengan syarat-syarat penelitian ilmiah, tanpa memerlukan banyak biaya atau tenaga ahli (Koentjaraningrat, 1990: 108).

Tentunya observasi sangat diperlukan dalam pengumpulan data primer atau lapangan. Pengamatan memainkan peranan penting sebagai salah satu alat pengumpul data. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, metode pengamatan dilakukan untuk melihat aktifitas para pengurus Parpol Aceh, juga kegiatan yang dilakukan KPU Aceh Tamiang dan juga mobilitas warga sehari-hari. Tentunya peneliti tinggal dan hidup bersama dengan masyarakat Aceh Tamiang untuk mengamati aktifitas tadi.


(18)

Observasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan panca indra (Bungin, 2007: 115). Berarti sangat dibutuhkan kemampuan mata untuk mengamati gejala-gejala dari objek dan subjek penelitian, guna dapat mengungkapkan gejala-gejala-gejala-gejala sosial tersebut secara tepat.

Untuk itu, dalam proses pengamatan yang tentunya terbatas, akibat banyaknya objek penelitian dan subjek penelitian dilakukan, maka perlu dilakukan pencatatan lapangan dengan membuat catatan lapangan (field note). Selain itu, dilakukan juga proses mengumpulkan data dengan cara memfoto objek dan subjek penelitian agar data yang tidak semua dapat diamati dengan mata vulgar dapat didokumentasi untuk kepentingan penelitian.

2.Wawancara (Interview)

Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Dalam hal ini, suatu percakapan meminta keterangan yang tidak untuk tujuan sesuatu tugas, tetapi yang hanya untuk tujuan beramah-tamah, untuk tahu saja, atau untuk mengobrol saja, tidak disebut wawancara. Juga kalau ada seorang anak bertanya-tanya kepada orang tuanya mengenai aneka warna hal, biasanya juga tidak disebut wawancara (Koentjaraningrat, 1990: 129).

Menurut Paul, 1953: 441-442 (dalam Koentjaraningrat, 1990: 129) wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dalam metode observasi. Sudah tentu para peneliti, walaupun


(19)

dibantu oleh banyak asisten yang dapat menggantikan observasi mereka secara bergiliran, toh tidak pernah dapat meliputi seluruh aktifitas semua warga dalam suatu masyarakat di suatu tempat, terus-menerus selama 24 jam dari hari ke hari. Itulah sebabnya lowongan dalam data yang tidak dapat dicatat dari observasi harus diisi dengan data yang didapat dari wawancara.

1.6.2.Pengumpulan Data Sekunder

Dalam mengumpulkan data-data sekunder, penulis sekaligus peneliti, mengumpulkan data-data dari studi pustaka yang diperoleh dari berbagai macam literatur, baik itu buku-buku, jurnal ilmiah dan sebaginya untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan. Hal ini dilakukan untuk kelengkapan dalam penulisan laporan penelitian berupa skripsi ini.

Di samping itu, bahan-bahan bacaan dari berbagai sumber lain, juga diupayakan dengan mengumpulkan berbagai bahan yang berhubungan dengan objek penelitian, seperti majalah, surat kabar, baik cetak maupun elektronik. Kemudian bahan-bahan dari internet yang berasal dari berbagai website dan situs serta aplikasi lainnya guna menambah dan menyempurnakan skripsi agar hasilnya maksimal.

1.6.3.Analisa Data Penelitian

Dalam melakukan analisa data yang telah terkumpul, baik dari lapangan maupun dari studi pustaka, akan dituliskan dalam bentuk pemaparan secara deskripsi tentang kronologis persoalan yang akan dijawab dalam beberapa bab. Data yang sudah terkumpul itu, diorganisasikan dalam suatu bentuk penulisan sesuai urutan dari permasalahan yang akan dijawab dengan gambaran yang terlihat dalam tulisan ini.


(20)

Untuk itu, penulis akan menyusun secara sistematis tentang tata letak pembahasan dari bab ke bab dengan seksama dan teratur agar dapat diuraikan isu-isu yang berkaitan dengan rumusan masalah, sehingga penyajiannya mudah difahami dan dimengerti. Tentunya nanti akan kelihatan benang merah apa yang dirumuskan dalam perumusan masalah dengan apa yang ditemukan di lapangan.

Analisa data secara narasi dan deskripsi ini, memberikan keuntungan kepada pembaca dan penulis untuk membantu mengurai pembahasan secara detail dan jelas, sehingga data-data dapat diinterpretasikan sebaik mungkin. Data-data bisa juga dalam bentuk table-tabel, yang kemudian dijelaskan secara rinci dan menyeluruh agar dapat dipahami secara jelas.

Catatan-catatan lapangan tadi, baik yang ditulis ketika melakukan wawancara dengan informan maupun observasi terhadap objek penelitian, diuraikan sesuai dengan isu-isu yang terjadi berkenaan dengan permasalahan agar tergambar dengan kaitan antara satu tema dengan tema lainnya.

1.7. Pengalaman Peneliti

Sebelum sampai pada tahap menulis skripsi ini, awalnya penulis mengalami berbagai hambatan dalam menentukan judul mengingat begitu banyak lapangan objek kajian yang telah dilakukan oleh mahasiswa antropologi. Tentunya ini menjadi kendala tersendiri kepada penulis untuk fokus pada salah satu objek kajian yang hendak diteliti. Pada awalnya penulis merasa tertarik membahas tentang pemberlakuan Syariat Islam di Aceh terutama di Kabupaten Aceh Tamiang. Namun ketika memulai menuliskan permasalahan tentang pemberlakuan Syariat Islam tersebut ditinjau dari sudut pandang Antropologi, penulis menyadari dan meyakini bahwa penulis akan mengalami hambatan tentang bahan, referensi dan liteatur, yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam tersebut.


(21)

Kemudian penulis mendapat masukan dari teman kuliah sekaligus senior penulis di Departemen Antropologi yaitu saudara Taupik Azhari, S.Sos, agar meneliti tentang kehidupan keluarga penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang kain di Pasar Pagi Kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Akan tetapi penulis merasa bahwa isu yang hendak diteliti mengenai deskripsi kehidupan pedagang dirasa kurang menarik. Apalagi ketertarikan penulis terhadap Antropologi Ekonomi sebagai kajian ilmu Antropologi selama ini dirasakan kurang.

Timbul dibenak penulis jika meneliti kehidupan pedagang di Pasar Pagi Kuala Simpang, Aceh Tamiang, apakah yang harus diteliti. Kalau pun diteliti, sepertinya bahan yang mau ditulis sangat sedikit. Kehidupan pedagang di pasar, seperti yang digeluti kedua orang tua penulis itu-itu saja. Banyak orang lalu lalang. Ada penjual dan pembeli. Penjual menjajakan barangnya. Pembeli memilih dan memilah barang kebutuhan sesuai keperluannya. Kegiatan itu berlangsung dari pagi sampai sore atau malam hari. Begitulah aktifitas di pasar sehari-hari.

Kondisi ini tidak menarik minat penulis sesuai saran dan masukan teman kuliah tadi. Waktu berjalan terus. Setelah beberapa minggu berlalu, penulis disksusi dengan Bapak Wan Zulkarnain. Dalam diskusi itu, penulis menceritakan tentang kondisi partai politik yang ada di Aceh Tamiang, karena pada saat diskusi itu, lagi hangat-hangatnya pemilihan legislatif dan disusul dengan Pemilihan Presiden 2014 ini. Ketika diskusi berjalan, masalah yang dibicarakan adalah pertarungan antara partai Parpol lokal dengan Parpol Nasional di Aceh Tamiang.

Penulis ketika itu menceritakan bahwa kasus pada Kabupaten Aceh Tamiang sangat menarik, yaitu dalam Pileg, Partai Lokal seperti Partai Aceh, unggul dalam perolehan suara dibandingkan dengan Partai Nasional, bahkan partai lokal lainnya. Sementara dalam Pilkada langsung yang dimulai dari tahun 2009 sampai 2012 yang


(22)

lalu, calon Bupati dari Partai Aceh selalu kalah. Pemenang Pilkada Aceh Tamiang adalah calon yang diusung oleh Partai Nasional, yang dalam tahun 2012 kemarin pengusung Bupati Bapak Hamdan Sati, Bupati Aceh Tamiang periode 2012-2017 berasal dari Partai Nasional.

Peristiwa ini menjadi perhatian penulis ketika diskusi berlangsung, mengingat Aceh Tamiang adalah bagian dari teritorial Provinsi Aceh. Pada Kabupaten/Kota lain di Provinsi Serambi Mekah ini, seingat penulis Bupati/Walikota didominasi orang-orang dari Partai Aceh. Mungkin sebagian Tanah Gayo Bupati berasal dari luar Partai Aceh. Kondisi ini menjadi salah satu alasan penulis tertarik untuk menelitinya menjadi bahan skripsi, di samping penulis sendiri, sedikit banyak mengikuti perkembangan perpolitikan di Aceh Tamiang, menginat penulis tinggal dan menetap dengan orang tua di sana.

Setelah diskusi hangat dan menarik tersebut, beberapa minggu kemudian, penulis memberanikan diri menjumpai Ketua Departemen Antropologi Bapak Dr. Fikarwin Zuska untuk mengajukan usulan penelitian. Dari 3 usulan penelitian yang penulis buat, bahasan tentang partai lokal menjadi pilihan untuk dijadikan skripsi. Walaupun belum ditentukan siapa pembimbing skripsi penulis, namun ini adalah langkah awal menyelesaikan keseluruhan bab demi bab sesuai waktu yang ada.

Penulis juga dapat membayangkan kondisi lapangan dalam proses penelitian nanti. Tentu hambatan-hambatan yang ada dapat berkurang sedikit, mengingat daerah Kuala Simpang dan sekitarnya adalah wilayah pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang, di mana letak kantor-kantor pemerintahan dan instansi yang berkaitan dengan objek penelitian ini, seperti kantor Parpol dan KPU dapat dengan mudah dijangkau dari rumah penulis. Selain itu, informan yang hendak digali datanya juga sudah dipersiapkan, seperti anggota atau pengurus Partai Aceh, anggota KPU, tokoh


(23)

masyarakat dan informan lain yang dapat memberikan informasi-informasi sebanyak mungkin demi membantu melengkapi data penelitian ini.

Hal inilah yang mempermudahkan saya mendapatkan data yang dibutuhkan di lapangan, Selain daripada itu banyak tetangga saya yang juga berperan aktif di partai tersebut dan ada juga yang berbeda partai sehingga hal ini tidaklah sulit dalam mendapatkan informasi yang saya ingin dapatkan, sebenarnya kendala dalam pengerjaan skripsi ini terletak di saya, karena saya baru menyadari pengerjaan skripsi haruslah dilakukan dengan fokus sehingga konsentrasi tidak terpecah. Dalam kajian ilmu antropologi, memang seorang peneliti diarahkan untuk memiliki rapport yang baik dengan para informan dalam melakukan penelitian.Yang nanti kedepannya akan berguna dalam hal proses pencarian data yang dibutuhkan.

Banyak perbedaan antara melakukan penelitian ke masyarakat umum dengan Orang-Orang yang ada di Partai, hal ini karena di Partai, struktur organisasi menjadikan seseorang itu memilki kekuasaan dan kewenangan dalam hal proses berpartai.Sehingga kadang-kadang saya merasa kesal ketika seorang pengurus partai yang dengan mudahnya mengabaikan janji yang telah dibuat, demi urusan pribadinya daripada kepentingan partainya.

Berbicara mengenai orang-orang di partai ini sangatlah ramah dan sangat baik dalam proses penulisan skripsi saya ini.


(1)

Observasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan panca indra (Bungin, 2007: 115). Berarti sangat dibutuhkan kemampuan mata untuk mengamati gejala-gejala dari objek dan subjek penelitian, guna dapat mengungkapkan gejala-gejala-gejala-gejala sosial tersebut secara tepat.

Untuk itu, dalam proses pengamatan yang tentunya terbatas, akibat banyaknya objek penelitian dan subjek penelitian dilakukan, maka perlu dilakukan pencatatan lapangan dengan membuat catatan lapangan (field note). Selain itu, dilakukan juga proses mengumpulkan data dengan cara memfoto objek dan subjek penelitian agar data yang tidak semua dapat diamati dengan mata vulgar dapat didokumentasi untuk kepentingan penelitian.

2.Wawancara (Interview)

Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Dalam hal ini, suatu percakapan meminta keterangan yang tidak untuk tujuan sesuatu tugas, tetapi yang hanya untuk tujuan beramah-tamah, untuk tahu saja, atau untuk mengobrol saja, tidak disebut wawancara. Juga kalau ada seorang anak bertanya-tanya kepada orang tuanya mengenai aneka warna hal, biasanya juga tidak disebut wawancara (Koentjaraningrat, 1990: 129).

Menurut Paul, 1953: 441-442 (dalam Koentjaraningrat, 1990: 129) wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dalam metode observasi. Sudah tentu para peneliti, walaupun


(2)

dibantu oleh banyak asisten yang dapat menggantikan observasi mereka secara bergiliran, toh tidak pernah dapat meliputi seluruh aktifitas semua warga dalam suatu masyarakat di suatu tempat, terus-menerus selama 24 jam dari hari ke hari. Itulah sebabnya lowongan dalam data yang tidak dapat dicatat dari observasi harus diisi dengan data yang didapat dari wawancara.

1.6.2.Pengumpulan Data Sekunder

Dalam mengumpulkan data-data sekunder, penulis sekaligus peneliti, mengumpulkan data-data dari studi pustaka yang diperoleh dari berbagai macam literatur, baik itu buku-buku, jurnal ilmiah dan sebaginya untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan. Hal ini dilakukan untuk kelengkapan dalam penulisan laporan penelitian berupa skripsi ini.

Di samping itu, bahan-bahan bacaan dari berbagai sumber lain, juga diupayakan dengan mengumpulkan berbagai bahan yang berhubungan dengan objek penelitian, seperti majalah, surat kabar, baik cetak maupun elektronik. Kemudian bahan-bahan dari internet yang berasal dari berbagai website dan situs serta aplikasi lainnya guna menambah dan menyempurnakan skripsi agar hasilnya maksimal.

1.6.3.Analisa Data Penelitian

Dalam melakukan analisa data yang telah terkumpul, baik dari lapangan maupun dari studi pustaka, akan dituliskan dalam bentuk pemaparan secara deskripsi tentang kronologis persoalan yang akan dijawab dalam beberapa bab. Data yang sudah terkumpul itu, diorganisasikan dalam suatu bentuk penulisan sesuai urutan dari permasalahan yang akan dijawab dengan gambaran yang terlihat dalam tulisan ini.


(3)

Untuk itu, penulis akan menyusun secara sistematis tentang tata letak pembahasan dari bab ke bab dengan seksama dan teratur agar dapat diuraikan isu-isu yang berkaitan dengan rumusan masalah, sehingga penyajiannya mudah difahami dan dimengerti. Tentunya nanti akan kelihatan benang merah apa yang dirumuskan dalam perumusan masalah dengan apa yang ditemukan di lapangan.

Analisa data secara narasi dan deskripsi ini, memberikan keuntungan kepada pembaca dan penulis untuk membantu mengurai pembahasan secara detail dan jelas, sehingga data-data dapat diinterpretasikan sebaik mungkin. Data-data bisa juga dalam bentuk table-tabel, yang kemudian dijelaskan secara rinci dan menyeluruh agar dapat dipahami secara jelas.

Catatan-catatan lapangan tadi, baik yang ditulis ketika melakukan wawancara dengan informan maupun observasi terhadap objek penelitian, diuraikan sesuai dengan isu-isu yang terjadi berkenaan dengan permasalahan agar tergambar dengan kaitan antara satu tema dengan tema lainnya.

1.7. Pengalaman Peneliti

Sebelum sampai pada tahap menulis skripsi ini, awalnya penulis mengalami berbagai hambatan dalam menentukan judul mengingat begitu banyak lapangan objek kajian yang telah dilakukan oleh mahasiswa antropologi. Tentunya ini menjadi kendala tersendiri kepada penulis untuk fokus pada salah satu objek kajian yang hendak diteliti. Pada awalnya penulis merasa tertarik membahas tentang pemberlakuan Syariat Islam di Aceh terutama di Kabupaten Aceh Tamiang. Namun ketika memulai menuliskan permasalahan tentang pemberlakuan Syariat Islam tersebut ditinjau dari sudut pandang Antropologi, penulis menyadari dan meyakini bahwa penulis akan mengalami hambatan tentang bahan, referensi dan liteatur, yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam tersebut.


(4)

Kemudian penulis mendapat masukan dari teman kuliah sekaligus senior penulis di Departemen Antropologi yaitu saudara Taupik Azhari, S.Sos, agar meneliti tentang kehidupan keluarga penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang kain di Pasar Pagi Kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Akan tetapi penulis merasa bahwa isu yang hendak diteliti mengenai deskripsi kehidupan pedagang dirasa kurang menarik. Apalagi ketertarikan penulis terhadap Antropologi Ekonomi sebagai kajian ilmu Antropologi selama ini dirasakan kurang.

Timbul dibenak penulis jika meneliti kehidupan pedagang di Pasar Pagi Kuala Simpang, Aceh Tamiang, apakah yang harus diteliti. Kalau pun diteliti, sepertinya bahan yang mau ditulis sangat sedikit. Kehidupan pedagang di pasar, seperti yang digeluti kedua orang tua penulis itu-itu saja. Banyak orang lalu lalang. Ada penjual dan pembeli. Penjual menjajakan barangnya. Pembeli memilih dan memilah barang kebutuhan sesuai keperluannya. Kegiatan itu berlangsung dari pagi sampai sore atau malam hari. Begitulah aktifitas di pasar sehari-hari.

Kondisi ini tidak menarik minat penulis sesuai saran dan masukan teman kuliah tadi. Waktu berjalan terus. Setelah beberapa minggu berlalu, penulis disksusi dengan Bapak Wan Zulkarnain. Dalam diskusi itu, penulis menceritakan tentang kondisi partai politik yang ada di Aceh Tamiang, karena pada saat diskusi itu, lagi hangat-hangatnya pemilihan legislatif dan disusul dengan Pemilihan Presiden 2014 ini. Ketika diskusi berjalan, masalah yang dibicarakan adalah pertarungan antara partai Parpol lokal dengan Parpol Nasional di Aceh Tamiang.

Penulis ketika itu menceritakan bahwa kasus pada Kabupaten Aceh Tamiang sangat menarik, yaitu dalam Pileg, Partai Lokal seperti Partai Aceh, unggul dalam perolehan suara dibandingkan dengan Partai Nasional, bahkan partai lokal lainnya. Sementara dalam Pilkada langsung yang dimulai dari tahun 2009 sampai 2012 yang


(5)

lalu, calon Bupati dari Partai Aceh selalu kalah. Pemenang Pilkada Aceh Tamiang adalah calon yang diusung oleh Partai Nasional, yang dalam tahun 2012 kemarin pengusung Bupati Bapak Hamdan Sati, Bupati Aceh Tamiang periode 2012-2017 berasal dari Partai Nasional.

Peristiwa ini menjadi perhatian penulis ketika diskusi berlangsung, mengingat Aceh Tamiang adalah bagian dari teritorial Provinsi Aceh. Pada Kabupaten/Kota lain di Provinsi Serambi Mekah ini, seingat penulis Bupati/Walikota didominasi orang-orang dari Partai Aceh. Mungkin sebagian Tanah Gayo Bupati berasal dari luar Partai Aceh. Kondisi ini menjadi salah satu alasan penulis tertarik untuk menelitinya menjadi bahan skripsi, di samping penulis sendiri, sedikit banyak mengikuti perkembangan perpolitikan di Aceh Tamiang, menginat penulis tinggal dan menetap dengan orang tua di sana.

Setelah diskusi hangat dan menarik tersebut, beberapa minggu kemudian, penulis memberanikan diri menjumpai Ketua Departemen Antropologi Bapak Dr. Fikarwin Zuska untuk mengajukan usulan penelitian. Dari 3 usulan penelitian yang penulis buat, bahasan tentang partai lokal menjadi pilihan untuk dijadikan skripsi. Walaupun belum ditentukan siapa pembimbing skripsi penulis, namun ini adalah langkah awal menyelesaikan keseluruhan bab demi bab sesuai waktu yang ada.

Penulis juga dapat membayangkan kondisi lapangan dalam proses penelitian nanti. Tentu hambatan-hambatan yang ada dapat berkurang sedikit, mengingat daerah Kuala Simpang dan sekitarnya adalah wilayah pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang, di mana letak kantor-kantor pemerintahan dan instansi yang berkaitan dengan objek penelitian ini, seperti kantor Parpol dan KPU dapat dengan mudah dijangkau dari rumah penulis. Selain itu, informan yang hendak digali datanya juga sudah dipersiapkan, seperti anggota atau pengurus Partai Aceh, anggota KPU, tokoh


(6)

masyarakat dan informan lain yang dapat memberikan informasi-informasi sebanyak mungkin demi membantu melengkapi data penelitian ini.

Hal inilah yang mempermudahkan saya mendapatkan data yang dibutuhkan di lapangan, Selain daripada itu banyak tetangga saya yang juga berperan aktif di partai tersebut dan ada juga yang berbeda partai sehingga hal ini tidaklah sulit dalam mendapatkan informasi yang saya ingin dapatkan, sebenarnya kendala dalam pengerjaan skripsi ini terletak di saya, karena saya baru menyadari pengerjaan skripsi haruslah dilakukan dengan fokus sehingga konsentrasi tidak terpecah. Dalam kajian ilmu antropologi, memang seorang peneliti diarahkan untuk memiliki rapport yang baik dengan para informan dalam melakukan penelitian.Yang nanti kedepannya akan berguna dalam hal proses pencarian data yang dibutuhkan.

Banyak perbedaan antara melakukan penelitian ke masyarakat umum dengan Orang-Orang yang ada di Partai, hal ini karena di Partai, struktur organisasi menjadikan seseorang itu memilki kekuasaan dan kewenangan dalam hal proses berpartai.Sehingga kadang-kadang saya merasa kesal ketika seorang pengurus partai yang dengan mudahnya mengabaikan janji yang telah dibuat, demi urusan pribadinya daripada kepentingan partainya.

Berbicara mengenai orang-orang di partai ini sangatlah ramah dan sangat baik dalam proses penulisan skripsi saya ini.