Partai Politik Lokal Aceh Dalam Perspekt

Partai Politik Lokal Aceh
Dalam Perspektif Demokrasi Radikal
Iwan Ismi Febriyanto, S.IP1
Wawan Edi Kuswandoro, S.Sos, M.Si dan Faza Dhora Nailufar, S.IP, M.IP2

1) Alumni Jurusan Ilmu Politik
2) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

This research uses qualitative exploratory study that seeks to explore the study of radical
democracy and local political parties with methods of literary study. As for the sources
that will be used most of the book discusses the many radical democracy and local
political parties. Moreover, it will be strengthened with several other supporting data
such as the Law, the vote result of local political parties, as well as studies that discuss
the radical democracy and local political parties. This work discusses the relevance of
the concept of radical democracy with local political parties in Aceh. This radical theory
of democracy is actually the antithesis or the answer from post-Marxist to the
phenomenon of democracy and liberalism in the 21st century. In the theory of radical
democracy, hegemonic cultural values are still retained as the basis of the class struggle.
In addition, Mouffe and Laclau also many include a plurality of values and trying to
recover the political nature of the agonist in the discourse of democracy. The main

conclusion of this study is a reflection of the existence of the new social movements of
the local community as a form of disillusionment with the liberal democratic Indonesia
that run over the last few years. And there are similarities pattern initiated Mouffe and
Laclau through radical democracy and the movement of local political parties in Aceh.
Keywords:
Hegemony, Local Political Party, Radical Democracy

PENDAHULUAN
Wacana mengenai demokrasi memang sering diperbincangkan di berbagai aspek ilmu
pengetahuan, khusunya ilmu-ilmu sosial. Beberapa ruang dan diskursus mengenai demokrasi,
wacana yang sering digambarkan di beberapa media dan aparatur negara adalah bentuk demokrasi

1

yang sering kali bermuara pada individualisme dan proseduralisme. Demokrasi hanya diartikan
sebagai festival, dimana para kontestan politik bertarung di ruang-ruang politik negeri ini dengan
sistem yang kita kenal sebagai Pemilu. Tidak hanya pada tataran pusat, di tataran daerah juga
banyak kita jumpai bahwa demokrasi diartikan hanya sebatas pemilihan-pemilihan kepala daerah
atau lebih dikenal dengan Pemilukada.
Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos

yang mempunyai arti rakyat, sedangkan Kratos artinya adalah kekuasaan. Kita bisa tarik garis
besar, bahwasannya demokrasi adalah kekuasaan berada di tangan rakyat dan rakyatlah yang
menentukan atau memutuskan segala kebijakan yang akan di ambil oleh pemerintah untuk
kemudian diterapkan dalam berbagai kehidupan sehari-hari di wilayahnya. Bahkan, Dony Gahral
Adian dalam (Adian, 2010: Kata Pengantar) menyebut bahwa politik demokrasi tak lain adalah
perluasan akses politik kaum miskin, marjinal, dan minoritas.
Menurut Joseph A. Schumpeter, filsafat demokrasi dari abad kedelapan belas dapat
dituliskan sebagai berikut: metode demokratis adalah bahwa pengaturan kelembagaan untuk
sampai pada keputusan-keputusan politik yang menyadari kebaikan umum dengan membuat
masyarakat memutuskan masalah-masalahnya sendiri melalui pemilihan individu-individu untuk
berkumpul dalam rangka melaksanakan kehendaknya. (Schumpeter, 2013: 411)
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan
banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima
dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Selain para pendahulu yang menerangkan tentang
bagaimana demokrasi itu dijalankan dan memang sudah lama berkecipung dalam bidang politik,
ada juga anggapan bahwa dari salah satu filsuf politik radikal, yaitu Alain Badiou. Badiou menolak
penafsiran liberal tentang demokrasi sebagai persaingan bebas antar kelompok kepentingan atau
individu, baginya, demokrasi adalah sesuatu yang sama sekali lain. Demokrasi adalah invariant
komunis, atau sebut saja egalitarianisme radikal. Konsekuensinya, demokrasi bukan sekedar

pengambilan keputusan secara kolektif, baik secara agregatif maupun deliberatif. Demokrasi
adalah dia yang menghadirkan kesetaraan.
Eksperimen pertama demokrasi dilakukan ketika masih belum terbentuknya state-nation
yang ditandai dengan Perjanjian Wesphalia, tapi masih city-state di Athena Yunani, waktu itu
demokrasi dilakukan secara langsung di sebuah tempat, lapangan yang besar untuk menentukan
2

pemimpin. Mekanisme demokrasi ketika itu memunculkan semaca oposisi biner ( binary
opposition) yaitu di satu sisi demokrasi mengakomodir semua kebebasan politik warga Athena,

yang jelas keutamaan warganegara dan kedaulatan ada di rakyat Athena bukan lagi ditentukan oleh
doktrin teologis (monarki) seperti sebelumnya. Tetapi di satu sisi, demokrasi menghasilkan
semacam agen rasional (rational agent) yaitu agen, elit atau kelompok yang memonopoli politik
dengan menghegemoni, tujuanya untuk mempertahankan kekuasaan sehingga cenderung
mengarah pada Aristokrasi.
Pada perkembaganya, demokrasi mengalami pendefinisian secara terperinci dan teknis,
pengukuran secara ilmiah kodisi ini ditengarai oleh Fukuyama sebagai The end of History and The
Last Man . Perubahan ini, mengakibatkan demokrasi direduksi, dan menekankan prosedur-

prosedur teknis (Pemilu, adanya KPU, dll) atau sering disebut demokrasi prosedural.

Konsekuensinya adalah watak politik yang antagonis direduksi menjadi politik yang kompromistis,
gairah berubah menjadi hukum, gerakan berubah menjadi prosedur, semangat berubah menjadi
institusi, kontradiksi berubah menjadi kompromi. Perdebatan pun berkisar antara bagaimana
demokrasi harus dibangun dengan standar barat. Misalnya perhitungan demokrasi yang didasarkan
pada pendapatan perkapita dan agama yang dianut, malukakan Pemilu, pendirian KPU, Bawaslu,
sampai pada bertransformasinya lembaga-lembaga survey menjadi lembaga provit.
Demokrasi mengalami standarisasi yang baku yang celakanya standar itu menjadi acuan
demokrasi untuk Negara yang melakukan demokratisasi. Seperti Irak yang proses demokrasi
ditandai dengan invasi sebagai penggulingan rezim otoriter dan pemilu dilakukan setelah rezim
otoriter runtuh padahal civil society masih belum siap yang terjadi adalah frozen democracy.
Demokrasi mengalami banyak kemacetan di dunia ketiga ini bukan tanpa sebab, yaitu
ketidaksesuaian antara standar dan faktor empiris juga karena antagonisme telah mati.
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffee pada tahun 1985 dengan bukunya yang berjudul
Hegemony and Sosialist Strategy : Towards a Radical Democratic Politics memberikan kritik atas

pergeseran substansi dari demokrasi yang tidak lagi mengarah pada kesetaraan dan kebebasan,
melainkan pada komodifikasi sosial dan determinasi ekonomi masyarakat. Selain itu, Dony Gahral
Adian juga bersikap demikian mengenai konsep dan teori demokrasi dengan bukunya yang
berjudul Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme yang banyak mengkritisi
prkatek-praktek demokrasi liberal yang meluas ke berbagai belahan dunia ketiga.


3

Demokrasi hanya dijadikan topeng oleh orang-orang yang sejatinya anti demokrasi demi
meraih keuntungan dengan memakai logika ekonomi semata. (Adian, 2010). Masyarakat dibuat
percaya bahwasannya substansi demokrasi hanya berada pada hajatan lima tahunan. Ini
menunjukan bahwa segalanya tentang demokrasi adalah sekelumit prosedur-prosedur dalam upaya
meraih kekuasaan. Kemiskinan, kemelaratan, dan kesenjangan sosial dipelihara secara berkala.
Bahkan tidak jarang di antara para politisi-politisi yang haus kekuasaan, mereka hanya dijadikan
komoditas politik demi meraih keuntungan pribadinya.
Secara konseptual, tentunya krisis kepercayaan terhadap partai maupun sistem yang ada
dipemerintahan Indonesia merupakan imbas dari mengalir derasnya gelombang demokrasi liberal.
Kecenderungan demokrasi dengan prinsip libertarian ini sangat dipengaruhi oleh logika
kapitalisme, yaitu persingan bebas dan determinasi ekonomi individual. Asumsi ini dipertegas oleh
Milton Friedman dalam bukunya Capitalism and Freedom yang menyatakan bahwa ekonomi pasar
bebas kapitalis-lah yang merupakan satu-satunya tipe organisasi sosial yang menghargai
kebebasan individual karena sistem itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang mampu
mengoordinasikan aktivitas-aktivitas dari sejumlah besar orang tanpa harus menggunakan koersi.
(Mouffe dan Laclau, 1999 : 255)
Di Indonesia, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Selama lebih dari

60 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana,
dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan
ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Pokok masalah ini
berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk
melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya
menghindarkan timbulnya diktatorisme kepemimpinan.
Sudah hampir dua dekade ini, Indonesia telah menikmati masa dimana orang-orang bebas
mengemukakan pendapatnya di depan umum, gelombang media yang begitu kencang mengenai
berbagai bentuk informasi, dan masih banyak lagi gelombang kebebasan telah menyelimuti langit
Indonesia pasca reformasi tahun 1998 silam. Inilah yang kemudian memunculkan stigma
bahwasannya kita telah berada dalam era demokrasi yang sesungguhnya. Dimana kebebasan
mengalir begitu deras dalam proses pembangunan negara yang dicita-citakan, yaitu negara
kesejahteraan.

4

Pada tahun 2006, Indonesia sempat dikejutkan dengan disahkannya Partai Politik Lokal di
daerah Aceh sebagai alat rekonsiliasi atas ancaman dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
memang sudah lama mengancam untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu isi perjanjian perdamaian yang waktu dilakukan di Finladia adalah bahwa pemerintah

Indonesia harus segera menyetujui pembentukan Partai Politik Lokal di Provinsi Aceh. Salah satu
partai lokal yang akan menjadi bahasan utama pada penelitian ini adalah Partai Aceh.
Partai Aceh sebelumnya bernama GAM, yang didirikan di Banda Aceh pada hari senin,
tanggal 04 Juni 2007. Selanjutnya pada hari Sabtu, 23 Februari 2008 Partai GAM diubah menjadi
Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Selanjutnya pada hari Selasa, 22 April 2008 Partai Gerakan
Aceh Mandiri (GAM) diubah menjadi Partai Aceh. Partai yang dikomandoi oleh Muzakir Manaf
yang juga merupakan mantan petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) ini berhasil mengumpulkan
suara sebanyak 46,91 % pada Pemilu 2009 lalu dan 35,34 % pada Pemilu Legislatif 2014. Ini
menandakan bahwa Partai Aceh merupakan partai pemenang untuk anggota DPRA (Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh) selama dua periode berturut-turut. Itulah alasan mengapa Partai Aceh
dipilih sebagai bahan rujukan utama pada penelitian ini.
Fenomena partai politik lokal merupakan salah satu dari imbas dari pergeseran makna
dalam diskursus demokrasi dewasa ini. Ketiadaan dalam upaya mengurangi kesenjangan dan
kemelaratan yang terjadi di negara sudah mulai dilupakan bahkan hanya sebatas upaya
pemakluman atas konsekuensi logis dari paradigma demokrasi liberal yang dianut. Berbagai partai
politik seolah melakukan kotestasi dalam ruang demokrasi hanya untuk mendapatkan kekuasaan
secara yuridis dalam mengatur negara ini.
Dalam logika persaingan demokrasi liberal, konsep antagonisme yang seharusnya menjadi
bagian inti dari kehidupan politik menjadi kabur dan abstrak. Pertarungan ideologis, persaingan
intelektual, dan perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang bisa mensejahterakan rakyat

seakan hanya menjadi senjata tanpa peluru dan tergantikan oleh logika ekonomi. Reformasi yang
menjadi kebanggaan dan seakan menjadi Tuhan baru dalam paradigma kebijakan yang lebih
merata karena melahirkan konsepsi mengenai otonomi daerah nyatanya tidak mampu memberi
jawaban atas ketimpangan yang semakin melebar.
Adian (2010: 20) mengatakan bahwa kegagalan kita memahami watak komunitarian
sebagai sebuah rasionalitas politik akan menghasilkan dua konsekuensi yang menghawatirkan:

5

1. Kita berasumsi bahwa kita berbagi kualitas universal yang sama dengan orang lain yang secara
alamiah akan mengakibatkan konvergensi kepentingan melalui negosiasi dan kompromi.
Kelompok nasionalis dan agamis, misalnya, pasti akan menemukan titik pertemuan keduanya
melalui negosiasi. Sementara, sampai saat ini keduanya masih bersitegang dan kalaupun ada
kompromi, itu bersifat tentative dan tidak stabil.
2. Kita akan mengklaim diri berbicara atas nama kemanusiaan sehingga musuh dilabeli sebagai
bukan manusia, yang kapan saja bisa dimusnahkan.
Konsep mengenai pembangunan serta paradigma demokrasi radikal memang belum
banyak menjadi diskursus diranah ilmu politik dewasa ini, terutama yang penulis alami setelah
beberapa tahun menempuh studi di Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Kajian ini
mungkin banyak dilupakan sebagai materi dan kekayaan mengenai penerapan demokrasi di dunia,

teruatam dunia ketiga yang Indonesia merupakan bagian didalamnya. Padahal, sebagai intelektual
yang memiliki spesifikasi bidang Ilmu Politik sudah menjadi kewajiban untuk memahami
khasanah keilmuan yang bersifat kontemporer.
Penulisan ini ingin lebih difokuskan pada proses menemukan dan mencari substansi dari
demokrasi. Dimana, dari beberapa kasus yang tengah berada dalam pundak bangsa kita hari ini
tidak lain adalah disebabkan oleh semakin abstraknya nilai dan subtansi demokrasi. Di sini,
peneliti dengan mengambil judul penelitian “Partai Politik Lokal dalam Perspektif Demokrasi
Radikal” dengan studi literatur yang berlandaskan pada sumber-sumber yang berorientasi
terhadap tema yang diangkat oleh penulis.

PEMBAHASAN
Teori mengenai demokrasi radikal sebagaimana menjadi fokus utama dari penelitian ini
sudah banyak dibahas pada bab-bab sebelumnya. Pada bagian ini, demokrasi radikal yang
sebelumnya dibahas akan dibagi menjadi beberapa pembahasan dalam menganalisis fenomena
partai politik lokal di Aceh. Beberapa instrumen yang termasuk pembentuk teori demokrasi radikal
akan dipecah sebagai pisau analisis partai politik lokal Aceh tersebut. Adapun beberapa instrumen
yang akan dipakai adalah soal subjek politik, nilai plural dalam demokrasi radikal, hegemoni, dan
watak agonistik dalam teori demokrasi radikal.

6


Timbulnya Partai Politik Lokal sebagai Subjek Paradoks dan Pluralitas dalam Demokrasi
Radikal
Dalam bahasan mengenai demokrasi radikal, Mouffe dan Laclau memang tak ketinggalan
menggunakan logika pluralitas dalam hubungan sosial kemsayarakatan. Artinya, proposal
mengenai demokrasi radikal yang diajukan oleh mereka memang sangat bersandar pada
keberagaman pada subjek-subjek politik. Adapaun yang menarik dari timbulnya partai politik
lokal ini adalah soal tumbuhnya subjek politik baru di Indonesia yang selama ini dipenuh sesaki
oleh partai-partai nasional. Dalam bahasan teoritisnya, Mouffe dan Laclau menamainya sebagai
subjek paradoks.
Istilah mengenai subjek dalam politik memang sudah lama menjadi perbedabatan yang
umum dan menjadi sejarah kemajuan pemikiran dari zaman Rene Descartes sampai Edmun
Husserl. Logika subjek dalam wilayah pemikiran Cartesian adalah bagaimana eksistensi subjek
yang terbentuk atas dasar idealisme rasional. Pengukuhan terhadap “Cogito” yang dilakukan oleh
Rene Descartes memang menjadi titik tolak pemikirannya mengenai subjek. Pada sebagian besar
intelektual modern menganggap ini adalah kekeliruan berfikir, karena Descartes dituduh
memisahkan relasi antara subjek dan objek.
Demi melanggengkan politik konsensus dalam menghadapi pluralitas masyarakat, Rawls
mengatakan bahwa pentingnya menerima tiga fakta umum budaya politik masyarakat demokratis
yang mau tak mau harus diterima masyarakat sebagai kenyataan yang tak dapat ditolak. Ketiga

kenyataan budaya politik masyarakat demokratis itu adalah:
“ pertama adalah bahwa keragaman dotrin-dotrin religius, filosofis dan moral
komprehensif yang nalar yang dijumpai pada masyarakat- masyarakat demokratis
modern bukanlah sekedar kondisi kesejarahan yang boleh jadi akan segera berlalu
belaka, hal tersebut merupakan roman permanen dari budaya publik masyarakat
demokrasi. Sebuah fakta umum yang kedua dan bertalian adalah bahwa sebuah
keberbagian pemahaman yang bersinambungan atas sebuah dotrin religius, filosofis,
dan moral komprehensif hanya dapat dipertahankan lewat penggunaan opresif kuasa
hukum. Akhirnya sebuah fakta umum yang ketiga adala h bahwa sebuah rezim
demokratis yang aman dan langgeng, yang tak terpecahkan ke dalam keyakinankeyakinan doktrinal yang saling bertentangan dan kelas-kelas sosial yang bermusuhan,
harus didukung secara sukarela dan bebas oleh sekurang-kurangnya sebuah
mayoritas substansial para warganya yang aktif secara politik. ” (Danujaya,2012:165166)
Subjek yang terlibat dalam dunia tidak bisa terlepas dari peran bahasa. Bahasa adalah
tempat dimana subjek senantiasa berada di dalamnya, bukan tempat yang diciptakan oleh subjek.
7

Persoalan bahasa ini, oleh Wittgenstein disebut sebagai permainan bahasa. Bahasa menurut dia
adalah aturan main yang berbeda dari satu bentuk kehidupan kebentuk kehidupan lainnya. Aturan
main tersebut bukan merupakan hasil pilihan individu, melainkan aturan yang mana individu
tertanam didalamnya. (Adian, 2011: 117)
Faktisitas pluralitas diakibatkan oleh ketidaktereduksinya keberagaman subjek dalam
sebuah keutuhan. Ketidakterekdusinya ini karena subjek itu selalu berada dalam kondisi yang tidak
utuh. Ketidakutuhan subjek ditandai oleh subjek yang selalu berada dalam kondisi
keserbakekurangan atau lack. Kondisi keserbakekurangan ini disebabkan oleh ada sesuatu yang
tidak dapat diinklusikan ke dalam diri subjek sehingga ia tidak pernah mencapai keutuhan tersebut.
Hal ini ditunjukkan oleh Lacan dengan teori subjek. Bagi Lacan, subjek adalah sesuatu yang selalu
berada dalam keserbakekurangan yang tidak pernah dapat mencapai pemenuhan identitasnya
sebagai sesuatu yang utuh. Subjek selalu kekurangan secara inheren dan kondisi ini terjadi karena
ada ekses terhadap dirinya.
Ada dua jenis ketidakutuhan pada subjek. Pertama adalah ketidakutuhan internal yang
diakibatkan oleh perpisahan primordial anak dari sang ibu pasca melahirkan mengakibatkan subjek
itu selalu merasa dirinya sebagai yang asing. Kedua adalah ketidakutuhan eksternal, dimana
realitas terbentuk melalui proses pembahasaan atau the symbolic . The Symbolic memungkinkan
subjek untuk mengetahui realitas, melalui bahasa, sekaligus mengurungnya di dalam penjara
bahasa tersebut. Ia mampu menghadirkan realitas kepada subjek, melalui struktur penanda-petanda,
suatu penanda tidak pernah menghadirkan petanda yang diasosiasikan dengan dirinya secara
langsung, melainkan melalui keterhubungannya dengan penanda lainnya. (Adian, 2011: 129)
Dengan adanya proses ini, maka realitas selalu menghadirkan dirinya sekaligus memiliki ekses
akan keberadaan the other . Berhubungan dengan ketidakutuhan internal, kehadiran the
other sebagai sesuatu yang asing memantapkan kegagalan subjek dalam mempertahankan

keutuhan dirinya karena ia selalu membayangkan the other sebagai sesuatu yang tidak dapat
dimasukan sebagai bagian dari dirinya. The other dalam realitas simbolis kemudian membentuk
diri subjek sebagai sesuatu yang koheren dan unik sekaligus terpisah dari apa yang tidak dapat
diinklusikan dan menandakan keberadaan subjek yang unik lainnya.
Ketidakutuhan subjek ini menandakan bahwa subjek itu bisa menjadi subjek apabila ada
yang lain mengisinya. Aku ada karena dia pun ada. Oleh karena itu, kebutuhan subjek terhadap
keterlibatan the other tidak terelakan lagi. Dalam kondisi subjek yang membutuhkan the
8

other sebagai syarat atas keberadaan subjek, bagaimana tentang relasi subjek dengan subjek lain

sebagai the other . Subjek yang lain juga dipahami sebagai sesuatu yang dibentuk oleh the
other , yang juga berada dalam kondisi keserbakekurangan dan tak utuh ini, sama- sama ingin

mencapai kepenuhan atas kondisi kekurangannya dan keutuhan. Dalam pemenuhan ini lah terjadi
kebersitegangan antar subjek dan the other . Kebersitegangan ini akhirnya disebut dengan relasi
antagonis antara the other dan subjek. Relasi antagonis ini lah yang membuat ketidakstabilan abadi
di dalam diri subjek. (Adian, 2011: 130)
Relasi antagonis dipahami sebagai sebuah momen dalam usaha untuk mencapai sebuah
kestabilan dalam sebuah ketegangan yang disebabkan oleh subjek yang berada dalam kondisi
keserbakekurangan. Usaha untuk mencapai kestabilan itu bagi Laclau diartikan sebagai sebuah
praktek artikulasi. Sedangkan hasil dari artikulasi disebut dengan diskursus. Diskursus sendiri
diartikan sebagai totalitas yang terstruktur. Laclau dan Mouffe mengatakan bahwa “The structured
totality resulting from the articulatory practice, we will call discourse.” (Mouffe dan Laclau,
2001: 105). Praktek artikulasi berusaha membangun sebuah relasi dengan berbagai perbedaan
yang disebabkan oleh keunikan subjek yang belum terartikulasikan. (Laclau and Mouffe, 2001:
105). Usaha penstabilan relasi antara berbagai identitas yang belum terartikulasikan inilah dimana
momen antagonisme muncul. Dengan meletakkan praktek artikulasi pada relasi berbagai
perbedaan yang sama sekali belum terartikulasikan, maka suatu pembentukan relasi antagonism
adalah hal yang paling penting pada pembentukan identitasnya. Ia menaruh batas bagi dirinya
dengan menghadapi sesuatu yang asing diluar sana.
Radikalitas subjek yang tak utuh ini membuat subjek yang dapat mengenal dirinya secara
utuh yang menghasilkan subjek yang soliter, baik menurut Cartesian maupun Kantian itu tidak
mungkin dalam masyarakat pluralis. Karena ada dua hal yang berlawanan dalam secara prinsip
dapat ditemukan antara subjek modern dan mayarakat pluralis, yaitu subjek modern
mengasumsikan bahwa keutuhan subjek itu mungkin karena subjek adalah subjek yang berpikir,
yang dapat mengenali dirinya secara utuh, sedangkan masyarakat pluralitas mengasumsikan
bahwa subjek itu berada dalam keadaan yang tidak stabil karena relasi antagonis yang diakibatkan
oleh ketidakutuhan subjek dan kondisi keserbakekurangan.
Dalam relasinya dengan partai politik lokal di Aceh, tentunya radikalitas subjek (dalam hal
ini partai politik lokal) dalam usaha membentuk entitas baru ditengah partai politik nasional ini
menjadi semacam gambaran umum dari adanya penerapan dari konsepsi mengenai demokrasi
9

radikal. Partai politik lokal Aceh tampil sebagai kompetitor pada Pemilu 2014 lalu yang
notebennya dikuasai oleh partai-partai nasional yang telah disahkan oleh KPU.
Partai politik lokal Aceh telah berhasil menciptakan konsep mengenai the other dalam
ranah politik nasional. Pluralitas kedaerahan mereka tampilkan sebagai bentuk protes terhadap
kegagalan struktur partai politik nasional dan demokrasi liberal yang nyatanya tidak mampu
melakukan usaha kesejahteraan kolektif dari sabang sampai marauke. Ini dibuktikan dengan
beberapa isi perjanjian perdamaian yang dilakukan di Helsinki yang berisi tentang otonomiotonomi daerah Aceh dalam usaha membangun daerahnya sendiri, mulai dari segi ekonomi, sosial,
maupun politik. Masyarakat Aceh berhasil membentuk semacam subjek politik baru dalam ranah
nasional. Ini juga sebagai bukti kegagalan demokrasi liberal yang sekarang dianut oleh Indonesia
dalam menjawab tantangan pluralitas di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Partai lokal Aceh yang masuk dalam kategori the other dalam diskursus mengenai subjek
kemudian membentuk semacam ruang pertentangan dengan subjek pendahulunya, yaitu partai
politik nasional. Inilah yang kemudian disebut dengan subjek paradoks dalam konsep mengenai
subjek politik yang dimaksud oleh Laclau dan Mouffe. Dimana ruang pertentangan antara partai
politik lokal Aceh dengan partai nasional akan selalu abadi dalam kontestasi politik di provinsi
Aceh. Dan pertentangan yang abadi tanpa menghilangkan lawannya ini adalah bentuk agonisme
dalam keterbentukan partai politik lokal Aceh yang merupakan salah satu ciri dari adanya
demokrasi radikal.
Agonisme dalam Partai Politik Lokal Aceh
Terma agonistik sebenarnya bukan istilah khas Mouffe. Ada beberapa pemikir lain yang
juga menggunakan terma ini, misalnya William E. Connolly (Profesor Ilmu Politik di Johns
Hopkins University), Bonnie Honig (Profesor Ilmu Politik di Northwestern University ) atau

James Tully (Profesor Ilmu Politik, Hukum, Indigenous Governance, dan Filsafat di University
of Victoria , Kanada, sejak 2003). (Sunaryo, 2012: 91) Namun ada perbedaan mendasar pengertian

agonistik yang dipahami Mouffe dibanding pemikir pemikir tersebut. Mouffe lebih memahami
agonistik sebagai ruang konflik dan anta gonisme, sementara yang lain pada umumnya lebih
memahami itu sebagai ruang kebebasan dan deliberasi, pengertian the political yang diinspirasi
dari Arendt (Mouffe, 2005:20).
Konsep konflik dan antagonisme menjadi kata kunci dalam demokrasi agonistik. Namun
perlu dicatat bahwa pengertian konflik yang dipahami Mouffe bukan dalam arti konflik
10

permusuhan di mana yang lain dianggap sebagai lawan yang harus dihancurkan. Konflik di sini
lebih diartikan sebagai satu ruang di mana perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan setiap
perbedaan pada dirinya bersifat lejitim dan tidak ada satu bagian yang menjadi fondasi bagi yang
lain. Setiap bagian me- miliki hak untuk menyatakan pendapatnya tanpa khawatir akan dianggap
ilegal atau irasional.
Mouffe menilai bahwa ruang konflik dan antagonisme semacam ini yang absen dalam
demokrasi liberal. Demokrasi liberal menutup ruang konflik dan antagonisme, dan mereka
mengubahnya menjadi konsensus rasional. Berangkat dari pengertian yang politik sebagai konflik
dan antagonisme, maka bangunan demokrasi agonistik Mouffe didasarkan pada semangat konflik
dan antagonisme itu. Namun Mouffe sendiri kemudian berupaya menjinakkan istilah antagonisme
menjadi agonis. Jika di dalam antagonisme, relasi kita mereka dianggap sebagai relasi permusuhan
yang tidak memiliki titik temu sama sekali, di dalam agonistik meski tidak ada solusi rasional bagi
konflik yang mereka alami, namun mereka tetap mengakui legitimasi lawan. Menurut Mouffe,
salah tugas dari demokrasi adalah mentransformasi antagonisme menjadi agonisme
(Mouffe, 2005:20). Dalam bahasa lain, antagonisme yang identik dengan kekasaran diperhalus
dalam agonisme. Konflik dalam agonisme tidak bertujuan menghancurkan lawan namun justru
ditujukan untuk merawat ruang konflik itu sendiri.
Istilah lawan yang terlibat dalam konflik tidak dipahami dalam pengertian “enemy”, namun
lebih diartikan sebagai “adversary.” Dengan pengertian adversary, maka meski mereka terlibat di
dalam konflik, namun masing-masing memiliki legitimasi yang setara dan tidak menghancurkan
mereka yang dianggap sebagai lawan. Bagi Mouffe, model relasi adversarial semacam ini harus
dianggap sebagai sesuatu yang konstitutif dalam demokrasi (Mouffe, 2005:20).
Model ini tidak lepas dari tesis sentral Mouffe bersama Ernesto Laclau dalam Hegemony
and Socialist Strategy (1985) bahwa objektivitas sosial dikonstitusikan melalui tindakan kuasa

(acts of power ). Dengan tesis ini maka objektivitas sosial apapun pada dirinya sudah dalam
pengertian yang politis. Kekuasaan menurut Mouffe tidak dimaknai sebagai relasi eksternal yang
mengambil tempat di antara dua identitas yang belum dikonstitusikan. Kekuasaan justru lebih
dimaknai sebagai aktivitas mengkonstitusikan identitas itu sendiri (Mouffe, 2000:99).
Dengan pendasaran di atas, maka demokrasi agonistik sebenarnya hendak mengafirmasi
konflik dan antagonisme sebagai relasi yang tidak bisa dieliminasi. Yang dapat kita lakukan
sebenarnya hanya menghaluskan proses konflik dan antagonisme itu. Dalam liberalisme, ada
11

kecenderungan untuk menghapus konflik, antagonisme dan lawan (dalam pengertian adversary).
Liberalisme hanya memahami lawan sebagai kompetitor yang memiliki tujuan merebut kekuasaan,
yang dengan kekuasaan tersebut ia akan mengeluarkan lawannya (Mouffe, 2005:21). Demokrasi
agonis justru memahami konflik dan antagonisme sebagai proses yang terus menerus tanpa final
dan tanpa konsensus. Kalaupun ada kompromi, itu lebih dipahami sebagai peristirahatan sejenak
di tengah konfrontasi yang sedang berlangsung (Mouffe, 2000:102). Dengan demokrasi pluralis
agonis, Mouffe menampilkan satu realitas sosial yang tidak luput dari relasi kuasa dan membuka
ruang bagi yang politis untuk tampil dalam konflik agonis.
Dalam partai politik lokal Aceh, ruang konflik antagonistik sangatlah kental. Pada saat
awal kemunculan partai ini juga diawali dengan konflik berkepanjangan antara organisasi GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) dengan pemerintah Republik Indonesia seperti yang telah dijelaskan
pada sub bab sebelumnya. Setelah konflik berkepanjangan tersebut, kemudian lahirlah satu
kompromi antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang pada kesepakatan akhir melahirkan
Partai Politik Lokal Aceh.
Secara politis, tentunya ini menjadi satu fenomena politik yang menarik, terutama pada
saat negara ini telah terhegemoni oleh partai-partai nasional yang berdiri, muncul partai lokal Aceh
dengan segala peraturan dan manajemennya yang berbasiskan adat istiadat lokal Aceh. Selain itu,
dampak dari rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia dengan GAM ini juga terasa pada wilayah
bangunan sistem pemerintahan lokal disana.
Mouffe dan Laclau dalam pembahasannya mengenai agonisme seperi yang telah dijelaskan
sebelumnya, ingin menunjukan bagaimana ruang-ruang politis yang sarat konflik memang
menjadi hal yang lumrah dan tidak boleh dihilangkan. Ini merupakan watak dari politikal, dimana
pada setiap konflik yang berkembang dalam suatu wilayah negara tidak boleh serta merta
dihilangkan atas nama rasionalitas universal. Apalagi konflik yang muncul ini adalah konflik yang
berbasis nilai-nilai kedaerahan yang tentunya ingin menjaga agar daerahnya tetap melestarikan
kepunyaan mereka, baik itu budaya maupun alam yang telah diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Langkah pemerintah Indonesia untuk menelurkan keputusan terhadap pendirian partai
politik lokal Aceh ini memang menjadi keputusan yang kontroversial. Keputusan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini banyak yang
menilai akan menimbulkan disintegrasi kebangsaan. Inilah konsekuensi dari beragamnya suku dan
12

daerah yang dimiliki Indonesia. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menelurkan
sebuah kebijakan agonistik dalam wilayah politis pada pengambilan keputusannya.
Hegemoni dalam Partai Politik Lokal Aceh
Dalam membentuk sebuah paradigma politik, sebagai bahan dasar terbentuknya teori
mengenai demokrasi radikal, Moffe dan Laclau menggunakan pola Gramsci tentang teori
hegemoni. Hegemoni menjadi bahan rujukan dalam membangun sebuah kesatuan politis dari arus
masryarakat bawah (grassroot). Pada bab tentang tinjauan teoritis, telah dijelaskan bagaimana
hegemoni masuk sebagai sebuah teori yang menjadi gerakan menuju demokrasi radikal ala Mouffe
dan Laclau.
Pada pembahasan mengenai hegemoni dalam partai politik lokal Aceh ini, tentunya juga
akan dibahas bagaimana pengaruh dari hegemoni itu muncul dalam kecenderungan masyarakat
Aceh ketika menjatuhkan pilihan kepada partai politik lokal sebagai representasi politik mereka.
Kesatuan atau kehendak kolektif dari masyarakat Aceh inilah yang menjadi titik awal kemunculan
hegemoni dalam wujudnya yang nyata. Karena menurut Gramsci, subjek dari tindakan politik
tidak dapat diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, pada saat mereka mencapai bentuk
“keinginan kolektif” yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang dikonstruksi
melalui ideologi. (Hutagalung, 2008: xxv) Maka dari itu, secara umum, partai politik lokal Aceh
ini juga merupakan bentuk dari ekspresi politik atas kekecewaan mereka terhadap kondisi politik
dan kebijakan nasional.
Gerakan masyarakat Aceh yang didorong oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada waktu
itu, menjadi hegemoni masyarakat yang mampu menimbulkan gejolak politik luar biasa dalam
ranah nasional. Alhasil, keterbentukan identitas baru sebagai subjek politik pada masyarakat Aceh
berhasil dilakukan. Apa yang terjadi di Aceh ini adalah salah satu bentuk hegemonik masyarakat
Aceh dalam menanggapi adanya pembangunan nasional yang tidak merata, khususnya pada
wilayah provinsi Aceh. Ini bisa dilihat dari beberapa tuntutan kemandirian yang diajukan dan telah
ditanda tangani pada perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu.
Jika dilihat dalam bahasan hegemoni Ernesto Laclau, bentuk gerakan politik masyarakat
Aceh merupakan akibat dari adanya dislokasi politik yang diakibatkan oleh pemerintah Indonesia
yang tidak mampu menjadi wadah atau tempat bernaungnya kedaulatan masyarakat Aceh sebagai
entitas politik negara ini. Maka dari itu, jika kita lihat upaya masyarakat Aceh ini sebenarnya juga
sejalan dengan konsep hegemoni menurut Antonio Gramsci, karena hal terpenting dalam
13

hegemoni menurut Gramsci adalah bagaimana masyarakat sipil membangun kekuatan politiknya
dalam menghadapi suatu rejim yang merugikan kelompok atau komunitasnya.
Apa yang dilakukan oleh beberapa petinggi GAM yang telah berhasil membuat suatu
wadah politik untuk masyarakat lokal Aceh adalah sebagai bentuk artikulasi dari tipe hegemoni
ekspansif. Gramsci telah menjelaskan bahwa hegemoni ekspansif adalah tipe hegemoni atau
gerakan dengan karakter anti revolusi pasif. Strategi dan counter terhadap upaya kaum borjuis
untuk menjaga kepemimpinannya dengan melakukan regrouping dan rekomposisi dari kekuatan
blok hegemomik. Hegemoni ekspansif juga merupakan strategi ofensif untuk membangun
konsensus aktif, untuk memobilisasi massa dalam sebuah revolusi yang meliputi perubahan
superstruktur politik dan ideologis, dan juga infrastruktur ekonomi. (Gramsci, 2013: 132)
Tipe hegemoni ekspansif yang ditunjukan oleh Partai Aceh ini juga bisa dilihat strategi dan
gerakan mereka yang sangat massif dalam membangu kekuatan politik ke daerah-daerah. Pada
pemilu 2009 misalnya, ketika perolehan suara mereka sebanyak 43,9 % dan berhasil menguasai
hampir lebih dari 50 % pada tiap-tiap daerah kabupaten kota yang ada di provinsi Aceh. PA (Partai
Aceh) meraih mayoritas suara di delapan kabupaten. Misalanya di Aceh Besar (75%), Pidie (95 %),
Pidie Jaya (90%), Bireuen (98 %), Aceh Utara (95%), Lhokseumawe (97%), Aceh Timur (90%),
Langsa (75%), dan Aceh Tamiang (70%). Selanjutnya Aceh Jaya (70%), Aceh Barat (75%), Nagan
Raya (80 %), Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan (75%), Simulue (70%), Singkil dan
Subulussalam (65%). Kemudian Aceh Tenggara (60%), Aceh Tengah dan Bener Meriah (48%),
dan Gayo Luwes (70%). (KIP Aceh, 2009) Dan pada Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung,
Partai Aceh kembali menjadi pemenang dengan total suara sebanyak 35,34 %.
Pertanyaan yang mucul sekarang adalah, bagaimana peran elit lokal Aceh dalam
mempengaruhi gerakan politik Partai Aceh tersebut? Ini menjadi pertanyaan yang menarik untuk
dikaji ulang tentang bagaimana bangunan subjek politik Aceh itu dibangun. Jika dibaca ulang
sejarah rekonsiliasi antara pemerintah RI dengan GAM pada tahun 2005 lalu, maka jawabannya
sudah pasti terlihat. Tentunya ada klausul tentang pembentukan partai politik lokal pasca
penandatanganan MoU di Helsinki yang setelahnya diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
GAM yang pada waktu itu melakukan proses perundingan dengan pemerintah RI langsung
mengambil langkah cepat dalam pembentukan partai politik lokal di Provinsi Aceh dengan
membentuk partai GAM yang didirikan di Banda Aceh pada hari senin, tanggal 04 Juni 2007.
14

Selanjutnya pada hari Sabtu, 23 Februari 2008 Partai GAM diubah menjadi Partai Gerakan Aceh
Mandiri (GAM). Selanjutnya pada hari Selasa, 22 April 2008 Partai Gerakan Aceh Mandiri
(GAM) diubah menjadi Partai Aceh. Disini dilihat bagaimana pengaruh elit-elit GAM dalam
membangun sebuah gerakan hegemonik masyarakat Aceh dengan menggunakan partai politik
lokal sebagai alat perjuangan politik mereka.
Lalu, apakah akibat dari terlalu besarnya pengaruh elit GAM dalam Aceh ini membuat
stigma kurang berkembangnya subjek politik masyarakat Aceh dalam Partai Aceh ? Gramsci
sebelumnya telah membagi kelompok-kelompok dalam pembentukan sebuah partai revolusioner.
Yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional. Dalam mengelola sebuah partai, Gramsci
mencoba untuk memasukan peranan intelektual dalam membentuk partai revolusioner yang akan
memimpin sebuah revolusi besar. Dalam kalimatnya, Gramsci berkata bahwa partai politik
bertanggung jawab untuk menyatukan kaum intelektual organik dari kelompok-kelompok
dominan dan kaum intelektual tradisional dari kelompok pedesaan. (Gramsci, 2008: 22)
Maka dari itu, disinilah letak titik temu antara peran elit GAM dalam membangun partai
politik di provinsi Aceh melalui Partai Aceh tersebut. Perjuangan menjadi subjek politik dalam
membangun daerah provinsi Aceh, menjadi semacam penyatuan antara elit GAM dengan
masyarakat sipil disana melalui partai politik lokal. Dan perjuangan hegemonik dengan bersatunya
antara elit dan grassroot inilah yang membentuk sebuah perjuangan politik untuk melakukan
perubahan di Provinsi Aceh.

KESIMPULAN
Dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang
menarik sebagai penutup dari hasil penelitian kali ini. Diantaranya adalah:
1. Fenomena kemunculan partai politik lokal Aceh pada tahun 2006 yang lalu merupakan
bentuk dari suatu entitas atau subjek politik baru dalam kancah konstelasi politik nasional.
Subjek politik merupakan bagian dari subjek paradoks yang merupakan dasar dari
terbentuknya teori demokrasi radikal oleh Mouffe dan Laclau. Subjek paradoks ini lahir
karena adanya pertentangan atau antagonisme antara masyarakat lokal Aceh dengan
pemerintah Indonesia sebagai jawaban atas ketimpangan pembangunan yang terjadi di
negeri ini. Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat Aceh (penerapan syari’at Islam)
merupakan suatu pembeda sekaligus dilema bagi pemerintah nasional dalam membuat
15

kebijakan. Inilah juga yang menyebabkan tebentuknya subjek politik baru pada wilayah
lokal Aceh.
2. Watak agonisme yang merupakan watak dasar pembentuk demokrasi radikal pada
masyarakat Aceh sejatinya sudah lama. Dimana pertentangan-pertentangan yang dilakukan
oleh masyarakat Aceh dalam membangun peradaban yang berdasarkan syari’at Islam pada
pemerintah lokal sudah mulai ada dari zaman penjajahan. Agonisme politik ini kemudian
terfasilitasi dengan adanya pembentukan partai politik lokal Aceh. Dimana konflik antara
kepentingan partai nasional dengan partai politik lokal dipelihara dan dirawat sehingga
menimbulkan dinamika politik disana.
3. Hegemoni yang merupakan fondasi dasar dari terbentuknya teori demokrasi radikal ini
terjadi pada masyarakat Aceh yang mentransformasikannya dalam bentuk partai politik
lokal. Dimana elemen partikular yang ada pada sebagian wilayah Aceh mampu
mengkonstruksi tuntutan mereka secara universal, sehingga terbentuklah pemerintah Aceh
yang berlandaskan atas dasar hukum syari’at Islam, bukan hukum nasional negara
Indonesia. Pada puncaknya juga, hegemoni yang dilakukan oleh partai politik lokal Aceh
ini juga berbuah kemenangan pada pemilihan Gubernur oleh Partai Aceh.
4. Praktik atau kemunculan partai politik lokal ini sejatinya patut dijadikan koreksi bagi
pemerintahan negara Indonesia. Dimana kegagalan dalam pembangunan pada wilayahwilayah Indonesia masih terbilang gagal dan tidak merata, terlebih pembangunan ekonomi
yang merupakan salah satu poin penting dari keterukurannya kesejahteraan sosial. Inilah
juga yang menyebabkan sejarah perjuangan kelas-kelas sosial didaerah-daerah yang
terkena dampak ketidakmerataan pembangunan ini menjadi berontak dan ada
kemungkinan yang terjadi di Aceh juga akan mendorong pembentukan partai politik lokal
di daerah lainnya, seperti Papua.
5. Dalam negara yang memiliki kekayaan budaya dan daerah yang sangat beragam ini,
kemungkinan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal memang sangat rentan. Ketika
kemunculan partai politik lokal merupakan awal dari bangkitnya kekuatan-kekuatan politik
daerah, maka pemerintah perlu mengambil langkah persuasif sebagai policy maker dari
keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia kedepan.

16

Dibalik segala bentuk penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, pada sub bab ini penulis
akan menjelaskan beberapa rekomendasi terkait tema pada penulisan ini. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk subjek politik yang masih tergolong baru dalam wajah demokrasi di
Indonesia, gerakan politik partai lokal Aceh harus lebih memperkuat basis pendukungnya.
Karena pada Pemilu 2014 ini perolehan suara mereka cenderung menurun. Maka, pola
marketing politik yang sehat dan kreatif dibutuhkan untuk lebih menancapkan keyakinan
masyarakat Aceh pada partai politik lokal Aceh. Artinya, proses pendidikan politik
ideologis harus lebih massif diberikan kepada masyarakat di Provinsi Aceh. Proses
hegemoni yang dilakukan oleh elit partai lokal harus lebih massif dengan menggunakan
cara-cara yang lebih humanis.
2. Fenomena kemunculan partai politik lokal ini memang menjadi bahan koreksi bagi
pemerintah pusat untuk segera memperbaiki proses pemerataan pembangunan di daerahdaerah yang masih tertinggal di Indonesia. Maka dari itu, pemerintah pusat seharusnya
membuat kebijakan pembangunan yang tidak bersifat sentralistis.
3. Gerakan-gerakan politik kedaerahaan di Indonesia harusnya bisa ditindaklanjuti dengan
memberikan ruang-ruang dialogis bagi masyarakat daerah untuk memberikan aspirasinya
lewat wakil-wakil mereka di pemerintahan pusat. Artinya peran lembaga-lembaga
pemerintahan harus segera dimaksimalkan agar tidak menjadi semacam demokrasi
prosedural semata, tapi demokrasi yang sebenar-benarnya kerakyatan dan sesuai substansi
dari arti demokrasi sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal

Adian, Donny Gahral. 2010. Demokrasi Sustansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme . Depok:
Penerbit Koekoesan.
___________________. 2011. Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal. Depok: Koekoesan.
___________________. 2006. Demokrasi Kami. Depok: Koekoesan.

17

Bhakti, Ikrar Nusa.2008. Beranda Perdamaian, Aceh Tiga Tahun Pasca MOU Helsinki.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Carr, David. 1999. The Paradox of Subjektivity: The Self in the Transendental Tradition. Oxford:
Oxford University Press.
Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Kompas
Gramedia.
Driyartana, Yustian Edwin. 2010. Skripsi: Kedudukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh
Darussalam Ditinjau dari Asas Demokrasi . Surakarta: FH UNS.
Fukuyama, Francis. 2004. The End Of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal. Terj: M.H. Amrullah. Yogyakarta: Qalam.
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks: Catatan-Catatan Dari Penjara . Terj: Teguh Wahyu
Utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamid, Ahmad Farhan. 2006. Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh.
Jakarta: Suara Bebas.
Hanif, Hasrul. 2007. Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan Rantai Ekuivalensi: Menegaskan
Kembali Urgensi Model Demokrasi Agonistik dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
ISSN 1410-4946, Vol. 11.1. Yogyakarta: UGM Press. hal (119-136).
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Howarth, David. 2000. Discourse. London: Open University Press.
Jafar, Muhammad. 2009. Tesis: Perkembangan dan Prospek Partai Politik Lokal di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Semarang: UNDIP.
Khuduri, Nur Saadah. 2012. Skripsi: Subjek Paradoks Dalam Dmeokrasi Pluralisme Chantal
Mouffe. Depok: FIB UI.
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical
Democratic Politics. London: Verso.
Mouffe, Chantal. 2005. On the Political. London: Routledge.
_____________. 2000. The Democratic Paradox. London: Verso.

18

_____________. 2006. “Democracy, Power, and the Political” dalam Seyla Benhabib (ed.),
Democracy and Difference . New Jersey: Princenton University Press.
Mulhall, Stephen. 2005. Heidegger and Being and Time . New York: Routledge.
Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nancy, Jean-Luc. 2008. The Inoperative Community. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Polling Center. 2013. Laporan Naratif Aceh: Survey Dasar Terhadap Pemahaman, Persepsi dan
Praktik Pemilih Terkait dengan Aspek Pemilu Di Enam Target Provinsi. PDF
Rawls, John. 1997. “Public Reason” dalam James Bohman dan William Rehg (eds.), Deliberative
Democracy: Essays on Reason and Politics. Boston: MIT Press.
Schmitt, Carl. 1996. Concept of The Political. Chicago: Chicago University Press.
Schumpeter, Joseph. 2013. Capitalism, Socialism, and Democracy. Terj: Teguh Wahyu Utomo.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt .
Jakarta: Marjin Kiri.
Sunaryo. 2013. Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis
dalam Demokrasi Agonistik dalam Jurnal Ultima Humaniora. ISSN 2302-5719, Vol. 1.1.
Jakarta: Paramadina Press, hal 84-95.
Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance . Jakarta: Sinar Grafika.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Sulistiany, R. 1999. Potret Jalanan. Jakarta: P.T. Balai Pustaka.
Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Undang-Undang

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

19

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal
Qanun Aceh No 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota

Internet

Anonimous. 2014. http://www.bappenas.go.in. Diakses tanggal 12 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.
Anonimous. 2014. http://atjehpost.co/articles/read/3329/Partai-Aceh-Raih-29-Kursi-DPRA.
Diakses tanggal 7 Agustus 2014 pukul 15.00 WIB
Anonimous. 2014. http://kip-acehprov.go.id/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.
Anonimous. 2014. http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=11&wilayah=Aceh . Diakses tanggal
5 Agustus 2014 pukul 13.00 WIB
Muardi Ismail. Partai politik lokal di Indonesia. http://www.aigrp.anu.edu.au/ Diakes pada tanggal
03 April 2010 pukul 15.30 WIB.
GAM tuntut partai politik lokal. http://www.freelist.org/post/ppi/ppiindia-GAM-Tetap-TuntutPartai-Politik-Lokal. Diakses pada tanggal 5 Juli 2014 pukul 20.00 WIB.
Demokrasi lokal Aceh. http://wapedia.mobi/id/Naggroe_Aceh_Darussalam. Diakses pada tanggal
7 Juli 2014 pukul 20.30 WIB
Daftar

partai
politik
peserta
pemilihan
umum
tahun
2009
http://id.wikipedia.org/wiki/daftar_partai_politik_indonesia Diakses pada tanggal 15
Agustus 2014 pukul 14.00 WIB

20