Partai Politik Lokal Aceh (Studi Etnografi Antropologi Politik Tentang Kekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)

(1)

132 DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009

Amal, Iclashul. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1996.

Balandier, Georges(1996); Antropologi Politik. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.

Budiardjo, Miriam(2002); Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.

Claessen,H.J.M(1988);Antropologi Politik suatu Orientasi. Jakarta: Erlangga. Herry. B-Priyono. 2003. ANTHONY GIDDENS SUATU PENGANTAR,

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

H. Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005, hal 126- 127.

Irawan,prasetya(1999);Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Repro International

Irianto, Sulistyowati (1997); “Konsep Kebudayaan Koentjaraningrat dan Keberadaannya dalam Paradigma Ilmu-Ilmu Sosial” dalam Masinambow (eds) Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(2)

133

Koentjaraningrat (1990); Pengantar Ilmu Antropologi Cetakan ke delapan.Jakarta : Rineka Cipta

(1998); Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia, Margono, S. (2007); Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK.

Jakarta:PT.Rineka Cipta.

Mulyana, Edy. Aceh Menembus Batas. Banda Aceh : Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh Timur. Deskripsi Daerah Kabupaten Aceh

Timur-Selayang Pandang. Langsa, 1978.

Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Belajar, 2005.

Riduwan (2004;) Metode Riset. Jakarta:PT.Rineka Cipta

Saifuddin,Achmad.F (2005);Antropologi Kontemporer Cetakan I. Jakarta: Kencana.

Sarwono, Jonathan. (2006;)Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers, 2012. Soelaeman,M. Munandar.(1987); Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Refika

Aditama.

Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta LPFEUI, 1964.


(3)

134

Soyomukti,Nuraini (2008); MetodePendidikan Marxis Sosialis. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media.

Spradley, James. (1979); The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Sufi, Rusdi. Sejarah Kabupaten Aceh Timur dari Masa Kolonial hingga

Kemerdekaan. Banda Aceh : Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. 2008.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Suyanto, Bagong dan Sutinah (2005);Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana.

Sumber Skripsi

Saragih, Okta Vina. 2014. Skripsi : Resistensi Masyarakat Terhadap

Organisasi Kepemudaan (Studi Kasus Tentang Keberadaan Organisasi Pemuda Pancasila di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok). Fisip USU: Okta Vina Saragih Departemen

Sosiologi Fisip USU.NIM 080901035. Abstrak.

Sumber-sumber dari internet:

• Aceh dalam Sejarah, 28 Oktober 2009. Sejarah Kerajaan Tamiang. http://www.acehdalamsejarah.blogspot.com/2009/10/sejarah-kerajaan-tamiang.html diakses pada 21 Juni 2015


(4)

135

• Partai Aceh, 29 Februari 2012. Sejarah Partai Aceh.

diakses

22 Juni 2015

• The Aceh Traffic Media, 16 April 2012. Pasangan “Luruskan MoU??” Menangkan 6Pasangan Bupati/Walikota.

http://www.acehtraffic.com/2012/04/pasangan-lusruskan-mou-menangkan- 6.html diakses 28 Juni 2015

Data Lain-lain :

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang Badan Pusat Statistik Aceh Tamiang


(5)

58

BAB III

PARTAI ACEH

Dalam ilmu Antropologi Ruang lingkup atau batasan yang menjadi "ruang sentuhan" antara disiplin antropologi dan ilmu politik. Pengertian dasar mengenai kedua disiplin ini akan memudahkan perumusan mengenai ruang lingkup antropologi politik. Pendekatan-pendekatan antropologi politik melalui pemahaman atas kedua aspek ini, suatu kajian dapat secara subyektif menyatakan diri memakai pendekatan antropologi politik atau secara obyektif ke dalam subdisiplin ini.

Secara tersirat dari istilah yang dipergunakan yaitu antropologi politik, subdisiplin ini menempati wilayah kajian yang menjembatani disiplin antropologi dengan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut diisi dengan titik-titik persentuhan dalam teori, konsep maupun metodologi dan pendekatan yang dipergunakan. Dalam hal teori dan konsep, hubungan tersebut dapat berupa "hubungan antara struktur dan masyarakat dengan struktur dan tebaran kekuasaan dalam masyarakat" tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa jika antropologi merupakan kajian atas struktur masyarakat dan pranata sosial, dan ilmu politik secara umum memfokuskan kajiannya dalam aspek kekuasaan, maka kajian antropologi politik berusaha menghubungkan kedua ilmu tersebut menjadi satu wilayah kajian.

Antropologi telah pula berpengaruh dalam bidang metodologi penelitian ilmu politik, salah satu pengaruh yang amat berguna dan terkenal serta kini sering dipakai dalam ilmu politik ialah metode peserta pengamat. Penelitian semacam ini memaksa


(6)

59

sarjana ilmu politik untuk meniliti gejala-gejala kehidupan sosial “dari dan dalam” masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya.

Pembahasan dalam antropologi politik bisa berisi beraneka macam persoalan yang berkaitan dengan deskripsi dan analisa tentang sistem (struktur, proses, dan perwakilan) yang terdapat dalam masyarakat yang dianggap "primitif". Lebih jauh lagi, dapat didefninisikan bahwa antropologi politik merupakan pendekatan antropologi dalam mempelajari proses-proses dan struktur-struktur politik yang dilakukan melalui metode kajian kasus yang intensif maupun melalui kajian perbandingan lintas budaya.8

3.1 PARTAI ACEH

Kajian inilah yang membuka ruang berpikir saya membahas tentang Kekalahan Partai Aceh Perspektif Masyarakat dan Birokrasi Partai Aceh.

Gambar 4


(7)

60

Sejarah pendirian partai ini sangat panjang, jauh sebelum MOU Helsinki dan tsunami beberapa aktivis di Aceh telah ada diskursus awal sebagai strategi perjuangan untuk membebaskan Aceh dari kondisi yang ambiguitas.Keterlibatan rakyat secara langsung dalam politik sangat penting dalam rangka memutuskan mata dan eksploitasi pada pemilu.Partai politik lokal saat ini bukan lagi sekedar wacana umum dalam perpolitikan kita, sebenarnya sudah muncul beberapa tahun silam.

Munculnya partai politik lokal ini merupakan hasil kesepakatan perdamain di Aceh yang merupakan rangkaian penyelesaian konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia. Adanya partai politik lokal merupakan upaya unutuk mengembangkan insentif bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan masyrakat Aceh berpartisipasi dalam proses politik di Aceh. Eksistensi partai poltitik lokal di harapkan menjadi jalan bagi perubahan Aceh dan tranformasi bagi tujuan politik GAM serta terbukanya ruang demokrasi dalam proses politik sehinnga tetap dalam lingkaran Negara kesatuan Republik Indonesia.9

Munculnya partai politik lokal merupakan bagian dari aspirasi daerah untuk mengiring partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik. Ini merupakan langkah strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, yang nantinya dapat membangun hubungan politik yang berkesinambungan antara pusat dan daerah dalam menyalurkan aspirasi dan percepatan pembangunan, pasalnya partai politik yang bersifat nasional tidak mungkin dapat menampung mengaregesikan kepentingan rakyat di daerah yang begitu multikultural. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri partai politik lokal dapat menimbulkan dampak atau pengaruh yang besar


(8)

61

terhadap perkembangan perpolitikan di tanah air ini.

Kenyataannya perubahan terjadi di Aceh, MoU Helsinki memberikan jalan baru menuju terbukanya gerbang demokratisasi politik implementasi MoU yang melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, telah merubah kondisi Aceh. Transisi politik akan terjadi dalam sistem politik pemerintahan yaitu kompetisi antara partai politik nasional dan lokal serta elit politik dalam mengkonstruksi masa depan Aceh selanjutnya yang lebih damai, aman dan makmur.

3.1.1 Sejarah Terbentuknya Partai Aceh10

Sejarah Partai Aceh tidaklah lepas dari perjuangan rakyat Aceh yang terlebih dahulu dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam catatan sejarah, Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang tidak pernah lepas dari konflik. Pasca kemerdekaan Indonesia, konflik antara Aceh dan Pemerintah Pusat pertama kali terjadi pada saat gerakan Darul Islam (DI/TII) Pimpinan Tengku Daud Beureueh diproklamirkan pada 1953.11

10

Wawancara dengan beberapa tokoh Partai Aceh di kantor DPW PA,Kuala Simpang

Pemberontakan ini dipicu oleh peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara yang menyebabkan timbulnya kekecewaaan masyarakat Aceh terhadap kebijakan tersebut. Sementara itu jika di kaji sejarah Aceh, merupakan daerah yang tidak tersentuh Belanda karena rakyat Aceh masih berjuang melakukan perlawanan sampai Soekarno meminta bantuan Pesawat kepada rakyat

11


(9)

62

Aceh dan dijanjikan menjadi Negara sendiri pada saat itu. Kenyataannya berbanding terbalik dengan janji Soekarno.12

Kondisi tersebut mendorong tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pusat sehingga timbulah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik ini kemudian dapat diredakan dengan diberikannya status istimewa bagi Aceh dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan pada 1959.13

Setelah beberapa saat mengalami masa damai, konflik antara Aceh dan Pemerintah Pusat kembali terjadi pada saat Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Pemicu Konflik ini adalah kemarahan atas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa dan ekploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh. Legitimasi kekuasaan Orde Baru banyak disandarkan pada kemampuan Pemerintah dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi pada angka yang tinggi. Dalam prakteknya, usaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi ini mengorbankan aspek keadilan dan kurang memerhatikan aspek keberlanjutan. Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besar-besaran serta kurang memerhatikan kepentingan masyarkat lokal kemudian menjadi tak terhindarkan.14

12

Wawancara langsung dengan Petuah Aceh Bapak Tengku Amir Hamzah 13

Moch. Nurhasim dkk, Konflik Aceh: Analisis Atas Sebab-Sebab Konflik, Aktor Konflik,Kepentingan dan Upaya Penyelesaian (Jakarta: Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI, 2003), hlm . 22.

14

Moch. Nurhasim dkk., Aceh Baru : Tantangan Perdamaian Dan Reintegrasi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. viii.


(10)

63

Di awal Pemerintahan tahun 1966, Soeharto memperoleh dukungan kalangan elit dan membentuk partai Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan yang sentralistik ini dikuasai sepenuhnya oleh militer. Kepemimpinan Soeharto menimbulkan kekecewaan terutama di kalangan elit Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14% dari GDP nasional.15

Tahun 1980-an, Hasan Tiro dan pengikutnya hengkang ke Swedia dengan kondisi Aceh tetap tidak aman. Rezim Soeharto bertindak semakin tegas dengan mendeklarasikan Aceh Menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada 1989. Hal ini terjadi setelah mengetahui bahwa pasukan GAM yang mengikuti latihan militer di Libya telah berada di hutan-hutan aceh melanjutkan perang gerilya.Aceh Sumatra National Liberation Front (ASLNF), Front Nasional Pembebasan Aceh Sumatra, melakukan serangkaian penyerangan terhadap pos polisi dan militer di Pidie untuk merampas amunisi dan lusinan senjata otomatis. Pelaksanaan DOM yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1960.

Sebagian besar hasil kekayaan Aceh diambil oleh pembentuk kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 milliar dolar Amerika tidak memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagian besar dari pendapatan di Aceh diserap oleh petinggi Pemerintahan di Jakarta.

GAM kembali menjadi perhatian publik dan Pemerintah Pusat setelah mereka menegaskan kembali keberadaan mereka di tengah krisis mutidimensi yang dialami

15

Harry Kawilarang, Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008) hlm. 156


(11)

64

Indonesia sejak pertengahaan 1997 dengan melakukan perlawanan bersenjata yang semakin meningkat. Kebangkitan gerakan ini tentu saja merisaukan pemerintah lokal maupun pusat, apalagi ketika gerakan ini semakin membesar dan sulit untuk di padamkan. Pada periode ini GAM mengalami pertumbuhan yang semakian pesat baik dari segi organisasi, jumlah anggota maupun kekutan senjata. Bahkan, selain melakukan modernisasi organisasi dan kepemimpinan, GAM pun berhasil melakukan gangguan keamanan yang lebih luas secara terus-menerus.

Berbagai pendekatan yang diambil oleh Pemerintahan transisisi sejak masa B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, hingga Megawati Soekarno Putri pada akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah separatisme di Aceh pun menjadi berlarut-larut. Namun, satu hal yang penting perlu untuk dicatat dari upaya penyelesaian konflik pada masa transisi ini adalah disertakannya aspek diplomasi, meskipun tataran operasional masih kental dengan penggunaan kekuatan bersenjata.

Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid upaya dialog damai dengan nama Jeda Kemanusiaan I dan Jeda Kemanusian II telah dilakukan. Upaya ini sempat dilanjutkan oleh Pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebelum akhirnya berakhir dengan di keluarkannya kebijakan Operasi Terpadu. Namun kebijakan yang memadukan operasi keamanan, oprasi kemanusiaan, dan penegakan hukum ini pun tidak berhasil memadamkan pemberontakan GAM, sehingga kemudian oleh Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2003 pada Tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati mengumumkan diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh.


(12)

65

Penyelesaian masalah Aceh dengan menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran ke Aceh juga tidak dapat meredam konflik secara keseluruhan. Pendekatan kekuatan militer yang di tempuh oleh Presiden Megawati tersebut sempat membuat kekecewaan yang mendalan pada masyarakat Aceh. Namun kebijakan ini juga memiliki nilai positif bagi masyarkat di mana mulai pulihnya keadaan perekonomian, pemerintahan, dan hukum. Namun secara keseluruhan penyelesaian permasalahan Aceh belum selesai secara tuntas karena GAM masih melakukan pemberontakannya walaupun sekalanya lebih mengecil.

Pendekatan diplomasi dalam penyelesaian konflik Aceh kembali digunakan oleh Pemerontah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih melalui pemilihan secara langsung pada 2004, dengan melakukan pembicaraan informal dengan pihak GAM. Pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir Januari hingga Mei 2005 ini dilakukan dengan bantuan dan fasilitas dari Crisis Management Intiative (CMI), sebuah lembaga internasional yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Rangkaian pembicaraan yang berlangsung empat tahap antara delegasi GAM dan Pemerintah RI akhirnya menghasilkan sebuah Nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani pada tanggal 15 agustus 2005, di Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi sungai Vantaa, di luar kota Helsinki, Finlandia. Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM ini, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan MoU Helsinki, membuat kesepakatan dalam berbagai hal, antara lain penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, pembentukan peraturan perundangan-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM, pemberian


(13)

66

amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring Aceh dan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di lapangan.

3.1.2 Perundingan Damai GAM dengan Indonesia16

Dalam catatan sejarah Indonesia, konflik begitu panjang terjadi di Bumi Serambi Mekah inilah yang mengawali terbentuknya partai politik lokal di Aceh. Rentetan panjang konflik ini terjadi dari masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Mega Wati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Untaian konflik yang begitu panjang dan memakan banyak korban ini mengawali terbentuknya partai politik lokal di Provinsi paling ujung Sumatra ini.Akan tetapi, yang patut menjadi catatan kita partai politik lokal yang terbentuk ini bukan merupakan tuntutan dari konflik yang begitu panjang yang terjadi selama ini. Namun ini adalah sebuah kesepakatan akhir dari perundingan damai antar Pemerintah RI dan GAM dimana wacana partai politik lokal mulai bergulir dalam kesepakatan yang di tandatangani oleh kedua belah pihak di Helsinki.

Dengan kata lain partai politik lokal mulai muncul kepermukaan ketika pihak GAM memberikan opsi kepada Pemerintah RI untuk memberikan kebebasan bagi masyarakat Aceh untuk dapat membentuk partai politik sendiri. Jadi partai politik lokal ini merupakan produk yang dihasilkan pada saat pejanjian damai antara pihak GAM dan Pemerintah RI. Ini merupakan tuntutan atau syarat yang diajukan kepada Pemerintah RI untuk menuju kepada perdamaian di Aceh Terlepas pro-kontra yang

16


(14)

67

menyertai, proses dan MoU yang dihasilkan dari rangkaian pembicaraan di Helsinki ini merupakan sebuah terobosan dalam menyelesaikan masalah konflik di Aceh.

Terobosan yang dimaksud adalah dengan memunculkan pendekatan yang lebih menekankan pada cara-cara dialog dan pemberian pengampunan dalam mewujudkan perdamaian menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua pihak. Dalam poin ketiga MoU Helsinki diatur mengenai pemberian amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM dan tahanan politik kedalam masyarakat.

Untuk mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan proses tranformasi ini, pada tanggal 11 Maret 2006 dibentuklah Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang kemudian berubah nama menjadi Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). BRA mengemban misi antara lain: mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah, baik domestik maupun asing untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi; melaksanakan program dan kegiatan yang berkaitan dengan reintegrasi Aceh menuju perdamaian yang berkelanjutan di Aceh; mengakomodasi dan memantau pelaksanaan pemberdayaan di kabupten/kota agar realisasi program sejalan dengan upaya pemenuhan kesepakatan MoU.

Akan tetapi, berkaca dari transformasi konflik kekerasan ke jalan damai di berbagai negara lain, keberhasilan proses reintegrasi dan tranformasi politik sebenarnya tidak hanya di tentukan oleh sebuah lembaga koordinasi semacam BRA. Salah satu faktor penting lain yang turut menentukan keberhasilan proses tersebut adalah adanya keterlibatan dan dukungan dari pemangku kepentingan (stakholders) di semua level, tak terkecuali di tingkat lokal terhadap prose tersebut. Oleh karena itu, selain merumuskan struktur dan mekanisme kerja lembaga yang mengkoordinasi


(15)

68

proses reintegrasi, upaya untuk mendorong peran aktif pemangku kepentingan lokal dalam mentransformasikan mantan anggota GAM politik menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Keterlibatan pemegang kepentingan lokal ini, khususnya pemerintah daerah dan pihak GAM mutlak di perlukan. Inpres Nomor 15 Tahun 2005 secara eksplisit memberikan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah Provinsi dalam mengimplementasikan isi MoU, antara lain untuk merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM ke dalam masyarakat mulai dari penerimaan, pembekalan, pengembalian ke kampung halaman dan penyiapan pekerjaan.

Di sisi lain MoU Helsinki pada dasarnya adalah kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM, sehingga implementasi pun juga ikut ditentukan oleh peran GAM pasca MoU. Peran GAM dalam proses tranformasi ini menjadi penting untuk diperhatikan, terutama dengan masuknya kalangan GAM kedalam pemerintahan lokal pasca Pilkada langsung pada Desember 2006. Kemenangan tersebut telah membuka jalan bagi kalangan GAM yang sebelumnya bukan hanya berada di luar melainkan berhadapan dengan pemerintah, untuk terlibat langsung dalam proses kebijakan publik di Aceh. Seperti telah diketahui, dalam pilkada langsung yang lalu calon kepala daerah dari kalangan GAM berhasil meraih kemenangan di beberapa daerah. Selain jabatan Gubernur Aceh yang diraih oleh pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar, GAM juga berhasil menempatkan mantan anggotanya sebagai orang nomor satu di beberapa daerah, yaitu Kota Sabang, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe.


(16)

69

3.1.3 Arah Menuju Tranformasi Politik Di Aceh Pasca MoU Helsinki Dari banyaknya mantan anggota GAM yang menduduki jabatan-jabatan politik di Aceh ini menandakan proses transformasi politik telah berjalan dengan cukup baik walaupun masih ada rintangan-rintangan kecil. Partai politik lokal memang belum terbentuk namun mantan anggota GAm bisa ikut berpartisipasi dalam Pilkada dan ini semua sudah di atur dalam MoU Helsinki dan mantan anggota GAM sudah mendapatkan hak politiknya sebagai mana warga Indonesia lainya walaupun saluran resmi yang di atur Oleh Undang-Undang Negara republik Indonesia melalui partai politik belum bisa di laksanakan di Aceh. Ini semua masih terikat dengan perjanjian dalam MoU Helsinki yang memperbolehkan mantan anggota GAM untuk maju dalam Pilkada.Hal ini yang bisa menjadi payung hukum bagi mantan anggota GAM untuk ikut terlibat dalam kehidupan politik di Aceh.

Namun hal ini hanya berlaku sementara sampai partai politik lokal terbentuk dan setelah itu mereka dapat maju menjadi kepala daerah hanya melalui mekanisme partai politik seperti daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Kebijakan ini hanya berlaku untuk sementara menunggu partai politik lokal terbentuk sehingga mantan anggota GAM meminta mekanisme yang cepat untuk dapat maju menjadi calon kepala daerah. Akhirnya keluarlah kebijakan dari pemerintah yang memperbolehkan mantan Anggota GAM maju tanpa melalui partai politik.

Sebelum partai politik lokal (Partai Aceh) terbentuk para mantan anggota GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) yang di bentuk dengan tujuan untuk menjaga kendali dan sebagai sumber atau data informasi tentang mantan kombatan GAM. Pengurusnya terdiri dari atas Panglima GAM dari tingkat kecamatan sampai


(17)

70

Provinsi. Menurut beberapa narasumber dari unsur GAM, KPA merupakan wadah bagi mantan kombatan GAM agar mereka memiliki keterikatan yang kuat didalamnya. Melalui wadah ini, dimaksudkan agar mantan GAM atau kombatan tetap dalam kendali. Dalam konteks reintegrasi, data yang diberikan KPA sangat menbantu dalam menginformasikan orang-orang mantan GAM yang perlu mendapat santunan dan lain-lain.

Dengan melihat posisi KPA dalam struktur organisasi sosial di Aceh, adalah jelas bahwa KPA ini lebih mengutamakan kepentingan para mantan GAM atau kombatan. Demikian juga dalam kaitanya dengan proses tranformasi, KPA menempatkan diri sebagai wadah penampungan mantan Anggota GAM sebelum bertranformasi menjadi Paratai Aceh. Jadi KPA dengan kata lain merupakan wadah perkumpulan para mantan anggota GAM dan kombatan sebelum bertranformasi kedalam Partai Aceh.

Setelah berlangsungnya proses tranformasi para mantan anggota GAM baru lah pemerintah mengesahkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahaan Aceh. Dalam Undang-undang tersebut diatur dengan jelas tentang diperbolehkannya masyarakat di Aceh untuk membentuk partai politik lokal di Aceh. Sebagaimana Undang-Undang tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, baik pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 maupun pasal 1 Butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 memberikan batasan pengertian yang sama mengenai istilah partai politik lokal. Menurut kedua peraturan itu, bahwa:

“Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia yang


(18)

71 berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota(DPRK), gubernur dan wakil gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota”.17

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, akhirnya kesepakatan antara Republik Indonesia dengan GAM mencapai kesepakatan perdamaian. Dan pembentukan partai lokal di aceh telah di tetapkan dalam poin-poin MoU Helsinki yang berbunyi :

Poin 1.2. Partisipasi Politik

1.2.1. Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

1.2.2. Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya. 1.2.3. Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan

di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006

17

Lihat dalam www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d...f=pp20-2007 dan


(19)

72 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.

1.2.4. Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apa pun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.2.5. Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006. 1.2.6. Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal

dan nasional akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.

1.2.7. Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.

1.2.8. Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

Hal ini yang melahirkan terbentuknya Partai Aceh, sebagai partai yang mengusung dari poin-poin MoU Helsinki. Pada tanggal 4 Juni 2007 partai Aceh di deklarasikan di Banda Aceh, Partai Aceh dulunya di kenal dengan Partai GAM, karena melanggar kesepakatan Helsinki, yang mengatur bahwa anggota GAM tidak akan memakai seragam atau menunjukkan simbol-simbol militer setelah penandatanganan MoU, pada tanggal 29 April 2007 kumudian partai ini resmi berganti nama menjadi Partai Aceh (PA).

3.1.4 Partai Aceh dan Pendirinya18

Partai Aceh adalah salah satu partai lokal yang ada di Aceh. Pendiri partai Aceh merupakan eks Militan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kaum intelektual,

18


(20)

73

kaum muda yang progresif, kaum perempuan, para korban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM), petani, nelayan, kaum miskin kota serta berbagai kelompok masyarakat Aceh lainnya

Pada tanggal 4 juni 2007 partai ini berdiri di Banda Aceh dengan pendirinya; Jahja Teungku Mua’ad, Adnan Bereunsyah, Tarmidi, Hasanuddin, Muhammad yasir.sebagai pendiri dan mewakili pendiri partai Aceh. Ketua umum Partai Aceh Muzakir Manaf, dan Muhammad Yahya sebagai Sekjen, yang di pilih pada kongres perdana Partai Aceh yang juga mantan militant Gerakan Aceh Merdeka.

3.1.5 Dasar pemikiran Pembentukan Partai Aceh

MoU Helsinki merupakan cikal bakal terbentuknya Partai Lokal di Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Lokal di Aceh menjadi landasan hukum yang kuat bagi pembentukan Partai Lokal yang berbasis di Aceh. Ini merupkan momentum baru bagi perubahan dalam proses demokratisasi politik dan sebagai langkah dalam membangun Aceh baru. Konflik dan bencana tsunami adalah dua variabel yang membuat Aceh terpuruk dari segala aspek kehidupan. Rezim Orde Lama dan Orde Baru telah membunuh karakter religiusitas bangsa Aceh menjadi masyarakat yang sekuler. Politik javaness menjadi hegemoni bagi identitas politik dan budaya menuju bendera Republik Indonesia.Tetapi baik, Orde Lama, maupun Orde Baru tetap tidak bisa mengalahkan identitas politik Aceh yang telah terbangun ribuan tahun lalu.Hal inilah yang membuat rakyat Aceh anti Jawa, tetapi belakangan ini muncul diskursus bahwa Indonesia lah sebenarnya yang anti- terhadap Aceh.


(21)

74

Sentralisme dalam segala aspek kehidupan ketika Rezim Orde Baru yang otoriter berkuasa adalah kata kunci dalam masalah Aceh. Segala sesuatunya ditentukan oleh pusat. Intervensi pusat terhadap daerah begitu kuat. Lihat saja bagaimana sumber daya alam Acehmenjadi bahagian eksploitasi dan kerakusan sistem sentralisasi. Bukan saja itu, ketika Rezim Orde Baru berkuasa dengan gaya sentralisasi yang ditopang oleh kekuatan militer semua daerah tidak berdaya dibuatnya. Demokrasi mati suri dan otoriterisme berkuasa. Kondisi ini membuat krisis multidimensional dalam tatanan kehidupan sosial yang menyebakan terjadinya korups, kolusi dan nepotisme, diberbagai aspek dan birokrasi. Fenomena membuat Indonesia terjebak dalam krisis moneter dan bergulirnya reformasi di tahun 1998.

Jauh sebelum terjadi reformasi, kondisi kehidupan rakyat Aceh yang hidup dibawah kekuasaan Rezim Orde Baru sangat memperhatinkan. Konflik terjadi bukan saja karna kesalahan kebijakan masa lalu yang sampai menimbulkan konflik bersenjata, tetapi lebih dari pada itu, bahwa rasa nasionalisme ke-Acehan yang telah mengakar sebagai sebuah identitas politik tidak bisa dipisahkan dari diskursus yang ada di masyarakat Aceh. Apalagi kekuatan Rezim Orde Baru yang mencoba merubah tatanan masyarakat Aceh yang Islami menjadi mederen dengan pengaruh politik sentralisasi. Sehingga ini menyebabkan tumbuhnya bentuk perlawanan dalam gerakan-gerakan sosial, baik GAM dengan tuntutan merdekanya yang ingin lepas dari hegemoni pusatGaya kepemimpinan Indonesia yang militer ditunjukan dengan menyiapkan gerakan militer dalam upaya menghambat gerakan-gerakan sosial tersebut Daerah Operasi Militer, Darurat Militer, Darurat Sipil, Operasi Keamanan dan Pemulihan dan sebagainya, merupakan paradigma lama pemerintah dalam


(22)

75

menyelesaikan konflik di Aceh. Semua gerakan sosial atau gerakan perlawanan terhadap Indonesia staknan dan mati suri, tetapi bukan berarti perjuangan ini selesai. Mereka menyiapkan strategi baru untuk menjawab kebuntuhan politik di Aceh. Bagi mereka persoalan Aceh adalah persoalan politik dan harus diselesaikan dengan politik, untuk itu menurut Rusman (Sekertaris Jendral DPW PA), untuk menyelesaikan dan merubah Aceh kitaharus masuk dalam sistem. Seperti pendapat Rusman yang menyatakan bahwa dasar pemikiran pembentukan PA adalah :

“ada dua hal yang menjadi ide dasar pembentukan partai lokal di Aceh. Pertama, kondisi Aceh baik dalam tatanan sosial, ekonomi, politik dan militer yang menurut saya masalah ini belum selesai, dan kami harus melanjutkan perjuangan yang belum selesai ini. Karna saya dan banyak kader PA percaya bahwa perjuangan Aceh belum selesai. Rakyat Aceh belum “merdeka”secara hakiki. Merdeka dalam makna membebaskan Aceh dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk penindasan. Kedua, ini merupakan suatu bentuk perlawanan yang berbeda dari gerakan pembebasan rakyat Aceh dulu. Kalau dulu kita di luar sisitem, sekarang kita harus masuk kedalam sistem untuk melakukan perubahan, harus memiliki imajinasi perjungan.

Jadi ya,melanjutkan perjuangan yang belum selesai”

Jadi sebenarnya ide pembentukan partai ini merupakan telah lama muncul sejak dibawah koftasi Jakarta. Hal ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Negara di Masa Orde Baru dan Reformasi 1998 dengan tujuan menumbuhkan kesadaran berpolitik bagi rakyat Aceh, dimana Aceh adalah sebuah entitas kebangsaan dan identitas politik yang telah terintegrasi dalam sejarahnya.

Partai politik bagi mereka bukanlah tujuan, tetapi lebih merupakan sebuah alat untuk perubahan Aceh yang sedang dalam sakit baik secara ekonomi, sosial, dan politik.ketika Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, mereka menempatkan orang-orang terbaik Aceh diluar sistem bahkan di penjara sekalipun. MoU saat ini telah memberi


(23)

76

jalan kepada mereka untuk masuk dalam sistem melalui partai politik lokal. Artinya parlemen merupakan bagian dari cita-cita generasi muda bagi proses perubahan Aceh dalam kontek politik disamping membangun gerakan sosial dan gerakan politik untuk meningkatkan peran civil society sebagai control terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

3.1.6 Struktur dan Bentuk Partai Aceh

Partai Aceh adalah partai politik lokal yang berbentuk piramida dimana struktur paling tinggi atas diduduki oleh ketua umum.Ketua umum sebagai pemangku jabatan tertinggi bersifat tunggal artinya dia terpilih dalam bentuk formatur tunggal. Dan media dalam penentiunya adalah kongres ditingkat provinsi, konferensi di daerah atau Kabupaten/ Kota. Pola stuktur partai ini jelas garis instuksinya bersifat top-down, artinya wewenang yang paling besar berada pada ketua dan pelaksana tugas sehari-hari atau jalannya partai adalah sekertaris jendral dibantu oleh ketua-ketua bidang sampai kebawah. Penentuan struktur Partai Aceh (PA) ditentukan kedalam enam bidang dan tiga divisi. Pola stuktur partai ini dapat dilihat pada lampiran AD/ART Partai Aceh.

Partai lokal ini memiliki sifat terbuka dan lebih mementingkan keketatan organisasi tingkat akar rumput. Bentuk partai yang dikembangkan dapat diklasifikasikan kedalam partai kader dan simpatisan. Dimana mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dan adanya pendidikan-pendidikan politik bagi kader-kader/anggota dengan tujuan meningkatkan kesadaran politik berjuang bersama


(24)

77

untuk mewujudkan kesetaraan ekonomi, politik dan sosial budaya bagi seluruh rakyat Aceh.

Gambar 5

Bagan Struktur Partai Aceh

Dewan Pimpinan Wilayah meliputi seluruh kabupaten/kota yang berada di Provinsi Aceh.Partai Aceh langsung terbentuk setelah berdiri di Aceh dan merembes sampai pada tataran Kabupaten/kota yang berada di Aceh.

Dewan Pimpinan

Pusat

Pengurus Partai Ketua Umum

Komisaris

Politik

Manager

Politik

Dewan Pimpinan Wilayah / DPW

Kongres Partai


(25)

78

3.1.7 Visi dan Misi Partai Aceh

Sebagai partai politik tentunya memiliki visi dan misi untuk mewujudkan suatu cita-cita yang ingin dicapai berdasarkan konsep perjungan partai. Visi dan misi ini sangat menentukan arah sebuah partai untuk mencapai tujuannya. Landasan dasar dari visi dan misi Partai Aceh adalah kondisi rakyat Aceh sebelum dan sesudah reformasi baik itu konflik maupun tsunami, untuk menjadikan Aceh baru, modern, damai dan mandiri. Hal ini sesuai dengan MoU Helsinki. Untuk itu yang menjadi visi dan misi Partai Aceh adalah :

a Visi

Membangun citra positif berkehidupan politik dalam bingkai negara kesatuan republik indoensia serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan Negara kesatuan Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi nota kesepahaman (MoU) Helsinki yang telah ditanda tangani pada tanggal 15 agustus 2005 antara pemerintah Republik Indonesia dan gerakan Aceh Merdeka.

b Misi

Mentransformasikan dan atau membangun wawasan berfikir masyarakat Aceh dari citra revolusi party menjadi citra development party dalam tatanan transparansi untuk kemakmuran hidup rakyat Aceh khususnya dan bangsa Indonesia umunya.

3.1.8 Azas dan Tujuan Partai Aceh

a. Azas :Partai Aceh berazaskan UUD 1945, Pancasila dan Qanun Meukuta alam Al-asyi.19

19

Qanun Meukuta Alam Al Asyi merupakan adat istiadat dan norma-norma yang berkenaan dengan kemasyarakatan dan stuktur pemerintahan warisan indatue yang lahir dari rahim adat dan budaya masyarakat Aceh, konstitusi tersebut menjadi salah satu referensi bagi Partai Aceh untuk


(26)

79

b. Tujuan :

1. Mewujudkan cita-ciata rakyat Aceh demi menegakkan marwah dan martabat bangsa dan agama.

2. Memperjuangkan implementasi MoU Helsinki yang ditandatangani oleh RI-GAM pada tanggal 15 Agustus 2005.20

3. Mewujudkan kesejahteraan yang adil, makmur dan merata, materil dan spiritual bagi seluruh rakyat Aceh.

4. Mewujudkan kedaultan rakyat dalam rangka mengembangkan kehidupan masyarakat yang menjungjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia.

3.1.9 Program Kerja Partai Aceh A.Bidang Pemerintahan

1. Pemerintahan yang Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat adalah pemerintahan yang mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan ini merupakan tujuan utama dan tanggungjawab utama pemerintahan.

2. Pemerintahan yang Modern adalah pemerintahan yang mendorong penggunaan alat-alat produksi yang berteknologi dalam setiap sector produksi untuk meningkatkan hasil produksi, begitu juga dalam mempercepat pelayanan

mengembangkan tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan yang mandiri dan beradab yang disinergikan dengan konstitusi Indonesia dan perkembangan peradaban dunia


(27)

80

terhadap rakyat juga menggunakan sistem modern (tegnologi) agar pelayanan tepat dan cepat.

3. Pemerintahan yang Demokratis dan Partisifatif adalah pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan, dan terbuka dalam menjalankan semua keputusan.

4. Pemerintahan yang Bebas Korupsi adalah Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, akan terwujud bila tingkat produktifitas bias ditingkatkan dan control public berjalan dengan baik. Untuk itu pemerintah akan berusaha untuk meningkatkan produktifitas rakyat dengan cara membuka lapangan kerja dan meningkatkan control public dengan cara mendorong rakyat untuk berkumpul dan berserikat dalam berbagai bentuk organisasi.

5. Pemerintahan yang Internasionaladalah pemerinthan yang bersolidaritas terhadap perjuangan rakyat tertindas diseluruh dunia.

B.Bidang Ekonomi

1. Membuka Lapangan Kerja dengan Pembuatan Industri Milik Pemerintah Aceh. Untuk menciptakan perekonomian yang kuat dan bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga pemerataan ekonomi, membuka perusahaan-perusahaan milik negara sebanyak-banyaknya tetapi di jalankan secara profesional sehingga tidak menjadi beban negara tetapi menciptakan keuntungan yang dinikmati oleh seluruh rakyat adalahjawabannya. Dengan adanya industri yang merupakan milik pemerintahan akan mampu menampung jumlah tenaga kerja yang besar dan akan mampu menekan angka pengangguran di Aceh. Kenapa harus industri milik pemerintah? karena


(28)

81

industri milik pemerintah keuntungannya untuk pemerintah dan akan mampu melahirkan pemerataan ekonomi di rakyat.

2. Melindungi Industri Dalam Negeri, Pemerintah dalam kebijakan ekonominya harus melindungi industri-industri dalam negeri baik melakukan pembatasan terhadap produk impor dan melakukan peningkatan terhadap produk dalam negeri. Hal ini penting untuk menyelamatkan industri dalam negeri dari persaingan bebas dengan perusahaan raksasa dari luar negeri yang cenderung menggusur industri dalam negeri.

3. Pengelolaan Sumberdaya Energi Secara Mandiri dan digunakan bagi Kesejahteraan Rakyat. Sederhananya, pemerintah Aceh saat ini hanya memiliki sumberdaya alam. Sumberdaya alam Aceh ini yang paling berharga saat ini adalah Minyak Bumi, Emas, Batu Bara, Tembaga, Hutan yang luas dan lain-lain. Namun pemerintah Aceh tidak memiliki sumberdaya manusia atau tenaga produktif dan tenaga ahli. Selain itu, alat untuk memproduksi sumberdaya alam juga tidak dimilik oleh pemerintah Aceh sama sekali. Lalu bagaimana? Apa yang harus dilakukan pemerintah Aceh ? sementara sumber-sumber kekayaan alam Aceh tersebut tidak bias dibiarkan begitu saja. Ia harus menjadi sumber dana yang kemudian dikelola untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Sebuah kenyataan yang harus kita cermati, hingga saat ini negara-negara induk kapitalisme terus melakukan eksploitasi sumberdaya alam di Negara-negara dunia ketiga, tak terkecualiIndonesia. Bahkan cara-cara yang dilakukan untuk maksud tersebut masih menggunakan cara-cara terbelakang. Dari kenyataan tersebut maka seluruh sumberdaya energi yang ada di Aceh


(29)

82

harus dikelola secara mandiri (kepemilikan) oleh pemerintah Aceh, untuk menjawab persoalan sumber daya manusianya maka pemerintah Aceh cukup membeli teknologinya saja. Bukan membiarkan sumber daya energinya tersebut dikuasai sepenuhnya oleh pihak perusahaan asing, multi coorporaation. Sehingga kepemilikan sahamnya dalam perusahaan eksploitasi tersebut dimiliki secara mayoritas oleh negara. Sementara yang terjadi selama ini kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi Aceh, hanya dinikmati oleh segelintir elit politik Aceh dan pemilik modal dari asing. Rakyat Aceh tidak pernah menikmati hasil dari sumberdaya alam Aceh.

4. Upah Minimum sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Perhitungannya dilakukan oleh Dewan Pengupahan yang merupakan lembaga Tripartit. Selain untuk menaikkan tingkat upah yang layak dan kesejahteraan bagi kaum buruh juga bertujuan agar kesenjangan perkembangan industri, kesenjangan pendapatan, kesenjangan desa dan kota, kesenjangan konsentrasi capital, kesenjangan konsentrasi penduduk dapat dikurangi. Sehingga tenaga kerja di pedesaan atau kota-kota kecil tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota-kota besar tertentu untuk mendapatkan pekerjaan, dengan tingkat upah yang lebih tinggi.

5. Membuka Peluang Investasi Saling Menguntungkan, Membuka peluang investasi yang saling menguntungkan, untuk beberapa sector tertentu dengan catatan bahwa kita hanya membeli teknologinya saja, atau yang mereka investasi adalah dalam bentuk teknologi yang akan dihitung dalam bentuk persentase kepemilikan saham. Dan saham diluar bentuk teknologi semuanya


(30)

83

menjadi milik pemerintah Aceh. Dan ini merupakan suatu bentuk kompromisme yang saling menguntungkan dalam hal investasi di Aceh kedepan.

6. Memberikan Modal Bergulir pada Sektor Riil RakyatUntuk meningkatkan produktivitas rakyat dalam mengelola sector riil (seperti pertanian, nelayan dan lain-lain) pemerintah harus memberikan modal bergulir kepada rakyat. Selama ini nelayan atau petani tidak pernah menikmati hasil gas alam di Aceh yang dikuras habis puluhan tahun. Maka kedepan hasil dari pertambangan (sumber daya energi) akan disubsidi secara bergulir kepada sector riil rakyat. Sehingga dalam melakukan aktivitas produksi rakyat akan mampu bersaing dengan kekuatan produksi lainnya, karena telah mampu membeli teknologi. C.Bidang Pendidikan

1. Pendidikan Gratis dan Berkualitas

Pendidikan gratis ini mencakup segala jenjang pendidikan tidak hanya dibatasi. Program pendidikan gratis yang dijalankan pemerintah sekarang salah besar. Faktanya sebagian besar TK, SD, dan SMP masih memungut biaya dari murid, dan program pendidikan gratis ini mencakup seluruh biaya pendidikan (transportasi, buku-buku, asrama dan sebagainya).Selain itu lulusan SMP juga tidak memadai untuk terserap lapangan industri. Karena ini merupakan bagian dalam abdian industrialisasi nasional.Demikian juga jalur-jalur pendidikan non-formal atau kursus-kursus keterampilan yang juga harus difasilitasi oleh negara. Sebagai subjek penyangga, kualitas guru atau pengajar


(31)

84

juga terus ditingkatkan, sekaligus negara menjamin taraf kesejahteraan mereka.

Maka pendidikan gratis juga harus disertai dengan kualitas pendidikan itu sendiri. Selain itu pendidikan gratis bukan hanya gratis dalam hal SPP saja namun juga harus ada persediaan buku yang berkualitas di perpustakaan sehingga pelajar tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli buku lagi. Begitu juga dengan persoalan transportasi untuk sekolah dasar smpai SMU harus dimasifkan agar siswa tidak perlu sekolah secara jauh, atau juga harus disubsidi oleh peperintah , bukan malah memotong subsidi pendidikan.

2. Mereformasi Sistem, Kurikulum Manajemen, dan Pengelolaan Pendidikan yang Menghasilkan Sifat Kritis, Mandiri dan Aspiratif.

Melihat sistem pendidikan Indonesia yang masih belum terfokus, maka perlunya dilakukan reformasi dalam hal sistem tersebut. Agar kurikulum pendidikan bias melahirkan sumberdaya manusia yang memang handal dalam bidangnya. Dan sistem ini juga harus mampu melahirkan sikap kritis dari pelajar dan guru.

3. Pemberantasan Buta Huruf

Dengan pendidikan gratis dan berkualitas diharapkan akan mampu memberantas buta huruf yang masih sangat tinggi di Aceh.

4. Mempertegas Tanggung jawab Pemerintah dalam Menciptakan Rakyat Aceh yang Cerdas dan Memiliki Keahlian (Skill).


(32)

85

D.Bidang Kesehatan

1. Pelayanan Kesehatan Gratis dan Berkualitas untuk Rakyat

Dalam program kesehatan gratis, semua golongan harus digratiskan dari biaya rawat inap, konsultasi dan jasa dokter atau medis dan obat-obatannya. Program belas kasihan dengan dalih menggratiskan untuk yang miskin saja hanyalah menciptakan sumber penyelewengan dan korupsi baru. Ditengah standarisasi ukuran kemiskinan yang beranekaragam dan syarat kepentingan polotis adalah jauh lebih sulit menghitung jumlah orang miskin ketimbang orang kaya. Sehingga yang terjadi adalah orang miskin justru dijadikan industri dan komoditi oleh kaum pemodal dan biraokrat korup untuk berbagai macam program belas kasihan; BLT/SLT (Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai), minyak tanah bersubsidi, solar bersubsidi, beras miskin (raskin), dan sebagainya. Disetiap kecamatan minimal harus ada satu poliklinik, dan setiap desa/ kelurahan minimal terdapat satu puskesmas. Memassalkan, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menggratiskannya adalah syarat bagi peningkatan sumberdaya manusia yang mutlak diperlukan oleh program industrialisasi nasional. Selain itu juga harus ada kebijakan untuk melarang pembukaan praktek swasta terhadap dokter ahli, karena tindakan ini bias menjadi spirit bagi dokter ahli untuk tidak masuk ke rumah sakit. Akibatnya pasien akan terhambat atau kesulitan dalam mendapat akses atau konsultasi kesehatan dengan dokter ahli, karena dokter ahli lebih banyak memilih masuk ke praktek swasta daripada tinggal din rumah sakit.


(33)

86

Sistem pelayanan kesehatan yang selama ini terjadi Aceh secara tidak langsung lebih memprioritaskan orang kaya, dan bagi orang miskin akan mendapat giliran terakhir. Kesadaran tenaga kesehatan (medis) untuk nenolong orang sakit terlebih dahulu seakan telah hilang begitu saja dari tenaga medis. Sehingga separah apapun sakit apabila belum ada yang bertanggungjawab untuk membayarnya maka proses pengobatan tidak dilakukan.

3. Meningkatkan Kesadaran Rakyat Terhadap Hak-hak Kesehatan.

Penting juga untuk meningkatkan kesadaran rakyat terhadap hak-hak kesehatannya, agar mall praktek tidak terus-terusanterjadi, karena dianggap hal yang biasa (karena rakyat tidak tahu akan hak-haknyadalam hal kesehatan).

E.Bidang Perempuan

a. Memperjuangkan Kebebasan Perempuan sepenuhnya dan Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan

Mendukung sepenuhnya pembebasan terhadap perempuan bukanlah beranjak dari sebuah kesimpulan bahwa perempuan yang terpinggirkan secara sistematis oleh kebijakan-kebijakan negara, menjadikan posisi perempuan sebagai second class dengan laki-laki. Secara naluriah perempuan memiliki persoalan khusus yang sebenarnya kita akui atau tidak sebagai sebuah ekses dari sebuah sistem yang dibangun dengan budaya patriarki yang masih mengikat tatanan masyarakat Aceh. Untuk itu perjuangan membebaskan perempuan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam politik adalah salah satu hal yang terus akan diperjuangkan oleh Partai Aceh.


(34)

87

b. Memperjuangkan Kesetaraan Gender disemua Aspek dalam Bermasyarakat dan Bernegara

c. Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan

d. Menjamin Akses Pendidikan Seluas-luasnya Terhadap Perempuan e. Memproteksi Perempuan Terhadap Kekerasan.

F.Bidang Hukum dan Akses Keadilan

a. Memperjuangkan lahirnya produk-produk hukum yang berpihak kepada Rakyat Kecil

b. Meningkatkan Kesadaran Hukum masyarakat

G.Bidang Sosial Budaya

1. Membangun Kesadaran Kritis terhadap sejarah Aceh dalam bentuk solidaritas, pluralis dan kolektif.

2. Mengembelikan Peran Lembaga-Lembaga Adat dalam Menyelesaikan kasus-kasus masyarakat sebagai salah satu alternative.

3.2 Partai Aceh Dewan Pimpinan Wilayah Aceh Tamiang

3.2.1 Sejarah PAW Aceh Tamiang

Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, akhirnya kesepakatan antara Republik Indonesia dengan GAM mencapai kesepakatan perdamaian. Hal ini yang melahirkan terbentuknya Partai Aceh, sebagai partai yang mengusung dari poin-poin MoU Helsinki. Pada tanggal 4 Juni 2007 partai Aceh di deklarasikan di Banda Aceh,


(35)

88

Partai Aceh dulunya di kenal dengan Partai GAM, karena melanggar kesepakatan Helsinki, yang mengatur bahwa anggota GAM tidak akan memakai seragam atau menunjukkan syimbul-syimbul militer setelah penandatanganan MoU, pada tanggal 29 April 2007 kumudian partai ini resmi berganti nama menjadi Partai Aceh (PA).

Setelah terbentuknya Partai Aceh maka sesuai AD/ART untuk dapat menguasai pertarungan politik memperebutkan kekuasaaan baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota maka Partai Aceh di bentuk sampai pada semua tingkatan sehingga terbentuklah Partai Aceh Wilayah Aceh Tamiang.

PA Dewan Pimpinan Wilayah Aceh Tamiang merupakan salah satu cabang Partai Aceh yang berada di tingkat Kabupaten yang berfungsi memenangkan pertarungan politik di tingkat Kabupaten. Pemilihan Ketua PAW Tamiang dinilai dari proses perjuangan perang saat berada di GAM (eks kombatan GAM).

3.2.2 Struktur Kepengurusan Partai Aceh Wilayah Tamiang

Struktur kepengurusan Partai adalah Orang-orang yang tersusun berdasarkan kesepakatan dan hak perogatif seorang Ketua Umum menunjuk Kader Partai untuk membantu menjalankan amanah satu periodesasi Partai tersebut.

TABLE 6

STRUKTUR PARTAI ACEH KABUPATEN ACEH TAMIANG

No Nama Jabatan


(36)

89

2 Ir. Rusman Sekretaris

3 H. Abdus Samad Bendahara

4 Muhammad Hasan Wakil Ketua Wilayah

5 Muhammad Nizar Wakil Sekretaris

6 Bukhari. SE Wakil Bendahara

7 Tgk Subhan Manyak Payed

Jurusan Organisasi Dan Kelembagaan

8 Adi Telaga Meuku Jurusan Pendidikan dan Kaderisasi

9 Waked Jurusan Keuangan dan Logistik

10 Joel Vikar Jurusan Ekonomi dan Perdagangan

11 Juanda Jurusan Komunikasi dan Informasi

12 Kamarruddin P. Awe Jurusan Hukum dan HAM

13 Zulkarnaen Jurusan Sosial dan Masyarakat

14 M. Yusri Jurusan Perhubungan

15 Dr. Fauzi SpB Jurusan Kesehatan

16 Siddiq Pramana Jurusan Pertanian


(37)

90

18 Ghazali Jurusan Adab

19 Darmansyah SH Kordinator Kecamatan I

20 Anwar Ahmad Kordinator Kecamatan II

21 Miswanto Kordinator Kecamatan III

22 Husain SPdi Kordinator Kecamatan IV

3.2.3 Internal Partai Aceh Wilayah Tamiang

Dalam teori elite dikatakan bahwa ada sirkulasi elit. Karena di setiap masyarakat, yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Maka akan muncul konflik dengan sendirinya, antara pihak yang memiliki kekuasaan dan hendak mempertahankannya, dengan pihak lain yang menghendaki kekuasaan atau pihak yang diperintah. Karena pada dasarnya, hasrat akan kepemilikan kekuasan merupakan watak yang ada dalam diri setiap manusia. Sebagai konsekuensi dari kepemilikan kekuasaan, karena dengan kekuasaan setiap orang dapat melakukan setiap fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan memperoleh semua keuntungan yang timbul karena kekuasaannya, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan keras.

Maka yang terjadi adalah, setiap elite yang memerintah akan mencoba mempertahankan kekuasaan (status quo), bagaimanapun caranya. Karena kekuasaan hanya dapat bertahan, apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan mayoritas


(38)

91

dari masyarakat bawah, karena logika demokrasi adalah logika mayoritas masyarakat yang kemudian menjadi konsesus. Inilah memecah konstalasi partai aceh karena berdirinya kubu Irwandi yang menggunting di dalam lipatan, membuat partai aceh menjadi 2 kubu yaitu kubu Irwandi dan kubu Muzakkir Manaf yang sangat berimbas kepada daerah daerah sekitar Aceh.

Hal inilah yang terjadi ketika Pilkada 2012 di daerah Aceh Tamiang, kemenangan besar di tahun 2009 mengakibatkan kinerja partai ini merasa partai besar bukan sebagai partai pendatang baru. Inilah yang mengakibatkan Partai Aceh mengalami kekalahan. Para pejabat Partai tersebut merasa partai ini partai besar. Seperti yang di ungkapkan Ir. Rusman :

“ Ir Ruman mengungkapkan bahwa Partai Aceh adalah Partai yang baru berdiri dan langsung memenangkan Pileg dengan angka mutlah di setiap daerah Aceh tahun 2009. Akan tetapi perasaan inilah yang akan menjadi boomerang ke depannya jika kawan-kawan kepengurusan tidak menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat. “21

Sehingga keadaan inilah yang mempengaruhi kondisi internal kepengurusan sehingga dalam hal menjaga hubungan kemasyarakat tidak sesuai dengan grand

scenario Partai Aceh Kabupaten Aceh Tamiang.

21


(39)

92

BAB IV

ANALISIS KEKALAHAN PARTAI ACEH KABUPATEN ACEH TAMIANG

Berbicara mengenai Pilkada, Antropologi dengan kajian Kualitatif yang bersifat partisipasi sehingga Antropolog yang melakukan penelitian ini biasanya terjun langsung serta pernah terlibat langsung dengan Pilkada tersebut. Sebagai seorang warga dari Kabupaten Tamiang, saya terlibat langsung dengan pilkada yang ada di daerah tersebut.

Masyarakat Indonesia sendiri telah memasuki babak baru dalam berdemokrasi sejak kebijakan desentralisasi digulirkan. Kebijakan ini diyakini mampu membawa perubahan yang lebih baik, karena setiap warga di daerah mulai bebas untuk mengatur kehidupannya setelah sekian lama tidak berkutik di bawah rezim otoriter. Jika dulu selalu dikontrol dan diawasi, sekarang mereka bisa mandiri. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah telah memberikan peluang yang besar bagi warga daerah untuk membangun daerahnya sendiri. Dalam hal ekonomi, mereka bisa menikmati SDA mereka sendiri tanpa harus dibagi dengan daerah lain, sementara dalam berpolitik masyarakat juga bebas menyalurkan aspirasi politiknya.

Pemilihan Umum Kepala Daerah adalah salah satu penunjang terbentuknya sistem demokrasi. Pilkada Langsung di Indonesia dilaksanakan dengan sejumlah harapan untuk perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia. Harapannya, Pilkada ini bisa lebih meningkatkan semangat pendalaman demokrasi pada tingkat lokal, dengan sistem ini masyarakat menjadi lebih memiliki kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam proses pemilihan kepala daerah. Artinya, masyarakat memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih sendiri siapa-siapa yang pantas menjadi


(40)

93

kepala daerahnya, dengan demikian peran rakyat dalam rekrutmen politik diharapkan dapat ditingkatkan.

Pilkada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisir praktek money

politic yang dipercaya terjadi secara meluas pada sistem pemilihan melalui lembaga

perwakilan, dengan asumsi money politic akan lebih sulit dilakukan karena pemegang hak suara adalah semua warga negara yang memiliki hak pilih. Keterlibatan masyarakat luas secara langsung diharapkan membawa semangat baru dalam kehidupan demokrasi dan akan melahirkan pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas. Sebagaimana halnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012 yang diharapkan dapat berjalan secara demokratis dimana nilai-nilai demokrasi senantiasa diterapkan oleh seluruh elemen masyarakat dan juga para elit politiknya, karena yang kita ketahui sebelumnya bahwa pelaksanaan pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan konflik yang membuat wilayah ini di anggap jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Pilkada aceh tamiang melalui 2 putaran dalam menentukan pemenangnya, pada putaran pertama pasangan yang di usung oleh partai PKS, PBR, PAN, PBA, yaitu H.Handan Sati, ST yang berpasangan dengan Drs. Iskandar Zulkarnain, MAP berhasil unggul di posisi pertama dengan memperoleh 15,25% suara sedang kan pasangan yang di usung oleh partai Aceh yaitu Agus salim yang berpasangan dengan Abdus samad SE hanyan memperoleh 15% suara,

Pada pilkada aceh tamiang putaran ke 2 pasangan H.Hamdan sati, ST dan Drs, Iskandar Zulkarnain, MAP berhasil unggul dengan mendapat 64.851 (55.32%), sedang kan pasangan yang di usung partai aceh hanya mendapatkan 52.379 (44,68).


(41)

94

Hasil lengkap perolehan suara Pilkada Aceh Tamiang putaran 2 untuk masing-masing kecamatan sebagai berikut :

TABLE 7 No Kecamatan H.Hamdan Sati,ST /

Dra.Iskandar Zulkarnain, MAP

Agus salim / H.Abdus Samad, SE

1 Kota Kuala Simpang 4.140 3.103

2 Rantau 9.628 5.552

3 Sekrak 1.852 1.277

4 Seruway 6.479 5.410

5 Karang Baru 11.007 6.228

6 Kejuruan Muda 7.955 6.174

7 Tamiang Hulu 5.073 3.137

8 Bandar Pusaka 2.972 2.750

9 Bendahara 5.334 4.381

10 Banda Mulia 2.671 2.537

11 Tenggulun 3.093 3.826

12 Manyak Payed 4.584 8.172

Diperoleh dari : suara-tamiang.com

4.1 Gambaran Umum Pemilihan Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012

Berangkat dari pemikiran Axel Hadenius, yang mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu keterbukaan, ketepatan dan keefektifan pemilu.


(42)

95

Putaran kedua dari Pilkada di Aceh Tamiang yang berlangsung pada tanggal 12 September 2012 merupakan tahap penyelesaian dari Pilkada putaran pertama yangdilaksanakan pada tanggal 9 April 2012. Kedua putaran Pilkada tersebut mengokohkan komitmen rakyat Aceh untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian. Hari pemilihan berlangsung dengan damai dan teratur, dimana para pemilih berpartisipasi dalam jumlah yang cukup baik meski dalam putaran kedua terjadi penurunan jumlah pemilih, ditandai dengan tidak adanya pelaporan masalah yang begitu besar di Aceh Tamiang. Karena yang diketahui sebelumnya bahwa saat penyelenggaraan pilkada terdapat intervensi dari elemen-elemen militer serta tuduhan intimidasi oleh kedua kandidat menjelang hari pemungutan suara.

Masyarakat Aceh Tamiang kembali mengunjungi tempat-tempat pemungutan suara pada 12 September 2012 untuk memilih wakilnya, para pemilih telah kembali untuk memasukkan kartu pemilihan ke dalam kotak suara untuk memilih Bupati dan wakil Bupati yang pada putaran pertama tidak berhasil meraih kuota 30 % untuk dapat memimpin di Pilkada putaran pertama. Proses pemilihan yang telah berlangsung secara damai dan tertib di kabupaten tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa rakyat Aceh Tamiang telah sepakat untuk menciptakan perdamaian dan demokrasi di provinsi Aceh, setelah dilanda 30 tahun lebih konflik yang meninggalkan ribuan korban, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami.

Dua kandidat dari jalur yang berbeda, dimana pasangan yang diusung dari koalisi partai (PAN, PBR, PBA dan PKS) bertarung melawan rivalnya dari pasangan yang diusung dari (Partai Aceh). Mereka berlomba untuk mempimpin dan menduduki posisi nomor 1 di Kabupaten Aceh Tamiang yakni pasangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain, sebagai salah satu pasangan kandidat Agussalim dan Abdussamad sebagai lawannya. Namun, beberapa perkembangan selama persiapan


(43)

96

menjelang Pilkada telah membawa kembali kenangan pahit akan konflik yang telah berakhir. Seperti keluhan masyarakat di Aceh Tamiang tentang adanya intimidasi dari GAM selama persiapan Pilkada dan masa kampanye. Seperti ancaman yang terjadi di daerah-daerah pedalaman yakni kecamatan Tenggulun, Sekrak, Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka oleh oknum tak dikenal, memaksa masyarakat untuk memilih calon yang diusung dari salah satu Partai yang bertarung (Partai Aceh), demikian pula pengaduan dari sejumlah masyarakat yang berdomisili di Desa Paya Raja Kecamatan Banda Mulia yang mengaku diancam oleh pendukung salah satu partai yang berkompetisi agar memilih calon yang mereka usung, jika tidak memilihnya maka keselamatan keluargalah dijadikan sebagai taruhannya. Hal ini di ungkapkan langsung oleh Saudara Muhammad Arifin :

Sebelum pemilihan kepala daerah yang dulu bang, saya sering dapat sms terror yang mengatakan usahakan keluargamu memilih partai aceh kalau tidak keselamatan keluargamu ada di tanganmu selain itu bang sering kali orang luar datang ke kampung kami beramai-ramai mengancam masyarakat sini bang.22

Bentuk ancaman seperti itu memang sering terjadi jika musim pilkada digelar, seperti halnya pilkada yang berlangsung disejumlah daerah lainnya di Aceh. Kekerasan serta intimidasi seolah tak berujung menyelimuti kabupaten Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dsb, saat menjelang pemilihan bupati/walikota tahun 2012 lalu, begitu pula saat pemilihan gubernur Aceh yang juga berlangsung tahun 2012. Banyaknya kasus kekerasan dan penembakan oleh orang tak dikenal kepada simpatisan pendukung Irwandi Yusuf, Irwandi sendiri merupakan peserta calon gubernur dari jalur independen yang telah mengundurkan diri dari Partai Aceh.

22

Wawancara langsung dengan Muhammad arifin, masyarakat Desa Paya Raja Kecamatan Banda Mulia


(44)

97

Terlepas dari hal itu, jika berbicara tentang pilkada Aceh maka masyarakat akan berpandangan bahwa bukan Aceh namanya jika tidak ada konflik. Seolah konflik dan kekerasan akan selalu melekat pada pemilu Aceh menyebabkan daerah ini dinyatakan gagal dalam menjalankan demokrasi yang sebagaimana semestinya.

Begitu pula halnya yang terjadi pada penyelenggaraan pilkada Aceh Tamiang, meski ancaman dan intimidasi terjadi di daerah ini. Akan tetapi tidak terlalu berat jika dibanding dengan daerah lainnya, artinya bahwa bentuk ancaman dan intimidasi masih bisa ditangani atau diatasi oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tamiang sehingga tidak sampai kepada tindak pidana yang harus diselesaikan hingga ke Mahkamah Konstitusi, begitulah penuturan mantan ketua KIP Aceh Tamiang, Ir. Izuddin.

Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang berjalan dengan baik, meski ancaman dan teror bermunculan disana sini namun tidak menghalangi jalannya pelaksanaan pilkada saat itu, jika dibanding dengan pilkada tahun 2006 tentunya pilkada kali ini jauh lebih baik. Hal tersebut dikerenakan pada saat pilkada tahun 2006 terjadi pelanggaran di salah satu TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang terdapat di Kecamatan Kejuruan Muda, dimana terjadi pembongkaran kotak suara sebelum pelaksanaan pilkada berlangsung sehingga menyebabkan pilkada harus ditunda dalam beberapa waktu, belum lagi bencana alam (banjir bandang) yang menimpa daerah ini dipenghujung tahun 2006.

Pilkada 2012 kali ini memang tidak serumit pilkada 2006, tapi setidaknya cukup mengejutkan masyarakat kala hasil dari putaran pertama menyebutkan pasangan dari Hamdan Sati-Iskandar dan Agussalim-Abdussamad maju pada putaran kedua. Mengingat calon lainnya juga merupakan saingan berat, seperti pasangan nomor urut 1 (H. M. Jhoni Evita, SE dan Drs. Buyung Arifin, MM) yang semula


(45)

98

diprediksi akan menang saat pilkada, adalah seorang pengusaha terkenal dengan wakilnya yang merupakan pensiunan Pertamina sehingga nama mereka cukup dikenal baik oleh masyarakat Tamiang, selain itu ada pasangan nomor urut 11 (Drs. H. Jamaluddin T. Muku, Msi dan Drs. Suaib Arabi, MAP) yang juga merupakan seorang pengusaha yang eksistensinya begitu baik dimata masyarakat membuat namanya juga tidak dapat disepelekan, adapula wakil bupati periode 2007-2012 yang kembali ikut bertarung yakni pasangan nomor urut 7 (H. Awaluddin, SH, SpN, MH-Ir. Saiful Anwar), tentu masyarakat sudah mengetahui bagaimana kinerjanya sehingga calon tersebut juga tidak dapat dikesampingkan. Begitu pula dengan pasangan nomor urut 5 (H. T.Yusni-Ismail) yang merupakan calon dari koalisi partai Golkar, PPP, PDIP, dan PNBK sehingga namanya cukup dikenal baik oleh masyarakat tamiang.

Namun demikian hasil pemilu tetaplah harus dihormati, siapa-siapa yang akan menang tentu masyarakat harus bisa menerima karena prediksi hanyalah sebuah perkiraan, belum tentu yang diperkirakan bisa terjadi seperti yang diharapkan. Karena itulah 2 pasangan yang terpilih untuk maju ke putaran kedua ini juga tidak dapat diremehkan begitu saja, keduanya juga memiliki citra yang cukup baik ditengah masyarakat dan memiliki pendukung yang tak sedikit pula.

Seperti Hamdan Sati yang merupakan seorang pengusaha kelapa sawit dengan wakilnya Iskandar Zulkarnain yang merupakan kepala Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Aceh Tamiang, sedangkan lawannya sendiri terbantu oleh citra dari sang wakil Abdussamad yang merupakan kepala BPD (Bank Pembangunan Daerah) Aceh Tamiang dan diusung dari Partai Aceh pula yang merupakan partai lokal namun cukup mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat Aceh dibanding partai nasional.


(46)

99

a. Politik Hamdan Sati

Beberapa langkah strategi politik Hamdan Sati sebelum Pemilihan Putaran kedua yaitu isu pengunduran diri pada putaran kedua merupakan suatu permainan yang dilakukan untuk membuat masyarakat yang mendukungnya menyatu dan juga menguatkan massa pendukungnya. Kejadian ini dimuat oleh koran lokal setempat, hal tersebut sempat membuat nuansa memanas kala Hamdan ingin mengundurkan diri, karena secara otomatis Agussalimlah yang mutlak dinyatakan menang, sementara masyarakat masih menimbang-nimbang akankah daerah ini nantinya akan dipimpin oleh calon yang berasal dari Partai Aceh? Hal ini diresahkan oleh pemimpin komunitas jawa bapak Suripto yang mengatakan :

Bagaimanalah nasib masyarakat jawa di Aceh tamiang ini jika bapak Hamdan mengundurkan diri sementara kami dahulu sudah pernah diusir GAM yang sekarang berganti nama menjadi Partai Aceh? 23

Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh seorang tokoh masyarakat Aceh Tamiang Bapak Ahmad Effendi menjelaskan bahwa saat ini PA (Partai Aceh) seperti berada di atas angin saat Irwandi Yusuf menduduki jabatannya sebagai Gubernur Aceh periode 2007-2012, ketika Irwandi memutuskan untuk keluar dari PA dan memilih jalur independen pada pilkada Aceh 2012 seolah tak membuat PA gentar sehingga mereka kembali mengusung calon dari petinggi GAM yakni Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, ditambah lagi kemenangan yang diraih mereka pada pemilu tersebut semakin mengukuhkan bahwa PA adalah partai lokal yang kuat. Karena itulah mereka ingin membangun massa yang lebih banyak lagi diseluruh Aceh agar di setiap daerah diharapkan dapat dipimpin oleh calon yang mereka usung, tak terkecuali

23


(47)

100

pada pilkada Aceh Tamiang, melihat hal itu masyarakat justru semakin khawatir akan keberadaan PA yang saat ini semakin berkembang dengan pesat.

Seakan mengingatkan kembali kenangan pahit akan konflik di masa lalu, jika daerah ini juga dipimpin oleh calon dari PA maka kemungkinan hal tersebut bisa saja kembali terjadi, karena seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa belum setahun Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menjabat sebagai gubernur, rakyat Aceh sudah diresahkan oleh pembentukan bendera Aceh yang mengandung pro dan kontra dikarenakan logo dalam bendera tersebut yang mirip dengan lambang GAM, belum lagi ketika pilkada disejumlah daerah di Aceh mulai digelar. Masyarakat selalu diresahkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal, ditambah lagi kasus penembakan pekerja asal Jawa di Banda Aceh tahun lalu. Sudah pasti hal tersebut menyebabkan masyarakat yang bersuku Jawa semakin khawatir jika daerah ini akan dikuasai PA, sementara hampir sebagian besar jumlah penduduk di Aceh Tamiang adalah masyarakat bersuku bangsa jawa.

Lebih lanjut ia menilai bahwa jika melihat pertarungan dari kedua calon tentu bapak Ahmad memiliki prediksi bahwa kekuatan Hamdan jauh lebih besar dibanding Agussalim-Abdussamad, dari segi figur pasangan Hamdan-Iskandar lebih berkompeten dalam hal perpolitikan dikarenakan pasangan ini sudah pernah berpartisipasi juga pada pilkada 2006, namun gagal. Nama mereka juga tak begitu asing ditengah masyarakat mengingat Hamdan Sati adalah putra dari pengusaha terkenal yakni Tuan Sati, tentu semakin menguatkan posisinya diputaran kedua tersebut, sementara pasangan Agussalim-Abdussamad hanya terbantu oleh keberadaan partai yang mendukungnya tanpa memprioritaskan figur dari diri mereka masing-masing.


(48)

101

Terlepas dari hal itu tentu keresahan masyarakat mendapatkan relevansinya. Mantan ketua KIP menyatakan bahwa tidak semudah itu calon yang telah ditetapkan untuk maju ke putaran kedua lalu mengundurkan diri dikarenakan alasan politik yang tidak begitu jelas, bisa jadi itu adalah isu yang dikembangkan sebagai bentuk strategi pemenangannya untuk menguji publik apakah masyarakat akan merelakan dia mengundurkan diri begitu saja atau malah sebaliknya.

Sementara setelah hasil putaran kedua diumumkan yang menunjukkan bahwa Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain diputuskan sebagai pemenangnya, terjadilah demonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang oleh pendukung PA dan masyarakat lainnya terkait ketidakpuasan mereka atas terpilihnya pasangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain sebagai bupati/wakil bupati Aceh Tamiang, dikarenakan dugaan atas keterlibatan aparat keamanan (TNI/Polri) dalam proses pilkada, yang dilakukan oleh Hamdan Sati dengan mem-blockade sejumlah daerah terpencil dan melakukan intimidasi oleh masyarakat setempat, Hamdan Sati juga diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Dalam hal ini, ditinjau berdasarkan fakta yang ada isu terkait hal tersebut dapat dikatakan tidaklah benar.

Keterlibatan aparat keamanan baik itu TNI maupun Polri adalah semata-mata hanya untuk mengamankan proses pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang, dengan kata lain aparat keamanan dikerahkan untuk mengekang pergerakan GAM yang sewaktu-waktu bisa saja berulah. Selain itu, terkait praktik money politic yang dilakukan oleh Hamdan adalah dugaan yang tidak beralasan, PA tidak dapat menjelaskan secara pasti rincian mengenai praktik money politic yang dilakukan rivalnya itu sehingga gugatan yang dilayangkannya ke Mahkamah Konstitusi perlahan dicabut. Dalam hal ini sudah jelaslah bahwa pihak PA berusaha berlaku curang ingin menjatuhkan calon terpilih yang sudah ditetapkan oleh KIP sebagai pemenangnya.


(49)

102

Hal tersebut mungkin saja terjadi mengingat apa yang dilakukan calon yang diusung PA adalah sebagian dari bentuk strategi politik agar dapat memenangkan pilkada, hanya saja strategi yang dimaksud tidaklah sejalan dengan prinsip demokrasi, karena sudah tentu hal tersebut termasuk melanggar hukum. Karena pada dasarnya pilkada harus terbuka dimana calon-calon yang bersaing tidak dibenarkan untuk saling menjatuhkan.

Kebebasan sipil dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil (civil society) yang mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikut serta dalam membangun Negara. Dengan kata lain kebebasan sipil sifatnya lebih mengarah pada makna keterbukaan, yang mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat.

Hak-hak tersebut dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal, yang menyangkut hak hidup, hak hidup tanpa adanya perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak untuk bebas dan hak untuk memilih sesuatu. Kriteria ini lebih diarahkan pada makna analisis terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakat.Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya.Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian


(50)

103

serius. Salah satu kekhawatiran itu ditandai dengan adanya porsi atas kebebasan warga untuk memilih berbagai alternatif politik, sehingga tidak mengurangi kapabilitas terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sudah menjadi rahasia umum jika pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan intimidasi, pemaksaan terhadap masyarakat agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi memberi ancaman akan keselamatan keluarganya jika mereka tidak memilih calon yang dimaksud, atau bahkan kekerasan fisik sering ditemui disejumlah daerah di Aceh kala pilkada menjelang, begitu pula halnya yang terjadi di Aceh Tamiang. Keluhan masyarakat akan tindakan intimidasi memang sering terjadi baik dari pihak Hamdan Sati (Koalisi Partai) maupun dari pihak Agussalim (Partai Aceh), tidak diketahui secara jelas kubu mana yang memang benar-benar salah soal mengintimidasi masyarakat namun penelusuran di lapangan yang dilakukan oleh penulis dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk intimidasi dari pendukung PA benar adanya namun tidak begitu berat sehingga mengakibatkan hal tersebut tidak perlu diproses secara hukum.

Di sisi lain, masyarakat sempat dibuat bingung oleh fenomena kecurangan yang dilakukan bupati terpilih Hamdan Sati saat ia dinyatakan menang oleh KIP Aceh Tamiang, berita tersebut semakin berkembang kala pendukung dari PA semakin menggencarkan isu politik tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi, mereka menganggap bahwa proses pilkada putaran kedua berlangsung dengan sangat tidak demokratis dikarenakan adanya tekanan dan tindakan depresik aparat keamanan di lapangan.

Namun isu tersebut seolah hilang begitu saja saat bupati terpilih menduduki masa jabatannya, masyarakat seolah dilupakan oleh fenomena yang menggencarkan


(51)

104

warga kala mereka berdemonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang, ternyata dalam hal kelanjutan gugatan yang dilayangkan mereka ke Mahkamah tidak dapat dipertanggungjawabkan, secara perlahan mereka mencabut gugatan tersebut karena tidak dapat menjelaskan bukti-bukti nyata akan kecurangan yang dilakukan oleh rivalnya tersebut.

Melihat hal ini, tentu masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas calon pemimpin daerah yang akan mereka pilih, sebuah ancaman tidak menjadi persoalan karena pada faktanya masyarakat sudah jelas menentukan pilihan pada calon terpilih 2012 lalu. Jika benar pihak Hamdan Sati melakukan kecurangan tentu masyarakat tidak akan mau memilihnya. Secara tidak langsung pendewasaan akan kehidupan berdemokrasi di Aceh Tamiang sudah mulai terlihat, ditandai oleh keberanian masyarakat untuk menentang bentuk penindasan atau ancaman tersebut, mereka tidak takut akan ancaman yang menghampiri karena pada dasarnya mereka menyadari bahwa mereka adalah masyarakat politik yang bebas dalam menentukan hak pilihnya, kepada siapa mereka akan memilih orang lain tidak berhak mengintervensinya, dengan kata lain pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

Melihat fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa posisi Hamdan Sati saat itu terasa diuntungkan oleh kebijakan pusat atas pengerahan aparat keamanan (dalam hal ini TNI/Polri) dalam proses pemilihan umum, dikarenakan penulis melihat pertarungan pilkada putaran kedua tersebut tidak lagi kompetisi antar calon maupun antar partai nasional dan partai lokal, melainkan sudah mengarah pada pertarungan antar NKRI dan GAM, karena dalam hal ini posisi Hamdan seperti terlindungi oleh keberadaan aparat keamanan sementara Agussalim yang dibawah naungan Partai Aceh seperti terlindungi oleh keberadaan GAM, dalam kasus ini seolah mengingatkan


(52)

105

kembali kenangan pahit akan konflik yang berkepanjangan di bumi Serambi Mekkah ini. Karena dugaan akan keberadaan aparat keamanan yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati meskipun pada faktanya mereka berfungsi untuk mengamankan jalannya pilkada dari pergerakan GAM yang bisa saja berulah.Sudah pasti imbasnya pada masyarakat itu sendiri, karena dibingungkan oleh opini-opini publik yang tak beralasan, namun menyikapi kasus tersebut ternyata masyarakat mulai menyadari bahwa sudah saatnya mereka bangkit dari keterpurukan sejak konflik berkepanjangan melanda daerah ini, dengan bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat untuk bebas dari segala bentuk penindasan adalah solusinya. Agar mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah sebagai wujud nyata pendemokratisasian di era reformasi yang sejalan pada UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana tujuan dari penetapan UU tersebut adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

Selain itu merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah.Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung yang bebas dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.


(53)

106

Tamiang dikatakan relatif baik, artinya masyarakat tamiang telah mengokohkan komitmen untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian guna menciptakan sistem yang demokratis pasca reformasi diterapkan di negeri ini. Mereka mulai menyadari bahwa kebebesan sipil sangat diprioritaskan dalam hal memilih, masyarakat tidak perlu takut akan adanya bentuk intimidasi dan tekanan dari PA karena pada dasarnya masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

Sementara jika ditinjau dari pengawasan keamanan, pilkada Aceh Tamiang 2012 lalu dapat dikatakan efektif dikarenakan panitia pengawas pemilu (panwaslu) telah mengoptimalkan kinerjanya dalam mensukseskan pilkada pada saat itu, ditandai oleh tidak adanya pelaporan khusus mengenai tindakan kekerasan fisik yang biasanya sering terjadi di pilkada Aceh lainnya. Hal tersebut karena diuntungkan pula olehkeberadaan aparat keamanan (TNI/Polri) yang pada saat pilkada digelar selalu siaga mengendalikan keadaan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian selama proses pilkada berlangsung. Meskipun pada awalnya TNI/Polri dianggap tidak netral karena pengamanan yang dilakukan TNI/Polri dikampung-kampung diindikasi melahirkan intimidasi terhadap anggota Partai Aceh.

Pengamanan TNI/Polri dianggap tidak netral karena keberadaaan mereka di daerah pelosok membuat suasana pilkada menjadi seperti daerah darurat militer, terbuktinya dengan adanya palang portal dijalan masuk desa-desa terpencil (Kecamatan Bandar Pusaka, Kecamatan Sekerak, Kecamatan Bendahara, dan Kecamatan Banda Mulia) yang dijaga sedikitnya 20 aparat TNI/Polri disetiap kampung. Pengawasan keamanan yang bisa dikatakan ketat ini dianggap terlalu berlebihan namun demikian hal ini dilakukan guna menciptakan suatu pemilihan


(54)

107

umum kepala daerah yang lebih kondusif dengan mengedepankan suasana yang aman dan tentram.

Dalam hal ini, posisi aparat keamanan disini juga diharapkan dapat mengekang pergerakan GAM yang seolah-olah bisa saja berulah seperti halnya yang terjadi disejumlah daerah lainnya di Provinsi Aceh, seperti kasus penembakan di Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur, sehingga untuk mencegah hal itu terjadi maka pengawasan keamanan oleh aparat keamanan di daerah ini haruslah diperketat.

Pengawasan keamanan pada pilkada Aceh Tamiang sejatinya memang telah berjalan secara efektif meski ancaman dan intimidasi kerap terjadi oleh salah satu kandidat dalam hal ini panwaslu dan aparat keamanan saling bahu membahu mengatasi serta mengantisipasi agar kerusuhan dan konflik yang kerap terjadi pada pilkada sebelumnya tidak terjadi lagi pada pilkada 2012. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektifan pemilukada bisa ditandai dengan adanya pengawasan keamanan yang baik oleh tim pelaksanaan pemilu, ditandai oleh sarana dan prasarana yang memadai tentu akan menciptakan interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi yang baik pula, dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan partisipasi politik warga untuk berpartisipasi dalam pemilukada, dan jika tujuan daripada berdemokrasi telah terwujud maka dengan sendirinya kebebasan sipil masyarakat akan terealisasikan.

b. Prosedur Pemilihan

Pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih lanjut yaitu semua calon harus memiliki akses yang sama kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama. Begitupula pada pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang yang dilakukan tepat sasaran


(55)

108

yang merujuk pada 2 hal yakni proses dan output, proses artinya pelaksanaan pilkada berjalan sesuai prosedur/UU yang berlaku, sementara output adalah hasil yang diinginkan pemerintah dengan menciptakan pemimpin yang tepat.

Jika dilihat secara keseluruhan dari pelaksanaannya tentu pilkada Aceh Tamiang 2012 lalu dapat dikatakan berjalan dengan baik ditandai oleh tidak adanya pelaporan kecurangan yang diterima KIP dari 610 TPS yang tersebar di 12 kecamatan tersebut seperti yang pernah terjadi saat pilkada tahun 2006 lalu dimana terdapat pelanggaran di salah satu TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang terdapat di Kecamatan Kejuruan Muda, dengan terjadinya pembongkaran kotak suara sebelum pelaksanaan pilkada berlangsung sehingga menyebabkan pilkada harus ditunda dalam beberapa waktu. Dengan kata lain pelaksanaan pilkada 2012 ini dapat dikatakan “tepat” sarana dan prasarana yang telah disediakan oleh panitia pelaksana pemilu dapat terealisasikan secara baik dan kecurangan-kecurangan yang pernah terjadi di pilkada sebelumnya tidak terjadi pada tahun 2012 tersebut.

KIP tentunya telah berupaya mengoptimalkan pilkada yang dapat berjalan sesuai dengan prosedur UU yang berlaku, setidaknya dari segi pelaksanaan mulai dari pendaftaran calon yang dimulai maret 2012 hingga berakhirnya masa pilkada putaran pertama dan kedua September 2012 tidak ditemukan adanya kecurangan yang dirasakan para kandidat selama masa pemilu digelar.Artinya bahwa untuk kategori “ketepatan” pilkada Aceh Tamiang dianggap sudah memupuni sehingga melahirkan pemimpin yang tepat pula dimana pemimpin yang diharapkan untuk menang adalah pemimpin yang lebih mengedepankan proporsionalitas dalam persaingan tanpa adanya tindakan untuk menjatuhkan lawannya.


(1)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulisucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya atas kesehatan jasmaniah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, juga tak lupa penulis ucapkan shalawat beriringkan salam kepada baginda Rasulullah SAW teladan yang baik bagi seluruh umat.

Skripsi yang berjudul “PARTAI POLITIK LOKAL ACEH(Studi Etnografi Antropologi PolitikTentangKekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)”ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikanpendidikan jenjang S1 pada program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penyusunan skripsi inimerupakan sebuah rangkaian proses yang dilakukan oleh setiap mahasiswa dalam mencapai kelulusan pada perkuliahan di tingkat akhir, termasuk mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

Melalui skripsi mengenai “PARTAI ACEH(Studi Etnografi Antropologi PolitikTentangKekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)” ini diharapkan dapat memberi manfaatbagi orang banyak, khusus bagi pembaca diharapkan dapatmengetahui dan memahami bagaimana kualitas demokrasi ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang tahun 2012, serta memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi Soaial. Sementara bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuandalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam tulisan, susunan kalimat maupun


(2)

Medan, Desember 2015 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

ABSTRAK... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Tinjauan Pustaka ... 5

1.3. Rumusan Masalah ... 11

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1 Tujuan Peneitian...12

1.4.2 Mamfaat Penelitian...12

1.5. Sistematika Penulisan ... 13

1.6. Metode Penelitian ... 13

1.6.1. Pengumpulan data primer ... 17

1.6.2. pengumpulan data sekunder ... 19

1.6.3. Analisa data penelitian ... 19

1.7. PengalamanPeneliti ... 20

BAB II. DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG 2.1.Sejarah kabupaten Aceh Tamiang ... 24

2.1.1. Sejarah kerajaan benua tamiang ... 24

2.1.2. Pemekaran kabupaten aceh tamiang ... 33

2.2.Profil Kabupaten Aceh tamiang ... 36

2.2.1 Wilayah Administratif ... 38

2.2.2Demografi ... 39

2.2.3SosialdanBudaya ... 40

2.2.4 Pemerintahan...43

BAB III. PARTAI ACEH 3.1. PartaiAceh ... 47


(4)

3.2.2.StrukturKepengurusanPAW Aceh Tamiang ... 76 3.2.3.Internal PAW Aceh Tamiang ... 78

BAB IV. KEKALAHAN PARTAI ACEH KABUPATEN ACEH TAMIANG 4.1. Gambaran umum Pilkada Aceh tamiang 2012 ... 82 4.2. Faktor-faktor yang menyebabkan kekalahan partai aceh ... 103 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 116 5.2. Saran ... 118 DAFTAR PUSTAKA ... 120 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Table 1 : Batas wilayah Aceh tamiang...37

Tabel 2 : luas kabupaten Aceh tamiang...39

Tabel 3 : Jumlah penduduk...40

Tabel 4 : Jumlah penduduk menurut agama...42

Tabel 5 : jumlah rumah tangga berdasarkan pekerjaan...43

Tabel 6 : Struktur partai Aceh kabupaten Aceh Tamiang...76,77,78 Table 7 : perolehan suara putaran 2………..… 82

Tabel 8 : pengguna hak pada pilkada 2012 putaran I………...100


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kabupaten aceh Tamiang...37

Gambar 2 : Lambang kabupaten Aceh tamiang...38

Gambar 3 : Peta kabupaten Aceh tamiang...38

Gambar 4 : lambang partai aceh...47

Gambar 5 : Bagan struktur partai aceh...65